ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
PADA KONSEP TRIKON DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Nadhilla Cahyaning Putri Pembayun
NIM : 111-14-140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH Dan ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
MOTTO
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”
(Ki Hajar Dewantara)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Bapak dan ibuku tersayang, Winarno dan Siti Alfiah yang selalu membimbingku,
memberikan doa, nasihat, kasih sayang dan motivasi dalam kehidupanku.
2. Adikku, Raras Luthfi Hanif Ghania.
3. Sahabat dan teman dekatku yang selalu memberikan doa dan motivasi kepadaku
serta membantu menyelesaikan skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penulis ucapkan kepada Allah swt
yang selalu memberikan nikmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis.
Sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara) Tahun 2018.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang selalu setia
dan menjadikannya suri tauladan. Penulisan skripsi ini, tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Suwardi, M.Pd.
3. Ibu Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga, Siti Rukhayati, M.Ag.
4. Bapak Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd., selaku pembimbing akademik.
5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd., selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing
dengan ikhlas, mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk penulis sehingga
skripsi ini terselesaikan.
7. Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Maka, kiritk dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya. Amin.
Salatiga, 20 Maret 2018
Nadhilla Cahyaning Putri P.
ABSTRAK
Pembayun, Nadhilla Cahyaning Putri. 2018. 11114140. Analisis Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara).
Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Jaka Siswanta, M.Pd.
Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Karakter, Konsep Trikon, Pendidikan Agama Islam
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon Ki Hajar Dewantara dan melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga, harapannya mampu membentuk generasi penerus bangsa yang berjiwa Indonesia (nasionalis) dan berbudi pekerti luhur.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon (2) mengetahui relevansi antara konsep Trikon terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research) dengan menggali pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang memiliki informasi serta relevan dengan topik penelitian ini. Adapun literatur tersebut berupa jurnal, laporan hasil penelitian, surat kabar, buku dan sebagainya. Referensi tersebut kemudian diolah dengan metode
Content Analysis (analisis isi) yang menekankan pada isi atau pesan yang dibangun secara objektif, sistematis dan generalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa: (1) terdapat 5 nilai pendidikan karakter dalam konsep Trikon yang ditemukan melalui hasil analisis, meliputi: kreatif, toleran, bersahabat/komunikatif, semangat kebangsaan dan cinta
tanah air (2) Konsentrisitas, adanya kegiatan evaluasi dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tiap tahap sebelum melanjutkan pada
tahap berikutnya. Konvergensi, Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan
bangsa menjadi maju dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan berbaur dengan kebudayaan dari bangsa lain. Jika dikaitkan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI), pengembangan dalam hal Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan mengambil berbagai sumber
praktik pendidikan dari bangsa lain. Konsentrisitas, Perpaduan antar budaya yang
saling menjalin kontak secara masif, tidak lantas kemudian menghilangkan ciri kepribadian budaya asli bangsa tersebut. Dalam pergaulan dengan bangsa lain tentu banyak pengaruh positif dan negatifnya untuk bangsa sendiri. Posisi Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional bersifat elastis yaitu memperbaiki dan mengontrol budaya-budaya yang secara prinsipil melenceng
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN BERLOGO ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
G.Metodologi Penelitian... 18
H.Sistematika Penulisan ... 23
BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA A.Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara ... 25
1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara ... 25
2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara ... 26
3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara ... 29
4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara ... 36
1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik ... 39
2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan ... 40
3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat ... 41
C.Karya-Karya Ki Hajar Dewantara ... 42
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA A.Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ... 44
1. Pengertian Nilai ... 44
2. Pendidikan Karakter ... 45
a. Pengertian Pendidikan Karakter ... 45
b. Tujuan Pendidikan Karakter ... 52
c. Dasar Pendidikan Karakter ... 60
d. Metode Pendidikan Karakter... 65
3. Konsep Trikon ... 67
B. Pendidikan Agama Islam ... 72
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 72
2. Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 73
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 74
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 75
5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 76
BAB IV PEMBAHASAN A.Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ... 92
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, persoalan pentingnya pendidikan karakter terdengar sudah
tidak asing lagi. Istilah “Pendidikan Karakter” muncul dan menjadi tema utama
dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010: “Pendidikan Karakter
Untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Kala itu, Muhammad Nuh (Menteri
Pendidikan Nasional) mengatakan bahwa pembangunan dan pendidikan karakter
menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik
cerdas, tetapi pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun
dalam kehidupan (http://e-journal.upi.edu/
index.php/eduhumaniora/article/ view/2795/1824 diakses pada 28 November 2017 pukul 14:57 WIB).
Landasan pendidikan karakter sendiri termaktub dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab (Wiyani, 2013: 32).
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) menyatakan bahwa inti pendidikan karakter yaitu bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Namun, dalam mewujudkan pendidikan karakter, Azra seperti yang dikutip Musclih (2015: 77) menyampaikan bahwa hal itu tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter dan penting untuk ditanamkan, antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Salahudin dan
Alkrienciehie, 2013: 54-55).
Oleh karena itu, Islam sangat memuji budi pekerti (karakter) yang baik,
sehingga menyerukan kaum muslimin untuk membina dan mengembangkannya
di hati dan jiwa mereka. Islam menegaskan bahwa bukti ke-Islam-an adalah
dengan adanya budi pekerti yang baik. Selain itu, puncak derajat kemanusiaan
seseorang dinilai dari kualitas budi pekertinya. Seluas apapun kadar keilmuan
seseorang tentang Islam, sehebat apapun dirinya ketika melakukan ibadah, semua
itu tidak bisa menjamin. Tetap saja, alat ukur yang paling akurat untuk menilai
kemuliaan seseorang adalah kualitas budi pekertinya. Sebagaimana firman Allah
swt:
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(Q.S. Al-Qalam, 68: 4)
Oleh karena itu pendidikan karakter perlu ditanamkan kepada anak
bahkan sejak anak masih usia dini, Allah swt juga telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du, 13: 11)
Dalam ayat tersebut, ada dua perubahan. Pertama, perubahan pada
individu. Kedua, perubahan pada kelompok. Hikmah Allah swt telah mengatakan
keduanya saling berkaitan, perubahan pertama merupakan penyebab perubahan
kedua, sedangkan perubahan kedua merupakan hasil dari perubahan pertama.
Allah swt menghendaki agar perubahan yang pertama dilakukan oleh semua
manusia, sampai mereka benar-benar dapat mengadakan perubahan pada diri
sendiri.
Sebelumnya, wacana pendidikan karakter sudah pernah disampaikan oleh
Ki Hajar Dewantara. Ia menciptakan sistem pendidikan baru sebagai penolakan
terhadap sistem pendidikan kolonial yaitu dengan konsep kembali pada budaya
bangsa sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses
pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi
baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga
dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju ke arah
keluhuran budaya manusia (Nafisah, 2016: 453).
Dalam proses pendidikan, Ki Hajar Dewantara merumuskan sebuah
upaya yaitu melestarikan kebudayaan Indonesia secara terus menerus dan
berkesinambungan agar kebudayaan di Indonesia tidak hilang karena masuknya
kebudayaan barat yang dapat menggeser kebudayaan bangsa Indonesia atau yang
disebut dengan kontinuitas
(http://wakhidah87.blogspot.co.id/2016/07/konsep-Trikon-filsafat-pendidikan.html diakses pada 24 November 2017 pukul 11:01
WIB). Pendidikan di negeri ini juga tidak lepas dari faktor bawaan dan
lingkungan yang disebut dengan konvergensi. Kemudian dengan prinsip tiga N
Hajar Dewantara mengembangkan konsep konvergensi dengan ciri
ke-Indonesia-annya. Konsep ini memberikan alternatif pandangan terkait polemik pendidikan
berupa nilai-nilai apa saja yang mampu diserap oleh unsur-unsur pendidikan.
Diantara nilai-nilai tersebut yaitu nilai pendidikan umum, agama dan kebudayaan
(Saputra, 2017: 3). Ki Hajar Dewantara juga mempraktekkan konsentrisitas
sebelum melansir konsep Trikon yaitu menyaring ilmu dari Barat dan melahirkan
konsep yang membumi. Meskipun Ki Hajar Dewantara dididik secara Barat
namun konsepnya tidak kebarat-baratan. Ajarannya disesuaikan dengan budaya
lokal misalnya sistem among, tut wuri handayani dan lainnya
(http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/ 2013/11/tamansiswa_8187.html diakses pada 24
November 2017 pukul 11:01 WIB).
Dari sini dapat diketahui bahwa 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) erat
kaitannya dengan konsep Trikon Ki Hajar Dewantara. Karena nilai-nilai tersebut
dibuat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya luhur bangsa Indonesia
melalui upaya pendidikan. Adapun sumber-sumber yang mendasari pembuatan
18 nilai pendidikan karakter adalah agama, Pancasila, budaya dan tujuan
pendidikan nasional (https://guruppkn. com/nilai-nilai-pendidikan-karakter
diakses pada 16 November 2017 pukul 11.29 WIB).
Konsep Trikon ini juga berimplikasi pada Pendidikan Agama Islam (PAI)
pada budaya bangsa (Muthoifin dan Jinan, 2015: 172-173). Konsep Trikon
merupakan filter (penyaring) terhadap datangnya budaya barat. Konsep ini
bersifat selektif dan preventif. Selektif dalam menyaring budaya barat yang akan
masuk dan preventif terhadap dampak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia (Supriyoko dalam Surat kabar harian “Kedaulatan
Rakyat edisi 1985” yang dimuat dalam web http: //journal.amikom.ac.id/
index.php/Koma/article/view/3842/pdf diakses pada tanggal 11 November 2017
pukul 13:58).
Dalam penelitian ini, maksud dari Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah
sebagai mata pelajaran yang proses pembelajarannya dilakukan di sekolah.
Dalam aplikasinya, pemanfaatan konsep Trikon dalam Pendidikan Agama Islam
(PAI) disebut muatan lokal dan dapat dilihat mulai dari desain pengembangan
kurikulum sampai implementasi dalam pembelajaran (http://aris140284.blogspot.
co.id/2009/12/konsep-pendidikan-indonesia-menurutki. html diakses pada 02
November 2017 pukul 12.53 WIB). Jika konsep Trikon dihubungkan dengan
Pendidikan Agama Islam, maka dapat disusun program pembelajaran dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu integrasi dan ekologis (Sudjana, 2005:
177-178). Pendekatan integrasi yaitu pendekatan yang mengintegrasikan
pembelajaran muatan lokal dengan mata pelajaran lain. Sehingga, muatan lokal
menjadi suplemen dalam pelajaran tersebut. Sedangkan pendekatan ekologis
menggunakan lingkungan alam maupun sosial budaya setempat (Rofik, t.t.:
130-131).
Dalam praktiknya, terdapat contoh pengintegrasian budaya lokal Sekaten
dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sekaten merupakan
budaya lokal yang diintegrasikan dalam materi kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Karena budaya sekaten merupakan upaya Sultan Agung dalam
memeringati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW (baca lebih lanjut dalam
jurnal penelitian Khuluq, 1998: 118-138).
Nilai-nilai pendidikan karakter sendiri sesungguhnya sudah
terinternalisasi dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Kedelapan belas nilai
sebagaimana kita ketahui sudah berkaitan dengan PAI. Namun, meskipun
pelajaran PAI menjadi roh dari pendidikan karakter, ia tidak dapat berdiri sendiri
untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada. Pelajaran PAI harus
terintegrasi dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Selain mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI), terdapat contoh mata pelajaran lain yang sesuai dengan
PAI yaitu pelajaran ke-Muhammadiyah-an dan ke-NU-an. Keduanya merupakan
muatan lokal yang merepresentasikan ajaran Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama (NU).
Sejalan dengan tujuan pendidikan, pembentukan karakter juga harus
dijalankan oleh semua pihak yang bersangkutan dalam pembelajaran, khususnya
sikap yang bisa menimbulkan karakter luhur di dalam diri peserta didik. Di
lingkungan keluarga, sepenuhnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk
selalu membentuk kepribadian anak. Di lingkungan masyarakat, masyarakat
sendirilah yang harus memberikan contoh yang luhur terhadap anak-anak di
lingkungannya.
Melihat sasaran pendidikan karakter adalah kepada seluruh peserta didik,
peneliti pun tertarik untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam konsep Trikon. Konsep Trikon sendiri merupakan sebuah
konsep yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan
dan kebudayaan (Trikon) dalam ruang lingkup pendidikan nasional. Dari hal itu
juga, penulis mencoba melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam
(PAI).
Dengan melakukan analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang
termaktub dalam konsep Trikon, diharapkan mampu memberi pemahaman
bahwa pada dasarnya nilai-nilai pendidikan karakter itu tidak lepas dari
kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini juga berimplikasi pada
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Ketiga varibel tersebut (nilai-nilai
pendidikan karakter, konsep Trikon dan Pendidikan Agama Islam) saling
berkaitan dan mendukung untuk menciptakan out put generasi yang berkualitas,
yaitu generasi yang berkarakter, berbudaya dan beriman.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian
Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalah dalam
penelitian ini:
1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon?
2. Bagaimana relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
2. Untuk mengetahui relevansi antara konsep Trikon menurut Ki Hajar
Dewantara terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI)
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya wacana
keilmuan khususnya kajian pendidikan karakter bagi perpustakaan IAIN
Salatiga, sehingga dapat digunakan sebagai bahan acuan di bidang penelitian
sejenis.
2. Praktik
a. Guru dan Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
pendidikan yang syarat akan nilai-nilai pendidikan karakter.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk lebih
meningkatkan pembinaan terhadap guru, kepala sekolah maupun pengawas
agar pendidikan karakter pada anak dapat terwujud sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
c. Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan
khazanah keilmuan dalam penelitian terkait pendidikan karakter.
E. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam penelitian ini dirasa sangat perlu agar tidak
terjadi salah tafsir dengan maksud peneliti. Maka, peneliti akan menjelaskan
istilah-istilah yang ada dalam judul penelitian ini. Istilah yang perlu peneliti
jelaskan yaitu:
1. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon
a. Nilai-nilai
Nilai adalah suatu prinsip sosial, tujuan atau standar yang dipakai
atau diterima oleh individu, masyarakat dan lain-lain. Nilai dapat
dirumuskan sebagai suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang
menyangkut jenis apresiasi atau minat (Fitri, 2012: 87-88).
Nilai yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini mengacu
pada nilai-nilai pendidikan karakter yang berpedoman pada bukunya Zainal
yang dikembangkan oleh Kemendikbud, meliputi: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan
tanggung jawab.
b. Pendidikan Karakter
Menurut Megawangi (2004: 95) pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Sedangkan menurut Azzel (2011: 10) pendidikan karakter adalah
pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling) dan tindakan (action).
Artinya, pendidikan karakter adalah usaha yang bertujuan untuk
menciptakan generasi yang memiliki kepribadian unggul, baik dalam
pengetahuan, perasaan dan tindakan.
c. Konsep Trikon
Menurut Ki Hajar Dewantara upaya kebudayaan (pendidikan) dapat
ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu:
1) Kontinuitas: garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan
“lanjutan atau terusan” dari hidup kita di zaman lampau, jangan
2) Konvergensi: keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi)
karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa
lain.
3) Konsentrisitas: sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia,
janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (Dewantara, t.t.: 228).
Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep
Trikon adalah nilai-nilai karakter yang merupakan hasil dari analisis terhadap
konsep Trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Nilai-nilai
tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
2. Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebelumnya, peneliti akan mulai menegaskan dari istilah pendidikan.
Pendidikan berasal dari bahasa Inggris yaitu Education. Dalam Oxford
Learner’s Pocket Dictionary (2011: 143) education artinya “process of
teaching, training and learning” (proses mengajar, melatih dan
pembelajaran). Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (1994: 20)
pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai
untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta
memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya.
Ahmad Marimba (1986: 19) mendefinisikan Pendidikan Agama Islam
(PAI) merupakan bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Sedangkan menurut Ramayulis (2005: 21)
pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa,
berakhlak mulia, mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci
Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta
pengalaman.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama
Islam (PAI) adalah bimbingan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik
untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik lahir maupun batin
menuju pribadi yang utama (insan kamil) dengan mengacu pada pokok ajaran
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
F. Kajian Pustaka
Setelah mengadakan kajian pustaka, peneliti menemukan ada beberapa
peneliti yang sebelumnya telah membahas tentang pendidikan karakter. Maka,
kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian-kajian yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya. Berikut akan dipaparkan beberapa penelitian
1. Tesis Nursida A. Romeon, dengan judul “Relevansi Konsep Pendidikan Ki
Hajar Dewantara Dengan Konsep Pendidikan Islam (2011)” Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini
menujukkan bahwa konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan
konsep pendidikan Islam. Kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar
kemanusiaan (fitrah), yang bermaksud melahirkan generasi yang merdeka
lahir dan batin.
2. Nur Anisah, dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar
Dewantara (2015)” Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Salatiga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan
proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa.
3. Riska Hidayati, dengan judul “Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara Dalam
Perspektif Pendidikan Islam (2016)” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
IAIN Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan konsep
Trikon sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu menciptakan warga
negara yang baik, berbudi luhur, dan berpegang teguh dengan ajaran agama
serta kebudayaan bangsa.
4. Khairil Anam, dengan judul“Analisis Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara
Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (Studi Kasus Masyarakat
Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa konsep Trikon
yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sebagai strategi untuk meneguhkan
kebudayaan masih terlihat relevan untuk digunakan sebagai rujukan dalam
kajian ilmiah baik bersifat teoritis maupun praktis. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya bukti bahwa secara eksplisit apa yang terjadi di masyarakat Baduy luar
merupakan wujud dari upaya implementasi konsep Trikon.
Dalam tesisnya, Nursida A. Romeon mengatakan bahwa konsep
pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan konsep pendidikan Islam. Secara
prinsip, kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar kemanusiaan yang
dalam dunia pendidikan Islam atau ajaran Islam disebut dengan fitrah. Kedua
konsep tersebut bermaksud melahirkan generasi yang merdeka lahir dan batin,
berwawasan, berakhlak dan bertakwa kepada penciptanya. Oleh karena itu, baik
tujuan dan metode pendidikannya pun juga memiliki kesamaan.
Hasil penelitian Nursida diperkuat oleh Nur Anisah yang menyatakan
bahwa dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara itu juga ada maksud
pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang merupakan proses pemberian
tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang
berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa. Mengenai konsep pendidikan
karakter, Nur Anisah menjelaskan lebih rinci lagi bahwa dalam sistem
pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara itu ada beberapa poin
penting: Pertama, memiliki lima asas pokok yang disebut dengan “Pancadharma
kebangsaan dan kemanusiaan. Kedua, tujuan pendidikannya adalah mendidik
rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader
yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar
dengan bangsa lain dan membantu memperluas jangkauan pendidikan dan
pengajaran. Ketiga, pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral
knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara
menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Keempat,
ada tiga pusat pendidikan (trisentra pendidikan) yang memiliki peranan besar,
yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Lain halnya dengan Riska Hidayati, dalam skripsinya ia lebih memilih
mengambil satu poin dalam beberapa konsep pendidikan yang digaungkan oleh
Ki Hajar Dewantara. Ia meneliti tentang konsep Trikon Ki Hajar Dewantara
dalam perspektif Islam. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa konsep Trikon
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam. Karena untuk mengamalkan
Trikon Ki Hajar Dewantara diperlukan pembelajaran melalui proses pendidikan
dengan cara pendidik menyajikan materi disertai metode pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan materi yang diajarkan, agar peserta didik mudah menerima
dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik tersebut.
Khairil Anam nampaknya memilih jalur yang berbeda dari para peneliti
lainnya. Ia memilih menganalisis konsep Trikon Ki Hajar Dewantara terhadap
wujud dari upaya implementasi konsep Trikon. Pertama, adanya unsur budaya
baru yang diterima oleh masyarakat Baduy luar dalam penggunaan teknologi
informasi modern dari yang sebelumnya masih menggunakan peralatan
tradisional (kontinuitas atau perkembangan ke arah lanjutan dari budaya lama ke
budaya baru). Kedua, proses konvergensi terjadi akibat faktor geografis yang
memungkinkan terjadinya interaksi secara intensif dengan masyarakat luar
Baduy sehingga memengaruhi kebutuhan pada peralatan teknologi informasi
modern sampai terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya. Ketiga, konsentris
terjadi setelah terjadinya konvergensi budaya masyarakat Baduy luar dengan
masyarakat luar Baduy, namun tidak sekaligus memengaruhi hilangnya
nilai-nilai kepribadian mayarakat setempat karena lekatnya aturan pikukuh masyarakat
Baduy luar. Sehingga kehadiran peralatan teknologi informasi modern diawasi
tingkat penggunaannya sebatas pada media komunikasi dan informasi saja.
Secara umum, keempat literatur di atas memiliki kesamaan dengan topik
penelitian ini yaitu sama-sama membahas pemikiran Ki Hajar Dewantara, baik
dari segi pendidikan karakter dan konsep kebudayaan (Trikon). Namun, berbeda
dengan hasil penelitian dari Khairul Anam. Penelitiannya memang membahas
analisis konsep Trikon tetapi, lebih spesifik dalam ranah kebudayaan daerah
Baduy Luar.
Dari beberapa literatur tersebut belum ada yang membahas sepenuhnya
tentang nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya
perbedaan antara literatur penelitian terdahulu dengan tema penelitian yang akan
dibahas ini. Karena masing-masing literatur memiliki perbedaan dalam
pembahasan, pendekatan dan cara pandang. Sehingga semua kajian pustaka di
atas dan penelitian yang disampaikan ini diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan bagi pendidikan di Indonesia.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan studi pustaka (library research). Menurut Moleong
(2009: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata.
Sedangkan penelitian dengan pendekatan studi pustaka adalah suatu
jenis karangan ilmiah yang mencakup berbagai macam pendapat atau
pandangan para pakar seputar masalah penelitian, penelaahan dan
perbandingan pendapat hingga penarikan kesimpulan dari berbagai literatur
(Haryanto, 2000: 78). Sumber lain mengatakan bahwa penelitian jenis studi
pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat dan mengolah data penelitian
pendidikan karakter. Adapun literatur yang dijadikan sumber adalah
buku-buku yang relevan, jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah dan
sebagainya terkait dengan topik penelitian ini.
Alasan dipilihnya jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan
kualitatif karena topik penelitian ini merupakan kajian pemikiran seorang
tokoh pendidikan yang telah banyak memberikan sumbangan
gagasan-gagasan monumental yang berkaitan dengan pendidikan nasional. Penelitian
ini akan membahas pemikiran seorang tokoh pendidikan tentang nilai-nilai
pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI).
2. Objek atau Sasaran yang Diteliti
Sesuai dengan pokok masalah yang akan dibahas, maka objek atau
sasaran yang akan diteliti adalah:
a. Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
b. Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan
Agama Islam (PAI)
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis metode pengumpulan data berupa
dokumentasi, yaitu menghimpun literatur yang berkaitan dengan topik
penelitian ini. Menurut Arikunto (2010: 274) metode dokumentasi yaitu
jurnal, majalah, hasil seminar, surat kabar, buku dan sebagainya. Adapun
sumber data yang digunakan meliputi:
a. Data Primer
Data primer adalah hasil-hasil penelitian atau hasil karya konseptis
yang orisinil (Hajar, 1996: 83). Dalam hal ini, buku karya Ki Hajar
Dewantara Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan, 1994,
Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain
yang tidak diperoleh dari sumber primer (Nasution, 2001: 143). Dengan
kata lain, data sekunder secara tidak langsung membahas konsep-konsep
utama dalam penelitian, hanya bersifat pelengkap. Adapun data sekunder
tersebut berupa buku-buku yang relevan, artikel ilmiah, jurnal, arsip dan
dokumen resmi lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini,
buku-buku yang relevan dengan permasalahan di atas, antara lain:
1) Dharma Kesuma dkk,. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
2) H. A. R. Tilaar. 2000. Paradigma baruPendidikan Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta.
3) Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
4) Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Al-Ma’arif.
5) Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan
Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa).
Bandung: CV Pustaka Setia.
4. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, tahap selanjutnya adalah menganalisis
data. Sugiyono (2008: 89) menyampaian bahwa analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang mudah dipahami diri
sendiri maupun orang lain. Selain itu, Flick dalam bukunya The SAGE
Handbook of Qualitative Data Analysis (2013: 5) menyampaikan bahwa
“Qualitative data analysis is the classification and interpretation of linguistic
(or visual) material to make statements about implicit and explicit dimensions
and structures of meaning-making in the material and what is represented in
it.” Analisis data kualitatif adalah klasifikasi dan interpretasi materi linguistik
(atau visual) untuk membuat pernyataan tentang dimensi dan struktur implisit
dan eksplisit dalam pembuatan makna dalam materi dan apa yang terwakili di
Dalam tahap ini, peneliti menggunakan metode analisis isi (content
analysis). Denzin (2011: 785) dalam bukunya Handbook of Qualitative
Research menyebutnya dengan classical content analysis:
“Classical conten analysis comprises techniques for reducing texts to a unit-by-variable matrix and analyzing that matrix quantitatively to test hypotheses.” Analisis isi menggabungkan teknik untuk mengurangi tes ke matriks satuan per variabel dan menganalisis matriks tersebut secara kuantitatif untuk menguji hipotesis.
Artinya, peneliti melakukan pengkodean terhadap paparan data hasil
temuan yang mengandung unsur nilai-nilai pendidikan karakter. Kemudian,
peneliti menganalisis dan setelah itu menarik kesimpulan dari data tersebut.
Namun dalam penelitian ini, peneliti cenderung menggunakan pendapat dari
Flick.
Berdasarkan definisi di atas, kegunaan analisis data adalah untuk
keperluan mendeskripsikan secara obyektif, kritis dan sistematis tentang
analisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon yang merupakan
manifestasi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter.
Dalam buku karyanya, Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan
mengungkapkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan adalah satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, sedangkan dalam pendidikan Islam Ki
Hajar Dewantara memang tidak menyatakan secara eksplisit dalam
karya-karyanya. Tetapi secara implisit dalam bentuk indikasi-indikasi yang
untuk dapat memahaminya, perlu dilakukan analisis isi atas pesan yang
terkandung dalam indikasi-indikasi tersebut.
5. Tahap-Tahap Analisis Data
Upaya untuk menelaah dan mengartikan ide atau gagasan mengenai
“Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon” dari sosok Ki Hajar
Dewantara yaitu dengan melakukan analisis secara mendalam untuk
memperoleh hasil yang maksimal dan mencapai kriteria metode content
analysis. Maka, tahap-tahap analisis data akan dilakukan dengan tiga langkah,
yaitu:
a. Reduksi data (data reduction) meliputi proses pemilihan data, pemusatan
pada penyederhanaan data, abstraksi dan transformasi data. Maksudnya
adalah menelaah ide konsep Trikon dalam pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara. Selanjutnya, melakukan pemahaman secara mendalam apa saja
nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan bagaimana
relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam.
b. Penyajian data (data display) : deskripsi kumpulan informasi tersusun yang
memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification)
: dari hasil pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap data yang
diperoleh dari catatan dan melakukan verifikasi atas data tersebut (Salim,
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam memahami isi dari penelitian
ini, maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Bagian Awal
Bagian awal meliputi: sampul, halaman judul, lembar berlogo,
pernyataan keaslian tulisan dan publikasi, nota pembimbing skripsi,
pengesahan kelulusan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan
daftar isi.
2. Bagian Inti
BAB I: PENDAHULUAN, memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian
pustaka, penegasan istilah dan sistematika penulisan.
BAB II: BIOGRAFI, memuat riwayat hidup Ki Hajar Dewantara, peran
sosial Ki Hajar Dewantara, karya-karya Ki Hajar Dewantara.
BAB III: DESKRIPSI PEMIKIRAN, dalam bab ini akan membahas dua poin
penting untuk menjawab rumusan masalah, yaitu:
A.Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
B.Pendidikan Agama Islam (PAI)
BAB IV: PEMBAHASAN, memuat hasil analisis kritis terhadap dua poin
penting dalam tema penelitian ini, meliputi:
B.Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI)
BAB V: PENUTUP, berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan
saran-saran dari penulis sebagai sumbangan pemikiran berdasarkan
konsep dan hasil penelitian yang telah diperoleh.
3. Bagian Akhir
Bagian akhir memuat: daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar
BAB II
BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA
Sosok Ki Hajar Dewantara sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Ki
Hajar Dewantara adalah tokoh pejuang yang pantang menyerah, seorang pemimpin
yang memimpin anak buahnya, seorang yang peduli terhadap dunia pendidikan dan
telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik, sosial dan
budaya. Sehingga Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai seorang pejuang yang
tangguh, pendidik sejati sekaligus menjadi budayawan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara juga sangat disegani oleh masyarakat luas karena
kesederhanaannya. Meski beliau adalah seorang keturunan berdarah biru, tetapi
beliau tidak segan bergaul dengan masyarakat awam di luar lingkungan tempat
tinggalnya termasuk dengan hamba sahayanya.
A.Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara
1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889
(Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330). Ki Hajar Dewantara
adalah putra ke-5 Pangeran Soeryaningrat putra dari Sri Paku Alam III. Pada
waktu dilahirkan ia diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena ia masih
keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) kemudian nama
8-dengan Sunan Kalijaga. Maka, sebagai keturunan Keraton Yogyakarta
sekaligus ulama’, Ki Hajar Dewantara dibesarkan dan dididik dalam
lingkungan keluarga yang religius dan budaya Jawa yang kental (Desmon,
2007: 219).
2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara
Masa muda Ki Hajar Dewantara diisi dengan kegiatan untuk
menambah pengetahuan dan wawasannya, karena ia termasuk anak yang sangat
haus akan pengetahuan. Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah
Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah.
Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Dengan demikian, Ki Hajar
Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara adalah saudara sepupu (Samho dan
Yasunari, 2010: 12). Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat
ke tempat pengasingan di Belanda, pernikahannya diresmikan secara adat dan
sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta (Harahap dan Sukowati, 1980:
12). Jadi, Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara sama-sama cucu dari
Paku Alam III atau satu garis keturunan.
Wawasan beliau sangat luas, kreatif, dinamis, jujur, sederhana,
konsisten, konsekuen dan berani. Tidak heran jika Ki Hajar Dewantara disegani
dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan. Semua itu didapat Ki Hajar
Dewantara dari kerajinan menuntut ilmu di sekolah dan juga pengalaman yang
lingkungan keraton, Ki Hajar Dewantara juga mendapat pendidikan formal,
antara lain:
a. ELS (Europeesche Legere School)
Sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran. ELS merupakan Sekolah Rendah Eropa yang diperuntukkan
bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh
terkemuka (Desmon, 2007: 211).
Tahun 1896, Suwardi masuk sekolah Belanda yaitu Europeesche
Legere School (ELS). Sekolah ini adalah sekolah dasar untuk anak-anak
keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka
saja. Karena Suwardi adalah cucu Paku Alam III, maka beliau dapat masuk
di ELS (Sagimun, 1974: 7). Pada saat berada di kelas lima, ternyata Suwardi
sudah pandai mendeklamasikan syair-syair berbahasa Belanda. Gurunya
sangat memuji dan mengagumi kepandaian Suwardi. Meskipun demikian,
Suwardi tidak pernah lupa daratan dan menjadi “kebarat-baratan”. Di rumah,
Suwardi tetap ikut bermain bersama anak-anak kampung, ikut belajar menari
dan menabuh gamelan. Suwardi kecil juga sudah menampakkan watak
peduli sosial dengan gemar membagi kepandaiannya dengan
teman-temannya.
menamatkan pendidikannya di ELS. Ia pun melanjutkan pendidikan di
Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta
Kweek School merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk
guru pada zaman kolonial belanda dengan pengantar Bahasa Belanda
(Desmon, 2007: 211).
Setelah menamatkan pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara
melanjutkan pendidikan di Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
Namun, Ki Hajar Dewantara hanya sempat belajar selama satu tahun. Sebab,
pada tahun 1905, Ki Hajar Dewantara menerima beasiswa dari pemerintah
Belanda untuk belajar di Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia (Jakarta)
(Bambang, 1981: 24).
c. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen)
STOVIA adalah sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Selama
masa pendidikan di STOVIA, Ki Hajar Dewantara sangat tekun belajar.
Pergaulannya di STOVIA dengan pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang
berbeda bahasa, membuat rasa kebangsaannya semakin dalam dan semangat
perjuangan untuk memperbaiki nasib bangsanya juga semakin meningkat. Di
Jakartalah, Ki Hajar Dewantara mulai merasakan suasana Bhineka Tunggal
Selama tahun 1905-1909, Ki Hajar Dewantara menjadi murid
STOVIA. Beasiswanya kemudian dicabut karena ia tidak naik kelas karena
sakit sakit selama empat bulan (Gunawan, 1992: 302-303). Terpaksa Ki
Hajar Dewantara harus meninggalkan sekolah karena tidak dapat
membiayainya. Namun, direktur STOVIA memberikan surat keterangan
istimewa kepadanya atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Walaupun Ki
Hajar Dewantara tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Ki
Hajar Dewantara memperoleh banyak pengalaman baru. Sebagai pelajar di
STOVIA, Ki Hajar Dewantara harus masuk asrama yang telah disediakan.
Di asrama pelajar STOVIA juga berlaku peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh penghuninya (Sagimun, 1974: 8).
Ki Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA pada tahun 1909, karena
biaya untuk meneruskan pendidikan tidak mencukupi, Ki Hajar Dewantara
lalu bekerja di pabrik gula di Banyumas. Kemudian, pada tahun 1919 Ki
Hajar Dewantara kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai asisten
apoteker di apotik Rathkap. Pekerjaan rutin rupanya tidak cocok baginya
(Harahap dan Dewantara, 1980: 6). Kemudian, ia bekerja sebagai wartawan
di beberapa surat kabar, antara lain De Express milik Douwes Dekker
(1913), Utusan Hindia dan Kaum Muda (Sukowati, 1981: 48). Sebagai
penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat
dan politik mulai berkobar-kobar dan bakat jurnalistiknya berkembang
dengan pesat (Harahap dan Dewantara, 1980: 6).
3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara sering bergaul dengan masyarakat dari kalangan
menengah ke bawah, sehingga pada usia 40 tahun ia mengubah nama dari
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Dengan
demikian, Ki Hajar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat dan lebih
dekat dengan lingkungannya yang mayoritas adalah orang biasa (baca:
menengah ke bawah).
Maksud Ki Hajar Dewantara mengubah namanya itu karena ingin
menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari
satria pinandita ke pinandita satria yang berarti dari pahlawan yang berwatak
guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri
dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (Djumhur, 1974: 169).
Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya
hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang
mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam
mengantar bangsanya ke alam merdeka (Hariyadi, 1989: 39).
Di usia dewasa, kesadaran politik Ki Hajar Dewantara semakin
matang. Pada masa itu, tanah air Indonesia sedang dilanda suasana kebangkitan
nasional. Gagasan dan pikiran Dr. Wahidin Sudiro Husodo untuk memajukan
kaum muda. Kemudian, pada tanggal 20 Mei 1908 atas usaha-usaha pelajar
STOVIA yang dipelopori oleh R. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo maka
berdirilah Budi Utomo. Dengan berdirinya Budi Utomo, maka mulai timbul
pergerakan nasional di tanah air Indonesia. Budi Utomo merupakan organisasi
pergerakan rakyat pertama yang mempunyai pengurus dan anggota yang tetap
serta mempunyai tujuan dan rencana keerja yang disusun dengan baik dan rapi
(Sagimun, 1974: 8).
Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang
pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan kongres
tersebut. Dalam kongres tersebut, kaum muda dan kaum tua berunding untuk
membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah pengurus besar Budi Utomo
dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya. Namun, dalam kongres tersebut
terjadi pertentangan paham antara golongan “Revolusioner Nasionalis” dengan
golongan “konservatif”. Tahun itu juga, Ki Hajar Dewantara meninggalkan
Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara pindah ke Syarekat Islam. Awalnya Ki Hajar
Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang
Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad Zain.
Tahun 1912, akhirnya Ki Hajar Dewantara menggabungkan diri pada Dokter
Douwes Dekker dan Dokter Cipto Mangunkusumo yang bergerak dalam
Indische Partij (Soeratman, 1982: 35).
pribumi Indonesia saja tetapi menerima siapa saja yang lahir di Indonesia dan
mencintai Indonesia sebagai tanah airnya. Indische Partij sendiri berdiri pada
06 September 1912 dengan Douwes Dekker sebagai ketua, dr. Cipto
Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar Dewantara sebagai sekretaris
(tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36). Indische Partij menjadi partai politik
yang pertama kali dikenal oleh orang Hindia Belanda.
Tujuan dari Indische Partij adalah:
a. Mempersatukan bangsa Hindia Belanda dalam satu kesatuan
kebangsaan Hindia (Indonesia)
b. Memperjuangkan kemerdekaan Hindia (Indonesia) yang bebas dari
penjajahan Belanda (Bambang, 1989: 58)
Tujuan yang diperjuangkan oleh Indische Partij jelas sangat berbahaya
dan merupakan ancaman yang besar bagi Kolonial Belanda. Karena, tujuan
yang hendak diwujudkan Indische Partij bertentangan dengan tujuan Kolonial
Belanda. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengakui
Indische Partij sebagai badan hukum. Jadi, sebagai partai, Indische Partij tidak
dilarang akan tetapi permohonan untuk diakui sebagai badan hukum ditolak
oleh pemerintah Hindia Belanda (Sagimun, 1974: 10).
Tiga serangkai itu menjelajahi Pulau Jawa untuk mengenalkan
Indische Partij. Penjelajahan itu mencapai sukses besar karena banyak pribumi
dan non pribumi (Cina, Arab dan Belanda) yang ikut bergabung menjadi
gerakan nasional Indische Partij ternyata menggemparkan masyarakat dan
menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Kolonial Belanda (Harahap dan
Dewantara, 1980: 4).
Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai
ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris
mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah
untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes pengadaan perayaan
memperingati kemerdekaan Kerajaan Belanda (Soeratman, 1982: 40). Komite
Bumi Putra melalui Ki Hajar Dewantara meluncurkan serangan yang pedas
dengan menulis sebuah artikel yang berjudul “Als ik eens een Nederlander was”
(jikalau seandainya saya seorang Belanda). Artikel itu berisi kecaman terhadap
orang-orang Belanda yang hendak merayakan kemerdekaan Kerajaan Belanda
di tengah bangsa Indonesia yang terjajah. Pemerintah Hindia Belanda sangat
gelisah dan tersindir dengan tulisan Ki Hajar Dewantara (Soeratman, 1982: 41).
Dr. Cipto Mangunkusumo juga menulis dalam surat kabar “De
Expresi” dengan judul tulisan “Kekuatan atau Ketakutan?”. Tulisan tersebut
menerangkan bahwa tindakan pemerintah Hindia Belanda itu lebih
menunjukkan adanya ketakutan. Kemudian, Ki Hajar Dewantara kembali
menulis artikel dengan judul “Satu untuk semua tapi juga semua untuk satu”
dalam surat kabar yang sama. Dr. Douwes Dekker juga mengikuti sepak terjang
Akibat dari tulisan-tulisan itu, ketiga pemimpin Indische Partij itu
akhirnya ditangkap dan ditahan. Pada tanggal 18 Agustus 1913, keluarlah surat
keputusan dari wali negara untuk tiga orang pemimpin tersebut. Ketiganya
dikenakan hukuman pembuangan, yaitu:
a. R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewanntara) dibuang ke Pulau
Bangka
b. Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira
c. Dr. E.F.E. Douwes Dekker dibuang ke Kupang
Setelah putusan pemerintah dijatuhkan, ketiga pemimpin tersebut
diberikan kesempatan untuk mengganti hukuman dengan memilih daerah
pengasingan sesuai kehendak mereka sendiri. Ketiga pemimpin tersebut
memilih Negara Belanda sebagai pengganti tempat pengasingan. Pada 06
September 1913, tepat hari ulang tahun pertama Indische Partij, ketiga
pemimpinnya pergi meninggalkan tanah air menuju tempat pengasingan
(Soeratman, 1982: 45-46).
Kegiatan politik Ki Hajar Dewantara tetap diteruskan di Negeri
Belanda. Ki Hajar Dewantara tetap berjuang untuk menjadi kemerdekaan
Indonesia. Ki Hajar Dewantara kemudian aktif dalam Indiche Vereniging
sebuah organisasi pelajar Indonesia di Negeri Belanda. Kemudian berubah
nama menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I.). Indiche Vereniging atau
Perhimpunan Indonesia ini menerbitkan sebuah majalah yang bernama “Hindia
diasingkan, Ki Hajar Dewantara terus bergerak memperjuangkan cita-cita
bangsanya untuk menjadi Indonesia yang merdeka. Bahkan selama di Negeri
Belanda, Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh akte guru Eropa
(Europeesche akte). Di tempat pembuangan, Ki Hajar Dewantara mengenal
pula aliran-aliran pendidikan yang terkenal, antara lain: Jan Lighthart, Maria
Montessori, Rudolf Rabbinranath Tagore (Sagimun, 1974: 18-19).
Kemudian, setelah selesai masa hukuman, pada tahun 1919 tiga
serangkai tesebut kembali ke tanah air. Begitu sampai di tanah air, Ki Hajar
Dewantara kembali memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berkali-kali Ki
Hajar Dewantara harus berhadapan dengan polisi Kolonial Belanda.
Pidato-pidato dan tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,
Ki Hajar Dewantara dimasukkan ke dalam penjara (Sagimun, 1974: 20).
Setelah keluar dari penjara, Ki Hajar Dewantara tinggal di Yogyakarta.
Pemerintah Belanda menjadi semakin keras terhadap pergerakan rakyat
Indonesia, maka Ki Hajar Dewantara meninggalkan dunia politk dan memasuki
dunia pendidikan yaitu sekolah “Adidarma” milik kakaknya R.M.
Suryopranoto. Setelah mempunyai pengalaman mengajar selama satu tahun dan
sudah mengenal perihal pendidikan dan pengajaran. Muncul sebuah gagasan
baru. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa mewujudkan kemerdekaan nusa
dan bangsa tidak hanya dicapai melalui jalan politik tetapi juga bisa melalui
menyelenggarakan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya
(Soeratman, 1982: 56).
Pada tahun 1921, Ki Hajar Dewantara terjun ke dunia pendidikan
nasional. Ki Hajar Dewantara berusaha mencapai kemerdekaan Indonesia
melalui pendidikan nasional. Ternyata, Ki Hajar Dewantara lebih berbakat dan
berhail dibidang pendidikan
Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tanggal 28
November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional’.
Kemudian, pada tanggal 16 Desember 1959 pemerintah menetapkan tanggal
lahir Ki Hajar yaitu 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan
keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 (Dewantara, 1962: 13).
Ki Hajar Dewantara mangkat pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya
Mujamuju Yogyakarta (Dewantara, 1962: 137). Jenazah Ki Hajar Dewantara
dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, diserahkan
kepada Majlis Luhur Taman Siswa. Jenazahnya kemudian dimakamkan di
Wijaya Brata, Yogyakarta (Desmon, 2007: 219).
4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara memiliki riwayat organsisasi sebagai berikut:
a. Budi Utomo 1908 (Soeratman, 1982: 35)
Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang
pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan
berunding untuk membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah
pengurus besar Budi Utomo dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya.
b. Syarekat Islam cabang Bandung 1912 (Soeratman, 1982: 35)
Ki Hajar Dewantara pindah dari Budi Utomo ke Syarekat Islam karena
dalam kongres yang diselenggarakan oleh Budi Utamo terjadi pertentangan
antara dua golonga, revolusioner nasionalis dan konservatif. Awalnya Ki
Hajar Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang
Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad
Zain.
c. Pendiri Indische Partij, 06 September 1912 bersama Douwes Dekker dan
Cipto Mangunkusumo (Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330)
Indische Partij adalah partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia. Indische Partij didirikan oleh Douwes Dekker
sebagai ketua, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar
Dewantara sebagai sekretaris (tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36).
d. Pendiri Komite Bumi Putra
Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai
ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris
mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah
e. Pendiri National Onderwijis Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional
Taman Siswa) pada 3 Juli 1922 (Kumalasari, 2000: 49)
Setelah mengalami hukuman berulang kali, Ki Hajar Dewantara
meninggalkan dunia politik dan berkhidmat pada dunia pendidikan. Ki Hajar
Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Perguruan
Taman Siswa menekankan rasa kebangsaan atau cinta tanah air pada setiap
peserta didiknya (Musyafa, 2015: 266).
Penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh Ki Hajar
Dewantara, antara lain:
a. Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya yaitu 2 Mei dijadikan sebagai
hari Pendidikan Nasional
b. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama
c. Pahlawan pergerakan Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI
No. 316 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959)
d. 19 Desember 1956 mendapat gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu
kebudayaan dari Universitas Gajah Mada
e. 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan
(Irna dan Soewito, 1985: 132)
f. Tanggal 8 Mei 1959, Ki Hajar ditetapkan pemerintah sebagai perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia
g. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok Yoku Sanyo
B.Peran Sosial Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk
bisa memperoleh pendidikan seperti para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Pada tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai
“Pahlawan Nasional” karena pengabdian dan perjuangannya bagi bangsa dan
negara Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Kemudian, pada tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara yaitu
tanggal 02 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan
Presiden RI No. 316 tahun 1959 (Taman Siswa, 1977: 13).
1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa
melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan dan
berjiwa merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Pergerakan Ki Hajar
Dewantara ini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada
budaya bangsa sendiri diakui oleh bangsa Indonesia. Perannya untuk
mendobrak tatanan pendidikan kolonial untuk diganti dengan sistem pendidikan
memperhatikan tertib damainya hidup bersama (Hariyadi, 1989: 42). Untuk
merealisasikan gagasannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah sendiri
yang diberi nama “Perguruan Taman Siswa”. Atas perjuangannya ini akhirnya
menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan
Teori pendidikan di Taman Siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta nilai-nilai
yang terkandung dan digali dari masyarakat di lingkungannya. Dalam dimensi
kebudayaan ini, Ki Hajar menerapkah konsep “Trikon”, yaitu:
“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif-adaptif dengan Pancasila sebagai tolak ukurnya.” (Djumhur dan Suparta, 1976: 174)
Sikap selektif-adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut
harus memilih yang baik dalam rangka upaya memperkaya kebudayaan sendiri,
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan
Pancasila sebaga tolak ukurnya. Sebab, semua nilai budaya asing perlu diamati
secara selektif. Semisal ada unsur kebudayaan asing yang bisa memperindah,
memperhalus dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi
jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak.
Hal ini bermaksud agar masuknya unsur kebudayaan asing dapat menjadi
Betapa gigihnya Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan dan
mengembangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itulah Rektor
Universitas Gajah Mada, Sarjito, menganugerahkan gelar kehormatan Doctor
Honoris Causa (DR-HC) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara
pada saat Dies Natalis yang ke-VII tanggal 19 Desember 1956. (Sukowati,
1989: 76).
3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat
Dalam memimpin rakyat, Ki Hajar Dewantara menggunakan teori
kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang
berkembang di masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah “Ing Ngarsa
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, artinya
didepan seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak
buahnya, ditengah (dalam masyarakat) seorang pemimpin harus mampu
membangkitkan semangat dan tekat anak buah dan dibelakang harus mampu
memberikan dorongan dan semangat anak buah (Taman Siswa, 1992: 19-20).
Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang demokratis dan mampu
memanusiakan manusia. Ia tidak senang terhadap kesewenang-wenangan dari
seorang pemimpin. Ia selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain
sesuai dengan harkat martabatnya. Ia juga mengajarkan agar menerima segala
kekurangan dan kelebihan orang lain dengan cara saling mengisi, memberi dan
Karya-karya Ki Hajar Dewantara telah memberikan sumbangsih
terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya:
1. Buku bagian I tentang pendidikan
Buku ini membicarakan gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan, antara lain: Pendidikan Nasional yang menurut paham
Taman Siswa adalah pendidikan yang berlandaskan garis hidup bangsa
Indonesia (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan
yang dapat mengangkat derajat rakyat dan negaranya,agar dapat bekerja sama
dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia. tri pusat pendidikan
yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan
kanak-kanak, pendidikan sistem pondok, adab dan etika serta pendidikan dan
kesusilaan.
Kemudian, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan
dikelompokkan menjadi tujuh bab yaitu bab tentang pendidikan nasional,
politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan
keluarga, ilmu Jawa, ilmu adab dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39
judul artikel. Jumlah artikel terbanyak terdapat pada bab politik pendidikan
(Harahap dan Dewantara, 1980: 5).
Pada buku bagian pertama ini dapat diketahui betapa luasnya
penguasaaan Ki Hajar Dewantara terhadap praksis pendidikan. Mulai dari
anak-anak di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan pendidikan
bahasa.
2. Buku bagian II tentang kebudayaan
Buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan kesenian,
antara lain: Asosiasi Antara Barat dan Timur, Pembangunan Kebudayaan
Nasional, Perkembangan Kebudayaan di Zaman Merdeka, Kebudayaan
Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan
Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan sebagainya.
Pada buku bagian kedua ini dapat diketahui luasnya minat Ki Hajar
Dewantara terhadap tema-tema budaya. Berdasarkan pada sikap nasionalisme,
beliau berupaya untuk menggagas konsep kesatuan kebudayaan, ungkapnya,
“Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan
kebudayaan, hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin
dan tidak perlu dipersatukan, cukuplah hanya menyatukan pokok-pokoknya
saja
(http://pedagogikritis.wordpress.com/2011/12/14/ki-hadjar-dewantara-peletak-dasar-pendidikan-indonesia diakses pada tanggal 15 Maret 2018 pukul
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Sebelum isu pendidikan karakter menjadi tema utama yang dibahas oleh
Kementerian Pendidikan dan Budaya dalam rangka memperingati Hari Pendidikan
Nasional tahun 2010, Ki Hajar Dewantara telah lebih dulu berpikir dalam masalah
pendidikan karakter. Pemikiran tersebut muncul sebagai wujud ketidaksepakatan
terhadap sistem pendidikan yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.
Ketidaksepakatan itu muncul karena orientasi sistem pendidikan Kolonial Belanda
hanya menonjol pada segi intelektual tanpa melihat dari segi lainnya, misal dari segi
pendidikan karakter (budi pekerti). Sehingga, generasi yang dihasilkan dari sistem
tersebut dikhawatirkan hanya akan melahirkan manusia yang jumawa dan durjana.
Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan mampu menghasilkan
manusia yang berbudi luhur dan berguna bagi masyarakat. Sebab, kecerdasan
intelektual bukan hal yang utama dalam pendidikan. Akan tetapi, bagaimana
menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter mulia. Inilah tujuan utama dari
pendidikan. Oleh karena itu, untuk menumbuh-kembangkan kehalusan karakter (budi
pekerti) Ki Hajar Dewantara mempunyai konsep tentang pendidikan karakter yang
dikembangkan dalam Perguruan Taman Siswa. Konsep tersebut adalah sebagai
berikut:
A.Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon