• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA KONSEP TRIKON DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA KONSEP TRIKON DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

PADA KONSEP TRIKON DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

Nadhilla Cahyaning Putri Pembayun

NIM : 111-14-140

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH Dan ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”

(Ki Hajar Dewantara)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibuku tersayang, Winarno dan Siti Alfiah yang selalu membimbingku,

memberikan doa, nasihat, kasih sayang dan motivasi dalam kehidupanku.

2. Adikku, Raras Luthfi Hanif Ghania.

3. Sahabat dan teman dekatku yang selalu memberikan doa dan motivasi kepadaku

serta membantu menyelesaikan skripsi ini.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penulis ucapkan kepada Allah swt

yang selalu memberikan nikmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis.

Sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Nilai-Nilai

Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap

Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara) Tahun 2018.

Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang selalu setia

dan menjadikannya suri tauladan. Penulisan skripsi ini, tidak akan terselesaikan tanpa

bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Suwardi, M.Pd.

3. Ibu Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga, Siti Rukhayati, M.Ag.

4. Bapak Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd., selaku pembimbing akademik.

5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd., selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing

dengan ikhlas, mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk penulis sehingga

skripsi ini terselesaikan.

(9)

7. Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Maka, kiritk dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga

hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada

umumnya. Amin.

Salatiga, 20 Maret 2018

Nadhilla Cahyaning Putri P.

(10)

ABSTRAK

Pembayun, Nadhilla Cahyaning Putri. 2018. 11114140. Analisis Nilai-Nilai

Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara).

Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Jaka Siswanta, M.Pd.

Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Karakter, Konsep Trikon, Pendidikan Agama Islam

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon Ki Hajar Dewantara dan melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga, harapannya mampu membentuk generasi penerus bangsa yang berjiwa Indonesia (nasionalis) dan berbudi pekerti luhur.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon (2) mengetahui relevansi antara konsep Trikon terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research) dengan menggali pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang memiliki informasi serta relevan dengan topik penelitian ini. Adapun literatur tersebut berupa jurnal, laporan hasil penelitian, surat kabar, buku dan sebagainya. Referensi tersebut kemudian diolah dengan metode

Content Analysis (analisis isi) yang menekankan pada isi atau pesan yang dibangun secara objektif, sistematis dan generalisasi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa: (1) terdapat 5 nilai pendidikan karakter dalam konsep Trikon yang ditemukan melalui hasil analisis, meliputi: kreatif, toleran, bersahabat/komunikatif, semangat kebangsaan dan cinta

tanah air (2) Konsentrisitas, adanya kegiatan evaluasi dalam pengembangan

kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tiap tahap sebelum melanjutkan pada

tahap berikutnya. Konvergensi, Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan

bangsa menjadi maju dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan berbaur dengan kebudayaan dari bangsa lain. Jika dikaitkan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI), pengembangan dalam hal Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan mengambil berbagai sumber

praktik pendidikan dari bangsa lain. Konsentrisitas, Perpaduan antar budaya yang

saling menjalin kontak secara masif, tidak lantas kemudian menghilangkan ciri kepribadian budaya asli bangsa tersebut. Dalam pergaulan dengan bangsa lain tentu banyak pengaruh positif dan negatifnya untuk bangsa sendiri. Posisi Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional bersifat elastis yaitu memperbaiki dan mengontrol budaya-budaya yang secara prinsipil melenceng

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

G.Metodologi Penelitian... 18

H.Sistematika Penulisan ... 23

BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA A.Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara ... 25

1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara ... 25

2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara ... 26

3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara ... 29

4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara ... 36

(12)

1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik ... 39

2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan ... 40

3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat ... 41

C.Karya-Karya Ki Hajar Dewantara ... 42

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA A.Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ... 44

1. Pengertian Nilai ... 44

2. Pendidikan Karakter ... 45

a. Pengertian Pendidikan Karakter ... 45

b. Tujuan Pendidikan Karakter ... 52

c. Dasar Pendidikan Karakter ... 60

d. Metode Pendidikan Karakter... 65

3. Konsep Trikon ... 67

B. Pendidikan Agama Islam ... 72

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 72

2. Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 73

3. Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 74

4. Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 75

5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 76

BAB IV PEMBAHASAN A.Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ... 92

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, persoalan pentingnya pendidikan karakter terdengar sudah

tidak asing lagi. Istilah “Pendidikan Karakter” muncul dan menjadi tema utama

dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010: “Pendidikan Karakter

Untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Kala itu, Muhammad Nuh (Menteri

Pendidikan Nasional) mengatakan bahwa pembangunan dan pendidikan karakter

menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik

cerdas, tetapi pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun

dalam kehidupan (http://e-journal.upi.edu/

index.php/eduhumaniora/article/ view/2795/1824 diakses pada 28 November 2017 pukul 14:57 WIB).

(15)

Landasan pendidikan karakter sendiri termaktub dalam UU No. 20 tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab (Wiyani, 2013: 32).

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) menyatakan bahwa inti pendidikan karakter yaitu bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Namun, dalam mewujudkan pendidikan karakter, Azra seperti yang dikutip Musclih (2015: 77) menyampaikan bahwa hal itu tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter dan penting untuk ditanamkan, antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta

(16)

peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Salahudin dan

Alkrienciehie, 2013: 54-55).

Oleh karena itu, Islam sangat memuji budi pekerti (karakter) yang baik,

sehingga menyerukan kaum muslimin untuk membina dan mengembangkannya

di hati dan jiwa mereka. Islam menegaskan bahwa bukti ke-Islam-an adalah

dengan adanya budi pekerti yang baik. Selain itu, puncak derajat kemanusiaan

seseorang dinilai dari kualitas budi pekertinya. Seluas apapun kadar keilmuan

seseorang tentang Islam, sehebat apapun dirinya ketika melakukan ibadah, semua

itu tidak bisa menjamin. Tetap saja, alat ukur yang paling akurat untuk menilai

kemuliaan seseorang adalah kualitas budi pekertinya. Sebagaimana firman Allah

swt:

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

(Q.S. Al-Qalam, 68: 4)

Oleh karena itu pendidikan karakter perlu ditanamkan kepada anak

bahkan sejak anak masih usia dini, Allah swt juga telah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du, 13: 11)

Dalam ayat tersebut, ada dua perubahan. Pertama, perubahan pada

individu. Kedua, perubahan pada kelompok. Hikmah Allah swt telah mengatakan

(17)

keduanya saling berkaitan, perubahan pertama merupakan penyebab perubahan

kedua, sedangkan perubahan kedua merupakan hasil dari perubahan pertama.

Allah swt menghendaki agar perubahan yang pertama dilakukan oleh semua

manusia, sampai mereka benar-benar dapat mengadakan perubahan pada diri

sendiri.

Sebelumnya, wacana pendidikan karakter sudah pernah disampaikan oleh

Ki Hajar Dewantara. Ia menciptakan sistem pendidikan baru sebagai penolakan

terhadap sistem pendidikan kolonial yaitu dengan konsep kembali pada budaya

bangsa sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses

pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi

baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga

dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju ke arah

keluhuran budaya manusia (Nafisah, 2016: 453).

Dalam proses pendidikan, Ki Hajar Dewantara merumuskan sebuah

upaya yaitu melestarikan kebudayaan Indonesia secara terus menerus dan

berkesinambungan agar kebudayaan di Indonesia tidak hilang karena masuknya

kebudayaan barat yang dapat menggeser kebudayaan bangsa Indonesia atau yang

disebut dengan kontinuitas

(http://wakhidah87.blogspot.co.id/2016/07/konsep-Trikon-filsafat-pendidikan.html diakses pada 24 November 2017 pukul 11:01

WIB). Pendidikan di negeri ini juga tidak lepas dari faktor bawaan dan

lingkungan yang disebut dengan konvergensi. Kemudian dengan prinsip tiga N

(18)

Hajar Dewantara mengembangkan konsep konvergensi dengan ciri

ke-Indonesia-annya. Konsep ini memberikan alternatif pandangan terkait polemik pendidikan

berupa nilai-nilai apa saja yang mampu diserap oleh unsur-unsur pendidikan.

Diantara nilai-nilai tersebut yaitu nilai pendidikan umum, agama dan kebudayaan

(Saputra, 2017: 3). Ki Hajar Dewantara juga mempraktekkan konsentrisitas

sebelum melansir konsep Trikon yaitu menyaring ilmu dari Barat dan melahirkan

konsep yang membumi. Meskipun Ki Hajar Dewantara dididik secara Barat

namun konsepnya tidak kebarat-baratan. Ajarannya disesuaikan dengan budaya

lokal misalnya sistem among, tut wuri handayani dan lainnya

(http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/ 2013/11/tamansiswa_8187.html diakses pada 24

November 2017 pukul 11:01 WIB).

Dari sini dapat diketahui bahwa 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang

dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) erat

kaitannya dengan konsep Trikon Ki Hajar Dewantara. Karena nilai-nilai tersebut

dibuat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya luhur bangsa Indonesia

melalui upaya pendidikan. Adapun sumber-sumber yang mendasari pembuatan

18 nilai pendidikan karakter adalah agama, Pancasila, budaya dan tujuan

pendidikan nasional (https://guruppkn. com/nilai-nilai-pendidikan-karakter

diakses pada 16 November 2017 pukul 11.29 WIB).

Konsep Trikon ini juga berimplikasi pada Pendidikan Agama Islam (PAI)

(19)

pada budaya bangsa (Muthoifin dan Jinan, 2015: 172-173). Konsep Trikon

merupakan filter (penyaring) terhadap datangnya budaya barat. Konsep ini

bersifat selektif dan preventif. Selektif dalam menyaring budaya barat yang akan

masuk dan preventif terhadap dampak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

budaya bangsa Indonesia (Supriyoko dalam Surat kabar harian “Kedaulatan

Rakyat edisi 1985” yang dimuat dalam web http: //journal.amikom.ac.id/

index.php/Koma/article/view/3842/pdf diakses pada tanggal 11 November 2017

pukul 13:58).

Dalam penelitian ini, maksud dari Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah

sebagai mata pelajaran yang proses pembelajarannya dilakukan di sekolah.

Dalam aplikasinya, pemanfaatan konsep Trikon dalam Pendidikan Agama Islam

(PAI) disebut muatan lokal dan dapat dilihat mulai dari desain pengembangan

kurikulum sampai implementasi dalam pembelajaran (http://aris140284.blogspot.

co.id/2009/12/konsep-pendidikan-indonesia-menurutki. html diakses pada 02

November 2017 pukul 12.53 WIB). Jika konsep Trikon dihubungkan dengan

Pendidikan Agama Islam, maka dapat disusun program pembelajaran dengan

menggunakan dua pendekatan, yaitu integrasi dan ekologis (Sudjana, 2005:

177-178). Pendekatan integrasi yaitu pendekatan yang mengintegrasikan

pembelajaran muatan lokal dengan mata pelajaran lain. Sehingga, muatan lokal

menjadi suplemen dalam pelajaran tersebut. Sedangkan pendekatan ekologis

(20)

menggunakan lingkungan alam maupun sosial budaya setempat (Rofik, t.t.:

130-131).

Dalam praktiknya, terdapat contoh pengintegrasian budaya lokal Sekaten

dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sekaten merupakan

budaya lokal yang diintegrasikan dalam materi kelahiran Nabi Muhammad

SAW. Karena budaya sekaten merupakan upaya Sultan Agung dalam

memeringati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW (baca lebih lanjut dalam

jurnal penelitian Khuluq, 1998: 118-138).

Nilai-nilai pendidikan karakter sendiri sesungguhnya sudah

terinternalisasi dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Kedelapan belas nilai

sebagaimana kita ketahui sudah berkaitan dengan PAI. Namun, meskipun

pelajaran PAI menjadi roh dari pendidikan karakter, ia tidak dapat berdiri sendiri

untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada. Pelajaran PAI harus

terintegrasi dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Selain mata pelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam (SKI), terdapat contoh mata pelajaran lain yang sesuai dengan

PAI yaitu pelajaran ke-Muhammadiyah-an dan ke-NU-an. Keduanya merupakan

muatan lokal yang merepresentasikan ajaran Muhammadiyah dan Nahdhatul

Ulama (NU).

Sejalan dengan tujuan pendidikan, pembentukan karakter juga harus

dijalankan oleh semua pihak yang bersangkutan dalam pembelajaran, khususnya

(21)

sikap yang bisa menimbulkan karakter luhur di dalam diri peserta didik. Di

lingkungan keluarga, sepenuhnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk

selalu membentuk kepribadian anak. Di lingkungan masyarakat, masyarakat

sendirilah yang harus memberikan contoh yang luhur terhadap anak-anak di

lingkungannya.

Melihat sasaran pendidikan karakter adalah kepada seluruh peserta didik,

peneliti pun tertarik untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter yang

terkandung dalam konsep Trikon. Konsep Trikon sendiri merupakan sebuah

konsep yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan

dan kebudayaan (Trikon) dalam ruang lingkup pendidikan nasional. Dari hal itu

juga, penulis mencoba melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam

(PAI).

Dengan melakukan analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang

termaktub dalam konsep Trikon, diharapkan mampu memberi pemahaman

bahwa pada dasarnya nilai-nilai pendidikan karakter itu tidak lepas dari

kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini juga berimplikasi pada

pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Ketiga varibel tersebut (nilai-nilai

pendidikan karakter, konsep Trikon dan Pendidikan Agama Islam) saling

berkaitan dan mendukung untuk menciptakan out put generasi yang berkualitas,

yaitu generasi yang berkarakter, berbudaya dan beriman.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian

(22)

Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam

(23)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalah dalam

penelitian ini:

1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon?

2. Bagaimana relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap

Pendidikan Agama Islam (PAI)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon

2. Untuk mengetahui relevansi antara konsep Trikon menurut Ki Hajar

Dewantara terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI)

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya wacana

keilmuan khususnya kajian pendidikan karakter bagi perpustakaan IAIN

Salatiga, sehingga dapat digunakan sebagai bahan acuan di bidang penelitian

sejenis.

2. Praktik

a. Guru dan Orang Tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang

pendidikan yang syarat akan nilai-nilai pendidikan karakter.

(24)

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk lebih

meningkatkan pembinaan terhadap guru, kepala sekolah maupun pengawas

agar pendidikan karakter pada anak dapat terwujud sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional.

c. Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan

khazanah keilmuan dalam penelitian terkait pendidikan karakter.

E. Penegasan Istilah

Penegasan istilah dalam penelitian ini dirasa sangat perlu agar tidak

terjadi salah tafsir dengan maksud peneliti. Maka, peneliti akan menjelaskan

istilah-istilah yang ada dalam judul penelitian ini. Istilah yang perlu peneliti

jelaskan yaitu:

1. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon

a. Nilai-nilai

Nilai adalah suatu prinsip sosial, tujuan atau standar yang dipakai

atau diterima oleh individu, masyarakat dan lain-lain. Nilai dapat

dirumuskan sebagai suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang

menyangkut jenis apresiasi atau minat (Fitri, 2012: 87-88).

Nilai yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini mengacu

pada nilai-nilai pendidikan karakter yang berpedoman pada bukunya Zainal

(25)

yang dikembangkan oleh Kemendikbud, meliputi: religius, jujur, toleransi,

disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu,

semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat,

cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan

tanggung jawab.

b. Pendidikan Karakter

Menurut Megawangi (2004: 95) pendidikan karakter adalah sebuah

usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak

dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka

dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.

Sedangkan menurut Azzel (2011: 10) pendidikan karakter adalah

pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan

(feeling) dan tindakan (action).

Artinya, pendidikan karakter adalah usaha yang bertujuan untuk

menciptakan generasi yang memiliki kepribadian unggul, baik dalam

pengetahuan, perasaan dan tindakan.

c. Konsep Trikon

Menurut Ki Hajar Dewantara upaya kebudayaan (pendidikan) dapat

ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu:

1) Kontinuitas: garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan

“lanjutan atau terusan” dari hidup kita di zaman lampau, jangan

(26)

2) Konvergensi: keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi)

karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa

lain.

3) Konsentrisitas: sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia,

janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (Dewantara, t.t.: 228).

Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep

Trikon adalah nilai-nilai karakter yang merupakan hasil dari analisis terhadap

konsep Trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Nilai-nilai

tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,

mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,

menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli

lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

2. Pendidikan Agama Islam (PAI)

Sebelumnya, peneliti akan mulai menegaskan dari istilah pendidikan.

Pendidikan berasal dari bahasa Inggris yaitu Education. Dalam Oxford

Learner’s Pocket Dictionary (2011: 143) education artinya “process of

teaching, training and learning” (proses mengajar, melatih dan

pembelajaran). Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (1994: 20)

pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak

agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai

(27)

untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta

memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya.

Ahmad Marimba (1986: 19) mendefinisikan Pendidikan Agama Islam

(PAI) merupakan bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama. Sedangkan menurut Ramayulis (2005: 21)

pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan

peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa,

berakhlak mulia, mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci

Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta

pengalaman.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama

Islam (PAI) adalah bimbingan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik

untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik lahir maupun batin

menuju pribadi yang utama (insan kamil) dengan mengacu pada pokok ajaran

Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

F. Kajian Pustaka

Setelah mengadakan kajian pustaka, peneliti menemukan ada beberapa

peneliti yang sebelumnya telah membahas tentang pendidikan karakter. Maka,

kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian-kajian yang telah dilakukan

oleh beberapa peneliti sebelumnya. Berikut akan dipaparkan beberapa penelitian

(28)

1. Tesis Nursida A. Romeon, dengan judul “Relevansi Konsep Pendidikan Ki

Hajar Dewantara Dengan Konsep Pendidikan Islam (2011)Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini

menujukkan bahwa konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan

konsep pendidikan Islam. Kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar

kemanusiaan (fitrah), yang bermaksud melahirkan generasi yang merdeka

lahir dan batin.

2. Nur Anisah, dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar

Dewantara (2015) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Salatiga.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan

proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia

seutuhnya yang berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa.

3. Riska Hidayati, dengan judul “Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara Dalam

Perspektif Pendidikan Islam (2016)Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

IAIN Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan konsep

Trikon sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu menciptakan warga

negara yang baik, berbudi luhur, dan berpegang teguh dengan ajaran agama

serta kebudayaan bangsa.

4. Khairil Anam, dengan judul“Analisis Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara

Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (Studi Kasus Masyarakat

(29)

Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa konsep Trikon

yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sebagai strategi untuk meneguhkan

kebudayaan masih terlihat relevan untuk digunakan sebagai rujukan dalam

kajian ilmiah baik bersifat teoritis maupun praktis. Hal ini ditunjukkan dengan

adanya bukti bahwa secara eksplisit apa yang terjadi di masyarakat Baduy luar

merupakan wujud dari upaya implementasi konsep Trikon.

Dalam tesisnya, Nursida A. Romeon mengatakan bahwa konsep

pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan konsep pendidikan Islam. Secara

prinsip, kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar kemanusiaan yang

dalam dunia pendidikan Islam atau ajaran Islam disebut dengan fitrah. Kedua

konsep tersebut bermaksud melahirkan generasi yang merdeka lahir dan batin,

berwawasan, berakhlak dan bertakwa kepada penciptanya. Oleh karena itu, baik

tujuan dan metode pendidikannya pun juga memiliki kesamaan.

Hasil penelitian Nursida diperkuat oleh Nur Anisah yang menyatakan

bahwa dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara itu juga ada maksud

pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang merupakan proses pemberian

tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang

berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa. Mengenai konsep pendidikan

karakter, Nur Anisah menjelaskan lebih rinci lagi bahwa dalam sistem

pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara itu ada beberapa poin

penting: Pertama, memiliki lima asas pokok yang disebut dengan “Pancadharma

(30)

kebangsaan dan kemanusiaan. Kedua, tujuan pendidikannya adalah mendidik

rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader

yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar

dengan bangsa lain dan membantu memperluas jangkauan pendidikan dan

pengajaran. Ketiga, pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral

knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara

menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Keempat,

ada tiga pusat pendidikan (trisentra pendidikan) yang memiliki peranan besar,

yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Lain halnya dengan Riska Hidayati, dalam skripsinya ia lebih memilih

mengambil satu poin dalam beberapa konsep pendidikan yang digaungkan oleh

Ki Hajar Dewantara. Ia meneliti tentang konsep Trikon Ki Hajar Dewantara

dalam perspektif Islam. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa konsep Trikon

sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam. Karena untuk mengamalkan

Trikon Ki Hajar Dewantara diperlukan pembelajaran melalui proses pendidikan

dengan cara pendidik menyajikan materi disertai metode pembelajaran yang

sesuai dengan tujuan materi yang diajarkan, agar peserta didik mudah menerima

dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik tersebut.

Khairil Anam nampaknya memilih jalur yang berbeda dari para peneliti

lainnya. Ia memilih menganalisis konsep Trikon Ki Hajar Dewantara terhadap

(31)

wujud dari upaya implementasi konsep Trikon. Pertama, adanya unsur budaya

baru yang diterima oleh masyarakat Baduy luar dalam penggunaan teknologi

informasi modern dari yang sebelumnya masih menggunakan peralatan

tradisional (kontinuitas atau perkembangan ke arah lanjutan dari budaya lama ke

budaya baru). Kedua, proses konvergensi terjadi akibat faktor geografis yang

memungkinkan terjadinya interaksi secara intensif dengan masyarakat luar

Baduy sehingga memengaruhi kebutuhan pada peralatan teknologi informasi

modern sampai terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya. Ketiga, konsentris

terjadi setelah terjadinya konvergensi budaya masyarakat Baduy luar dengan

masyarakat luar Baduy, namun tidak sekaligus memengaruhi hilangnya

nilai-nilai kepribadian mayarakat setempat karena lekatnya aturan pikukuh masyarakat

Baduy luar. Sehingga kehadiran peralatan teknologi informasi modern diawasi

tingkat penggunaannya sebatas pada media komunikasi dan informasi saja.

Secara umum, keempat literatur di atas memiliki kesamaan dengan topik

penelitian ini yaitu sama-sama membahas pemikiran Ki Hajar Dewantara, baik

dari segi pendidikan karakter dan konsep kebudayaan (Trikon). Namun, berbeda

dengan hasil penelitian dari Khairul Anam. Penelitiannya memang membahas

analisis konsep Trikon tetapi, lebih spesifik dalam ranah kebudayaan daerah

Baduy Luar.

Dari beberapa literatur tersebut belum ada yang membahas sepenuhnya

tentang nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya

(32)

perbedaan antara literatur penelitian terdahulu dengan tema penelitian yang akan

dibahas ini. Karena masing-masing literatur memiliki perbedaan dalam

pembahasan, pendekatan dan cara pandang. Sehingga semua kajian pustaka di

atas dan penelitian yang disampaikan ini diharapkan dapat menambah khazanah

keilmuan bagi pendidikan di Indonesia.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan studi pustaka (library research). Menurut Moleong

(2009: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya secara holistik

dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata.

Sedangkan penelitian dengan pendekatan studi pustaka adalah suatu

jenis karangan ilmiah yang mencakup berbagai macam pendapat atau

pandangan para pakar seputar masalah penelitian, penelaahan dan

perbandingan pendapat hingga penarikan kesimpulan dari berbagai literatur

(Haryanto, 2000: 78). Sumber lain mengatakan bahwa penelitian jenis studi

pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat dan mengolah data penelitian

(33)

pendidikan karakter. Adapun literatur yang dijadikan sumber adalah

buku-buku yang relevan, jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah dan

sebagainya terkait dengan topik penelitian ini.

Alasan dipilihnya jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan

kualitatif karena topik penelitian ini merupakan kajian pemikiran seorang

tokoh pendidikan yang telah banyak memberikan sumbangan

gagasan-gagasan monumental yang berkaitan dengan pendidikan nasional. Penelitian

ini akan membahas pemikiran seorang tokoh pendidikan tentang nilai-nilai

pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya terhadap

Pendidikan Agama Islam (PAI).

2. Objek atau Sasaran yang Diteliti

Sesuai dengan pokok masalah yang akan dibahas, maka objek atau

sasaran yang akan diteliti adalah:

a. Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon

b. Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan

Agama Islam (PAI)

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan jenis metode pengumpulan data berupa

dokumentasi, yaitu menghimpun literatur yang berkaitan dengan topik

penelitian ini. Menurut Arikunto (2010: 274) metode dokumentasi yaitu

(34)

jurnal, majalah, hasil seminar, surat kabar, buku dan sebagainya. Adapun

sumber data yang digunakan meliputi:

a. Data Primer

Data primer adalah hasil-hasil penelitian atau hasil karya konseptis

yang orisinil (Hajar, 1996: 83). Dalam hal ini, buku karya Ki Hajar

Dewantara Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan, 1994,

Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain

yang tidak diperoleh dari sumber primer (Nasution, 2001: 143). Dengan

kata lain, data sekunder secara tidak langsung membahas konsep-konsep

utama dalam penelitian, hanya bersifat pelengkap. Adapun data sekunder

tersebut berupa buku-buku yang relevan, artikel ilmiah, jurnal, arsip dan

dokumen resmi lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini,

buku-buku yang relevan dengan permasalahan di atas, antara lain:

1) Dharma Kesuma dkk,. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan

Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

2) H. A. R. Tilaar. 2000. Paradigma baruPendidikan Nasional. Jakarta:

Rineka Cipta.

3) Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:

(35)

4) Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.

Bandung: PT. Al-Ma’arif.

5) Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan

Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa).

Bandung: CV Pustaka Setia.

4. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, tahap selanjutnya adalah menganalisis

data. Sugiyono (2008: 89) menyampaian bahwa analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang mudah dipahami diri

sendiri maupun orang lain. Selain itu, Flick dalam bukunya The SAGE

Handbook of Qualitative Data Analysis (2013: 5) menyampaikan bahwa

Qualitative data analysis is the classification and interpretation of linguistic

(or visual) material to make statements about implicit and explicit dimensions

and structures of meaning-making in the material and what is represented in

it.” Analisis data kualitatif adalah klasifikasi dan interpretasi materi linguistik

(atau visual) untuk membuat pernyataan tentang dimensi dan struktur implisit

dan eksplisit dalam pembuatan makna dalam materi dan apa yang terwakili di

(36)

Dalam tahap ini, peneliti menggunakan metode analisis isi (content

analysis). Denzin (2011: 785) dalam bukunya Handbook of Qualitative

Research menyebutnya dengan classical content analysis:

“Classical conten analysis comprises techniques for reducing texts to a unit-by-variable matrix and analyzing that matrix quantitatively to test hypotheses.” Analisis isi menggabungkan teknik untuk mengurangi tes ke matriks satuan per variabel dan menganalisis matriks tersebut secara kuantitatif untuk menguji hipotesis.

Artinya, peneliti melakukan pengkodean terhadap paparan data hasil

temuan yang mengandung unsur nilai-nilai pendidikan karakter. Kemudian,

peneliti menganalisis dan setelah itu menarik kesimpulan dari data tersebut.

Namun dalam penelitian ini, peneliti cenderung menggunakan pendapat dari

Flick.

Berdasarkan definisi di atas, kegunaan analisis data adalah untuk

keperluan mendeskripsikan secara obyektif, kritis dan sistematis tentang

analisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon yang merupakan

manifestasi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter.

Dalam buku karyanya, Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan

mengungkapkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan adalah satu

kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, sedangkan dalam pendidikan Islam Ki

Hajar Dewantara memang tidak menyatakan secara eksplisit dalam

karya-karyanya. Tetapi secara implisit dalam bentuk indikasi-indikasi yang

(37)

untuk dapat memahaminya, perlu dilakukan analisis isi atas pesan yang

terkandung dalam indikasi-indikasi tersebut.

5. Tahap-Tahap Analisis Data

Upaya untuk menelaah dan mengartikan ide atau gagasan mengenai

“Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon” dari sosok Ki Hajar

Dewantara yaitu dengan melakukan analisis secara mendalam untuk

memperoleh hasil yang maksimal dan mencapai kriteria metode content

analysis. Maka, tahap-tahap analisis data akan dilakukan dengan tiga langkah,

yaitu:

a. Reduksi data (data reduction) meliputi proses pemilihan data, pemusatan

pada penyederhanaan data, abstraksi dan transformasi data. Maksudnya

adalah menelaah ide konsep Trikon dalam pendidikan menurut Ki Hajar

Dewantara. Selanjutnya, melakukan pemahaman secara mendalam apa saja

nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan bagaimana

relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam.

b. Penyajian data (data display) : deskripsi kumpulan informasi tersusun yang

memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan yang sesuai

dengan tujuan penelitian.

c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification)

: dari hasil pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap data yang

diperoleh dari catatan dan melakukan verifikasi atas data tersebut (Salim,

(38)

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam memahami isi dari penelitian

ini, maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Bagian Awal

Bagian awal meliputi: sampul, halaman judul, lembar berlogo,

pernyataan keaslian tulisan dan publikasi, nota pembimbing skripsi,

pengesahan kelulusan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan

daftar isi.

2. Bagian Inti

BAB I: PENDAHULUAN, memuat latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian

pustaka, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

BAB II: BIOGRAFI, memuat riwayat hidup Ki Hajar Dewantara, peran

sosial Ki Hajar Dewantara, karya-karya Ki Hajar Dewantara.

BAB III: DESKRIPSI PEMIKIRAN, dalam bab ini akan membahas dua poin

penting untuk menjawab rumusan masalah, yaitu:

A.Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon

B.Pendidikan Agama Islam (PAI)

BAB IV: PEMBAHASAN, memuat hasil analisis kritis terhadap dua poin

penting dalam tema penelitian ini, meliputi:

(39)

B.Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap

Pendidikan Agama Islam (PAI)

BAB V: PENUTUP, berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan

saran-saran dari penulis sebagai sumbangan pemikiran berdasarkan

konsep dan hasil penelitian yang telah diperoleh.

3. Bagian Akhir

Bagian akhir memuat: daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar

(40)

BAB II

BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA

Sosok Ki Hajar Dewantara sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Ki

Hajar Dewantara adalah tokoh pejuang yang pantang menyerah, seorang pemimpin

yang memimpin anak buahnya, seorang yang peduli terhadap dunia pendidikan dan

telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik, sosial dan

budaya. Sehingga Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai seorang pejuang yang

tangguh, pendidik sejati sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Ki Hajar Dewantara juga sangat disegani oleh masyarakat luas karena

kesederhanaannya. Meski beliau adalah seorang keturunan berdarah biru, tetapi

beliau tidak segan bergaul dengan masyarakat awam di luar lingkungan tempat

tinggalnya termasuk dengan hamba sahayanya.

A.Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara

1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889

(Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330). Ki Hajar Dewantara

adalah putra ke-5 Pangeran Soeryaningrat putra dari Sri Paku Alam III. Pada

waktu dilahirkan ia diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena ia masih

keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) kemudian nama

(41)

8-dengan Sunan Kalijaga. Maka, sebagai keturunan Keraton Yogyakarta

sekaligus ulama’, Ki Hajar Dewantara dibesarkan dan dididik dalam

lingkungan keluarga yang religius dan budaya Jawa yang kental (Desmon,

2007: 219).

2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara

Masa muda Ki Hajar Dewantara diisi dengan kegiatan untuk

menambah pengetahuan dan wawasannya, karena ia termasuk anak yang sangat

haus akan pengetahuan. Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah

Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah.

Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Dengan demikian, Ki Hajar

Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara adalah saudara sepupu (Samho dan

Yasunari, 2010: 12). Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat

ke tempat pengasingan di Belanda, pernikahannya diresmikan secara adat dan

sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta (Harahap dan Sukowati, 1980:

12). Jadi, Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara sama-sama cucu dari

Paku Alam III atau satu garis keturunan.

Wawasan beliau sangat luas, kreatif, dinamis, jujur, sederhana,

konsisten, konsekuen dan berani. Tidak heran jika Ki Hajar Dewantara disegani

dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan. Semua itu didapat Ki Hajar

Dewantara dari kerajinan menuntut ilmu di sekolah dan juga pengalaman yang

(42)

lingkungan keraton, Ki Hajar Dewantara juga mendapat pendidikan formal,

antara lain:

a. ELS (Europeesche Legere School)

Sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS

menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam

pembelajaran. ELS merupakan Sekolah Rendah Eropa yang diperuntukkan

bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh

terkemuka (Desmon, 2007: 211).

Tahun 1896, Suwardi masuk sekolah Belanda yaitu Europeesche

Legere School (ELS). Sekolah ini adalah sekolah dasar untuk anak-anak

keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka

saja. Karena Suwardi adalah cucu Paku Alam III, maka beliau dapat masuk

di ELS (Sagimun, 1974: 7). Pada saat berada di kelas lima, ternyata Suwardi

sudah pandai mendeklamasikan syair-syair berbahasa Belanda. Gurunya

sangat memuji dan mengagumi kepandaian Suwardi. Meskipun demikian,

Suwardi tidak pernah lupa daratan dan menjadi “kebarat-baratan”. Di rumah,

Suwardi tetap ikut bermain bersama anak-anak kampung, ikut belajar menari

dan menabuh gamelan. Suwardi kecil juga sudah menampakkan watak

peduli sosial dengan gemar membagi kepandaiannya dengan

teman-temannya.

(43)

menamatkan pendidikannya di ELS. Ia pun melanjutkan pendidikan di

Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.

b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta

Kweek School merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk

guru pada zaman kolonial belanda dengan pengantar Bahasa Belanda

(Desmon, 2007: 211).

Setelah menamatkan pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara

melanjutkan pendidikan di Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.

Namun, Ki Hajar Dewantara hanya sempat belajar selama satu tahun. Sebab,

pada tahun 1905, Ki Hajar Dewantara menerima beasiswa dari pemerintah

Belanda untuk belajar di Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia (Jakarta)

(Bambang, 1981: 24).

c. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen)

STOVIA adalah sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Selama

masa pendidikan di STOVIA, Ki Hajar Dewantara sangat tekun belajar.

Pergaulannya di STOVIA dengan pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang

berbeda bahasa, membuat rasa kebangsaannya semakin dalam dan semangat

perjuangan untuk memperbaiki nasib bangsanya juga semakin meningkat. Di

Jakartalah, Ki Hajar Dewantara mulai merasakan suasana Bhineka Tunggal

(44)

Selama tahun 1905-1909, Ki Hajar Dewantara menjadi murid

STOVIA. Beasiswanya kemudian dicabut karena ia tidak naik kelas karena

sakit sakit selama empat bulan (Gunawan, 1992: 302-303). Terpaksa Ki

Hajar Dewantara harus meninggalkan sekolah karena tidak dapat

membiayainya. Namun, direktur STOVIA memberikan surat keterangan

istimewa kepadanya atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Walaupun Ki

Hajar Dewantara tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Ki

Hajar Dewantara memperoleh banyak pengalaman baru. Sebagai pelajar di

STOVIA, Ki Hajar Dewantara harus masuk asrama yang telah disediakan.

Di asrama pelajar STOVIA juga berlaku peraturan-peraturan yang harus

ditaati oleh penghuninya (Sagimun, 1974: 8).

Ki Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA pada tahun 1909, karena

biaya untuk meneruskan pendidikan tidak mencukupi, Ki Hajar Dewantara

lalu bekerja di pabrik gula di Banyumas. Kemudian, pada tahun 1919 Ki

Hajar Dewantara kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai asisten

apoteker di apotik Rathkap. Pekerjaan rutin rupanya tidak cocok baginya

(Harahap dan Dewantara, 1980: 6). Kemudian, ia bekerja sebagai wartawan

di beberapa surat kabar, antara lain De Express milik Douwes Dekker

(1913), Utusan Hindia dan Kaum Muda (Sukowati, 1981: 48). Sebagai

penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat

(45)

dan politik mulai berkobar-kobar dan bakat jurnalistiknya berkembang

dengan pesat (Harahap dan Dewantara, 1980: 6).

3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara sering bergaul dengan masyarakat dari kalangan

menengah ke bawah, sehingga pada usia 40 tahun ia mengubah nama dari

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Dengan

demikian, Ki Hajar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat dan lebih

dekat dengan lingkungannya yang mayoritas adalah orang biasa (baca:

menengah ke bawah).

Maksud Ki Hajar Dewantara mengubah namanya itu karena ingin

menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari

satria pinandita ke pinandita satria yang berarti dari pahlawan yang berwatak

guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri

dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (Djumhur, 1974: 169).

Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya

hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang

mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam

mengantar bangsanya ke alam merdeka (Hariyadi, 1989: 39).

Di usia dewasa, kesadaran politik Ki Hajar Dewantara semakin

matang. Pada masa itu, tanah air Indonesia sedang dilanda suasana kebangkitan

nasional. Gagasan dan pikiran Dr. Wahidin Sudiro Husodo untuk memajukan

(46)

kaum muda. Kemudian, pada tanggal 20 Mei 1908 atas usaha-usaha pelajar

STOVIA yang dipelopori oleh R. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo maka

berdirilah Budi Utomo. Dengan berdirinya Budi Utomo, maka mulai timbul

pergerakan nasional di tanah air Indonesia. Budi Utomo merupakan organisasi

pergerakan rakyat pertama yang mempunyai pengurus dan anggota yang tetap

serta mempunyai tujuan dan rencana keerja yang disusun dengan baik dan rapi

(Sagimun, 1974: 8).

Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang

pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan kongres

tersebut. Dalam kongres tersebut, kaum muda dan kaum tua berunding untuk

membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah pengurus besar Budi Utomo

dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya. Namun, dalam kongres tersebut

terjadi pertentangan paham antara golongan “Revolusioner Nasionalis” dengan

golongan “konservatif”. Tahun itu juga, Ki Hajar Dewantara meninggalkan

Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara pindah ke Syarekat Islam. Awalnya Ki Hajar

Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang

Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad Zain.

Tahun 1912, akhirnya Ki Hajar Dewantara menggabungkan diri pada Dokter

Douwes Dekker dan Dokter Cipto Mangunkusumo yang bergerak dalam

Indische Partij (Soeratman, 1982: 35).

(47)

pribumi Indonesia saja tetapi menerima siapa saja yang lahir di Indonesia dan

mencintai Indonesia sebagai tanah airnya. Indische Partij sendiri berdiri pada

06 September 1912 dengan Douwes Dekker sebagai ketua, dr. Cipto

Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar Dewantara sebagai sekretaris

(tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36). Indische Partij menjadi partai politik

yang pertama kali dikenal oleh orang Hindia Belanda.

Tujuan dari Indische Partij adalah:

a. Mempersatukan bangsa Hindia Belanda dalam satu kesatuan

kebangsaan Hindia (Indonesia)

b. Memperjuangkan kemerdekaan Hindia (Indonesia) yang bebas dari

penjajahan Belanda (Bambang, 1989: 58)

Tujuan yang diperjuangkan oleh Indische Partij jelas sangat berbahaya

dan merupakan ancaman yang besar bagi Kolonial Belanda. Karena, tujuan

yang hendak diwujudkan Indische Partij bertentangan dengan tujuan Kolonial

Belanda. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengakui

Indische Partij sebagai badan hukum. Jadi, sebagai partai, Indische Partij tidak

dilarang akan tetapi permohonan untuk diakui sebagai badan hukum ditolak

oleh pemerintah Hindia Belanda (Sagimun, 1974: 10).

Tiga serangkai itu menjelajahi Pulau Jawa untuk mengenalkan

Indische Partij. Penjelajahan itu mencapai sukses besar karena banyak pribumi

dan non pribumi (Cina, Arab dan Belanda) yang ikut bergabung menjadi

(48)

gerakan nasional Indische Partij ternyata menggemparkan masyarakat dan

menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Kolonial Belanda (Harahap dan

Dewantara, 1980: 4).

Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai

ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris

mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah

untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes pengadaan perayaan

memperingati kemerdekaan Kerajaan Belanda (Soeratman, 1982: 40). Komite

Bumi Putra melalui Ki Hajar Dewantara meluncurkan serangan yang pedas

dengan menulis sebuah artikel yang berjudul “Als ik eens een Nederlander was

(jikalau seandainya saya seorang Belanda). Artikel itu berisi kecaman terhadap

orang-orang Belanda yang hendak merayakan kemerdekaan Kerajaan Belanda

di tengah bangsa Indonesia yang terjajah. Pemerintah Hindia Belanda sangat

gelisah dan tersindir dengan tulisan Ki Hajar Dewantara (Soeratman, 1982: 41).

Dr. Cipto Mangunkusumo juga menulis dalam surat kabar “De

Expresi” dengan judul tulisan “Kekuatan atau Ketakutan?”. Tulisan tersebut

menerangkan bahwa tindakan pemerintah Hindia Belanda itu lebih

menunjukkan adanya ketakutan. Kemudian, Ki Hajar Dewantara kembali

menulis artikel dengan judul “Satu untuk semua tapi juga semua untuk satu”

dalam surat kabar yang sama. Dr. Douwes Dekker juga mengikuti sepak terjang

(49)

Akibat dari tulisan-tulisan itu, ketiga pemimpin Indische Partij itu

akhirnya ditangkap dan ditahan. Pada tanggal 18 Agustus 1913, keluarlah surat

keputusan dari wali negara untuk tiga orang pemimpin tersebut. Ketiganya

dikenakan hukuman pembuangan, yaitu:

a. R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewanntara) dibuang ke Pulau

Bangka

b. Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira

c. Dr. E.F.E. Douwes Dekker dibuang ke Kupang

Setelah putusan pemerintah dijatuhkan, ketiga pemimpin tersebut

diberikan kesempatan untuk mengganti hukuman dengan memilih daerah

pengasingan sesuai kehendak mereka sendiri. Ketiga pemimpin tersebut

memilih Negara Belanda sebagai pengganti tempat pengasingan. Pada 06

September 1913, tepat hari ulang tahun pertama Indische Partij, ketiga

pemimpinnya pergi meninggalkan tanah air menuju tempat pengasingan

(Soeratman, 1982: 45-46).

Kegiatan politik Ki Hajar Dewantara tetap diteruskan di Negeri

Belanda. Ki Hajar Dewantara tetap berjuang untuk menjadi kemerdekaan

Indonesia. Ki Hajar Dewantara kemudian aktif dalam Indiche Vereniging

sebuah organisasi pelajar Indonesia di Negeri Belanda. Kemudian berubah

nama menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I.). Indiche Vereniging atau

Perhimpunan Indonesia ini menerbitkan sebuah majalah yang bernama “Hindia

(50)

diasingkan, Ki Hajar Dewantara terus bergerak memperjuangkan cita-cita

bangsanya untuk menjadi Indonesia yang merdeka. Bahkan selama di Negeri

Belanda, Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh akte guru Eropa

(Europeesche akte). Di tempat pembuangan, Ki Hajar Dewantara mengenal

pula aliran-aliran pendidikan yang terkenal, antara lain: Jan Lighthart, Maria

Montessori, Rudolf Rabbinranath Tagore (Sagimun, 1974: 18-19).

Kemudian, setelah selesai masa hukuman, pada tahun 1919 tiga

serangkai tesebut kembali ke tanah air. Begitu sampai di tanah air, Ki Hajar

Dewantara kembali memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berkali-kali Ki

Hajar Dewantara harus berhadapan dengan polisi Kolonial Belanda.

Pidato-pidato dan tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,

Ki Hajar Dewantara dimasukkan ke dalam penjara (Sagimun, 1974: 20).

Setelah keluar dari penjara, Ki Hajar Dewantara tinggal di Yogyakarta.

Pemerintah Belanda menjadi semakin keras terhadap pergerakan rakyat

Indonesia, maka Ki Hajar Dewantara meninggalkan dunia politk dan memasuki

dunia pendidikan yaitu sekolah “Adidarma” milik kakaknya R.M.

Suryopranoto. Setelah mempunyai pengalaman mengajar selama satu tahun dan

sudah mengenal perihal pendidikan dan pengajaran. Muncul sebuah gagasan

baru. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa mewujudkan kemerdekaan nusa

dan bangsa tidak hanya dicapai melalui jalan politik tetapi juga bisa melalui

(51)

menyelenggarakan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya

(Soeratman, 1982: 56).

Pada tahun 1921, Ki Hajar Dewantara terjun ke dunia pendidikan

nasional. Ki Hajar Dewantara berusaha mencapai kemerdekaan Indonesia

melalui pendidikan nasional. Ternyata, Ki Hajar Dewantara lebih berbakat dan

berhail dibidang pendidikan

Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tanggal 28

November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional’.

Kemudian, pada tanggal 16 Desember 1959 pemerintah menetapkan tanggal

lahir Ki Hajar yaitu 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan

keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 (Dewantara, 1962: 13).

Ki Hajar Dewantara mangkat pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya

Mujamuju Yogyakarta (Dewantara, 1962: 137). Jenazah Ki Hajar Dewantara

dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, diserahkan

kepada Majlis Luhur Taman Siswa. Jenazahnya kemudian dimakamkan di

Wijaya Brata, Yogyakarta (Desmon, 2007: 219).

4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara memiliki riwayat organsisasi sebagai berikut:

a. Budi Utomo 1908 (Soeratman, 1982: 35)

Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang

pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan

(52)

berunding untuk membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah

pengurus besar Budi Utomo dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya.

b. Syarekat Islam cabang Bandung 1912 (Soeratman, 1982: 35)

Ki Hajar Dewantara pindah dari Budi Utomo ke Syarekat Islam karena

dalam kongres yang diselenggarakan oleh Budi Utamo terjadi pertentangan

antara dua golonga, revolusioner nasionalis dan konservatif. Awalnya Ki

Hajar Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang

Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad

Zain.

c. Pendiri Indische Partij, 06 September 1912 bersama Douwes Dekker dan

Cipto Mangunkusumo (Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330)

Indische Partij adalah partai politik pertama yang beraliran

nasionalisme Indonesia. Indische Partij didirikan oleh Douwes Dekker

sebagai ketua, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar

Dewantara sebagai sekretaris (tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36).

d. Pendiri Komite Bumi Putra

Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai

ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris

mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah

(53)

e. Pendiri National Onderwijis Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional

Taman Siswa) pada 3 Juli 1922 (Kumalasari, 2000: 49)

Setelah mengalami hukuman berulang kali, Ki Hajar Dewantara

meninggalkan dunia politik dan berkhidmat pada dunia pendidikan. Ki Hajar

Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Perguruan

Taman Siswa menekankan rasa kebangsaan atau cinta tanah air pada setiap

peserta didiknya (Musyafa, 2015: 266).

Penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh Ki Hajar

Dewantara, antara lain:

a. Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya yaitu 2 Mei dijadikan sebagai

hari Pendidikan Nasional

b. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama

c. Pahlawan pergerakan Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI

No. 316 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959)

d. 19 Desember 1956 mendapat gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu

kebudayaan dari Universitas Gajah Mada

e. 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan

(Irna dan Soewito, 1985: 132)

f. Tanggal 8 Mei 1959, Ki Hajar ditetapkan pemerintah sebagai perintis

Kemerdekaan Nasional Indonesia

g. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok Yoku Sanyo

(54)

B.Peran Sosial Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi

Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan

perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk

bisa memperoleh pendidikan seperti para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Pada tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai

“Pahlawan Nasional” karena pengabdian dan perjuangannya bagi bangsa dan

negara Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Kemudian, pada tanggal 16

Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara yaitu

tanggal 02 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan

Presiden RI No. 316 tahun 1959 (Taman Siswa, 1977: 13).

1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik

Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa

melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan dan

berjiwa merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Pergerakan Ki Hajar

Dewantara ini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada

budaya bangsa sendiri diakui oleh bangsa Indonesia. Perannya untuk

mendobrak tatanan pendidikan kolonial untuk diganti dengan sistem pendidikan

(55)

memperhatikan tertib damainya hidup bersama (Hariyadi, 1989: 42). Untuk

merealisasikan gagasannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah sendiri

yang diberi nama “Perguruan Taman Siswa”. Atas perjuangannya ini akhirnya

menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan

Teori pendidikan di Taman Siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar

Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta nilai-nilai

yang terkandung dan digali dari masyarakat di lingkungannya. Dalam dimensi

kebudayaan ini, Ki Hajar menerapkah konsep “Trikon”, yaitu:

“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif-adaptif dengan Pancasila sebagai tolak ukurnya.” (Djumhur dan Suparta, 1976: 174)

Sikap selektif-adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut

harus memilih yang baik dalam rangka upaya memperkaya kebudayaan sendiri,

kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan

Pancasila sebaga tolak ukurnya. Sebab, semua nilai budaya asing perlu diamati

secara selektif. Semisal ada unsur kebudayaan asing yang bisa memperindah,

memperhalus dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi

jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak.

Hal ini bermaksud agar masuknya unsur kebudayaan asing dapat menjadi

(56)

Betapa gigihnya Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan dan

mengembangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itulah Rektor

Universitas Gajah Mada, Sarjito, menganugerahkan gelar kehormatan Doctor

Honoris Causa (DR-HC) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara

pada saat Dies Natalis yang ke-VII tanggal 19 Desember 1956. (Sukowati,

1989: 76).

3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat

Dalam memimpin rakyat, Ki Hajar Dewantara menggunakan teori

kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang

berkembang di masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah “Ing Ngarsa

Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, artinya

didepan seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak

buahnya, ditengah (dalam masyarakat) seorang pemimpin harus mampu

membangkitkan semangat dan tekat anak buah dan dibelakang harus mampu

memberikan dorongan dan semangat anak buah (Taman Siswa, 1992: 19-20).

Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang demokratis dan mampu

memanusiakan manusia. Ia tidak senang terhadap kesewenang-wenangan dari

seorang pemimpin. Ia selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain

sesuai dengan harkat martabatnya. Ia juga mengajarkan agar menerima segala

kekurangan dan kelebihan orang lain dengan cara saling mengisi, memberi dan

(57)

Karya-karya Ki Hajar Dewantara telah memberikan sumbangsih

terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya:

1. Buku bagian I tentang pendidikan

Buku ini membicarakan gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara dalam

bidang pendidikan, antara lain: Pendidikan Nasional yang menurut paham

Taman Siswa adalah pendidikan yang berlandaskan garis hidup bangsa

Indonesia (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan

yang dapat mengangkat derajat rakyat dan negaranya,agar dapat bekerja sama

dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia. tri pusat pendidikan

yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan

kanak-kanak, pendidikan sistem pondok, adab dan etika serta pendidikan dan

kesusilaan.

Kemudian, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan

dikelompokkan menjadi tujuh bab yaitu bab tentang pendidikan nasional,

politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan

keluarga, ilmu Jawa, ilmu adab dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39

judul artikel. Jumlah artikel terbanyak terdapat pada bab politik pendidikan

(Harahap dan Dewantara, 1980: 5).

Pada buku bagian pertama ini dapat diketahui betapa luasnya

penguasaaan Ki Hajar Dewantara terhadap praksis pendidikan. Mulai dari

(58)

anak-anak di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan pendidikan

bahasa.

2. Buku bagian II tentang kebudayaan

Buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan kesenian,

antara lain: Asosiasi Antara Barat dan Timur, Pembangunan Kebudayaan

Nasional, Perkembangan Kebudayaan di Zaman Merdeka, Kebudayaan

Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan

Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan sebagainya.

Pada buku bagian kedua ini dapat diketahui luasnya minat Ki Hajar

Dewantara terhadap tema-tema budaya. Berdasarkan pada sikap nasionalisme,

beliau berupaya untuk menggagas konsep kesatuan kebudayaan, ungkapnya,

“Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan

kebudayaan, hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin

dan tidak perlu dipersatukan, cukuplah hanya menyatukan pokok-pokoknya

saja

(http://pedagogikritis.wordpress.com/2011/12/14/ki-hadjar-dewantara-peletak-dasar-pendidikan-indonesia diakses pada tanggal 15 Maret 2018 pukul

(59)

BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

Sebelum isu pendidikan karakter menjadi tema utama yang dibahas oleh

Kementerian Pendidikan dan Budaya dalam rangka memperingati Hari Pendidikan

Nasional tahun 2010, Ki Hajar Dewantara telah lebih dulu berpikir dalam masalah

pendidikan karakter. Pemikiran tersebut muncul sebagai wujud ketidaksepakatan

terhadap sistem pendidikan yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.

Ketidaksepakatan itu muncul karena orientasi sistem pendidikan Kolonial Belanda

hanya menonjol pada segi intelektual tanpa melihat dari segi lainnya, misal dari segi

pendidikan karakter (budi pekerti). Sehingga, generasi yang dihasilkan dari sistem

tersebut dikhawatirkan hanya akan melahirkan manusia yang jumawa dan durjana.

Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan mampu menghasilkan

manusia yang berbudi luhur dan berguna bagi masyarakat. Sebab, kecerdasan

intelektual bukan hal yang utama dalam pendidikan. Akan tetapi, bagaimana

menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter mulia. Inilah tujuan utama dari

pendidikan. Oleh karena itu, untuk menumbuh-kembangkan kehalusan karakter (budi

pekerti) Ki Hajar Dewantara mempunyai konsep tentang pendidikan karakter yang

dikembangkan dalam Perguruan Taman Siswa. Konsep tersebut adalah sebagai

berikut:

A.Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon

Gambar

Tabel 1 : Contoh Tabel Kompetensi Inti Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Tabel 2 : Paparan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian hasil penelitian sesuai permasalahan yang ada di stasiun televisi khususnya program “Seputar iNews Siang” di RCTI adalah bagaimana sebuah produser

Kesimpulan dari kutipan di atas dapat di ketahui ciri – ciri yang mempengaruhi Self efficacy tinggi dan self efficacy rendah diantaranya ,menjauhi tugas-tugas

Berbeda pula menurut Connell (1972 : 68-69) yang menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu klompok yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai

Gambar L.21 Form Delete User...L7 Gambar L.22 Pesan kesalahan Form Delete User jika UserName tidak dipilih ...L7 Gambar L.23 Pesan kesalahan Form Delete User jika UserName

Aplikasi Pengolahan data program dan kegiatan belanja langsung pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sumatera Selatan merupakan aplikasi pengolahan

Setelah mengetahui besarnya koefisien regresi harus dianalisa lebih lanjut adanya pengaruh tersebut secara kebetulan atau memang signifikan.. Karena meskipun koefisien regresi

49 sampaikan pada 2 hal ini, mereka akan mulai membaca informasi dibawahnya, Hingga contact person berada dipaling bawah, karena ketika audience sudah mulai

Juga dengan penelitian Usman (2003) yang menganalisa rasio keuangan dalam memprediksi perubahan laba pada bank-bank di Indonesia, yang dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa