i
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF KELUARGA SALAFI
(Studi Kasus Satu Keluarga Bapak AR di Desa Sumberejo
Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
SUNARNOTO
NIM: 211.11.022
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO
“Kurang pikir kurang ilmu Dirinya tentu mudah ditipu”
“Bila tampil kurang sopan Akan tersisih dari pergaulan”
“Bukan pemuda-sembarang pemuda
Tapi pemuda tampan giat bekerja”
“Kalau kita rajin menabung Tentu kita sangat beruntung”
Do the best, don’t feel the best, always be the best.
(Slogan Youth Association of Bidik Misi Limardhatillah IAIN Salatiga)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Seluruh keluarga penulis: Narno (bapakku), Ngatmi (ibuku), Ichsan Fauziah (kakakku), Siti Fathonah (adikku) yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan yang tak ternilai harganya.
2. Guru-guruku yang berjasa: Bapak Kyai Bahrurrozi, Mbah Kyai Slamet
Idris, Pak Asyiq Ma‟ruf, Pak Dhe Tardi, Kang M. Arba‟in yang bisa
memberi warna dalam hidupku.
3. Kang-kang pondok Tarbiyatul Muballighin: M. Mukhib, R. Fajar Hidayatullah, M. Zainal Abidin dan lainnya. Pondok Al-Ishlah: Emha Arif B, M. Munawar Said, M. Sigit, Khoirul Amin, Khoirul Anam, Ali Maskur,
M. Aminudin, Nahar N. Nafi‟, M. Syukron Rofiq yang pernah penulis repoti.
4. Teman-teman Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah terutama angkatan 2011, LPM DinamikA serta ikhwan dan akhwat LDK IAIN Salatiga yang super-super.
vii
KATA PENGANTAR
دًذنا
ّنا لله
ّضف ٖر
ىهؼنات ودآ ُٗت م
ٗهػ جلاصنأ .ىناؼنا غيًج ٗهػ مًؼنأ
ًّذي
ّيس د
ّيا( ىكذنأ وٕهؼنا غيتاُي ّتاذصأٔ ّنآ ٗهػٔ ىجؼنأ بسؼنا د
.)دؼت ا
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia,
hidayahdan limpahan kasih sayang yang diberikan-Nya kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun manusia menuju jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Skripsi ini berjudul: POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF KELUARGA
SALAFI (Studi Kasus Satu Keluarga Bapak AR di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang) peneliti menyadari bahwa proses penyelesaian
penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari adanya bimbingan, dukungan, dan peran serta dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati peneliti
menyampaikan terima kasih kepada:
viii
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. selaku KetuaJurusan Ahwal al-Syakhshiyyah (AS) Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga dan sekaligus menjadi Dosen Pembimbing Skripsi, yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat kepada peneliti selama menjalani studi program Sarjana Strata Satu (S1) Ahwal al-Syakhshiyyah dan yang telah memberikan pengarahan dan
bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah
meluangkan waktu, membimbing, dan memberikan nasehat serta masukan yang tidak ternilai harganya kepada peneliti.
5. Segenap Dosen dan Karyawan Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas
Syari‟ah serta Unit Perpustakaan IAIN Salatiga yang telah mempermudah dalam pengumpulan bahan skripsi.
6. Kepada Ayahanda, Ibunda, Kakak dan Adik tercinta, atas semua pengorbanan, kasih sayang, senyum, air mata, dan do‟a yang selalu teriring dalam setiap langkah peneliti.
7. Teman-teman AS 2011 yang selama ini belajar dan berjuang bersama di kampus IAIN Salatiga. Terima kasih atas kebersamaan dan canda tawanya.
x
ABSTRAK
Sunarnoto. 2016. Poligami Dalam Perspektif Keluarga Salafi (Studi Kasus Satu Keluarga Bapak AR di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang). Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Sukron Ma‟mun,
M.Si.
Kata kunci: Poligami, Perspektif, Keluarga, Salafi
Penelitian ini merupakan studi kasus dari satu keluarga bapak AR dalam kaitannya tentang poligami. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: Pertama, apa yang melatarbelakangi poligami dalam keluarga bapak AR, dan kedua, bagaimana konsep penataan keluarga antara istri pertama dan istri keduanya. Tujuan penelitian ini adalah: Pertama, mengetahuai apa yang melatarbelakangi poligami dalam keluarga bapak AR, dan kedua,
mengetahui konsep penataan keluarga/sosiologi keluarga antara istri pertama dan istri kedua.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analisis yang bersifat natural setting dengan rancangan studi yang sumber datanya berasal dari manusia (human intrustment). Metode pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti adalah metode interview, metode observasi dan metode dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data peneliti menggunakan metode analisis dan deduksi.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian/Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kegunaan Penelitian/Signifikasi Penelitian ... 7
E. Penegasan Istilah ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 11
G. Metode Penelitian ... 13
xii
BAB II POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 20
A. Pengertian Poligami ... 20
B. Dasar Hukum Poligami ... 22
C. Sejarah Poligami ... 27
D. Syarat Poligami ... 28
E. Poligami Rasulullah SAW ... 39
F. Manfaat dan Madharat Poligami ... 32
G. Perintah Berlaku Adil ... 36
H. Pengertian Adil ... 37
I. Hikmah Poligami ... 38
J. Definisi Keluarga Salafi ... 41
1. Salaf ... 42
2. Salafi ... 44
3. Salafiah ... 49
BAB III POTRET KELUARGA POLIGAMI BAPAK AR ... 50
A. Profil Bapak AR ... 50
B. Landasan Bapak AR dalam Berpoligami ... 51
C. Bapak AR Memaknai Kata “al-Adl” ... 51
D. Kesalafian Bapak AR dan Keluarganya ... 52
xiii
F. Keluarga Bapak AR ... 54
G. Kondisi Ekonomi Bapak AR ... 55
H. Kehidupan Keluarga Bapak AR ... 57
BAB IV POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF KELUARGA BAPAK AR ... 60
A. Latar Belakang Poligami Keluarga Bapak AR ... 60
B. Konsep Penataan Keluarga Sakinah Bapak AR ... 65
1. Dalam Hal Kehidupan Ekonomi ... 59
2. Maghligai Rumah Tangga ... 67
a. Bapak AR dengan Istri Pertama ... 67
b. Bapak AR dengan Istri Kedua ... 68
3. Tanggung Jawab Terhadap Anak-anak ... 69
4. Pengelolaan Konflik ... 70
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 73
C. Kata Penutup ... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang membawa misi rahmat lial-‟ālamin (rahmat bagi alam semesta) yang memiliki hukum universal yang senantiasa berlaku di setiap tempat dan sepanjang zaman, dan sesuai dengan realitas dan watak
manusia mana sangat memperhatikan arti penting perkawinan. Perkawinan atau pernikahan sebagai satu-satunya cara yang sah untuk berketurunan. Tidak
kurang dari delapan puluh (80) ayat di dalam Al-Qur‟an yang berbicaratentang perkawinan, baik yang memakai kata nikāh (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keserasian ayat tersebut
memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan itu dapat menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki
dan perempuan, menuju kehidupan sakinah (damai, tenang dan bahagia) yang diridhai Allah subhanahu wata‟ala(SWT).
Menikah merupakan suatu keputusan manusia yang mulia karena dengan menikah maka tujuannya dapat tercapai. Tujuan manusia menikah pun bermacam-macam, ada yang beralasan status sosial, dapat melanjutkan
keturunan dan lain-lain.
2
menikah lebih dari satu orang, yang disebut poligami. Permasalahan tersebut seperti istrinya mandul atau sakit dan lain-lain.
Pada dasarnya prinsip perkawinan adalah monogami, namun dalam praktiknya, pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial
(pilihan sepihak). Status hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Sunnah Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami atau
poligami bukanlah sesuatu yang yang didasarkan pilihan bebas, melainkan harus selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syari‟ah, yaitu terwujudnya keadilan yang membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan madharat
atau kerusakan.
Indonesia sebagai negara hukum, tentu mendambakan dan berkeinginan
agar masyarakatnya taat hukum. Urgennya adalah di dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang keluarga yang mengeluarkan produk
hukum berupa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Didalamnya mengatur kekeluargaan yang dalam perguruan tinggi masuk dalam lingkup jurusan atau program studi Ahwal al-Syakhshiyyah
(AS).
Bukan rahasia lagi jika saat ini aturan Islam yang berkaitan dengan
masalah poligami telah dikecam oleh berbagai pihak, terutama oleh kalangan Barat. Mereka senantiasa menyebarkan kebohongan dengan tujuan mengelabui umat manusia untuk tidak mengenal kebenaran Islam dengan
3
mereka beranggapan bahwa poligami banyak menimbulkan dampak negatif dan hanya pantas terjadi di negara-negara terbelakang.1
Diperbolehkannya poligami tentunya berdasarkan al-Qur‟an surat
An-Nisa‟ [4]: 3 yaitu:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Seorang wanita yang bersedia dimadu membuktikan kerelaan dan kepuasannya bahwa perkawinannya itu tidak akan mengakibatkan
kemudharatan, mengabaikan haknya, atau merendahkan martabatnya. Ayat di atas cukup menjelaskan hal-hal yang telah dipahami Rasulullah,
sahabat-sahabatnya, tabi‟in, dan jumhur ulama‟ muslimin tentang hukum-hukum berikut:
1. Boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang istri.
2. Disyariatkan dapat berbuat adil di antara istri-istrinya. Barang siapa yang belum mampu memenuhi ketentuan di atas, dia tidak boleh mengawini
wanita lebih dari satu orang. Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini
1
4
dirinya tidak akan mampu berbuat adil, tetapi tetap melakukan poligami, dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.
3. Keadilan yang disyaratkan oleh ayat di atas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan, dan minum, serta perlakuan lahir batin.
4. Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada istri kedua dan anak-anaknya.2
Berlaku adil di sini maksudnya ialah perlakuan yang adil dalam
melayani istri seperti sandang (pakaian), papan atau tempat tinggal (rumah),
pangan atau pemenuhan kebutuhan ekonomi, giliran, dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad Sallallah „alaihi wa
sallam (SAW). Dan ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat
daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan
keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri
dan anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.
2
5
Karena itu poligami hanya diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu
merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup
berkah dengan adanya keturunannya yang solih yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratorium, suami diizinkan berpoligami dengan
syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan (KHI) menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan dan Bab XI pasal 55 s.d. 59 KHI. Dalam KHI antara lain disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (suami) karena adanya sebab/alasan yang menyebabkan perkawinan itu terjadi.5
3
H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, PT Toko Gunung Agung, 1996, hlm. 13.
4
Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, lulus tahun 2011. 5
6
Di dalam KHI pasal 57 dijelaskan bahwa alasan-alasan bagi suami
berpoligami adalah:
1. Istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya.
2. Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh.
3. Istri tidak melahirkan keturunan.6
Yang terjadi dalam satu keluarga salafi di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang ini, adalah menarik dimana terdapat keluarga
salafi yang menjalankan poligami. Keluarganya sangat harmonis. Hipotesis yang penulis peroleh adalah bahwa poligami yang dilakukan adalah karena
untuk meningkatkan iman istri pertama, kedua dan pelaku poligami (suami). Serta semata-mata untuk merasakan dan menjalankan konsep keadilan yang
pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari uraian-uraian tersebut serta minimnya data dan bahan yang akan
dibutuhkan dalam pembahasan tentang POLIGAMI DALAM
PERSPEKTIF KELUARGA SALAFI (Studi KasusSatu Keluarga Bapak
AR di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, maka
penulis bermaksud untuk meneliti dan membahas lebih lanjut tentang
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan berpoligaminya keluarga salafi.
6
7
B. Fokus Penelitian/Rumusan Masalah
Sebagai basicquestionatau pokok permasalahan yang berangkat dari
latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah atau fokus penelitian, adalah sebagai
berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi poligami dalam keluarga Bapak AR?
2. Bagaimanakonsep penataan keluarga antara istri pertama dan istri kedua?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui apa yang melatarbelakangi poligami dalam keluarga bapak AR.
2. Mengetahui konsep penataan keluarga/sosiologi keluarga antara istri pertama dan istri kedua.
D. Kegunaan Penelitian/Signifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang permasalahan sosiologi keluarga dan
8
sosiologi keluarga. Sehingga mampu memberi sumbangan dan solusi pada permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Secara praktis hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat umum. Masyarakat dapat mengetahui adanya praktik poligami yang sah baik
menurut syariat (hukum Islam) dan sah menurut hukum (perundang-undangan) yang berlaku.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan akan
adanya praktik poligami (baik sah secara agama dan sah secara hukum) yang berada di kelurahan Sumberejo, menata ulang (memaksimalkan) tugas pokok
dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mensosialisasikan pencatatan nikah serta jika ingin melakukan poligami harus melalui izin Pengadilan Agama (PA).
Penelitian ini penting bagi Kementerian Agama sehingga dapat memberikan pembinaan keluarga yang ingin berpoligami, memberikan
penyuluhan kepada masyarakat terhadap pentingnya pencatatan nikah dan keabsahan poligami secara hukum sehingga anak-anak mempunyai status hukum yang sah dan tetap.
Manfaat praktis bagi jurusan AS adalah memberikan informasi tentang praktik poligami yang sesuai dengan hukum Islam, perundang-undangan di
9
poligami. Terakhir bagi masyarakat, yaitu memberikan sumbangan pengetahuan tentang praktik poligami sesuai dengan fakta yang ada.
E. Penegasan Istilah
Sebelum memulai dalam penyusunan skripsi ini, perlu penulis kemukakan bahwa judul skripsi ini adalah: POLIGAMI DALAM
PERSPEKTIF KELUARGA SALAFI (Studi Kasus Satu Keluarga Bapak
AR di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang). Untuk
menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalah-pahaman serta pengertian
yang simpang siur, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:
1. Poligami
Poligami adalah seorang suami memiliki banyak istri. Poligami juga berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan. 2. Perspektif
Perspektif adalah pengharapan, peninjauan, tinjauan, pandangan
luas.7 3. Keluarga
Termaktub dalam UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua
7
10
institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah,
hubungan perkawinan, dan adopsi.8 4. Salafi
Salaf berasal dari fi‟il madhi, fi‟il mudhori‟ dan isim masdar:
salafa, yaslufu dan salafan yang berarti terdahulu atau telah lalu.9 Salafi adalah metodologi berpikir salaf tanpa melibatkan label-label lain. Salafi
juga adalah mereka yang menjaga kemurnian akidah Islam dari hal-hal yang berbau syirik atau hal-hal yang bid‟ah, yang sebenarnya tidak
masuk dalam bagian akidah Islam.10 5. Studi
Studi adalah pelajaran, penggunaan waktu dan pikiran untuk
memperoleh ilmu pengetahuan.11 6. Kasus
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kasus adalah keadaan yang sebenarnya dari suatu urusan atau perkara; keadaan atau kondisi khusus yang berhubungan dengan seseorang atau suatu hal; soal;
perkara;.12
8
Herien Puspitawati, Konsep dan Teori Keluarga, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen-Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, 2013, hlm. 1.
9
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, Jakarta, 2007, hlm. 178.
10
Andi Aderus, Karakteristik Pemikiran Salafi di Tengah Aliran-Aliran Pemikiran Keislaman, Jakarta, Kementerian Agama RI, 2011, hlm. 63.
11
WJS. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1999,hlm. 965. 12
11
Karya ini dibuat penulis bertujuan menganalisis tentang bagaimana pelaku poligami dapat menegakkan sistem keadilan seperti yang diajarkan
oleh syari‟at Islam (al-Qur‟an dan Hadis). Benarkah dalam praktik poligami orang telah mampu menegakkan keadilan dengan memenuhi apa-apa yang
dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Sebagaimana kita tahu bahwa peran pelaku poligami dituntut lebih besar dari yang bukan berpoligami karena tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga.
F. Tinjauan Pustaka
Banyak karya ilmiah atau penulisan yang membahas tentang kasus-kasus poligami, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terus dikaji dan ditelusuri lebih dalam lagi. Banyaknya kasus yang berhubungan dengan
poligami mendorong penulis mencoba mengungkap fenomena tersebut dengan mengamati dalam praktik kehidupan pasangan poligami. Dengan
demikian diharapkan penelitian ini tidak sama dengan yang sudah ada. Pada umumnya kajian kasus poligami – sejauh pengkajian penulis – hanya terbatas pada teori saja, seperti pada penulisan skripsi yang ditulis oleh Sudibyo yang
berjudul “Konsep Keadilan Dalam Berpoligami menurut hukum Islam”
menjelaskan bahwa konsep adil dalam perkawinan poligami harus sesuai
dengan apa yang ada di dalam aturan Islam serta penerapan konsep keadilan yang benar menurut al-Qur‟an dan hukum Tuhan. Menurutnya, adil disini tidak hanya adil dalam pemberian nafkah saja tetapi juga adil terhadap
12
pembagian jatah malam dan nafkah lahiriah maupun batiniah. Bukan hanya itu, adil terhadap pemberian kasih sayang kepada anak-anaknya pun harus
diperhatikan yaitu dengan memberikan hak-hak mereka secara penuh dan tidak berbuat aniaya kepada mereka.
Emma Nayly Syifa menjelaskan dalam skripsinya bahwa:
Begitu juga karya dari Siti Mulyani (1997:18) yang mengangkat tema
“Poligami Dalam PerspektifKeadilan Jender”dalam karyanya dijabarkan
bahwa poligami yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah merupakan suatu perbuatan yang sangatmerendahkan kaum perempuan karena terdapat unsur diskriminasi sosial maupun kejiwaan. Tidak hanya itu, jika dilihat dari sisi suami itu sendiri maka tampak sangat jelas unsur yang terkandung di dalamnya lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang dari sisi kaum perempuan yang jelas-jelas lebih merasakan dampak dari poligami itu sendiri. Jelas di sini bahwa kaum perempuan merasa seperti tersisihkan karena adanya sebab yang menjadi alasan-alasan bagi suami untuk berpoligami seperti yang telah disebutkan di atas.13
Emma Nayly Syifa juga membandingkan dengan skripsi lain karya M.
Sholihan, yaitu:
Berbeda dengan karya-karya di atas, M. Sholihan (1993:30) “Poligami
Dalam Perspektif Fazlur Rahman”menjelaskan bahwa Fazlur Rahman
memaparkan pendapat bahwa adanya kontradiksi diantara izin untuk beristri sampai empat orang dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka dengan pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap istri-istri tersebut adalah mustahil. Menurut penafsiran yangtradisional izin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum, sedang keharusan untuk berbuat adil kepada mereka walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami (walaupun Hukum Islam yang tradisional memberikan hak kepada kaum wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka dianiaya atau dikejami oleh suami mereka). Dari sudut pandang agama yang normatif keadilan terhadap istri yang memiliki posisi lemah itu tergantung kepada kebaikan suami, walaupun pasti akan dilanggar. Sebaliknya modernis-modernis muslim cenderung untuk mengutamakan keharusan untuk berbuat adil tersebut, bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, mereka mengatakan bahwa izin untuk
13
13
berpoligami itu hanya untuk sementara waktu dan tujuan tertentu saja. Beliau memang membenarkan pendapat di atas bahwa izin berpoligami merupakan hukum, sedang sanksinya adalah untuk mencapai ideal moral yang harus diperjuangkan masyarakat karena poligami itu tidak dapat dihilangkan begitu saja.14
Dari berbagai penelitian yang berkaitan dengan poligami yang
dilakukan oleh beberapa peneliti, mereka meninjau dari segi takhrij hadis tentang poligami, dan poligami menurut ulama madzhab. Dan belum ada yang membahas tentang keluarga salafi dalam memahami poligami. Oleh karena itu
peneliti mencoba membahas sebuah tema yang berkaitan dengan pemahaman tentang poligami dalam Islam yang dilakukan oleh keluarga salafi dengan
mengambil judul „Poligami Dalam Perspektif Keluarga Salafi (Studi Kasus Satu Keluarga Bapak AR di Desa Sumberejo Kecamatan Pabelan Kabupaten
Semarang)‟.
G. Metode Penelitian
Metode dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan metode-metode tertentu.
14
14
Adapun metode yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu peneliti terjun langsung ke
lapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana tingkat pengetahuan keluarga salafi terhadap disyariatkannya (diperbolehkannya) poligami dalam al-Qur‟an.
Terkait dengan kajian penelitian ini, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan apabila data-data
yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasi. Peneliti memilih jenis pendekatan ini karena beberapa pertimbangan yaitu, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan langsung dengan kenyataan yang ada. Dengan pendekatan ini peneliti bisa mendapatkan data yang akurat, dikarenakan peneliti bertemu
atau berhadapan langsung dengan informan. 2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan
psikologis untuk memperoleh data yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu dengan mencari informan guna melengkapi data. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan data diketahui oleh
15
dengan informan. Kehadiran peneliti untuk mencoba menggali lebih jauh tentang poligami dan melibatkan secara langsung subyek peneliti, dengan
kata lain penelitian ini telah diketahui oleh subyek penelitaian. 3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Sumberejo kecamatan Pabelan kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena para informan bertempat tinggal di desa Sumberejo. Sumberejo merupakan tempat
tinggal masyrakat yang heterogen. Namun keluarga Salafi ini mampu berbaur dengan masyarakat majemuk. Pada penelitian ini, peneliti fokus
(mengadakan penelitian) di kelurga Salafi yang terdapat di Sumberejo. 4. Data dan Sumber Data
Adapun jenis data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi
ini meliputi:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung berupa beberapa
keterangan-keterangan dan fakta langsung yang diperoleh dari lapanganan melalui wawancara dengan para informan dan pihak-pihak yang dipandang mengetahui obyek yang diteliti. Dalam hal ini
adalah keterangan dari pihak laki-laki (suami) dan perempuan (istri) di keluarga Salafi Desa Sumberejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten
Semarang.
16
format dokumentasi. 15 Metode dokumentasi dilakukan dengan menelusuri data berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah
dan sebagainya. 5. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Wawancara
Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.16
Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan
berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. Wawancara akan dilakukan terhadap pelaku maupun orang terdekat seperti keluarga, tetangga, maupun
pihak-pihak yang mengetahui praktik perkawinan poligami di Desa Sumberejo.
b. Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian. Metode ini
penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi objektif mengenai objek penelitian.
15
S. Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2007, hlm. 91.
16
17
c. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan
dan data dari Keluarga Salafi di Desa Sumberejo. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data.
6. Analisis Data
Data mentah yang telah dikumpukan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisis. Analisis data merupakan bagian yang amat
penting dalam metode ilmiah, karena dengan dianalisis data tersebut dapat diberi arti makna yang berguna dalam memecahkan masalah
penelitian.17
Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan tentang pemahaman keluarga Salafi di DesaSumberejo
Kecamatan Pabelan tentang syariat Islam terutama ayat tentang diperbolehkannya poligami.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori.
Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi
yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya.
17
18
8. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama pra
lapangan, dimana peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada tidaknya praktik pernikahan poligami tersebut tidak
sesuai undang-undang yang berlaku, lebih-lebih di luar syariat Islam. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mencari data informan dan pelaku serta melakukan
observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku yang melangsungkan pernikahan dengan praktik poligami.
Tahap akhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan dari penelitian kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif.
H. Sistematika Penulisan
Dalam suatu penelitian ilmiah, adanya suatu pembahasan yang sistematis, guna mempermudah pembaca dalam memahami penelitian ini. Maka keseluruhan bentuk pembahasan dalam penulisan ini disusun secara
sistematis sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
19
Kehadiaran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan
Data, Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam bab ini terdapat penelitian terdahulu, PengertianPoligami, Dasar
Hukum Poligami, Sejarah Poligami, Syarat Poligami Dalam Islam, Perintah Berlaku Adil, Pengertian Adil, Hikmah Poligami, Definisi Kelurga Salafi.
BAB III: Potret Keluarga Bapak AR
Dalam bab ini akan menggambarkan tentang kondisi sosialobjek yang akan diteliti yang meliputi yang melatarbelakangi poligami dalam keluarga
bapakAR dan konsep penataan keluarga antara istri pertama dan istri kedua.
BAB IV: Poligami Dalam Perspektif Bapak AR
Dalam bab ini memaparkan hasil penelitian yang meliputi: Selayang
pandang keluarga Salafi Sumberejo, analisis data pengetahuan poligami, pengetahuan konsep keluarga Salafi, penilaian keluarga Salafi terhadap
poligami dan sosiologi keluarganya.
BAB V: Kesimpulan dan Penutup
Bab terakhir berisi tentang penutup yang meliputi, kesimpulan dan
saran-saran. Hasil penelitian yang diambil dari hasil penelitian dari judul hingga proses pengambilan kesimpulan dan saran-saran bagi berbagai pihak
20
BAB II
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya
adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih.18
Poligami merupakan salah satu dinamika dalam hukum perkawinan. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih
dari satu istri dalam waktu yang sama.19 Poligami ada dua macam, yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini artinya permaduan atau beristri lebih dari satu. Jenis poligami yang kedua yaitu poliandri, artinya perkawinan dengan lebih
dari satu laki-laki.
Keuntungan-keuntungan poligami yang disebut oleh Georges Anquetil
seorang ahli sosiologi Perancis, adalah sebagai berikut:
1. Poligami menekan merajalelanya prostitusi (lenyap, seperti yang kita lihat pada kaum Mormon).
18
Ahmad Maulana, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta, Absolut, 2004, hlm. 407. 19
21
2. Poligami dengan demikian melenyapkan salah satu sumber penyakit kotor, yang membunuh jenis bangsanya.
3. Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak
bersuami karena sistem monogami.
4. Poligami akan mengurangi sebab-sebab drama-drama perceraian yang tidak terhitung banyaknya, kejahatan-kejahatan karena percintaan,
kemunafikan dalam rumahtangga-rumahtangga yang kurang sehat, bencana mundurnya angka penduduk, pembunuhan anak-anak, menyerahkan
bayi-bayi pada Bantuan Umum.
5. Poligami akan memungkinkan si suami memelihara kesehatan wanita yang hamil dan wanita yang bersalin tanpa menyerahkan dirinya kepada
bahaya-bahaya, petualangan-petualangan dengan gadis-gadis yang bisa dipesan dengan karcis (yang jumlahnya kita ketahui di Paris, dan yang dua pertiga
(2/3) di antaranya sakit syphilis).
6. Poligami akan melenyapkan “mati-syahid” kaum bastard yang celaka,
poligami akan memeperbaiki jenis bangsa dengan anak-anak yang
bagus-bagus, semuanya sah, dan setiap wanita akan bisa melaksanakan pekerjaannya dengan gembira).” 20
20
22
B. Dasar Hukum Poligami
Syariat poligami dan pembatasannya terdapat dalam dua ayat firman
Allah sebagai berikut: berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”(Q.S. an-Nisa‟: 3)
ٍَْنَٔ
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa‟: 129).
Rasulullah SAW telah menjelaskan keutamaan beristri lebih dari satu sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam sahihnya ini. Said bin
Jubair berkata:
ْمَْ :ٍسا ثَػ ٍُْتِا ْيِن َلاَق
ِِِرَْ َسْيَخ ٌِاَف ْج َٔزَرَف :َلاَق َلا :ُدْهُق ؟َدْج َٔزَذ
.ٌءاَسَِ اَُْسَثْكَأ ِح يُلأا
Artinya: “Berkata kepadaku Ibnu Abbas: „Apakah engkau telah kawin?‟
Jawabku: „Belum.‟ Berkata beliau: „Kawinlah, sesungguhnya yang paling baik dari umat ini adalah yang banyak kaum wanitanya.”
Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka hukum
23
untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU Nomor 1 tahun 1974). Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Pada zaman sekarang ini praktik poligami menuai berbagai macam tanggapan dan pendapat tentang hukumnya, diantara pendapat-pendapat ulama tentang hukum poligami: M. Quraish Shihab21 dalam menafsirkan Q.S.
An-Nisa‟ [4] ayat 3, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, dan tidak pula mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya, jadi Q.S. An-Nisa‟ [4] ayat 3 hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Bolehnya poligami itupun hanya sebagai pintu darurat, artinya pintu itu tidak boleh (haram) dibuka apabila tidak dalam keadaan darurat, seperti seorang istri yang mandul atau
seorang istri yang terjangkit penyakit parah yang sulit untuk disembuhkan, lalu bagaimana suaminya apabila menghadapi keadaan tersebut? Bagaimana
ia akan menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaan anak? Saat itulah pintu poligami baru bisa dibuka. Jadi untuk membuka pintu poligami itu syaratnya berat, poligami itu mirip pintu darurat dalam sebuah
pesawat terbang, yang boleh dibuka hanya dalam keadaan emergency
tertentu.22
Muh. Abduh berpendapat Poligami hukumnya hanya ada dua yaitu boleh dan tidak boleh (haram). Boleh apabila dalam keadaan memaksa seperti istri tidak bisa mengandung, juga kebolehan poligami mensyaratkan suami
21
Penulis buku Tafsir Al-Misbah. 22
24
harus berbuat adil terhadap istri-istrinya, ini ada syarat yang sangat berat, seandainya manusia bersikeras ingin berlaku adail tetap saja manusia tidak
bisa berlaku adil dalam membagi kasih sayangnya.23
Muhammad Asad berpendapat bahwa kebolehan poligami untuk beristri
maksimal empat (Q.S. An Nisa‟ [4] ayat 3) dibatasi dengan syarat juga yaitu
“apabila kamu takut, tidak mampu berbuat adil maka kawinilah satu saja“
karena beliau berpendapat untuk membuat perkawinan majemuk/poligami itu
hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi
yang luar biasa juga“.24
Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya, karenanya manusia menurut fitrahnya manusia mempunyai watak cemburu, iri hati dan
suka mengeluh, watak-watak tersebut akan mudah timbul dalam kadar yang tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis, oleh sebab itu
hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Dengan demikian poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalnya istrimandul, atau istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa
memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.25
Aktivis Kaum Feminis Liberal Prof. Dr. Siti Musdah Mulia di dalam
bukunya yang berjudul “Islam Menggugat Poligami“ mengharamkan syari‟at poligami karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM. Hal ini
23
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Jakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 100.
24
Asghar Ali Engineer, PembebasanPerempuan, Yogyakarta, LKIS, 2003, hlm. 117. 25
25
tampak jelas pada bab kesimpulan: “Kesimpulannya, aspek negatif poligami lebih besar daripada aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak
mudharatnya ketimbang maslahatnya dan sesuai dengan kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan. Mengingat
dampak buruk poligami dalam kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia”.26
Banyak ulama yang menentang judul bukunya karena tidak tepat, Islam
tidak menggugat Poligami, yang benar seharusnya “Siti Musdah Mulia Menggugat Poligami” karena dialah yang menggugat, bukan Islam.
Dari berbagai macam pendapat mengenai Hukum Poligami sepanjang yang penulis ketahui. Aqidah yang kita punya mestinya membimbing kita
untuk percaya bahwa Islam membolehkan (dibedakan dari
menganjurkan/mensunahkan) berpoligami tetapi dengan berbagai macam syarat yang teramat berat dan penuh ancaman, bahkan Nabi pun melarang Ali
radhiyallahu „anhu (r.a.) untuk memadu Fathimah yang menurut keyakinan
penulis, bukan karena emosi beliau, tetapi karena ilmu danpengetahuan beliau
yang luas terhadap kemungkinan yang akan terjadiserta domino effect-nya terhadap perkembangan Islam yang baru sajalahir. Namun pun begitu,
26
26
Rasulullah tidak melarang umat untuk berpoligami karena Allah saja membolehkannya dengan Q.S. [4]: 2-3.
Jadi menurut penulis, jalan keluarnya adalah dengan melarang apa yang dibolehkan oleh Allah seperti yang banyak disuarakan oleh para pendukung
gerakan feminis akhir-akhir ini, tetapi seharusnya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam terkait poligami dengan segala seluk-beluknya. Selain itu, umat tidak boleh salah paham terhadap peran Islam dalam mengatur dan
memperkecil peluang untuk berpoligami. Pemerintah Indonesia telah mengatur masalah poligami ini melalui produk hukumnya yang berupa UU
nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3, 4 dan 5 yang bunyinya sebagai berikut: 1. Pasal 3
a. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang
wanitahanya boleh memiliki seorang suami.
b. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Pasal 4
a. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. b. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
27
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 3. Pasal 5
a. Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
C. Sejarah Poligami
Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris
semuanya adalah bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab mereka juga berpoligami. Karena itu
28
hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti
Afrika, India, Cina, dan Jepang.27
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satupun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di Eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah
karena kebanyakan seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka
tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian, peraturan tentang monogami atau kawin dengan seorang
istri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan
menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lemabaran dari Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.28
D. Syarat Poligami
Dalam Poligami tercatat beberapa alasan-alasan yang dianggap
membolehkan terjadinya, seperti yang tercantum pada UU Nomor 1 tahun 1974 pasal 40 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 57 yaitu:
1. Istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya.
27
Emma Nayly Syifa, Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia: Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 2011, Salatiga, Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga, 2011, hlm. 19.
28
29
2. Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.29
Selain alasan-alasan di atas, pelaku poligami harus mendapat persetujuan dari istri terlebih dahulu baik secara lisan mapupun tulisan (tertulis) dan persetujuan tersebut harus disebutkan di depan sidang
pengadilan. Pada saat proses pengizinan berpoligami disini (suami) harus bisa menunjukkanbukti-bukti kepada Pengadilan Agama bahwa suami tersebut
sanggup menghidupi keluarga dan anak-anaknya, baik dari istri pertama mapun kedua, serta berlaku adil sesuai dengan syariat agama yang telah
ditetapkan. Bukti-bukti tersebut antara lain dengan melampirkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atau dengan menunjukkan surat keterangan pajak penghasilan
atau dengan surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
Permohonan izin poligami dapat dikabulkan oleh pihak Pengadilan
Agama menurut pertimbangan majelis hakim yaitu dengan melihat persetujuan dari istri pertama tentang kesediaannya dipoligami atau tidakdan ada beberapa pengajuan persyaratan yang terdapat di dalam UU Nomor 1
tahun 1974. Apabila ada salah satu persyaratan yang diajukan oleh pemohon itu kurang, maka Pengadilan Agama berhak memutuskan menolak
berpoligami.30
29
Ibid, hlm. 20. 30
30
E. Poligami Rasulullah SAW
Rasulullah mengawini Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ketika beliau berumur 25 tahun. Pada waktu itu, Khadijah adalah seorang janda yang telah berumur 40 tahun lebih tua daripada Rasulullah 25 tahun. Selama 25 tahun
mereka hidup bersama, yaitu 15 tahun sebelum diangkat jadi Nabi dan 10 tahun setelah diangkat. Khadijah r.a. meninggal dunia 3 tahun sebelum hijrah.
Setelah kepergian Khadijah, sekitar tiga tahun, Rasulullah tidak menikah lagi. Kemudian Rasulullah mengawini Aisyah binti Abu Bakar dan Saudah binti
Zum‟ah dalam waktu berdekatan.Salah seorang sejarawan menyebutkan bahwa akad nikah Rasulullah dengan Aisyah dilakukan sebelum menikah
dengan Saudah sebelum Aisyah.31
Rasulullah baru memadu istrinya setelah berumur 53 tahun; artinya beliau berpoligami setelah berusia tua. Padahal, nafsu seksual laki-laki akan
menurun pada umur empat puluh-an dan hal itu telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah. Waktu yang dihabiskan Rasulullah untuk beristri satu adalah masa ketenangan dan kemantapan beliau.Adapun masa singkat
yangtidak lebih 10 tahun, masa beliau berpoligami adalah masa pergolakan, perjuangan dan peperangan. Hal itu membuktikan beliau berpoligami bukan
31
31
karena dorongan syahwat,tetapi untuk kepentingan pelaksanaan syariat dan
kepentingan urusan politik serta kemanusiaan.32
Disebutkan dalam Sirah Nabi SAW, beberapa istri Rasulullah:
1. Khadijah binti Khuwailid
2. Aisyah binti Abu Bakar 3. Saudah binti Zum‟ah
4. Zainab binti Jahasyi al-„Asadiyyah
5. Ummu Salamah binti Abi Umayyah bin al-Mughirah 6. Hafshah binti Umar ibnul Khattab
7. Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb
8. Juwairiyyah binti al-Harits al-Khuza‟iyyah 9. Shafiyyah bin Hayyi bin Akhtab
10. Maimunah binti al-Harits
11. Zainab binti Khuzaimah ibnul Harits
12. Asma binti an-Nu‟man al-Kindiyyah 13. Umrah binti Yazid al-Kilabiyyah
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa Rasulullah SAW hanya menggauli
sebelas orang istrinya. Dua orang lagi, yaitu Asma binti an-Nu‟man dan Umrah binti Yazid al-Kilabiyyah, beliau kembalikan kepada keluarganya
setelah satu-persatu diberi harta untuk mengobati kesedihannya.
32
32
F. Manfaat dan Madharat Poligami
Tidak diragukan lagi bahwa poligami jika dilihat dari satu sisi akan
mempunyai manfaat yang sangat berarti bagi pelakunya, tetapi jika dilihat dari sisi lain sebaliknya akan menimbulkan banyak madharat. Sisi pertama,
poligami akan menimbulkan banyak manfaat, diantaranya:
1. Dalam hal negara dimana jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, maka poligami dapat mengatasi masalah krisis perkawinan. Karena
jika harus dipaksakan satu laki-laki dengan satu perempuan maka akan terjadi kesenjangan bagi wanita yang tidak memiliki jodoh. Demikian juga bagi laki-laki yang mempunyai nafsu super ekstra kuat, jika hanya
memiliki satu perempuan saja dan di saat itu pula istri sedang ada halangan/datang bulan dan ia mempunyai kemampuan dan memenuhi
syarat poligami maka ia akan tersiksa jika ia tidak poligami.
2. Dalam hal istri tidak melahirkan keturunan, karena sakit, mandul dan
karena sebab lain maka poligami dapat dijadikan sebagai solusi bagi suami untuk mengatasi masalah keturunan. Jika suami tidak mengambil cara ini, apakah suami rela dengan kondisi tidak mempunyai anak karena
disebabkan istri mandul? Jika suami harus dipaksakan dengan kondisi seperti itu, tentu istri juga menzalimi suami karena ia telah mengekang
suami harus menerima dengan kondisi istri tidak melahirkan keturunan.
33
a. Kemungkinan suami tidak berlaku adil. Sebagai contoh misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan selisih hanya
beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakan upacara
apa-apa. Bisa jadi adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya.
b. Poligami berpotensi menciptakan rasa cemburu bagi sesama istri. Jika
dipahami jiwa perempuan sangat sensitif dalam hal segala yang berhubungan dengan cinta. Apapun bentuknya yang dapat menyerang
kemerdekaannya akan selalu ditolak oleh perempuan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan rasa cinta. Dalam istilah sinis poligami sebenarnya merupakan tindakan penyimpangan di dalam perkawinan
pada umumnya:
1) Nikah poligami, sebagaimana telah penulis uraikan di atas, dimana
poligami itu merupakan perkawinan yang bertujuan untuk mengatasi masalah suami tetapi dibalik itu menimbulkan masalah baru yang dibebankan kepada istri yang dipoligami, istilah lain
mengatasi masalah, tetapi menimbulkan masalah.
2) Nikah mut‟ah, atau dengan istilah lain disebut kawin kontrak.
Dikatakan kawin kontrak karena orang hanya akan menikahi perempuan yang ia kehendaki hanya untuk waktu tertentu, misalnya satu (1) minggu atau 1 bulan. Setelah lewat waktu yang dijanjikan
34
tujuan memperoleh atau memelihara keturunan, melainkan hanya untuk memenuhi keperluan syahwat semata. Perkawinan model ini
dulu oleh Rasulullah SAW, diperbolehkan dan berjalan tidak lama, tetapi kemudian Rasulullah melarang bentuk perkawinan ini,
sebagaimana disebut di dalam Hadis Riwayat Ibnu Majah:
َا ُدُُْك َِّٗا ساُّنا آَُياي
ِعاَرًِْرْسلاا يِف ْىُكَن ُدََْذ
ِحَياَيِقنا ِوَْٕي ٗنِا آََي سَد َاللّ ٌِا َٔ لاا
Artinya:Wahai manusia sesungguhnya dahulu saya mengizinkan kawin mut‟ah kepada kamu sekalian, tetapi ingat sekarang Allah SWT telah mengharamkan hingga hari qiamat.
Di dalam Hadis lain disebutkan sebagai berikut:
اللّ َلُٕسَز ٌَا ْةِناَط يِتَا ٍْتا ِٗهَػ ٍَْػ
ِوُْٕذَن ٍَْػ َٔ َسَثْيَخ َوَْٕي ءاسُّنا ِحَؼْرُي َََٗٓ
ِحَيِسَْلاا ِسًُُذنا
Artinya: Dari Ali bin Abi Thalib bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kawin mut‟ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging Himar Jinak.
Al-Khattabi menegaskan bahwa hukum keharaman kawin mut‟ah itu telah ijma‟ (sepakat) ulama‟ kecuali sebagian Ulama Syi‟ah saja yang tidak
mengharamkan. Hukum keharaman nikah mut‟ah itu bahkan menurut Imam
al-Baihaqi dari Ja‟far bin Muhammad mengatakan bahwa nikah mut‟ah itu termasuk zina.
3). Nikah Sirri. Istilah kawin sirri, baik di dalam kitab fikih maupun di dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur
dengan jelas, tetapi secara tekstual di dalam UU Nomor 1 tentang perkawinan dapat dipahami pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa
35
seorang wanita sebagi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut penulis kawin sirri sah menurut agamnya, tetapi dari segi perundang-undangan belum memenuhi kriteria, yaitu adanya pencatatan.
Pencatatan menurut penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 atau Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954
tentang pencatatan nikah talak dan rujuk.
Tegasnya Pegawai Pencatat Nikah itu adalah Pejabat KUA setempat. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat ini, termasuk kawin sirri tidak
mempunyai akibat hukum, sehingga dikhawatirkan jika dikemudian hari terjadi perselisihan yang mengakibatkan perceraian semua hak-hak wanita
36
G. Perintah Berlaku Adil
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang memuat asas dan nilai dasar pandangan hidup Islami. Salah satu tema sentral di dalam kitab ini adalah perintah kepada seluruh umat manusia yang beriman kepada Allah sang Maha
Pencipta supaya berlaku adil dan menegakkan keadilan yang berdasarkan kebenaran.
Perintah berlaku adil dalam Islam meliputi semua bidang dan aspek
kehidupan, sejak dari soal-soal pribadi dan keluarga. Seorang muslim diwajibkan adil ketika menegakkan hukum, adil dalam mendamaikan perkara
atau perselisihan, adil terhadap musuh, adil terhadap istri, adil terhadap anak, bahkan adil terhadap diri sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab33 dalam bukunya
Wawasan Al-Qur‟an, bahwa keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh
Al-Qur‟an amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, dan bersikap batin.
Firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
33
37
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. an-Nisa‟ [4]: 58).
Dalam hal ini merupakan tugas kaum muslimin sekaligus sebagai akhlak, yaitu menunaikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya
dengan memutuskan hukum dengan adil diantara “manusia” sesuai dengan
ajaran Allah.
H. Pengertian Adil
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang terambil dari bahasa
Arab “adl”. Kamus-kamus bahasa Arab (al-I‟tidaalu: masdarnya I‟tidala yang
berarti “persamaan”). Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak, 2) berpihak kepada
kebenaran, dan 3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Keadilan diungkapkan oleh Al-Qur‟an antara lain dengan kata-kata al-„adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun
pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. „Adl, yang
berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.34
34
38
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para
pakar agama, yaitu:35
1. Pertama, adil dalam arti “sama”. Si A dikatakan adil, karena yang
dimaksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan
yang dimaksud adalah dalam hak.
2. Kedua, adil dalam arti “seimbang”. Keseimbangan ditentukan pada suatu
kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap
bagian.
3. Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan
dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau memberi pihak lain
haknya melalui jalur yang terdekat.
4. Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan
untuk itu”.
I. Hikmah Poligami
Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan. Islam
mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur, harus dibebankan kepada
35
39
manusia untuk menegakkannya dan harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Risalah Islamiyah tidak akan tegak tanpa ada kekuatan yang
mendukung. Pemerintah harus mengelola segala segi, seperti pertahanan keamanan, pendidikan, industri, perdagangan, dan sektor-sektor lain yang
menunjang tegaknya suatu pemerintahan. Semuanya itu tidak akan sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya. Jalan untuk mendapatkan massa yang banyak ini ialah dengan
kawin dan memperbanyak keturunan.
Negara-negara yang maju banyak membutuhkan sumber daya manusia
untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak jarang rakyatnya gugur di medan perang dan banyak janda-janda yang harus dilindungi. Tidak ada jalan
yang terbaik untuk melindungi mereka selain dengan mengawini mereka dan tidak ada jalan untuk menggantikan orang yang gugur di peperangan itu selain
dengan memperbanyak keturunan, dan poligami adalah jalan untuk memperbanyak keturunan.
Demikian pula di beberapa negara, yang penduduk perempuannya lebih
banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi di negara yang habis berperang. Bahkan pertambahan jumlah kaum perempuan pasti terjadi pada
banyak negara meskipun dalam suasana damai, karena kesibukan kerja menyebabkan kaum lelaki cepat tua dan berarti membuat mereka cepat mati, oleh karenanya jumlah kaum perempuan akan lebih banyak dari kaum
40
melindungi perempuan. Apabila mereka dibiarkan hidup sendiri mereka lebih mudah terombang-ambing dan gampang terjerumus ke dalam perbuatan nista
yang akan merusak kehidupan masyarakat, akhlak mereka akan rusak dan mereka akan merana sendirian.
Seorang laki-laki bisa mempunyai kesanggupan untuk berketurunan lebih kuat daripada perempuan. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia baligh sampai usia akhirnya. Sedang kaum perempuan
tidak mampu melaksanakannya di waktu sedang haid, nifas, hamil dan waktu menyusui. Kesanggupan kaum perempuan untuk berketurunan terbatas
sampai usia antara 40 tahun hingga 50 tahun, sedangkan kaum lelaki sanggup sampai usia 60 tahun lebih.
Apabila perempuan dalam keadaan seperti tersebut di atas tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri lantas apa yang harus dilakukan oleh suaminya? Apakah ia harus menyalurkannya kepada istrinya yang halal
untuk menjaga kehormatannya ataukah ia harus mencari penyaluran seperti yang dilakukan oleh binatang? Tanpa perkawinan sah? Padahal Islam secara
tegas melarang pelacuran. Firman Allah SWT:
َٔ حَشِداَف ٌَاَك ُّ َِئ اََِّزنا إُتَسْقَذ لأَ
( لايِثَس َءاَس
43
)
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S.
al-Isra‟[17]: 32).
41
bersama suaminya, sedang suami menginginkan adanya anak serta punya istri yang dapat mengatur rumah tangganya. Dalam keadaan seperti ini apakah
suami harus tetap rela dengan menanggung beban yang menyedihkan? Tetap bersama istrinya yang berpenyakit atau mandul, yang tidak dapat mengatur
rumah tangganya, dan beban itu harus dipikul suami sendirian? Ataukah si istri harus diceraikan padahal ia masih mencintai suaminya dan suami juga masih mencintainya, ia tidak mau menyakiti istri dengan menceraikan
istrinya? Ataukah kasih sayang suami istri itu tetap diteruskan tetapi suami kawin dengan perempuan lain tanpa harus berpisah dengan istri lama dan
kemaslahatan keduanya masih tetap terjaga? Inilah petunjuk terbaik yang lebih layak untuk diterima.
Kadang-kadang juga ada seorang laki-laki yang karena kejiwaannya
atau karena fisiknya sangatkuat nafsu seksnya, ia belum akan puas kalau hanya dilayani oleh seorang istri, maka sebagai gantinya agar ia tidak
mengambil gundik yang akan merusakkan moralnya, ia diijinkan untuk memuaskan nafsu (gharizahnya) dengan jalan yang halal, yaitu berpoligami.
J. Definisi Kelurga Salafi
Masalah salafi telah banyak dikaji oleh ulama-ulama terdahulu
42
Sunnah Rasulullah SAW, yaitu mendahulukan kedua sumber ini dari produk pemikiran yang lain.
1. Salaf
Perlu penulis jelaskan seputar hakikat salaf, salafi dan salafiah.
Ditinjau dari segi bahasa, salaf berasal dari kata bahasa Arab: Salafa (Fi‟il
Madhi), Yaslufu (Fi‟il Mudhori‟) dan Salafan wa Sulufan (Isim Masdarnya), yang apabila ditulis menjadi:
َس
Salafa berarti terdahulu sebagaiman dalam ungkapan umam al-salifah yang berarti generasi terdahulu.37
Salaf dengan makna ini sinonim dengan kata qablu (مثق), dan menjadi antonim dari kata khalaf (فهخ) atau ba‟du (دؼت) yang berarti datang kemudian.
Kata salaf ditemukan dalam Al-Qur‟an berulang kali yang kesemuanya berarti masa lampau, di antara firman Allah SWT, yang
menyebutkan kata salaf adalah sebagai berikut: a. Surah al-Zukhruf [43]: 56, Allah SWT, berfirman:
( ٍَيِسِخلآِن لاَثَئَ ا فَهَس ْىُْاَُْهَؼَجَف
85
)
Artinya: Dan Kami jadikan mereka kelompok yang terdahulu serta menjadi perempuan bagi kelompok yang datang kemudian.
36
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Ciputat, Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010, hlm. 178.
37