9
A. Materialisme 1. Pengertian Materialisme
Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme
sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi
tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain, materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan
nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang-barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti
yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya (Kasser, 2002).
Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu
pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang yang bersifat material dalam hidup individu.
2. Aspek-aspek materialisme
Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting. Individu yang materialistis menempatkan barang tersebut
dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka. Kepemilikan barang memberikan makna bagi hidup dan memberikan tujuan bagi aktivitas atau
usaha keseharian. Pada titik ekstremnya, individu materialis dapat dikatakan memuja benda-benda, dan pengejaran atas benda-benda tersebut menggantikan tempat agama dalam menstruktur kehidupan dan
mengarahkan perilaku mereka.
b. Acquisition as the Pursuit of Happines
Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan perolehannya menjadi
sangat penting bagi individu yang materialis adalah karena mereka memandang ini penting bagi kepuasan hidup dan well-being mereka.
Individu materialis mengejar kebahagiaan lewat perolehan barang ketimbang lewat cara yang lain, seperti hubungan personal, pengalaman, atau prestasi.
c. Possession-Defined Success
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat ukur
untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu yang materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain dari jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka memandang
barang tidak hanya dari kemampuannya untuk memberikan status, tetapi juga memproyeksikan kesan diri yang diinginkan dan identitas individu
sebagai partisipan dalam kehidupan sempurna yang dibayangkan.
Menurut Belk (1985), individu yang materialistis dapat dijelaskan melalui
aspek-aspek berikut:
a. Kepemilikan (Possessiveness)
Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan kontrol
atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan tersebut meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya baik melalui
tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu tersebut lebih menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang diperoleh melalui kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat materialisme tinggi
menganggap penting kelekatan pada kepemilikan barang duniawi, kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan individu yang
diyakininya memberikan sumber kepuasan dan ketidakpuasan dalam hidup (Belk, 1985).
b. Ketidakmurahan hati (nongenerosity)
Ketidakmurahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan individu memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu yang
materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois. Individu tersebut lebih mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-sediaan meminjamkan atau menyumbangkan harta benda kepada orang lain dianggap sebagai
Kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap interpersonal individu yang melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk pada individu lain dalam
kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau kepemilikan apa pun yang diinginkan. rasa iri hati pada individu materialis ditetapkan pada
kepemilikan barang orang lain. iri hati tersebut berorientasi pada kepemilikan individu lain atas sesuatu. Seperti halnya kepemilikan (Possessiveness) dan ketidakmurahan hati (nongenerosity), iri hati (envy)
di sini dipahami sebagai ciri umum daripada sikap tertentu terhadap individu. individu yang iri hati mengharapkan kepemilikan harta benda
dari individu lain. Individu yang iri hati juga membenci mereka yang memiliki harta yang diinginkannya dan merasa direndahkan secara pribadi oleh individu lain yang memiliki benda-benda yang diinginkan, terutama
jika individu lain tersebut dipandang kurang layak memiliki harta tersebut (Shoeck, dalam Belk, 1985).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa aspek materialisme menurut Richins dan Dawson (1992), terdiri dari kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting,
barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, barang milik sebagai alat ukur kesuksesan, sedangkan menurut pendapat Belk (1985),
aspek materialisme terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan kecemburuan/iri hati.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek materialisme menurut
peneliti angkat. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan aspek-aspek materialisme Richins dan Dawson sebagai orientasi nilai
individual.
3. Faktor-Faktor Materialisme
Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015), terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah
ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah: a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman.
b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan
(hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam keluarga.
c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media. d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang
mendorong konsumerisme.
e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran.
f. Faktor jenis kelamin. Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan
g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank
yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja
maupun memiliki nilai materialistik tinggi.
Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya
yaitu:
a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang
merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber dari:
1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara
psikologis.
2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara
psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis.
3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara
ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang
b. Tayangan peran model yang materialis
1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu
menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.
2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki
harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang cenderung materialis.
3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan
referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya. Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman.
Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer. Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih
baik pada materialisme dibanding dengan figure di media. Hal ini mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola
konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan
penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua
yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman
atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang
kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran (Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor
religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait
dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai
religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut.
Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka
kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada
kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam
Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015) bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk
meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa. B. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas
Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) menyatakan, bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama (ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,
saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas.
Nurcholish Madjid (dalam Jalaluddin, 2016) meyatakan, bahwa religiusitas
adalah tingkah laku yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra-empiris. Ia meletakan sesuatu yang empiris sebagai mana layaknya, tetapi ia meletakkan
nilai sesuatu yang empiris di bawah supra-empiris.
Ancok dan Suroso (dalam Purwadi, 2007) mengartikan religiusitas sebagai
bukan hanya terjadi ketika individu melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan
supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak. Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta
keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam
kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama
(ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,
saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas pada diri individu.
2. Dimensi-dimensi Religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) religiusitas terdiri dari lima macam dimensi, yaitu:
a. Dimensi keyakinan (ideologi) menunjukkan tingkat keyakinan atau keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Walaupun
diantara agama-agama, tetapi juga seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
b. Dimensi praktik agama (ritualistik) mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan ketaatan. Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang dilakuakn para pemeluknya.
Sedangkan ketaatan dan ritual bagaikan ikan dalam air.
c. Dimensi pengalaman (eksperiensial) berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami individu atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) terhadap komunikasinya terhadap Tuhan.
d. Dimensi pengetahuan (intelektual) menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang
termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya.
e. Dimensi pengamalan (konsekuensial) mengacu pada identifikasi dari akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu
dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya
dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Dimensi ini merupakan efek seberapa jauh kebermaknaan religiusitas individu. Jika keimanan dan ketaqwaan individu tinggi, maka berdampak positif pada perilaku individu
Menurut John E. Fetzer (1999) dimensi religiusitas terdiri dari dua belas dimensi diantaranya yaitu:
a. Daily spiritual experiences
Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini daily spiritual experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal yang transenden (Tuhan, sifat-Nya) dan persepsi interaksi dengan
melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga daily spiritual experiences lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif,
Underwood (dalam Fetzer, 1999). Persepsi “merupakan kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu” (Chaplin, 2011). Jadi, daily spiritual experiences merupakan
kesadaran individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal yang transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupannya
sehari-hari. b. Meaning
Konsep Meaning dalam hal religiusitas sebagaimana konsep meaning
yang dijelaskan oleh Fiktor Vrankl yang biasa disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang
berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya, Pargament (dalam Fetzer, 1999). Individu yang hidupnya dilandasi dengan agama akan merasa
bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan Tuhannya.
c. Values
Konsep values menurut Merton (dalam Fetzer, 1999) yaitu
menggambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sebagai tujuan hidup, dan norma-norma sebagai sarana untuk tujuan hidup tersebut. Para ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria yang digunakan
orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (Williams dan Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini menilai sejauh mana perilaku
individu mencerminkan ekspresi normatif atau keimanan agamanya sebagai nilai tertinggi. Dengan kata lain, konsep values yang dimaksud adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai
tersebut mengajarkan tentang nilai agama yang mendasarinya untuk saling menolong, melindungi dan sebagainya.
d. Beliefs
Konsep beliefs menurut Idler (dalam fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Beliefs merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang
dibawa oleh suatu agama. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam, konsep beliefs dikenal dengan istilah rukun iman, yaitu: iman kepada Allah, Malaikat, Kitab (Al-Qur’an), Rasul, hari akhir, takdir qodho dan
qodar. Iman adalah “ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan
amalan dengan anggota badan”. Dari pengertian tersebut, maka yang
e. Forgiveness
Dimensi forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup
lima dimensi turunan, yaitu:
1) Pengakuan dosa, yaitu melakukan pengakuan atas kesalahan ataupun
dosa yang telah diperbuat, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan.
2) Merasa diampuni oleh Tuhan, yaitu merasa bahwa Tuhan akan
mengampuni kesalahan yang telah diperbuat dengan cara bertaubat kepada Tuhan.
3) Merasa dimaafkan oleh orang lain, yaitu merasa bahwa individu lain memberi maaf terhadap dirinya yang pernah melakukan kesalahan. 4) Memaafkan orang lain, yaitu memberi maaf kepada individu lain yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya.
5) Memaafkan diri sendiri, yaitu memberi maaf kepada diri sendiri atas
kesalahan yang telah diperbuat dengan cara menyesali perbuatan tersebut.
f. Private Religious Practices
Private religious practices menurut Levin (dalam Fetzer, 1999) merupakan perilaku beragama dalam praktik beragama yang meliputi
ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan
hanya sekedar membaca kitab suci, tetapi juga memahami kandungan dari isi kitab suci tersebut.
g. Religious coping
Religious coping menurut Pargament (dalam Fetzer,1999) merupakan
coping stres dengan menggunakan pola dan metode religious. Bentuk religious coping diantaranya berdoa, beribadah untuk menghilangkan stres, dan sebagainya.
h. Religious Support.
Religious support menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek
hubungan sosial antara individual dengan pemeluk agama sesamanya. Religious support juga dapat terjadi antara individual dengan kelompok/lembaga dalam agamanya.
i. Religious history
Dimensi ini mengukur sejarah keberagamaan tiap individu. Sebagai
perbandingan untuk mengukur partisipasi keberagamaan individu saat ini. j. Commitment
Konsep commitment menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah
seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya. Komitmen dalam mementingkan
agamanya dapat dimisalkan dengan kesungguhan individu untuk berusaha menerapkan keyakinan agama yang dianutnya ke dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan kontribusi individu terhadap agamanya dapat
k. Organizational religiousness
Konsep Organizational religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999)
merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam organisasi keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas di
dalamnya. Dalam hal ini termasuk perilaku dan sikap terhadap individu terhadap organisasi keagamaan.Yang termasuk ke dalam perilaku terhadap organisasi keagamaan misalkan, keaktifan seseorang untuk melibatkan
dirinya dalam kegiatan organisasi keagamaan. Sedangkan yang termasuk ke dalam sikap terhadap organisasi keagamaan misalkan, seseorang
merasa senang apabila mengikuti organisasi keagamaan bersama orang lain yang seagama.
l. Religious preference
Konsep Religious preference menurut Ellison (dalam Fetzer, 1999) yaitu memandang sejauh mana individu membuat pilihan dalam memilih
agamanya dan memastikan pilihan agamanya tersebut, yang termasuk pandangan individu dalam memilih agamanya misalkan, merasa bangga ataupun nyaman atas agama yang dianutnya. Sedangkan yang termasuk ke
dalam individu memastikan pilihan agamanya misalkan, dia merasa yakin bahwa agama yang dianutnya akan menyelamatkan kehidupannya kelak.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) terdiri dari dimensi Ideologi, ritual, pengalaman, intelektual dan pengamalan. Menurut
religious coping, religious Support, religious history, commitment,
organizational religiousness, religious preference.
Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dijelaskan di atas, peneliti memilih untuk menggunakan dimensi dari Glock dan Stark (dalam Jalaluddin,
2016), karena dimensi tersebut lebih relevan dan lebih komprehensif, dimensi religiusitas Glock dan Stark memberikan penjelasan lebih dalam dan menyeluruh dari berbagai sisi tentang religiusitas, tidak hanya dalam hal yang
tampak namun juga aktivitas yang tidak tampak seperti orientasi nilai individu. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang merujuk pada dimensi Glock
dan Stark terkait dengan religiusitas.
C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Materialisme pada Mahasiswa
Dewasa ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya beragama dan sangat mementingkan religi dalam hidupnya, hal ini bisa dilihat
pada ideologi dasar negara yang meletakan keTuhanan di posisi teratas. Fenomena semangat pendalaman ajaran agama pada generasi muda di Indonesia menunjukan gejala peningkatan (Afiatin, 1998). Individu yang
religius diketahui memiliki keyakinan, ketaatan, pengalaman, pengetahuan dan pengamalan yang diarahkan secara sadar dan sungguh-sungguh pada ajaran
agamanya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung memiliki regulasi diri yang baik sehingga tidak kompulsif dalam berbelanja (Djudiyah dan Sumantri, 2015).
kompulsif. Komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai agama yang telah diinternalisasinya akan berfungsi sebagai regulasi diri mapun kontrol diri
dalam berperilaku. Individu yang memiliki religiusitas tinggi mampu menunda kegembiraan dengan baik serta memiliki performance yang lebih baik pada
pengukuran prestasi akademik dan penyesuaian sosial (McCullough dan Willoughby, 2009).
Menurut Joung, (2013) mahasiswa saat ini sangat memperhatikan
penampilan, dan memiliki sikap konsumtif terhadap barang yang pembeliannya cenderung tidak direncanakan (compulsive), dan lebih banyak
dari yang dibutuhkan. Pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket dan mall selalu dipenuhi oleh kalangan muda berstatus mahasiswa yang menunjukan perilaku konsumtif. Lingkungan hidup mahasiswa saat ini juga
serat dengan nilai-nilai materialistis. Individu tersebut menjadi mudah terpengaruh oleh lingkungannya yang menyebabkan munculnya materialisme
di kalangan mahasiswa. (Johan dan Cahyo, 2016).
Individu yang materialistis juga dapat diketahui dari nilai yang dianutnya, yang menekankan kepentingan pada pemilikan harta benda dan
pemerolehannya sebagai tujuan hidup, parameter kesuksesan, dan sumber kebahagiaan (Richins dan Dawson, 1992). Individu yang materialistis
melakukan konsumsi demi konsumsi itu sendiri, karena tujuan hidupnya berhenti pada pemerolehan barang dan harta benda. Mereka memandang harta benda dan uang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan sosial, dan
menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan jumlah dan kualitas harta benda yang dikumpulkan (Husna, 2016).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa. Karakteristik
dari mahasiswa yang memiliki religiusitas dapat dijelaskan melalui dimensi religiusitas yaitu, dimensi ideologi, ritual, pengalaman, intelektual, dan pengamalan. Kelima aspek tersebut berhubungan dengan aspek-aspek
materialisme yaitu, kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai
kebahagiaan personal dan barang milik sebagai alat ukur kesuksesan.
Dimensi religiusitas yang pertama adalah dimensi kepercayaan (ideologi) terhadap Tuhan yaitu, keimanan individu terhadap ajaran-ajaran agamanya,
terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Serta keyakinan atau keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama
terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Individu yang memiliki kepercayaan yang tinggi pada Tuhan, mereka akan meletakan Tuhan sebagai tujuan hidup yang paling penting karena individu
yang religius memiliki pemahaman bahwa hanya dengan menuju Tuhan, kebahagiaan sejati bisa didapatkan. Hal tersebut tentu berhubungan dengan
materialisme individu yang hanya membatasi kebahagiaan sebatas kepemilikan benda-benda material semata. Aspek materialisme berupa tujuan hidup materialistis yang menekankan akan pentingnya kepemilikan barang dan
ajaran agama yang fundamental dengan hanya menuju Tuhan (Jalaluddin, 2016).
Dimensi yang kedua adalah dimensi praktik agama (ritualistik) yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan individu
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan ketaatan yang ditandai dengan seberapa jauh kepatuhan individu dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang
diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan meyakini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Individu yang selalu
taat menjalankan ajaran agamanya akan mengurangi sikap konsumtifnya karena di dalam agama terdapat ajaran tentang dilarangnya sikap hidup berlebihan terhadap barang materil yang identik dengan aspek materialisme
yang meyakini bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagian personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih
positif (Ahyadi, 2011).
Dimensi yang ketiga adalah dimensi pengalaman keagamaan (eksperiensial) yaitu, pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan
sensasi-sensasi yang dialami individu terhadap komunikasinya dengan Tuhan. Individu yang yang mengalami pengalaman spiritual akan menilai kesuksesan
seseorang berdasarkan pencapaian pada pengalaman spiritual tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan orientasi hidup antara Individu yang religius dengan individu yang materialis, di dalam ajaran agama, tujuan
menekankan aspek kepemilikan barang dan uang sebagai alat ukur untuk mengevaluasi prestasi dan tolak ukur kesuksesan diri sendiri juga orang lain.
Individu yang materialistis hanya melihat kesuksesan seseorang sebatas pada pencapaian materi seperti memiliki barang dan uang. Mahasiswa yang
mengalami pengalaman spiritualitas dalam hidupnya akan menilai kesuksesan seseorang tidak hanya pada pencapaian materi semata tapi kesuksesan tersebut diartikan sebagai pengalaman spiritualitas itu sendiri seperti kedekatan dan
perjumpaan dengan Tuhan (Purwadi, 2007).
Dimensi yang keempat adalah dimensi pengetahuan (intelektual) yang
ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Hal tersebut berpengaruh pada penurunan nilai
materialisme. Individu yang religius memandang kesuksesan sejati dapat diperoleh tidak hanya dengan perolehan benda material semata tapi lebih dari
itu, kesuksesan menurut individu yang memiliki religiusitas tinggi adalah perjumpaan dengan Tuhan, baik itu dalam dimensi kehidupan saat ini maupun kehidupan setelah kematian (Jalaluddin, 2016).
Dimensi yang kelima adalah dimensi pengamalan (konsekuensial) yang mengacu pada identifikasi dari akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman
dan pengetahuan individu dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Hal tersebut tentu
Komitmen yang tinggi dalam beragama akan berfungsi sebagai kontrol diri dalam menghadapi nilai-nilai materialisme (Djudiyah dan Sumantri, 2015).
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif
antara religiusitas dengan materialisme pada mahasiswa. Artinya, semakin tinggi tingkat religiusitas individu maka semakin rendah tingkat materialismenya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas