• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas Istilah spiritualitas diturunkan dari kata latin spiritus yang berarti nafas,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas Istilah spiritualitas diturunkan dari kata latin spiritus yang berarti nafas,"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Spiritualitas

1.1 Definisi Spiritualitas

Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata latin “spiritus” yang berarti nafas, istilah ini juga berkaitan erat dengan kata Yunani, “pneuma”, atau nafas yang mengacu pada nafas hidup atau jiwa (Potter dan Perry, 2007). Spiritualitas mencakup seluruh aspek kehidupan pribadi manusia dan merupakan sarana menjalani hidup, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai dimensi integral dari kesehatan dan kesejahteraan setiap manusia (Skokan dan Bader, 2000). Spiritualitas merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia yang diungkapkan melalui hubungan dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Sang Pencipta atau sumber hidup dan dibentuk melalui pengalaman kultural, spiritualitas merupakan pengalaman manusia yang universal (Young dan Koopsen, 2007).

Spiritualitas dapat didefinisikan sebagai pengalaman yang memberikan hubungan berarti dalam kehidupan, suatu cara untuk menginterpretasikan setiap peristiwa dalam hidup, merupakan sumber dari sukacita, harapan, kenyamanan, dan dapat menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan. Spiritualitas dapat diekspresikan melalui suatu hubungan dengan dengan Maha Pencipta, yang dapat dilihat dari pengalaman seperti ritual keagamaan, seni, atau aktifitas-aktifitas sosial (O’Reilly, 2004, p.46).

(2)

Spiritualitas atau kepercayaan spiritual dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan yang memiliki hubungan dengan suatu kekuasaan yang lebih tinggi, memiliki kekuatan, mengandung aspek tentang Tuhan, dan memiliki sumber kekuatan yang tidak terbatas. Contohnya seseorang yang percaya kepada Tuhan atau Sang Pencipta atau percaya kepada suatu kekuasaan yang lebih tinggi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004). Spiritualitas terdiri dari beberapa aspek menurut Burkhardt (1993), yaitu:

a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan

b. Menemukan arti dan tujuan hidup

c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri

d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

1.2 Dimensi Spiritual

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian dan untuk mendapatkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

(3)

Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang Maha Penguasa (Mickley et all, 1992).

Selanjutnya Stoll menguraikan bahwa spiritualitas adalah konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal mencakup hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal mencakup hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan, terdapat hubungan yang terus menerus antara kedua dimensi tersebut (Stoll, 1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

1.3 Karakteristik Spiritual

Karakteristik spiritualitas pada setiap individu didasarkan pada kebutuhan berhubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain atau sesama, dan hubungan dengan lingkungan atau alam (Bukhardt 1993 dalam kozier, Erb, & Blais, 2004).

a. Hubungan dengan Tuhan

Hubungan dengan Tuhan yaitu hubungan yang agamais atau tidak agamais, seperti berdoa/meditasi, membaca artikel religius, berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan, dan harmonis dengan alam. Kebutuhan spiritual yang berkaitan pada hubungan dengan Tuhan dapat diwujudkan dengan doa dan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan hal yang penting bagi setiap individu dan dapat

(4)

memberikan ketenangan pada individu yang melakukannya (Kozier, et all, 1995). Doa dan ritual agama juga dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri seseorang dan bagi seseorang yang sakit dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya dan mempercepat penyembuhan (Hawari, 2002).

b. Hubungan dengan diri sendiri

Memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, mengetahui hal apa yang harus dilakukan, percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan saat ini dan masa depan, merasakan kedamaian pikiran, dan harmoni dengan diri sendiri. Kebutuhan spiritualitas yang bersumber dari kekuatan dalam diri individu sendiri dalam menghadapi masalah, kebutuhan spiritualitas yang bersumber dari kekuatan diri sendiri meliputi kepercayaan, harapan, dan makna dalam kehidupan (Kozier, et all, 1995). Orang tua atau lansia sering mengarah pada hubungan yang penting dan menyediakan diri mereka bagi orang lain sebagai tugas spiritual, sejalan dengan makin dewasanya seseorang mereka sering introspeksi untuk memperkaya nilai yang telah lama dianutnya. Kesehatan spiritualitas yang sehat pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri sendiri (Potter & Perry, 2005).

1. Kepercayaan

Kepercayaan dapat diartikan sebagai menerima sesuatu hal walaupun tidak bisa dibuktikan atau diterima oleh logika manusia dan merupakan pemberian dari Sang Pencipta. kepercayaan memberikan kekuatan pada individu dalam menjalani kehidupan ketika mengalami kesulitan atau penyakit, kepercayaan membuat

(5)

seseorang percaya pada kekuatan dirinya sendiri, percaya pada kehidupan masa depan, memiliki ketenangan pikiran, dan memiliki keselarasan dengan diri sendiri (Taylor, Lilis , & Le Mone, 1997; Kozier, et al, 1995).

2. Harapan

Harapan dapat diartikan sebagai suatu keyakinan akan keinginan yang akan tercapai dalam hidup. Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan orang lain dan yang terutama melalui hubungan dengan Tuhan dan didasarkan pada kepercayaan. Harapan memberikan peranan penting bagi individu dalam mempertahankan dirinya saat menghadapi penyakit atau masalah, tanpa harapan individu akan merasa hampa, lesu/tidak bersemangat, dan terasa mati (Kozier, et all, 1995).

3. Makna kehidupan

Memiliki makna kehidupan menjadikan seorang individu merasa berharga dan berarti dan memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, orang lain, dan alam sekitar, dimana individu merasa hidupnya menjadi lebih terarah, memiliki masa depan, dan menerima kasih sayang dari orang lain disekitarnya (Puchalski, 2004 ; Kozier, et al, 1995 ).

c. Hubungan dengan orang lain

Hubungan dengan orang lain dapat menjadi hubungan yang harmonis dan tidak harmonis. Hubungan yang harmonis dengan orang lain, meliputi cinta kasih, dukungan sosial, perhatian pada anak-anak/orang sakit, mengunjungi orang yang

(6)

meninggal, yang dapat memberikan hubungan positif terhadap sesama. Keluarga dan teman dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional terhadap masalah atau penyakit yang dihadapi seseorang. Sedangkan hubungan yang tidak harmonis adalah konflik dengan orang lain, perselisihan dengan orang lain, dan memiliki perkumpulan yang terbatas. Hubungan dengan orang lain terdiri atas maaf dan pengampunan, cinta kasih dan dukungan sosial (Hart, 2002; Kozier, et al 1995). Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seseorang dengan orang lain, termasuk keluarga, teman akrab, rekan ditempat kerja, amggota komunitas masyarakat, dan lingkungan tetangga. Persahabatan mencakup komunitas yang mempunyai kepercayaan yang sama dan menciptakan ikatan yang kuat dengan orang lain sehingga menjadi sumber harapan bagi individu tersebut (Farran, et al, 1989 dalam Potter & Perry 2005).

1. Maaf dan pengampunan (forgiveness)

Dengan pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai (Puchalski, 2004).

2. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support)

Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk menghadapi stress dan melawan banyak penyakit (Hart, 2002).

(7)

d. Hubungan dengan Lingkungan

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan lingkungan dapat terlihat melalui kedamaian pada lingkungan dengan suasana yang tenang, kedamaian meliputi keadilan, empati, dan rasa kesatuan. Kedamaian dapat membuat individu menjadi lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatannya. Hubungan dengan alam adalah mengetahui tentang tanaman, pohon, kehidupan alam liar, cuaca, mampu bersatu dengan alam seperti berkebun, dan berjalan. Hubungan dengan lingkungan dapat terdiri dari rekreasi dan kedamaian. (Kozier, et all, 1995).

1. Rekreasi (Joy)

Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualnya, seperti medengar musik, menonton TV, dan berolah raga (Puchalski, 2004).

2. Kedamaian (Peace)

Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan dengan orang lain. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Hamid, 2000).

1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas

Menurut Taylor, et al (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang yaitu:

(8)

1. Perkembangan

Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah usia, individu akan menunjukkan dan membenarkan keyakinan spiritualitasnya (Taylor, et all, 1997). Setiap individu memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Menurut Westerhoff’s (1976 dalam Kozier, et al, 1995), perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari:

a. Spiritualitas pada masa anak-anak belum bermakna pada dirinya sendiri. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat melalui interaksi dengan orang lain seperti keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau meniru orang lain seperti orang tuanya.

b. Spiritualitas pada masa remaja sudah mulai memiliki keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan untuk meminta melalui berdoa kepada penciptanya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan, bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan pada dirinya sendiri.

c. Spiritualitas pada masa dewasa awal sudah memiliki pencarian kepercayaan diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala pertanyaan tentang

(9)

kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaan tersebut.

d. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang, berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan keagamaan, sehingga membuat individu lebih mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan.

2. Budaya

Spiritualitas adalah pengalaman individu yang berhubungan dengan konteks budaya (pincharoen and Congdon, 2003). Setiap budaya memiliki bentuk pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang berbeda. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang budaya seseorang. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar bagi seseorang dalam menentukan perilaku dan menjalani masalah hidup agar tetap seimbang (Taylor, et al , 1997).

3. Keluarga

Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk nilai moral dari hubungan keluarga. Keluarga merupakan tempat yang pertama bagi individu untuk memperoleh pengalaman dan pandangan hidup. Pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya. Dari keluarga individu belajar tentang Tuhan, arti kehidupan, dan dirinya sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi

(10)

kebutuhan spiritualitas bagi seorang anak karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari- hari anak tersebut dan umunya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga (Hidayat, 2006; Taylor, et al, 1997). Individu belajar tentang nilai moral serta spiritualitas dari hubungan keluarga. Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut oleh individu dari keluarga akan memberikan pengalaman spiritualitas yang unik bagi setiap individu (Hamid, 1999).

4. Agama

Agama merupakan cara pribadi untuk mengungkapkan spiritualitas melalui keanggotaan dalam komunitas, ibadat, dan ritual yang berdasarkan kepercayaan (Matthews & Clark, 1998). Kepercayaan dan praktik keagamaan, seperti berdoa, beriman kepada Tuhan, menyerahkan diri pada Tuhan, dan dukungan dari pemimpin agama atau umat menjadi sangat penting dalam menghadapai masalah bagi seorang individu (Koenig, 2000 dalam Young & Koopsen, 2007). Agama berperan sebagai sumber kekuatan dan kesejahteraan pada individu (Potter & Perry, 2005). Masalah umum yang dihadapi para lansia dalam beribadah biasanya dikarenakan keadaan kesehatan yang mulai menurun, sehingga pada umumnya kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan ibadat di masyarakat (pengajian, misa gereja, dll) serta kegiatan ibadah secara pribadi ( Sholat untuk yang beragam islam, bernyanyi, membaca Kitab Suci, dll) mulai berkurang juga. Lansia yang pengetahuan dan pendalaman tentang agama yang diyakininya kurang mendalam, maka mereka tidak akan dapat melakukan kegiatan ibadah dengan baik (Setijani dan Tri, 1998 dalam Agus dan Novia, 2008).

(11)

5. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi cara pandang spiritual seseorang dalam mengartikan kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, kelulusan dapat menimbulkan rasa syukur pada Tuhan. Sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan dianggap sebagi suatu cobaan. Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan (Taylor, et al, 1997).

6. Krisis dan Perubahan

Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Krisis dapat menguatkan bahkan menghilangkan spiritualitas seseorang. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisikal dan emosional (Craven & Hirnle, 1996 ).

1.5 Perkembangan spiritualitas pada lansia

Pertumbuhan spiritual pada lansia menunjukkan perkembangan perasaan identitas, penciptaan, dan pemeliharaan relasi yang bermakna dengan orang lain, dengan Tuhan, mampu menghargai alam, dan mengembangkan suatu kesadaran transendental. Spiritualitas pada lansia mencakup kemampuan berpikir abstrak, toleransi terhadap ambiguitas dan pertentangan, mengalami fleksibilitas emosional, dan memiliki komitmen terhadap nilai-nilai universal yang sejati (Young dan Koopsen, 2007).

(12)

Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan keagamaan. Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, mampu merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Para lansia juga akan mendapatkan pengalaman berharga yang bermanfaat melalui berbagi pengalaman dengan orang lain. Lansia yang tidak matur dalam spiritulitas akan menunjukkan kelemahan fisik merasa putus asa dan berkurangnya minat dalam pekerjaan atau komunitas sosial (Kozier, et all, 1995).

Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler dan Keen (1985) adalah Universalizing yaitu perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan. Pada lansia agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow,1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Murray dan Zentner,1970 dalam Kozier, et all, 1995).

Keikutsertaan dalam upacara keagamaan yang meningkat seiring bertambahnya usia seseorang adalah karena kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk lebih mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda (Hamid, 2000). Banyak kaum lansia mengatakan bahwa agama dan spiritualitas merupakan faktor terpenting dalam membantu dan mengatasi penyakit fisik dan tekanan hidup, atau beradaptasi karena kehilangan orang tercinta ( Ebersole & Hess, 1997; Koenig, 2000 dalam Young dan Koopsen, 2007).

(13)

Kebutuhan spiritual pada lansia umumnya adalah dengan mengisi waktu mereka untuk beribadah, melalui ibadah para lanjut usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan kedamaian menghadapi hari tua, mereka sangat menginginkan generasi penerus yang sungguh-sungguh dalam menjalani ibadah (Setiti, 2007).

2. Lanjut Usia

2.1 Definis Lanjut Usia

Usia lanjut di nyatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Keliat, 1999 dalam Maryam, 2008). Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri untuk mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).

Kondisi fisik lansia akan mengalami perubahan yang tidak dapat dihindari, perubahan akan terlihat pada jaringan dan organ tubuh, seperti kulit berkeriput, penglihatan semakin menurun, pendengaran juga berkurang, tulang keropos dan mudah patah, otot jantung bekerja tidak efisien, dan otak menyusut sehingga reaksi menjadi lambat. Perubahan-perubahan tersebut mengarah pada kemunduran psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial lansia (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2012).

(14)

2.2 Batasan-batasan lanjut usia

Dimulainya batas usia lanjut tampak bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, di Amerika Serikat, umumnya orang dianggap sebagai lansia bila telah mencapai usia 65 tahun, tidak peduli apakah mereka berkeluarga atau melajang (Setiti, 2007).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) adalah 44–59 tahun 2. Lanjut usia (elderly) adalah 60–74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) adalah 75–90 tahun 4. dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Hasil penelitian Koentjaraningrat dan kawan-kawan yang dilakukan di Sumatera Barat dan Sumba Timur (1995) menunjukkan bahwa para warga lansia di Sumatera Barat melihat hubungan antara usia kronologis dan kondisi fisik serta kesehatan sebagai hal yang penting untuk menetapkan kategori lansia. Di Bukittinggi usia 50-55 tahun dinyatakan sebagai dimulainya lansia, sementara di Padang, usia lanjut ditetapkan antara 55-60 tahun (Basri, 2006).

Menurut undang-undang no.4 tahun 1965 pasal 1, seseorang di nyatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Mubarok, 2006).

(15)

Saat ini di Indonesia hal-hal yang terkait dengan usia lanjut diatur dalam suatu undang-undang yaitu Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.13 Tahun 1998 tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas.

Dengan demikian, kelompok usia lanjut tidak dapat diperhitungkan dengan hanya melihat pada sisi umur saja, tetapi kelompok usia lanjut disesuaikan dengan kemampuan dan tugas perkembangan masing-masing individu, dan saat ini di Indonesia yang berlaku adalah Undang-undang No.13 Tahun 1998 (Suardiman, 2011).

2.3 Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Tugas-tugas perkembangan pada lansia mencakup menemukan makna hidup dan bagaimana mendapatkan aspek-aspek positif dari kehidupan. Tugas-tugas perkembangan lansia juga mencakup hal-hal berikut (Hitchcock et al, 1990 dalam Young dan Koopsen):

1.) Merencanakan untuk mengatur hidup yang aman

2.) Mewujudkan gaya hidup yang sehat

3.) Melanjutkan relasi hangat dengan keluarga dan teman-teman

(16)

5.) Menghadapi realitas dari kematian diri sendiri dan kematian orang-orang yang dicintai.

3. Budaya dan Suku

3.1 Budaya

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa Indonesia mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat atau tradisi. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah wujud ideal yang bersifat abstrak yang tidak dapat diraba yang berada dalam pikiran manusia yang dapat berupa gagasan, ide, norma, keyakinan dan lain sebagainya. Dalam setiap kebudayaan terdapat unsur-unsur yang juga dimiliki oleh kebudayaan lain. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur-unsur kebudayaan yang universal yang meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem tekhnologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1989).

3.2 Suku Batak

Suku bangsa adalah suatu kelompok masyarakat yang terikat oleh kesatuan budaya, bahasa, dan tempat tinggal. Oleh karena itu, setiap suku bangsa memiliki bahasa yang berbeda, tradisi dan kebudayaannya juga berbeda. Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah Suku Batak. Suku Batak merupakan salah satu suku yang berada di Indonesia dan sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak

(17)

Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Harahap, 1940).

Beberapa kategori yang ada pada suku Batak memiliki kesamaan berupa marga. Asal usul keluarga dari masyarakat suku Batak dapat ditelusuri dari marga yang dimiliki masyarakat Batak semenjak lahir. Menurut Vergouwen (1986), marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yaitu keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal, maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya dibelakang nama kecilnya (Koentjaraningrat, 2007). Marga dalam Suku Batak sangatlah penting karena marga adalah suatu identitas keturunan dari pendahulu atau nenek moyang, oleh Karena itu orang Batak selalu meletakkan marga dibelakang namanya. Marga dalam setiap kategori Suku Batak berbeda dengan yang lainnya. Marga dalam Suku Batak Toba pada umumnya adalah Ambarita, Butar-butar, Hutagalung, Limbong, Manihuruk, Panjaitan, Rajagukguk, sagala, Siboro, Tambun, dll. Marga dalam Batak Karo pada umumnya adalah Sembiring, Tarigan, Ginting, Barus, dan Perangin-angin. Marga pada Suku Batak Simalungun yaitu Saragih, Purba, Sipayung, Sinaga, dan Damanik. Marga dalam Batak Pakpak yaitu Kudadiri, Sinamo, Sitakar, dll, sedangkan marga dalam Batak Mandailing pada umumnya yaitu Harahap, Lubis, Nasution, Pohan, Rambe, dll (Rajagukguk, 2012).

(18)

Dalam nilai Budaya Batak prioritas nilai budaya yang pertama adalah kekerabatan dan yang kedua adalah religi, kedua nilai prioritas ini menjadi ciri dan identitas bersama orang Batak (Harahap, 1940). Kekerabatan mencakup hubungan antar sesama suku, kasih sayang antar hubungan darah, kerukunan hubungan dengan masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dll. Nilai kekerabatan atau keakraban berada ditempat yang tinggi bagi aturan masyarakat Batak, dan hal ini terwujud dalam pelaksanaan adat, tutur sapa, dan bersikap terhadap sesama. Religi mencakup kehidupan keagamaan yang kemudian mengatur kehidupannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Situmeang, 2007).

Dalam hal kemasyarakatan masyarakat Batak pada umumnya membangun perkampungan atau desa sebagai tempat tinggal mereka yang disebut dengan huta dengan mata pencaharian sebagai seorang petani karena itu mereka memanfaatkan alam untuk memnuhi kebutuhan hidupnya. Kepercayaan masyarakat Batak meyakini adanya Tuhan yang Maha Tinggi yang disebut dengan Mula Jadi Nabolon. Perkembangan penyebaran agama pada masyarakat Batak dimulai pada tahun 1863 saat misionaris dari Jerman I. L. Nomensen menyebarkan agama Kristen, sehingga banyak masyarakat Batak menganut agama Kristen, walaupun setelah itu sudah ada juga orang Batak yang menganut agama lain, misalnya Islam pada masyarakat Batak Angkola/ Mandailing (Harahap, 1940).

(19)

3.3 Lansia pada Suku Batak

Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan lanjut usia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan lanjut usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Pada suku Batak, lanjut usia laki-laki disapa Opung Bulang, untuk wanita disapa dengan Opung Nini (Situmeang, 2007).

Lansia Suku Batak menyadari bahwa waktunya hidup didunia sudah tidak lama lagi sehingga para lansia ini akan mengusahakan hidup dengan berbuat baik dan benar kepada keluarga maupun semua orang yang dikenalnya (Situmeang, 2007). Masyarakat Suku Batak akan melakukan penghiburan kepada orang yang sedang berduka termasuk para lansia yang kehilangan pasangan hidupnya. Antara 5 sampai 15 hari setelah kematian seseorang maka biasanya para kerabat-kerabat dan masyarakat akan datang lagi kerumah duka untuk melakukan penghiburan atau yang dikenal juga dengan mangapuli (pangapohan). Artinya para kerabat yang datang itu mengingatkan bahwa berduka yang berkepanjangan tidak ada artinya dan bagi yang ditinggalkan diharapkan dapat memetik hikmah dari kehidupan lansia yang telah meninggal tersebut, sehingga para lansia yang ditinggal pasangannya akan merasa terhibur dan tidak putus asa. Para kerabat yang datang juga akan memberikan kata-kata nasihat kepada yang berduka agar lebih berserah kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan (Sinaga, 2010).

(20)

Orientasi nilai-nilai Budaya Batak juga mengatur hakekat hubungan manusia dengan alam yaitu memiliki hubungan yang akrab dengan alam, karena alam dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hakekat hubungan manusia Suku Batak memiliki intensitas yang tinggi terhadap sesamanya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat membuat kadar partisipasi yang kuat untuk senantiasa terlibat dalam setiap aktivitas hubungan antar manusia, dan apabila ada salah seorang anggota masyarakat yang berduka maka para masyarakat akan melakukan hak dan kewajibannya pada orang tersebut, khususnya bagi para lansia yang sudah janda ataupun duda akan dirawat dengan baik oleh keluarganya (Harahap, 1940).

Budaya Batak yang menganut garis kerabat patrilineal, secara budaya lanjut usia tinggal bersama kerabat ayah, bila tidak dapat dilakukan, maka kewajiban akan berpindah kepada adik laki-lakinya, namun ditemukan juga lanjut usia yang tinggal pada kerabat garis ibu atau tinggal berpindah antara anak satu dan lainnya. Peran dan tanggung jawab keluarga patrilineal terhadap orang tua yang telah lanjut usia dan sudah kehilangan suami/istri sangat baik, karena para anak-anaknya akan merawat lansia tersebut. Hal ini sangat baik karena para lansia tersebut tidak akan merasa kesepian. Bagi suku batak Toba memandang bahwa orang tua adalah kehormatan bagi keluarga sehingga sangat dipantangkan apabila orang tua berada dipanti jompo (Setiti, 2007).

(21)

4. Kehilangan Dan Berduka

4.1 Definisi Kehilangan (loss)

Kehilangan adalah suatu kondisi aktual atau potensial yang mengakibatkan sesuatu hal berubah, berpisah dalam jangka waktu yang lama, atau kehilangan karena bepergian. Kehilangan (loss) dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan adanya perubahan dalam hidup sehingga akan timbul perasaan kehilangan.

Seseorang bisa mengalami kehilangan yang bersumber dari kehilangan bagian anggota tubuhnya sendiri, kehilangan objek eksternal seperti kehilangan uang, kehilangan lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan, dan kehilangan salah seorang yang dicintai karena kematian. Kematian adalah pengalaman kehilangan yang sangat berarti, bagi yang mengalami kehilangan dan yang berjuang dalam mempertahankan hidupnya. Kehilangan seseorang karena kematian dapat menjadi suatu masalah yang sangat mengganggu, dan pada umumnya kelompok masyarakat Amerika menunjukkan penolakan terhadap kematian (Kozier, et all, 2004).

4.2 Berduka

Berduka (Grieving) adalah suatu respon emosional terhadap kehilangan yang dirasakan dan diwujudkan dengan berbagai cara pada masing-masing individu dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang diyakini individu (Hidayat, 2009).

(22)

Lamanya proses berduka yang dialami oleh seorang individu sangat individual dan dapat sampai beberapa tahun lamanya. Menurut teori Martocchio (1985) menyatakan bahwa durasi berduka atau kesedihan yang dialami individu bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dan kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut 3-5 tahun (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004), sedangkan menurut Worden, 1991 dalam Lueckenotte, 2000 mengatakan bahwa respon berduka yang perlu diperhatikan pada seseorang normalnya adalah 3 bulan sampai 1 tahun setelah pengalaman kehilangan dan jika para lansia tersebut telah mengalami pengalaman kehilangan yang banyak maka akan membutuhkan waktu berduka yang lebih lama.

Respon berduka terhadap kehilangan yang paling dikenal adalah yang dikemukan oleh (Kubler-Ross dalam Potter dan Perry, 1997) yang menjelaskan bahwa terdapat lima tahap dalam proses respon seseorang terhadap dukacita, yaitu:

1. Penolakan (denial)

Reaksi awal individu terhadap kehilangan adalah tidak percaya, syok, dan mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.

2. Marah (angry)

Pada tahap ini individu yang menolak kehilangan akabn menunjukkan kemarahan yang di proyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri.

(23)

3. Tawar menawar (Bargaining)

Pada tahap ini individu sudah mulai menunda kesadaran atas terjadinya kehilangan dan membuat seolah-olah kehilangan yang dialaminya dapat dicegah. Individu mungkin berupaya melakukan tawar menawar dengan memohon kemurahan kepada Tuhan.

4. Depresi (depression)

Pada tahap ini sering ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan menyatakan keputusasaan,tidak mau bicara, dan bisa timbul keinginan bunuh diri.

5. Penerimaan (Acceptance)

Pada tahap ini pikiran individu yang mengalami kehilanganyang selalu berpusat pada objek yang hilang akan berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan dan sudah mulai memikirkan rencana masa depan dan mulai beralih kepada hal yang baru. Apabila individu tersebut mampu menerima kehilangan dengan perasaan damai maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.

4.3 Kehilangan pada lansia

Penyesuaian utama yang harus dilakukan oleh lanjut usia adalah penyesuaian yang dilakukan karena kehilangan pasangan hidup. Kehilangan pasangan hidup adalah kehilangan suami atau istri. Kehilangan tersebut dapat disebabkan oleh kematian atau penceraian (Hurlock, 1999). Kondisi ini mengakibatkan gangguan emosional dimana lanjut usia akan merasa sedih akibat

(24)

kehilangan orang yang dicintainya (Hidayat, 2004). Dampak kehilangan pada masa dewasa tua dan lansia adalah kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan (Hidayat, 2009).

Lansia pada umumnya telah menyadari bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan yang normal, tetapi kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang ditingalkan akan menemukan penyesuaian kematian dengan mudah. Hilangnya pasangan menuntut reorganisasi fungsi keluarga secara total karena kehilangan pasangan akan mengurangi sumber emosional dan ekonomi serta diperlukan penyesuaian untuk menghadapi kehilangan tersebut (Maryam, 2008).

Lansia yang sudah janda atau duda memiliki kesadaran akan hidup sendiri yang menjadi suatu pengalaman yang menakutkan. Pasangan hidup meninggal, selain itu anak-anak meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Rasa sepi pada keadaan seperti itu menimbulkan keraguan akan makna hidup atau nilai dirinya dan guna bagi masyarakat (Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, 2012).

Masalah utama yang dihadapi oleh lansia yang berstatus janda atau duda adalah masalah kesepian karena kematian pasangannya. Secara umum laki-laki lebih cenderung bermasalah bermasalah baik dalam hal kesehatan fisik maupun mental, serta memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini karena semasa hidupnya laki-laki lebih mempercayakan segala hal kepada

(25)

istrinya seperti keterikatan sosial, tugas-tugas rumah tangga, dan memecahkan masalah dalam menghadapi stress, sehingga pada umumnya laki-laki kurang persiapan dari pada perempuan dalam menghadapi tantangan sebagi seorang duda (Suardiman, 2011). Laki-laki juga cenderung kurang terlibat dalam kegiatan keagamaan yang merupakan suatu sumber dukungan yang sangat penting untuk memperoleh dukungan sosial dan kekuatan dari Tuhan (Berk, 2007; 619 dalam Young dan Koopsen, 2007).

Berbeda dengan wanita yang lebih mampu mengatasi kondisi menjadi janda, alasannya adalah bahwa mereka memiliki hubungan persahabatan yang erat dan mendalam dengan orang lain dan umumnya sudah terbiasa memiliki hubungan sosial yang lebih luas. Para wanita juga lebih mampu mengekspresikan emosinya, sehingga dapat segera bangkit untuk menyesuaikan dirinya kembali. Sebagai janda lansia juga cenderung memiliki teman senasib atau sama-sama hidup sendiri sehingga merasa lebih siap menghadapi hidup tanpa seorang suami (Suardiman, 2011).

Kemungkinan para lanjut usia merasa dapat menerima untuk mengenali kesedihan karena kehilangan pasangan hidup. Lansia sering mengalami banyak kepuasaan hidup yaitu kegunaan dan kenikmatan hidup berakhir pada usia tua, semakin lama seseorang hidup maka akan semakin banyak membentuk ikatan cinta (Rando, 1986, Kastenbaum, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel didapatkan hasil data pre test atau sebelum diberi pendidikan kesehatan bahwa responden yang memiliki sikap pencegahan ISPA dengan kategori baik

Kombinasi dari peningkatan jumlah ATP untuk proses transkripsi sinyal pemanggil sel-sel imunitas dan vasodilatasi yang meningkatkan aliran darah untuk membawa sel-sel imun

RANCANG BANGUN PENAMPUNG SAMPAH DENGAN PENGANGKAT SEMI OTOMATIS MENGGUNAKAN SISTEM PENGGERAK MOTOR..

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam perkembangan moral anak sudah terlibat dengan baik seperti selalu memberi nasihat ketika anak berbuat salah,

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang ber judul “Uji Nutrisi

Seng dalam plasma diangkut oleh albumin sebesar 57% , 40% alfa makroglobulin dan 3% oleh molekul dengan berat ligan rendah seperti asam amino. Albumin membawa seng sampai ke

Kepala Puskesmas melakukan pemeriksaan keuangan secara berkala Ya, setiap bulan Ya, setiap 3 (tiga) bulan Ya, setiap 6 (enam) bulan Ya, satu tahun sekali Ya, Tidak  Tentu  Tidak