• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum tidak lagi semata-mata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ketentuan hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum tidak lagi semata-mata"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana di ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya bahwa segala perbuatan yang dilakukan baik oleh anggota masyarakat maupun aparat negara dan pemerintah harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum tidak lagi semata-mata dipandang sebagai norma atau aturan belaka, tetapi lebih jauh dari itu sebagai mekanisme pragmatik dalam menyelesaikan setiap masalah secara proporsional.

Demikian pula halnya dengan petugas lembaga pemasyarakatan (Lapas), didalam melaksanakan tugas pembinaan terhadap narapidana, mereka harus tunduk kepada peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu hukum harus terbuka pada kemungkinan adanya self regulation atau social agreement baru di tengah masyarakat sebagai cara untuk menghidupkan kembali kapasitas dan kreativitas masyarakat dalam mengatur dan melaksanakan tugas serta menyelesaikan konflik yang timbul secara damai. Campur tangan hukum yang semakin luas kedalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga semakin intensif.

(2)

Dalam kaitannya dengan pengertian negara hukum ini, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian menjadi rechtmatigheid, dan the rule of law mengutamakan prinsip equality before the law, sedangkan negara hukum Indonesia menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila, yakni terjadinya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negra, penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir, sedangkan sejauh mengenai hak asasi manusia yang ditekankan bukan hanya hak atau kewajiban saja, tetapi juga jalinan yang seimbang antara keduanya.1

Inti dari pembinaan narapidana itu sendiri pada hakekatnya tercermin dalam definisi Sistem Pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan terpadu antara pembina dengan yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan, agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali ditengah-tengah masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

1 Philipus M. Hardjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,

(3)

Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Asas yang dianut sistem Pemasyarakatan menempatkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan yang memerlukan perlakuan yang wajar dengan pembinaan, pendidikan dan pembimbingan. Pelaksanaan pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan agar narpidana menjadi manusia seutuhnya sebagaimana telah menjadi arah pembangunan nasional, melalui jalur pendekatan memantapkan iman dan membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar didalam kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah selesai menjalani pidananya.

Sebagaimana tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 7 ayat (2) secara umum pembinaan narapidana dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu :

1. Pembinaan tahap awal yaitu pembinaan bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana;

2. Pembinaan tahap lanjutan yaitu meliputi :

a. tahap lanjutan pertama, yaitu sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu perdua) dari masa pidana.

(4)

b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

3. Pembinaan tahap akhir, dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.2 (Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 7)

Dengan tahapan-tahapan pembinaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan bertujuan untuk mempesiapkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Salah satu wujud dari pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan adalah dengan diberikannya pembebasan bersyarat.

Proses pembebasan bersyarat pada dasarnya merupakan bentuk pelayanan oleh Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat baik substantif maupun syarat administratif, dalam proses pemberian pembebasan bersyarat tersebut harus memenuhi standar pelayanan, tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat yaitu cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum, kepastin hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,

(5)

keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Sehingga akan tercermin tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa sebagaimana lazim disebut dengan Good Governace.

Dalam praktek pengusulan pembebasan bersarat terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata tidak mudah bagi seorang narpidana untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat harus melalui prosedur yang tidak sederhana dan melibatkan banyak instansi pemerintah baik sebagai pemberi izin maupun sebagai pengawas pelaksanaan program tersebut. Prosedur administrasi yang berbelit-belit dalam implementasi pemberian hak-hak narapidana ini merupakan hambatan yang bersifat prosedural dan administratif bagi pelaksana proses pemasyarakatan narapidana.

Banyaknya pihak terkait dalam pengusulan pembebasan bersyarat, yaitu mulai dari ketua RT/RW dan Lurah/Kepala Desa tempat narapidana berdomisili, Lembaga Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan dan direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Narapidana yang diusulkan untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat harus menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu sejak pemberitahuan yang bersangkutan telah memasuki tahap 2/3 masa pidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, sampai diterbitkannya Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat dari direktur Jenderal Pemasyarakatan.

(6)

Selain harus melengkapi syarat-syarat sebagai mana tercantum dalam peraturan perundang-undangan, narapidana atau keluarga narapidana oleh oknum petugas Lembaga Pemasyarakatan diminta partisipasinya untuk ikut menanggung beban biaya pengusulan.

Pungutan yang tidak tertulis dan bersifat diskresi ini dapat dibandingkan dengan pungutan yang secara ekplisit tertuang dalam suatu peraturan. Menurut Prayudi, jika ada peraturan misalnya mengadakan pungutan pembayaran atau sumbangan wajib yang tidak diperintahkan oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah dan hakim pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau menaatinya, dan bilamana pejabat penguasa memaksakan peraturan tersebut maka dia dapat dituntut sebagai penyalah guna kekerasan negara, minimal digugat sebagai perkara perbuatanpenguasa yang melawan hukum3

Panjangnya birokrasi dan proses administrasi pengusulan pembebasan bersyarat ini berpotensi membuka peluang terjadinya penyimpangan atau korupsi yang dilakukan oleh oknum petugas Lembaga Pemasyarakatan, dengan kondisi ekonomi narapidana yang berbeda satu dengan yang lain berpotensi menimbulkan perlakuan diskriminatif dalam hal pengusulan untuk mendapatkan hak Pembebasan Bersyarat, hal-hal sebagaimana tersebut di atas disinyalir terjadi pelanggaran hukum oleh oknum petugas pemasyarakatan, hal

(7)

tersebut ditengarai seringnya terjadi pengaduan baik melalui surat kaleng maupun lewat mass media.

Apabila asumsi ini benar tentu akan mencederai salah satu asas yang menjadi dasar pelaksanaan sistem pembinaan pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Mengingat sistem pemasyarakatan pada hakekatnya juga merupakan mata rantai dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) maka dapat dikatakan bahwa petugas pemasyarakatan/petugas lembaga pemasyarakatan merupakan aparatur penegak hukum, dengan keberadaannya menjadi bagian integral dari sistem peradilan pidana terpadu, maka perlu kiranya bagi petugas lembaga pemasyarakatan untuk membaca, menghayati dan melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pembahasan mengenai pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana ini sangat penting karena saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tengah gencar-gencarnya membangun citra positif terkait dengan sorotan di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara dan cabang Rumah Tahanan Negara dengan pemberitaan yang kurang mengenakkan dengan mencanangkan disetiap unit pelaksanan teknis Pemasyarakatan harus bebas dari peredaran uang sebagaimana diprogramkan dalam Budaya Tertib Pemasyarakatan (BUTERPAS) pelaksanaan ketentuan

(8)

tersebut mutlak harus didukung dengan iklim kondusif yang dibangun melalui semangat kerja petugas pemasyarakatan yang anti korupsi. Menjadi hal yang sulit untuk membina narapidana dalam hal peredaran uang jika disisi lain petugas pemasyarakatan khususnya di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan masih menerima bantuan keuangan dari narapidana atau keluarganya dalam pelaksanaan program-program pembinaan, termasuk dalam hal ini program pembebasan bersyarat. Karenanya apabila pelaksanaan program pembinaan ada ketergantungan terhadap bantuan finansial dari narapidana atau keluarganya sudah seharusnya mulai dihentikan.

Dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Sleman yang ada saat ini, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan sistem pembinaan narapidana yang berkeadilan khususnya dalam hal yang berkaitan dengan pemberian hak pembebasan bersyarat. Pembahasan mengenai pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana ini hakekatnya terkait juga dengan program pemerintah dalam kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yan bersifat khusus. Yaitu berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia antaralain terhadap: anak, remaja, wanita, buruh formal dan informal, manusia lanjut usia, penyandang cacat, kelompok minoritas, kelompok miskin, tahanan dan narapidana. Penghapusan diskriminasi dalam segalabentuk serta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Kelopok rentan ini perlu mendapat perhatian khusus agar kepentingannya dapat terakomodir

(9)

dengan baik. Perlindungan hak asasi manusia terhadap narapidana menjadi perhatian bagi pemerintah, hal ini dikarenakan kedudukan narapidana berada pada posisi yang lemah akibat dirampasnya kemerdekaan mereka.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, timbul beberapa pertanyaan yang dapat diformulasikan menjadi permasalahan yang akan diteliti yaitu :

1. Apa kewenangan Lembaga Pemasyarakatan terhadap pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Sleman?

2. Faktor-faktor apa yang menghambat dalam pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapiana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman? 3. Upaya apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk mengatasi

hambatan dalam pemberian hak Pembebasan Bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman?

C. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis penelitian ini belum ada yang secara khusus melakukannya

1. Hasil penelusuran arsip permohonan izin Penelitihan yang ada di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta kami dapatkan satu judul Tesis dan satu judul Skripsi yang relevan yaitu Pertama Sdr. W.S.R. Aris Supriadi. Judul penelitian

(10)

Pembinaan narapidana penyalahgunaan narkoba pada Lapas Narkotika Yogyakarta Dalam Rangka Meningkatkan Kadarkum. Kedua Sdr. Muhammad Rezeki Suryana, ST. Dengan judul Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta.

2. Dari penelusuran internet didapatkan Tesis yang relevan dengan pene-litian yang akan dilakukan namun berbeda dalam materi permasalahan maupun sudut pembahasannya yaitu Pengaruh Pembebasan Bersyarat dan Cuti Mengunjungi Keluarga terhadap Perilaku Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan (Tesis ditulis oleh Sdr. Dat Menda, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara).

D. Faedah Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah-faedah baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain sebagai berikut:

1. Faedah secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya dalam pemberian pembebasan bersyarat.

2. Faedah Praktis

Faedah praktis dari hasil penelitian ini untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan dapat memberikan wacana bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui masalah yang terkait

(11)

dengan peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam pelayanan publik khususnya dalam hal pemberian pembebasan bersyarat.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan maka tujuan penelitian akan dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman dalam pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana.

2. Untuk mengetahui Hambatan/kendala yang dihadapi dalam pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapiana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pemberian hak Pembebasan Bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman.

Referensi

Dokumen terkait

Antara lain pengembangan standar gedung ramah lingkungan dan berkelanjutan; pengembangan area hijau dan hutan kampus yang terpadu; penataan infrastruktur (drainase, listrik,

sampai di rumah Terdakwa ditemukan dari dalam kamar tidur Terdakwa 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan sisa Narkotika dengan sebutan shabu-shabu, 1

pengguna jasa mereka.Baik pelayanan dari para sopir maupun pelayanan dari dalam armada taksi itu sendiri.Jenis armada yang memiliki kondisi fisik yang masih baru, masih terlihat

Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk keberhasilan pengelolaan terum- bu

Sehubungan dengan kinerja Perseroan pada tahun 2016, kami sarankan kepada Direksi untuk meningkatkan daya saing produk Perseroan baik dari sisi kualitas maupun harga

Pada pengujian calon induk dari 24 famili yang dihasilkan secara komunal diperoleh keragaan pertumbuhan terbaik pada populasi persilangan antara betina GIMacro dengan jantan Musi

Untuk pengertian hotel ini di Indonesia diambil dari ketentuan formal, yaitu sesuai dengan keputusan Menteri Perhubungan No.PM10/PW.01/Pnb-77 yaitu “ Hotel adalah

Namun pada bus- bus lain yang tidak dilakukan penggunaan trafo penggeser fasa, indeks harmonisa tegangan masih belum memenuhi standar sehingga diperlukan pemasangan