• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Hasil Belajar

Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran. “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak mengajar atau belajar” (Dimyati dan Moedjiono, 1992 : 40). Hasil belajar dapat berupa pengetahuan (kognitif), tingkah laku atau sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor), yang diperoleh siswa dalam proses pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa hasil belajar merupakan perolehan seseorang dari suatu perbuatan belajar, atau hasil belajar merupakan kecakapan nyata yang dicapai siswa dalam waktu tertentu. Di dalam proses belajar siswa mengerjakan hal-hal yang akan dipelajari sesuai dengan tujuan dan maksud belajar. “Hasil belajar akan dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan sikap dan nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.

Menurut Sudjana (2000 : 67) menyimpulkan “Pengertian hasil belajar dalam hal ini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia melaksanakan pengalaman belajarnya”. Pengertian tersebut dapat dikaji bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang, tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir dan perilaku kerja yang lebih baik.

David Ausubel mengemukakan bahwa belajar dapat dikatakan menjadi bermakna jika informasi atau materi yang akan dipelajari disusun sesuai dengan stuktur kognitif yang dkimiliki anak. Kebermaknaan suatu pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :

a) Struktur kognitif yang ada b) Stabilias

(2)

c) Kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.

Sementara itu Dahar (1996 : 55) mengemukakan dua prasyarat terjadinya belajar bermakna yaitu :

a) Materi pelajaran yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial b) Anak yang akan belajar harus bertujuan belajar bermakna.

Menurut Piaget bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang bersifat kognitif. Oleh karena itu faktor perkembangan kognitif individu menjadi pertimbangan utama berlangsungnya proses belajar (pendidikan). Karena aliran ini meyakini adanya tahab – tahab perkembangan kognitif individu yang sesuai dengan usianya.

Tahap perkembangan kognitif menurut J. Piaget (1963) adalah : a) Tahap Sensori Motor (usia 0-2 tahun)

Pada tahap ini ditandai oleh penggunaan sensor motorik (dalam pengamatan dan pengindraan) yang intensif terhadap dunia disekitarnya.

b) Tahap Pra Operasional (usia 2-7 tahun)

Pada tahap ini anak mulai memanipulasi simbul dari benda – benda disekitarnya. Anak sudah siap untuk belajar bahasa, membaca,d an menyanyi.

c) Tahap Operasional Konkret (usia 7-11 tahun)

Pada tahapan ini ditandai dengan tiga kemampuan dan kecakapan baru yaitu mengkonservasi pengetahuan tertentu dan kemampuan dalam proses berfikir mengoperasikan kaidah – kaidah logika meskipun masih terkait dengan hal – hal yang bersifat konkret.

Teori belajar behaviorisme atau koneksionisme yaitu suatu teori yang menafsirkan perilaku manusia sebagai hubungan antara perangsang (stimulus) dan jawaban (respons) atau hubungan R-S. Suatu tindakan atau perilaku peserta didik merupakan respon terhadap suatu perangsang yang diberikan. Sebagai perangsang dapat berupa bahasa lisan atau tulisan, gambar dan bermacam-macam alat peraga. Salah satu contoh perilaku aplikasi teori ini yaitu pengajaran berprograma yang dipelajari oleh B.F. Skinner. Konsep ini menekankan pada respon para siswa secara perorangan (individual learning). (Rochman Natawidjaja, 1979:3)

(3)

Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai batasan-batasan pengertian belajar maka dapat disimpulkan bahwa belajar pada dasarnya pengalaman yang sama dan berulang-ulang dalam situasi tertentu serta berkaitan dengan perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan dan pemahaman.

2.1.2 Ciri-ciri Hasil Belajar

Menurut A.A. Gede Agung (1997:78), belajar ditandai dengan ciri-ciri yaitu : “(1) disengaja dan bertujuan, (2) tahan lama, (3) bukan karena kebetulan, dan (4) bukan karena kematangan dan pertumbuhan”. Dengan pengalaman yang diperoleh siswa dalam proses pembelajaran, maka akan terjadi perubahan, baik perubahan pada aspek kognitif, aspek afektif maupun aspek psikomotor. Perubahan ketiga aspek tersebut di atas merupakan ciri-ciri hasil belajar yang diperoleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat A.A. Gede Agung ( 1997 : 78) yang mengatakan bahwa: Ciri-ciri hasil belajar mengandung tiga hal, yaitu: kognitif, afektif, psikomotor. Hasil belajar kognitif merupakan kemajuan intelektual yang diperoleh siswa melalui kegiatan belajar dengan ciri-ciri sebagai berikut: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Hasil belajar afektif adalah perubahan sikap atau kecendrungan yang dialami siswa sebagai hasil belajar sebagai berikut: adanya penerimaan atau perhatian adanya respon atau tanggapan dan penghargaan. Hasil belajar psikomotor merupakan perubahan tingkah laku atau keterampilan yang dialami siswa dengan ciri-ciri: keberanian menampilkan minat dan kebutuhannya, keberanian berpartisifasi di dalam kegiatan penampilan sebagai usaha/ kreatifitas dan kebebasan melakukan hal di atas tanpa tekanan guru atau orang lain. Berdasarkan cici-ciri hasil belajar di atas maka tugas guru selain mengajar juga mendidik dan melatih siswa agar menjadi siswa yang cerdas, bersikap baik dan memiliki keterampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

(4)

2.1.3 Pembelajaran Matematika

Matematika adalah ilmu tentang bilangan – bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang didunakan dalam penyelesaikan masalah mengenai bilangan ( Kamus Besar Bahasa indonesia, 2001 : 723 ). Keberhasilan siswa untuk belajar matematika, akan terwujud apabila dibantu atau dibimbig oleh guru. Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas jika dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Matematika berkenaan dengan ide – ide atau konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya bersifat deduktif. Ini berarti mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan kepada pengalaman belajar masa lampau. Dengan demikian belajar matematika yang terputus – putus akan mengganggu terjadinya proses belajar atematika. Pembelajaran matematika adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa atu anak didik, agar mereka dapat belajar matematika sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.

James dan James, ( 1976:34) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak terbagi kedalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri.

Kline, (1973:21) bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi karena adanya metematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam secara nyata.

Jadi dapat disimpulkan melalui pembelajaran matematika diharapkan dapat menjadikan wawasan bagi siswa untuk menambah pengetahuan abstrak dan deduktif, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.4 Tinjauan tentang Konsep Penjumlahan Bilangan Cacah

Menurut Moore dalam Silvester Petrus Taneo, dkk (2009 : 3.118) bahwa

konsep adalah sesuatu yang tersimpan dalam pikiran-suatu pemikiran, suatu ide. Pendapat Mukhtar A. Karim dkk, (1996 : 99 - 102) bahwa Bilangan cacah didefinisikan

(5)

sebagai bilangan yang digunakan untuk menyatakan cacah anggota atau kardinalitas suatu himpunan. Sedangkan operasi penjumlahan bilangan cacah pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai hasil penjumlahan berulang bilangan-bilangan cacah.

Dalam konteks ini, pemahaman konsep penjumplahan bilangan cacah dapat disimpulkan sebagai proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan suatu gagasan tentang penjumlahan berulang bilangan-bilangan cacah dalam hal ini dikenal dengan penjumplahan.

Pada siswa SD khususnya kelas II SD, penanaman konsep penjumlahan bilangan cacah perlu dilakukan dengan memberikan pengalaman dengan benda-benda konkrit yang sebanyak-banyaknya kepada para siswa. Aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit sebagai sarana belajar, hendaknya mencirikan segala aktivitas pembelajaran untuk menanamkan suatu konsep kepada siswa.

2.1.5 Pendekatan Matematika Realistik Dalam Pembelajaran Matematika Pendekatan matematika realistik didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksploasi masalah-masalah nyata. Disini matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah (Dolk, 2006) dalam Nyimas Aisyah, 2007:7.3. Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata (Hadi, 2005) dalam Nyimas Aisyah, 2007:7.3. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata.

(6)

Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks. Dalam istilah Freudenthal, matematisasi horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri termasuk matematisa vertikal. Selanjutnya, oleh Treffers (van den Heuvel-Panhuisen, 1996 dalam Nyimas Aisyah, 2007:7.3) matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.

2.1.6 Konsepsi Siswa Dalam Pendekatan Matematika Realistik

Konsepsi siswa dalam pendekatan ini (Hadi, 2005) dalam Nyimas Aisyah, 2007 : 7.3 adalah sebagai berikut :

a) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengauhi belajar selanjutnya.

b) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.

c) Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.

d) Siswa membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri dari beragam pengalaman yang dimilikinya.

e) Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.

(7)

2.1.7 Peran Guru Dalam Pendekatan Matematika Realistik

Adapun Peran guru dalam pendekatan matematika realistik (Hadi, 2005) dalam Nyimas Aisyah, 2007 : 7.3 dapat dirumuskan sebagai berikut :

a) Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar.

b) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.

c) Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sumbangan pada proses belajarnya.

d) Guru harus secara aktif memberi siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari dunia nyata.

e) Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata baik fisik maupun sosial.

2.1.8 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik

Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut suryanto, (Nyimas Aisyah, 2007:7.7) adalah sebagai berikut:

a) Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual Problems) digunakan untuk mempekenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.

b) Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip atau model matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.

c) Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya).

d) Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.

e) Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pembelajaran maetamtika yang memang adan hubungannya.

f) Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip metamatika yang lebih rumit.

(8)

g) Matematika dianggap sebagian kegiatan bukan sebagian produk atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).

2.1.9 Implikasi Pendekatan Matematika Realistik Pada Pembelajaran

Menurut Nyimas Aisyah dkk, (2007:7.14) ada 5 karakteristik utama yang dapat diimplikasikan dalam pendekatan matematika realistik sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika yaitu sebagai beikut :

a) Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka.

b) Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan tingkat absktraksi yang harus dipelajari siswa. Disini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.

c) Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa atau simbol mereka sendiri dalam proses mematimatikakan dunia mereka. Artinya siswa mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru.

d) Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen penting dalam pembelajaran matematika.

e) Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait mengait dalam menyelesaikan masalah.

2.1.10 Langkah - langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan Pendekatan Matematika Realistik (Achmad Nizar ;2008) sebagai berikut :

(9)

Langkah pertama : memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.

Contoh : Siswa sudah berani mau bertanya tentang masalah / soal yang belum dipahami.

Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa mengerjakan masalah / soal dengan cara berkelompok untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.

Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur. Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik  Langkah 1 : Memahami masalah kontekstual

Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta siswa memahami masalah tersebut secara individual. Guru memberi kesempatan kepada siswa menanyakan

(10)

masalah/soal yang belum dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

 Langkah 2 : Menyelesaikan masalah

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.  Langkah 3 : Membandingkan jawaban

Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.

Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan.

Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip

(11)

berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.

 Langkah 4 : Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.

2.1.11 Kelebihan dan Kerumitan Penerapan Pendekatan PMR

Beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain sebagai berikut :

 PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.

 PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

 PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.

 PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.

(12)

Sedangkan beberapa kelemahan dalam penerapan pendekatan PMR antara lain sebagai berikut :

 Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi siswa.

 Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

 Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.

 Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Walaupun pada pendekatan PMR terdapat kendala-kendala dalam upaya penerapannya, menurut peneliti kendala-kendala yang dimaksud hanya bersifat sementara (temporer). Kendala-kendala itu akan dapat teratasi jika pendekatan PMR sering diterapkan. Hal ini sangat tergantung pada upaya dan kemauan guru, siswa dan personal pendidikan lainnya untuk mengatasinya. Menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang baru, tentu akan terdapat kendala- kendala yang dihadapi di awal penerapannya. Kemudian sedikit demi sedikit, kendala itu akan teratasi jika sudah terbiasa menggunakannya.

2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

Adapun kajian empiris / temuan hasil penelitian yang relevan, peneliti menggunakan hasil penelitian dari :

(13)

 Sumarsi, Diah Sri (2008) Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Matematika Realistik Pada Siswa Sekolah Dasar (PTK di MIM Gayam Pada Pokok Bahasan Bangun Datar Kelas II Semester I Tahun 2012 / 2013). Hasil Tercapainya 85% siswa yang diajar dengan menggunakan pendekatan RME dapat memperoleh nilai lebih besar sama dengan 6,5 (Ketentuan sekolah) serta guru berhasil melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan RME dengan minimal 85% skenario pembelajaran yang dibuat telah dilaksanakan.

2.3 Kerangka Pikir

Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dikuasai siswa jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Siswa juga kurang menyenangi dan takut apabila mengikuti mata pelajaran tersebut. Adapun guru, selama ini dalam menyajikan pembelajaran matematika masih monoton dan mendominasi pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif. Akibatnya, hasil belajar siswa rendah, khususnya dalam hal ini pemahaman konsep penjumlahan bilangan cacah masih rendah. Semua kondisi tersebut merupakan permasalahan yang terjadi selama ini.

Uraian pendapat para ahli dapat melandasi pemikiran penulis untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan penelitian. Belajar yang diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dilakukan secara sadar oleh tiap individu. Dalam perjalanan proses belajar akan didapat sebuah hasil belajar itu sendiri dan akhirnya menjadi sebuah hasil yang menjadi tujuan akhir dari proses belajar. Dengan demikian, permasalahan yang terjadi selama ini dapat diatasi. siswa tidak lagi asing terhadap materi matematika khususnya dalam memahami konsep penjumlahan bilangan cacah. Siswa juga merasa dihargai di dalam pembelajaran yang berlangsung sehingga merasa betah dan menyukai pelajaran matematika. Guru juga dapat mengeksplorasi kemampuan siswa, sehingga siswa aktif dalam pembelajaran. Hasilnya, pemahaman siswa terhadap konsep penjumplahan bilangan cacah dapat meningkat, sehingga hasil belajar siswa juga dapat meningkat.

(14)

Gambar. 2.1 Skema Kerangka Pikir

2.4 Hipotesis Tindakan

Melaui uraian masalah dan kajian teori maka hipotesis tindakan yang diajukan dalam penelitian ini adalah diduga melalui pendekatan matematika realistik, dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa Kelas II SD Negeri 2 Katekan kecamatan Brati Kabupaten Grobogan Semester 1 Tahun Pelajaran 2012/2013

Kondisi Awal Guru : pembelajaran yang dilakukan guru pembelajaran

konvensial

Hasil belajar siswa rendah Siswa : mengalami kesulitan

menerima pelajaran

TINDAKAN

Guru : menggunakan pendekatan matematika realistik

Kondisi Akhir Diduga hasil belajar Matematika siswa kelas II meningkat SIKLUS 1 Menggunakan pendekatan matematika realistik SIKLUS 2 Menggunakan pendekatan matematika realistik

Referensi

Dokumen terkait

usaha dan atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk sehingga bertentangan dengan Prinsip"'prinsip Syariah di Pasar Modat maka Sukuk tersebut

Kesimpulan: Hasil uji analisis yang telah dilakukan menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara persalinan lama dengan kasus Caput Succedaneum pada bayi baru lahir di RS.. Permata

Capacity ; 2) Kendala dan solusi penerapan pembiayaan murabahah pada KJKS BMT UAS yaitu: a) Tingkat persaingan dengan Bank lain maupun dengan koperasi lain,

Kompleksitas berbagai masalah sebagai akibat pengaruh dari pemanasan global dan perubahan iklim sudah cukup lama diteliti serta menjadi salah satu topik utama

Perkolasi, adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar.. Proses perkolasi

 competitive advantages are also possible even when the company is notpositioned above the average industry.  Sustainable

Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan, diperoleh temuan penelitian sebagai berikut; terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan kualitas produksi

Berdasarkan inventarisasi data pada penelitian yakni penanda, petanda, serta makna dalam surat kabar harian Singgalang edisi Oktober 2012, maka ditemukan lima