PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DENGAN
SETTING KELOMPOK BELAJAR KOMPETITIF TERHADAP
KETERAMPILAN PROSES IPA KELAS V
Ni Md. Rini Anggraeni
1, I Km. Sudarma
2, I Kt. Dibia
31,3
Jurusan PGSD,
2Jurusan TP, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail:dekrini193@yahoo.com
1, darma_tp@yahoo.co.id
2,
dibiabhs@yahoo.co.id
3Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan proses IPA yang signifikan antara kelompok siswa di Gugus 3 Kecamatan Buleleng yang mengikuti pembelajaran model generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dan menggunakan desain post-test only control group design. Populasi penelitian adalah kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng pada tahun pelajaran 2013/2014. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas V SD No. 5 Jinengdalem dan SD No. 1 Poh Bergong. Data keterampilan proses sains diperoleh melalui tes keterampilan proses sains. Data dianalisis menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa thitung = 6,583 dan ttabel = 2,000 (taraf signifikasi 5%). Hal ini berati
thitung > ttabel. Dan dari rata-rata hasil post-test keterampilan proses sains, diketahui bahwa
kelompok eksperimen berada pada kategori sangat tinggi dengan M = 42,19 dan kelompok kontrol berada pada kategori sedang dengan M = 31,92. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa kelas V SD di gugus 3 Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.
Kata kunci: generatif,kelompok belajar kompetitif, keterampilan proses sains.
Abstract
The purpose of this research is to recognize the difference significant science process skills among groups of students in Gugus 3 Buleleng which follows generative learning model with a competitive group settings and the students who followed the conventional model learning 2013/2014 period.This research is a Quasi Experimental Research and using the post - test only control group design. The study population is a fifth grade elementary school in Gugus 3 Buleleng in 2013/2014 period. The sample is a fifth grade students of SD No. 5 Jinengdalem and SD No. 1 Poh Bergong . The data of science process skills acquired through science process skills test. The data were analyzed using descriptive statistical analysis techniques and t-test . The results showed that tarithmetic is
6.583 and the ttable is 2.000 (5% significance level). This means tarithmetic more than ttable.
And the average post-test results of science process skills, note that the experimental group is at extremely high category with M = 42.19 and control groups in middle category with M = 31.92. So, it can be concluded that the generative learning model with a competitive group settings affect learning science process skills of fifth grade students of elementary schools in the Gugus 3 Buleleng 2013/2014 period.
.
PENDAHULUAN
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di era globalisasi yang begitu pesat, memberikan tuntutan yang besar dalam dunia pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu memenuhi perkembangan zaman. Upaya yang tepat untuk menyiapkan dan membangun SDM yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat vital untuk mendukung kemajuan bangsa Indonesia, hal ini disebabkan
karena pendidikan berperan dalam
membangun karakter suatu bangsa.
Pendidikan merupakan bagian dari
kebudayaan dan berlangsung seumur hidup dan memberikan bekal kepada siswa
untuk mengembangkan pendidikannya
(Winaputra, 2006: 54). Kemajuan suatu bangsa dapat dicerminkan dari tingkat kualitas pendidikannya. Demikian juga
Sanjaya (2009: 20) mengemukakan
mengenai kualitas pendidikan bahwa
pendidikan yang berkualitas merupakan sebuah kompilasi dari ditatanya
komponen-komponen pendidikan secara
komprehensif. Pendidikan yang
dilaksanakan secara komprehensif dan
berkualitas dipastikan mampu
menghasilkan pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan yang bermutu tinggi akan menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa yang termasuk salah satu tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan di sekolah secara
operasional dilakukan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan, terencana melalui suatu program yang rapi sebagai penjabaran dari kurikulum yang berlaku saat ini. Pemerintah sudah mengelola
dengan serius menangani pendidikan
khususnya kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik ketika mengikuti pembelajaran pada berbagai jenjang pendidikan. Dalam
usaha peningkatan pendidikan di
Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional
mengenai pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu, relevan dengan kebutuhan
masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan global maka pengembangan profesionalisme pendidik sangat penting. Keberhasilan suatu pendidikan di sekolah dalam meningkatkan kualitas SDM salah satu kuncinya adalah keberhasilan guru dalam menyajikan materi pelajaran yang
dapat memfasilitasi siswanya untuk
mencapai kompetensi yang diharapkan. Guru dikatakan tidak saja sebagai pengajar (transfer of knowledge), tetapi juga pendidik (transfer if value) dan sekaligus sebagai
pembimbing yang memberikan
penghargaan dan menuntut murid dalam
belajar (Sardiman, 1990:35). Setiap
kurikulum yang berlaku, guru diharapkan mengembangkan model pembelajarannya sesuai dengan kondisi lapangan. Para pakar pendidikan seringkali menegaskan bahwa guru adalah sumber daya manusia yang sangat menentukan keberhasilan program pendidikan. Oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan yang beragam sesuai dengan tuntutan dunia pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan salah satu mata pelajaran yang turut berperan penting dalam pendidikan wawasan, keterampilan, dan sikap ilmiah. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip
saja tetapi juga merupakan suatu
pengetahuan proses penemuan.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi
wahana bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Melalui pembelajaran dan
pengembangan potensi diri pada
pembelajaran IPA siswa akan memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap fenomena
dan perubahan-perubahan di lingkungan sekitar, di samping memenuhi keperluan untuk jenjang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan
pada pemberian pengalaman belajar
secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006).
Menurut Semiawan, dkk (dalam
Bundu, 2006:5) pentingnya proses sains dikuasai siswa sejak dibangku SD adalah sebagai berikut: (1) perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sangat cepat sehingga tidak mungkin lagi mengajarkan fakta dan konsep kepada siswa, (2) siswa akan lebih mudah memahami konsep yang abstrak jika belajar melalui benda-benda
kongkrit dan langsung melakukannya
sendiri, (3) penemuan ilmu pengetahuan sifat kebenarannya relatif. Suatu teori yang dianggap benar hari ini, belum tentu benar dimasa datang jika teori tersebut tidak lagi didukung oleh fakta ilmiah, dan (4) dalam proses belajar mengajar pengembangan
konsep tidak bisa dipisahkan dari
pengembangan sikap dan nilai.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Gugus 3 Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng dengan narasumber guru bidang studi IPA, ditemukan bahwa
penguasaan keterampilan proses
pembelajaran IPA belum dikuasai secara optimal oleh siswa kelas V. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (1)
cara mengajar guru yang masih
menggunakan metode ceramah, (2)
pembejaran IPA yang dilakukan oleh guru selama ini kurang memberikan kesempatan siswa terlibat secara aktif dalam proses-proses sains seperti melakukan percobaan, menggunakan alat, mangamati, mengukur, mengumpulkan data, menyimpulkan dan
sebagainya, (3) siswa lebih banyak
menghafalkan fakta dan konsep, sehingga pembelajaran IPA menjadi kurang menarik,
membosankan, dan siswa terbiasa
mengkonsumsi pengetahuan yang
mengakibatkan siswa sulit mengkonstruksi pengetahuan untuk berpikir kritis, dan (4) sumber-sumber belajar IPA yang terdapat di lingkungan sekolah belum dimanfaatkan
secara optimal untuk kepentingan
pembelajaran.
Uraian di atas menjelaskan bahwa pembelajaran IPA di SD selama ini lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep, dan kurang memfasilitasi siswa agar memiliki keterampilan proses dan hasil pembelajaran yang komprehensif. Fokus penilaian masih dominan pada dimensi isi (produk sains) berupa konsep-konsep sains, belum menyentuh dimensi proses sains dan sikap ilmiah (Bundu,
2006:1). Keseluruhan tujuan dan
karakteristik berkenaan dengan pendidikan IPA SD sebagaimana tertuang dalam kurikulum hendaknya dilaksanakan dengan baik, namun pada kenyataannya di SD kegiatan pembelajaran IPA secara umum hanya menjadi pemindahan konsep-konsep yang kemudian menjadi bahan hafalan bagi siswa. Pembelajaran IPA yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk latihan-latihan penyelesaian soal-soal tes, semata-mata dalam rangka mencapai target nilai tes evaluasi hasil belajar sebagai “ukuran utama” prestasi siswa dan kesuksesan guru
dalam pengelolaan pembelajaran.
Pembelajaran IPA yang demikian jelas
lebih menekankan pada penguasaan
kemampuan yang ingin dicapai tanpa memperhatikan keterampilan proses yang dialami dalam pelaksanaan pembelajaran. Kondisi objektif permasalahan lainnya di lapangan bahwa materi penilaian hasil belajar untuk pembelajaran IPA masih didominasi dan berfokus pada penilaian tersebut serta tidak pernah mengukur sejauh mana kinerja, sikap, dan proses
yang dilalui siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Bersandar pada alasan ini para guru di SD pada umumnya cenderung enggan menyenggarakan pembelajaran IPA yang lebih menuntut siswa terlibat dalam berbagai kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka
perlu adanya upaya penyempurnaan
pembelajaran IPA melalui suatu model pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan proses. Model pembelajaran yang dapat memfasilitasi berkembangnya keterampilan proses siswa adalah model pembelajaran generatif. Model pembelajaran generatif merupakan pengembangan dari model-model pembelajaran yang telah ada. “Model pembelajaran generatif adalah
model pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan konstruktivisme dalam belajar mengajar yaitu pandangan yang berpedoman pada asumsi dasar bahwa
pengetahuan dibangun dalam pikiran
pebelajar” (Suastra, 2006). Sedangkan Sugiarta juga mengungkapkan bahwa “model pembelajaran generatif adalah salah satu model belajar yang dapat
diterapkan untuk mengubah konsep
(conceptual change) dengan kata lain model ini dapat pula diterapkan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa.
Penerapan model pembelajaran
generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif menyebabkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna,
siswa mampu mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri (belajar
konstruktivisme). Selain itu, dengan siswa
belajar dalam kelompok secara
berkompetisi dapat memberikan manfaat dalam upaya meningkatkan kerjasama,
harga diri, kebanggaan bersama,
kehidupan demokratis, dan terwujudnya intensitas saling belajar yang tinggi di antara siswa. Sehingga, informasi lebih kuat melekat dalam memori (pikiran) siswa. Kuatnya berbagai informasi melekat dalam pikiran siswa, maka secara tidak langsung berdampak pula terhadap keterampilan proses IPA siswa.
Terkait dengan hal tersebut maka
dilakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Generatif
dengan Setting Kelompok Belajar
Kompetitif terhadap Keterampilan Proses IPA Kelas V SD Gugus 3 Kecamatan Buleleng Semester 2 Tahun Pelajaran 2013/2014”.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah eksperimen semu (quasi
experimental design) karena tidak semua variabel yang muncul dapat dikontrol secara ketat. Adapun desain penelitian
yang digunakan adalah Post Test Only
Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng yang berjumlah 159 siswa yang terbagi dalam enam SD, yaitu: SD No. 1 Jinengdalem, SD No. 2 Jinengdalem, SD No. 3 Jinengdalem,
SD No. 5 Jinengdalem, SD No. 1 Poh Bergong, dan SD No. 2 Poh Bergong. Untuk mengetahui kesetaraan keterampilan proses siswa kelas V masing-masing SD,
maka terlebih dahulu dilakukan uji
kesetaraan. Uji kesetaraan pada penelitian menggunakan uji-t. Data yang digunakan dalam uji kesetaraan ini adalah data hasil tes keterampilan proses IPA pada siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan
Buleleng. Berdasarkan analisis uji-t
diperoleh hasil bahwa populasi dinyatakan setara.
Sedangkan sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik class random sampling, dan didapat SD No. 5 Jinengdalem sebagai kelas eksperimen dan SD No. 1 Poh Bergong sebagai kelas kontrol. Untuk mengetahui sampel benar-benar setara, dilakukan uji-t kesetaraan dengan rumus polled varians. Berdasarkan hasil uji kesetaraan diperoleh hasil bahwa sampel dinyatakan setara.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Sesuai dengan metode, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar soal tes essay yang diberikan pada akhir pembelajaran.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan meliputi mean, median, modus. Hasil perhitungan mean median modus kemaudian nantinya disajikan dalam bentuk kurva polygon yang bertujuan untuk menafsirkan sebaran data keterampilan proses siswa kelas V pada mata pelajaran IPA baik pada kelas eksperimen maupun
pada kelas kontrol. Adapun statistik
inferensial menggunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Sebelum
menggunakan formula uji-t, dilakukan
terlebih dahulu uji prasarat yang meliputi uji normalitas dengan teknik Liliefors dan uji homogenitas varians dengan uji-F.
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
Data dalam penelitian ini adalah skor keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA, sebagai akibat
dari penerapan model pembelajaran
generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Berikut data hasil post-test
kelas eksperimen dan kelas kontrol yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Keterampilan Proses Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA Sampel M Md Mo s s2 Skor Maksimal Skor Minimal R Eksperiment 42,19 42,5 42,83 6,85 46,85 54 25 29 Kontrol 31,92 31,5 27,37 6,61 43,75 44 22 22
Keterangan Tabel: M = Mean, Md = Median, Mo = Modus, s = Standar Deviasi, s2 = Varians dan R = Rentangan
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata keterampilan proses
siswa kelas eksperimen pada mata
pelajaran IPA, adalah 42,19. Jika dikonversi ke dalam PAP Skala Lima berada pada kategori tinggi. Distribusi frekuensi data keterampilan proses siswa kelas V SD
pada mata pelajaran IPA di kelas
eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva Poligon Skor Keterampilan Proses Siswa Kelas
Eksperimen
Berdasarkan gambar di atas
diketahui bahwa sebaran data kelas
eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif juling negatif Mo>Md>M (42,83>42,5>42,19). Hal ini
berarti bahwa sebagian besar skor
cenderung tinggi. Distribusi frekuensi data keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran konvensional disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Poligon Skor Keterampilan Proses Siswa Kelas
Kontrol
Berdasarkan gambar diatas
diketahui bahwa sebaran data kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran konvensional juling positif Mo<Md<M (27,37<31,5<31,92). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung rendah. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa mean keterampilan proses siswa pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol adalah 31,92. Jika dikonversi ke dalam PAP skala lima berada pada kategori sedang.
0 2 4 6 8 10 12 27 32 37 42 47 52 Fr e ku e n si Titik tengah 0 2 4 6 8 10 12 14 23,5 27,5 31,5 35,5 39,5 43,5 Fr e ku e n si Titik tengah
Sebelum uji hipotesis dilakukan,
terlebih dahulu dilakukan pengujian
prasyarat terhadap sebaran data yang
meliputi uji normalitas dan uji homogenitas, dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Keterampilan Proses Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA
Unit Analisis Model Pembelajaran Lo Lt
Keterampilan Proses
Generatif dengan Setting
Kelompok Belajar Kompetitif -0,042 0,04262
Konvensional -0,029 0,03891
Keterangan Tabel: Lo = L hitung, Lt = L tabel Berdasarkan Tabel 2, harga Lo lebih kecil daripada harga Lt pada semua kelompok data. Sesuai dengan kriteria pengujian, jika Lo < Lt maka dapat dinyatakan bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal sehingga semua
kelompok data dinyatakan berdistribusi normal.
Uji homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antar kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan data sebagai berikut.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians antar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Sumber Data Fhit
Ftab dengan Taraf
Signifikansi 5% Status
Post-test Kelas
Eksperimen dan Kontrol 1,07 1,84 Homogen
Uji yang digunakan adalah uji-F dengan kriteria data homogen jika Fhit <
Ftab. Dari tabel 3. diketahui bahwa Fhit < Ftab
sehingga varians data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen.
Berdasarkan uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data hasil post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil dari uji prasyarat analisis data,
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian (H1) dan hipotesis nol (H0). Pengujian hipotesis tersebut dilakukan
dengan menggunakan uji-t sampel
independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians dengan kriteria tolak H0 jika thit > ttab dan terima H0 jika thit < ttab.
Rangkuman hasil perhitungan uji-t antar
kelas eksperimen dan kelas kontrol
disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t
Data Kelompok N X s2 thit ttab (t.s. 5%)
Keterampil an Proses
Eksperimen 36 42,19 46,85
6,583 2,000
Kontrol 38 31,92 43,75
Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t diatas, diperoleh thit sebesar 6,583.
Sedangkan ttab dengan dk = 36+38-2 = 72
dan taraf signifikansi 5% adalah 2,000. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab),
sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.
Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan proses antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting
kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di gugus 3 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data
penelitian, dapat diketahui bahwa
pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan model
pembelajaran konvensional memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap
keterampilan proses sains siswa. Kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif memiliki keterampilan proses sains yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang
dibelajarkan menggunakan model
pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari rerata skor keterampilan proses sains kedua kelompok. Kelompok eksperimen memiliki rerata skor yang lebih tinggi, yaitu sebesar 41,19 dan berada pada kategori sangat tinggi, sedangkan kelompok kontrol memiliki rerata skor sebesar 31,92 berada pada kategori sedang.
Selanjutnya, berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan uji-t sampel tidak berkorelasi dengan rumus polled varians
diketahui bahwa thitung = 6,583 dan ttabel
dengan db = 72 pada taraf signifikasi 5%
adalah 2,000. Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, diketahui bahwa thitung
> ttabel. Hal ini berarti bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada
keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan
kelompok siswa yang dibelajarkan
menggunakan model pembelajaran
konvensional.
Adanya perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara
kelompok siswa yang dibelajarkan
menggunakan model pembelajaran
generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang
dibelajarkan menggunakan model
pembelajaran konvensional disebabkan
karena perbedaan perlakuan pada
langkah-langkah pembelajaran dan proses
penyampaian materi. Suastra (2006)
mengatakan bahwa pembelajaran dengan
model pembelajaran generatif
menekankan aktivitas guru dan siswa melalui langkah-langkah, yaitu: Fase 1
(eksplorasi pendahuluan), Fase 2
(pemusatan), Fase 3 (tantangan), dan Fase 4 (aplikasi).
Pada fase eksplorasi pendahuluan, guru mengekslorasi dan mengklasifikasi
gagasan-gagasan siswa yang diperoleh
dari pengalaman/pengetahuan yang
dimilikinya. Konsepsi awal (prakonsepsi) siswa yang tereksplorasi pada fase ini digunakan sebagai acuan program belajar berikutnya. Hal tersebut diperkuat oleh prinsip belajar menurut Ausubel (dalam Suastra, 2006:14) bahwa “belajar bermakna
akan terjadi apabila pebelajar
menghubungkan atau mengaitkan informasi
itu pada pengetahuan yang telah
dimilikinya”.
Setelah fase eksplorasi
pendahuluan dilanjutkan dengan fase
pemusatan. Pada fase ini, guru
memberikan motivasi pada siswa dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan
terbuka yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Respon dan gagasan siswa
diinterpretasi dan diklarifikassikan
konsepnya. Hal ini untuk mengetahui tujuan
sasaran yang dicapai serta manfaat
pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Keller (dalam Suwandariyani, 2011:24) bahwa “siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka dan memiliki tujuan yang jelas”.Selain itu, guru juga
bertugas sebagai fasilitator yang
menyangkut kebutuhan sumber, memberi
bimbingan dan arahan saat siswa
melakukan proses sains.
Setelah fase pemusatan kemudian dilanjutkan dengan fase tantangan. Pada fase ini, guru berperan sebagai fasilitator
atau mediator pembelajaran untuk
mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah. Tahap ini, siswa berlatih
mengeluarkan ide, kritik, berdebat,
menghargai pendapat teman, dan
menghargai adanya perbedaan diantara pendapat teman. Dalam pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif, pengungkapan ide, kritik, serta debat siswa dilakukan melalui kelompok belajar kompetitif. Pembelajaran secara berkelompok yang saling berkompetisi akan membangkitkan motivasi dan memacu aktivitas belajar siswa. Dalam diskusi kelompok, siswa yang kurang mampu akan dapat belajar dari siswa yang memiliki
kemampuan lebih. Dalam kegiatan diskusi kelas siswa akan dilatih berpendapat dan menghargai pendapat atau jawaban. Dalam hal ini siswa belajar untuk berinteraksi sosial baik dengan teman sekelasnya
maupun dengan guru. Menerapkan
kelompok belajar kompetitif juga dapat
menciptakan hubungan yang dinamis
antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Hal ini disebabkan karena suasana
“menggurui” oleh guru intensitasnya
menurun, yaitu dalam pembelajaran guru lebih banyak berperan sebagai pendamping atau pembimbing dan fasilitator dalam kegiatan diskusi (Sugiarta, 2000: 18). Suasana belajar yang diciptakan guru
selama kegiatan pembelajaran yang
nampak bebas, ceria, bergairah (penuh
semangat), dan responsif (kondusif)
menjadikan hubungan guru dengan siswa
lebih dekat (akrab) dan ini sangat
membantu pemecahan berbagai masalah
yang dihadapi anak dalam proses
pembelajaran. Disamping itu, kegiatan
pembelajaran yang dilakukan secara
berkelompok akan dapat meningkatkan
kerjasama, kebanggaan bersama,
kehidupan demokratis, dan terwujudnya intensitas saling belajar yang tinggi di antara siswa.
Fase terakhir yaitu fase aplikasi. Pada fase ini, siswa memecahkan soal-soal dengan menggunakan konsep barunya atau konsep benar dalam situasi baru yang berkaitan dengan hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan langkah-langkah
model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif yang dilakukan saat penelitian, terlihat bahwa
keunggulannya yaitu guru dalam
pembelajaran tidak lagi memposisikan diri
sebagai teacher centered melainkan
memposisikan diri sebagai mediator dan
fasilitator. Siswa diarahkan untuk
melakukan kegiatan belajarnya secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) dan
konstruktivis sehingga siswa aktif
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Fase-fase dalam pembelajaran generatif memberi kesempatan kepada siswa untuk
membuktikan gagasan-gagasan yang
dimilikinya, jadi dalam proses pembelajaran
siswa aktif berpartisipasi. Pada model pembelajaran generatif siswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan dan masalah-masalah serta mendiskusikannya tanpa dibebani rasa takut.
Berbeda halnya dalam pembelajaran
dengan model konvensional yang hanya
berpusat pada guru sehingga membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran.
Model pembelajaran konvensional ini
merupakan model paling sederhana yang sebagaian besar digunakan oleh guru, penyampain materi dalam pembelajaran
konvensional tersebut lebih banyak
dilakukan melalui metode ceramah, tanya jawab, serta penugasan yang berlangsung secara terus menerus. Dalam penelitian ini, guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran. siswa berperan sebagai pendengan yang pasif dan mengerjakan apa yang disuruh guru serta melakukannya sesuai dengan yang dicontohkan. Antar siswa sangat jarang terjadi interaksi. Selain itu, dalam pembelajaran siswa sering menghapal pengertian dan contoh-contoh dalam buku buku. Siswa kesulitan dalam
mencari contoh dalam kehidupannya
sehari-hari.
Perbedaan cara pembelajaran
antara pembelajaran dengan model
pembelajaran generatif dengan setting
kelompok belajar kompetitif dan
pembelajaran dengan model pembelajarn konvensional tentunya memberikan dampak yang berbeda pula terhadap keterampilan proses siswa. Dengan diterapkannya model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif maka siswa akan mampu memecahkan masalah yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah yang diberikan dapat menjadi sebuah stimulus bagi siswa
untuk dapat mengembangkan segala
kemampuannya sebagai upaya untuk
memecahkan masalah tersebut. Siswa menjadi lebih tertantang untuk belajar dan
berusaha menyelesaikan semua
permasalahan IPA yang ditemui. Dengan mengkonstruksikan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari maka akan
dapat mengembangkan keterampilan
proses siswa sehingga keterampilan proses siswa dapat ditingkatkan. Dengan demikian,
keterampilan proses siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran
konvensional.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Ratnadewi (2011) yang
menyatakan bahwa model pembelajaran generatif berbantuan media lingkungan
sekolah dapat meningkatkan aktivitas
belajar siswa yang disebabkan karena siswa sudah dapat mengikuti pembelajaran
sesuai dengan model pembelajaran
generatif yang mana siswa tidak lagi bergantung pada penyajian materi dari guru, tetapi sudah mulai berusaha untuk mencari dan menemukan sendiri. Selain itu siswa sangat senang melakukan diskusi
kelompok karena dapat memberikan
kesempatan siswa untuk saling mengisi
kekuarangan masing-masing sehingga
ketika terdapat kesulitan dapat
terselesaikan secara bersama-sama.
Penelitian lain yang sejalan
dilakukan Santi (2011) yang menyatakan
bahwa penerapan kelompok belajar
kompetitif dengan model pembelajaran generatif ternyata mampu meningkatkan hasil belajar IPA siswa yang disebabkan karena fase-fase dalam pembelajaran generatif memberi kesempatan kepada
siswa untuk membuktikan
gagasan-gagasan yang dimilikinya sehingga informai yang didapat akan lebih kuat melekat dalam memori siswa. Maka secara tidak langsung akan berdampak pula terhadap perolehan hasil belajar siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat
perbedaan keterampilan proses sains
antara kelompok siswa yang dibelajarkan
menggunakan model pembelajaran
generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang
dibelajarkan menggunakan model
pembelajaran konvensional. Adanya
perbedaan menunjukkan bahwa model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa.
PENUTUP
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari mean
masing-masing kelompok. Kelompok eksperimen
berada pada ketegori sangat tinggi
(M=42,19) dan kelompok kontrol berada
pada kategori sedang (M=31,92).
Berdasarkan perhitungan uji-t diketahui bahwa thitung = 6,583 dan ttabel pada taraf
signifikasi 5% dan db=72 adalah 2,000. Hal ini berarti thitung > ttabel (6,583 > 2,000).
Adanya perbedaan menunjukkan bahwa
pembelajaran menggunakan model
pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif memberikan pengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.
Saran yang dapat disampaikan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Siswa-siwa di sekolah dasar agar terus mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya dengan cara ikut serta berperan aktif selama proses
pembelajaran berlangsung. (2) Guru
diharapkan mampu berinovasi dan
berkreasi dalam menyajikan materi
pembelajaran kepada siswa, seperti
dengan mengaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan siswa agar dalam pembelajaran siswa merasa lebih tertantang untuk mencari tahu sendiri sehingga siswa dapat aktif dalam belajar. (3) Kepala sekolah diharapkan dapat menganjurkan para guru untuk
menggunakan model pembelajaran
generatif dalam pembelajaran, khususnya untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model
pembelajaran generatif lebih baik
dibandingkan menggunakan model
yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran generatif dalam lingkup yang lebih luas, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bandingan dan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan terhadap penelitian yang akan dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN
BSNP. 2006. Standar Kompetensi Mata
Pelajaran IPA SD/MI. Jakarta: Depdiknas.
Bundu, E. P. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.
Sanjaya, W. 2009. Strategi Pembelajarn Berorientasi standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Sardiman. 1990. Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.
Suastra,I. W. 2008. Pembelajaran Sains Terkini, Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Sosial dan Budayanya. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sugiarta. 2000. Inovasi Model
Pembelajaran Generatif dengan Metode PQ4R Berbantuan Modul dalam Perkuliahan Statistika Dasar Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.
Suwandariyani, P. 2011. Implementasi
Model Pembelajaran generatif
dalam Meningkatkan Motivasi
belajar dan Pemahaman Konsep IPA Siswa kelas VIII SMP No. 1 Sawan. Skripsi (tidak diterbitkan)
Jurusan Pendidikan Fisika.
Fakultas FMIPA. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Departemen Pendidikan Nasional Pustaka.
Winaputra, U. S. 2006. Strategi belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.