• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DENGAN SETTING KELOMPOK BELAJAR KOMPETITIF TERHADAP KETERAMPILAN PROSES IPA KELAS V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DENGAN SETTING KELOMPOK BELAJAR KOMPETITIF TERHADAP KETERAMPILAN PROSES IPA KELAS V"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DENGAN

SETTING KELOMPOK BELAJAR KOMPETITIF TERHADAP

KETERAMPILAN PROSES IPA KELAS V

Ni Md. Rini Anggraeni

1

, I Km. Sudarma

2

, I Kt. Dibia

3

1,3

Jurusan PGSD,

2

Jurusan TP, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail:dekrini193@yahoo.com

1

, darma_tp@yahoo.co.id

2

,

dibiabhs@yahoo.co.id

3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan proses IPA yang signifikan antara kelompok siswa di Gugus 3 Kecamatan Buleleng yang mengikuti pembelajaran model generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dan menggunakan desain post-test only control group design. Populasi penelitian adalah kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng pada tahun pelajaran 2013/2014. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas V SD No. 5 Jinengdalem dan SD No. 1 Poh Bergong. Data keterampilan proses sains diperoleh melalui tes keterampilan proses sains. Data dianalisis menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa thitung = 6,583 dan ttabel = 2,000 (taraf signifikasi 5%). Hal ini berati

thitung > ttabel. Dan dari rata-rata hasil post-test keterampilan proses sains, diketahui bahwa

kelompok eksperimen berada pada kategori sangat tinggi dengan M = 42,19 dan kelompok kontrol berada pada kategori sedang dengan M = 31,92. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa kelas V SD di gugus 3 Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.

Kata kunci: generatif,kelompok belajar kompetitif, keterampilan proses sains.

Abstract

The purpose of this research is to recognize the difference significant science process skills among groups of students in Gugus 3 Buleleng which follows generative learning model with a competitive group settings and the students who followed the conventional model learning 2013/2014 period.This research is a Quasi Experimental Research and using the post - test only control group design. The study population is a fifth grade elementary school in Gugus 3 Buleleng in 2013/2014 period. The sample is a fifth grade students of SD No. 5 Jinengdalem and SD No. 1 Poh Bergong . The data of science process skills acquired through science process skills test. The data were analyzed using descriptive statistical analysis techniques and t-test . The results showed that tarithmetic is

6.583 and the ttable is 2.000 (5% significance level). This means tarithmetic more than ttable.

And the average post-test results of science process skills, note that the experimental group is at extremely high category with M = 42.19 and control groups in middle category with M = 31.92. So, it can be concluded that the generative learning model with a competitive group settings affect learning science process skills of fifth grade students of elementary schools in the Gugus 3 Buleleng 2013/2014 period.

.

(2)

PENDAHULUAN

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di era globalisasi yang begitu pesat, memberikan tuntutan yang besar dalam dunia pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu memenuhi perkembangan zaman. Upaya yang tepat untuk menyiapkan dan membangun SDM yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat vital untuk mendukung kemajuan bangsa Indonesia, hal ini disebabkan

karena pendidikan berperan dalam

membangun karakter suatu bangsa.

Pendidikan merupakan bagian dari

kebudayaan dan berlangsung seumur hidup dan memberikan bekal kepada siswa

untuk mengembangkan pendidikannya

(Winaputra, 2006: 54). Kemajuan suatu bangsa dapat dicerminkan dari tingkat kualitas pendidikannya. Demikian juga

Sanjaya (2009: 20) mengemukakan

mengenai kualitas pendidikan bahwa

pendidikan yang berkualitas merupakan sebuah kompilasi dari ditatanya

komponen-komponen pendidikan secara

komprehensif. Pendidikan yang

dilaksanakan secara komprehensif dan

berkualitas dipastikan mampu

menghasilkan pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan yang bermutu tinggi akan menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas dan dapat mencerdaskan

kehidupan bangsa yang termasuk salah satu tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan di sekolah secara

operasional dilakukan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan, terencana melalui suatu program yang rapi sebagai penjabaran dari kurikulum yang berlaku saat ini. Pemerintah sudah mengelola

dengan serius menangani pendidikan

khususnya kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik ketika mengikuti pembelajaran pada berbagai jenjang pendidikan. Dalam

usaha peningkatan pendidikan di

Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003

tentang sistem Pendidikan Nasional

mengenai pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Untuk mewujudkan pendidikan yang

bermutu, relevan dengan kebutuhan

masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan global maka pengembangan profesionalisme pendidik sangat penting. Keberhasilan suatu pendidikan di sekolah dalam meningkatkan kualitas SDM salah satu kuncinya adalah keberhasilan guru dalam menyajikan materi pelajaran yang

dapat memfasilitasi siswanya untuk

mencapai kompetensi yang diharapkan. Guru dikatakan tidak saja sebagai pengajar (transfer of knowledge), tetapi juga pendidik (transfer if value) dan sekaligus sebagai

pembimbing yang memberikan

penghargaan dan menuntut murid dalam

belajar (Sardiman, 1990:35). Setiap

kurikulum yang berlaku, guru diharapkan mengembangkan model pembelajarannya sesuai dengan kondisi lapangan. Para pakar pendidikan seringkali menegaskan bahwa guru adalah sumber daya manusia yang sangat menentukan keberhasilan program pendidikan. Oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan yang beragam sesuai dengan tuntutan dunia pendidikan.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

merupakan salah satu mata pelajaran yang turut berperan penting dalam pendidikan wawasan, keterampilan, dan sikap ilmiah. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

saja tetapi juga merupakan suatu

pengetahuan proses penemuan.

Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi

wahana bagi peserta didik untuk

mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan

sehari-hari. Melalui pembelajaran dan

pengembangan potensi diri pada

pembelajaran IPA siswa akan memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap fenomena

(3)

dan perubahan-perubahan di lingkungan sekitar, di samping memenuhi keperluan untuk jenjang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan

pada pemberian pengalaman belajar

secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006).

Menurut Semiawan, dkk (dalam

Bundu, 2006:5) pentingnya proses sains dikuasai siswa sejak dibangku SD adalah sebagai berikut: (1) perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sangat cepat sehingga tidak mungkin lagi mengajarkan fakta dan konsep kepada siswa, (2) siswa akan lebih mudah memahami konsep yang abstrak jika belajar melalui benda-benda

kongkrit dan langsung melakukannya

sendiri, (3) penemuan ilmu pengetahuan sifat kebenarannya relatif. Suatu teori yang dianggap benar hari ini, belum tentu benar dimasa datang jika teori tersebut tidak lagi didukung oleh fakta ilmiah, dan (4) dalam proses belajar mengajar pengembangan

konsep tidak bisa dipisahkan dari

pengembangan sikap dan nilai.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Gugus 3 Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng dengan narasumber guru bidang studi IPA, ditemukan bahwa

penguasaan keterampilan proses

pembelajaran IPA belum dikuasai secara optimal oleh siswa kelas V. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (1)

cara mengajar guru yang masih

menggunakan metode ceramah, (2)

pembejaran IPA yang dilakukan oleh guru selama ini kurang memberikan kesempatan siswa terlibat secara aktif dalam proses-proses sains seperti melakukan percobaan, menggunakan alat, mangamati, mengukur, mengumpulkan data, menyimpulkan dan

sebagainya, (3) siswa lebih banyak

menghafalkan fakta dan konsep, sehingga pembelajaran IPA menjadi kurang menarik,

membosankan, dan siswa terbiasa

mengkonsumsi pengetahuan yang

mengakibatkan siswa sulit mengkonstruksi pengetahuan untuk berpikir kritis, dan (4) sumber-sumber belajar IPA yang terdapat di lingkungan sekolah belum dimanfaatkan

secara optimal untuk kepentingan

pembelajaran.

Uraian di atas menjelaskan bahwa pembelajaran IPA di SD selama ini lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep, dan kurang memfasilitasi siswa agar memiliki keterampilan proses dan hasil pembelajaran yang komprehensif. Fokus penilaian masih dominan pada dimensi isi (produk sains) berupa konsep-konsep sains, belum menyentuh dimensi proses sains dan sikap ilmiah (Bundu,

2006:1). Keseluruhan tujuan dan

karakteristik berkenaan dengan pendidikan IPA SD sebagaimana tertuang dalam kurikulum hendaknya dilaksanakan dengan baik, namun pada kenyataannya di SD kegiatan pembelajaran IPA secara umum hanya menjadi pemindahan konsep-konsep yang kemudian menjadi bahan hafalan bagi siswa. Pembelajaran IPA yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk latihan-latihan penyelesaian soal-soal tes, semata-mata dalam rangka mencapai target nilai tes evaluasi hasil belajar sebagai “ukuran utama” prestasi siswa dan kesuksesan guru

dalam pengelolaan pembelajaran.

Pembelajaran IPA yang demikian jelas

lebih menekankan pada penguasaan

kemampuan yang ingin dicapai tanpa memperhatikan keterampilan proses yang dialami dalam pelaksanaan pembelajaran. Kondisi objektif permasalahan lainnya di lapangan bahwa materi penilaian hasil belajar untuk pembelajaran IPA masih didominasi dan berfokus pada penilaian tersebut serta tidak pernah mengukur sejauh mana kinerja, sikap, dan proses

yang dilalui siswa dalam kegiatan

pembelajaran. Bersandar pada alasan ini para guru di SD pada umumnya cenderung enggan menyenggarakan pembelajaran IPA yang lebih menuntut siswa terlibat dalam berbagai kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, maka

perlu adanya upaya penyempurnaan

pembelajaran IPA melalui suatu model pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan proses. Model pembelajaran yang dapat memfasilitasi berkembangnya keterampilan proses siswa adalah model pembelajaran generatif. Model pembelajaran generatif merupakan pengembangan dari model-model pembelajaran yang telah ada. “Model pembelajaran generatif adalah

(4)

model pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan konstruktivisme dalam belajar mengajar yaitu pandangan yang berpedoman pada asumsi dasar bahwa

pengetahuan dibangun dalam pikiran

pebelajar” (Suastra, 2006). Sedangkan Sugiarta juga mengungkapkan bahwa “model pembelajaran generatif adalah salah satu model belajar yang dapat

diterapkan untuk mengubah konsep

(conceptual change) dengan kata lain model ini dapat pula diterapkan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa.

Penerapan model pembelajaran

generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif menyebabkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna,

siswa mampu mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri (belajar

konstruktivisme). Selain itu, dengan siswa

belajar dalam kelompok secara

berkompetisi dapat memberikan manfaat dalam upaya meningkatkan kerjasama,

harga diri, kebanggaan bersama,

kehidupan demokratis, dan terwujudnya intensitas saling belajar yang tinggi di antara siswa. Sehingga, informasi lebih kuat melekat dalam memori (pikiran) siswa. Kuatnya berbagai informasi melekat dalam pikiran siswa, maka secara tidak langsung berdampak pula terhadap keterampilan proses IPA siswa.

Terkait dengan hal tersebut maka

dilakukan penelitian yang berjudul

“Pengaruh Model Pembelajaran Generatif

dengan Setting Kelompok Belajar

Kompetitif terhadap Keterampilan Proses IPA Kelas V SD Gugus 3 Kecamatan Buleleng Semester 2 Tahun Pelajaran 2013/2014”.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan

adalah eksperimen semu (quasi

experimental design) karena tidak semua variabel yang muncul dapat dikontrol secara ketat. Adapun desain penelitian

yang digunakan adalah Post Test Only

Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng yang berjumlah 159 siswa yang terbagi dalam enam SD, yaitu: SD No. 1 Jinengdalem, SD No. 2 Jinengdalem, SD No. 3 Jinengdalem,

SD No. 5 Jinengdalem, SD No. 1 Poh Bergong, dan SD No. 2 Poh Bergong. Untuk mengetahui kesetaraan keterampilan proses siswa kelas V masing-masing SD,

maka terlebih dahulu dilakukan uji

kesetaraan. Uji kesetaraan pada penelitian menggunakan uji-t. Data yang digunakan dalam uji kesetaraan ini adalah data hasil tes keterampilan proses IPA pada siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan

Buleleng. Berdasarkan analisis uji-t

diperoleh hasil bahwa populasi dinyatakan setara.

Sedangkan sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik class random sampling, dan didapat SD No. 5 Jinengdalem sebagai kelas eksperimen dan SD No. 1 Poh Bergong sebagai kelas kontrol. Untuk mengetahui sampel benar-benar setara, dilakukan uji-t kesetaraan dengan rumus polled varians. Berdasarkan hasil uji kesetaraan diperoleh hasil bahwa sampel dinyatakan setara.

Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Sesuai dengan metode, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar soal tes essay yang diberikan pada akhir pembelajaran.

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan meliputi mean, median, modus. Hasil perhitungan mean median modus kemaudian nantinya disajikan dalam bentuk kurva polygon yang bertujuan untuk menafsirkan sebaran data keterampilan proses siswa kelas V pada mata pelajaran IPA baik pada kelas eksperimen maupun

pada kelas kontrol. Adapun statistik

inferensial menggunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Sebelum

menggunakan formula uji-t, dilakukan

terlebih dahulu uji prasarat yang meliputi uji normalitas dengan teknik Liliefors dan uji homogenitas varians dengan uji-F.

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Data dalam penelitian ini adalah skor keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA, sebagai akibat

dari penerapan model pembelajaran

generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Berikut data hasil post-test

kelas eksperimen dan kelas kontrol yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Keterampilan Proses Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA Sampel M Md Mo s s2 Skor Maksimal Skor Minimal R Eksperiment 42,19 42,5 42,83 6,85 46,85 54 25 29 Kontrol 31,92 31,5 27,37 6,61 43,75 44 22 22

Keterangan Tabel: M = Mean, Md = Median, Mo = Modus, s = Standar Deviasi, s2 = Varians dan R = Rentangan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata keterampilan proses

siswa kelas eksperimen pada mata

pelajaran IPA, adalah 42,19. Jika dikonversi ke dalam PAP Skala Lima berada pada kategori tinggi. Distribusi frekuensi data keterampilan proses siswa kelas V SD

pada mata pelajaran IPA di kelas

eksperimen yang menerapkan model

pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Poligon Skor Keterampilan Proses Siswa Kelas

Eksperimen

Berdasarkan gambar di atas

diketahui bahwa sebaran data kelas

eksperimen yang menerapkan model

pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif juling negatif Mo>Md>M (42,83>42,5>42,19). Hal ini

berarti bahwa sebagian besar skor

cenderung tinggi. Distribusi frekuensi data keterampilan proses siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran konvensional disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva Poligon Skor Keterampilan Proses Siswa Kelas

Kontrol

Berdasarkan gambar diatas

diketahui bahwa sebaran data kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran konvensional juling positif Mo<Md<M (27,37<31,5<31,92). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung rendah. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa mean keterampilan proses siswa pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol adalah 31,92. Jika dikonversi ke dalam PAP skala lima berada pada kategori sedang.

0 2 4 6 8 10 12 27 32 37 42 47 52 Fr e ku e n si Titik tengah 0 2 4 6 8 10 12 14 23,5 27,5 31,5 35,5 39,5 43,5 Fr e ku e n si Titik tengah

(6)

Sebelum uji hipotesis dilakukan,

terlebih dahulu dilakukan pengujian

prasyarat terhadap sebaran data yang

meliputi uji normalitas dan uji homogenitas, dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Keterampilan Proses Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA

Unit Analisis Model Pembelajaran Lo Lt

Keterampilan Proses

Generatif dengan Setting

Kelompok Belajar Kompetitif -0,042 0,04262

Konvensional -0,029 0,03891

Keterangan Tabel: Lo = L hitung, Lt = L tabel Berdasarkan Tabel 2, harga Lo lebih kecil daripada harga Lt pada semua kelompok data. Sesuai dengan kriteria pengujian, jika Lo < Lt maka dapat dinyatakan bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal sehingga semua

kelompok data dinyatakan berdistribusi normal.

Uji homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antar kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan data sebagai berikut.

Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians antar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Sumber Data Fhit

Ftab dengan Taraf

Signifikansi 5% Status

Post-test Kelas

Eksperimen dan Kontrol 1,07 1,84 Homogen

Uji yang digunakan adalah uji-F dengan kriteria data homogen jika Fhit <

Ftab. Dari tabel 3. diketahui bahwa Fhit < Ftab

sehingga varians data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen.

Berdasarkan uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data hasil post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil dari uji prasyarat analisis data,

dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian (H1) dan hipotesis nol (H0). Pengujian hipotesis tersebut dilakukan

dengan menggunakan uji-t sampel

independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians dengan kriteria tolak H0 jika thit > ttab dan terima H0 jika thit < ttab.

Rangkuman hasil perhitungan uji-t antar

kelas eksperimen dan kelas kontrol

disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t

Data Kelompok N X s2 thit ttab (t.s. 5%)

Keterampil an Proses

Eksperimen 36 42,19 46,85

6,583 2,000

Kontrol 38 31,92 43,75

Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t diatas, diperoleh thit sebesar 6,583.

Sedangkan ttab dengan dk = 36+38-2 = 72

dan taraf signifikansi 5% adalah 2,000. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab),

sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.

Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan proses antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting

kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di gugus 3 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data

penelitian, dapat diketahui bahwa

(7)

pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan model

pembelajaran konvensional memiliki

pengaruh yang berbeda terhadap

keterampilan proses sains siswa. Kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif memiliki keterampilan proses sains yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang

dibelajarkan menggunakan model

pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari rerata skor keterampilan proses sains kedua kelompok. Kelompok eksperimen memiliki rerata skor yang lebih tinggi, yaitu sebesar 41,19 dan berada pada kategori sangat tinggi, sedangkan kelompok kontrol memiliki rerata skor sebesar 31,92 berada pada kategori sedang.

Selanjutnya, berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan uji-t sampel tidak berkorelasi dengan rumus polled varians

diketahui bahwa thitung = 6,583 dan ttabel

dengan db = 72 pada taraf signifikasi 5%

adalah 2,000. Berdasarkan hasil

perhitungan tersebut, diketahui bahwa thitung

> ttabel. Hal ini berarti bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada

keterampilan proses sains antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan

kelompok siswa yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran

konvensional.

Adanya perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara

kelompok siswa yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran

generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang

dibelajarkan menggunakan model

pembelajaran konvensional disebabkan

karena perbedaan perlakuan pada

langkah-langkah pembelajaran dan proses

penyampaian materi. Suastra (2006)

mengatakan bahwa pembelajaran dengan

model pembelajaran generatif

menekankan aktivitas guru dan siswa melalui langkah-langkah, yaitu: Fase 1

(eksplorasi pendahuluan), Fase 2

(pemusatan), Fase 3 (tantangan), dan Fase 4 (aplikasi).

Pada fase eksplorasi pendahuluan, guru mengekslorasi dan mengklasifikasi

gagasan-gagasan siswa yang diperoleh

dari pengalaman/pengetahuan yang

dimilikinya. Konsepsi awal (prakonsepsi) siswa yang tereksplorasi pada fase ini digunakan sebagai acuan program belajar berikutnya. Hal tersebut diperkuat oleh prinsip belajar menurut Ausubel (dalam Suastra, 2006:14) bahwa “belajar bermakna

akan terjadi apabila pebelajar

menghubungkan atau mengaitkan informasi

itu pada pengetahuan yang telah

dimilikinya”.

Setelah fase eksplorasi

pendahuluan dilanjutkan dengan fase

pemusatan. Pada fase ini, guru

memberikan motivasi pada siswa dan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan

terbuka yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Respon dan gagasan siswa

diinterpretasi dan diklarifikassikan

konsepnya. Hal ini untuk mengetahui tujuan

sasaran yang dicapai serta manfaat

pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Keller (dalam Suwandariyani, 2011:24) bahwa “siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka dan memiliki tujuan yang jelas”.Selain itu, guru juga

bertugas sebagai fasilitator yang

menyangkut kebutuhan sumber, memberi

bimbingan dan arahan saat siswa

melakukan proses sains.

Setelah fase pemusatan kemudian dilanjutkan dengan fase tantangan. Pada fase ini, guru berperan sebagai fasilitator

atau mediator pembelajaran untuk

mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah. Tahap ini, siswa berlatih

mengeluarkan ide, kritik, berdebat,

menghargai pendapat teman, dan

menghargai adanya perbedaan diantara pendapat teman. Dalam pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif, pengungkapan ide, kritik, serta debat siswa dilakukan melalui kelompok belajar kompetitif. Pembelajaran secara berkelompok yang saling berkompetisi akan membangkitkan motivasi dan memacu aktivitas belajar siswa. Dalam diskusi kelompok, siswa yang kurang mampu akan dapat belajar dari siswa yang memiliki

(8)

kemampuan lebih. Dalam kegiatan diskusi kelas siswa akan dilatih berpendapat dan menghargai pendapat atau jawaban. Dalam hal ini siswa belajar untuk berinteraksi sosial baik dengan teman sekelasnya

maupun dengan guru. Menerapkan

kelompok belajar kompetitif juga dapat

menciptakan hubungan yang dinamis

antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam proses pembelajaran.

Hal ini disebabkan karena suasana

“menggurui” oleh guru intensitasnya

menurun, yaitu dalam pembelajaran guru lebih banyak berperan sebagai pendamping atau pembimbing dan fasilitator dalam kegiatan diskusi (Sugiarta, 2000: 18). Suasana belajar yang diciptakan guru

selama kegiatan pembelajaran yang

nampak bebas, ceria, bergairah (penuh

semangat), dan responsif (kondusif)

menjadikan hubungan guru dengan siswa

lebih dekat (akrab) dan ini sangat

membantu pemecahan berbagai masalah

yang dihadapi anak dalam proses

pembelajaran. Disamping itu, kegiatan

pembelajaran yang dilakukan secara

berkelompok akan dapat meningkatkan

kerjasama, kebanggaan bersama,

kehidupan demokratis, dan terwujudnya intensitas saling belajar yang tinggi di antara siswa.

Fase terakhir yaitu fase aplikasi. Pada fase ini, siswa memecahkan soal-soal dengan menggunakan konsep barunya atau konsep benar dalam situasi baru yang berkaitan dengan hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan langkah-langkah

model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif yang dilakukan saat penelitian, terlihat bahwa

keunggulannya yaitu guru dalam

pembelajaran tidak lagi memposisikan diri

sebagai teacher centered melainkan

memposisikan diri sebagai mediator dan

fasilitator. Siswa diarahkan untuk

melakukan kegiatan belajarnya secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) dan

konstruktivis sehingga siswa aktif

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Fase-fase dalam pembelajaran generatif memberi kesempatan kepada siswa untuk

membuktikan gagasan-gagasan yang

dimilikinya, jadi dalam proses pembelajaran

siswa aktif berpartisipasi. Pada model pembelajaran generatif siswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan dan masalah-masalah serta mendiskusikannya tanpa dibebani rasa takut.

Berbeda halnya dalam pembelajaran

dengan model konvensional yang hanya

berpusat pada guru sehingga membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran.

Model pembelajaran konvensional ini

merupakan model paling sederhana yang sebagaian besar digunakan oleh guru, penyampain materi dalam pembelajaran

konvensional tersebut lebih banyak

dilakukan melalui metode ceramah, tanya jawab, serta penugasan yang berlangsung secara terus menerus. Dalam penelitian ini, guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran. siswa berperan sebagai pendengan yang pasif dan mengerjakan apa yang disuruh guru serta melakukannya sesuai dengan yang dicontohkan. Antar siswa sangat jarang terjadi interaksi. Selain itu, dalam pembelajaran siswa sering menghapal pengertian dan contoh-contoh dalam buku buku. Siswa kesulitan dalam

mencari contoh dalam kehidupannya

sehari-hari.

Perbedaan cara pembelajaran

antara pembelajaran dengan model

pembelajaran generatif dengan setting

kelompok belajar kompetitif dan

pembelajaran dengan model pembelajarn konvensional tentunya memberikan dampak yang berbeda pula terhadap keterampilan proses siswa. Dengan diterapkannya model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif maka siswa akan mampu memecahkan masalah yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah yang diberikan dapat menjadi sebuah stimulus bagi siswa

untuk dapat mengembangkan segala

kemampuannya sebagai upaya untuk

memecahkan masalah tersebut. Siswa menjadi lebih tertantang untuk belajar dan

berusaha menyelesaikan semua

permasalahan IPA yang ditemui. Dengan mengkonstruksikan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari maka akan

dapat mengembangkan keterampilan

proses siswa sehingga keterampilan proses siswa dapat ditingkatkan. Dengan demikian,

(9)

keterampilan proses siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran

konvensional.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Ratnadewi (2011) yang

menyatakan bahwa model pembelajaran generatif berbantuan media lingkungan

sekolah dapat meningkatkan aktivitas

belajar siswa yang disebabkan karena siswa sudah dapat mengikuti pembelajaran

sesuai dengan model pembelajaran

generatif yang mana siswa tidak lagi bergantung pada penyajian materi dari guru, tetapi sudah mulai berusaha untuk mencari dan menemukan sendiri. Selain itu siswa sangat senang melakukan diskusi

kelompok karena dapat memberikan

kesempatan siswa untuk saling mengisi

kekuarangan masing-masing sehingga

ketika terdapat kesulitan dapat

terselesaikan secara bersama-sama.

Penelitian lain yang sejalan

dilakukan Santi (2011) yang menyatakan

bahwa penerapan kelompok belajar

kompetitif dengan model pembelajaran generatif ternyata mampu meningkatkan hasil belajar IPA siswa yang disebabkan karena fase-fase dalam pembelajaran generatif memberi kesempatan kepada

siswa untuk membuktikan

gagasan-gagasan yang dimilikinya sehingga informai yang didapat akan lebih kuat melekat dalam memori siswa. Maka secara tidak langsung akan berdampak pula terhadap perolehan hasil belajar siswa.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat

perbedaan keterampilan proses sains

antara kelompok siswa yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran

generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang

dibelajarkan menggunakan model

pembelajaran konvensional. Adanya

perbedaan menunjukkan bahwa model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa.

PENUTUP

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan proses sains antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif dan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus 3 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari mean

masing-masing kelompok. Kelompok eksperimen

berada pada ketegori sangat tinggi

(M=42,19) dan kelompok kontrol berada

pada kategori sedang (M=31,92).

Berdasarkan perhitungan uji-t diketahui bahwa thitung = 6,583 dan ttabel pada taraf

signifikasi 5% dan db=72 adalah 2,000. Hal ini berarti thitung > ttabel (6,583 > 2,000).

Adanya perbedaan menunjukkan bahwa

pembelajaran menggunakan model

pembelajaran generatif dengan setting kelompok belajar kompetitif memberikan pengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.

Saran yang dapat disampaikan

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Siswa-siwa di sekolah dasar agar terus mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya dengan cara ikut serta berperan aktif selama proses

pembelajaran berlangsung. (2) Guru

diharapkan mampu berinovasi dan

berkreasi dalam menyajikan materi

pembelajaran kepada siswa, seperti

dengan mengaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan siswa agar dalam pembelajaran siswa merasa lebih tertantang untuk mencari tahu sendiri sehingga siswa dapat aktif dalam belajar. (3) Kepala sekolah diharapkan dapat menganjurkan para guru untuk

menggunakan model pembelajaran

generatif dalam pembelajaran, khususnya untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model

pembelajaran generatif lebih baik

dibandingkan menggunakan model

(10)

yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran generatif dalam lingkup yang lebih luas, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bandingan dan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan terhadap penelitian yang akan dilakukan.

DAFTAR RUJUKAN

BSNP. 2006. Standar Kompetensi Mata

Pelajaran IPA SD/MI. Jakarta: Depdiknas.

Bundu, E. P. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Sanjaya, W. 2009. Strategi Pembelajarn Berorientasi standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sardiman. 1990. Dasar-dasar Proses

Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.

Suastra,I. W. 2008. Pembelajaran Sains Terkini, Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Sosial dan Budayanya. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Sugiarta. 2000. Inovasi Model

Pembelajaran Generatif dengan Metode PQ4R Berbantuan Modul dalam Perkuliahan Statistika Dasar Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Suwandariyani, P. 2011. Implementasi

Model Pembelajaran generatif

dalam Meningkatkan Motivasi

belajar dan Pemahaman Konsep IPA Siswa kelas VIII SMP No. 1 Sawan. Skripsi (tidak diterbitkan)

Jurusan Pendidikan Fisika.

Fakultas FMIPA. Singaraja:

Universitas Pendidikan Ganesha. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Departemen Pendidikan Nasional Pustaka.

Winaputra, U. S. 2006. Strategi belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Gambar

Gambar 1. Kurva Poligon Skor  Keterampilan Proses Siswa Kelas
Tabel 2.  Rangkuman Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Keterampilan Proses Siswa Kelas V  pada Mata Pelajaran IPA

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengujian dengan metode Sequential mampu menghasilkan jadwal pelajaran dengan nilai fitness yang sama dengan eksploitasi berdasarkan metode Random namun dengan

Soal selidik diedar kepada peserta tersebut kerana mereka adalah pengguna bebas ProB dan B-Toolkit yang mengguna alatan tersebut buat kali pertama bagi tugasan

Nilai koefisien korelasi parsial antara variabel fasilitas belajar dirumah dengan hasil belajar dengan kontrol variabel motivasi belajar dan pendidikan orang tua

Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa mean fungsi motorik sebelum pemberian kombinasi latihan theraband PNF dengan musik aktif pada kelompok intervensi 2.28 dan

Motif pada kain tenun Siak sudah lama mengalami perkembangan. Terdapat banyak kalangan yang mengembangkan motif kain tenun Siak menggunakan variasi berbeda-beda namun masih pada

Musabaqah Hifzhil Qur’an Battle adalah jenis lomba pelantunan ayat-ayat suci al-Quran dengan metode hafalan yang dipertandingkan, sehingga yang akan diujikan adalah

Karena pelana penyimpan susu terbuat dari perut binatang (sapi, kambing ataupun domba) yang mengandung rennet, maka kombinasi dari rennet, cuaca yang panas dan guncangan-

Pada tahun 2014, Jumlah mitra komersial yang menerapkan hasil litbangyasa iptek nuklir ditargetkan sebanyak 3 mitra dengan realisasi sebanyak 3 mitra komersial atau capaian