• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Yayasan Spiritia

No. 50, Januari 2007

Daftar Isi

Laporan Kegiatan

10

th

Bangkok Symposium

on HIV Medicine, 17-19

Januari 2007

Oleh: Chris Green

Hari Pertama:

Pada sambutan utama, Prof Gita Ramli

mengutarakan ‘ABC’ harus diluaskan menjadi A-I. ‘C’ harus diluaskan dari ‘Condom’ dan ‘Counseling & Testing’ untuk menambah ‘Circumcision (sunat)’. ‘D’ = ‘Diaphragm’ (diafragma) untuk melindungi leher rahim atas dari HIV. ‘E’ menunjukkan kebutuhan akan ‘Exposure prophylaxis (profilaksis pra- dan pascapajanan). ‘F’ adalah ‘Female-controlled microbicides (mikrobisida dikendalikan perempuan)’. ‘G’ adalah ‘Genital tract infection control (pencegahan infeksi pada saluran kelamin)’. ‘H’ = ‘HSV-2 suppressive treatment (pengobatan penekan HSV-2)’, dan ‘I’ adalah ‘Immunization (imunisasi)’ atau vaksin. Pencegahan versi ini tidak teknologi tinggi, dan tentu tidak 100 persen efektif, tetapi penggunaan sinergistik, membutuhkan keterlibatan komunitas dan masing-masing tidak dapat berjalan sendiri.

Dr. Andrew Hill dari Universitas Liverpool, Inggris, membahas kombinasi NRTI/NNRTI lini pertama. Pendapat dia adalah, dengan

menyesuaikan dosis obat lini pertama saat ini, biaya rejimen baku di banyak negara saat ini dapat dikurangi dengan manfaat lagi karena efek samping dapat dikurangi, dan efektivitas tidak dikurangi. Yang paling menarik adalah usulannya untuk mengurangi dosis EFV menjadi 200mg 1x sehari.

Prof Robert Murphy menyampaikan dua presentasi mengenai mulai ART, dalam penyakit lanjut dan perkembangan yang akan terdampak di rangkaian terbatas sumber daya. “Kita tahu harus mulai sebelum menjadi terlalu sakit, tetapi kita tidak

terinfeksi. Prof Murphy sangat optimis mengenai penyediaan obat baru di rangkaian terbatas sumber daya. “Produsen berjanji akan menyediakan obat baru secara luas di seluruh dunia secepat mungkin”, dengan harga terjangkau, terutama Merck untuk MK0518 integrase inhibitor dan Tibotec TMC125 NNRTI yang kemungkinan akan keluar tahun ini. Dua-duanya sangat manjur dan akan memudahkan ART. Juga MK0518 dapat dipakai bersamaan dengan rifampisin.

Prof. Diana Gibb membahas pengobatan untuk anak. Pertama dia menekankan pentingnya

profilaksis kotrimoksazol untuk semua anak terlahir dari ibu HIV-positif - alasan kematian separuh anak yang meninggal pada usia di bawah 6 bulan adalah PCP. Semakin banyak ARV tersedia versi pediatrik padat (pil); tablet Kaletra kemungkinan akan segera tersedia dengan dosis 100/25mg. Rejimen empat obat mungkin lebih baik untuk anak, mungkin dengan cara ‘induction’, dengan ‘maintenance’ (rumatan) dengan rejimen 3 NRTI. Efek samping mungkin masalah lebih kecil pada

Laporan Kegiatan 1

10th Bangkok Symposium on HIV

Medicine, 17-19 Januari 2007 1

Pengetahuan adalah kekuatan 5

Pengobatan antiherpes mengurangi viral load HIV dalam darah dan kelamin

perempuan yang tidak memakai ART 5 Suplemen Seng tidak memperbaiki diare

terkait HIV pada orang dewasa 7

Tips 7

Tips untuk Odha 7

Tanya Jawab 8

Tanya Jawab 8

Positive Fund 8

(2)

anak; lipodistrofi jarang dialami. Namun mungkin masalah lebih besar pada remaja, yang harus dibedakan dari anak kecil dan dari orang dewasa. Kesimpulan: “bila diobati, anak berpotensi hidup lebih lama dengan obat dibandingkan orang dewasa.”

Prof. Jintanat membahas terapi berdenyut (structured treatment interruption/STI) pasca-SMART (penelitian besar yang dianggap ‘gagal’). Setelah menganalisis hasil penelitian Staccato, Trivacan dan SMART, dia mengaku bahwa ada risiko berhenti ART sementara, tetapi risiko lebih besar pada SMART karena CD4 dibiarkan turun sampai 250 dan waktu tidak memakai ART sampai 17 bulan. Lagi pula, biaya dibuktikan lebih rendah kalau berhenti dibandingkan memakai obat terus-menerus, dan biaya menghadapi masalah akibat pemberhentian masih lebih rendah daripada biaya ART yang dihemat. Tetapi sebaiknya tidak menunggu sampai CD4 turun menjadi 250; sebaiknya berhenti dengan CD4 di atas 500, dan mulai lagi dengan CD4 350-400, dengan membatasi waktu berhenti jangan lebih dari enam bulan.

Dr. Victor Valcour dari Universitas Hawaii membahas masalah neurologis terkait HIV dan ART. Dia menunjukkan bahwa masalah kerusakan kognitif lebih sering terjadi pada usia muda (0-14 tahun) dan tua (di atas 60). Tanda utama yang menunjukkan akan terjadi masalah demensia dalam era pasca-ART: viral load yang tinggi di cairan tulang belakang; IDU; jumlah CD4 pernah sangat rendah; diabetes +/- resistansi insulin; dan amiloid yang rendah di cairan tulang belakang. Dia

menyimpulkan bahwa, walaupun saat ini masalah neurologis cenderung menurun pasca-ART, ada kemungkinan kita akan melihat semakin banyak efek samping neurologis setelah orang sudah mamakai ART belasan atau puluhan tahun.

Hari Kedua:

Prof. Sharon Lewin dari Universitas Monash di Australia mempresentasi topik ‘Determinants of CD4 T-cell loss and recovery in HIV infection.’ Topik ini agak bersifat ilmiah, dan tidak mudah dipahami oleh saya. Mungkin yang menarik adalah bahwa, walau setelah ART dimulai, viral load turun cepat dengan pola yang serupa untuk semua orang, ada perbedaan yang cukup besar dalam peningkatan pada jumlah CD4 setelah mulai ART. Ada yang

cepat naik, sementara ada yang sangat pelan; masalah ini dapat sangat membingungkan orang dengan peningkat yang pelan pada CD4-nya. Hal ini karena masalah induk (‘host’) dan faktor virus (ada tipe virus yang lebih ganas, dan koinfeksi virus, terutama dengan CMV) yang tidak dapat diubah, tetapi juga ada faktor yang dapat diubah, seperti pilihan rejimen ART dan (potensi) terapi imunomodulator.

Presentasi ‘Constructing a regimen in patients with failure of first line therapy (membentuk rejimen untuk pasien yang gagal terapi lini pertama)’ oleh Prof Kiat menyampaikan banyak informasi penting, tetapi sulit ditangkap. Dia membahas semua mutasi yang dapat terjadi dan dampaknya pada pilihan terapi lanjutan. Dua hal yang menarik: pendapat bahwa mungkin

monoterapi dengan PI yang di-boost (Kaletra, saquinavir/r atau indinavir/r) mungkin akan menjadi alternatif yang efektif untuk mereka dengan virus yang resistan terhadap banyak NRTI dan semua NNRTI. Dan juga ada informasi bahwa resistansi terhadap tenofovir (TDF) dapat

diakibatkan oleh ABC, d4T atau ddI, bukan hanya oleh TDF sendiri.

‘The goals of salvage therapy in highly treatment experienced patients (Tujuan terapi penyelamatan pada pasien yang sudah memakai kebanyakan ARV)’ oleh Prof Jonathon Shapiro dari National Hemophilia Center di Israel membahas bagaimana membentuk rejimen untuk orang yang sudah gagal terapi dengan 2-3 rejimen termasuk NRTI, NNRTI dan PI. Walaupun ‘berpengalaman’ dengan hampir semua jenis obat yang tersedia, kebanyakan pasien akan tetap mendapatkan manfaat secara klinis dari ART dan sebaiknya ART tidak dihentikan total. Hal ini terutama benar untuk pasien dengan penyakit lanjut atau jumlah CD4 yang sangat rendah. Pasien yang sebaiknya berhenti ART jarang ditemukan, terutama mereka yang mulai ART dengan CD4 yang sangat tinggi, mereka yang mengalami toksisistas gawat, dan penghentian sementara yang singkat yang diamati secara ketat. Resistansi terhadap kebanyakan golongan (selain NNRTI) tidak mutlak.

(3)

terapi HCV dan HBV. Ada banyak jenis obat baru dari dua golongan yang sedang ditelitikan untuk mengobati HCV: “dengan HCV, kita sekarang dalam keadaan serupa dengan HIV pada pertengahan 1990-an.” Obat baru akan bekerja lebih cepat dengan efek samping jauh lebih ringan, dan harga lebih murah. HBV akan diobati dengan terapi kombinasi, juga dengan beberapa jenis obat baru, juga dengan harga lebih murah. Kesan utama saya adalah bahwa mungkin ada baik untuk

menunda terapi hepatitis kalau bisa, dan menunggu terapi baru. Tetapi dibutuhkan advokasi seperti yang dulu dilakukan untuk ARV agar obat hepatitis dapat lebih terjangkau.

Beberapa bulan yang lalu, diumumkan bahwa vaksin terhadap HPV sudah disetujui di AS. Graham Leggatt, salah satu pencipta vaksin tersebut dari Universitas Queensland,

menggambarkan cara kerja vaksin tersebut. Ada ratusan jenis virus human papiloma (HPV), tetapi ada dua penyebab utama kanker leher rahim: HPV16 and HPV18. Ada dua macam vaksin: satu hanya efektif terhadap HPV 16 dan 18, yang lain juga efektif terhadap HPV 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin. Vaksinasi

membutuhkan tiga suntikan dalam jangka waktu enam bulan. Vaksinasi sebaiknya dilakukan pada perempuan sebelum terpajan melalui hubungan seks, jadi pada usia cukup muda (9 tahun?). Efektivitasnya hebat: 100 persen! Efek samping ringan saja. Vaksin tidak terapeutik. Belum ada data mengenai penggunaannya oleh laki-laki. Harga di Australia: 460 dolar Australia untuk tiga suntikan. Namun karena ada HPV macam lain yang dapat menyebabkan kanker leher rahim, walaupun lebih jarang, tes Pap smear tetap dibutuhkan.

Prof Thanyawee menyampaikan presentasi yang menarik berjudul ’Pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi: Berat, ringan atau menengah,’ yang membahas penggunaan ARV untuk PMTCT. Dia menilai AZT jangka pendek dan nevirapine dosis tunggal (sdNVP) sebagai ’ringan’; AZT jangka pendek + sdNVP, AZT + 3TC, dan AZT + 3TC + sdNVP sebagai ’menengah’; dan AZT + 3TC + sdNVP, serta AZT + 3TC + PI sebagai ’berat’. Versi ringan sangat efektif untuk mencegah penularan, dengan kombinasi dengan AZT lebih baik daripada sdNVP. Namun ada tantangan

dengan penggunaan sdNVP, terutama resistansi terhadap NVP oleh ibu dan/atau anak. Yang terbaik adalah ART biasanya untuk ibu, tetapi EFV tidak boleh dipakai, dan ruam/hepatotoksisitas NVP dapat menjadi masalah bila CD4-nya di atas 250, jadi alternatif adalah ART dengan PI. Bila Kaletra dipakai sebagai PI-nya, takaran harus ditingkatkan selama triwulan ketiga sampai dua minggu setelah melahirkan. Sebagai jawaban pada pertanyaan, Prof Thanyawee menjelaskan bahwa pedoman PMTCT di AS hanya mengusulkan bedah sesar bila viral load ibu terbukti di atas 1000 saat persalinan.

Hari ketiga:

Presentasi buka hari berjudul ‘Global Epidemiology of HIV-1 (Epidemiologi Global HIV-1)’ disampaikan oleh Dr Francine McCutchan. Saya takut presentasi ini akan sangat ilmiah, tetapi ternyata menarik dan juga sangat relevan. Dr McCutchan membahas sub-tipe HIV yang paling umum, dan di mana di dunia sub-tipe tersebut ditemukan, serta bagaimana bentuk rekombinasi dibangun dan disebarluaskan. “HIV-1 adalah patogen manusia yang paling bervariasi secara genetik, karena replikasi sangat cepat, bermutasi cepat, dan dapat rekombinasi.” Dia juga membahas cara untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi dengan dua virus yang berbeda (infeksi ganda). Ternyata 5 persen IDU di beberapa daerah di Thailand terinfeksi ganda. Jelas semua hal ini berimplikasi untuk perkembangan vaksin, tetapi pada kesimpulan, Dr McCutchan membahas implikasi pada terapi dan pencegahan, antara lain: infeksi ganda dapat mengakibatkan viral load yang lebih tinggi, penyakit berkembang lebih cepat, dan kegagalan terapi karena tertular dengan virus yang resistan; dan mungkin pencegahan infeksi ulang untuk mereka yang sudah terinfeksi HIV harus menjadi unsur penting dari strategi keseluruhan untuk mengendalikan epidemi global.

(4)

Namun yang menarik, kalau RIF dipakai sebelum NVP, NVP tidak harus dimulai dengan dosis separuh, atau mungkin hanya untuk satu minggu, karena tingkat NVP dalam darah pada awal dikurangi oleh metabolisme RIF. 2) Kalau pasien ganti EFV dengan NVP, apakah NVP harus dimulai dengan takaran separuh? Jawaban: tidak. 3) Apakah takaran optimal untuk anak? Jawaban: jangan dibawah 300mg/m2/hari; WHO sedang membentuk tabel yang menunjukkan takaran yang diusulkan untuk setiap berat badan, akan segera diterbitkan. 4) Bagaimana berhenti penggunaan rejimen NVP + NRTI? Kita tidak tahu jawaban terbaik; ada tiga alternatif: berhenti semuanya bersama dengan risiko resistansi terhadap NVP; berhenti NVP dulu, teruskan NRTI 7-14 (kemungkinan 7 hari cukup) dengan risiko resistansi terhadap NRTI; atau (mungkin terbaik) ganti NVP dengan PI (Kaletra?) untuk 7-14 hari, terus hentikan semuanya (risiko toksisitas akibat PI). “Mulai NVP adalah seperti mengendarai mobil tanpa mengetahui bagaimana mengeremnya” dan 6) (tidak ada waktu untuk pertanyaan 5) Apakah aman pakai NVP waktu hamil? Ya, tetapi... masalah toksisitas bila CD4 di atas 250, dan bila tidak akan diteruskan, bagaimana berhentinya (lihat

pertanyaan 4). Akhirnya Prof Berger mengaku bahwa walau NVP sudah dipakai sepuluh tahun, masih ada pertanyaan yang belum dapat dijawab secara penuh.

Prof Peter Reiss membahas risiko kardiovaskular (CVD) terkait HIV, dan cara menangani. Presentasi cukup rumit, tetapi kesimpulannya mengenai cara mencegah dan menangani risiko tersebut cukup sederhana: Menilai risiko sebelum mulai ART (pakai algoritme); mengenal mereka dengan risiko tinggi terhadap CVD (risiko CAD dalam sepuluh tahun di atas 10-20 persen); menghadapi faktor risiko yang diketahui (mis: merokok); memilih ART secara bijaksana (hindari resistansi insulin dan dislipidemia); coba memulihkan resistansi insulin/ dislipidemia bila ada (sulit!); dan coba hindari berhenti ART (terkait dengan CAD seperti ditunjukkan oleh penelitian SMART). Bila risiko rendah terhadap CVD, dapat diabaikan, dan jarang menjadi masalah pada orang di bawah usia kurang-lebih 50 tahun. Pengaruh pola hidup (terutama merokok) jauh lebih besar daripada ART.

Presentasi berikut oleh Prof Bernard Hirschel sangat hangat: Sunat atau tidak? Dia membahas sejarah sunat: sebagai cara mencegah infeksi saluran kemih pada anak (terbukti sangat efektif); untuk mencegah IMS (terbukti sangat efektif untuk beberapa IMS, baik dari perempuan ke laki-laki dan sebaliknya); dan untuk mencegah HPV dan kanker kelamin (terbukti efektif pada laki-laki dan

perempuan, walaupun untuk melindungi penis dari kanker, sunatan harus dilakukan segera setelah lahir, bukan saat pubertas). Sebagai cara untuk mencegah penularan HIV, sekarang ada bukti kuat mengenai efektivitasnya. “Sunat adalah intervensi yang jauh termurah per kasus infeksi HIV yang dicegah.”

Dr Mark Boyd menyampaikan presentasi

mengenai penggunaan PI di negara terbatas sumber daya. Tetapi pada dasarnya, presentasi menanyakan apakah takaran yang diusulkan oleh produsen terlalu tinggi, dan sering jawabannya adalah ’ya!’. Dia membahas hasil uji coba klinis dari beberapa PI, yang secara jelas menunjukkan bahwa takaran yang jauh lebih rendah sama atau lebih efektif, dengan efek samping (dan harga) jauh lebih rendah. Misalnya, uji coba klinis Kaletra menujukkan bawha takaran 200/100 lebih efektif untuk menekankan replikasi virus dibandingkan takaran baku yang dua kali lipat lebih tinggi (400/100). Lagi pula, uji coba ini dilakukan pada orang kulit putih dengan berat badan rata-rata 82kg, jadi untuk orang Asia, takaran lebih rendah lebih masuk akal lagi. Keadaan yang sama ditemukan untuk atazanavir (hasil dengan takaran 200mg qd serupa dengan hasil dengan 400mg qd yang saat ini baku). Untuk indinavir/r, efektivitas dengan takaran 400/100 bid serupa dengan takaran baku 800/100 bid, dengan efek samping jauh lebih rendah. Keadaan dengan saquinavir juga sama. Jelas dampak penyesuaian takaran ini dapat berdampak besar pada anggaran yang harus disediakan untuk ART. Sayangnya saat ini tidak ada alternatif yang efektif untuk ritonavvir sebagai boster; itrakonazol dapat dipakai, tetapi lebih mahal daripada ritonavir. Mungkin 50mg ritonavir cukup, tetapi kapsul terkecil adalah 100mg, dan alternatif (sirop) rasanya sangat buruk (”seperti minum muntah”).

(5)

ditutup dengan presentasi mengenai pencegahan, yang menekankan pentingnya kita memadukan P (prevention) dengan CST.

Presentasi akhir ini berjudul ”Pencegahan positif untuk orang positif” disampaikan oleh Prof John Kaldor dari UNSW. Prof Kaldor menggambarkan sejarah dan dasar pemikiran untuk pencegahan untuk Odha, terutama dari sisi dokter. ”Ada potensi untuk manfaat buat dokter dan pasien: kepatuhan, viral load lebih rendah, penularan dikurangi, dan perkembangan resistansi dikurangi.” Strategi yang dibahas untuk dokter termasuk: perawatan medis - menahan viral load yang rendah dan kesehatan secara umum; dukungan psikososial dan konseling - menghadapi kebutuhan pribadi, hubungan dan sosial; layanan spesialis lain -kesehatan seksual, penggunaan narkoba/alkohol; dan keterlibatan kelompok sebaya. Walaupun belum ada penelitian yang membuktikan efektivitas, ada cukup banyak bukti anekdotal. Namun bukti yang ada dari negara maju menunjukkan bahwa layanan harus sangat individu dengan sepuluh sesi/20 jam selama tiga bulan, jadi investasi cukup besar. Akhirnya Prof Kaldor mengulang bahwa asas petunjuk adalah baku: bukti klinis; kesehatan dan hak asasi manusia; dan pertimbangan klinis. Setelah presentasi, Prof Kaldor ngobrol dengan Caroline dan saya agar dapat usulan dan kritik, karena dia semakin tertarik dengan masalah ini, tetapi mengaku bahwa topik ini juga cukup peka dan harus dibahas secara hati-hati. Kesan saya keseluruhan adalah bahwa Simposium tetap baik dan praktis, walau ada beberapa sesi yang terlalu ilmiah/dalam. Sayangnya waktu untuk pertanyaan pada sesi pleno sangat terbatas (biasanya tidak ada waktu), tetapi sebaliknya, pada lokakarya, dengan ada kesempatan untuk interaksi dengan peserta, ternyata hanya sedikit peserta siap buka mulutnya. Seperti saya janji, saya akan coba membuat laporan lebih dalam untuk dimuat pada situs web Spiritia dalam beberapa hari. Memang banyak informasi yang disampaikan sangat penting buat kita di Indonesia, tetapi juga ada yang harus dibahas lebih dalam, seperti kesempatan untuk mengurangi takaran ARV, dengan potensi untuk menghemat dana dan mengurangi efek samping (paling penting untuk AZT dan d4T!).

Pengetahuan

adalah kekuatan

Pengobatan antiherpes

mengurangi viral load HIV

dalam darah dan kelamin

perempuan yang tidak

memakai ART

Michael Marco & Michael Carter,

16 Agustus 2006

Pengobatan antiherpes setiap hari mengurangi viral load HIV dalam darah dan cairan vagina secara berarti pada perempuan yang tidak memakai terapi antiretroviral (ART). Hal ini diungkapkan pada Konferensi AIDS Internasional ke 16 di Toronto, Kanada pada 15 Agustus 2006. Para peneliti dari Prancis beranggap bahwa hasil penemuan mereka dapat memberikan dampak penting pada pencegahan HIV.

Penelitian epidemiologi dan biologi telah

mengusulkan terdapat kaitan antara infeksi kelamin akibat virus herpes simpleks-2 (HSV-2) dengan penularan HIV. Infeksi HSV-2 dapat meningkatkan jumlah virus yang keluar dari vagina dan barangkali akan membuat seseorang koinfeksi HIV dan HSV-2 lebih mungkin menularkan HIV pada pasangan seksualnya. Namun demikian, hubungan sebab akibat ini belum pernah terbukti dalam penelitian pada manusia. Hingga saat ini, tidak pernah dilakukan uji coba klinis secara acak pada Odha yang menggunakan terapi anti-HSV-2.

Oleh karena itu, peneliti dari ANRS melakukan dua uji coba secara acak, percobaan dikontrol plasebo di Burkina Faso untuk membuktikan konsep. Tujuan adalah untuk memastikan apakah pemakaian terapi anti-HSV-2 valasiklovir (prodrug

(6)

Dalam penelitian ANRS 1285a, sebanyak 140 perempuan yang tidak memerlukan ART dibagi secara diacak untuk menerima 1mg valasiklovir atau plasebo setiap hari selama tiga bulan. Dua kali seminggu cairan vagina mereka diambil untuk mengukur jumlah virus HIV dan HSV-2 yang keluar. Tes darah juga dilakukan untuk memantau viral load HIV. Dari 136 perempuan dengan data yang dapat dianalisis, para peneliti menetapkan bahwa frekuensi dan jumlah virus HIV yang keluar dan viral load HIV menurun kurang lebih 0,510 log dengan terapi valasiklovir. Juga terjadi penurunan yang bermakna pada jumlah virus HSV-2 yang keluar dari vagina sebanyak 65 persen dan ulkus kelamin berkurang 84 persen.

ARNS 1285b mengacak pemberian valasiklovir atau plasebo pada 60 perempuan pemakai ART. Jumlah CD4 rata-rata pada kedua kelompok kira-kira 230 dan jangka waktu penggunaan ART rata-rata 20 minggu. Walaupun tidak ada penurunan secara berarti pada viral load HIV, namun terjadi penurunan virus HIV sebanyak 0,7110 log pada cairan vagina. Selama masa pengobatan, HIV dapat terdeteksi dalam cairan vagina 23,7 persen

perempuan dibandingkan dengan 8,6 persen penerima valasiklovir (OR=0,27; 95% CI: 0,1, 1.0; p=0,05). Dengan demikian, perempuan penerima valasiklovir mengalami penurunan sebanyak 73 persen dalam kemungkinan mempunyai HIV terdeteksi dalam cairan vagina dibandingkan dengan penerima plasebo.

Untuk menemukan HSV-2 pada cairan vagina, terdapat kecenderungan yang menunjukkan perbedaan yang berarti di antara kedua kelompok tersebut. Sejumlah 6,6 persen perempuan penerima valasiklovir masih memiliki HSV-2 terdeteksi dibandingkan dengan 9,8 persen perempuan penerima plasebo (p=0.06). Tidak terdapat perbedaan berarti yang diamati dalam jumlah rata-rata virus HSV-2 yang keluar dari vagina di antara kedua kelompok tersebut.

Para peneliti memberi beberapa alasan untuk penemuan mereka. Satu hipotesis adalah bahwa terapi valasiklovir menurunkan jumlah virus HIV yang keluar dengan mengurangi viral load pada perempuan yang tidak memakai ART. Para peneliti menganggap bahwa ini dapat terjadi karena dampak dari valasiklovir pada mekanisme kekebalan tubuh;

sebuah dampak dari obat tersebut pada sel yang terinfeksi HIV; atau hambatan pada virus terkait herpes lain. Para peneliti juga menekankan bahwa valasiklovir menekan keluarnya virus HSV-2 dari vagina, sehingga jumlah virus di vagina berkurang. Mereka mengingatkan bahwa data ini tidak secara tegas menunjukkan bahwa valasiklovir cukup untuk mengurangi penularan HIV. Secara bijaksana mereka berpendapat bahwa hipotesis ini perlu ditinjau kembali dengan uji coba klinis yang tengah dilaksanakan, misalnya penelitian yang sedang dilakukan oleh Connie Cellum dan Jaringan Percobaan Pencegahan HIV (The HIV Prevention Trials Network)

Akan tetapi, mereka secara benar menyatakan bahwa ini adalah uji coba secara acak yang pertama kali menunjukkan dampak biologis HSV-2 pada penularan HIV. Demikian halnya, mereka dengan sangat hati-hati menghimbau untuk terus

mendorong hubungan seks yang aman pada Odha yang menerima ART, karena ditemukan bahwa sampai dengan dua per tiga perempuan yang menerima ART masih mengeluarkan HIV setelah 20 minggu.

Ringkasan: Anti-herpes therapy reduces genital and plasma HIV viral load in women not taking HIV therapy

Sumber:

Mayaud P et al. Herpes simplex virus type-2 (HSV-2) suppressive therapy to reduce genital and plasma HIV-1 RNA: overview of the ARNS 1285 trials, potential mechanisms for future interventions. Sixteenth International AIDS Conference, Toronto, abstract TUA0501, 2006.

(7)

Tips

Tips untuk Odha

Kepopuleran (kacang) kedelai di kita bukan saja karena murah harganya, tetapi juga merupakan bahan makanan yang cukup efisien, di samping memang bernilai gizi tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi itu saja, menurut perkiraan kasar, tiap orang Indonesia rata-rata memerlukan tidak kurang dari 4 kg tiap tahunnya.

Kedelai juga terkenal di seluruh dunia sebagai jenis kacang-kacangan yang paling tinggi kadar proteinnya; kecuali itu macam-macam vitamin pun banyak terdapat dalam biji kedelai. Jangan anggap remeh bahan nabati ini karena ia sungguh kaya akan gizi; bahkan nilai proteinnya nyaris sama dengan protein hewani.

Berikut ini adalah cara membuat susu kedelai:

•Kedelai direndam air selama 5-10 jam.

Kemudian dibuang airnya.

•Kedelai basah dituangi air mendidih, dengan

perbandingan 9 bagian air dan 2 bagian kedelai. Temperatur dijaga 80 derajat celcius pada setiap saat.

•Disaring dengan kain linen putih.

•Blender kacang kedelai kemudian direbus dan

ditambahkan gula secukupnya.

•Susu kedelai yang diperoleh dapat diperlakukan

sebagai susu kedelai segar atau susu kedelai dalam botol.

Apabila yang diinginkan susu kedelai segar, maka perlakuan selanjutnya adalah:

•Menjaga susu kedelai tetap sama selama 30-50

menit untuk menghancurkan antrypsin. Soalnya antrypsin ini dapat menghilangkan trypsin yang diperlukan untuk mencerna protein.

•Tambahkan gula, aroma, dll.

•Susu kedelai segar ini tahan selama delapan jam.

Tetapi kalau dimasukkan ke dalam lemari es, susu ini dapat bertahan lebih lama, yaitu 1-5 hari.

Apabila yang diinginkan susu kedelai dalam botol, maka perlakuan selanjutnya adalah sebagai berikut:

•Tambahkan gula dan beberapa zat gizi mikro

(vitamin dan mineral), dan aroma.

•Masukkan susu kedelai ke dalam botol.

Suplemen Seng tidak

memperbaiki diare terkait

HIV pada orang dewasa

New York (Reuters Health) 9 November 2006 – Laporan dari tim peneliti internasional menyatakan bahwa pengobatan selama dua minggu dengan 50mg Seng dua kali sehari tidak mengurangi atau menghilangkan diare pada orang dewasa terinfeksi HIV.

Penulis menjelaskan bahwa suplemen Seng telah disarankan untuk mengurangi kejadian serta keparahan diare pada anak-anak, tetapi tidak jelas apakah Seng meringankan diare pada orang dewasa terinfeksi HIV.

Dr. King K. Holmes dari Universitas Washington, Seattle beserta rekan menyelidiki kemungkinan apakah tambahan Seng (50mg dua kali sehari selama dua minggu) dapat

mempengaruhi kelanjutan atau keparahan diare pada 159 orang dewasa terinfeksi HIV di Peru yang mengalami diare paling sedikit tujuh hari.

Penemuan ini dilaporkan dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi Oktober 2006.

Penulis melaporkan bahwa dibandingkan dengan pemberian plasebo, suplemen Seng tidak

mengurangi frekwensi diare. Gejala lambung-usus lain dan demam muncul dengan frekwensi yang serupa pada kedua kelompok.

Para peneliti berpendapat bahwa, “Pengobatan yang lebih lama atau pemantauan lebih dari dua minggu telah menunjukkan manfaat. Akan tetapi manfaat suplemen Seng terhadap diare pada anak-anak menjadi nyata setelah hari ke empat

pemberian suplemen Seng.”

“Penelitian mendatang tentang diare terkait HIV pada orang dewasa di negara berkembang harus menilai intervensi antimikroba yang berpotensi lebih efektif agar mendasari pedoman untuk algoritme pengobatan antimikroba empiris,” demikian disimpulkan oleh penulis.

Ringkasan: Zinc Supplements Don’t Improve HIV-Related Diarrhea in Adults

(8)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan

T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D

FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON

Kantor Redaksi:

Jl. Johar Baru Utara V No 17 Jakarta Pusat 10560

Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168 Fax: (021) 4287 1866

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Caroline Thomas

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).

Positive Fund

Tanya Jawab

Tanya Jawab

T: Apakah istri saya bisa hamil, kalau dia menggunakan kombinasi ARV

Stavudin+Hiviral+Efavirenz? Karena yang saya tahu dia harus mengganti dengan NVP, ada juga informasi yang saya dapatkan kalau sampai hamil Efavirenznya aja yang di stop? Saya sangat membutuhkan jawaban..!!

J: Efavirenz adalah satu-satunya obat

antiretroviral (ARV) yang tidak boleh dipakai oleh ibu hamil, dan diusulkan tidak dipakai oleh perempuan yang mungkin bisa jadi hamil. Alasannya karena terbukti dapat menimbulkan cacat pada janin, terutama pada triwulan pertama kehamilan. Kalau perempuan yang memakai efavirenz ingin hamil, atau ada risiko dapat menjadi hamil, efavirenz harus diganti (tidak di-stop!). Biasanya obat pengganti adalah nevirapine, tetapi bila tidak tahan dengan nevirapine karena efek samping, alternatif lain adalah Kaletra (protease inhibitor, biasa dicadangkan untuk lini kedua). Bila dipakai Kaletra, takaran harus ditingkatkan pada triwulan ketiga kehamilan sampai dengan dua minggu setelah melahirkan.

Obat lain (stavudin/d4T dan Hiviral/3TC) tidak menimbulkan masalah.

Diambil dari rubrik Tanya Jawab di website Spiritia.

Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia Periode Januari 2007

Saldo aw al 1 Januari 2007 9,058,169

Penerimaan di bulan

Januari 2007 300,000+

___________

Total penerimaan 9,358,169

Pengeluaran selama bulan Januari :

Item Jumlah

Pengobatan 532,000

Transportasi 0

Komunikasi 0

Peralatan / Pemeliharaan 0

Modal Usaha 0+

__________

Total pengeluaran 532,000

-Saldo akhir Positive Fund

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada jumlah tertentu (saat mulai stabil), ukuran generasi memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam menghasilkan solusi yang optimal. Menurut Mahmudy (2015), semakin

Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim, yaitu bagi anterendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker ovarium adalah tumor

Perubahan alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang lumrah dan sering terjadi di perkotaan, namun dalam hal ini adanya perubahan alih fungsi

Pengelolaan pembelajaran dengan model inquiry yang dilakukan mahasiswa Pendidikan Kimia A angkatan 2008 juga menunjukkan hasil rata-rata kriteria baik, Jadi

memberi kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas di rumah sakit tersebut. Direktur RSUD Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas beserta staf yang telah memberikan. kesempatan

Bab keempat adalah analisis yang merupakan bab inti dari penyusunan skripsi ini yang memuat hasil penelitian yang berupa analisis hukum Islam tentang alasan

Sistem yang dibuat bertujuan untuk memudahkan pengguna melakukan perhitungan dalam mengambil keputusan untuk mengetahui kadar risiko hipertensi menggunakan Sistem

Hidangan autentik Jepang dan keramahtamahan yang menenteramkan dengan cita rasa Tokyo yang disukai para pengunjung ternama. Dikenal sebagai `Picasso kue', Pierre Hermé mendapat