i
SKRIPSI
PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI
KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG
KLINIK
A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
SKRIPSI
PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI
KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG
KLINIK
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
oleh karena atas segala petunjuk dan bimbingan Nyalah, maka penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang menjadi persyaratan untuk dapat meraih gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun skripsi ini
berjudul “PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG
KLINIK”.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Untuk itu saran
yang bersifat membangun demi sempurnanya skripsi ini penulis terima dengan
senang hati.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan
dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immaterial. Melalui kesempatan
yang terhormat ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. Selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana dan selaku Pembimbing I yang
sangat sabar dalam membimbing serta member masukan-masukan kepada
penulis dan berkenan meluangkan waktu beliau guna memberikan
vi
2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH. Selaku Ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana;
6. Ibu Cok Istri Anom Pemayun, SH.,MH. Selaku Pembimbing II yang telah
membimbing, mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dengan
baik hati dalam penyusunan skripsi ini;
7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH. Selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama penulis
mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah
memberikan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan;
9. Seluruh Staf Tata Usaha, Perpustakaan, Laboratorium dan seluruh pegawai
Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pelayanan
vii
10.Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes. Selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota
Denpasar dan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si. selaku Kepala
Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar,
yang telah memberikan informasi kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini;
11.Kepada keluarga penulis Ayah tercinta A.A. Gde Raka Pemayun, Ibu
tercinta Desak Nyoman Widiasih Nida, dan adik tersayang A.A. Gde Ari
Widhiasmana Pemayun yang dengan penuh kasih mendoakan,
memberikan dukungan, dan cinta kasih yang luar biasa sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini;
12.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Putu Kevin Saputra Ryadi,
Gusti Made Triantaka, A.A Ngurah Ari Dwiatmika, Pramitha Asti, Ari
Astuti, Ema Wulandari, Gek Mas, Tami, Ayu Purwati (kapal), Sulbianti,
Gekin Damayanti, Dewi Lestari, Arista Wirdiantara, Putri Purnama Santhi
(Boldes), Trisna Anggita, Maria Margaretha, Yudi Gabriel, Dayu, Leona,
Nia, Intan, Yupit, Alit, Yeyen, Gung Ari, Nita, Ayu Purnama, Tebo,
Bagus, Ayu Pasek, Gung Gus, Tamy, Baruna, Gung Dalem, Dedek,
Lepok, (Teman Kelas A) serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah
viii
13. Kepada kakak-kakak senior angkatan 2011, Elcyntia, Susi Hertati, Riyani
Kartika Sari, Yogi Prasada, Alvin Janitra, Hendra Rusliyadi, dan Cintya
Virgyanti yang telah menemani, membantu, dan memberi arahan selama
perkuliahan hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.
14. Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) mulai
dari angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang senantiasa memberikan
pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013-2014, Kak El,
Kak Riyani, Kak Susi, Kak Gung Chris, Kak Nadira, Kak Usro, Kak
Ebong Kak Alvin, Taka, Gekin, Kevin, Gung Arik, Ema, Mita, Tutik,
Tamy, Ayu Kapal, Gek Mas (AMP), Anggi, Zaky, Balon, Dedek, Ngurah,
dan delegasi Piala Prof. Soedarto IV, Kak Juli, Kak Apdila, Kak Riyani,
Kak Dasri, Kak Cintya, Kak Gunggek, Kak El, Kak Aloy, Kak Yogi, Kak
Alvin, Kak Susi, Taka, Kevin Saputra, Gung Arik, Gek In, Nisa, Tasya,
Fachri;
15. Kepada keluarga Besar GenBI (Generasi Baru Indonesia) Provinsi Bali
yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Kak Wiwik, Agus Satria, Mira,
Widya, Purnama Wirawan, Dimas, Niza, Agus Adi, Agustin, Ayu
Primayanti, Diah, Dian, Dirga, Hary, Iwan, Jeje, Sriani, Rangga, Warda;
16. Kepada keluarga KKN-PPM 2015 di Desa Nyalian, Toni, Gung In, Yesi
Dip, Agus Kage, Hendra, Agus Kesuma, Nala, Ardi, Chandra, Eka, Made
ix
Is, Widy, Windek, Yuni, Asri. yang senantiasa memberikan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini,
17.Seluruh pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama perkuliahan
dan penyusunan skripsi ini.
Semoga mereka yang mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan
dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap
langkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata penulis ucapkan terima
kasih dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada
umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.
Denpasar 19 Februari 2016
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
ABSTRAK ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Ruang Lingkup Masalah... 8
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8
xii
1.6 Manfaat Penelitian ... 10
1.7 Landasan Teoritis ... 10
1.8 Metode Penelitian ... 19
1.8.1 Jenis Penelitian ... 19
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19
1.8.3 Sifat Penelitian ... 20
1.8.4 Sumber Data ... 20
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 20
1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ... 22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK ... 25
2.1 Perizinan ... 25
2.1.1 Pengertian Perizinan ... 25
2.1.2 Unsur-Unsur Perizinan ... 27
2.1.3 Fungsi Dan Tujuan Perizinan ... 34
2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan ... 35
xiii
2.2.1Pengertian Klinik ... 39
2.2.2 Jenis Klinik ... 40
2.2.3 Pengaturan Klinik Di Indonesia... 41
BAB III MEKANISME PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA
DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 43
3.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik Di
Kota Denpasar Sebelum dan Setelah Dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43
3.1.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di
Kota Denpasar Sebelum Dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43
3.1.2 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di
Kota Denpasar setelah Dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2014 tentang Klinik ... 50
3.2 Mekanisme Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar
xiv
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Klinik ... 59
3.3 Pengawasan Perizinan Pendirian Klinik di Kota
Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014
Tentang Klinik ... 62
BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN
PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR
SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 65
4.1 Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan
Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 65
4.2 Usaha Pemerintah Kota Denpasar Dalam Mengatasi
Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan
Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 75
xv
5.1 Kesimpulan ... 80
5.2 Saran ... 81
xvi ABSTRAK :
Tingginya kebutuhan atas pelayanan kesehatan menimbulkan banyaknya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar. Untuk mengatur pertumbuhan klinik tersebut diperlukan aturan-aturan perizinan yang dapat memberikan batasan dalam penyelenggaraan klinik. Pengaturan perizinan klinik di Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan, diatur lebih rinci mengenai persyaratannya dalam Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Adanya dua aturan hukum yang sama-sama mengatur mengenai klinik namun memiliki persyaratan yang berbeda membuat masyarakat menjadi bingung dan pelaksanaan dari aturan hukum menjadi kurang efektif. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perizinan pendirian klinik, juga dapat mengetahui bagaimana hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian empiris merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal Kota Denpasar bahwa aturan hukum yang dijadikan dasar pemberian izin pendirian klinik adalah Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik, sehingga pelaksanaannya belum berjalan efektif. Saran yang dapat diberikan adalah dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai aturan yang ada dan melakukan pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Klinik agar adanya kesesuaian antara aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar.
xvii ABSTRACT:
The high demand for health care services provokes the number of health clinics in Denpasar. To regulate this situation, licensing rules were required to regulate the limitation of health clinic implementation. The regulation of clinic licensing in Denpasar has regulated on Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning the Licensing Retribution in the field of Health, which has regulated in more detail on Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health and also has regulated in Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic. The existence of two legal rules that are equally set on clinics but have different requirements, it causes confusion to the community and the legal implementation become less effective. This research is important to know how the implementation of licensing the establishment of clinics, and also to find out how the barriers and efforts in the implementation of licensing the establishment of the clinic after the issuance of Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic.
This research applies legal empiric. Empiric research is a legal research which applies legal identify (unwritten) and research against the affectivity of law.
According to the research result which has been done by the Denpasar Health Agency and also on Bapan pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar (Licensing Services Agency One Stop and Investment in Denpasar), the rule of law as the basis of granting permits the establishment of the clinic is Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health improved by Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic, so that its implementation has not been effective. The advice can be given is to do outreach to the community about the existing rules and does the establishment of Regional Regulation on Clinical Denpasar so that compatibility between legal rules governing the licensing establishment of clinics in the city of Denpasar.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat
pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas
wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan
Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun
2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan
Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan,
Kecamatan Denpasar Utara.1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi
Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas
pelayanan publik.
Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar
sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan
ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di
Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi
masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan
menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun
ingin mengadu nasib mencari pekerjaan.
1
2
Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
dalam melaksanakan kepentingan umum, dibekali dengan instrumen wewenang
pemerintah untuk melakukan perbuatan pemerintahan, yang dalam konsep hukum
administrasi di Belanda dikenal dengan istilah “besturhandeling” atau dalam
hukum administrasi di Indonesia dikenal dengan istilah perbuatan pemerintahan
atau tindakan pemerintahan.2 Tindakan pemerintah tersebut kemudian diwujudkan
dalam bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan kewajiban dari
pemerintah kepada setiap warga negara dan penduduk sehingga metode dan
prosedur serta senantiasa harus diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang paling sering dijumpai
dalam lalu lintas antara pemerintah dan masyarakat adalam berkaitan dengan
perizinan. Pelayanan perizinan dewasa ini masih dirasakan kurang memuaskan
dalam berbagai sektor perizinan.
Izin merupakan keputusan tata usaha Negara atau dikenal dengan istilah
beschikking. Beschikking memiliki definisi, “Onder „beschikking’ kan in zijn
algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan,
dat gericht is op rechtsgevolg”3
. Secara umum, beschikking dapat diartikan;
2
Kuntjoro Purbopranoto, 1972, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h.44.
3
3
keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang bertujuan untuk
menimbulkan akibat hukum.4
Menurut L.P. Sinambela menyatakan bahwa masyarakat selalu menuntut
adanya pelayanan publik yang terbaik dan berkualitas dari pemerintah, walaupun
tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat, karena secara
empiris di masyarakat pelayanan perizinan masih terkesan lambat, berbelit-belit,
mahal dan melelahkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang masih
diposisikan sebagai yang melayani bukan yang dilayani.5
Masyarakat umum (termasuk kalangan pengusaha atau swasta) masih
merasakan bahwa proses pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh aparatur
pemerintahan masih terkesan kurang baik di mata masyarakat, seperti proses yang
berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan juga melelahkan. Masyarakat yang
mangajukan permohanan izin sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lainnya
hanya untuk mengurus 1 jenis pelayanan perizinan, sehingga masyarakat menjadi
malas untuk mengurus izin mereka, maka pelayanan perizinan yang dilakukan
oleh aparatur pemerintahan di cap buruk oleh masyarakat. Bagi kalangan usaha
permasalahan izin seperti ini tentu saja sangat menghambat, sehingga kepercayaan
dari masyarakat dan kalangan usaha terhadap pemerintah akan menurun.
Merespon permasalahan tersebut sebenarnya pengaturan mengenai
Pelayanan Publik itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Republik
4
Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.142.
5
4
Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan
Publik) pada Pasal 1 menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.” Yang bertujuan untuk memberikan acuan
kepada aparatur pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat.
Keseriusan pemerintah akan pentingnya pelayanan publik khususnya di
bidang perizinan itu sendiri juga di perkuat dengan Pasal 350 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
kepala daerah diwajibkan untuk memberikan pelayanan perizinan. Pasal ini
menegaskan bahwa pelayanan perizinan juga merupakan tanggung jawab dari
pemerintah daerah, sehingga pelayanan perizinan dapat dilakukan dari lapisan
terdekat yaitu Kepala Daerah.
Kota Denpasar telah mengakomodir aturan dalam UU Pelayanan Publik
kedalam bentuk Peraturan Walikota yang bertujuan agar mempermudah regulasi
pelayanan publik di bidang perizinan yaitu Peraturan Walikota Denpasar Nomor
21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Selanjutnya
disebut Perwali Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan), yakni dalam Pasal 2 pada
pokoknya menyatakan bahwa, Walikota Denpasar disini menjadi penyelenggara
5
penerbitan,pengawasan, pembatalan dan pencabutan izin. Selain itu Walikota
Denpasar juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang meliputi 75 jenis izin.
Salah satu dari 75 jenis izin yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar
adalah ijin penyelenggaraan balai pengobatan / klinik. Dengan jumlah penduduk
yang padat tentu saja permasalahan kesehatan juga tinggi di Kota Denpasar, hal
ini mendorong banyak bermunculannya Klinik di Kota Denpasar.
Klinik merupakan pilihan tempat pengobatan bagi masyarakat di Kota
Denpasar. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah klinik yang tersebar di
Kota Denpasar yang mempermudah masyarakat dalam menerima pelayanan
kesehatan tanpa harus pergi ke Rumah Sakit Daerah, yang mungkin bagi beberapa
orang jaraknya cukup jauh.
Begitu pesatnya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar tentu saja harus
didasarkan Izin penyelenggaraan dari klinik tersebut. Secara khusus pengaturan
mengenai perizinan klinik diatur melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor
4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan (Selanjutnya
disebut Perda Denpasar Nomor 4 Tahun 2003) dan diuraikan lebih rinci dalam
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar (Selanjutya disebut
Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003).
Pada tahun 2014 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik
6
dalam aturan ini mengatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan izin
mendirikan klinik. Dalam beberapa persyaratan yang diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan ini tidak diatur dalam Keputusan Walikota tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar.
Dalam Permenkes tentang Klinik terdapat persyaratan izin mendirikan
Klinik yang terdapat dalam Pasal 26. Begitu pula dalam Keputusan Walikota
Nomor 339 Tahun 2003, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Permohonan
ijin kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
keputusan ini wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam
lampiran keputusan ini”. Namun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar
ini terdapat perbedaan mengenai persyaratan Izin mendirikan klinik yaitu dalam
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik mempersyaratkan adanya dokumen
SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Jalan atau
dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan
Lingkungan) untuk Klinik Rawat Inap, sedangkan di dalam Keputusan Walikota
ini tidak mengharuskan adanya dokumen SPPL atau UKL-UPL. Pengurusan izin
mendirikan Klinik di Kota Denpasar sebelum dikeluarkannya Permenkes tentang
Klinik, beracuan kepada Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, yang
menjadi dasar hukum dalam pengurusan izin mendirikan Klinik.
Dari perbedaan persyaratan perizinan mengenai klinik tersebut tentu saja
menimbulkan permasalahan di masyarakat. Adapun permasalahan tersebut seperti
7
Denpasar mengenai aturan hukum mana yang digunakan, bagaimana mekanisme
dalam permohonan perizinan pendirian klinik. Kebingungan lain para pengelola
Klinik adalah untuk memperpanjang izin kliniknya dikarenakan adanya
persyaratan-persyaratan baru yang menyebabkan beberapa klinik tidak dapat
melengkapi persyaratan tersebut.
Dari latar belakang tersebut timbul keinginan untuk membahas dan
menulis tugas akhir atau Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Perizinan
Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Klinik”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar
setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?
2. Hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian
klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
8
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan
dan juga untuk mendapatkan gambaran umum mengenai apa yang penulis uraikan
dalam skripsi ini, maka perlu untuk ditentukannya ruang lingkup pemasalahan,
yaitu :
a. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana
mekanisme perizinan klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014
tentang Klinik. Mekanisme tersebut meliputi aturan hukum yang
digunakan, proses permohonan izin dan pengawasan yang dilakukan
setelah diterbitkannya izin.
b. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai hambatan dan upaya
pemerintah dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota
Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia
pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan
orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa
judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun
dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan skripsi atau disertasi yang
9
Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
1.5.Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dalam penelitian skripsi ini terdapat dua jenis yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dan
informasi kepada masyarakat mengenai perizinan pendirian klinik dan
pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik di Kota Denpasar.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perizinan pendirian
klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik.
2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam
pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
10
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya Hukum Administrasi Negara.
Selain itu juga diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Kota
Denpasar dalam melaksanakan pelayanan publik khususnya dalam bidang
perizinan dan memberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah mengenai pelayanan perizinan.
b. Manfaat Praktis
Untuk memberikan sumbangsih kepada yang membutuhkan
informasi mengenai bagaimana aturan mengenai pelayanan publik di Kota
Denpasar khususnya dibidang Perizinan Mendirikan Klinik.
Selain itu juga untuk mengetahui pelaksanaan perizinan
mendirikan klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik.
1.7.Landasan Teoritis
a. Teori Negara Hukum
Konsep mengenai Negara Hukum merupakan konsep yang dianggap
universal oleh beberapa orang namun dalam implementasinya konsep Negara
Hukum memiliki karakteristik yang beragam. Jika di perhatikan secara historis
dan praktis, konsep Negara hukum ini dapat dilihat dalam beberapa model
11
Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang lebih dikenal dengan
Rechtsstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (Rule Of Law),
konsep Sosialistlegality, dan konsep Negara hukum Pancasila.6
Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Pengertian Negara hukum menurut D.Mutiara’as adalah sebagai berikut:
“Negara hukum ialah Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya
dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya
didasarkan hukum. rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut
semaunya yang bertentangan dengan hukum.”7
Prinsip-prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh J.B.J.M. ten Berge
adalah sebagai berikut :8
1) Asas Legalitas.
2) Perlindungan Hak-hak asasi.
3) Pemerintah terikat pada hukum
4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.
5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Dalam Negara Hukum harus memenuhi dua syarat, syarat pertama adalah
supremacy before the law yaitu hukum diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa
6
Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.63
7 D.Mutiara’as, 1955,
Ilmu Tata Negara Umum,Pustaka Islam, Jakarta, h.20.
8
12
penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the
law yaitu semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah
sama statusnya atau kedudukannya didalam hukum.9
b. Teori Penegakan Hukum
Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam penyelenggaraan
Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai kedaulatan hukum
(supremasi hukum) dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dan Pancasila.
Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.10
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.11
9
C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.88.
10
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,
13
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan
tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan
pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.12
c. Good Governance
Pengertian Good Governance menurut Bintoro Tjokroamidjojo, dalam
bukunya yang berjudul “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good
Governance dan Perwujudan Masyarakat Mandiri” adalah sebagai
sharing/partnership pengelolaan Negara antara sektor publik yaitu pemerintah
dengan sektor swasta/ usaha dan sektor organisasi masyarakat.13
United Nations Development Program tahun 1997 mengemukakan bahwa
karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi14:
a. Partisipasi (Participation): setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
11
Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL:
http://jimly.com/makalah/ namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2015.
12
Soerjono Soekanto, op. cit, h.7.
13
I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Daerah di Bali”, Desertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.12.
14
14
melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.
c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi.
d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik kepentingan (stakeholders).
i. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Keseluruhan prinsip-prinsip Good Governance diatas memiliki keterkaitan
yang sangat erat dan memiliki hubungan antara prinsip satu dengan yang
lainnya. Seperti halnya partisipasi masyarakat akan sangat berpengaruh dengan
efektivitas dan efesiensi dari tindakan pemerintah, dengan baiknya partisipasi
15
mempermudah pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mencapai Good
Governance.
d. Teori Hukum Perizinan
Menurut Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti
menghilangkan halangan di mana hal yang dilarang menjadi diperbolehkan15.
Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen Pemerintah
yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum
administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat16. Juniarso Ridwan
mengutip buku Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat
macam:17
a) Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang
menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan
perumusan yang limitatif.
b) Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya
secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.
c) Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan
suatu perusahaan.
d) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar
berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi
15
Ridwan HR, op.cit, h.198.
16
Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Nuansa, Bandung, h. 31.
17
16
tugas Pemerintah, namun oleh Pemerintah diberikan hak
penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat
Pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk
kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak
dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
Izin dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap
aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan Pemerintah dimaksudkan
untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi
tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula. Juniarso
Ridwan memberi pengertian tentang izin yaitu:18 ”Izin adalah perbuatan hukum
administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontrol
berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.” Dapat dikatakan, bahwa izin adalah
perangkat hukum administrasi yang digunakan Pemerintah untuk
mengendalikan warga agar berjalan dengan teratur dan untuk tujuan ini
digunakan perangkat administrasi.
e. Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan
efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Dalam
suatu istansi tujuan yang dimaksud berupa keberhasilan dalam melaksanakan
program atau kegiatan menurut tugas, wewenang dan fungsi instansi tersebut.
18
17
Melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Aliberpendapat bahwa
ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal pertama
yang dapat dilakukan adalah harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum
itu ditaati atau tidak ditaati.19 Selanjutnya Achmad Ali juga berpendapat bahwa
pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu
perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang
dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan
perundang-undangan tersebut.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum dapat ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
19
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, h.375.
20
18
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri.
Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,
pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah
perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan
persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur
paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun
merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan
sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan
efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan
hukum tidak efektif dapat dikarenakan ancaman paksaan dari hukum tersebut
yang kurang berat, atau karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara
memadai pada warga masyarakat.21
Berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku
masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif
apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
21
19
dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan
yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan
tersebut telah dicapai.
1.8. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari adanya suatu
metodelogi yang bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan
ilmiah yang bertujuan untuk menggungkap kebenaran secara sistematis,
metodelogis, dan konsisten.22
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris. Maka jenis penelitian hukum yang
digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum sosiologis atau empiris
merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan
penelitian terhadap efektifitas hukum.23
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam suatu karya tulis agar karya tersebut lebih baik nilainya atau lebih
akuratnya penelitian tersebut haruslah menggunakan pendekatan masalah yang
tepat, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pendekatan
masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
22
H.Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.
23
20
undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach),
Pendekatan Fakta (The Fact Approach), hal tersebut dikarenakan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan hukum tidak terlepas dari pendekatan
perundang-undangan, memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana dan juga
memperhatikan fakta yang ada.24
1.8.3 Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum empiris, penulis menggunakan penelitian yang
sifatnya deskriptif, yaitu berusaha untuk mengembangkan lebih luas mengenai hal
yang akan diteliti. Penelitian deskriptif merupakan penelitian secara umum, yang
termasuk pula didalamnya mengenai penelitian ilmu hukum, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab dari suatu gejala dalam
masyarakat, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. Selain itu penelitian deskriptif
juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat juga memperkuat teori yang
sudah ada.
1.8.4 Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu
24
21
baik dari responden maupun dari informan25 dari Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan
dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber
dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari
sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan
dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang dipergunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik;
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2014 tentang Klinik;
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan;
Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan;
25
22
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4
Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan.
Data sekunder yang juga digunakan adalah buku-buku tentang Negara
hukum, buku-buku tentang administrasi Negara, buku-buku tentang perizinan,
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, dan sumber-sumber lain yang dapat
menunjang penelitian ini.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik–teknik untuk
mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran
quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Teknik studi dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik
normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari
premis normatif.
b. Teknik wawancara (interview)
Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode
memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan
Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan
responden.26 Selain dengan cara tatap muka wawancara juga akan dilakukan
26
23
secara tidak langsung dengan telepon atau surat dengan para responden.
Informasi yang diperoleh dalam penulisan Skripsi ini adalah melalui
wawancara dengan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si, selaku
Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota
Denpasar dan Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes, selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kota Denpasar. Responden dipilih dikarenakan mereka yang
terjun langsung dan memahami mengenai Pelaksanaan perizinan pendirian
Klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
c. Teknik observasi/pengamatan
Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi
langsung dan teknik observasi tidak langsung. Sedangkan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam
pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau
tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan
dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.
1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengolahan data yang digunakan
adalah dengan cara melakukan seleksi dan pengklasifikasian terhadap
informasi-informasi yang telah didapatkan baik dari wawancara, angket atau kuesioner dan
24
data primer dengan data sekunder dan juga bahan-bahan hukum yang telah
berhasil dikumpulkan.
Setelah melakukan pengolahan data barulah peneliti melakukan analisis
data yaitu proses pengkajian atau pentelaahan informasi yang dibantu oleh
teori-teori yang telah diperoleh sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa
mengkritik, mendukung, dan memberikan kesimpulan terhadap hasil dari pada
43
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK
2.1 Perizinan
2.1.1 Pengertian Perizinan
Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai;
“Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gasteld voor tal van
handeling waarop in het algemeen belang special toezicht vereist is, maar die, in
het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd”27
(perkenan/ izin yang
berasal dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah
yang di isyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya membutuhkan
pengawasan khusus, yang tetapi pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal
yang tidak diinginkan).28 Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum
administrasi negara bersegi satu yang menerapkan peraturan dalam hal konkret
berdasarkan prosedur dan persyaratan seperti ditetapkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.29 Menurut E. Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat
peraturan umum tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
27
44
masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).30
Menurut Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang.31 Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, Izin dapat diartikan dalam
pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas, izin adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan Pemerintah,
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan
perundang-undangan. Dengan memberi izin, pemerintah mengizinkan pemohon untuk
melakukan perbuatan yang sebenarnya dilarang. Izin memperkenankan bagi suatu
tindakan yang demi kepentingan umum harus mendapatkan pengawasan khusus
atas hal tersebut.32
Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, dalam pengertian sempit, izin
adalah pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan. Izin pada umumnya
didasarkan pada keinginan pembuat Undang-undang mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk, tercela dan tidak
diinginkan Pemerintah sehingga Pemerintah dapat melakukan pengawasan. Hal
30
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h.187.
31
Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari Perspektif UUD 1945, Makalah, Tidak Dipublikasikan, Jakarta, h.8.
32
45
pokok pada pengertian izin dalam pengartian sempit bahwa suatu perbuatan tidak
diperbolehkan, kecuali diperbolehkan dengan tujuan agar dalam aturan-aturan
yang bersangkutan dengan hal tersebut dapat dengan teliti diberikan
batasan-batasan tertentu pada setiap kasus.33
Secara yuridis pengertian izin dan perizinan tertuang didalam Pasal 1
angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pada Pasal 1 angka 8
ditegaskan bahwa “izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas,
dinyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan
usaha atau kegiatan tertentu.” Pada Pasal 1 angka 9 menegaskan bahwa “Perizinan
adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/ kegiatan tertentu,
baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.” Definisi izin dan perizinan
didefinisikan sama dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.
2.1.2 Unsur-unsur Perizinan
Berdasarkan pengertian perizinan terdapat beberapa unsur-unsur dalam
perizinan, seperti : pertama, instrument yuridis; kedua, peraturan
33
46
undangan; ketiga, organ pemerintah; keempat, peristiwa konkret; kelima, prosedur
dan persyaratan.34
a. Instrument Yuridis
Tugas pemerintah dalam Negara hukum modern selain melakukan
penjagaan keamanan dan menjaga ketertiban tetapi juga mengupayakan
adanya kesejahteraan umum (bestuurzorg). Menjaga keamanan dan
ketertiban merupakan sudah menjadi tugas pokok dan umum bagi
pemerintah sampai saat ini, dan untuk melaksanakan tugas tersebut maka
pemerintah dibekali dengan wewenang dalam bidang pengaturan yang
melahirkan instrumen-instrumen yuridis dalam bentuk keputusan. Sesuai
dengan sifat dari keputusan yaitu individual konkret, sehingga merupakan
ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan,35 atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma
hukum.36 Wujud dari keputusan adalah izin yang berdasarkan jenis-jenis
keputusan, izin merupakan jenis keputusan yang bersifat konstitutif, yang
berarti keputusan tersebut menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak
ada bagi orang yang namanya di cantumkan dalam keputusan tersebut,
atau “beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd
was”,37 (keputusan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak
47
dibolehkan).38 Izin disusun dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan
yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, merupakan instrumen
yuridis berbentuk keputusan yang bersifat konstitutif, yang digunakan oleh
pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret.
b. Peraturan Perundang-undangan
Prinsip Negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau
pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang
berarti bahwa pemerintah dalam menjalankan fungsi pengaturan dan
fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan.
Tindakan hukum pemerintah seperti pembuatan dan penerbitan
keputusan izin, haruslah didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau berdasarkan asas legalitas. Dalam
penerbitan izin harus didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan, tanpa adanya wewenang tersebut maka
penerbitan izin tersebut tidak sah.
Menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang
izin tersebut bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas,
sehingga pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas
37
C.J.N. Versteden, 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Samsom H.D.Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, h.69.
38
48
dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan dengan izin, pertimbangan
tersebut tentang :
1) Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan kepada pemohon.
2) Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.
3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian atau penolakan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin.39
c. Organ Pemerintah
Menurut Sjachran Basah, berdasarkan berbagai penelusuran
penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui, bahwa dari administrasi
negara tertinggi yaitu presiden sampai dengan administrasi Negara
terendah seperti lurah berhak untuk memberikan izin, sehingga adanya
keanekaragaman dalam pemberian izin sesuai dengan jabatan yang
dijabatnya baik dalam tingkat pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah.40
Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, bahwa keputusan
yang memberikan izin haruslah diberikan oleh organ yang berwenang, dan
hampir selalu yang terkait adalah organ pemerintah atau administrasi
39
Marcus Lukman, 1996, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, h.189.
40
49
negara. Organ-organ pada tinggat pengusa nasional adalah menteri atau
tingkat penguasa-penguasa daerah.41
Dalam penerbitan izin, pejabat yang berwenang sering
membutuhkan waktu yang lama, seperti pengeluaran izin memakan waktu
sampai berbulan-bulan dan banyak proses yang harus dipenuhi yang tidak
hanya memakan waktu dan juga biaya, sedangkan dalam dunia usaha
menuntuk kecepatan dalam pengeluaran izin.42 Untuk mengatasi hal
tersebut maka sering dilakukan deregulasi, yaitu peniadaan berbagai
peraturan perundang-undangan yang dianggap berlebihan. Peniadaan
peraturan perundang-undangan yang berlebihan berarti mengurangi
campur tangan pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu
terutama dibidang ekonomi, sehingga deregulasi dapat juga di artikan
sebagai debirokratisasi.43 Pelaksanaan deregulasi sangat sering ditemukan
dalam pelaksanaan perizinan, namun harus ada batasan-batasan atau
rambu-rambu yang ditetapkan oleh hukum.
Deregulasi dalam peraturan kebijakan yang dilakukan pemerintah
untuk mempermudah dan mempercepat proses perizinan haruslah
dilakukan dengan batasan-batasan yang ditentukan sesuai dengan aturan
41
N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h.11.
42
Soehardjo, 1991, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian Serta Perkembangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h.25.
43
50
hukum. pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan harus
memperhatikan hal-hal berikut :
1) Jangan sampai menghilangkan esensi dari sistem perizinan itu sendiri, terutama dalam fungsinya sebagai pengarah kegiatan tertentu.
2) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dan financial.
3) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal-hal prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perizinan.
4) Deregulasi dan debirokratisasi harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).44
d. Peristiwa Konkret
Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang
digunakan oleh pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret dan
individual. Peristiwa konkret merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu
tertentu, tempat tertentu, orang tertentu, dan fakta hukum tertentu.
Peristiwa konkret yang beragam sejalan dengan beragamnya
perkembangan masyarakat, sehingga izin pun memiliki berbagai
keragaman. izin yang memiliki jenis beragam yang dibuat dalam proses
yang dipengaruhi oleh kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur
organisasi instansi yang menerbitkannya. Berbagai jenis izin dan instansi
pemberi izin dapat saja berubah-ubah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhadap izin tersebut, namun walaupun dapat
44
51
berubah-ubah izin akan tetap ada dan digunakan dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan.
e. Prosedur dan Persyaratan
Dalam memperoleh izin harus menempuh beberapa prosedur
tertentu yang ditetapkan oleh pemberi izin yang dalam hal ini adalah
pemerintah. Pemohon izin selain harus memenuhi prosedur tertentu juga
harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang berbeda-beda
tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin yang telah
ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak.
Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin bersifat konstitutif dan
kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukannya suatu perbuatan
atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya
dalam pemberian izin ditentukan perbuatan konkret, dan apabila tidak
dipenuhi maka akan dikenakan sanksi. Bersifat kondisional, karena
penilaian tersebut baru dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku
yang disyaratkan itu terjadi.45
Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ditentukan oleh
pemerintah secara sepihak, namum pemerintah tidak dapat menentukannya
secara sewenang-wenang, tetapi harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dari izin tersebut. pemerintah dalam
menentukan prosedur dan persyaratan perizinan tidak dapat melampaui
45
52
batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi
dasar perizinan tersebut.46
2.1.3 Fungsi dan Tujuan Perizinan
Izin merupakan instrumen yuridis yang sangat penting, dikarenakan
melalui izin pemerintah dapat mengontrol masyarakat untuk mengikuti apa yang
diinginkan oleh pemerintah demi mencapai suatu tujuan. Izin sebagai instrumen
hukum memiliki fungsi sebagai perekayasa, pengarah, dan perancang masyarakat
adil dan makmur dapat terwujud. Dalam izin terkandung peryaratan-persyaratan
yang merupakan sebuah pengendali untuk pemohon izin dalam memfungsikan
izin tersebut.47 Izin dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan
instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, hal tersebut
dilakukan melalui persyaratan-peryaratan dari izin tersebut dan melaksanakan
yang diamanat oleh alenia keempat dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Prajudi
Atmosudirdjo, bahwa berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat
diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.48 Menertibkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari yaitu melalui izin, dengan adanya persyaratan-persyaratan
dalam permohonan izin makan pemerintah dapat mengontrol dan menertibkan
masyarakat.
46
Ibid., h.98.
47
Sjachran Basah II, op.cit, h.3.
48
53
Tujuan perizinan sangat dipengaruhi oleh kenyataan konkret, sehingga
tujuan dari perizinan dapat berbeda-beda dan beragam sesuai dengan bagaimana
kenyataan konkret yang ada. Secara umum tujuan dari perizinan adalah sebagai
berikut.
a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).
c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).
d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin menghuni di daerah padat penduduk).
e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).49
2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan
Dilihat dari sifatnya, izin merupakan keputusan yang dimuat dalam bentuk
tertulis. Sebagai keputusan tertulis, Secara umum didalam izin memuat hal
sebagai berikut.50
a. Organ Yang Berwenang
Dalam setiap izin organ yang berwenang sangat penting di dalam
suatu izin. Pada umumnya organ yang berwenang dalam suatu izin dapat
dilihat dalam kepala surat dan juga penandatanganan izin akan nyata organ
mana yang memberikan izin. Pada umumnya organ yang paling
49
N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h. 4-5.
50