• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI

KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

KLINIK

A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

SKRIPSI

PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI

KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

KLINIK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

oleh karena atas segala petunjuk dan bimbingan Nyalah, maka penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang menjadi persyaratan untuk dapat meraih gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun skripsi ini

berjudul “PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI

KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

KLINIK”.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Untuk itu saran

yang bersifat membangun demi sempurnanya skripsi ini penulis terima dengan

senang hati.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan

dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immaterial. Melalui kesempatan

yang terhormat ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. Selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan selaku Pembimbing I yang

sangat sabar dalam membimbing serta member masukan-masukan kepada

penulis dan berkenan meluangkan waktu beliau guna memberikan

(6)

vi

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH. Selaku Ketua Bagian Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Ibu Cok Istri Anom Pemayun, SH.,MH. Selaku Pembimbing II yang telah

membimbing, mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dengan

baik hati dalam penyusunan skripsi ini;

7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH. Selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama penulis

mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah

memberikan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan;

9. Seluruh Staf Tata Usaha, Perpustakaan, Laboratorium dan seluruh pegawai

Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pelayanan

(7)

vii

10.Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes. Selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota

Denpasar dan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si. selaku Kepala

Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan Perijinan

Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar,

yang telah memberikan informasi kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini;

11.Kepada keluarga penulis Ayah tercinta A.A. Gde Raka Pemayun, Ibu

tercinta Desak Nyoman Widiasih Nida, dan adik tersayang A.A. Gde Ari

Widhiasmana Pemayun yang dengan penuh kasih mendoakan,

memberikan dukungan, dan cinta kasih yang luar biasa sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini;

12.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Putu Kevin Saputra Ryadi,

Gusti Made Triantaka, A.A Ngurah Ari Dwiatmika, Pramitha Asti, Ari

Astuti, Ema Wulandari, Gek Mas, Tami, Ayu Purwati (kapal), Sulbianti,

Gekin Damayanti, Dewi Lestari, Arista Wirdiantara, Putri Purnama Santhi

(Boldes), Trisna Anggita, Maria Margaretha, Yudi Gabriel, Dayu, Leona,

Nia, Intan, Yupit, Alit, Yeyen, Gung Ari, Nita, Ayu Purnama, Tebo,

Bagus, Ayu Pasek, Gung Gus, Tamy, Baruna, Gung Dalem, Dedek,

Lepok, (Teman Kelas A) serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas

Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah

(8)

viii

13. Kepada kakak-kakak senior angkatan 2011, Elcyntia, Susi Hertati, Riyani

Kartika Sari, Yogi Prasada, Alvin Janitra, Hendra Rusliyadi, dan Cintya

Virgyanti yang telah menemani, membantu, dan memberi arahan selama

perkuliahan hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

14. Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) mulai

dari angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang senantiasa memberikan

pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013-2014, Kak El,

Kak Riyani, Kak Susi, Kak Gung Chris, Kak Nadira, Kak Usro, Kak

Ebong Kak Alvin, Taka, Gekin, Kevin, Gung Arik, Ema, Mita, Tutik,

Tamy, Ayu Kapal, Gek Mas (AMP), Anggi, Zaky, Balon, Dedek, Ngurah,

dan delegasi Piala Prof. Soedarto IV, Kak Juli, Kak Apdila, Kak Riyani,

Kak Dasri, Kak Cintya, Kak Gunggek, Kak El, Kak Aloy, Kak Yogi, Kak

Alvin, Kak Susi, Taka, Kevin Saputra, Gung Arik, Gek In, Nisa, Tasya,

Fachri;

15. Kepada keluarga Besar GenBI (Generasi Baru Indonesia) Provinsi Bali

yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Kak Wiwik, Agus Satria, Mira,

Widya, Purnama Wirawan, Dimas, Niza, Agus Adi, Agustin, Ayu

Primayanti, Diah, Dian, Dirga, Hary, Iwan, Jeje, Sriani, Rangga, Warda;

16. Kepada keluarga KKN-PPM 2015 di Desa Nyalian, Toni, Gung In, Yesi

Dip, Agus Kage, Hendra, Agus Kesuma, Nala, Ardi, Chandra, Eka, Made

(9)

ix

Is, Widy, Windek, Yuni, Asri. yang senantiasa memberikan semangat

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini,

17.Seluruh pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama perkuliahan

dan penyusunan skripsi ini.

Semoga mereka yang mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan

dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap

langkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata penulis ucapkan terima

kasih dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada

umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar 19 Februari 2016

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8

(12)

xii

1.6 Manfaat Penelitian ... 10

1.7 Landasan Teoritis ... 10

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Sifat Penelitian ... 20

1.8.4 Sumber Data ... 20

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK ... 25

2.1 Perizinan ... 25

2.1.1 Pengertian Perizinan ... 25

2.1.2 Unsur-Unsur Perizinan ... 27

2.1.3 Fungsi Dan Tujuan Perizinan ... 34

2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan ... 35

(13)

xiii

2.2.1Pengertian Klinik ... 39

2.2.2 Jenis Klinik ... 40

2.2.3 Pengaturan Klinik Di Indonesia... 41

BAB III MEKANISME PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA

DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 43

3.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik Di

Kota Denpasar Sebelum dan Setelah Dikeluarkannya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43

3.1.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di

Kota Denpasar Sebelum Dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43

3.1.2 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di

Kota Denpasar setelah Dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2014 tentang Klinik ... 50

3.2 Mekanisme Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar

(14)

xiv

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Klinik ... 59

3.3 Pengawasan Perizinan Pendirian Klinik di Kota

Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014

Tentang Klinik ... 62

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN

PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR

SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 65

4.1 Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan

Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 65

4.2 Usaha Pemerintah Kota Denpasar Dalam Mengatasi

Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan

Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 75

(15)

xv

5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran ... 81

(16)

xvi ABSTRAK :

Tingginya kebutuhan atas pelayanan kesehatan menimbulkan banyaknya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar. Untuk mengatur pertumbuhan klinik tersebut diperlukan aturan-aturan perizinan yang dapat memberikan batasan dalam penyelenggaraan klinik. Pengaturan perizinan klinik di Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan, diatur lebih rinci mengenai persyaratannya dalam Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Adanya dua aturan hukum yang sama-sama mengatur mengenai klinik namun memiliki persyaratan yang berbeda membuat masyarakat menjadi bingung dan pelaksanaan dari aturan hukum menjadi kurang efektif. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perizinan pendirian klinik, juga dapat mengetahui bagaimana hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian empiris merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal Kota Denpasar bahwa aturan hukum yang dijadikan dasar pemberian izin pendirian klinik adalah Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik, sehingga pelaksanaannya belum berjalan efektif. Saran yang dapat diberikan adalah dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai aturan yang ada dan melakukan pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Klinik agar adanya kesesuaian antara aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar.

(17)

xvii ABSTRACT:

The high demand for health care services provokes the number of health clinics in Denpasar. To regulate this situation, licensing rules were required to regulate the limitation of health clinic implementation. The regulation of clinic licensing in Denpasar has regulated on Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning the Licensing Retribution in the field of Health, which has regulated in more detail on Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health and also has regulated in Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic. The existence of two legal rules that are equally set on clinics but have different requirements, it causes confusion to the community and the legal implementation become less effective. This research is important to know how the implementation of licensing the establishment of clinics, and also to find out how the barriers and efforts in the implementation of licensing the establishment of the clinic after the issuance of Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic.

This research applies legal empiric. Empiric research is a legal research which applies legal identify (unwritten) and research against the affectivity of law.

According to the research result which has been done by the Denpasar Health Agency and also on Bapan pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar (Licensing Services Agency One Stop and Investment in Denpasar), the rule of law as the basis of granting permits the establishment of the clinic is Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health improved by Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic, so that its implementation has not been effective. The advice can be given is to do outreach to the community about the existing rules and does the establishment of Regional Regulation on Clinical Denpasar so that compatibility between legal rules governing the licensing establishment of clinics in the city of Denpasar.

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat

pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas

wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan

Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun

2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan

Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan,

Kecamatan Denpasar Utara.1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi

Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas

pelayanan publik.

Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar

sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan

ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di

Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi

masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan

menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun

ingin mengadu nasib mencari pekerjaan.

1

(19)

2

Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya

dalam melaksanakan kepentingan umum, dibekali dengan instrumen wewenang

pemerintah untuk melakukan perbuatan pemerintahan, yang dalam konsep hukum

administrasi di Belanda dikenal dengan istilah “besturhandeling” atau dalam

hukum administrasi di Indonesia dikenal dengan istilah perbuatan pemerintahan

atau tindakan pemerintahan.2 Tindakan pemerintah tersebut kemudian diwujudkan

dalam bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan kewajiban dari

pemerintah kepada setiap warga negara dan penduduk sehingga metode dan

prosedur serta senantiasa harus diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan dan

harapan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang paling sering dijumpai

dalam lalu lintas antara pemerintah dan masyarakat adalam berkaitan dengan

perizinan. Pelayanan perizinan dewasa ini masih dirasakan kurang memuaskan

dalam berbagai sektor perizinan.

Izin merupakan keputusan tata usaha Negara atau dikenal dengan istilah

beschikking. Beschikking memiliki definisi, “Onderbeschikking’ kan in zijn

algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan,

dat gericht is op rechtsgevolg”3

. Secara umum, beschikking dapat diartikan;

2

Kuntjoro Purbopranoto, 1972, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h.44.

3

(20)

3

keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang bertujuan untuk

menimbulkan akibat hukum.4

Menurut L.P. Sinambela menyatakan bahwa masyarakat selalu menuntut

adanya pelayanan publik yang terbaik dan berkualitas dari pemerintah, walaupun

tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat, karena secara

empiris di masyarakat pelayanan perizinan masih terkesan lambat, berbelit-belit,

mahal dan melelahkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang masih

diposisikan sebagai yang melayani bukan yang dilayani.5

Masyarakat umum (termasuk kalangan pengusaha atau swasta) masih

merasakan bahwa proses pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh aparatur

pemerintahan masih terkesan kurang baik di mata masyarakat, seperti proses yang

berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan juga melelahkan. Masyarakat yang

mangajukan permohanan izin sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lainnya

hanya untuk mengurus 1 jenis pelayanan perizinan, sehingga masyarakat menjadi

malas untuk mengurus izin mereka, maka pelayanan perizinan yang dilakukan

oleh aparatur pemerintahan di cap buruk oleh masyarakat. Bagi kalangan usaha

permasalahan izin seperti ini tentu saja sangat menghambat, sehingga kepercayaan

dari masyarakat dan kalangan usaha terhadap pemerintah akan menurun.

Merespon permasalahan tersebut sebenarnya pengaturan mengenai

Pelayanan Publik itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Republik

4

Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.142.

5

(21)

4

Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan

Publik) pada Pasal 1 menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas

barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik.” Yang bertujuan untuk memberikan acuan

kepada aparatur pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik kepada

masyarakat.

Keseriusan pemerintah akan pentingnya pelayanan publik khususnya di

bidang perizinan itu sendiri juga di perkuat dengan Pasal 350 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa

kepala daerah diwajibkan untuk memberikan pelayanan perizinan. Pasal ini

menegaskan bahwa pelayanan perizinan juga merupakan tanggung jawab dari

pemerintah daerah, sehingga pelayanan perizinan dapat dilakukan dari lapisan

terdekat yaitu Kepala Daerah.

Kota Denpasar telah mengakomodir aturan dalam UU Pelayanan Publik

kedalam bentuk Peraturan Walikota yang bertujuan agar mempermudah regulasi

pelayanan publik di bidang perizinan yaitu Peraturan Walikota Denpasar Nomor

21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Selanjutnya

disebut Perwali Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan), yakni dalam Pasal 2 pada

pokoknya menyatakan bahwa, Walikota Denpasar disini menjadi penyelenggara

(22)

5

penerbitan,pengawasan, pembatalan dan pencabutan izin. Selain itu Walikota

Denpasar juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang meliputi 75 jenis izin.

Salah satu dari 75 jenis izin yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar

adalah ijin penyelenggaraan balai pengobatan / klinik. Dengan jumlah penduduk

yang padat tentu saja permasalahan kesehatan juga tinggi di Kota Denpasar, hal

ini mendorong banyak bermunculannya Klinik di Kota Denpasar.

Klinik merupakan pilihan tempat pengobatan bagi masyarakat di Kota

Denpasar. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah klinik yang tersebar di

Kota Denpasar yang mempermudah masyarakat dalam menerima pelayanan

kesehatan tanpa harus pergi ke Rumah Sakit Daerah, yang mungkin bagi beberapa

orang jaraknya cukup jauh.

Begitu pesatnya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar tentu saja harus

didasarkan Izin penyelenggaraan dari klinik tersebut. Secara khusus pengaturan

mengenai perizinan klinik diatur melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor

4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan (Selanjutnya

disebut Perda Denpasar Nomor 4 Tahun 2003) dan diuraikan lebih rinci dalam

Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar (Selanjutya disebut

Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003).

Pada tahun 2014 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik

(23)

6

dalam aturan ini mengatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan izin

mendirikan klinik. Dalam beberapa persyaratan yang diatur oleh Peraturan

Menteri Kesehatan ini tidak diatur dalam Keputusan Walikota tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar.

Dalam Permenkes tentang Klinik terdapat persyaratan izin mendirikan

Klinik yang terdapat dalam Pasal 26. Begitu pula dalam Keputusan Walikota

Nomor 339 Tahun 2003, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Permohonan

ijin kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)

keputusan ini wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam

lampiran keputusan ini”. Namun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar

ini terdapat perbedaan mengenai persyaratan Izin mendirikan klinik yaitu dalam

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik mempersyaratkan adanya dokumen

SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Jalan atau

dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan

Lingkungan) untuk Klinik Rawat Inap, sedangkan di dalam Keputusan Walikota

ini tidak mengharuskan adanya dokumen SPPL atau UKL-UPL. Pengurusan izin

mendirikan Klinik di Kota Denpasar sebelum dikeluarkannya Permenkes tentang

Klinik, beracuan kepada Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, yang

menjadi dasar hukum dalam pengurusan izin mendirikan Klinik.

Dari perbedaan persyaratan perizinan mengenai klinik tersebut tentu saja

menimbulkan permasalahan di masyarakat. Adapun permasalahan tersebut seperti

(24)

7

Denpasar mengenai aturan hukum mana yang digunakan, bagaimana mekanisme

dalam permohonan perizinan pendirian klinik. Kebingungan lain para pengelola

Klinik adalah untuk memperpanjang izin kliniknya dikarenakan adanya

persyaratan-persyaratan baru yang menyebabkan beberapa klinik tidak dapat

melengkapi persyaratan tersebut.

Dari latar belakang tersebut timbul keinginan untuk membahas dan

menulis tugas akhir atau Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Perizinan

Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Klinik”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar

setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?

2. Hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian

klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

(25)

8

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan

dan juga untuk mendapatkan gambaran umum mengenai apa yang penulis uraikan

dalam skripsi ini, maka perlu untuk ditentukannya ruang lingkup pemasalahan,

yaitu :

a. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana

mekanisme perizinan klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014

tentang Klinik. Mekanisme tersebut meliputi aturan hukum yang

digunakan, proses permohonan izin dan pengawasan yang dilakukan

setelah diterbitkannya izin.

b. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai hambatan dan upaya

pemerintah dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota

Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia

pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan

orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa

judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun

dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan skripsi atau disertasi yang

(26)

9

Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.5.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dalam penelitian skripsi ini terdapat dua jenis yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dan

informasi kepada masyarakat mengenai perizinan pendirian klinik dan

pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik di Kota Denpasar.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perizinan pendirian

klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik.

2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam

pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah

dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

(27)

10

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya Hukum Administrasi Negara.

Selain itu juga diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Kota

Denpasar dalam melaksanakan pelayanan publik khususnya dalam bidang

perizinan dan memberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah mengenai pelayanan perizinan.

b. Manfaat Praktis

Untuk memberikan sumbangsih kepada yang membutuhkan

informasi mengenai bagaimana aturan mengenai pelayanan publik di Kota

Denpasar khususnya dibidang Perizinan Mendirikan Klinik.

Selain itu juga untuk mengetahui pelaksanaan perizinan

mendirikan klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik.

1.7.Landasan Teoritis

a. Teori Negara Hukum

Konsep mengenai Negara Hukum merupakan konsep yang dianggap

universal oleh beberapa orang namun dalam implementasinya konsep Negara

Hukum memiliki karakteristik yang beragam. Jika di perhatikan secara historis

dan praktis, konsep Negara hukum ini dapat dilihat dalam beberapa model

(28)

11

Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang lebih dikenal dengan

Rechtsstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (Rule Of Law),

konsep Sosialistlegality, dan konsep Negara hukum Pancasila.6

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Pengertian Negara hukum menurut D.Mutiara’as adalah sebagai berikut:

“Negara hukum ialah Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya

dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya

didasarkan hukum. rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut

semaunya yang bertentangan dengan hukum.”7

Prinsip-prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh J.B.J.M. ten Berge

adalah sebagai berikut :8

1) Asas Legalitas.

2) Perlindungan Hak-hak asasi.

3) Pemerintah terikat pada hukum

4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Dalam Negara Hukum harus memenuhi dua syarat, syarat pertama adalah

supremacy before the law yaitu hukum diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa

6

Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.63

7 D.Mutiara’as, 1955,

Ilmu Tata Negara Umum,Pustaka Islam, Jakarta, h.20.

8

(29)

12

penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the

law yaitu semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah

sama statusnya atau kedudukannya didalam hukum.9

b. Teori Penegakan Hukum

Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam penyelenggaraan

Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai kedaulatan hukum

(supremasi hukum) dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak

boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 dan Pancasila.

Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.10

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.11

9

C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.88.

10

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,

(30)

13

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan

tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan

pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.12

c. Good Governance

Pengertian Good Governance menurut Bintoro Tjokroamidjojo, dalam

bukunya yang berjudul “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good

Governance dan Perwujudan Masyarakat Mandiri” adalah sebagai

sharing/partnership pengelolaan Negara antara sektor publik yaitu pemerintah

dengan sektor swasta/ usaha dan sektor organisasi masyarakat.13

United Nations Development Program tahun 1997 mengemukakan bahwa

karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam

praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi14:

a. Partisipasi (Participation): setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun

11

Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL:

http://jimly.com/makalah/ namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2015.

12

Soerjono Soekanto, op. cit, h.7.

13

I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Daerah di Bali”, Desertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.12.

14

(31)

14

melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.

c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi.

d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).

e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik kepentingan (stakeholders).

i. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan prinsip-prinsip Good Governance diatas memiliki keterkaitan

yang sangat erat dan memiliki hubungan antara prinsip satu dengan yang

lainnya. Seperti halnya partisipasi masyarakat akan sangat berpengaruh dengan

efektivitas dan efesiensi dari tindakan pemerintah, dengan baiknya partisipasi

(32)

15

mempermudah pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mencapai Good

Governance.

d. Teori Hukum Perizinan

Menurut Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti

menghilangkan halangan di mana hal yang dilarang menjadi diperbolehkan15.

Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen Pemerintah

yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum

administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat16. Juniarso Ridwan

mengutip buku Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat

macam:17

a) Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang

menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan

perumusan yang limitatif.

b) Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya

secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.

c) Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan

suatu perusahaan.

d) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar

berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi

15

Ridwan HR, op.cit, h.198.

16

Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

Nuansa, Bandung, h. 31.

17

(33)

16

tugas Pemerintah, namun oleh Pemerintah diberikan hak

penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat

Pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk

kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak

dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.

Izin dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap

aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan Pemerintah dimaksudkan

untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi

tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula. Juniarso

Ridwan memberi pengertian tentang izin yaitu:18 ”Izin adalah perbuatan hukum

administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontrol

berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.” Dapat dikatakan, bahwa izin adalah

perangkat hukum administrasi yang digunakan Pemerintah untuk

mengendalikan warga agar berjalan dengan teratur dan untuk tujuan ini

digunakan perangkat administrasi.

e. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan

efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Dalam

suatu istansi tujuan yang dimaksud berupa keberhasilan dalam melaksanakan

program atau kegiatan menurut tugas, wewenang dan fungsi instansi tersebut.

18

(34)

17

Melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Aliberpendapat bahwa

ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal pertama

yang dapat dilakukan adalah harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum

itu ditaati atau tidak ditaati.19 Selanjutnya Achmad Ali juga berpendapat bahwa

pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu

perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan

fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang

dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan

perundang-undangan tersebut.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif

atau tidaknya suatu hukum dapat ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

19

Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, h.375.

20

(35)

18

efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat

berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung

dari aturan hukum itu sendiri.

Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,

pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah

perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan

persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur

paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun

merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan

sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan

efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan

hukum tidak efektif dapat dikarenakan ancaman paksaan dari hukum tersebut

yang kurang berat, atau karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara

memadai pada warga masyarakat.21

Berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap

hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum

tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya

suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku

masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif

apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau

21

(36)

19

dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan

yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan

tersebut telah dicapai.

1.8. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari adanya suatu

metodelogi yang bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan

ilmiah yang bertujuan untuk menggungkap kebenaran secara sistematis,

metodelogis, dan konsisten.22

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum empiris. Maka jenis penelitian hukum yang

digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum sosiologis atau empiris

merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan

penelitian terhadap efektifitas hukum.23

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam suatu karya tulis agar karya tersebut lebih baik nilainya atau lebih

akuratnya penelitian tersebut haruslah menggunakan pendekatan masalah yang

tepat, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pendekatan

masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan

22

H.Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.

23

(37)

20

undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach),

Pendekatan Fakta (The Fact Approach), hal tersebut dikarenakan dalam

menyelesaikan suatu permasalahan hukum tidak terlepas dari pendekatan

perundang-undangan, memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana dan juga

memperhatikan fakta yang ada.24

1.8.3 Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum empiris, penulis menggunakan penelitian yang

sifatnya deskriptif, yaitu berusaha untuk mengembangkan lebih luas mengenai hal

yang akan diteliti. Penelitian deskriptif merupakan penelitian secara umum, yang

termasuk pula didalamnya mengenai penelitian ilmu hukum, keadaan, gejala atau

kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab dari suatu gejala dalam

masyarakat, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu

gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. Selain itu penelitian deskriptif

juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat juga memperkuat teori yang

sudah ada.

1.8.4 Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu

24

(38)

21

baik dari responden maupun dari informan25 dari Badan Pelayanan Perijinan

Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan

dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber

dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari

sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan

dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang dipergunakan

dalam penulisan skripsi ini adalah:

 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik;

 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

 Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

2014 tentang Klinik;

 Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan;

 Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan;

25

(39)

22

 Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4

Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan.

Data sekunder yang juga digunakan adalah buku-buku tentang Negara

hukum, buku-buku tentang administrasi Negara, buku-buku tentang perizinan,

kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, dan sumber-sumber lain yang dapat

menunjang penelitian ini.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik–teknik untuk

mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran

quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Teknik studi dokumen

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik

normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari

premis normatif.

b. Teknik wawancara (interview)

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode

memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan

Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan

responden.26 Selain dengan cara tatap muka wawancara juga akan dilakukan

26

(40)

23

secara tidak langsung dengan telepon atau surat dengan para responden.

Informasi yang diperoleh dalam penulisan Skripsi ini adalah melalui

wawancara dengan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si, selaku

Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan

Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota

Denpasar dan Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes, selaku Kepala Dinas

Kesehatan Kota Denpasar. Responden dipilih dikarenakan mereka yang

terjun langsung dan memahami mengenai Pelaksanaan perizinan pendirian

Klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

c. Teknik observasi/pengamatan

Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi

langsung dan teknik observasi tidak langsung. Sedangkan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam

pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau

tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan

dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengolahan data yang digunakan

adalah dengan cara melakukan seleksi dan pengklasifikasian terhadap

informasi-informasi yang telah didapatkan baik dari wawancara, angket atau kuesioner dan

(41)

24

data primer dengan data sekunder dan juga bahan-bahan hukum yang telah

berhasil dikumpulkan.

Setelah melakukan pengolahan data barulah peneliti melakukan analisis

data yaitu proses pengkajian atau pentelaahan informasi yang dibantu oleh

teori-teori yang telah diperoleh sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa

mengkritik, mendukung, dan memberikan kesimpulan terhadap hasil dari pada

(42)

43

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK

2.1 Perizinan

2.1.1 Pengertian Perizinan

Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai;

“Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gasteld voor tal van

handeling waarop in het algemeen belang special toezicht vereist is, maar die, in

het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd”27

(perkenan/ izin yang

berasal dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah

yang di isyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya membutuhkan

pengawasan khusus, yang tetapi pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal

yang tidak diinginkan).28 Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum

administrasi negara bersegi satu yang menerapkan peraturan dalam hal konkret

berdasarkan prosedur dan persyaratan seperti ditetapkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan.29 Menurut E. Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat

peraturan umum tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga

memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk

27

(43)

44

masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan

perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).30

Menurut Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti

suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum

dilarang.31 Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, Izin dapat diartikan dalam

pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas, izin adalah suatu

persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan Pemerintah,

dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan

perundang-undangan. Dengan memberi izin, pemerintah mengizinkan pemohon untuk

melakukan perbuatan yang sebenarnya dilarang. Izin memperkenankan bagi suatu

tindakan yang demi kepentingan umum harus mendapatkan pengawasan khusus

atas hal tersebut.32

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, dalam pengertian sempit, izin

adalah pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan. Izin pada umumnya

didasarkan pada keinginan pembuat Undang-undang mencapai suatu tatanan

tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk, tercela dan tidak

diinginkan Pemerintah sehingga Pemerintah dapat melakukan pengawasan. Hal

30

E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h.187.

31

Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari Perspektif UUD 1945, Makalah, Tidak Dipublikasikan, Jakarta, h.8.

32

(44)

45

pokok pada pengertian izin dalam pengartian sempit bahwa suatu perbuatan tidak

diperbolehkan, kecuali diperbolehkan dengan tujuan agar dalam aturan-aturan

yang bersangkutan dengan hal tersebut dapat dengan teliti diberikan

batasan-batasan tertentu pada setiap kasus.33

Secara yuridis pengertian izin dan perizinan tertuang didalam Pasal 1

angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pada Pasal 1 angka 8

ditegaskan bahwa “izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah

berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas,

dinyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan

usaha atau kegiatan tertentu.” Pada Pasal 1 angka 9 menegaskan bahwa “Perizinan

adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/ kegiatan tertentu,

baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.” Definisi izin dan perizinan

didefinisikan sama dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.

2.1.2 Unsur-unsur Perizinan

Berdasarkan pengertian perizinan terdapat beberapa unsur-unsur dalam

perizinan, seperti : pertama, instrument yuridis; kedua, peraturan

33

(45)

46

undangan; ketiga, organ pemerintah; keempat, peristiwa konkret; kelima, prosedur

dan persyaratan.34

a. Instrument Yuridis

Tugas pemerintah dalam Negara hukum modern selain melakukan

penjagaan keamanan dan menjaga ketertiban tetapi juga mengupayakan

adanya kesejahteraan umum (bestuurzorg). Menjaga keamanan dan

ketertiban merupakan sudah menjadi tugas pokok dan umum bagi

pemerintah sampai saat ini, dan untuk melaksanakan tugas tersebut maka

pemerintah dibekali dengan wewenang dalam bidang pengaturan yang

melahirkan instrumen-instrumen yuridis dalam bentuk keputusan. Sesuai

dengan sifat dari keputusan yaitu individual konkret, sehingga merupakan

ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan

pemerintahan,35 atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma

hukum.36 Wujud dari keputusan adalah izin yang berdasarkan jenis-jenis

keputusan, izin merupakan jenis keputusan yang bersifat konstitutif, yang

berarti keputusan tersebut menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak

ada bagi orang yang namanya di cantumkan dalam keputusan tersebut,

atau “beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd

was”,37 (keputusan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak

(46)

47

dibolehkan).38 Izin disusun dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan

yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, merupakan instrumen

yuridis berbentuk keputusan yang bersifat konstitutif, yang digunakan oleh

pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret.

b. Peraturan Perundang-undangan

Prinsip Negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau

pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang

berarti bahwa pemerintah dalam menjalankan fungsi pengaturan dan

fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan.

Tindakan hukum pemerintah seperti pembuatan dan penerbitan

keputusan izin, haruslah didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan atau berdasarkan asas legalitas. Dalam

penerbitan izin harus didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan, tanpa adanya wewenang tersebut maka

penerbitan izin tersebut tidak sah.

Menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang

izin tersebut bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas,

sehingga pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas

37

C.J.N. Versteden, 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Samsom H.D.Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, h.69.

38

(47)

48

dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan dengan izin, pertimbangan

tersebut tentang :

1) Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan kepada pemohon.

2) Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.

3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian atau penolakan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin.39

c. Organ Pemerintah

Menurut Sjachran Basah, berdasarkan berbagai penelusuran

penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui, bahwa dari administrasi

negara tertinggi yaitu presiden sampai dengan administrasi Negara

terendah seperti lurah berhak untuk memberikan izin, sehingga adanya

keanekaragaman dalam pemberian izin sesuai dengan jabatan yang

dijabatnya baik dalam tingkat pemerintahan pusat dan pemerintahan

daerah.40

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, bahwa keputusan

yang memberikan izin haruslah diberikan oleh organ yang berwenang, dan

hampir selalu yang terkait adalah organ pemerintah atau administrasi

39

Marcus Lukman, 1996, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, h.189.

40

(48)

49

negara. Organ-organ pada tinggat pengusa nasional adalah menteri atau

tingkat penguasa-penguasa daerah.41

Dalam penerbitan izin, pejabat yang berwenang sering

membutuhkan waktu yang lama, seperti pengeluaran izin memakan waktu

sampai berbulan-bulan dan banyak proses yang harus dipenuhi yang tidak

hanya memakan waktu dan juga biaya, sedangkan dalam dunia usaha

menuntuk kecepatan dalam pengeluaran izin.42 Untuk mengatasi hal

tersebut maka sering dilakukan deregulasi, yaitu peniadaan berbagai

peraturan perundang-undangan yang dianggap berlebihan. Peniadaan

peraturan perundang-undangan yang berlebihan berarti mengurangi

campur tangan pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu

terutama dibidang ekonomi, sehingga deregulasi dapat juga di artikan

sebagai debirokratisasi.43 Pelaksanaan deregulasi sangat sering ditemukan

dalam pelaksanaan perizinan, namun harus ada batasan-batasan atau

rambu-rambu yang ditetapkan oleh hukum.

Deregulasi dalam peraturan kebijakan yang dilakukan pemerintah

untuk mempermudah dan mempercepat proses perizinan haruslah

dilakukan dengan batasan-batasan yang ditentukan sesuai dengan aturan

41

N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h.11.

42

Soehardjo, 1991, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian Serta Perkembangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h.25.

43

(49)

50

hukum. pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan harus

memperhatikan hal-hal berikut :

1) Jangan sampai menghilangkan esensi dari sistem perizinan itu sendiri, terutama dalam fungsinya sebagai pengarah kegiatan tertentu.

2) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dan financial.

3) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal-hal prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perizinan.

4) Deregulasi dan debirokratisasi harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).44

d. Peristiwa Konkret

Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang

digunakan oleh pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret dan

individual. Peristiwa konkret merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu

tertentu, tempat tertentu, orang tertentu, dan fakta hukum tertentu.

Peristiwa konkret yang beragam sejalan dengan beragamnya

perkembangan masyarakat, sehingga izin pun memiliki berbagai

keragaman. izin yang memiliki jenis beragam yang dibuat dalam proses

yang dipengaruhi oleh kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur

organisasi instansi yang menerbitkannya. Berbagai jenis izin dan instansi

pemberi izin dapat saja berubah-ubah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku terhadap izin tersebut, namun walaupun dapat

44

(50)

51

berubah-ubah izin akan tetap ada dan digunakan dalam setiap

penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan.

e. Prosedur dan Persyaratan

Dalam memperoleh izin harus menempuh beberapa prosedur

tertentu yang ditetapkan oleh pemberi izin yang dalam hal ini adalah

pemerintah. Pemohon izin selain harus memenuhi prosedur tertentu juga

harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang berbeda-beda

tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin yang telah

ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak.

Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin bersifat konstitutif dan

kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukannya suatu perbuatan

atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya

dalam pemberian izin ditentukan perbuatan konkret, dan apabila tidak

dipenuhi maka akan dikenakan sanksi. Bersifat kondisional, karena

penilaian tersebut baru dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku

yang disyaratkan itu terjadi.45

Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ditentukan oleh

pemerintah secara sepihak, namum pemerintah tidak dapat menentukannya

secara sewenang-wenang, tetapi harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar dari izin tersebut. pemerintah dalam

menentukan prosedur dan persyaratan perizinan tidak dapat melampaui

45

(51)

52

batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi

dasar perizinan tersebut.46

2.1.3 Fungsi dan Tujuan Perizinan

Izin merupakan instrumen yuridis yang sangat penting, dikarenakan

melalui izin pemerintah dapat mengontrol masyarakat untuk mengikuti apa yang

diinginkan oleh pemerintah demi mencapai suatu tujuan. Izin sebagai instrumen

hukum memiliki fungsi sebagai perekayasa, pengarah, dan perancang masyarakat

adil dan makmur dapat terwujud. Dalam izin terkandung peryaratan-persyaratan

yang merupakan sebuah pengendali untuk pemohon izin dalam memfungsikan

izin tersebut.47 Izin dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan

instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, hal tersebut

dilakukan melalui persyaratan-peryaratan dari izin tersebut dan melaksanakan

yang diamanat oleh alenia keempat dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Prajudi

Atmosudirdjo, bahwa berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat

diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.48 Menertibkan masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari yaitu melalui izin, dengan adanya persyaratan-persyaratan

dalam permohonan izin makan pemerintah dapat mengontrol dan menertibkan

masyarakat.

46

Ibid., h.98.

47

Sjachran Basah II, op.cit, h.3.

48

(52)

53

Tujuan perizinan sangat dipengaruhi oleh kenyataan konkret, sehingga

tujuan dari perizinan dapat berbeda-beda dan beragam sesuai dengan bagaimana

kenyataan konkret yang ada. Secara umum tujuan dari perizinan adalah sebagai

berikut.

a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin menghuni di daerah padat penduduk).

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).49

2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan

Dilihat dari sifatnya, izin merupakan keputusan yang dimuat dalam bentuk

tertulis. Sebagai keputusan tertulis, Secara umum didalam izin memuat hal

sebagai berikut.50

a. Organ Yang Berwenang

Dalam setiap izin organ yang berwenang sangat penting di dalam

suatu izin. Pada umumnya organ yang berwenang dalam suatu izin dapat

dilihat dalam kepala surat dan juga penandatanganan izin akan nyata organ

mana yang memberikan izin. Pada umumnya organ yang paling

49

N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h. 4-5.

50

Referensi

Dokumen terkait

Suatu modul pembelajaran dinyatakan efektif apabila 80% siswa yang mengikuti pembelajaran mampu mencapai nilai acuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hobri. Berdasarkan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, enam isolat bakteri endofit terpilih yaitu isolat BD4.2E1, SN1E4, SN2E2, PU2E2, JB1E3, dan ULG1E2 mampu menekan

Diagram aktivitas usulan untuk sistem kredit mobil dapat dilihat pada gambar di bawah ini:.. Gambar IV.4 Diagram Aktivitas

Proses browning pada jamur kontrol tidak secepat jamur yang dikemas plastik berperforasi karena kadar air pada kontrol menurun secara drastis dibandingkan jamur yang

SMS gateway Mobile Switching Center (SMS-GMSC) adalah sebuah aplikasi MSC yang mampu menerima pesan singkat dari SMSC, menginterogasi home location register (HRL)

Peraturan Walikota Batu Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perizinan Terpadu pada Badan Penanaman Modal Kota

bahwa dalam rangka melaksanakan pelayanan perizinan dan non perizinan di Kota Bogor yang dilimpahkan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN PERIZINAN PADA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU KOTA