commit to user RINGKASAN
Talasemia beta adalah penyakit genetik kelainan darah, dan talasemia beta
mayor menyebabkan anemia yang berat. (Rejeki et al., 2012; Rodak et al., 2012).
Transfusi yang dilakukan terus menerus pada talasemia dapat menyebabkan iron
overload (Longo et al., 2012). Besi dapat mengalami reaksi Fenton yang
menyebabkan stres oksidatif, mengakibatkan peroksidasi lipid (Chiou et al., 2006;
Rubin dan Strayer, 2012). F2-isoprostan adalah produk peroksidasi lipid dan
digunakan sebagai marker stres oksidatif (Matayatsuk et al., 2007). Akumulasi
besi dan stres oksidatif dapat terjadi pada hepar dan menimbulkan kerusakan
(Srichairatanakool dan Fucharoen, 2014; Hosen et al., 2015). Enzim aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT) dan gamma-glutamyl
transferase(GGT) adalah enzim yang dapat digunakan sebagai markerkerusakan
hepar (Kaplan dan Pesce, 2010).
Penelitian ini bertujuan dan bermanfaat untuk mengetahui korelasi antara
kadar F2-IsoPs dan kadar marker hepar, khususnya AST, ALT dan GGT pada
pasien talasemia beta mayor. Manfaat lain adalah kadar AST, ALT dan GGT
serum dapat digunakan untuk menggambarkan kandungan besi hepar sehingga
membantu klinisi dalam memutuskan tindakan atau terapi. Beberapa penelitian
sebelumnya telah meneliti marker stres oksidatif dan marker hepar pada pasien
talasemia, namun penelitian mengenai korelasi antara kadar F2-IsoPs dan kadar
markerhepar yaitu AST, ALT dan GGT serum pada pasien talasemia beta mayor
belum pernah dilakukan.
Talasemia beta mayor mengakibatkan ketergantungan terhadap transfusi
darah (Rodak et al., 2012; Hosen et al., 2015). Iron overload dapat terjadi
sekunder karena terapi transfusi kronik. Pada talasemia juga terjadi pelepasan besi
dari hemolisis intravaskuler yang menambah iron overload (Rodak et al., 2012
Rubin dan Strayer, 2012). Akumulasi besi dapat terjadi pada hepar dan merusak
organ tersebut (Hosen et al., 2015). Penggunaan terapi kelasi besi bersama
antioksidan dapat membantu regulasi status antioksidan pada pasien (Rahman et
commit to user
Stres oksidatif terjadi saat pembentukan ROS melebihi kemampuan tubuh
untuk menetralisir dan mengeliminasi ROS (Rahman et al., 2012). Lipid dapat
bereaksi dengan radikal bebas, sehingga lipid tersebut mengalami peroksidasi
(Rahman et al., 2012). F2-isoprostan, suatu produk peroksidasi lipid, adalah
kelompok yang terdiri dari 64 zat yang mempunyai struktur isomer dengan PGF2D
, dengan isomer yang paling banyak digunakan dalam penelitian adalah 8-IsoPs
(Montuschi et al., 2004; Comporti et al., 2008; Cayman, 2014). Pada kelompok
kontrol manusia sehat,meankadar 8-IsoPs serum adalah 33 ± 3,3 pg/mL (Basu et
al., 2001). Pada kelompok pasien talasemia didapatkan mean F2-IsoPs plasma
meningkat signifikan dibandingkan pada individu sehat (Matayatsuk et al., 2007).
Kandungan besi yang berlebihan pada talasemia beta dapat berakumulasi
di hepar dan menyebabkan stres oksidatif (Srichairatanakool dan Fucharoen,
2014). Stres oksidatif dapat mengganggu fungsi mitokondria sehingga
pembentukan ROS pada mitokondria meningkat, dan juga menyebabkan fibrosis
dan sirosis (Kawano dan Cohen, 2013; Cichoz-Lach dan Michalak, 2014).
Hepatosit memiliki berbagai enzim yang dapat digunakan sebagai marker
kerusakan hepar (Kaplan dan Pesce, 2010). Enzim AST ditemukan pada otot
jantung, sel hepar, otot skelet, ginjal, pankreas dan eritrosit (Pagana dan Pagana,
2014). Harga rujukan kadar AST darah pada anak adalah <52 U/L (Heil et al.,
2004). Enzim ALT terutama didapatkan pada hepar. Kadar yang lebih rendah
didapatkan pada ginjal, jantung, dan otot skelet (Pagana dan Pagana, 2014). Harga
rujukan kadar ALT darah pada anak adalah <39 U/L (Heil et al., 2004). Enzim
GGT terdistribusi luas di tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi di hepar
dan traktus biliaris. Peningkatan sintesis GGT dapat diinduksi stres oksidatif yang
disebabkan iron overload(Lee et al., 2004; Williamson dan Snyder, 2011). Harga
rujukan kadar GGT darah pada anak adalah <45 U/L (Heil et al., 2004). Enzim
GGT dapat berperan dalam pembentukan ROS melalui produk reaksi yaitu
cysteinylglycine (Lee et al., 2004). Pada pasien talasemia beta mayor didapatkan
hasil tes fungsi hepar yang abnormal (Williamson dan Snyder, 2011). Beberapa
penelitian mendapatkan asosiasi positif antara feritin dengan GGT (Lee et al.,
commit to user
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat korelasi positif antara kadar F2
-IsoPs dan kadar marker hepar pada pasien talasemia beta mayor. Penelitian ini
merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional,
dilakukan di RSUD Dr Moewardi Surakarta dan di laboratorium rujukan pada
bulan Mei 2016 hingga Juni 2016. Subjek dipilih secara berurutan dari populasi
pasien bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Moewardi Surakarta dengan
diagnosis talasemia beta mayor. Kriteria inklusi meliputi umur ≤ 18 tahun
(Kishore dan Tabor, 2010), diagnosis talasemia beta mayor oleh klinisi, riwayat
transfusi berulang, menyetujui dan menandatangani informed consent. Kriteria
eksklusi meliputi riwayat penyakit hepar dan ginjal (selain akibat dari terapi
talasemia), pasien infeksi, diabetes, asma, dan alergi.
Pemeriksaan F2-IsoPs serum dengan metode EIA kompetitif (Cayman,
2014). Pemeriksaan AST, ALT dan GGT menggunakan alat automated chemistry
analyzer dengan sampel serum. Pemeriksaan AST dan ALT adalah secara
enzimatik dengan metode sesuai IFCC yang dimodifikasi (Bayer, 2006a; Bayer,
2006b; Bayer, 2006c). Variabel terikat adalah kadar F2-IsoPs, AST, ALT, dan
GGT serum.
Sebelum pemeriksaan dilakukan quality controlinternal dengan mengukur
akurasi dan presisi. Presisi pemeriksaan F2-IsoPs dilihat dari hasil pemeriksaan
sampel serum yang sama sebanyak tiga kali (within-run). Presisi pemeriksaan
AST, ALT dan GGT dilihat dari hasil pemeriksaan sampel serum yang sama
sebanyak lima kali (within-run) juga dengan hasil pemeriksaan bahan kontrol
between-day selama 20 hari. Akurasi pemeriksaan AST, ALT dan GGT dilihat
dengan membandingkan hasil dengan harga rujukan bahan kontrol. Normalitas
distribusi data dinilai dengan uji Saphiro-Wilk.Analisis komparatif menggunakan
uji Mann Whitney. Analisis korelatif menggunakan uji korelasi Spearman
(Dahlan, 2011). Pengolahan data statistik dengan program komputer, p bermakna
jika <0,05 dan interval kepercayaan 95%. Penelitian ini meminta persetujuan
komisi etika penelitian kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret/RSUD Dr. Moewardi di Surakarta dan persetujuan pasien/orang tua pasien
commit to user
Uji presisi within-run F2-IsoPs menunjukkan CV (%) lebih kecil dari nilai
CV (%) maksimum. Nilai-nilai CV pada uji presisi within-run dan between-day
AST, ALT dan GGT lebih kecil dari nilai CV (%) maksimum, menunjukkan
metode pemeriksaan yang digunakan memiliki presisi yang baik. Hasil uji akurasi
dari semua parameter pemeriksaan marker hepar didapatkan masuk dalam rentang
kontrol, dengan rangenilai bias (d%) antara -14,60 sampai dengan 3,33.
Karakteristik subjek penelitian didapatkan 40 subjek sesuai kriteria inklusi
dan eksklusi dengan mean ± SD umur 12 ± 3,5 tahun, terdiri dari 17 laki-laki
(42,5%) dan 23 perempuan (57,5%). Hasil pengukuran variabel didapatkan mean
±SD kadar F2-IsoPs serum 20,70 ± 19,04 pg/mL, AST 42,33 ± 29,24 U/L, ALT
34,10±38,10 U/L, dan GGT 31,95 ± 27,14 U/L. Meankadar F2-IsoPs, AST, ALT
dan GGT serum masuk dalam rentang harga rujukan. Namun, rentang harga
rujukan kadar F2-IsoPs serum yang digunakan didapat dari pengukuran pada
kelompok usia dewasa. Uji Shapiro-Wilk mendapatkan distribusi data F2-IsoPs,
AST, ALT dan GGT tidak normal (p=0,000, p=0,000, p=0,000 dan p=0,000,
berurutan).
Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar F2-IsoPs serum
dengan kadar AST dan ALT serum (r=0,199, p=0,219; r=0,178, p=0,273;
berurutan). Hal ini dapat disebabkan karena subjek mendapat terapi kelasi besi,
vitamin C dan vitamin E per oral (Pudjiaji et al., 2009). Peningkatan kadar enzim
aminotransferase serum hanya didapat pada kandungan besi hepar yang melebihi
300 mikromol per gram (PM/g) untuk AST dan melebihi 400 PM/g untuk ALT
(Jensen et al., 2003). Pemberian terapi kelasi besi dapat mengurangi kandungan
besi di hepar sehingga mencegah kerusakan hepatoseluler. Vitamin C dan vitamin
E adalah antioksidan yang dapat meringankan stres oksidatif (Srichairatanakool
dan Fucharoen, 2014).
Terdapat korelasi positif yang bermakna dengan kekuatan korelasi lemah
antara kadar F2-IsoPs serum dengan kadar GGT serum (r=0,329, p=0,038).
Peningkatan kadar GGT dapat sebagai marker kerusakan hepatoseluler dan juga
respon terhadap stres oksidatif, dengan peningkatan sintesis GGT yang berperan
commit to user
(Ortega et al., 2006; Gohel dan Chacko, 2013). Peningkatan kadar GGT tidak
hanya dapat mencerminkan adanya stres oksidatif pada hepar, tapi juga stres
oksidatif sistemik, dan juga inflamasi kronis (Ortega et al., 2006). Kekuatan
korelasi yang lemah dapat disebabkan pemberian terapi kelasi besi dan
antioksidan sehingga mengurangi kerusakan hepatoseluler dan kebutuhan GSH.
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak mengukur kadar F2-IsoPs serum pada
kelompok normal usia pediatri dan merupakan penelitian lokal. Diperlukan
penelitian lanjutan untuk mengevaluasi hubungan kadar F2-IsoPs, AST, ALT dan
GGT serum dengan kandungan besi hepar pada pasien talasemia beta mayor.
Simpulan penelitian ini adalah tidak didapatkan korelasi bermakna antara
kadar F2-IsoPs serum dengan kadar AST dan ALT serum. Didapatkan korelasi
positif yang bermakna dengan kekuatan korelasi lemah antara kadar F2-IsoPs
serum dengan kadar GGT serum. Sehingga, kadar GGT serum dapat untuk
menilai stres oksidatif pada hepar akibat iron overload transfusional pada pasien
talasemia beta mayor. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengukur
kadar F2-IsoPs serum pada kelompok normal usia pediatri dan penelitian