• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Upaya Pencegahan

Upaya kesehatan adalah suatu bentuk upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Upaya kesehatan melingkupi pemeliharaan kesehatan (kuratif dan rehabilitatif) dan peningkatan kesehatan (preventif dan promotif) (Notoatmojo, 2007). Upaya kesehatan perlu ditingkatkan dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Mewujudkan masyarakat sehat adalah tujuan utama seperti yang termaktub dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2015-2019, yaitu meningkatkan upaya promosi kesehatan, meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan perhatian khusus pada pendanaan yang menunjang program promotif dan preventif (Hapsara, 2016).

Secara garis besar, upaya kesehatan dikelompokkan dalam upaya pencegahan (preventif), upaya pengobatan (kuratif), dan upaya rehabilitasi. Dari ketiga kelompok tersebut, upaya pencegahan memegang peranan utama. Biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan upaya pencegahan tentunya akan lebih kecil jika dibandingkan dengan upaya pengobatan ataupun rehabilitasi. Pada kenyataannya sangat sulit memperoleh bantuan biaya untuk program pencegahan.

Sasaran upaya pencegahan adalah orang sehat dan manfaatnya baru akan dirasakan lama setelah program pencegahan itu berlangsung. Dampak upaya pencegahan tidak langsung tampak seperti bila dilakukan pengobatan terhadap orang sakit (Wibowo, 2015).

Secara harfiah, preventif berasal dari bahasa latin pravenire yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Upaya ini dapat dilakukan oleh masing-masing individu ataupun secara bersama-sama guna mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak diharapkan, baik itu kerusakan, gangguan ataupun kerugian. Jadi upaya pencegahan akan sangat dirasakan efeknya bila diterapkan sejak awal dalam setiap upaya kesehatan.

(2)

Antisipasi berupa pencegahan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya suatu masalah kesehatan yang lebih besar, di samping juga menghemat biaya (Putra, 2015).

Tujuan dari upaya pencegahan adalah menghambat perkembangan suatu penyakit sebelum kondisinya menjadi lebih parah dan tidak terkendalikan. Konsep ini meliputi tahap-tahap untuk menghalangi atau membuat penyakit berkembang secara lebih lambat. Oleh karena itu dikenal tiga langkah pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Carr et al., 2013).

Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan sebelum suatu penyakit itu terjadi. Tergolong ke dalam pencegahan primer adalah upaya promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan perlindungan kesehatan. Pada penerapannya, pencegahan primer dapat dicontohkan seperti imunisasi, pengendalian infeksi, dan sanitasi. Dengan kata lain pencegahan primer adalah upaya pencegahan dasar yang tidak boleh diabaikan, karena jika tidak maka penularan penyakit tidak dapat dihalangi sehingga dapat meningkatkan jumlah kematian akibat penyakit. Dengan menempatkan pencegahan primer pada perhatian utama, maka upaya pengobatan dan perawatan tentunya akan semakin berkurang dan tergantikan dengan upaya pencegahan primer termasuk dukungan pembiayaan yang memadai guna menjalankan program preventif.

Pencegahan sekunder ditujukan untuk menghentikan proses perkembangan penyakit atau menghambat terjadinya kecacatan, kerusakan atau kematian.

Pencegahan sekunder dapat diawali dengan melaksanakan proses penapisan (screening). Screening bertujuan menemukan kasus yang berisiko patogenik secara lebih cepat, untuk kemudian mendiagnosis dan melakukan pengobatan segera.

Pencegahan tersier adalah tahapan terakhir upaya pencegahan yang lebih menekankan pada perawatan penderita yang telah terkena penyakit dan sudah tidak mampu disembuhkan agar dapat mandiri dan tidak tergantung pada praktisi kesehatan ataupun pelayanan kesehatan. Pencegahan tersier dapat berupa pendidikan konseling pada penderita dan menyediakan rehabilitasi (Timmreck, 2005).

(3)

Usaha pencegahan penyakit juga dibagi pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit. Pada masa sebelum sakit, usaha pencegahan yang harus dilakukan ditekankan pada mempertinggi nilai kesehatan (health promotion). Health promotion dilakukan dengan cara memelihara kesehatan misalnya dengan menperbaiki hygiene, memperbaiki sanitasi lingkungan serta memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Usaha selanjutnya adalah memberikan perlindungan khusus terhadap suatu penyakit (spesific promotion). Usaha ini meliputi upaya pencegahan terhadap penyakit-penyakit tertentu, contohnya seperti melakukan vaksinasi dan tindakan isolasi pada penderita penyakit menular (Entjang I, 2000).

Ketika sakit, dapat dilakukan usaha mengenal dan mengetahui jenis penyakit pada tingkat awal, serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera (early diagnosis and prompt treatment). Tujuan utama dari usaha ini adalah untuk mencegah penyebaran penyakit menular dan untuk penentuan upaya pengobatan yang paling tepat dan cepat dari setiap jenis penyakit sehingga dapat dilakukan pemulihan penyakit secara sempurna dan secepatnya, serta mencegah terjadinya komplikasi atau kecacatan (Rivai, 2005).

Pada early diagnosis and prompt treatment dapat dilakukan beberapa usaha di antaranya: mengidentifikasi kelompok penderita di dalam suatu populasi dengan jalan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan seperti, pemeriksaan laboratorium darah, rontgen paru-paru dan tindakan pemeriksaan penunjang lainnya serta secepatnya memberikan pengobatan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan pada setiap orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular (contact person). Hal ini bertujuan sebagai pengawasan agar bila terdapat gejala penyakit yang dikenal dapat segera diberikan pengobatan dan tindakan lain yang diperlukan. Usaha selanjutnya yang mungkin dilakukan adalah memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui gejala dan tanda suatu penyakit dan secepatnya mencari pengobatan.

Masyarakat harus memahami bahwa berhasil atau tidaknya upaya pengobatan, tidak hanya tergantung pada khasiat dari obat ataupun kemampuan dokter, tetapi juga bergantung pada kapan pengobatan itu diberikan. Penyakit yang telat diobati akan menyebabkan usaha pengobatan menjadi lebih sulit, kemungkinan menjadi

(4)

cacat lebih besar, masa penderitaan pasien menjadi lebih lama, serta tentunya dana yang dibutuhkan untuk perawatan dan penyembuhan akan semakin besar (Entjang I, 2000).

Usaha kedua yang dapat dilakukan pada masa sakit adalah menghalangi timbulnya kecacatan serta menghilangkan hambatan kemampuan untuk bekerja akibat efek suatu penyakit (disability limitation). Usaha ini bertujuan untuk mengobati dan merawat penderita secara tuntas agar dapat pulih kembali dan tidak cacat. Jika telah terjadi kecacatan, maka dipertahankan agar tidak semakin berat. Usaha terakhir yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi (rehabilitation).

Rehabilitasi pada proses ini adalah agar cacat yang telah diderita oleh pasien tidak menghambat kemampuan pasien secara fisik, mental dan sosial (Rivai, 2005).

Upaya pencegahan merupakan tugas utama dokter di layanan primer baik yang berpraktik mandiri maupun dokter di puskesmas. Dokter yang bekerja di layanan kesehatan primer berperan sebagai gatekeeper dalam sistem jaminan kesehatan yang menjadi kontak pertama masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Meningkatnya jumlah kunjungan masyarakat pada fasilitas pelayanan primer memberikan kesempatan yang baik untuk menjalankan program pencegahan. Upaya pencegahan akan sangat besar manfaatnya bila dimulai dari keluarga. Penanaman konsep peran pentingnya keluarga harus mulai di terapkan oleh dokter terutama yang bertugas di pelayanan primer seperti puskesmas.

Dokter puskesmas memainkan peran preventif dengan mengedukasi keluarga di sekitarnya tentang pendidikan kesehatan misalnya untuk selalu menjaga dan memantau tumbuh kembang, kesehatan jasmani ataupun kesehatan jiwa setiap anak dalam keluarga secara berkesinambungan. Tujuannya agar dapat dibangun hubungan kuat serta kepercayaan antara dokter dan keluarga. Pendidikan kesehatan tentang pencegahan penyakit yang tepat dan holistik ke semua masyarakat dapat membantu identifikasi dini penyakit menular (Mutalik dan Raje, 2017). Namun, upaya pendekatan secara personal ke keluarga ini tentunya memiliki hambatan seperti hambatan di norma sosial ataupun persepsi masyarakat yang tidak begitu saja dapat percaya dengan mudah. Diperlukan organisasi pendukung yang menyediakan bantuan berupa sumber daya manusia kompeten

(5)

selain dokter tentunya dan jaminan ketersediaan dana yang memadai untuk upaya pencegahan (Laurel et al., 2016).

2. Difteri

1.1 Epidemiologi

Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular.

Agen penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae dengan gejala khas yaitu terbentuk pseudo membran pada kulit atau mukosa. Difteri ditularkan lewat droplet dari nasofaring pasien atau karier. Kasus difteri sedikit dijumpai kasusnya pada dewasa kecuali bila dewasa tersebut belum pernah mendapat imunisasi. Penyakit ini juga dapat menginfeksi kulit (difteri kutan) dan jarang menjadi invasif (Poorwo et al., 2008).

Difteri menginfeksi beberapa negara di dunia. Tahun 2008 ditemukan 72 kasus di negara regional Afrika, dan 102 kasus di Amerika.

Sedangkan kasus difteri di South East Asian Region (SEARO) pada tahun 2009 terjadi di negara Bangladesh sejumlah 23 kasus, Indonesia 124 kasus, Myanmar 19 kasus, dan Thailand 14 kasus. Pada tahun 2010 sampai bulan Juni dilaporkan terulang kembali kejadian difteri di SEARO antara lain di Indonesia, Bangladesh, Myanmar, dan Thailand, masing-masing berturut- turut 136, 13, empat, dan sembilan kasus (Sariadji et al., 2014).

Pada tahun 2004 frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di Indonesia terjadi 34 kali dengan jumlah 106 kasus. Tahun 2008 tercatat 77 kali KLB dengan 123 kasus, termasuk di Jawa Timur dengan jumlah 73 kasus. Tahun 2011, terjadi KLB di Jawa Timur sebanyak 330 kasus, sebelas orang di antaranya dilaporkan meninggal pada awal Oktober 2011.

Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa KLB penyakit menular seperti difteri masih sering ditemukan di Indonesia. Seharusnya penyakit difteri ini sudah bebas di Indonesia mengingat program vaksinasi difteri yang telah digalakkan. Namun dengan ditemukannya satu saja kasus kejadian difteri maka sudah dikatakan KLB dan harus menjadi perhatian serius pemerintah (Sariadji et al., 2014).

(6)

1.2 Patologi Dan Patogenesis

Bakteri Corynebacterium diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, kemudian menempel serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang menyebar ke sekeliling. Selanjutnya toksin menginvasi seluruh tubuh lewat saluran limfe dan darah. Sintesis protein dihambat oleh produksi eksotosin yang dihasilkan oleh bakteri, akibatnya epitel sel menjadi nekrosis, terjadi perlekatan membran, dan edema. Semakin lama toksin yang dihasilkan akan semakin banyak, toksin diabsorbsi ke aliran darah mengakibatkan gangguan pada jantung dan saraf. Toksin paling mudah ditemukan di tenggorok daripada di hidung, laring, ataupun di kulit. Setelah toksin menfiksasi sel, barulah muncul gejala klinis (Mandal et al., 2008).

Setelah beberapa hari, toksin terurai dalam saluran pernapasan kemudian menginvasi epitel, leukosit, dan eritrosit serta menyebabkan kematian epitelial sel dan organisme di saluran pernapasan. Dapat ditemui membran abu-abu di tonsil, pharing atau hidung. Bila membran ini diangkat akan terjadi perdarahan. Edema jaringan lunak dan adenitis servikal sering dijumpai terutama pada saluran pernapasan yang lebih kecil seperti pada anak- anak, hal ini dapat menyebabkan bullneck. Penyebab kematian pada anak-anak maupun dewasa adalah karena adanya penyumbatan akibat aspirasi membran (Murtaza et al.,2016).

1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis difteri dapat beragam, tergantung pada beberapa faktor, mulai dari tanpa manifestasi apapun sampai pada keadaan hipertoksik dan fatal. Imunitas host, virulensi, toksigenitas C.diphteriae, anatomis serta lokasi penyakit merupakan faktor primer pada penyakit ini. Faktor lain yang dapat berperan seperti usia penderita, ada tidaknya penyakit sistemik dan mungkin adanya penyakit nasofaring yang memang telah ada sebelumnya.

Masa tunas penyakit ini sebelum menunjukkan gejala klinis adalah sekitar dua sampai enam hari. Biasanya, penderita mencari pengobatan setelah merasakan keluhan sistemik. Suhu badan dapat meningkat, biasanya di bawah

(7)

38,90C. Keluhan dan gejala lainnya bergantung pada lokasi dimana penyakit ini menginfeksi (Poorwo et al., 2008).

1.4 Diagnosis

Merujuk pada gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium, maka dapat ditentukan diagnosis. Bila sudah ditemukan gejala klinik yang mengarah ke diagnosis difteri, maka segera dilakukan penanganan, karena jika terlambat dapat berisiko besar bagi pasien. Gejala klinik yang paling mudah dilihat untuk menegakkan diagnosis difteri adalah dengan ditemukannya membran tipis keabu-abuan seperti sarang laba-laba yang mudah berdarah bila diangkat (Garna, 2005).

Diagnosis ditegakkan dengan terlebih dahulu melakukan anamnesis pada pasien yang dicurigai difteri. Pada anamnesis perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien memiliki riwayat kontak dengan penderita difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dengan penderita difteri, atau teman bermain, atau kontak dengan sekret nasofaring (misalnya: petugas kesehatan yang menangani penderita difteri tetapi tidak menggunakan alat pelindung diri). Kontak erat juga berarti orang yang seruangan dengan penderita dalam waktu lebih dari empat jam selama lima hari berturut-turut atau lebih dari 24 jam dalam seminggu, misalnya teman sekelas, teman sekamar atau teman mengaji. Anamnesis yang lain adalah dengan menanyakan apakah pasien menderita gejala seperti suara serak, stridor atau tanda lain dari obtruksi jalan nafas, serta kenaikan suhu tubuh.

Manifestasi klinis akan tampak pada pederita setelah dua sampai tujuh hari terjadi infeksi. Gejala klinis difteri meliputi demam dengan suhu 380C (100,40F) atau lebih. Pasien merasa tubuhnya panas dingin, tubuh kebiruan (sianosis), sakit tenggorokan, batuk, suara serak, sulit menelan, sakit kepala, napas cepat, sulit benapas, cairan hidung berbau seperti darah, dan limphadenopati. Gejala juga dapat disertai dengan aritmia, miokarditis, dan rasa lemah di saraf kranial dan perifer, kemudian bisa juga ditemukan limfadenitis servikal dan edema jaringan lunak di leher (bullneck) (Murtaza et al.,2016).

(8)

Diagnosis yang sangat penting adalah terdapat membran tipis keabu- abuan seperti sarang laba-laba yang mudah berdarah bila diangkat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit darah tepi yang meningkat dan terkadang bisa diikuti dengan anemia. Untuk mengambil kultur, maka sediaan diambil dari hidung, tenggorokan dan setiap lesi mukokutan lainnya. Kriteria konfirmasi laboratorium difteri untuk diagnosis pasti adalah kultur atau PCR (Polimerase Chain Reaction) positif. Kultur dilakukan dengan mengambil jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran yang dapat dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketujuh dengan menggunakan media amies dan stewart, sedangkan pemeriksaan tes elek dapat dilakukan untuk mengetahui toksigenisitas difteri (Garna, 2005).

Diagnosis difteri harus ditegakkan secepatnya karena mempengaruhi prognosa penderita, penderita harus segera diberikan antitoksin untuk mencegah penyebaran penyakit. Dokter dapat menegakkan diagnosis dengan melihat gejala-gejala klinik tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Dokter dapat menduga seseorang terkena difteri dengan memperhatikan tenggorokan penderita. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan membran berwarna gelap keabu-abuan disertai dengan banyaknya fibrin yang melekat dengan mukosa di bawahnya. Membran ini bila diangkat dapat terjadi perdarahan dan biasanya dapat ditemui di sekitar tonsil yang kemudian menyebar ke uvula (Garna, 2005).

1.5 Pengobatan

Tujuan pengobatan bagi pasien difteri yaitu menghambat perkembangan toksin, menghalangi dan mengupayakan agar hanya sedikit efek yang timbul, menyingkirkan C. Diphtheriae guna mencegah penyebaran bakteri ke orang lain serta memberikan terapi pada infeksi ikutan dan penyulit difteri. Pasien terdiagnosis difteri, dirawat di ruang khusus (isolasi) untuk menghindari penyebaran bakteri kepada orang sekitar. Umumnya pasien diisolasi selama dua minggu sampai masa akut terlewati. Dimana setelah dua kali pemeriksaan swab tenggorokan berturut-turut dengan jarak 24 jam, terbukti hasil kulturnya negatif. Namun bila terdapat komplikasi seperti miokarditis, maka lama rawatan bisa mencapai tiga minggu dengan tetap

(9)

memantau asupan cairan dan pengaturan diet. Untuk mengeliminasi ada tidaknya risiko komplikasi dapat dilakukan prosedur pemeriksaan jantung (seperti elektrokadiogram atau disingkat EKG) dan neurologis (Poorwo et al., 2008).

Pengobatan difteri terdiri dari pemberian anti difteri serum (ADS), pemberian antibiotik dan kortikosteroid. ADS atau disebut juga Diphteriae anti-toxin (DAT) adalah suatu anti toksin yang berasal dari serum kuda.

Dokter memberikan ADS sesegera mungkin setelah diagnosis difteri ditegakkan. Dengan diberikan antitoksin pada hari pertama, dapat mengurangi risiko kematian menjadi kurang dari 1%, namun jika pemberian ADS ditunda lebih dari enam hari, maka dapat meningkatkan risiko kematian sampai dengan 30% (Widoyono, 2008).

Berikut dosis dan cara pemberian ADS menurut tipe difteri:

Tabel 2.1.

Dosis dan cara pemberian ADS Menurut Tipe Difteri (Widoyono, 2008).

Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian Difteri kulit

Difteri hidung Difteri tonsil Difteri faring Difteri laring

Difteri nasofaringeal

Kombinasi lokasi, tanpa melibatkan hidung/nasal

Difteri beserta penyulit dan/atau ditemukan bullneck

Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi dimana saja

20.000 20.000 40.000 40.000 40.000 60.000 80.000

80.000-100.000

80.000-100.000

Intravena Intravena Intravena Intravena Intravena Intravena Intravena

Intravena

Intravena

Pemberian ADS harus terlebih dahulu disertai dengan skin test dan menyiapkan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit guna pencegahan terjadinya reaksi anafilaktik. Skin test dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil dikatakan positif bila

(10)

dalam 20 menit terjadi indurasi lebih dari 10 mm. Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan secara desensitisasi (Besredka). Bila skin test negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Menentukan dosis ADS dilakukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak bergantung pada berat badan pasien, dosis berkisar antara 20.000-100.000 KI seperti tercantum di tabel 1. ADS diberikan secara intravena dilarutkan dalam garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% selama 1-2 jam. Follow up dilakukan selama pemberian ADS dan dalam dua jam berikutnya. Reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) perlu juga diamati. Pengobatan dengan antibiotik enteromisin atau penisilin berfungsi sebagai terapi sekaligus prophilaksis. Pengobatan terhadap suspect difteri dengan memberikan antibiotik bertujuan untuk menghambat penularan penyakit lebih luas lagi. Antibiotik dapat membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pemberian penisilin prokain dengan dosis 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) secara intramuskular (IM) selama 14 hari. Jika didapat riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin, maka dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) yang dibagi dalam empat dosis dengan interval enam jam selama 14 hari.

Pemberian kortikosteroid ditujukan guna mencegah dan mengurangi peradangan. Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau tidak disertai bullneck) dan jika ditemui penyulit miokarditis. Kortikosteroid yang diberikan dapat berupa prednison dengan dosis pemberian 2 mg/kgBB/hari selama dua minggu secara tappering off (Widoyono, 2008).

Pada kejadian kasus difteri, petugas kesehatan harus mencari kemungkinan tersebarnya infeksi bakteri C. Diphteriae ke lingkungan sekitar untuk kemudian dilakukan penatalaksanaan pada orang-orang yang berada dekat dengan pasien. Penatalaksanaan ini berupa pemberian obat pencegahan atau prophilaksis yang diberikan pada kontak erat dan karier.

a. Pengobatan Kontak Erat

Pengobatan kontak erat bertujuan untuk menghalangi penyebaran penyakit difteri menjadi semakin luas. Pengertian kontak erat adalah

(11)

keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita difteri, guru di sekolah, petugas kesehatan yang telah terpapar dengan sedimen penderita (sekret nasofaring), orang-orang yang menggunakan peralatan makan, minum atau masak yang sama dengan penderita, atau orang yang mengasuh anak yang terinfeksi difteri. Pada orang-orang yang disebutkan tadi, harus dilakukan imunisasi tanpa memandang status imunisasi sebelumnya kemudian diperiksa biakan hidung dan tenggoroknya.

Pengawasan terhadap gejala klinis yang mungkin timbul sampai lewat masa tunas juga harus dilakukan. Bagi anak yang telah diberikan imunisasi dasar maka dilakukan booster toksoid difteri, sedangkan bagi yang belum diimunisasi, harus sesegera mungkin melengkapi imunisasinya.

(Anggraeni et al., 2017).

b. Pengobatan Karier

Karier adalah orang-orang yang tidak menunjukkan gejala klinis ataupun keluhan difteri, tetapi pada pemeriksaan biakan kultur di tenggorok terdapat basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan bagi karier adalah eritromisin, dengan dosis 40-50 mg/kgBB/hari dibagi empat dosis selama tujuh hari (maksimum 1 gram/hari). Untuk eradikasi karier difteri nasofaring, eritromisin bersifat lebih superior dibandingkan dengan penisilin. Follow up tetap dilakukan sampai didapat hasil kultur selanjutnya, jika masih positif, maka pemberian antibiotik diperpanjang.

(Anggraeni et al., 2017).

3. Pencegahan Difteri

Tujuan pembangunan jangka panjang atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang disusun WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa untuk menghentikan penyebaran penyakit menular seperti malaria, hepatitis ataupun difteri di negara berkembang seperti Indonesia, harus mendapat dukungan dari kerangka kebijakan pemerintah secara global. Dukungan ini berbentuk perluasan cakupan pelayanan kesehatan secara umum, perlindungan sosial, dan menjangkau populasi yang dianggap rentan atau kurang mendapat pelayanan kesehatan (Mario & Dermot, 2017).

(12)

Puskesmas sebagai lini depan pelayanan primer diharapkan dapat mengedepankan pelayanan kesehatan berdasarkan prinsip kedokteran keluarga yang bersifat pencegahan yang terkoordinatif dan kolaboratif dengan langsung melibatkan elemen masyarakat. Tidak hanya mengobati pasien secara pasif tetapi aktif melakukan pendekatan terutama dalam bidang promosi kesehatan dan preventif secara berkesinambungan. Puskesmas dapat menjalankan fungsinya dalam hal health promotion guna mencegah dan memberantas penyakit menular sesuai dengan tugas pokok puskesmas. langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh puskesmas di antaranya adalah mengumpulkan dan menganalisis data penyakit menular yang terjadi di wilayah kerjanya, membuat laporan tentang penyakit menular untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan di lapangan guna mengecek laporan yang masuk, dan menemukan kasus baru sekaligus sumber penularannya. Kesemua langkah tersebut merupakan tindakan permulaan untuk menahan atau mencegah penyebaran penyakit. Puskesmas juga harus tetap mengutamakan edukasi ke masyarakat tentang bahaya penyakit menular dan memberikan vaksinasi sebagai pencegahan dasar (Triwibowo dan Erlisya, 2015).

Vaksinasi difteri yaitu DPT (Difteri, pertusis, tetanus) merupakan program preventif yang dapat diberikan sesuai dengan umur. Saat ini dikenal tiga macam vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit difteri (Anggraeni et al., 2017), yaitu:

1. DPT-HB-Hib yang merupakan vaksin kombinasi mencegah difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, meningitis dan pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B.

2. DT, yang merupakan vaksin kombinasi difteri tetanus.

3. TD, yang merupakan vaksin kombinasi tetanus difteri.

Imunisasi DPT dapat diberikan tiga kali sejak bayi berusia dua bulan, dengan jarak empat sampai delapan minggu. DPT tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur enam mingggu. DPT-1 diberikan ketika bayi berumur dua bulan, DPT-2 ketika bayi berumur empat bulan, dan DPT-3 ketika bayi berumur enam bulan. Ulangan (booster atau penguat) DPT atau DPT-4 diberikan dalam waktu satu tahun setelah pemberian DPT-3, yaitu ketika bayi berumur 18 sampai 24 bulan. DPT-5 diberikan saat anak masuk sekolah pada usia lima tahun, karena

(13)

pada usia lima tahun anak harus mendapat penguat ulangan DPT guna meningkatkan cakupan imunisasi ulangan, biasanya vaksinasi DPT diberikan pada awal masuk sekolah dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah (BIAS).

Untuk anak usia lebih dari tujuh tahun diberikan vaksin TD dan booster dilaksanakan setiap sepuluh tahun, begitu pula pada anak sekolah dasar kelas dua dan kelas lima diberikan vaksin TD melalui program BIAS begitu pula pada wanita usia subur (termasuk wanita hamil) juga sangat dianjurkan untuk diberikan vaksin TD (Satgas imunisasi PP IDAI, 2014).

Pencegahan difteri terhadap masyarakat dapat seoptimal mungkin dilakukan dengan mempertahankan cakupan imunisasi minimal sebesar 95% di setiap wiayah kabupaten/kota. Selain itu yang harus diperhatikan tentunya kualitas vaksin mulai dari proses mengirim vaksin sampai menyimpan vaksin, dimana suhu harus tetap terjaga pada suhu 2 - 8° C. Untuk pencegahan terjadinya KLB, maka setiap wilayah harus memastikan ketersediaan dana operasional untuk imunisasi rutin dan imunisasi dalam penanggulangan KLB yaitu outbreak response immunization atau disingkat dengan ORI (Anggraeni et al., 2017).

Tantangan saat ini dalam pelaksanaan vaksinasi dan ORI adalah adanya penyebaran informasi yang sangat meresahkan terutama di negara-negara berpenduduk muslim yang besar seperti Indonesia. Informasi ini menyatakan bahwa sebagian besar vaksin mengandung zat yang diharamkan agama Islam.

Tentunya isu ini sangat meresahkan dan berperan besar menurunkan angka cakupan vaksin. Isu disebarkan lewat media massa khususnya media sosial sehingga penyebaran sangat cepat, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus bukan saja oleh pemerintah, namun juga kerjasama masyarakat sipil dan para ulama untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat tentang keutamaan vaksin sebagai strategi utama kesehatan masyarakat. Pemerintah bersama majelis ulama Indonesia dalam hal ini telah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin DPT. Isu meresahkan tentang ketidakhalalan vaksin juga menyerang negara-negara muslim seperti Malaysia, Afganistan dan pakistan. Bahkan pemerintah Malaysia telah mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan setiap orang tua untuk memberikan vaksinasi ke anaknya karena merupakan hak setiap anak (Ali et al., 2017).

(14)

Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Aceh merupakan salah satu provinsi dengan cakupan imunisasi dasar bayi lengkap yang rendah setelah kalimantan Utara, Papua, dan Maluku. Imunisasi dasar ini meliputi satu kali imunisasi hepatitis B, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT- HB-Hib, empat kali imunisasi polio dan satu kali imunisasi campak Capaian indikator keberhasilan imunisasi dasar lengkap pada bayi di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 91,58 %, sedangkan angka cakupan imunisasi lengkap pada bayi di Aceh pada tahun 2016 hanya sebesar 69,11%. Jumlah ini masih jauh di bawah angka indikator keberhasilan imunisasi dasar bayi lengkap Indonesia (Kurniawan et al., 2017).

Dalam buku “Pedoman dan pencegahan difteri” yang disusun oleh tim Direktorat Surveilans dan karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah ditetapkan tentang tujuh pedoman pencegahan dan pengendalian difteri guna menanggulangi kejadian luar biasa (KLB) difteri seperti yang terjadi di Aceh, yang meliputi (Anggraeni et al.,2017) :

1. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri berdasarkan program imunisasi nasional.

2. Menemukan dan menatalaksa kasus difteri secara dini.

3. Melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap seluruh kejadian kasus difteri.

4. Merujuk pasien kasus difteri ke rumah sakit untuk mendapat perawatan di ruang isolasi.

5. Mengambil spesimen yang berasal dari pasien difteri dan kontak erat lalu mengirim ke laboratorium rujukan difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR.

6. Memberikan prophilaksis pada kontak dan karier guna memutus rantai transmisi difteri.

7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB difteri.

Ketujuh pedoman di atas disusun untuk dapat dilaksanakan oleh pelayanan primer baik itu di puskesmas maupun di klinik dokter pribadi. Dalam melaksanakan program pemberantasan difteri, tentu saja diperlukan pembentukan tim kerja yang terdiri dari klinisi, surveilans, petugas laboratorium dan pelaksana program kesehatan yang terkait. Tim ini bekerja melaksanakan kegiatan dalam

(15)

program pemberantasan difteri. Surveilans, bertugas melakukan pengamatan secara terus menerus terhadap suatu kasus lewat laporan harian atau mingguan yang berasal dari unit pelayanan kesehatan baik itu puskesmas, praktik dokter pribadi atau swasta, rumah sakit, dan klinik. Kemudian dilakukan tindakan penyelidikan epidemiologi. Tujuan penyelidikan epidemiologi adalah mencari sumber penularan, mencari kasus baru pada kontak erat seperti teman bermain atau teman sekelas penderita atau tetangga penderita dan juga untuk menanggulangi agar kasus tidak semakin meluas (Anggraeni et al., 2017).

Tim yang dibentuk dalam penanggulangan difteri juga melakukan pemeriksaan apusan tenggorok di laboratorium pada kontak erat penderita difteri guna pencarian kontak yang kemungkinan tertular. Selanjutnya diberikan prophilaksis berupa eritromisin pada semua kontak. Semua hal ini dilaporkan dalam bentuk catatan yaitu laporan W1 (wabah 1). Laporan ini disusun oleh surveilans puskesmas dalam waktu 24 jam sejak tim menemukan atau mencurigai orang yang terjangkit difteri. Setelah pasien dirujuk ke rumah sakit, disusun laporan kewaspadaan dini rumah sakit (KDRS). Setiap kasus difteri dilaporkan oleh rumah sakit ke pihak dinas kesehatan kabupaten atau kota setempat secara terperinci, disertai identitas pasien, nama orang tua, dan alamat lengkap guna memudahkan pelacakan (Widoyono, 2008).

2.1 Kewaspadaan Dini Difteri

Kegiatan kewaspadaan dini difteri harus dilaksanakan merata di semua wilayah kerja, namun demikian terdapat prioritas khusus pada beberapa wilayah. Wilayah yang termasuk prioritas kewaspadaan difteri adalah wilayah yang angka cakupan imunisasi dasarnya rendah, memiliki keterbatasan dalam akses atau jangkauan pelayanan imunisasi, wilayah dengan situasi khusus (tertinggal, perbatasan, atau kepulauan), wilayah kerja yang terdapat pasien difteri dalam lima tahun terakhir, serta wilayah yang mempunyai hubungan kekerabatan ataupun aktifitas ekonomi yang erat dengan masyarakat daerah sekitarnya yang sedang mengalami KLB difteri.

Ketersediaan informasi tentang karakteristik suatu wilayah yang terkena difteri sangat menunjang dalam memetakan kewaspadaan dini di wilayah tersebut. Ditunjang dengan sumber daya yang tersedia di unit kerja masing-

(16)

masing, maka kemudian data dianalisis serta dikaji agar dapat ditentukan upaya pencegahan kasus secara lebih meluas, menemukan kelompok berisiko tinggi serta tindak lanjut berupa promosi kesehatan (Anggraeni et al., 2017).

2.2 Kesiapsiagaan KLB Difteri

Kesiapsiagaan akan terjadinya KLB harus secara dini dipersiapkan setelah dilakukan analisis data dalam kewaspadaan dini. Langkah pertama yang perlu disiapkan adalah membentuk tim gerak cepat yang bergerak menanggulangi kejadian difteri agar tidak semakin meluas. Tim ini terdiri dari dokter, surveilans, petugas laboratorium dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilengkapi dengan alat pelindungan diri. Langkah kedua adalah menyediakan obat-obatan berupa ADS dan antibiotik prophilaksis guna mengobati kontak erat ataupun kortikosteroid. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan sarana dan prasarana penunjang laboratorium untuk melakukan pengambilan spesimen dan kultur swab penderita yang dicurigai difteri, serta menyediakan logistik imunisasi untuk ORI. Ketersediaan seluruh logistik tersebut tidak diartikan harus tersedia di setiap unit kerja pelayanan kesehatan, tetapi tersedia informasi keberadaan bahan tersebut dan dapat diakses setiap saat jika diperlukan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

2.3 Penanggulangan KLB Difteri

Penanggulangan KLB difteri merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran kasus difteri serta menurunkan angka morbiditas ataupun mortalitas difteri melalui keterlibatan program-program terkait seperti program imunisasi, klinisi, surveilans epidemiologi, laboratorium serta program kesehatan lainnya. Suatu wilayah sudah dikatakan sebagai KLB apabila terdapat satu suspek difteri, maka prosedur penyelidikan dan penanggulangan harus segera dilaksanakan di wilayah tersebut untuk meminimalisir penularan yang berujung pada komplikasi bahkan kematian. Setiap pasien yang dinyatakan suspek difteri dilakukan uji laboratorium sambil mencari kasus tambahan dan kontak, jika ditemukan kontak dan karier, maka diberikan prophilaksis kepada keduanya

(17)

sampai terbukti negatif secara laboratorium. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit guna dilakukan penanganan standar terkait difteri. Penanganan pasien difteri di rumah sakit adalah dengan mengisolasi pasien serta mengurangi kontak kasus dengan orang sekitar. Pada lokasi kejadian dilaksanakan imunisasi ORI (outbreak Response immunization) tanpa memandang status imunisasi sebanyak tiga putaran dengan interval waktu 0- 1-6 bulan. Pelaporan kasus difteri dilakukan secara berjenjang ke dinas kesehatan dalam kurun waktu 24 jam. Penanggulangan difteri juga meliputi peningkatan cakupan imunisasi rutin difteri hingga mencapai 95%, baik imunisasi dasar ataupun lanjutan. Edukasi seputar penyakit difteri ditujukan kepada tenaga kesehatan dan masyarakat. Pada tenaga kesehatan diedukasikan tentang bagaimana mendiagnosis difteri serta bagaimana melakukan prosedur penatalaksanaan dan pencegahan difteri. Edukasi ke masyarakat dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan media massa guna pencapaian informasi yang lebih cepat. Masyarakat diedukasikan tentang pentingnya mengetahui tanda gejala difteri. Bila terdapat gejala seperti nyeri tenggorok, diharapkan masyarakan segera memeriksakan dirinya ke pusat layanan kesehatan seperti puskesmas untuk didiagnosis lebih lanjut.

Masyarakat juga dihimbau untuk menggunakan masker di tempat umum bila menderita gejala infeksi saluran pernapasan (Anggraeni et al., 2017).

Idealnya setiap puskesmas memiliki minimal satu orang surveilans untuk melaksanakan tugas-tugas terkait surveilans difteri. Berdasarkan prosedur penanggulangan KLB difteri pada tingkat puskesmas sesuai dengan intruksi direktur jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, maka disusun prosedur sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2013):

a. Penemuan dan tata laksana kasus

Penemuan kasus seyogyanya dilakukan oleh petugas surveilans namun dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus secara pasif didapat dari kunjungan masyarakat yang mencari pengobatan di puskesmas. Penemuan kasus secara aktif adalah dengan melakukan kegiatan yang terkoordinir dan kontinyu melalui komunikasi

(18)

yang baik dengan teman sejawat yang berpraktek di sekitar wilayah kerja puskesmas, dengan klinik swasta atau fasilitas pelayanan kesehatan lain selain rumah sakit untuk mencari dan menemukan pasien dengan gejala mirip difteri. Dengan belum maksimalnya diterapkan sistem kedokteran keluarga, maka penemuan kasus cenderung secara pasif. Umumnya pasien yang sakit dengan gejala difteri datang mencari pengobatan ke dokter sehingga deteksi difteri bukan melalui proses penemuan aktif (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Selanjutnya bila ditemukan kasus difteri, maka dilaksanakan tata laksana sesuai dengan prosedur yang telah disusun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pasien yang di duga terinfeksi difteri akan diperiksa, spesimen tenggorok atau hidungnya oleh petugas kesehatan yang terampil.

Bila puskesmas belum memiliki petugas laboratorium/kesehatan yang terampil, maka puskesmas dapat meminta bantuan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pengambilan spesimen dilaksanakan segera setelah kasus ditemukan, spesimen dimasukkan ke dalam lemari pendingin untuk kemudian dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemberian antibiotik ditunda dulu sampai spesimen diambil. Dokter merujuk pasien ke rumah sakit terdekat guna dirawat inap pada ruangan khusus atau isolasi. Perawatan sebenarnya dapat dilakukan di puskesmas yang memiliki ruang rawat inap tergantung pada pertimbangan medis dokter.

Setelah kasus diambil spesimen dan dirawat di puskesmas atau di rumah sakit, maka jika pasien memerlukan ADS diberikan sesuai dosis.

Pemberian ADS berupa penisilin prokain secara intramuskuler 50.000 – 100.000 unit/kgBB/hari selama sepuluh hari. Selanjutnya pemeriksaan laboratorium spesimen kedua dilakukan pada hari kesepuluh sejak pasien mendapatkan pengobatan. Bila hasilnya negatif, maka pasien sudah dapat dipertimbangkan untuk pulang dan bila hasilnya masih positif maka pasien masih perlu mendapatkan penanganan selanjutnya yaitu pengobatan lanjutan, sampai dibuktikan benar-benar sudah negatif. Semua data berikut formulir yang sudah diisi lengkap berikut spesimen dalam waktu 1 x 24

(19)

jam harus sudah dilaporkan kepada petugas surveilans kabupaten/kota (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

b. Penemuan dan tata laksana kontak erat

Kontak erat adalah orang yang dekat dengan pasien terduga infeksi difteri, bisa jadi orang yang tinggal serumah, teman bermain,teman sekelas di sekolah, teman mengaji, tetangga, tenaga kesehatan yang merawat kasus atau yang mengambil spesimen, atau orang lain yang mempunyai riwayat kontak dengan kejadian difteri dalam jarak kurang dari satu meter terhitung lima hari sejak muncul gejala klinis pada kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Untuk memutus mata rantai penularan difteri, maka seluruh terduga kontak erat harus dilakukan tata laksana yaitu pemeriksaan apus tenggorok untuk menentukan status mereka apakah penderita atau karier (pembawa kuman) difteri. Kemudian seluruh kontak erat diberikan prophilaksis berupa eritromisin (etyl suksinat) dengan dosis 50 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam empat kali pemberian (dosis maksimal 200 mg/hari) atau 500 mg diberikan empat kali sehari selama tujuh hari. Pemberian antibiotik ini akan membuat kontak erat menjadi non infeksius dalam waktu 24 jam, karena itu diperlukan pengawasan ketat dari petugas kesehatan agar para kontak erat mau meminum obat mereka selama tujuh hari tanpa adanya putus obat. Petugas kesehatan dalam memberikan obat prophilaksis hendaknya juga menjelaskan maksud dan tujuan pemberian prophilaksis serta tata cara meminum obat. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi risiko putus obat prophilaksis. Tim gerak cepat difteri perlu menetapkan satu orang pengawas minum obat (PMO) untuk setiap kelompok kontak erat. Seluruh kontak erat harus benar-banar mendapat prophilaksis dan rutin meminum obat mereka selama tujuh hari. Pengawasan terhadap kontak erat dapat terkendala dengan tidak ditetapkannya PMO, sehingga kemungkinan pemutusan rantai penularan masih sulit (Irawan, 2014).

Kontak erat dengan hasil awal laboratoriumnya negatif C.diphteriae (karier) sebelum tujuh hari, maka obat prophilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai. Kontak erat yang hasil awal laboratoriumnya positif

(20)

C.diphteriae (karier) sebelum tujuh hari, maka obat prophilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai, lalu dilakukan pemeriksaan spesimen ulang setelah pemberian prophilaksis tujuh hari. Bila setelah tujuh hari prophilaksis hasil pemeriksaan ulang laboratorium tetap positif pada kontak yang positif (karier), maka terapi ulang dilanjutkan selama tujuh hari. Pemantauan terhadap kontak erat dilakukan setiap hari dan dicatat dalam catatan harian. Evaluasi dapat dilakukan setiap minggu dengan kordinator PMO (dalam hal ini petugas puskesmas yang telah ditunjuk untuk menyusun laporan hasil evaluasi) guna penilaian hasil pantauan harian dan merencanakan tindakan tambahan yang mungkin diperlukan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

c. Pelaporan

Pelaporan setiap kasus yang ditemukan dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam sejak ditemukan. Pada setiap minggunya puskesmas merangkum rekapitulasi semua kejadian difteri termasuk penyelidikan epidemiologi KLB (bila ada) pada minggu tersebut dan dikirimkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Dalam Perawatan Penderita Difteri.

Penularan bakteri difteri adalah melalui droplet dan kontak dengan penderita. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat atau mengambil spesimen difteri hendaknya dilengkapi dengan pengetahuan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi bakteri selama penderita dalam masa rawatan. Pencegahan paling penting adalah petugas kesehatan sudah harus diimunisasi difteri secara lengkap. Pasien difteri diisolasi di suatu ruang khusus dan petugas kesehatan melindungi diri menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan prosedur sebagai berikut: jika melakukan pemeriksaan tenggorok penderita baru, petugas kesehatan disarankan menggunakan masker bedah, pelindung mata, dan topi. Jika berhadapan dengan penderita dengan jarak kurang dari satu meter, disarankan penggunaan selain masker bedah juga harus menggunakan sarung tangan, gaun, dan pelindung mata

(21)

(seperti: google, face shield). Pada saat petugas kesehatan mengambil spesimen maka harus menggunakan masker bedah, pelindung mata, topi, baju pelindung, dan juga sarung tangan, namun bila melakukan tindakan yang menimbulkan aerosolisasi (misal: saat intubasi, bronkoskopi, dan lain- lain) petugas kesehatan dianjurkan untuk menggunakan masker N95.

(Anggraeni et al., 2017).

Pembersihan permukaan lingkungan dengan desinfektan seperti chlorine, quaternary ammonium compound, dan lain-lain harus selalu dilakukan. Petugas kesehatan dan masyarakat juga diajarkan untuk selalu menerapkan etika batuk yang benar termasuk mengedukasi penggunaan masker di tempat umum bagi orang yang memiliki tanda dan gejala infeksi pernapasan. Jika pasien difteri memerlukan keluarga sebagai pendamping di ruang isolasi maka pendamping harus menggunakan alat pelindung diri berupa masker bedah dan gaun serta menjaga kebersihan tangan (Anggraeni et al. 2017).

4. Dokter Puskesmas

Dokter layanan primer memegang peran penting dalam garda depan pelayanan kesehatan masyarakat. Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan primer yang tersedia hampir di seluruh pelosok kecamatan di Indonesia. Dokter puskesmas idealnya harus bisa memanajemen segala pelayanan kesehatan di puskesmas, bekerja sama dengan pihak kesehatan ataupun non kesehatan, dengan masyarakat atau keluarga dan dengan pasien ataupun non pasien (Wibowo, 2015).

Dokter dituntut memiliki lima kualitas yang lebih dikenal dengan “the five stars doctor”, yaitu: care provider, decision maker, communicator, community leader, dan manajer (Werdhani, 2017).

Care provider berarti bahwa dokter mampu memberikan pelayanan kedokteran secara holistik kepada seluruh pasiennya. Sebagaimana prinsip kedokteran keluarga yang memandang pasien bukan hanya sebagai satu objek si sakit tetapi secara menyeluruh mulai dari keluarga dan lingkungannya. Dokter dituntut mampu membangun hubungan kepercayaan dengan pasien melalui

(22)

pendekatan personal dan berkelanjutan sehingga dokter dapat dengan mudah memahami karakteristik setiap pasiennya.

Decision maker bermakna dokter harus bisa mengambil keputusan yang tepat dalam hal penanganan masalah kesehatan mulai dari pencegahan, diagnosis dan tindakan medis. Dokter harus mampu memilih mana yang paling cocok sesuai dengan keadaan pasien dan lingkungan setempat juga cakap dalam pemanfaatan tekhnologi untuk mengatasi masalah kesehatan (Murtagh, 2011).

Communicator merupakan hal selanjutnya yang wajib dimiliki dokter layanan primer. Dokter dituntut dapat menjadi corong upaya preventif agar masyarakat mengerti makna hidup sehat dan mengaplikasikannya dalam keseharian. Dokter tentunya harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam membangun kualitas komunikasi dengan pasien dan keluarganya.

Diharapkan dalam mengedukasi, dokter sekaligus dapat memotivasi dan mengarahkan masyarakat ke gaya hidup sehat. Di samping itu dokter juga diharapkan dapat menempatkan dirinya sebagai panutan bagi masyarakat.

Masyarakat dapat melihat contoh baik yang tercemin dalam diri dokter. Hal Inilah yang dikenal dengan community leader.

Berperan sebagai manajer tidak bermakna bahwa dokter harus jabatan struktural di puskesmas atau unit kesehatan lainnya. Jiwa manajerial seorang dokter merupakan hal yang alami dimiliki setiap dokter. Kepemimpinan disini adalah dalam tindakan bukan dalam posisi. Seorang dokter dapat melakukan proses manajerial dalam merancang pengobatan dan intervensi yang perlu dilakukan untuk mencapai target terkait dengan manajemen kesehatan pasiennya. Setiap dokter mampu bekerja sama dalam tim sehingga dituntut memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dan membangun hubungan baik antar teman sejawat, dengan sesama petugas kesehatan, dan dalam tim pelayanan kesehatan atau antar institusi demi meningkatkan pelayanan kesehatan yang baik bagi seluruh masyarakat. Dengan kata lain dokter layanan primer dituntut mampu memiliki kemampuan untuk selalu mengembangkan diri, membangun hubungan baik, membuat rencana, mengelola sumber daya, berinovasi, serta berkontribusi untuk peningkatan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat (Werdhani, 2017).

(23)

Pelayanan primer yang tersebar cukup merata di seluruh wilayah Indonesia adalah puskesmas. Puskesmas dikenal sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat terdekat yang mengedepankan upaya kesehatan menyeluruh bagi masyarakat di wilayah sekitarnya dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok.

Puskesmas memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menjaga kestabilan kesehatan masyarakat di wilayahnya, dengan cara melakukan pelayanan kesehatan yang komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif).

Pelayanan kesehatan yang dikatakan holistik adalah yang meliputi empat komponen kesehatan yaitu fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Puskesmas berperan aktif dalam pembinaan masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga dapat berperan aktif dalam membantu menjaga kesehatan lingkungan sekitar melalui pembinaan yang dilakukan kontinyu oleh puskesmas (Mubarak, 2012).

Visi puskesmas adalah tercapainya “kecamatan sehat” demi mewujudkan

“Indonesia sehat”. Kecamatan sehat merupakan gambaran masa depan tentang masyarakat dalam suatu kecamatan, dimana terdapat masyarakat yang memiliki gaya hidup, perilaku dan lingkungan sehat, serta kesehatan bermutu dapat diakses secara mudah dan menyeluruh sehingga tercapai derajat kesehatan yang tinggi.

Sedangkan misi puskesmas itu sendiri adalah mendukung pencapaian misi pembangunan nasional, menciptakan terbentuknya wawasan kesehatan di wilayah kerjanya, senantiasa mendukung masyarakat untuk selalu berupaya memiliki gaya hidup sehat, menjangkau secara menyeluruh pelayanan kesehatan, serta memerhatikan kesehatan seluruh masyarakat di wilayah kerjanya dan bukan hanya sekedar mengobati orang sakit (Triwibowo dan Erlisya, 2015).

Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Dengan kata lain puskesmas merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia, yakni untuk menyuburkan kesadaran akan hidup sehat bagi semua orang demi peningkatan derajat kesehatan setingi-tingginya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya (Mubarak, 2012).

Puskesmas memiliki tanggung jawab pada setiap masalah yang terjadi di wilayah kerjanya. Puskesmas dituntut untuk lebih mengutamakan pencegahan penyakit dan bukan tindakan untuk pengobatan penyakit. Puskesmas harus secara

(24)

aktif terjun ke masyarakat dan bukan menantikan masyarakat datang ke puskesmas. Penentuan besarnya wilayah kerja puskesmas ditentukan oleh bupati yang didasarkan pada jumlah penduduk dalam suatu kecamatan, atau tergantung pada luas daerah, keadaan geografik, ataupun keadaan infrastruktur lainnya. Pada suatu kota besar, wilayah kerja puskesmas mungkin saja hanya mencakup satu kelurahan, dengan puskesmas di ibu kota kecamatan sebagai tempat rujukan dari puskesmas keluruhan. Jumlah penduduk ideal yang ditangani suatu puskesmas berkisar 30.000 penduduk dengan cakupan luas wilayah di daerah pedesaan adalah suatu area dengan jari-jari 5 km, sedangkan luas wilayah kerja yang dipandang efektif sebenarnya adalah wilayah dengan jari-jari 3 km (Triwibowo dan Erlisya, 2015).

B. KERANGKA BERPIKIR

Upaya Pencegahan Difteri

Implementasi upaya pencegahan difteri

1. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri 2. Menemukan dan menatalaksa kasus difteri

secara dini.

3. Melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap seluruh kejadian kasus difteri.

4. Merujuk pasien kasus difteri ke rumah sakit untuk mendapat perawatan di ruang isolasi.

5. Mengambil spesimen yang berasal dari pasien difteri dan kontak erat lalu mengirim ke laboratorium rujukan difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR.

6. Memberikan prophilaksis pada kontak dan karier guna memutus rantai transmisi difteri.

7. Melakukan ORI di daerah KLB difteri.

Pedoman pencegahan dan pengendalian difteri

Kendala yang mungkin muncul dalam pelaksanaan upaya pencegahan difteri

1. Cakupan imunisasi kurang dari 90 %.

2. Penemuan kasus baru lebih sering secara pasif.

3. Tidak diberikan prophilaksis pada seluruh kontak erat atau karier.

4. Tidak ada pengawasan pemberian prophilaksis pada kasus difteri.

5. Pelaksanaan ORI tidak mencakup semua populasi rentan karena masih ada penolakan terhadap vaksin oleh sekelompok orang.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kesejahteraan juga berbeda, dimana masyarakat Pulau Tasipi memiliki rata-rata tingkat pendapatan per kapita per tahun sebesar Rp284.188,- sedangkan

[r]

Berdasarkan hasil analisis ROI (Return On Investment) menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 aktiva menjadi laba bervariatif pada tahun 2012 ke tahun 2013 angka rasio

Istilah kerentanan sendiri dapat diartikan sebagai derajad kehilangan/kerugian yang diderita oleh elemen risiko dari suatu peristiwa bencana, dan dapat diekspresikan dengan

Dinas harus memastikan dan menginformasikan secara jelas kepada masyarakat tentang persyaratan layanan serta prosedur pelayanan yang dibutuhkan untuk memberikan

Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa antara kelas yang memanfaatkan video pembelajaran dengan kelas

Sudah ada peneliti yang mengembangkan media pembelajaran menggunakan App Inventor , seperti penelitian yang dilakukan oleh Yudanto (2017) tentang Pengembangan Media

Prosiding SI MaNIs (Seminar Nasional Integrasi Matematika dan Nilai Islami) Vol.1, No.1, Juli 2017: 141- menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam baik secara