• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) GUNA MENGATASI PANDEMI COVID-19

N/A
N/A
Azuan Helmi

Academic year: 2022

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) GUNA MENGATASI PANDEMI COVID-19"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LEGAL OPINION

PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) GUNA MENGATASI PANDEMI COVID-19

Azuan Helmi, S.H.,

Email: azuanhelmi@mail.ugm.ac.id Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada A. Posisi Kasus

Kebijakan anggaran pemerintah Indonesia di masa pandemi Covid-19 mengalami perubahan sangat dinamis. Bila di 2018 pemerintah sangat bangga dengan APBN tanpa perubahan, yang berarti perencanaan anggarannya mendekati kenyataan. Tidak demikian dengan APBN 2020. Dalam rentang tiga bulan, APBN 2020 diubah dua kali. Perubahan nampak pada postur Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan Negara. Terjadi pelebaran defisit anggaran yang sangat signifikan, dari minus Rp307,22 triliun (1,76 persen) menjadi minus Rp1.039,21 triliun (6,34 persen) terhadap PDB. Konsekuensinya, pemerintah wajib memikirkan upaya menutup defisit anggaran, termasuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang mengalami pembengkakan hingga 58 persen dari rencana semula.

Pemerintah sebenarnya punya cukup pilihan untuk menutup defisit anggaran tersebut.

Dan setiap pilihan pasti punya risiko. Risiko paling ringan dan tidak terlalu membebani fiskal dalam jangka panjang wajib dipilih. Misalnya melakukan tracking terhadap potensi pendapatan yang masih bisa digali, baik dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Atau melalui penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) pendidikan dan kesehatan yang selama ini kurang efektif, penggunaan Sisa Lebih Anggaran tahun lalu, pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN, dan efisiensi belanja Kementerian/Lembaga (K/L).

(2)

Pada perubahan pertama APBN 2020, pemerintah sebenarnya mampu melakukan efisiensi belanja K/L hingga Rp73,3 triliun, namun ini tergolong kecil dibanding total kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 dan PEN yang mencapai Rp695,2 triliun. Alternatif lain, menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Meski mempunyai risiko tinggi dalam jangka panjang, kebijakan ini justru sering menjadi pilihan utama pemerintah. Pemerintah seakan ingin mencari jalan paling mudah dan cepat.

Dalam kondisi normal, perubahan APBN disusun melalui mekanisme perubahan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR untuk dibahas. Pada saat pandemi ini, proses penetapan perubahan APBN 2020 hampir tanpa campur tangan DPR yang notabene mempunyai fungsi budgeting.

DPR memang dilibatkan saat mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, namun hanya sebatas pengesahan, hampir tanpa pembahasan yang berarti. Di sinilah terlihat kelemahan ‘power’ DPR di hadapan pemerintah. Penetapan perubahan APBN 2020 juga alpa terhadap keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS). Pemerintah sepertinya enggan menyelenggarakan konsultasi publik (public consultation) untuk mencari masukan terhadap pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya. Kondisi kemendesakan selalu dijadikan alasan pembenaran pemerintah.

Pada perubahan pertama APBN 2020 mungkin masih bisa ditoleransi mengingat pemerintah dituntut mengambilan kebijakan anggaran yang cepat dan terukur di masa awal pandemi. Namun hal tersebut seharusnya tidak berlaku saat perubahan kedua. Akibatnya, banyak sekali kebijakan anggaran yang justru kontra produktif terhadap upaya pencegahan dan

(3)

penanganan dampak Covid-19, misalnya karut marut implementasi kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS) karena persoalan data penerima manfaat yang out of date, kebijakan Kartu Prakerja yang berpotensi konflik kepentingan dan korupsi, kebijakan PEN yang menafikan petani dan nelayan, dan lain sebagainya.

Seharusnya pemerintah melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi yang baru dibentuk mulai menyusun grand design penanganan Covid-19 lebih komprehensif dengan membuka diri terhadap masukan dari berbagai pihak, terutama organisasi masyarakat sipil (NGOs), perguruan tinggi, dan media yang konsen terhadap isu-isu kebijakan dan anggaran penanganan Covid-19. Banyak masyarakat sipil di tingkat nasional yang telah melakukan riset terkait efektivitas kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi yang perlu dijadikan bahan evaluasi pemerintah dan rujukan perbaikan kebijakan.

Suara dari daerah juga perlu didengar lebih saksama. Hal ini agar pemerintah pusat dapat mengambil kebijakan anggaran penanganan Covid-19 yang a-simetris antar daerah, bukan kebijakan anggaran ‘sapu jagat' seperti sekarang. Perbedaan kapasitas fiskal, tingkat ketergantungan terhadap dana transfer pusat, dan tinggi-rendahnya prevalensi masyarakat yang terpapar Covid-19 patut menjadi basis evaluasi dalam pengambilan kebijakan anggaran.

Sinergi kebijakan pusat dan daerah juga menjadi hal yang krusial untuk dibahas bersama, terutama dalam rangka percepatan penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi ke depan.

Terakhir, pemerintah dan antar pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran penanganan Covid-19 untuk mereplikasi atau mengadopsi inovasi penanganan Covid-19 yang dikembangkan oleh suatu daerah.

(4)

B. Permasalahan Hukum

Pada awal bulan Maret 2020 Pemerintah Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa pandemi covid-19 telah menimbulkan korban bagi masyarakat Indonesia, dari waktu ke waktu jumlah korban yang terpapar covid-19 semakin bertambah, semakin membahayakan dan mengancam kesehatan masyarakat. Hal tersebut menimbulkan dampak tidak hanya bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada sektor-sektor yang lain, termasuk sektor perekonomian sehingga mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat, tepat, dan akurat dalam penanganan pandemi covid-19. Langkah-langkah pemerintah dalam penanganan pandemi covid- 19 tersebut dilakukan dengan memadukan penggunaan kewenangan peraturan perundang- undangan, peraturan kebijakan, tindakan badan dan pejabat pemerintahan, serta dukungan birokrasi sebagai organ pelaksana kebijakan.

Dalam penanganan pandemi covid-19 Presiden mengambil kebijakan dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 31 Maret 2020. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut ditetapkan sebagai instrumen yuridis dalam penanganan covid-19 karena telah terbukti pandemi covid-19 memberi dampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Untuk itu diperlukan upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring

(5)

pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), negara berperan aktif dalam mencampuri kehidupan sosial ekonomi rakyatnya dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. W. Riawan Tjandra mengutip pendapat Asshiddiqie yang menyatakan bahwa bahwa dalam konsep negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi ‘negara intervensionis’ abad ke 20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Walhasil dengan intervensi ini fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus seperti

‘social security’, kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan, dan pelatihan serta perumahan.

Penanganan pandemi covid-19 melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sangat diperlukan karena pandemi covid-19 telah membawa implikasi berdampak bagi kesehatan, perekonomian, sosial, dan lain-lain yang pada akhirnya menggerus kesejahteraan rakyat. Dalam Penjelasan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara singkat antara lain dapat dirumuskan antara lain:

a. Pandemi covid-19 secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa dampak bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

b. Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi pada perubahan dalam postur anggaran (APBN) tahun 2020, baik dari sisi pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan.

(6)

c. Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi covid-19, antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat, dan menjaga aktivitas usaha. Tekanan sektor keuangan berpengaruh pada APBN, terutama sisi pembiayaan.

Untuk menangani Covid-19, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu ini ternyata tidak hanya mengatur Covid-19 saja, tetapi juga mengatur Stabilitas Sistem Keuangan.

Karena dalam Perpu ini terdapat kata “dan/atau”, yang dalam hal ini jika kita artikan, maka kata tersebut dapat menangani Covid-19 dan bisa juga tidak terkait dengan Covid-19. Sebagai contoh dalam hal ini, yaitu apabila Covid-19 telah berlalu dan dampak ekonominya masih ada, maka Perpu ini masih bisa digunakan sampai dengan Tahun Anggaran 2023.

Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam putusannya nomor 003/PUU-III/2005 bahwa

"kegentingan yang memaksa" menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukan yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Frasa

“kegentingan yang memaksa” kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan ratio decidendi putusan tersebut, terdapat tiga parameter untuk menentukan kondisi kegentingan yang memaksa, yakni: 1) Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang- Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; 3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup

(7)

lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan norma konstitusional di atas, maka ketika presiden merasa terdapat suatu kejadian yang dianggap genting dan harus ditangani dengan segera, maka berdasarkan subjektifitasnya Presiden dapat menetapkan Perppu. Namun, pada persidangan DPR berikutnya, Perppu tersebut harus disidangkan untuk disetujui atau ditolak. Adapun kegentingan yang mendorong Pemerintah menetapkan Perppu stabilitas keuangan ini tentu karena pandemi yang tidak pernah diduga sebelumnya telah menginfeksi seluruh provinsi di Indonesia. Maka, sangatlah rasional pemerintah mempertimbangkan bahwa pandemi yang menyebabkan darurat kesehatan masyarakat ini, juga telah melumpuhkan kegiatan dunia usaha dan berdampak pula terhadap penurunan penerimaan negara serta peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan belanja negara yang pada intinya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Sorotan penulis terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak terlepas dari keberadaan pasal 27. Pasal ini menjadi kontroversial karena mengatur tiga hal pokok yang dianggap bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Pertama, mengenai ketentuan kerugian negara. Kedua, KSSK tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketiga, tindakan/keputusan berdasarkan Perppu tersebut bukan merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pertama mengenai “kerugian negara”, pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Kontroversi muncul karena seluruh biaya yang dikeluarkan Pemerintah/ KSSK tidak dapat

(8)

dikategorikan sebagai kerugian negara namun merupakan “biaya ekonomi.” Beberapa kalangan menganggap pengecualian tersebut untuk menghilangkan salah satu unsur esensial dalam tindak pidana korupsi yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Pemberantasan tindak pidana korupsi (UU Tipikor). Sehingga, pasal ini dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk melancarkan suatu tindak pidana korupsi.

Jika dilakukan analisa terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”. Dan pasal 3 UU Tipikor yang menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara....” Maka berlandaskan pemahaman bahwa pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah bergeser dari delik formil ke delik materil, dapat dipahami adanya kerugian negara yang menjadi salah satu unsur tindak pidana korupsi haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atau kerugian negara tersebut akibat penyalahgunaan kewenangan secara melawan hukum dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Hal senada tertuang dalam definisi Kerugian negara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara pasal 1 angka 22 menggariskan Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Menurut penulis, frasa akibat perbuatan melawan hukum yang terkandung pada norma pasal tersebut memiliki makna bahwa tidak semua kondisi berkurangnya uang, surat berharga, dan barang milik

(9)

negara dinyatakan sebagai kerugian negara. Kondisi tersebut harus merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum untuk dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menyadari tidak selalu berkurangnya keuangan/kekayaan negara diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum. Begitu pula tidak selamanya perbuatan yang merugikan keuangan negara dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, seperti halnya kesalahan administratif yang merugikan keuangan negara.

Artinya, selama biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka biaya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara dan tidak menjadi unsur tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, tentu ketika biaya untuk melaksanakan berbagai kebijakan tersebut dilakukan secara melawan hukum, maka baik UU Tipikor maupun UU Pembendaharaan Negara berlaku untuk menjerat perbuatan tersebut.

C. Pembahasan

Mahfud MD memaknai politik hukum sebagai legal policy atau garis kebijakan resmi dan sah tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara.22 Dalam menentukan hukum yang telah dan akan ditetapkan, politik hukum memberikan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan tujuan negara sebagaimana yang termuat di dalam alinea ke- 4 UUD 1945. Termasuk juga politik hukum yang harus diterapkan Pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19, apakah sudah memenuhi tujuan negara atau belum.

Dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19, Pemerintah Indonesia telah membuat

(10)

politik hukum dengan mengeluarkan berbagai produk hukum di antaranya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perppu 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2 Tahun 2020 merupakan pengesahan atau penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang- undang. Dalam hal ini yang perlu dikaji adalah legal reasoning dan legal necessity dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020, apakah Perppu tersebut telah memenuhi syarat-syarat untuk diterbitkannya suatu Perppu.

Pembentukan Perppu merupakan kewenangan atribusi yang diberikan Pasal 22 UUD 1945 kepada Presiden untuk menyelesaikan suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa. Meskipun tidak ada regulasi yang jelas dalam UUD 1945 maupun Undangundang mengenai syarat-syarat kapan suatu Perppu dapat diterbitkan oleh Presiden. Namun, ada pendapat profesor tata negara yaitu Jimly Ashiddiqie yang mensyaratkan kapan suatu Perppu dapat diterbitkan, diantaranya: 1) Adanya alasan mendesak untuk bertindak secara cepat (reasonable necessity), 2) Terdapat krisis waktu, 3) Tidak tersedia alternatif lain. Selain itu Vernon Bogdanor, sebagaimana yang dikutip oleh Janpatar Simamora dalam artikelnya yang berjudul “Multitafsir Pengertian Ihwal Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan PERPPU” pada jurnal mimbar hukum, juga menyebutkan ada tiga kondisi darurat yang dapat menimbulkan hal ihwal kegentingan memaksa di antaranya darurat perang, darurat sipil, dan darurat internal (innere not stand). Dengan demikian merujuk pada pendapat Vernon Bogdanor, pada prinsipnya keadaan daruratlah yang menyebabkan

(11)

lahirnya hal ihwal kegentingan memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945. Dalam kasus ini keadaan darurat yang dimaksud adalah wabah Corona Virus Disease (COVID-19). COVID-19 sebagai pandemi yang bersifat extraordinary karena penyebarannya yang masif telah menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pandemi tersebut juga berdampak kepada deselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, anjloknya penerimaan negara, dan peningkatan beban belanja negara. Dengan pertimbangan tersebut Pemerintah menganggap perlu diterbitkannya Perppu sebagai upaya untuk melakukan proteksi terhadap kondisi perekonomian nasional, dengan fokus utama pada kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan.

Mengenai kebijakan keuangan negara, Pasal 2 ayat 1 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menetapkan defisit anggaran melampaui 3%

dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan COVID-19 dan atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Ayat selanjutnya pemberian kewenangan bagi Pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran sesuai skala prioritas demi pemulihan ekonomi. Dalam bidang perpajakan pasal 8 Perppu tersebut memberikan relaksasi berupa perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta pembebasan/keringanan bea masuk akibat adanya pandemi COVID-19. Dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi nasional, Pasal 11 Perppu tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah melalui penyertaan modal negara atau penempatan dan/atau investasi Pemerintah guna memproteksi, menjaga dan menaikkan kemampuan ekonomi (economic capability) para pelaku usaha baik pada sektor riil maupun sektor keuangan.

Lahirnya Perppu tersebut merupakan politik hukum yang diambil Pemerintah untuk stabilisasi keuangan negara dan mencegah penyebaran wabah COVID-19. Akan tetapi, Perppu tersebut mengandung potensi-potensi yang dapat merusak praktik ketatanegaraan di Indonesia.

(12)

Pertama, Perppu ini berpotensi mengarah kepada kekuasaan yang tidak terbatas (absolute power) dalam pembentukan suatu regulasi oleh Presiden. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1/2020 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang diatur dengan atau Peraturan Presiden. Aspek positif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN, dengan Peraturan Presiden memberikan legitimasi kepada Pemerintah untuk bergerak cepat dan responsif untuk menjaga sistem keuangan dan perekonomian nasional dari ancaman COVID19.

Adapun aspek negatif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN melalui Peraturan Presiden telah melanggar praktek ketatanegaraan selama ini yang mana perubahan postur maupun perubahan defisit anggaran dilakukan dengan APBN-P yang membutuhkan persetujuan (consent) DPR selaku representasi rakyat di Parlemen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Norma Pasal 2 ayat (1) huruf a Perppu 1/2020 juga menetapkan batas defisit APBN lebih dari 3%, namun Perppu tersebut tidak menjelaskan berapa maksimal batas defisit APBN yang diperbolehkan selama kondisi pandemi. Perubahan postur anggaran berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 telah menyebabkan defisit anggara sebesar 5,07 persen, dan Perubahan postur anggaran berdasarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2020 diperkirakan defisit menjadi 6,34 persen.

Membengkaknya defisit APBN tersebut ditetapkan Pemerintah tanpa adanya persetujuan dari DPR. Selain itu APBN yang ditetapkan berdasarkan Perppu tersebut bisa menjangkau hingga tahun 2023. Padahal sebagaimana yang diketahui, APBN adalah suatu Undang-Undang yang brsifat periodik karena setiap tahun Undang-Undang APBN direvisi (amandment) sesuai dengan kondisi dan dinamika ekonomi Indonesia.

(13)

Kedua, norma Pasal 27 Perppu No. 1/2020 dicurigai memberikan kekebalan hukum (law imunity) kepada pembuat kebijakan yang diatur dalam Perppu No. 1/2020, salah satunya yaitu pengguna anggaran. Semua tindakan maupun keputusan yang dibuat tidak dapat dituntut baik secara perdata, pidana maupun tata usaha negara. Tentunya norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Ketiga, Perppu tersebut juga tidak menjelaskan secara spesifik politik hukum Pemerintah

dalam bidang kesehatan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang diambil dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Pada Perppu ini, tidak terlihat secara nyata bagaimana kebijakan kesehatan publik (public health policy) yang diharapkan masyarakat dalam mengendalikan wabah COVID-19 ini.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Politik Hukum yang dipilih Pemerintah Indonesia berupa PSBB dan physical distancing dalam penanganan COVID19 belum maksimal dalam melindungi hak kesehatan masyarakat Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) serta (3) UUD NKRI Tahun 1945. Hal ini terlihat dari jumlah kasus COVID-19 di Indonesia saat ini sudah mencapai 1 juta kasus. Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang jumlah kasus COVID-19 telah mencapai 1 juta kasus dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Produk hukum yang dikeluarkan seperti Perppu 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan memberikan kewenangan kepada Presiden untuk melakukan perubahan postur dan/atau

(14)

rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang diatur dengan atau Peraturan Presiden. Aspek positif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN, dengan Peraturan Presiden memberikan legitimasi kepada Pemerintah untuk bergerak cepat dan responsif untuk menjaga sistem keuangan dan perekonomian nasional dari ancaman COVID19. Aspek negatif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN melalui Peraturan Presiden telah melanggar praktek ketatanegaraan selama ini yang mana perubahan postur maupun perubahan defisit anggaran dilakukan dengan APBN-P yang membutuhkan persetujuan (consent) DPR selaku representasi rakyat di Parlemen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undangundang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga tidak efektif dalam penangulangan COVID-19. Dipilihnya PSBB dari pada karantina wilayah sebagai kebijakan yang diambil Pemerintah dicurigai sebagai manuver hukum guna menghindari tanggung jawab Pemerintah terhadap rakyat, di mana jika kebjiakan yang diambil adalah Karantina Wilayah, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya dan hewan ternak yang berada di wilayah karantina sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Sedangkan dalam kebijakan PSBB Pemerintah tidak wajib untuk menyediakan pemenuhan kebutuhan pokok sebagaimana dalam ketentuan normatif PP a quo.

Seharusnya sejak awal kasus COVID-19 masuk ke negara Indonesia, Pemerintah Indonesia meniru bagaimana keberhasilan China melakukan lockdown parsial di Provinsi Hubei, Wuhan yaitu dengan menerapkan lockdown parsial di Provinsi Jakarta sebagai epicentrum pandemi COVID-19 di Indonesia sehingga virus tersebut tidak menyebar ke provinsi lain. Dengan adanya lockdown parsial di Jakarta, maka Pemerintah dapat lebih fokus dalam penanganan virus COVID-

(15)

19 karena hanya Jakarta yang positif corona sedangkan provinsi-provinsi lain tetap dapat melaksanakan aktivitas seperti biasa dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai langkah antisipasi.

Mengenai persoalan ekonomi, dengan hanya Jakarta yang di lockdown, roda perekonomian di 33 provinsi lain akan tetap berjalan normal, tentunya provinsi lain maupun Pemerintah Pusat perlu saling bekerja sama dalam membantu perekonomian Jakarta yang terkena lockdown.

Terhadap potensi ancaman virus dari negara lain Pemerintah dapat meniru Selandia Baru yang menutup semua akses perjalanan baik bandara, pelabuhan maupun perbatasan, serta melarang warga negara asing masuk ke Selandia Baru. Kebijakan tersebut terbilang berhasil, di mana jumlah kasus COVID-19 di Selandia Baru dari pertengahan tahun 2020 sampai dengan 28 Januari 2021 hanya 2.299 kasus.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan kewenangan diskresi konstitusional sebagai hak Presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa berkaitan dengan pandemi covid-19, Presiden telah menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai produk hukum sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan yang dipadukan dengan peraturan kebijakan sebagai dasar teknis operasional dalam penanganan pandemi covid-19, tentunya didukung oleh birokrasi sebagai pelaksana kebijakan. Diskresi yang dimiliki Presiden dan pejabat pemerintahan merupakan kebijakan strategis yang berupa keputusan dan/atau tindakan dalam mengatasi persoalan konkret yang mendesak yang membutuhkan penanganan segera.

DAFTAR PUSTAKA

Einstein, Tigor, Muhammad Ishar Helmi, and Ahmad Ramzy. ‘Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Perspektif Ilmu Perundang-Undangan’.

SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 7 (2020): 595–612.

(16)

Hidayat, Rif’atul. ‘Hak Atas Derajat Pelayanan Kesehatan Yang Optimal’. Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran 16, no. 2 (2017): 127.

Indah Fitriani, Nur. “ Tinjauan Pustaka COVID-19: Virologi, Patogenesis, dan Manifestasi Klinis”, Jurnal Medika Malahayati, Vol. 4, Nomor 3, Juli 2020, h. 195-201.

Mahfud MD. Pengantar Buku, Pataniara Siahaan, Politik Hukum Pembentukan UU Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Konpress, 2012.

Mei Susanto and Teguh Tresna Puja Asmara, ‘Ekonomi versus Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan COVID-19: Dikotomi Atau Harmonisasi’, Jurnal HAM 11, no. 2 (2020): 301.

Mardiansyah, Rico. ‘Dinamika Politik Hukum Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Di Indonesia’. Veritas et Justitia 4, no. 1 (2018): 227–251.

Simamora, Janpatar. ‘Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan Perppu’. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 22, no.

1 (2010): 58–70.

Darumurti, Krishna Djaya 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

HR, Ridwan, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Marbun, SF dan Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta:

Liberty.

Tjandra, W Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.

Arsil, Fitra. 2018. “Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara Presidensial”.

Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 48 No. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan

Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas

Undang-undang pertama yang dikeluarkan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

Bahwa dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem

partai politik yang bersumber dari APBN dan APBD diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Tentang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan