• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Alih Teknologi Dalam Pengadaan Alutsista Sebagai Upaya Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Yuridis Alih Teknologi Dalam Pengadaan Alutsista Sebagai Upaya Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Yuridis Alih Teknologi Dalam Pengadaan Alutsista Sebagai Upaya Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional

Alif Fadillah Oemry

Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, E-mail: aliffadillahoemry@gmail.com

Abstrak

Industri pertahanan merupakan industri strategis yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Industri pertahanan Indonesia perlu direvitalisasi untuk mendukung kepentingan pertahanan dan keamanan dalam negeri serta mendorong perekonomian negara. Salah satu upaya pemerintah untuk merevitalisasi industri pertahanan adalah transfer teknologi alutsista melalui pengadaan alutsista dari negara lain. Transfer teknologi diperlukan untuk mempercepat proses pengembangan sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam penelitian dan penelitian teknologi pertahanan dalam menghasilkan produk alutsista yang inovatif. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang didukung oleh data primer. Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis pentingnya alih teknologi khususnya dalam bentuk regulasi hukum dalam proses revitalisasi industri pertahanan nasional, upaya pemerintah terkait hukum dalam mengembangkan industri pertahanan untuk mewujudkan kemandirian pengadaan alutsista dan menemukan mengetahui dan menganalisis efektivitas peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam mendukung revitalisasi industri pertahanan negara melalui alih teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum alih teknologi sangat penting untuk melindungi hak kekayaan intelektual pemilik teknologi sehingga pemilik teknologi mengizinkan alih teknologi, Pemerintah menggunakan konsep tiga pilar pelaku industri pertahanan dalam pembuatannya. upaya pengembangan industri pertahanan nasional serta peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam upaya revitalisasi dan industri pertahanan cukup efektif untuk mewujudkan tujuan revitalisasi industri pertahanan meskipun masih belum optimal.

Kata Kunci: Transfer Teknologi, Alutsista, Revitalisasi, Industri Pertahanan.

Abstract

The defense industry is a strategic industry that has links with the interests of national defense and security. Indonesia's defense industry needs to be revitalized to support domestic defense and security interests and boost the country's economy. One of the government's efforts to revitalize the defense industry is the transfer of defense equipment technology through the procurement of defense and security equipment from another country. Technology transfer is needed to accelerate the development process so that it does not require a long time in research and defense technology research in producing innovative defense equipment products. This research uses normative legal research supported by primary data. This research will study and analyze the importance of technology transfer, especially in the form of legal regulations in the process of revitalizing the national defense industry, government efforts related to law in developing the defense industry to realize the independence of defense equipment procurement and to find out and analyze the effectiveness of legislation in Indonesia in supporting industrial revitalization national defense through technology transfer. The results of research showed that the legal regulation of technology transfer is very important to protect the intellectual property rights of the technology owner so that the technology owner allows technology transfer, The government uses the concept of the three pillars of the defense industry players in making efforts to develop the national defense industry and the laws and regulations used in the revitalization effort and the defense industry is effective enough to realize the objectives of the revitalization of the defense industry even though it is still not optimal.

Keywords: Technology Transfer, Defense Equipment, Revitalization, Defense Industry.

Cara Sitasi:

Oemry, A.F, (2021), “Analisis Yuridis Alih Teknologi Dalam Pengadaan Alutsista Sebagai Upaya Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol . 2, No.2, Juni, Pages: 322-329.

ISSN ONLINE: 2745-8369

(2)

A. Pendahuluan

Sektor industri memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian nasional, terutama dalam peranannya sebagai sumber ekonomi nasional khususnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. lebih khusus lagi, sektor industri mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan dalam perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor berbagai produk hasil industri. Dari sekian banyak cabang industri, ada sejumlah industri yang karena karakteristik industrinya memiliki fungsi yang strategis bagi bangsa dan negara Indonesia.

Industri pertahanan nasional merupakan salah satu industri yang dikategorikan sebagai industri strategis, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang dimaksud industri strategis terdiri atas industri yang memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis dan mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. Berdasarkan pemahaman ruang lingkup industri strategis yang diatur oleh undang-undang perindustrian, maka industri pertahanan dikategorikan sebagai industri strategis.

Perkembangan dan pembangunan industri pertahanan saat ini menunjukkan ada tiga model utama:

kemandirian, produksi ceruk dan model rantai logistik global. Model kemandirian diterapkan oleh suatu negara yang berambisi 'mendapatkan kemandirian pertahanan. Kemandirian pertahanan ini diukur dari kapasitas negara untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat sistem senjata, kapasitas finansial nasional untuk membiayai produksi sistem senjata, dan kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri. Model ini akan tercapai jika suatu negara mampu memiliki minimal 70 persen kapasitas teknologi, finansial, dan produksi sistem senjata. Untuk mencapai kemandirian pertahanan, suatu negara harus mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang. Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak dari rencana China untuk memproyeksikan diri. menjadi kekuatan hegemonik pada tahun 2050.

Model kedua adalah model produksi ceruk yang cenderung diterapkan oleh negara yang berupaya mengurangi 'ketergantungan senjata terhadap produsen luar negeri. Caranya dengan mengembangkan kapasitas nasional untuk menguasai teknologi militer utama. Penguasaan teknologi militer ini terutama diarahkan untuk membantu negara tersebut mengembangkan delapan sistem senjata konvensional.

Model rantai produksi global merupakan model ketiga, yang cenderung dilakukan oleh Negara- negara dengan basis militer yang mapan tapi tidak memiliki akses besar terhadap pasar senjata internasional yang menyebabkan negara-negara tersebut melakukan proses rasionalisasi produksi alutsista dengan cara mengintegrasi produksi senjatanya ke suatu konsorium industri pertahanan global. Pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan beserta beberapa peraturan tambahan lainnya diharapkan kedepannya dapat mendukung proses revitalisasi industri pertahanan.

Akan tetapi timbul pertanyaan apakah undang-undang tersebut telah benar-benar mendukung proses alih teknologi dan sejauh mana upaya pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut. Hal ini patut dipertanyakan karena alih teknologi alutsista bukanlah perkara mudah karena faktor kerahasiaannya.

Secara khusus alih teknologi alutsista dari luar negeri mengalami beberapa hambatan internal yaitu:

1.

Masalah alih teknologi asing sangat bergantung dengan jumlah alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia.

2.

Infrastruktur untuk menunjang alih teknologi masih sangat lemah. Seperti lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan lembaga pendidikan inovasi alih teknologi di kalangan pelajar.

3.

Diperlukan waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) untuk mempersiapkan sumber daya manusia untuk melakukan penguasaan teknologi yang tinggi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sesuai dengan jenis dan sifat penelitiannya, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal ilmiah, makalah dan artikel ilmiah yang dapat memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.1 Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

1 Zainuddin dan Rahmat Ramadhani, “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2, (2021): p. 244.

(3)

penelitian kepustakaan (library research),2 dengan analisis data dilakukan secara kualitatif.3 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalahnya adalah dengan melakukan pendekatan hasil kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan berdasarkan asas-asas hukum dan merumuskan definisi hukum.4

B. Pembahasan

1. Analisis Pentingnya Kebijakan Hukum Alih Teknologi Alutsista Dalam Proses Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional

Hukum internasional dan hukum nasional negara-negara pada saat ini umumnya sudah mengakui dan memberi perlindungan terhadap kepemilikan atas teknologi. Melalui berbagai macam hak seperti paten, kepemilikan atas teknologi dijamin dari setiap penggunaan yang melanggar hukum. Pada umumnya pemilik dari suatu teknologi tertentu berhak secara eksklusif dalam penggunaan teknologi miliknya dalam memproduksi suatu produk. Akan tetapi perlindungan teknologi yang sangat eksklusif oleh suatu negara dapat menghambat alih teknologi dikarenakan pemilik teknologi berusaha melakukan monopoli manfaat dari teknologi dan menjaga keunggulan teknologi yang dimilikinya.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Achiar Oemry, yaitu :“Pemilik teknologi tidak akan dengan mudah memberikan rahasia teknologinya walaupum sudah terikat dengan perjanjian kerjasama alih teknologi, terkadang negara pemilik suatu teknologi akan memberikan kualitas teknologi yang kurang baik atau setingkat dibawah teknologi yang mereka miliki dengan cara memaparkan teknik pembuatan yang kurang tepat. Maka dibutuhkan peraturan hukum yang ketat apabila Pernyataan peneliti senior LIPI tersebut dapat disimpulkan bahwa peraturan hukum juga penting dibuat agar dalam proses alih teknologi, pemerintah harus memiliki aturan standar atau batasan dari pada tingkat kualitas teknologi yang akan diperoleh dalam rangka memenuhi kebutuhan pengembangan industri pertahanan. Teknologi yang dimiliki oleh negara maju, menurut mereka dapat diperjual belikan dan dipandang sebagai komoditi yang berusia pendek dan mahal. Oleh karena itu negara yang menginginkannya harus menyediakan dana yang mahal juga agar dapat menyerap teknologi dari negara maju, disamping itu diperlukan pula tenaga terampil yang dapat menyerap teknologi tersebut.

Di Indonesia belum terdapat Peraturan-perundang undangan yang mengatur berapa persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang di sediakan untuk kepentingan alih teknologi alutsista.

dengan kondisi kebutuhan teknologi yang tidak dapat ditunda maka salah satu alternatif adalah dengan mengadakan kerja sama yang didahului dengan pembelian alutsista dari luar negeri kemudian melakukan inovasi berdasarkan teknologi yang didapat dari luar negeri dan yang terakhir adalah pendanaan. Persyaratan kewajiban melakukan alih teknologi alutsista asing yang diatur oleh Indonesia menyebabkan negara penjual harus melakukan transfer teknologi militernya kepada Indonesia. Namun seperti yang sudah dibahas sebelumnya, negara pemilik teknologi tidak serta merta dengan mudah akan memberikan izin pengalihan teknologinya ke negara pembeli. Teknologi adalah komoditas mahal oleh karena itu harus memberikan keuntungan juga bagi pemilik teknologi. Terutama dalam hal perlindungan hak kekayaan intelektual dari teknologi yang negara penjual miliki. Oleh karena itu, biasanya negara pemilik teknologi melihat. bagaimana pengaturan hukum terkait hak kekayaan intelektual dari negara pembeli. Negara pemilik teknologi tentunya tidak mau dirugikan dengan pengaturan hukum perlindungan kekayaan intelektual dari negara pembeli.

Oleh karena itu terkait alih teknologi alutsista asing, Indonesia harus memiliki aturan hukum hak kekayaan intelektual yang dapat memastikan proses alih teknologi tidak menyalahi aturan dari Trade Related Aspects Intellectual Property Rights (TRIPs). Terakhir, apabila alih teknologi alutsista telah dapat dilakukan maka diperlukannya suatu aturan agar masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan, menguasai dan memajukan teknologi baru tersebut untuk kebutuhan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Oleh karena itu dibutuhkan keterlibatan lembaga penelitian dan perguruan tinggi agar dapat mengembangkan teknologi alutsista yang telah didapatkan. Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami bahwa keberadaan kebijakan hukum untuk alih teknologi melalui pengadaan alutsista dari luar

2 Rahmat Ramadhani, “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS:

International Journal Reglement & Society 1, No. 2, (2020): p. 33.

3 Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393

4 Rahmat Ramadhani, “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1, (2020): p. 2.

(4)

negeri sangat penting, oleh karena itu pemerintah memerlukan beberapa peraturan hukum yang terkait kebijakan alih teknologi alutsista asing untuk kepentingan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri yang dirangkum secara singkat dalam tabel dibawah ini :

Tabel. 1.

No. Peraturan Perundang-

Undangan

Ketentuan tentang

alih teknologi Pasal Keterangan

1. Undang- Kewajiban pengadaan Pasal 43 Untuk

Undang No 16 alat pertahanana dan Ayat 5 mewujudkan tahun 2012 keamanan produk luar huruf (c) kemandirian tentang industtri negeri yang

disertai

ketersediaan

pertahanan alih teknologi. alpahankam

oleh

industri pertahanan.

2. Undang- Pengembangan Untuk

Undang Nomor penyelenggaraan mewujudkan

11 Tahun 2019 penelitian, pendidikan kemajuan tentang

Sistem

dan penerapan dapat ilmu

Nasional Ilmu

dilakukan melalui alih pengetahaua

n Pengetahuan

dan Teknologi

teknologi secara komersial

dan nonkomersial dilaksanakan melalui

lisensi dan kerja sama

Pasal 28 dan Pasal 29

dan teknologi dalam

pembangunan nasional

3. Undang- Pemegang paten wajib Paten

Undang Nomor lakukan alih teknologi berperan 13 Tahun 2016 , paten dapat dialihkan strategis tentang Paten karena Perjanjian Pasal 20, dalam

Tertulis.

Pemerintah

Pasal 74, mendukung melaksanakan

sendiri

Pasal 109 pembanguna n

paten yang berkaitan dan Pasal serta untuk dengan Pertahanan dan 110 perlindungan

Keamanan meliputi pemilik

senjata api, amunisi

teknologi ,peralatan pertahanan

4. Undang- Hak desain

industri

Indonesia Undang Nomor dapat beralih/dialihkan telah 31 Tahun 2000 dengan perjanjian Pasal 31 ratifikasi

(5)

2. Upaya Pemerintah Terkait Hukum Dalam Membangun Industri Pertahanan Untuk Mewujudkan Kemandirian Pengadaan Alutsista Pada awalnya pemerintah berusaha agar industri strategis nasional dilebur

Dalam holding company PT Bahana Pakarya Industri Strategis melalui Keppres No 64/1998.

Tujuannya adalah untuk mengkonsolidasikan orientasi bisnis dan koorporasi industri strategis.

Kemudian pemerintah mencanangkan perubahan kebijakan nasional dari sektor pertanian ke sektor industri. Sekaligus fokus perhatian ditujukan kepada sepuluh Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) dengan berbagai harapan. BUMNIS tersebut diharapkan mampu. memacu proses industrialisasi dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, yang terjadi sebaliknya, hal ini tidak tertangani dengan baik, sesuai harapan yang diinginkan dan terjadi pemborosan (Higth Cost). Produk- produknya umumnya tidak mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan produk-produk sejenis dari negara-negara lain, sehingga sulit memperoleh pasar di luar negeri. Biaya produksi sangat tinggi, sehingga harga jualnya tidak kompetitif. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagian besar komponen bermuatan teknologi canggih, dan bahan baku masih tergantung dari negara lain, pengelolaan cenderung kurang efektif dan tidak efisien.

Menyikapi perkembangan global serta spektrum ancaman yang mungkin dihadapi, telah menuntut pemerintah untuk melakukan pemberdayaan segenap sumber daya nasional dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan negara, antara lain melakukan optimalisasi Industri Nasional (selain industri pertahanan) sebagai komponen pendukung. Untuk itu pemerintah memaksa industri untuk dituntut memiliki kemampuan khusus serta dapat menjamin ketersediaan produk yang dibutuhkan bagi industri pertahanan. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan rencana induk pembangunan nasional yang termuat dalam Bab III Rencana Induk Industri Pertahanan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dimana pelaksanaannya berdasarkan asas keterikatan antar industri untuk mendukung satu sama lainnya dan memberikan kestabilan pelaksanaan pembangunan industri yang tersirat dalam tujuan dari penyelenggaraan industri.

Pembangunan dan potensi pertahanan dan keamanan merupakan salah satu pilar terdepan demi mengamankan kepentingan dan tujuan nasional. Dengan demikian, urusan bidang pertahanan dan keamanan negara yang diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam artian, ketentuan tersebut secara jelas menggariskan bahwa segala aspek yang menyangkut Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara (Sishamkamneg) termasuk manajemen dan operasional pertahanan, pengembangan institusi dan personil, aspek pembiayaan dan anggaran adalah urusan, tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan terdiri atas kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang antara lain:

a. Kementerian Pertahanan berperan sebagai lembaga utama dalam prakarsa dan pengembangan industri strategis pertahanan.

b. Kementerian Keuangan berperan untuk memberikan masukan dan mengalokasikan anggaran agar pemberdayaan industri pertahanan dapat terdukung oleh pendanaan yang memadai, tidak bertentangan dan dilindungi oleh aturan yang sesuai.

c. Kementerian perhubungan, berperan untuk memberikan masukan dan bertanggungjawab agar pemanfaatan hasil produksi dapat digunakgn melalui kebijakan bidang transportasi pada umumnya dan mempunyai dampak positif bagi perkembangan industri nasional.

d. Kementerian Pendidikan Nasional, berperan untuk mengembangkan, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknoiogi pertahanan dan menyiapkan SDM sehingga pemberdayaan industri pertahanan dapat berjalan dengan efektif, berlanjut, berkesinambungan, meningkat dan berkembang sesuai tuntutan dan perkembangan lingkungan.

tentang Desain

tertulis. Pemegang hak hingga TRIPs dan Industri desain industri berhak Pasal 36 perlu

diatur memberikan

lisensi

dalam yang diatur

dalam

undang-

perjanjian tertulis. undang.

(6)

e. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), berperan untuk memberikan arahan dan alokasi anggaran agar pemberdayaan industri pertahanan selaras dan sesuai dengan pembangunan nasional dan terhindar dari penyimpangan serta mendukung tercapainya tujuan nasional Indonesia.

f. Badan kordinasi penanaman modal, berperan untuk memberikan masukan dalam rangka penanaman modal dalam negeri.

g. Kementerian Perdagangan berperan dalam memasarkan produk industri pertahanan.

h. Kementerian Energi & Sumber Daya Nasional mendukung penyediaan bahan energi dan mineral dalam rangka pengembangan industri pertahanan.

3. Analisis Efektifitas Regulasi Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional Melalui Alih Teknologi

Menentukan efektifitas dari suatu regulasi memiliki keanekaragaman dalam hal indicator, penilaian tingkat efektifitas, sehingga hal ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian. Akan tetapi secara umum efektifitas suatu hal dapat dipahami sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang ditetapkan. Mengutip dari Soerjono Soekanto, efektivitas hukum adalah efektif atau tidaknya suatu hukum yang ditentukan oleh lima faktor yaitu hukum, penegak hukum, sarana, masyarakat dan kebudayaan. Dalam pembangunan industri pertahanan dalam negeri, faktor yang dijadikan landasan efektifitas hukumnya adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan alih teknologi alutsista.

Berangkat dari pemahaman umum tersebut efektifitas dari suatu hal adalah pencapaian target dan tujuan. Maka efektifitas dari peraturan perundang-undangan diukur dari tujuan dan pencapaian yang ingin di dapatkan dari pembentukan undang-undang yang menjadi landasan dilakukannya revitalisasi industri pertahanan melalui alih teknologi alutsista, yaitu tujuan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Di mana tujuan dari peraturan tersebut terdapat dalam Pasal 3, yaitu :

a. mewujudkan Industri Pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif;

b. mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan; dan

c. meningkatkan kemampuan memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan, dalam rangka membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.

Oleh karena itu tujuan dari undang-undang industri pertahanan dijadikan indikator efektif atau tidaknya suatu perundang-undangan dalam alih teknologi alutsista. Kemudian berdasarkan 3 indikator yang telah di sampaikan diatas maka dapat dibuat tabel agar mempermudah memahami efektifitas dari undang-undang industri pertahanan dalam revitalisasi industri pertahanan nasional.

C. Penutup

Alih teknologi alutsista untuk industri pertahanan dalam negeri berperan penting untuk mempercepat proses pembangunan yang seharusnya membutuhkan waktu puluhan tahun. Penanaman modal asing terhadap BUMN tidak dapat digunakan dalam upaya alih teknologi alutsista asing karena terdapat larangan dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri pertahanan yaitu “kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya di miliki oleh negara”.

Sehingga pemerintah Indonesia menggunakan undang-undang paten dalam melakukan alih teknologi dengan cara melaksanakan lisensi paten untuk mendapatkan teknologi yang di inginkan atau dengan metode ofset imbal dagang. Pemerintah juga sudah memberikan perlindungan hukum bagi pihak asing pemilik hak kekayaan intelektual yang karyanya di pergunakan dalam kegiatan alih teknologi. Dasar hukumnya merujuk pada TRIPs dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Pemerintah Indonesia menuntut industri nasional untuk memiliki kemampuan khusus serta dapat menjamin ketersediaan produk berupa komponen dan bahan baku yang dibutuhkan bagi industri pertahanan. yang termuat dalam Bab III Rencana Induk Industri Pertahanan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Kemudian Pemerintah berusaha melibatkan berbagai unsur pengguna, pemproduksi, perancang, penguji, peneliti yang kompeten serta dengan perencanaan bisnis yang matang. Upaya menyinergikan industri pertahanan nasionaL dilakukan dengan konsep tiga pilar pelaku industri pertahanan terdiri atas pemerintah, pengguna, dan produsen, Ketiganya sebagai pilar utama yang saling terkait untuk itu diintegrasikan didalam sistim revitalisasi industri pertahanan, yaitu pemerintah (Kementerian), produsen (Industri Strategis) dan pengguna (TNI dan Polri). Pemerintah juga

(7)

mengupayakan sinergi antar produsen industri pertahanan agar mendorong industri senjata terus berkembang hingga mampu meningkatkan ekspor. Pemerintah juga menggunakan dua strategi untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi ekspor alutsista ke mancanegara berupa strategi keunggulan komperatif, yakni mengutamakan kapasitas produk-produk yang mampu bersaing dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah dan strategi keunggulan kompetitif, yakni mengutamakan kapasitas produk-produk yang memang hanya diproduksi oleh pabrik alutsista di Indonesia. Tolak ukur efektivitas dari regulasi revitalisasi industri pertahanan melalui alih teknologi adalah tercapainya target dan tujuan dari peraturan terkait. Dalam hal ini indikator keberhasilannya terdapat dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pertama, ndustri pertahanan yang efektif, efesien, terintegrasi dan inovatif, pemerintah telah melakukan integrasi antar lembaga litbang di Indonesia untuk mewujudkan industri pertahanan yang efektif dan efesien, kemudian telah menghasilkan inovasi dalam tujuh program prioritas industri pertahanan walaupun mengalami penundaan program jet tempur KFX./KFI. Kedua, kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan. Dengan pelaksanaan kebijakan dari regulassi industri pertahanan pemerintah melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan telah menghasilkan perusahaan-perusahaan pertahanan nasional yang sudah mampu memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara dengan banyaknya jenis produk alutsista yang dihasilkan. Akan tetapi dalam penyediaan komponen dan bahan baku untuk pembuatan produk alutsista, industri pertahanan masih banyak kekurangan karena industri penghasil produk alutsista masih mengimpor beberapa komponen dari luar negeri karena industri komponen pendukung Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan bahan produksi alutsista. Ketiga, peningkatan kemampuan produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan. Pemerintah telah berperan memberikan kucuran dana berupa penanaman modal negara pada perusahaan pertahanan dalam perluasan pabrik dan moderinisasi alat produksi untuk meningkatkan produksi industri pertahanan.

Akan tetapi belum semua alat produksi industri pertahanan dapat diganti.

Daftar Pustaka

Achmad Dirwan, 2011, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis Untuk Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM.

Amiruddin, Zainal, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.

Bismar Nasution, 2004,“Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Makalah, disampaikan pada pidato pengukuhan guru besar Universitas Sumatera Utara.

Dworkin, Ronald, 1973, Legal Research, Spring : Daedalus.

Fajar ND, Mukti, Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum normatif dan Hukum Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

HS, Salim dan Erlies Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo.

http://lipi.go.id/, Diakses 11 Mei 2020.

Jonathan, Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Luhut pandjaitan, 2016, menciptakan stabilitas pertahanan melalui pemerataan ekonomi”, Makalah

seminar di Universitas Indonesia , Jakarta.

Maulana, Insan, 1996, Lisensi Paten, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penelitian.

Pertahanan, Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, S.T, M.Sc. Pada hari selasa tanggal 15 september 2019.

Ramadhani, Rahmat. (2020). “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS: International Journal Reglement & Society 1, No. 2.

Ramadhani, Rahmat. (2020). “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1.

Ruslan, Rosdy, 2003 Metode Penelitian Publik, Surabaya: PT. Raja Grafindo Persada.

Silalahi, Daud, 1997, Rencana Undang-Undang Alih Teknologi Perbandingn Perspektif, Jakarta:

Prisma.

Soekanto Soejono, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

(8)

Sri Mamudji dan Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif , Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tubagus Hassanudin, Pemenuhan Alutsista dan Kemandirian Industri Pertahanan, Majalah Pertahanan edisi 2, 2018.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Sumber/Bahan Informasi Dapat Merupakan Bahan Bukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier, Jakarta:

Sinar Grafika.

Widjajanto, 2005, Kemandirian Industri pertahanan, Kompas, 26 april, 2012 Wawancara dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan,kementerian Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zainuddin dan Rahmat Ramadhani. (2021). “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya dalam model berkelanjutan, dua dari faktor kontekstual adalah terkait tata kelola (kepentingan pemerintah dalam partisipasi inklusif dan dalam memastikan

 Melakukan gerakan pemanasan yang berorientasi pada kegiatan inti  Mendemonstrasikan materi inti yang akan dilakukan/dipelajari.. B Kegiatan

Hambatan dalam pelaksanaan program pembudayaan NKKBS dimasyarakat adalah adanya pandangan orang tua terhadap anak dalam keluarga, dimana anak selain merupakan kebanggaan orangtua

Setelah mengkaji proses pembelajaran yang dilakukan tentang keterampilan guru, aktivitas siswa dan keterampilan berpidato yang diperoleh siswa dalam pembelajaran

Kepada panita pengadaan Kabupaten Subang : Mengingat ini adalah Lelang Ulang, apakah Surat Dukungan, Brosur dan Jaminan Penawaran yang lama masih bisa digunakan kembali?...

Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan dan Entitas Anak untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2016 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Satrio Bing

kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik.. daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan literatur- literatur yang telah dikemukakan di atas yang menunjukkan pentingnya publikasi laporan keuangan auditan sebagai