• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1.1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

Menjalankan rutinitas hidup tidak bisa dipisahkan dengan komunikasi. Misalnya, di lingkungan sekolah terjadi tanya jawab diantara guru dengan siswa di kelas, pertukaran pendapat antara guru dan guru di kantor, dan pertukaran cerita antara siswa dan siswa di luar kelas. Semua komunikasi ini pasti membutuhkan sarana, dan sarana komunikasi itu adalah bahasa.

Bahasa merupakan sistem tanda bunyi arbitrer yang dipakai anggota kelompok sosial untuk melakukan kerja sama, berkomunikasi, dan memperkenalkan diri mereka sendiri. Bahasa mempunyai peran yang penting pada saat berkomunikasi dengan manusia. Bahasa adalah pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Penggunaan alat komunikasi lain selain bahasa dalam kehidupan manusia dimungkinkan, tetapi dibandingkan dengan alat komunikasi lainnya, bahasa adalah alat komunikasi terbaik.

Bahasa digunakan dalam segala aktivitas kehidupan manusia.

Pada sistem pendidikan formal maupun informal, bahasa memegang peranan penting sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Bahasa merupakan modal utama untuk pencapaian ilmu yang bisa dipahami dan dimengerti oleh para pencari ilmu. Bahasa formal nasional biasanya digunakan dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan resmi. Bahasa yang digunakan dalam pendidikan nonformal disesuaikan dengan kebutuhan.

Bahasa dan masyarakat saling terkait, keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan menggantungkan. Hubungannya sangat jelas, yaitu suatu bahasa tidak disebut bahasa kecuali digunakan oleh suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat tidak akan bisa berfungsi kalau tidak ada bahasa, karena bahasa sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat.

(2)

Masyarakat Indonesia memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda, ada perbedaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Hal ini dikarenakan ada banyaknya suku bangsa di Indonesia. Setiap suku bangsa mempunyai bahasanya sendiri-sendiri. Salah satu contoh bahasa yang ada di Indonesia adalah bahasa Jawa.

Bahasa Jawa adalah bagian dari bahasa Nusantara yang masuk dalam rumpun bahasa Austronesia dunia. Secara linier bahasa Jawa mempunyai sejarah yang panjang, penggunaannya sangat luas, dan jumlah penutur sebanyak orang Jawa yang ada (Wakit, Abdullah, 2007). Bahasa Jawa memiliki keunikan tersendiri, selain aksaranya bahasa Jawa juga memiliki tingkatan bahasa atau lebih dikenal dengan istilah “unggah- ungguh basa”. Bahasa Jawa juga memiliki kosakata yang lebih banyak dibandingkan bahasa lainnya. Bahasa Jawa sudah dipakai di berbagai wilayah Indonesia, terutama daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, sebagian Jawa Barat, dan luar negeri seperti negara Suriname. Hal ini memudahkan dalam menyampaikan pesan dalam berkomunikasi, terutama saat pembelajaran atau mengaji kitab. Bahasa Jawa juga memiliki aksen dan dialek. Karena bahasa Jawa digunakan secara luas di berbagai daerah, aksen dan dialeknya secara alami bervariasi.

Selain kota tahu, Kediri juga dikenal sebagai kota santri karena mempunyai banyak pondok pesantren besar dan terkenal salah satunya pondok pesantren Lirboyo. Kondisi ini menjadikan Kediri sebagai tujuan para santri pendatang dari berbagai suku, budaya, maupun bahasa yang berbeda. Kondisi ini melatarbelakangi adanya pemertahanan identitas asal pendatang di Kediri yang mempunyai perbedaan dengan identitas asal yang dibawa pendatang. Bahasa yang digunakan adalah para penutur bahasa Jawa dialek mataraman dan bahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Jawa mataraman sebagai sarana komunikasi.

Bahasa Jawa mataraman adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang banyak dituturkan oleh masyarakat di bekas wilayah karasidenan seperti Madiun, Kediri, dan Bojonegoro di Jawa Timur (Uhlenbeck, 1964). Istilah

(3)

mataram merujuk pada suatu wilayah kebudayaan yang meliputi wilayah Jawa Timur bagian barat-selatan karena wilayah tersebut pernah dikuasai oleh Kesultanan Mataram (Basuki, 2010). Dialek ini juga dituturkan oleh sebagian kecil masyarakat di Lamongan, Malang, Jombang, dan bagian selatan Banyuwangi. Dialek mataram ini digunakan penutur terbanyak di Jawa Timur.

Hal yang paling terlihat dari bahasa Jawa dialek ini adalah penggunaan bahasa yang masih terkesan halus. Selain itu juga terdapat intonasi dengan bahasa Jawa standart karena sering memberi tekanan pada suku kata pertama. Bahasa Jawa dialek mataraman mempunyai perbedaan bunyi jika dibandingkan dengan dialek lainnya.

Sebagai pendatang baru tidak mudah bagi penutur luar Jawa untuk beradaptasi di Kediri yang menggunakan bahasa Jawa dialek mataraman untuk berkomunikasi. Upaya mempertahankan bahasa yang dilakukan warga pondok pesantren Lirboyo penutur dialek mataraman di Kediri adalah tetap menggunakan bahasa Jawa dialek mataraman ditengah lingkungan pondok lainnya yang sudah menggunakan bahasa Asing untuk berkomunikasi.

Bahasa Jawa dialek mataraman mendapat pengaruh besar dari bahasa Jawa bagian tengah yaitu wilayah Semarang, Solo, Jogja dan sekitarnya, sedangkan Blitar, Kediri dan sekitarnya bukan penutur asli dialek mataraman, tetapi wilayah tersebut mendapat pengaruh dari penutur asli mataraman dikarenakan posisi geografis yang berdekatan.

Pondok pesantren Lirboyo menggunakan metode pengajaran klasik (madrasiyyah) dan non klasik (ma’hadiyyah), seperti metode bandongan, wetonan, sorogan, musyawarah, dan muhafazhah. Metode bandongan yang dilakukan oleh ustadz (sebagai komunikator) dengan membacakan kitab (sebagai pesan), sedangkan santri (sebagai komunikan) mendengarkan sambil menyimak makna materi yang diberikan oleh ustadz (Nurdin, 2016).

Metode wetonan dilaksanakan pada saat lima hari sekali sesuai dengan hari pasar dan menggunakan metode bandongan. Santri yang mengamalkan

(4)

metode sorogan (sebagai komunikator) membawa kitab (sebagai pesan) yang dipelajarinya dengan cara dibacakan di depan ustadz (sebagai alat komunikasi dan reaksi terhadap penyampaian pesan yang ada pada kitab) untuk kebenaran dan kejelasan makna bacaan. Metode musyawarah yaitu melalui percakapan atau diskusi (model komunikasi kelompok), di mana topik-topik keagamaan umumnya dibahas. Metode muhafazhah dilaksanakan santri (sebagai komunikator) dengan menghafalkan materi yang terdapat di kitab yang berhadapan dengan ustadz (baik sebagai komunikan maupun untuk memenuhi kebenaran hafalan santri).

Bahasa Jawa juga digunakan di beberapa pesantren, salah satunya adalah pondok pesantren Lirboyo. Penggunaan bahasa Jawa santri pondok pesantren Lirboyo di terapkan sesuai dengan unggah-ungguh basa.

Misalnya, ketika santri berinteraksi dengan orang yang setingkat lebih tinggi seperti ustadz, mereka menggunakan bahasa Jawa krama alus. Sementara itu, untuk bersosialisasi dengan teman sebaya yang sudah mereka kenal, mereka akan berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko lugu atau krama lugu.

Proses komunikasi terjadi apabila manusia melakukan interaksi pada saat kegiatan komunikasi, hal ini adalah menyampaikan pesan untuk berkomunikasi. Komunikasi juga memiliki arti sebagai upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas prinsip-prinsip menyampaikan informasi, pembentukan sikap dan pendapat. Aktivitas komunikasi berarti tindakan atau perilaku manusia sebagai makhluk sosial yang terlibat dalam pemberian dan penerimaan lambang atau simbol (Kuswarno, 2008). Di penelitian ini, peneliti membahas mengenai bagaimana perilaku warga pondok pesantren Lirboyo dalam memberikan atau menerima pesan (lambang atau simbol), hal ini penggunaan bahasa Jawa di pondok pesantren Lirboyo.

Pentingnya bahasa Jawa di pondok pesantren Lirboyo adalah penggunaan bahasa Jawa saat penerjemahan bahasa kitab menggunakan aksara pegon. Bahasa Jawa yang digunakan memberi makna kitab-kitab dan

(5)

dipelajari oleh santri disebut dengan bahasa Jawa-Kitabi. Menariknya bahasa Jawa-Kitabi tidak mengenal tingkatan. Bahasa Jawa di pesantren bercorak campuran antara bahasa Jawa krama dan ngoko.

Dalam kitab-kitab itu sering digunakan kata-kata yang arkais, yaitu kata-kata kuno yang tidak lazim digunakan. Kata-kata itu diantaranya nanging ‘kecuali’, dihin, dingin ‘dahulu’, ingsun ‘aku’, sira ‘kamu’, lamun

‘jika’, tuhu ‘sungguh’. Dalam kitab-kitab itu ditemukan pula kata-kata yang memiliki fungsi khusus, misalnya apa, sapa, dan utawi.

Di pondok pesantren Lirboyo masih menerapkan unggah-unggub basa untuk berkomunikasi. Sedangkan untuk berkomunikasi di luar memaknai kitab masih menerapkan unggah-ungguh basa. Misalnya untuk ustadz kepada santri menggunakan bahasa Jawa ngoko. Adanya pemakaian bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa disebabkan karena santri pondok pesantren Lirboyo memiliki adab yang tinggi, misalnya berkata sopan kepada orang yang lebih tua dan menghargai teman mereka yang sebaya.

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemakaian bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi di pondok pesantren Lirboyo. Sebab di tengah perkembangan zaman, banyak pondok pesantren yang lebih memilih menggunakan bahasa Asing sebagai sarana komunikasi, namun di pondok pesantren Lirboyo masih melestarikan penggunakan bahasa Jawa

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana penggunaan bahasa Jawa dalam proses komunikasi warga pondok pesantren Lirboyo Kota Kediri?”

1.3 Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan pengunaan bahasa Jawa dalam komunikasi santri dan ustadz serta santri dan santri.

(6)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian menggambarkan nilai dan kualitas penelitian.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1.4.1 Manfaat Akademis

Peneliti ini bisa memberikan sumbangan mengenai kajian bahasa sebagai sarana komunikasi. Secara khusus, memberikan sumbangan bagi penelitian komunikasi kelompok yang ada di pondok pesantren. Terutama dalam proses komunikasi yang menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Untuk peneliti, diharapkan bisa memberikan informasi mengenai pemakaian bahasa Jawa di lingkup pondok pesantren sebagai sarana komunikasi.

2. Untuk masyarakat, penelitian ini bisa memberikan informasi kebahasaan dan mengetahui pemakaian bahasa Jawa oleh santri pada saat berkomunikasi dengan masyarakat.

3. Untuk santri penelitian ini dijadikan sebagai contoh pemakaian bahasa Jawa untuk melakukan pembelajaran dengan baik dan benar.

Referensi

Dokumen terkait

Mätästys oli myös muokattujen uudistamisalojen lukumäärän perustella eniten käytetty menetelmä vuonna 2011, jolloin sen osuus tuoreen kankaan

Mulyati, Sandjaja dan Hapsari, (2008) dalam analisis lanjut data Surkesda tahun 2006 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan underweight pada anak

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari hasil tes pretest dan posttest siswa serta

JICT yang dibuat financial advisor (DB) diarahkan untuk mendukung opsi perpanjangan ( extension ) dengan mitra lama (HPH) tanpa mempertimbangkan opsi pengelolaan

Berdasarkan konsentrasi tersebut, maka bentuk kluster usaha pedesaan termasuk usaha perikanan dapat dibagi menjadi kluster menurut tingkat pembangunan dan kemampuan

Golongan I: Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi

Dalam desain penelitian ini terdiri dari; rencana penelitian, pelaksanaan penelitian, penyusunan hasil penelitian (penyusunan data dan pengetikan data), metode

Pelet dibuat dari pati tapioka masing-masing ditambah 10% fraksi protein, fraksi 7S protein, albumin, dan tanpa penambahan fraksi protein sebagai kontrol. Perlakuan dalam