Hukum
TANGGUNG GUGAT DOKTER SPESIALIS MATA YANG MENGAKIBATKAN KEBUTAAN PERMANEN PASIEN
Saliya Said*, Marianus Yohanes Gaharpung, Hesti Armiwulan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Raya Kalirungkut, Surabaya 60293
*Corresponding author: sallybaisa4@gmail.com
Abstract — Health is a healthy condition, physically, mentally, spiritually and socially that enables everyone to live productively socially and economically. Efforts to improve the quality of human life in the health sector is a very broad and comprehensive endeavor, this effort in the field of health facilities must be accompanied by adequate health workers. The formulation of the problem in this study is whether the ophthalmologist is responsible for errors in the lens planting procedure that results in blindness experienced by the patient. The writing of this thesis uses the normative juridical method, from legal research conducted with that method, it is obtained that the incompetent actions of the ophthalmologist can file a lawsuit in court even though the family has complained in writing to MKDKI and has received a decision from MKDKI according with Article 66 paragraph 3 of Law No. 29 of 2004. So that it can be liable on the basis of Unlawful Acts as determined in Article 1365 of the Civil Code.
Keywords: Health, Doctor, Medical Practice, Negligence.
Abstrak— Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha dalam bidang sarana kesehatan ini harus disertai dengan tenaga kesehatan yang memadai. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah dokter spesialis mata bertanggung gugat atas kesalahan prosedur tanam lensa yang mengakibatkan kebutaan yang dialami pasien. Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif, dari penelitian hukum yang dilakukan dengan metode tersebut diperoleh hasil bahwa atas tindakan tidak kompeten dokter spesialis mata tersebut dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan meskipun pihak keluarga telah mengadukan secara tertulis ke MKDKI dan telah mendapat putusan dari MKDKI sesuai dengan Pasal 66 ayat 3 UU No. 29 Tahun 2004. Sehingga dapat dikenakan tanggung gugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata.
Kata kunci: Kesehatan, Dokter, Praktik Kedokteran, Kelalaian.
Pendahuluan
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha dalam bidang sarana kesehatan ini harus disertai dengan tenaga kesehatan yang memadai. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 1 Ayat 6 Undang‐Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan atau yang disebut dengan Undang‐Undang Kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga kesehatan tersebut dituntut untuk berperilaku professional. Kewajiban tersebut menurut Pasal 66 Ayat 1 Undang‐Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan atau yang disebut dengan Undang‐Undang Kesehatan yaitu tenaga kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar kesehatan, standar pelayanan profesi, dan standar operasional. Namun tidak semua tenaga kesehatan dapat memberikan hasil yang diinginkan kedua belah pihak. Ada kalanya tenaga kesehatan itu dalam melakukan pelayanan medisnya melakukan kesalahan/kelalaian yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial terhadap pasien seperti cacat, lumpuh ataupun meninggal dunia.
Menurut Laneen (1991, hal 57‐60) Unsur‐unsur standar profesi kedokteran dirumuskan sebagai berikut :
1.Dokter harus bekerja secara teliti dan seksama dan dikaitkan dengan kelalaian.
2.Dalam mengambil tindakan dokter harus sesuai dengan ilmu medik.
3.Kemampuan rata‐rata dibanding kategori keahlian medik yang sama.
4.Dalam situasi dan kondisi yang sama.
5.Sarana upaya yang sebanding dengan tujuan konkret perbuatan medik tersebut.
Dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan pasien juga memiliki hubungan kepercayaan yang sudah cukup diatur dengan kaidah‐kaidah moral, melalui etika profesi atau kode etik.
Di dalam Pasal 51 Undang‐Undang Praktik Kedokteran mengatur bahwa satu‐satunya kewajiban dokter adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Jadi dalam melakukan pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan.
Metode Penelitian
Tipe penelitian dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis‐normatif, yaitu tipe penelitian yang menggunakan bahan hukum serta studi kepustakaan dengan mengacu pada Undang Undang Praktik Kedokteran serta Kitab Undang‐
Undang Hukum Perdata dan juga meliputi literature yang terkait dengan materi yang dibahas.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan metode pendekatan Statute Approach yaitu pendekatan terhadap masalah yang terlebih dahulu mengidentifikasi ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku di Indonesia dan yang sesuai serta terkait dengan pokok permasalahan yang dikaji. Selain itu juga digunakan metode Conceptual Approach yakni pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan literatur serta pendapat para sarjana yang digunakan sebagai landasan pendukung berdasarkan pada konsep‐konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang‐undangan, dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang‐undangan yang ada serta pendapat para sarjana.
Hasil dan Pembahasan
Pada tahun 2013, terjadi suatu kasus yang menimpa pasien E yang berusia delapan bulan.
Kasus ini diambil dari sebuah berita di akun youtube Hotman Paris Show dan juga berita online Media Indonesia yang diakses pada tanggal 11 Oktober 2019. Dalam berita tersebut menceritakan tentang seorang pasien berusia delapan bulan yang mana pasien ini memiliki selaput putih di mata sebelah kanannya. Kemudian orang tua pasien E ini membawa anaknya untuk berobat di RSUD Sangatta. Setelah dibawa ke dokter di RSUD Sangatta dokter mata yang menangani pasien anak ini mengatakan bahwa pada anak ini hanya ada selaput putih (katarak) saja dan korneanya masih jernih.
Setelah dicek, dokter itu memutuskan untuk melakukan tindakan pembersihan katarak, lalu pada saat setelah dilakukannya operasi dokter mengatakan bahwa pasien telah dilakukan penggantian lensa mata dengan menanam lensa mata baru yang diambil dari gudang penyimpanan dan hal itu di informasikan ke orangtua pasien setelah dilakukannya operasi sehingga mereka tidak mengetahui apakah lensa mata yang di ambil dari gudang penyimpanan itu masih layak atau tidak. Setelah dilakukan operasi pada mata kanan pasien, selang dua minggu kemudian dokter menyarankan untuk melakukan tindakan operasi untuk mata sebelah kiri karena ditakutkan menular.
Katarak bukanlah penyakit menular, apalagi menular ke mata satunya. Namun bila salah satu mata terindikasi katarak maka dapat memungkinkan mata satunya juga terjangkit katarak.
Dalam proses operasi dokter akan memberikan pembiusan umum pada bayi, sehingga dapat dilakukan tindakan operasi dengan memecah lensa lalu mengeluarkan dengan sayatan yang amat kecil. Untuk membantu penglihatan setelah lensa diangkat, di kemudian hari dapat dipertimbangkan penggunaan kacamata atau lensa kontak. Selain itu, pilihan lainnya dengan memasangkan bayi lensa intraocular (IOL) yang dimasukkan ke dalam mata. Namun, IOL belum cukup umum digunakan pada bayi karena resiko komplikasi yang lebih besar dan diperlukan adanya operasi tambahan. Pasca dilakukan operasi katarak, dokter tetap akan melakukan pemeriksaan rutin guna memantau penglihatan pada bayi, sekaligus melakukan penyesuaian ukuran lensa kacamata atau lensa kontak. Menurut hasil wawancara saya dengan dokter spesialis mata Dr. Tina Sp.M yang melakukan praktik di Klinik Mata EDC Bangkalan, Madura pada hari Minggu, 1 Desember 2019 pukul 18.30 bahwa penanaman lensa pada bayi harus menunggu bayi tersebut berumur minimal 1 tahun. Dan pasca operasi anak pun perlu melakukan terapi amplyopia. Terapi ini berguna agar anak dapat beradaptasi dengan kondisi mata yang baru dengan dilakukan patching yaitu menutup mata yang normal. Atau dengan menggunakan tetes atropine pada mata yang normal. Jika diperlukan menggunakan kacamata, maka harus dipakai sepanjang hari kecuali saat tidur dan mandi. Prinsip dasar patching ini adalah untuk memberikan kesempatan mata untuk “berlatih” melihat sampai memperoleh peluang mengembangkan daya penglihatan normal.
Orang tua pasien sebagai orang yang awam mengenai medis pun memberikan persetujuan dengan dalih agar anaknya cepat sembuh. Setelah dilakukan operasi pada mata kiri, pasien pun sempat pulang dan orang tuanya meyakini bahwa mata kiri E bisa melihat kembali. Tapi, seminggu setelah operasi mata kiri, ternyata mata kanannya terjadi pendarahan. Akhirnya pasien bersama ibunya kembali ke RSUD Sangatta untuk mengadukan kepada dokter yang menangani operasi itu. Saat bertemu dengan dokter itu, dokter tersebut malah berkata sesuatu yang menakuti orang tua E dan memberi rujukan agar E dirujuk ke dokter di Samarinda.
Setelah bertemu dengan dokter yang ada di Samarinda, dokter itu mengatakan bahwa mata pasien E tidak dapat disembuhkan lagi karena buta akibat ditanam lensa baru sehingga kedua mata E ini rusak tidak dapat disembuhkan lagi. Menurut dokter di Samarinda pemasangan lensa ini masih belum diperlukan untuk bayi yang masih berusia 8 bulan ini dan seharusnya pasca operasi pun dokter tersebut memberikan pelindung mata agar tidak terkena infeksi. Dokter di Samarinda tersebut juga menyayangkan tindakan operasi yang dilakukan karena dokter ini mengetahui bahwa peralatan yang ada di RSUD Sangatta tidak lengkap.
Akibat dari tindakan dokter Z itu menyebabkan kebutaan permanen yang dialami oleh pasien.
Keluarga korban kemudian mempermasalahkan tindakan dokter spesialis mata tersebut yang melakukan tindakan operasi mata E dengan mengadukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pada 6 Februari 2018 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan putusan terhadap kasus ini, yang putusan tersebut berbunyi;
1) Dinyatakan terhadap teradu ditemukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi Pasal 3 ayat (2) yaitu melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. Tidak kompeten yaitu dalam kasus ini dokter tidak segera mengangkat lensa yang miring dan tidak melakukan tindakan asuhan medis yang memadai, pada situasi tertentu yang bisa membahayakan pasien, yakni dengan tidak memasang dop pasca operasi.
2) Menjatuhkan sanksi berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda Register selama dua bulan.
3) Bahwa pelanggaran yang disebutkan pada poin satu tidak diartikan sebagai lalai atau sengaja.
4) Kaitannya dalam hal meminta pertanggungjawaban dari seorang dokter di dalam menjalankan praktik kedokteran, maka pihak dari pasien dapat mengajukan pengaduan secara tertulis kepada ketua MKDKI karena merupakan pelanggaran standar profesi kedokteran berupa standar pelayanan medik dan KODEKI dan pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak pasien untuk menggugat kerugian perdata ke pengadilan sesuai dengan Pasal 66 ayat (3) Undang‐Undang Praktik Kedokteran.
5) Berdasarkan Pasal 66 ayat (3) Undang‐Undang Praktik Kedokteran ditentukan bahwa:
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”. Artinya bahwa dengan adanya pengaduan yang dilakukan oleh keluarga pasien E atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter Z kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tidak menghalangi pihak yang dirugikan dalam hal ini pasien E untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan yang berwenang walaupun sebelumnya sudah ada putusan MKDKI yang memeriksa aduan dari keluarga pasien E.
Mengenai uraian pertanggungjawaban dari seorang dokter Z yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian cacat permanen terhadap pasien E sebagai berikut: Gugatan ini berdasarkan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, maka dapat diuraikan menjadi 4 unsur‐unsur perbuatan melawan hukum antara lain :
1. Adanya perbuatan melawan hukum, perbuatan ini artinya bahwa perbuatan atau tindakan dari pelaku ini yang melanggar hukum. Melanggar hukum ini diartikan dalam arti yang seluas‐
luasnya, yakni meliputi hal‐hal sebagai berikut:
a.Perbuatan yang melanggar undang‐undang yang berlaku;
b.Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau;
c.Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau d.Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goedezeden), atau;
e.Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed) (Fuady, 2002).
Dalam kasus ini termasuk perbuatan melawan hukum karena melanggar undang‐undang yakni Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi Pasal 3 ayat (2) yaitu melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. Selain itu, terhadap kasus ini perbuatan dokter melanggar hak pasien yang dijamin oleh hukum, yakni hak pasien untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf c Undang‐Undang Praktik Kedokteran.
Perbuatan dokter Z yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur dalam tindakan operasi tanam lensa terhadap pasien E bertentangan dengan kewajiban hukum sebagai seorang dokter sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf a Undang‐Undang Praktik Kedokteran. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka, unsur pertama yaitu adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus ini terpenuhi
2. Adanya kesalahan, kesalahan ini ada 2 (dua), bisa terjadi karena kesengajaan atau karena kealpaan atau kelalaian. Yang terjadi karena kesengajaan yaitu ada kesadaran yang dari orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya itu merugikan orang lain. Sedangkan terjadi karena kealpaan yaitu adanya perbuatan yang mengabaikan atau kurang hati‐hati dalam bertindak sehingga menimbulkan kerugian. Menurut Pasal 1366 KUH Perdata menentukan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena lalai atau kurang hati‐hati.”
Dalam kasus ini pihak dokter tersebut lalai atau kurang hati‐hati dalam bertindak sehingga menimbulkan cacat permanen pada pasien. Pihak dokter dinilai lalai karena melakukan
tindakan yang tidak sesuai dalam standar prosedur operasional bahwa batasan umur pada bayi untuk dilakukannya tanam lensa adalah pada saat berusia satu tahun. Serta dokter dianggap lalai karena mengabaikan tahap pemasangan dop atau pelindung mata pasca operasi yang mana hal tersebut pada situasi tertentu dapat membahayakan keselamatan pasien. Hal tersebut artinya dokter Z dalam melakukan tindakan medik ini tidak kompeten dan juga kurang hati‐hati terhadap pasien E yang berusia delapan bulan, sehingga karena tindakan dokter Z mengakibatkan kebutaan permanen pada pasien.
3. Adanya kerugian, adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Kerugian ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu berupa kerugian materiil dan kerugian immateriil. Kerugian materiil yang dialami oleh pasien E berupa biaya yang telah dikeluarkan oleh keluarga pasien dalam menjalankan pengobatan. Sedangkan, kerugian immateriil yang dialami oleh pasien E berdasarkan hasil dari keterangan dokter yang ada di Samarinda mengatakan, bahwa mata pasien E telah mengalami kerusakan permanen yang berujung kebutaan pada kedua matanya yang disebabkan dari operasi tanam lensa yang dilakukan oleh dokter Z serta lalainya dokter Z dalam melakukan tindakan asuhan medis pasca operasi.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, karena kerugian ini timbul akibat perbuatan melanggar hukum, misalnya kerugian yang terjadi disebabkan perbuatan pelaku dengan kata lain kerugian tidak akan terjadi apabila pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan kasus tersebut tindakan dokter Z yang lalai dan tidak kompeten yaitu dengan tidak mengangkat lensa yang miring serta tidak memasang dop pasca operasi sehingga perbuatan dokter tersebut menimbulkan kerugian berupa kebutaan permanen yang dialami oleh pasien Z, sehingga unsur adanya hubungan kausalitas dalam kasus ini terpenuhi.
Kewajiban untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum adalah bagi pihak yang merasa haknya dilanggar, bagi pihak tersebut harus membuktikan bahwa haknya telah dilanggar sesuai Pasal 1865 KUH Perdata. Mengenai pembuktian dalam hal kasus pelayanan kesehatan, pasien biasanya kesusahan untuk membuktikan. Maka dari itu dapat digunakan cara lain yaitu dengan menggunakan Doktrin Res Ipsa Loquitar, doktrin ini merupakan suatu bukti tentang suatu fakta atau sejumlah fakta dari fakta‐fakta mana suatu kesimpulan yang masuk akal itu dapat ditarik. Doktrin ini bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dari perbuatan melawan hukum itu, karena dalam kasus‐kasus tertentu sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kelalaian, apalagi jika bukti‐bukti perbuatan melawan hukum tersebut pelaku memiliki bukti yang cukup baik atau dalam kontrol pihak pelaku, tetapi sulit dikumpulkan oleh korban dan karena hal itu tidak adil bagi korban untuk menanggung sendiri akibat dari perbuatan yang sebenarnya merupakan kelalaian dari pihak lain tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab‐bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa dokter Z dapat bertanggung gugat atas kebutaan permanen yang dialami oleh pasien E pasca operasi tanam lensa dengan uraian sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil putusan MKDKI bahwa ditemukannya pelanggaran disiplin profesi kedokteran yaitu melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. Tidak kompeten disini artinya dokter Z tidak dengan segera mengangkat lensa yang miring dan tidak melakukan tindakan asuhan medis yang memadai, pada situasi tertentu yang bisa membahayakan pasien E, yakni dengan tidak memasang dop pasca operasi tanam lensa.
a.Berdasarkan hasil putusan MKDKI dokter Z telah diberi sanksi yaitu dengan pencabutan Surat Tanda Register dokter selama 2 bulan.
b.Berdasarkan putusan MKDKI terhadap teradu ditemukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran yaitu melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
c.Berdasarkan putusan MKDKI tersebut tidak menghilangkan hak pasien untuk menggugat kerugian perdata ke pengadilan sesuai dengan Pasal 66 ayat (3) Undang‐Undang Praktik Kedokteran.
2. Berdasarkan analisa yang telah dijelaskan maka pihak pasien dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap dokter Z. Gugatan ganti rugi terhadap dokter Z didasarkan atas kurangnya kehati‐hatian atau lalai karena dokter tidak kompeten dan tidak sesuai dengan standar prosedur operasional sesuai Pasal 1365 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, yaitu dengan melanggar standar profesi kedokteran yang berdampak dengan kerugian yang diderita pasien.
Pustaka Acuan Buku
Adam Chazawi. (2007). Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum. Malang:
Bayumedia.
Azwar Bahar. (2002). Sang Dokter. Jakarta: Kesaint Blanc.
Bahder Johan Nasution. (2005). Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Budi Sampurna. (2007). Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar.
Cecep Tribowo. (2014). Etika Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Emmanuel Hayt. (1964). Legal Aspect of Medical Record. Illinois: Physician’s Record Company.
Fred Ameln. (1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya.
Hermin Hadiati Koeswaji. (1992). Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Bandung: PT.
Cotra Aditya Bakti.
Hermin Hadiati Koeswaji. (1998). Hukum Kedokteran. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
J. Guwandi. (2007). Dokter, Pasien, dan Hukum. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran.
Jusuf Hanafiah, Amri Amir. (2008). Etika Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Michael Daniel Mangkey. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Medis. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Moegni Djojodirjo. (1982). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Munir Fuady. (2010). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.
Oemar Seno Adji. (1991). Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.
Jakarta: Erlangga.
Peter Mahmud Marzuki. (2009). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soebekti. (1987). Pokok‐Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Soeroso. (1992). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Veronica Komalawati. (1999). Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik.
Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
Undang‐Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang‐Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata
WEBSITE
http://wow.tribunnews.com/2019/01/25/dicecar‐hotman‐paris‐untuk‐tanggung‐jawab‐kasus‐
malapraktik‐direktur‐rsud‐sangatta‐putuskan‐telepon?page=all https://www.youtube.com/watch?v=XpuTQtj0N2s