• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas Mobil itu sendiri adalah salah satu hal terpenting dalam hidup. Hal ini karena tidak ada lalu lintas, komunikasi dapat diatur antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Untuk mendukung sistem lalu lintas yang aman, perlu ada sesuatu untuk mendorong penerapan langkah-langkah keselamatan jalan yang tepat. Suatu sistem transportasi yang memiliki ciri atau karakteristik tersendiri yang ideal jika dikembangkan dan digunakan akan tercapai sepenuhnya untuk menjangkau seluruh wilayah daratan yang bergerak cepat yang dapat diintegrasikan dengan metode transportasi lainnya.

Pelanggaran lalu lintas merupakan sesuatu hal yang dilakukan dimana perbuatan tersebut menyimpang terhadap peraturan perundang- undangan lalu lintas yang telah diatur. Banyak sekali jenis-jenis pelanggaran lalu lintas dalam surat keputusanMahkamah Agung, MenteriKehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tanggal 23 desember 1992 dinyatakan pelanggaran tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori yakni sebagai berikut1:

1. Pelanggaran Lalu Lintas Ringan

a. Pelanggaran terhadap Rambu-Rambu Lalu Lintas

1Ardiyasa, G. N. A. (2016). Kajian Kriminologis Mengenai Pelanggaran Lalu Lintas Yang Di Lakukan Oleh Anak. Legal Opinion, 4(4), 1–18.

(2)

15 Rambu lalu lintas merupakan aturan yang berlaku bagi semua pengguna jalan, pejalan kaki dan pengendara. Simbol-simbol ini digunakan untuk menciptakan norma-norma sosial. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1993 terdapat 4 (empat) kelompok lalu lintas, yaitu: (a) rambu peringatan; (b) gejala obstruktif; (c) sinyal perintah;

dan (d) representasi simbolis.

b. Pelanggaran terhadap Marka Jalan

Marka jalan merupakan tanda yang biasanya terdapat di dalam sekaligus menyatu dengan jalan atau aspal. Marka jalan ini berfungsi sebagai pengatur lalu lintas bagi para pengguna jalan. Dalam Pasal 1 angka 18 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan:

Marka Jalan adalah “suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.” 2

Pelanggaran yang dapat terjadi pada marka jalan adalah apabila pengemudi kendaraan berpindah jalur lintas pada saat terdapat garis utuh dan tidak putus-putus di tengah jalan dimana rambu tersebut memberi peringatan untuk tidak mendahului kendaraan di depannya dengan cara berpindah lajur.3

c. Pelanggaran terhadap Alat Acuan Isyarat Lalu Lintas

Alat acuan isyarat dalam lalu lintas adalah “alat penunjang yang sangat dibutuhkan dalam aktivitas lalu lintas yang berfungsi sebagai

2 Pasal 1 angka 18 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

3Hidayati, A. Y. H. L. (2016). Analisis Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Berdasar Pengetahuan, Penggunaan Jalur, Dan Kecepatan Berkendara. Berkala Epidemiologi, vol.4, No.(December), 275–

276.

(3)

16 pengatur keteraturan kendaraan dalam berlalu-lintas di jalan raya.”4 Perangkat yang digunakan sebagai sinyal pada kendaraan adalah lampu lalu lintas. Alat ini sangat cocok dijadikan acuan dalam pengerjaan jalan karena jika tidak ada lampu lalu lintas maka jalan akan rusak. Tingkat atau penyebab utama kecelakaan terjadi karena pengemudi tidak mendengarkan atau mengikuti lampu lalu lintas yang sedang terbang.

2. Pelanggaran Lalu Lintas Sedang

a. Mengemudi kendaraan tanpa dilengkapi Surat Izin Mengemudi (SIM) b. Mengemudi tanpa membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) 3. Pelanggaran Lalu Lintas Berat

Pelanggaran lalu lintas berat termasuk ke dalam kategori Pasal 308 UU LLAJ yang berbunyi :

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:

a. Tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;

b. Tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b;

c. Tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau

d. Menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.5

Sedangkan kecelakaan tidak hanya meliputi trauma cidera, ataupun kecacatan tetapi juga sering kali menyebabkan kematian. Kasus kecelakaan

4 Ardiyasa, G. N. A. (2016). Kajian Kriminologis Mengenai Pelanggaran Lalu Lintas Yang Di Lakukan Oleh Anak. Legal Opinion, 4(4), 1–18.

5 Pasal 308 No 22 Tahun 2009 UU LLAJ

(4)

17 sangat sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan. Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak disengaja (Random Multy Factor Event) yang artinya penyebab kecelakaan itu sendiri bukan dikarenakan kesengajaan dari si pelaku itu sendiri, melainkan kelalaian dari si pelaku.6

Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan atau fasilitas pendukung. Operasi lalu lintas di jalan raya ada empat unsur yang saling terkait yaitu pengemudi, kendaraan, jalan dan pejalan kaki.7 Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas.8 Tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus dipersimpangan.

B. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan 1. Definisi Pemidanaan

6 Situmeang, B. A. (2019). Penerapan Pidana Tentang Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak Menyebabkan Matinya Orang.

7 Effendi, P., & Syaputri, N. (2020). Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Yang Belum Berusia 17 Tahun. Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 9(2).

8Apriyanto, M., Fikri, K. N., & Azhar, A. (2021). Pendampingan Santri untuk Penurunan Tingkat Pelanggaran Lalu Lintas. Magistrorum Et Scholarium: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(2), 238- 247.

(5)

18 Pidana dapat diartikan sebagai istilah hukuman dan juga istilah hukuman dalam hukum pidana. Kata "kejahatan" sering disebut sebagai hukum, dan kata "kejahatan" adalah hukuman. Ajaran tersebut memisahkan hukum pidana harta benda dari hukum pidana formal. Ko J.M. Van Bemmelen menjelaskan dua hal tersebut sebagai berikut:

a. Hukum pidana yang paling umum adalah tindak pidana yang dikatakan mengikuti, hukum umum yang dapat diterapkan pada praktik, dan pemidanaan yang mengancam praktik.

b. Hukum pidana formil menentukan cara melakukan suatu proses pidana dan menentukan ketertiban yang harus ditegakkan..

Sementara Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut:

1. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana.

2. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.9 Gagasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana yang paling umum berisi larangan dan perintah jika tidak dipenuhi, hukumannya mengancam, hukum pidana formal adalah kode hukum yang mengatur bagaimana administrasi dan penegakan hukum pidana.

Pemidanaan sebagai perbuatan terhadap seorang penjahat, dapat

9 Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 3

(6)

19 dibenarkan secara umum bukan karena akibat pemidanaan itu positif bagi orang yang dipenjarakan, bagi orang yang mempengaruhinya dan anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu konsep ini disebut juga dengan konsep konsekuensialisme. Penjahat dibebaskan bukan karena telah melakukan suatu kejahatan, tetapi untuk menjaga orang yang berbuat salah, agar orang lain takut untuk melakukan kejahatan tersebut.

Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa pemidanaan bukanlah suatu upaya untuk membalas dendam, melainkan suatu upaya untuk mengembangkan kejahatan dan mencegah terjadinya tindak pidana tersebut. Pembebasan pelaku atau hukuman kemungkinan besar akan tercapai jika dia melihat beberapa aspek perencanaan berikut ini :

1. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang10. Saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang relevan sebagaimana diatur dalam KUHP yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1964 peraturan perundang-undangan no. 73 Tahun 1958, dan perubahannya diatur dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP, UU No. 16 Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU No. 18 terkait dengan perubahan jumlah maksimum denda dalam KUHP.

Untuk pemidanaan, ada dua istilah atau syarat yang umum digunakan sejak zaman W.V.S Belanda sampai sekarang, yaitu dalam

10 Gurning, Alex Gommer (2018) Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Anak ( Studi Kasus Putusan Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2017/Pn Yyk ).

(7)

20 KUHP, yaitu bahwa orang yang dihukum karena kejahatan harus tongkatnya berada di dalam tembok penjara. Ia harus diisolasi dari masyarakat umum kecuali dalam arti hidup seolah-olah mereka adalah penguasa. Bimbingan bagi narapidana juga harus diberikan di balik tembok penjara.

Selain pemidanaan terhadap narapidana, mereka juga harus didorong untuk kembali ke masyarakat, ke rehabilitasi/rehabilitasi Dalam KUHP, pemidanaan kejahatan adalah kejahatan yang hanya satu jenis pelanggaran yang dilakukan, yaitu salah satu delik pokok.

merupakan tindak pidana dalam teks tindak pidana yang bersangkutan.

2. Sistem Pemidanaan di Indonesia

Saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang relevan sebagaimana diatur dalam KUHP yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1964 peraturan perundang-undangan no. 73 Tahun 1958, dan perubahannya diatur dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP, UU No. 16 PRP Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU No. 18 PRP untuk perubahan jumlah maksimum denda dalam KUHP.

Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan zaman jajahan Belanda sudah tidak dipakai lagi di negara kita, sistem pidananya masih dipakai sampai sekarang, walaupun dalam jumlah kasus yang relatif sedikit, pelaksanaannya berbeda. Untuk pemidanaan, ada dua sistem atau cara yang biasa digunakan dari zaman W.V.S Belanda sampai sekarang, yaitu dalam KUHP:

(8)

21 1. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya

didalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.

2. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.11 Dalam KUHP, pemidanaan suatu tindak pidana pokok dapat berupa salah satu jenis tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu tindak pidana yang paling berat yang terdapat dalam teks tindak pidana yang bersangkutan. Untuk hukuman pokok, satu atau lebih hukuman tambahan yang terkandung dalam Bab 10b dapat dianggap sebagai hukuman tambahan sebagai suatu peraturan. Dan tentunya dalam sistem Holiday Code ini tidak boleh dipidana dengan pidana khusus lainnya tanpa dikenakan pidana berat, kecuali dalam Pasal 39 ayat 3 (pengampunan barang sita dari pelaku) dan Bab 40 (pengembalian barang rampasan).

anak yang jahil kepada orang tuanya). Untuk pidana penjara paling lama lima tahun dalam KHUP, sampai dengan dua puluh tahun saja, hakim dapat memilih antara pidana seumur hidup, pidana seumur hidup, atau pidana kurungan, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara sementara. . diatur dalam Pasal 12 ayat (3) bahwa pidana penjara paling singkat satu hari dan paling lama lima belas hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP. Saat ini, hukuman penjara sampai satu tahun, dan hanya dapat diperpanjang untuk satu tahun empat bulan, jika kejahatan dilakukan untuk diulang, satu kali, atau untuk tujuan Bab 52-52a. Penahanan minimal satu hari yang ditentukan dalam Pasal 18

11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(9)

22 KUHP.

3. Tujuan Pemidanaan

Menurut Soedarto, masalah pemidanaan merupakan kebijakan umum pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, perbuatan hukum adalah upaya untuk menegakkan peraturan perundang-undangan pidana dengan syarat dan ketentuan yang sama pada waktu yang sama, untuk jangka waktu yang sama di masa yang akan datang. Sudarto mengatakan itu adalah subjek hukuman:

1. Untuk menakut-nakuti agar orang jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatann agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie).

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehinga bermanfaat bagi masyarakat.

3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berstudi baik dan berguna.dan untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 12

Romli Atmasasmita mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori retributif tujuan pemidanaan adalah:

a. Melalui hukuman, hati korban akan disembuhkan dan keadilan bagi dirinya, teman-temannya dan keluarganya. Emosi yang tidak dapat dihindari ini tidak dapat digunakan sebagai dalih untuk tidak menghormati hukum. Jenis pembayaran ini disebut balas dendam.

12 Romli Atmasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung. Mandar Maju. Hal 83-84

(10)

23 b. Dengan menghukum, ia memperingatkan pelaku dan anggota masyarakat lainnya bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau menyalahgunakan orang lain secara ilegal atau tidak adil akan mendapat imbalan. Jenis obligasi ini disebut ekuitas.

c. Hukuman tersebut merupakan perbandingan antara apa yang dianggap beratnya pelanggaran dan hukuman yang dijatuhkan. Jenis ikatan ini disebut keseimbangan.

Adapun tujuan dari pemidanaan ini memiliki 3 teori, yaitu:

a. Teori realisme (Vergeldings Theorien). Tentu saja teori about atau teori pembalasan ini adalah jika seseorang berbuat dosa, maka harus diberikan pembalasan yang adil kepada orang tersebut agar orang tersebut tidak kembali pada perbuatannya. Bahkan Emmanuel Kant berkata "Jika seseorang mati, orang itu juga harus dibunuh." Jadi, konsep retribusi ini didasarkan pada kenyataan bahwa bukan dengan merehabilitasi atau mendidik agar seseorang tidak kembali melakukan kejahatan, tetapi juga dengan memberikan retribusi agar orang memahami status kejahatan orang yang meninggal.

b. Teori relatif / teori objektif (Doel Theorien) / (De Relatieve Theorien). Berlawanan dengan teori yang sebenarnya, konsep retribusi, konsep retribusi di sini berfokus pada pengajaran kepada seseorang untuk tidak berbuat dosa dengan cara menakut-nakuti orang tersebut agar orang tersebut tidak berbuat dosa.

c. Teori konsolidasi (Vernegins Theorien). Teori unifikasi berfokus

(11)

24 pada gagasan bahwa hukuman harus didasarkan pada prinsip retribusi, tetapi juga berfokus pada organisasi dalam masyarakat, dan tuntutan unifikasi yang berfokus pada salah satu elemennya dan tanpa menghilangkan elemen lainnya, dengan menentukan keseimbangan antara dua elemen..

C. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice 1. Pengertian Restorative Justice

Istilah Restorative Justice dikenal sebagai “Restorative Justice” di banyak negara maju, restorative justice bukan hanya sekedar istilah yang digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kejahatan dan di banyak negara di Eropa, Amerika Utara, Australia, telah menggunakan restoratif justice secara konvensional. hukum Kriminal. prosedural, mulai dari tahap persidangan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi13.

Menurut Eva Achjani Zulfa, Rekonstruksi adalah sebuah konsep yang memberikan solusi tambahan bagi sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada partisipasi masyarakat dan korban yang dianggap bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam sistem peradilan pidana saat ini. .14

Hak pemulihan dalam hukum pidana mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan hubungan antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menderita kerugian. Peradilan juga memiliki kekuatan untuk mencegah kebencian antar kelompok dan mendorong

13 Eriyantouw Wahid, 2009, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm. 1

14 Eva Achjani Zulfa, 2010, Keadilan Restoratif., Penerbit FHUI, Jakarta, hlm 3

(12)

25 rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Upaya lain adalah mendorong keterlibatan anggota masyarakat lainnya, seperti anggota keluarga atau tetangga, dan menekankan pentingnya peran korban dalam proses menuju keadilan.

Hak pemulihan dalam hukum pidana mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan hubungan antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menderita kerugian. Peradilan juga memiliki kekuatan untuk mencegah kebencian antar kelompok dan mendorong rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Upaya lain adalah mendorong keterlibatan anggota masyarakat lainnya, seperti anggota keluarga atau tetangga, dan menekankan pentingnya peran korban dalam proses menuju keadilan.

Dalam hal orang yang meninggal dunia, pengadilan pencabutan juga memberikan kuasa untuk memberikan kesempatan kepada orang yang melakukan tindak pidana itu untuk mengungkapkan kesedihannya kepada orang yang ditolak itu, dan sebaiknya ia direhabilitasi. pertemuan dalam pertemuan profesional. Pandangan tentang hak penebusan ini merupakan hasil perubahan hukum dari lex talionis, atau hak restitusi dengan menekankan pada praktek penyembuhan (healing). Upaya untuk merehabilitasi korban dengan menggunakan pendekatan restoratif dan legal telah mempersulit penyembuhan luka para korban. Siswanto Sunarso mengatakan gugatan restitusi bertujuan untuk meningkatkan

(13)

26 tanggung jawab orang yang bertindak atas perilakunya yang merugikan orang lain.15

Arti dari undang-undang pencabutan ini adalah diharapkan penurunan jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan kriminal, terutama di lembaga pemasyarakatan, akan mengurangi beban sistem peradilan pidana dan meningkatkan daya partisipasi masyarakat untuk membantu.

menyelesaikan kasus hukum16. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bantuan hukum, yang seringkali tidak tersedia, meskipun firma hukum berbiaya relatif rendah dan memahami bagaimana para pihak itu sendiri bekerja dalam pengambilan keputusan membutuhkan pengalaman dan konsistensi.

Proses pemulihan dilakukan melalui suatu kebijakan agar proses peradilan pidana dapat dialihkan keluar dari pengadilan pidana dan diputuskan melalui metode musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah bukanlah hal baru bagi Indonesia, meskipun hukum adat di India tidak membedakan antara kasus pidana dan kasus perdata.17

Pelaksanaan proses pidana atas Hak Restitusi harus memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku untuk fungsi melakukan Investigasi, penyelidikan, atau penyelidikan Kriminal, tetapi persyaratan khusus berlaku untuk kegiatan kriminal berdasarkan Hak atas Restitusi dalam proses penyidikan, atau inspeksi.

15 Siswanto Sunarso. 2014. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Sinar Grafika, hlm 5

16 Ibid.

17 Bagir Manan. 2008. Restorative Justice (Suatu Perkenalan) Dalam Buku Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran Dalam Dekade Terakhir. Jakarta. Perum Percetakan Negara RI. hlm 4

(14)

27 Persyaratan umum adalah bahwa pelaksanaan proses pidana pada Hak Kembali melibatkan properti dan formalitas. Dalam Pasal 5 Undang- Undang Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 yang mengatur tentang tindak pidana hak retur, ditegaskan bahwa ketentuan tersebut meliputi persyaratan harta benda:

“tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatism, bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan dan bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi,dan tindak pidana terhadap nyawa orang.”18

Sedangkan dalam pasal 6 Perpol No.8 Tahun 2021 berisi persyaratan formil:

“perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika. Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana narkotika).”19

Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku untuk penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif pada kegiatan Penyelidikan atau Penyidikan. Pada Peraturan Kepolisian No 8 Tahun 2021 ayat 10 menjelaskan bahwa persyaratan khusus untuk Tindak Pidana lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, meliputi20:

18 Pasal 5 Peraturan Polri No.8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restotarif

19 Pasal 6 Peraturan Polri No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restotarif

20 Pasal 10 Peraturan Polri No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

(15)

28 a. kecelakaan lalu lintas yang disebabkan mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan membahayakan yang mengakibatkan kerugian materi dan/atau korban luka ringan; atau b. kecelakaan lalu lintas di jalan karena kelalaiannya yang

mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda 2. Konsep Restorative Justice

Menurut Sarre bahwa:

“…restorative justice is concerned with rebuilding relationships after an offence, rather driving a wedge between offenders and, their communities, which is the hallmark of modern criminal justice systems”. 21

Keadilan restoratif juga berkaitan dengan bagaimana membangun hubungan setelah jatuhnya kejahatan, daripada membangun tembok pemisah antara mereka yang melakukan kejahatan dan komunitas mereka, yang merupakan bukti sistem peradilan pidana baru.

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa prinsip dasar pendekatan penyembuhan dalam bentuk kerja untuk “memperbaiki hubungan yang rusak karena kejahatan” telah lama dipahami dan dipraktikkan dalam hukum etik yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari tujuan pendekatan pemulihan yaitu “mengembalikan negara ke keadaan semula sebelum perang” sama dengan prinsip “memulihkan keseimbangan masalah”

yang ada dalam bahasa Indonesia. Bea cukai. Hukum.

21 Budiyanto. 2016. Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Delik Adat. Papua. Papua Law Journal. Vol. 1 no. 1. Fakultas Hukum. Universitas Cendrawasih. Hal. 84

(16)

29 Burt Galaway dan Joe Hudson (1990:2) berpendapat bahwa asas keadilan menurut asas pemulihan keadilan merupakan asas yang fundamental, yaitu pertama, bahwa dosa akan menemukan konflik/konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian bagi orang tersebut. . korban, masyarakat, pelaku itu sendiri; kedua, tujuan dari proses (peradilan pidana) adalah untuk memelihara perdamaian di masyarakat dengan memperbaiki penyakit yang disebabkan oleh perang;

ketiga, proses tersebut harus mendukung partisipasi aktif para korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi atas konflik yang terlibat.

Hal-hal yang keluar dari proses penyembuhan seperti yang dikatakan Burt Gallaway dan Joe Hudson, jelas bahwa orang yang menderita penyakit atau cedera yang diakibatkan oleh asal kejahatan, memiliki kekuatan penuh untuk berpartisipasi dalam keputusan - proses pembuatan. dan pemulihan dari tindak pidana.

Pemahaman ini memberikan konsekuensi logis terhadap sifat dan pemahaman suatu tindak pidana yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum yang seharusnya diberi sanksi oleh Pemerintah tetapi merupakan tindakan yang harus diganti dengan biaya, dalam beberapa kasus atau bentuk lain hukuman jauh dari efek penjara.

3. Prinsip Restorative Justice

Asas keadilan restoratif tidak dapat diartikan sebagai sarana penyelesaian perkara secara damai, tetapi lebih luas daripada mencapai asas keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui proses pidana. . sebagai arbiter, bahkan dalam penyelesaian perkara,

(17)

30 yang berupa persetujuan damai dan dicabut hak banding dari almarhum, berhak mengajukan banding atas putusan hakim melalui penuntut umum untuk menolak hak banding. korban, dan publik penuduh.

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat dalam konsep pendekatan restoratif dalam peneyelesaian tindak pidana, antara lain sebagai berikut22 :

1. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam sistem peradilan pidana di seluruh negeri, terdakwa diberikan pengetahuan sebelumnya tentang tindakan perlindungan tertentu dalam hal penuntutan atau hukuman. Proses peradilan (due process) harus dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk menyeimbangkan kekuasaan negara untuk mempertahankan, mengadili, dan melaksanakan hukuman pemidanaan.

Tentu saja, ini berarti proses pendekatan restoratif perlu terus memberikan perlindungan terhadap tuduhan terkait proses hukum.

Namun, karena metode perbaikan harus melibatkan pelanggaran di tempat pertama, pertanyaan muncul sejauh mana persetujuan dan pengecualian yang tepat dari tindakan sebagai titik awal untuk proses hukum.23

Menurut peneliti, asas dasar penyelesaian dengan cara penyembuhan menghendaki agar delik dimasukkan bagi orang yang

22 Irwan Yulianto, Jufaldi. 2018. Restorative Justice sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Situbondo. Jurnal Ilmiah Fenomena. Vol. XVI. No. 1. Fakultas Hukum. Universitas Abdurachman Saleh. Hal. 1777

23 Dr. Rufinus Hotmalana Hutauruk. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 127

(18)

31 melakukannya sebagai sarana mencari jalan keluar bagi kelanjutan proses penyembuhan, dan sekaligus sebagai tanda bahwa orang yang melakukannya benar. mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena pengakuan adalah bentuk lain dari tanggung jawab.

2. Perlindungan yang setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif, keadilan harus muncul dari sudut pandang pemahaman yang sama tentang arti dan tujuan keadilan, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, atau agama. , asal kebangsaan dan kondisi sosial lainnya.24

Ada keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan penyembuhan untuk memecahkan masalah dan memberikan

"pemikiran yang benar" di antara peserta yang berbeda, mengingat bahwa suatu kelompok memiliki kekuatan ekonomi, psikologis, politik, atau fisik. Agar tidak terjadi ketimpangan antar kelompok yang terlibat dalam proses penyembuhan.

3. Hak-Hak Korban

Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan restoratif, hak- hak korban harus diperhatikan karena korban adalah pemangku kepentingan dan harus memiliki dasar (hukum) dalam proses penyelesaiannya. Dalam sistem peradilan pidana pada umumnya, korban diduga tidak mendapat perlindungan yang sama dari orang yang memegang yurisdiksi sistem peradilan, dan karenanya

24 Ibid. Hal 131

(19)

32 dilupakan. itu masih ada, tidak ada. penyelenggaraan sistem administrasi atau administrasi peradilan pidana.25

Menurut peneliti, pengetahuan tentang mendapat kesempatan untuk memberikan penjelasan atau gambaran terkait dengan peristiwa yang menimpa korban dalam persidangan tidak mencerminkan konsistensi situasi di persidangan dalam hukum.

Agar korban memiliki peran hukum yang sama dalam proses penyelesaian, korban juga harus memiliki hak untuk menerima kompensasi yang adil atas rasa sakit yang dideritanya.

4. Proporsionalitas

Pengertian keadilan dalam sistem rehabilitasi berdasarkan persetujuan memberikan pilihan yang berbeda untuk pemecahan masalah, pengertian keadilan dalam kaitannya dengan sejauh mana kesamaan hukuman sakit yang harus diserahkan kepada pelaku pelanggaran. Dalam hukum pidana dalam banyak kasus, diasumsikan bahwa hal yang sama telah dicapai seolah-olah dia telah bertemu dengan bentuk denda (perimbangan antara hukuman dan denda), dengan cara timbal balik maka dia dapat menjatuhkan hukuman yang berbeda kepada mereka yang melakukan kejahatan yang sama.

5. Praduga Tak Bersalah

Dalam penuntutan pidana dalam banyak kasus, negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan orang

25 Dr. Rufinus Hotmalana Hutauruk. Loc.cit

(20)

33 yang dituduh. Dari dan sampai bobot tanda terpenuhi, tersangka harus dinyatakan tidak bersalah. Ada perbedaan dalam proses penyembuhan, yang membutuhkan masuknya rasa bersalah sebagai sarana untuk melanjutkan perubahan keputusan.

Dalam kondisi pemulihan, hak terdakwa untuk tidak bersalah dapat dikompromikan sedemikian rupa sehingga terdakwa memiliki hak untuk menghentikan proses pemulihan tanpa persetujuan untuk masuk. berdosa. itu harus diadili, atau terdakwa dapat memiliki kekuasaan. untuk mengajukan banding ke pengadilan dan semua persetujuan yang diberikan dalam perintah pemulihan akan dianggap tidak memiliki yurisdiksi yang mengikat.

6. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum

Dalam proses pemulihan, penasihat hukum atau pengacara bekerja secara strategis untuk memperkuat kemampuan pelaku melindungi kendaraannya dengan bantuan penasihat hukum. Dalam semua kasus informal dan restoratif, informasi dapat diberikan kepada terdakwa dengan bantuan penasihat hukum tentang hak dan kewajiban mereka yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Namun, ketika terdakwa memilih untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan, mereka harus bertindak dan berbicara sendiri.

Posisi mereka untuk menyediakan pengacara sebagai perwakilan peserta dalam semua aspek proses penyembuhan kehilangan banyak manfaat yang diharapkan dari "perjumpaan", seperti komunikasi dan

(21)

34 ekspresi perasaan.-dalam, dan kegiatan pengambilan keputusan kelompok. Pengacara juga dapat sangat membantu dalam menasihati klien mereka tentang hasil yang paling diharapkan.

4. Model Pendekatan Restorative Justice

Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif, bagaimanapun, tidak tetap dapat diandalkan dan dapat dilaksanakan jika model struktural tidak dapat dibangun atau dikembangkan dan model regresi menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum pidana. Dalam hal ini, ada beberapa jenis model sistem jalur pemulihan yang dijelaskan oleh Van Ness, antara lain26 :

1. Unified System

Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan dalam hukum, melihat pandangan Christie yaitu bahwa pemerintah telah mencuri perang dari para pihak, menjadikannya pilihan ketika saran dapat dibuat untuk merencanakan pendekatan perbaikan untuk menggantikan pidana. keadilan.27

Untuk mengembalikan perang kepada pemiliknya yang sah, pendekatan yang sangat berbeda harus diambil untuk menjalankan administrasi peradilan, yang akan memungkinkan para korban dan pelaku untuk menentukan sendiri hasil perang, dan negara tidak memiliki kendali atas perang. Oleh karena itu, berdasarkan

26 Rufinus Hotmalana Hutauruk. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 141-145

27 Vivi Arfiani Siregar. 2019. Analisis Eksistensi Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Riau. Jurnal Hukum Das Sollen. Vol. 3. No. 1. Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri. Hal 13

(22)

35 pandangan tersebut, maka proses penyelesaian tindak pidana melalui tindakan perbaikan harus dapat menggantikan segala kondisi yang ada di dalamnya dalam sistem peradilan pidana pada umumnya.

2. Dual Track System

Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping alternatif bersama sistem peradilan pidana yang ada.

Dalam model dua arah, di mana proses penyembuhan berjalan berdampingan dengan metode tradisional, para pihak menentukan rincian bagaimana sebuah kasus akan bekerja.

Jika akses ke proses pemulihan tidak memungkinkan (dengan persetujuan semua pemangku kepentingan), sistem peradilan pidana akan tetap ada. Jadi, dalam hal ini pendekatan penyembuhan ditempatkan di tempat pertama, dengan firma formal bertindak sebagai elemen pendukung. Mengingat bahwa model peradilan pidana Jepang adalah sistem dua arah, sistem peradilan formal mirip dengan kebanyakan negara demokrasi industri, dengan hukum pidana ekstrem dan hukum pidana formal yang mengatur jalannya kasus pidana.28

3. Safeguard System

Model ini merupakan model yang dirancang untuk mengelola kejahatan melalui pendekatan restoratif, dimana program

28 Vivi Arfiani Siregar. 2019. Analisis Eksistensi Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Riau. Jurnal Hukum Das Sollen. Vol. 3. No. 1. Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri. Hal 12

(23)

36 restoratif merupakan pendekatan utama untuk menangani masalah kriminal, yang berarti akan terjadi perubahan besar dari sistem peradilan, kejahatan sering mengakibatkan deportasi. untuk sistem peradilan penyembuhan.

Namun, beberapa kasus masih akan ditangani oleh sistem peradilan pidana saat ini, yaitu kasus-kasus yang dianggap tidak layak untuk ditangani oleh sistem restoratif atau secara prinsip. Contohnya adalah situasi di mana ada jawaban yang sangat langsung atas pertanyaan tentang kejahatan orang yang dituduh, atau di mana ditemukan bahwa tindakan motivasi atau di mana ditemukan bahwa tindakan motivasi atau administratif tertentu diperlukan untuk melindungi masyarakat.

4. Hybrid System

Dalam contoh ini, metode pemidanaan atau pemidanaan seseorang biasanya dilakukan dalam sistem peradilan pidana, kemudian saksi-saksi dipidana, yang dapat digunakan tujuan pendekatan pemulihan untuk menentukan jenis putusan. Dalam sistem hybrid, respon terhadap pendekatan restoratif dan respon terhadap peradilan pidana saat ini dilihat sebagai bagian formal dari sistem hukum.29

29 Vivi Arfiani Siregar. 2019. Analisis Eksistensi Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Riau. Jurnal Hukum Das Sollen. Vol. 3. No. 1. Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri. Hal 15

(24)

37 A. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas hukum dapat diketahui apabila aturan hukum dapat dimengerti oleh masyarakat sebagai sasarannya maka dapat dikatakan bahwa aturan hukum tersebut efektif30. Kesadaran suatu hukum, ketaatan suatu hukum, dan efektivitas hukum merupakan unsur yang saling berhubungan. Kesadaran suatu hukum dan ketaatan suatu hukum adalah sesuatu yang dapat menentukan sejauh mana keefektifan aturan hukum yang ada di masyarakat. Menurut Permata Wesha efektivitas merupakan suatu keadaan atau kemampuan berhasilnya suaru kerja yang dilakukan oleh manusia agar dapat memberi guna yang mampu di harapkan. Agar dapat melihat efektivitas kerja pada umumnya dipakai empat macam pertimbangan adalah:

a. pertimbangan ekonomi b. pertimbangan fisiologi c. pertimbangan psikologi d. pertimbangan sosial

Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, menjelaskan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi efektivitas hukum, yaitu:31

30 Damang, Efektifitas Hukum, http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas-hukum-2

31 Soerjono Soekanto. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal.

110.

(25)

38 1. Faktor Hukum

Hukum mengandung beberapa unsur yaitu keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum. Penerapan antara kepastian hukum dan keadilan kadang terjadi pertentangan.

Kepastian hukum bersifat konkret dan keadilan hukum bersifat abstrak.

2. Faktor Penegak Hukum

Penegakan hukum merupakan pihak-pihak yang membuat mauun mengornganisir hukum agar hukum yang dibuat dapat berlaku seadil-adilnya dalam masyarakat. Aparat penegak hukum ini harus bertugas agar upaya penegakan hukum dan keadilan dapat berjalan secara seimbang.

3. Faktor Sarana Hukum

Sarana yang lengkap akan memperlancar proses secara produktif, begitupun sebaliknya apabila tidak lengkap hanya akan mengakibatkan kemacetan.

4. Faktor Masyarakat

Kesadaran masyarakat yang tinggi akan membantu aparat penegak hukum. Perumusan hukum juga memperhatikan pendapat-pendapat masyarakat serta dinamika sosial yang ada di dalam masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan

(26)

39 Faktor kebudayaan yaitu masalah sistem nilai atau norma yang menjadi hal terpenting dalam spiritualitas. Kebudayaan ini sangat berbeda dengan faktor masyarakat yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan variasi suhu dan lama penggorengan memiliki pengaruh nyata terhadap kadar air, kadar asam lemak bebas, uji mikroskopik

Pada keseluruhan komponen rumah bangsawan Jawa, pringgitan bukanlah suatu area yang memiliki kesakralan melainkan pendukung bangunan utamanya, yaitu pendopo dan

[r]

Permasalahan utamanya adalah kesenjangan antara pria dan wanita dalam hal distribusi pegawai antar Departemen dan non Departemen.. Permasalahan lainya adalah

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa setiap

· Penentuan tujuan yang jelas dan dapat dicapai. Seperti tujuan mengajak pengunjung ikut andil dalam pemilahan dan pengurangan sampah dari sumber dengan target pemilahan dari

Berdasarkan penyuluhan tersebut diketahui bahwa ternak itik merupakan usaha atau bisnis alternatif yang menjanjikan dan layak untuk dijalankan karena memberikan