• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legalitas Pembuktian Dalam Persidangan Secara Virtual Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Legalitas Pembuktian Dalam Persidangan Secara Virtual Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 171

Universitas Sumatera Utara Email: idohulu@gmail.com

Abstrak

Pembuktian memegang peranan dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana.

permasalahan yang terjadi terkait proses pembuktian di muka persidangan saat ini, dimana persidangan perkara pidana yang dilaksanakan secara virtual atau melalui Teleconference. Dalam proses pembuktian pada persidangan perkara pidana secara virtual, hakim dipandang kesulitan menilai keotentikan alat bukti dan barang bukti yang diajukan pihak jaksa penuntut umum maupun pihak penasihat hukum secara elektronik, mengingat hakim tidak memiliki keahlian dalam bidang teknologi dan informasi (IT). Keotentikan alat bukti dan barang bukti akan mempengaruhi legalitas pembuktian dalam sistem peradilan pidana.

Persidangan perkara pidana secara virtual diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik. Pertentangan penerapan persidangan secara virtual terhadap asas-asas hukum acara pidana, yaitu terdapat pada asas pemeriksaan hakim yang lisan dan langsung dan asas persidangan terbuka untuk umum. Kedua asas tersebut tidak dapat di terapkan sepenuhnya sebagaimana persidangan perkara pidana secara konvensional pada umumnya, karena penerapan asas tersebut memiliki suasana dan keadaan yang sangat berbeda sehingga memiliki kendala untuk menerapkan asas-asas tersebut secara menyeluruh. Hakim dalam menentukan keabsahan alat bukti yang disampaikan dalam proses pembuktian pada persidangan perkara pidana secara virtual membutuhkan ahli yang memiliki keahlian dalam bidangnya untuk menyatakan keotentikan alat bukti atau barang bukti.

Kata Kunci: Pembuktian, Persidangan, Virtual

Abstract

Evidence plays a role in the examination process at court proceedings in criminal cases. Problems that occur are related to the process of evidence before the current trial, where trials of criminal cases are conducted virtually or via teleconference. In the proving process at virtual criminal proceedings, judges are deemed difficult to assess the authenticity of the evidence and evidence submitted by the public prosecutor and legal advisors electronically, considering that judges do not have expertise in technology and information (IT). The authenticity of evidence and evidence will affect the legality of evidence in the criminal justice system.

Virtually criminal case trials are regulated in the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 4 of 2020 concerning Electronic Administration and Trial of Criminal Cases in Courts.

The contradiction in the application of a virtual trial to the principles of criminal procedure law, namely the principles of oral and direct examination of judges and the principles of open trials for the public. These two principles cannot be fully applied as in conventional criminal proceedings in general, because the application of these principles has a very different atmosphere and situation so that it has obstacles to apply these principles as a whole. Judges in determining the validity of the evidence presented in the process of evidence at the trial of a criminal case virtually requires an expert who has expertise in his field to state the authenticity of the evidence or evidence.

Keywords: Proofin, Trial, Virtual

Cara Sitasi:

Hulu, I,P.,(2022), “Legalitas Pembuktian Dalam Persidangan Secara Virtual Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol 3. No.2 , Pages171-183

(2)

Page | 172 A. Pendahuluan

Mekanisme terhadap sistem peradilan pidana secara virtual atau melalui video Teleconference kini telah memiliki landasan dan acuan dalam pelaksanaannya, dimana sebelumnya mekanisme terhadap sistem peradilan pidana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sistem peradilan pidana diharuskan dan diwajibkan menerapkan asas-asas sebagai dasar ratio legis pembentukan hukum acara pidana. Asas-asas hukum acara pidana yang dipandang bertentangan dengan penerapan persidangan pidana secara virtual adalah asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan serta asas persidangan terbuka untuk umum.

Dalam realitanya, persidangan perkara pidana dilakukan secara virtual atau melalui video Teleconference dipandang tidak menerapkan asas persidangan terbuka untuk umum. Keadaan tertentu dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik Pasal 1 Ayat (16) dikatakan bahwa,

“Keadaan Tertentu adalah keadaan yang tidak memungkinkan proses pelimpahan perkara, pengadministrasian perkara maupun persidangan dilaksanakan sesuai tata cara dan prosedur yang diatur dalam Hukum Acara karena jarak, bencana alam, wabah penyakit, keadaan lain yang ditentukan oleh pemerintah sebagai keadaan darurat, atau keadaan lain yang menurut majelis hakim dengan penetapan perlu melakukan persidangan secara elektronik”.1

Pembuktian memegang peranan dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan.

Dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana disidang pengadilan.2 Persidangan perkara pidana menurut KUHAP yang pada hakikatnya terbuka untuk umum, serta dihadiri para pihak baik hakim, jaksa, penasehat hukum, serta terdakwa.

Ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik memiliki praktek yang berbeda dengan ketentuan beracara dalam KUHAP, dimana para pihak yang mengikuti persidangan berada ditempat yang berbeda untuk memberikan keterangan, serta proses pembuktian dilakukan secara virtual.

Perbedaan proses tata cara persidangan dalam dua ketentuan tersebut menimbulkan kontradiktif antara KUHAP dan PERMA 4 Tahun 2020, terutama dalam proses pembuktian, diman dalam proses pembuktian pada persidangan perkara pidana secara virtual, hakim dipandang kesulitan menilai keotentikan alat bukti dan barang bukti yang diajukan pihak jaksa penuntut umum maupun pihak penasihat hukum secara elektronik, keontentikan alat bukti dan barang bukti akan mempengaruhi legalitas pembuktian dalam sistem peradilan pidana.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum yang mengatur persidangan perkara pidana secara virtual?

2. Bagaimanakah pertentangan penerapan persidangan secara virtual terhadap asas-asas hukum acara pidana?

1

Pasal 1 Ayat (16) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik

2

Hari Sasangka dan Lily Rosita Hukum Pembuktian Dalam Perkara

pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hlm. 11.

(3)

Page | 173 3. Bagaimanakah legalitas pembuktian dalam persidangan secara virtual ditinjau

dari aspek hukum acara pidana?

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan mengkaji pengaturan hukum yang mengatur persidangan perkara pidana secara virtual.

2. Untuk menganalisis dan mengkaji pertentangan penerapan persidangan secara virtual terhadap asas-asas hukum acara pidana.

Untuk menganalisis dan mengkaji legalitas pembuktian dalam persidangan secara virtual ditinjau dari aspek hukum acara pidana.

B. Pembahasan

1. Kerangka Teoritis a. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman dalam hubungan-hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.3

Penegakan hukum secara sederhana sebagaimana dirumuskan oleh Sajipto Rahadjo, penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan- keinginan hukum menjadi kenyataan.4 Proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat hukum itu sendiri. Keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yg harus dijalankan itu dibuat.5

Penegakan hukum mecakup tiga hak yang harus diperhatikan, yaitu:6 kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechigheit). Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan peroses atau bagaimana hukum diterapkan melalui berbagai hubungan interaksi perilaku mausia yang mewakili institusi dan kepentingan yang berbeda.7 Keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti netral, sehingga dampak positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Persidangan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh komponen penegak hukum, antara lain oleh majelis hakim, jaksa, terdakwa atau yang juga diwakili oleh kuasa hukum atau pengacaranya, bertujuan untuk menegakkan hukum, untuk

3

Dellyana Shanty, Konsep Penegakan Hukum, (Yogyakarta, Liberty, 1998) hlm.37

4

Satjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009) hlm. 24.

5

Satjipto Rahadjo, Op.Cit, hlm. 25.

6

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 1995) hlm. 14.

7

Firman Halawa dan Edi Setiadi, Korupsi Dengan Nilai Kerugian Sedikit,

(Bandung: CV Mega Rancage Press dan P2U UNISBA, 2016), hlm. 79.

(4)

Page | 174 mencari dan menemukan rasa keadilan. Kata menegakkan hukum, adalah sangat jelas, yaitu mengakkan hukum, bukan menegakkan peraturan perundang-undangan.

Antara hukum dan peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan yang nyata.

Salah satu fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan penegakan hukum.

Penggunaan teori penegakan hukum ini sangat relevan bilamana dikaitkan dengan penegakan hukum dalam persidangan perkara pidana secara elektronik yang dilandasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik.

b. Teori Pembuktian

Pembuktian merupakan bagian yang sangat krusial dalam proses pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan karena, pada proses inilah seorang terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak serta taruhanya adalah hak asasi manusia dalam hal ini adalah hak asasi terdakwa. Pembuktian dalam hukum acara pidana yang memuat fakta-fakta tentang peristiwa pidana yang terjadi yang dibutuhkan oleh hakim untuk mengambil keputusan.

Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk). Menurut pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) ini merupakan keseimbangan dari dua teori pembuktian yang saling bertolak belakang secara ekstrim yaitu teori pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori pembuktian menurut keyakinan hakim. Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila dari sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu.8

Sistem pembuktian ini selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).9 Negatief wettelijk bewijs theorie memadukan dua unsur yaitu ketentuan pembuktian berdasarkan undang- undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan.

Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim.10 Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bahwa rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-

8

Darwan Pinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Cet. 2 (Jakarta:

Djambatan, 1998), hlm. 134

9

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 186-187.

10

Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung :

Alumni, 2011) hlm. 41.

(5)

Page | 175 undang.11 Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan serta yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.12

Teori pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia, dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.13

2.

Pengaturan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Virtual

a.

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik terdiri atas 5 (lima) bab dan 20 (dua puluh) pasal, adapun pembagian bab tersebut mengatur tentang:

1) Bab I mengatur tentang Ketentuan Umum

2) Bab II mengatur tentang Pelimpahan Perkara, Penomoran, Dan Panggilan Sidang

3) Bab III mengatur tentang Persidangan

4) Bab IV mengatur tentang Ketentuan Peralihan 5) Bab V mengatur tentang Ketentuan Penutup.

PERMA Nomor 4 Tahun 2020 memberikan pedoman agar persidangan perkara elektronik dilakukan hanya dalam keadaan tertentu saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa:

“Dalam Keadaan Tertentu, baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung. Hakim Majelis Hakim karena jabatannya atau atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan diruangan sidang Pengadilan maupun secara elektronik.” 14

Keadaan tertentu disini juga telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (16) PERMA Nomor 4 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa:

“Keadaan Tertentu adalah keadaan yang tidak memungkinkan proses pelimpahan perkara, pengadministrasian perkara maupun persidangan dilaksanakan sesuai tata cara dan prosedur yang diatur dalam Hukum Acara karena jarak, bencana alam, wabah penyakit, keadaan lain yang ditentukan oleh pemerintah sebagai keadaan darurat, atau keadaan lain yang menurut majelis hakim dengan penetapan perlu melakukan persidangan secara elektronik.” 15

11

M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cet. 10, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hlm. 279

12

Suhartoyo, Argumen Pembalikan Beban Pembuktian, Cet. 1 (Depok:

Rajawali Pers, 2019), hlm. 150.

13

Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

14

Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2020

15

Pasal 1 ayat (16) PERMA Nomor 4 Tahun 2020.

(6)

Page | 176 Kelima keadaan tersebut dalam pasal 1 ayat (16) merupakan batasan-batasan untuk melakukan persidangan perkara pidana secara elektronik. Persidangan perkara pidana secara elektronik ditetapkan oleh Majelis Hakim dikarenakan jabatannya.

Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Terdakwa juga dapat mengajukan permintaan kepada Majelis Hakim untuk melakukan persidangan secara langsung atau secara elektronik. Artinya penetapan persidangan perkara pidana secara elektronik membutuhkan penetapan dari Majelis Hakim dengan syarat terjadinya keadaan tertentu Ada hal yang menarik dari kelima batasan-batasan keadaan tertentu yaitu keadaan lain yang menurut majelis hakim dengan penetapan perlu melakukan persidangan secara elektronik. Keadaan lain menurut Majelis Hakim ini merupakan kewenangan hakim untuk menentukan keadaan tertentu selain yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (16) PERMA Nomor 4 Tahun 2020. Di sini Majelis Hakim memiliki peran untuk meneliti situasi atau kondisi yang tidak memungkinkan proses persidangan perkara pidana secara langsung agar menggunakan alternatif persidangan perkara pidana secara elektronik.

b.

Mekanisme Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik

Mekanisme persidangan perkara secara elektronik diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18, yaitu dimulai dari tahap pelimpahan berkas perkara sampai pada tahap pembacaan Putusan Hakim, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik. Mekanisme dalam PERMA tersebut telah memenuhi aspek prosedural dan aspek substansial. Pertemuan secara tidak langsung tersebut dapat menggunakan suara (audio conference) atau video (video conference) yang memungkinkan kedua belah pihak dapat saling melihat seperti bertatap muka secara langsung.16 Aspek prosedural dalam hal ini telah terpenuhi dengan lahirnya PERMA tersebut, namun harus dilakukan pembaharuan sesegera mungkin dengan merevisi KUHAP untuk menghindarinya disharmonisasi hukum. Selanjutnya bila meninjau aspek substansial, mekanisme dalam PERMA tersebut telah mengakomodasi kepentingan Hakim, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, terdakwa.17

3.

Pertentangan Penerapan Persidangan Perkara Pidana Secara Virtual Terhadap Asas-Asas Hukum Acara Pidana

a.

Asas-Asas Dalam Hukum Acara

Pidana Di Indonesia

Asas adalah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum.18 Terdapat asas-asas penting dalam Kitab Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:

1) Asas Peradilan Cepat, Sederhana Biaya Ringan

2) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of Innocence) 3) Asas Oportunitas

16 Fathul Wahid, Kamus Istilah Teknologi Informasi, Ed. I. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, hlm. 6

17 Adhyaksa TV Official, Seminar Persidangan Online Sebagai Inovasi Beracara Pidana Dimasa Pandemi Covid-19, Dimuat Dalam Website Internet:

https://www.youtube.com/watch?v=cGAQkgmYo1Q, diakses pada tanggal 23 Desember 2020 pukul 03.51 WIB

18 Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa ini Dalam Menemukan asas-asas Hukum, Medan: Fakultas Hukum USU, 1986, hlm.11

(7)

Page | 177 4) Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

5) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

6) Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap 7) Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum 8) Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatior dan Inquisitor)

9) Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan

b. Asas-Asas Dalam Hukum Acara

Pidana Di Indonesia

Persidangan perkara pidana secara virtual memiliki pertentangan terhadap

asas-asas dalam hukum acara pidana. Asas-asas yang dinilai bertentangan yaitu, asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan serta asas persidangan terbuka untuk umum. Penjelasan terhadap pertentangan asas-asas tersebut akan diuraikan secara mendalam sebagai berikut:

1)

Pertentangan Persidangan Pidana Secara Virtual Terhadap Asas Pemeriksaan Hakim Secara Langsung Dan Lisan

Penerapan persidangan perkara pidana secara virtual dinilai tidak memungkinkan hakim untuk memeriksa ahli, terdakwa dan saksi untuk di periksa secara langsung dan lisan sepenuhnya. Pada prinsipnya sidang virtual ini tidak meniadakan asas ini. Tatap muka secara langsung dalam pengertian bahwa tanya jawab masih dapat meskipun tidak secara langsung atau face to face , tetapi melalui teleconference. Melalui teleconfrerence hakim dapat melihat secara langsung para pihak baik Penuntut Umum, Penasihat Hukum, saksi, ahli dan pihak-pihak lainnya. Tanya jawab dalam persidangan bisa berlangsung secara virtual. Inilah kemudahan yang diperoleh dengan perkembangan teknologi. Bukan tidak mungkin ke depan praktek sidang virtual ini dapat diberlakukan sekalipun wadah COVID-19 atau bencana non alam ini sudah berakhir. Dalam situasi normal pun praktek sidang virtual ini dapat berlangsung manakala misalnya saksinya tidak dapat hadir karna jarak yang jauh.”

19

2)

Pertentangan Persidangan Secara Virtual Dikaitkan Dengan Asas Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dalam persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik tidak sepenuhnya merealisasikan tujuan dari asas persidangan terbuka untuk umum. Moch Fаisаl Sаlаm, menаfsirkаn аsаs persidаngаn terbukа untuk umum sebаgаi jаminаn bаhwа hаkim tidаk berpihаk.

Bаhwа setiаp orаng dаpаt menghаdiri sidаng tersebut, sehinggа perаdilаn berаdа dibаwаh pengаwаsаn pendаpаt umum.

20

Adanya persidangan perkara pidana secara elektronik menjadikan proses peradilan yang dilangsungkan secara virtual menjadi tidak transparan kepada masyarakat dimana hal tersebut merupakan

19 Hasil Wawancara Dengan Bapak Firman Halawa Selaku Jaksa Fungsional Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Pada Hari Senin, 18 Januari 2021 Pukul 15.30 WIB

20 Moch Fаisаl, Hukum Аcаrа Pidаnа Dаlаm Teori Dаn Prаktek, Mandar Maju, Bаndung: 2001, hlm. 273

(8)

Page | 178

salah satu hak masyarakat dalam mengawasi jalannya persidangan dan merupаkаn bentuk sociаl control mаsyаrаkаt dаlаm sistem perаdilаn.

21

Asas persidangan terbuka untuk umum dalam persidangan memiliki tujuan utamanya yaitu menegakan keadilan dan kepastian hukum terhadap para pihak yang beracara dalam persidangan secara transparansi. Dimana seluruh tahapan beracara di persidangan harus memperhatikan dan meletakan pondasi asas persidangan terbuka untuk umum guna terwujudnya penegakan hukum yang sesuai perundang-undangan dalam beracara di persidangan. Kesesuaian persidangan perkara pidana secara virtual bilamana dikaitkan dengan asas persidangan terbuka untuk umum menjadi pertanyaan dalam penelitian ini. Untuk menjawab hal tersebut maka dapat kita lihat pada pasal 16 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik yang mengatakan bahwa, “putusan diucapkan hakim/majelis hakim dalam sidang terbuka untuk umum”. Maka demikian hakim diwajibkan melaksanakannya sebagaimana persidangan secara langsung pada umumnya.

Bilamana hakim mengucapkannya dalam persidangan perkara pidana secara elektronik maka persidangan tersebut sah/ telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kendati demikian persidangan pidana secara virtual dinilai sulit diakses oleh masyarakat, hal demikian menjadikan asas persidangan terbuka untuk umum hanya sekedar diucapkan dan tidak direalisasikan sepenuhnya. Sehingga harus diadakan pembenahan kembali terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik untuk mengatur akses publik untuk mengikuti dan mengawasi persidangan secara jelas dan terperinci guna menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang adil.

4.

Legalitas Pembuktian Dalam Persidangan Secara Virtual Ditinjau Berdasarkan Hukum Acara Pidana

a.

Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Mekanisme pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pemeriksaan alat bukti dilakukan di pengadilan. Hal ini diatur dalam BAB XVI tentang Pemeriksaan di sidang pengadilan pada bagian keempat mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa. Hakim memeriksa alat-alat bukti yang sah secara langsung dan lisan guna menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum maka sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP (sebagaimana Pasal 183 KUHAP) yaitu pembuktian menurut undang-undang secara

21

Muhаmmаd Bаkri, Pengаntаr Hukum Indonesiа: Pembidаngаn dаn

Аsаs-Аsаs Hukum (Jilid 2), Universitаs Brаwijаyа Press, Malang, 2015, hlm. 204.

(9)

Page | 179 negatif (negatief wattelijk Bewijstheorie) yakni dengan menggunakan keyakinan hakim dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah terdiri atas, keterangan ahli, saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Menurut Adami Chazawi, pembuktian di sidang pengadilan meliputi dua bagian kegiatan yaitu:

1) Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan

2) Bagian pekerjaan penganalisasian fakta yang sekaligus penganalisasian hukum. 22

Bagian pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh jaksa penuntut umum dan penasihat hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 ayat 1 huruf a).

Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). Bagian pembuktian kedua ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisasian fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisasian hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh jaksa penuntut umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi penasihat hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pledooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.23

b.

Legalitas Pembuktian Dalam Persidangan Secara Virtual Ditinjau Dari Aspek Hukum Acara Pidana

Hukum Pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta- fakta yuridis di persidangan.24 Pembuktian dalam persidangan secara virtual tidak terlepas dari peran hakim/ majelis hakim yang memberikan persetujuan (melalui penetapannya) untuk melaksanakan persidangan secara virtual. Penetapan tersebut harus dikaitkan juga dengan keadaan tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat (16) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik.

Persidangan perkara pidana secara virtual juga memperhatikan legalitas pembuktian secara materil. Persidangan pidana secara online pada akhirnya dapat mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil). Sebab, jika infrastruktur untuk mendukung peradilan online yang kurang memadai potensial mengurangi keabsahan proses pembuktian.

Salah satu hal yang sering menimbulkan keraguan adalah bahwa pembuat atau penyimpanan informasi tersebut merekayasa dokumen yang bersangkutan atau mengijinkan orang lain untuk merekayasa dokumen itu. Sehingga untuk mencegah adanya rekayasa atau penyalahgunaan maka penulis berpendapat bahwa dipandang perlu hakim memanggil saksi ahli yang menguasai dalam bidang barang bukti

22

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 49.

23 Ibid

24 Alfitra. Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan korupsi di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 25

(10)

Page | 180 elektronik sehingga dapat mengetahui keaslian barang bukti atau dokumen tersebut dengan mengadakan pengotentikan (authentication) artinya barang bukti dan dokumen harus terlihat sama seperti apa yang telah dikatakan oleh pihak yang mengajukan sebagai alat bukti dengan cara mendemonstrasikan di depan saksi ahli untuk mencegah adanya rekayasa dari alat bukti tersebut. Dengan demikian untuk pembuktian barang bukti yang dikirim secara elektronik membutuhkan petunjuk melalui keterangan ahli yang memiliki keahlian dalam bidangnya untuk menyatakan alat bukti atau barang bukti tersebut adalah sah dan valid.

c.

Kekuatan Pembuktian Persidangan Perkara Pidana Secara Virtual Atau Melalui Video Teleconference

Menurut Andi Hamzah, untuk menilai kekuatan alat bukti adalah kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani Hakim pada waktu pemeriksaan di muka sidang yang dilakukannya dengan arif dan bijaksana. Kecermatan dan kesaksamaan Hakim di sini adalah “pengamatan Hakim” di muka sidang.25

Alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam sidang virtual sama seperti yang tertuang dalam hukum acara. Yang membedakannya dalah cara penyajiannya saja apabila sidang konvensional penyajian alat-alat bukti dihadirkan di depan pengadilan dan diketahui oleh pihak-pihak baik dalam barang maupun dokumen.

Namun dalam sidang virtual penyampaian alat bukti dilakukan dengan bantuan teknologi informasi baik bukti fisik maupun dokumen (seperti PDF, foto, video sesuai dalam PERMA 4 2020). Ketika bukti yang diajukan Penuntut Umum. Utamanya, seharusnya dikirimkan kepada Pengadilan sebelum persidangan.

Proses pembuktian secara virtual ini tidak membuat penuntutan menjadi lemah.

Kekuatan pembuktian tetap sah dan kuat.26 Adapun kekuatan pembuktian itu terletak dari:

1. Sejauh mana bukti-bukti itu yang diajukan relevan dan memperkuat dari dakwaan

2. Bagaimana bukti-bukti tersebut diperoleh secara sah dan patut sesuai ketentuan perundang-undangan.

3. Bukti-bukti tersebut memiliki nilai pembuktian terutama membuat terang tindak pidana yang terjadi.27

Dalam persidangan virtual nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan bergantung pada subjektivitas hakim. Sehingga Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Hal ini bergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tetapi kebebasan itu tidak mutlak adanya, karena keputusan yang diambil oleh hakim tidak boleh sewenang-wenang dan harus benar-benar bertanggungjawab.

d. Kendala Yang Dihadapi Dalam Pembuktian Secara Virtual

Berdasarkan uraian - uraian sebelumnya, ditemukan beberapa kendala dalam pembuktian pada persidangan perkara pidana secara elektronik yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang

25Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hlm. 76.

26 Hasil Wawancara Dengan Bapak Firman Halawa Selaku Jaksa Fungsional Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Pada Hari Senin, 18 Januari 2021 Pukul 15.30 WIB

27 Hasil Wawancara Dengan Bapak Firman Halawa Selaku Jaksa Fungsional Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Pada Hari Senin, 18 Januari 2021 Pukul 15.30 WIB

(11)

Page | 181 Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik antara lain:

1) Lemah secara Hukum

Hukum persidangan secara elektronik di mana terdakwa berada di dalam lembaga pemasyarakatan yang mengikuti sidang secara teleconference ini bertentangan dengan Pasal 145 dan Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Aturan dalam KUHAP itu menghendaki pemeriksaan terdakwa dalam sidang di pengadilan dan tidak mengatur pemeriksaan secara elektronik.

2) Keterbatasan SDM TI dan Infrastruktur

Salah satu kendala utama yang dihadapi pengadilan dalam persidangan secara virtual ialah sumber daya manusia di bidang teknologi informasi (TI), sarana prasarana (infrastruktur) komputer/internet yang tidak mendukung, dan jaringan internet yang tidak stabil, serta penundaan sidang yang berlarut-larut yang dapat mengakibakan timbulnya potensi maladministrasi.

3) Sistem yang Belum Baik

Salah satu aplikasi yang sering kali digunakan dalam persidangan online yaitu zoom, namun penggunaan aplikasi zoom untuk sidang secara daring menimbulkan potensi terjadinya peretasan. Dalam proses pembuktian, pengajuan barang bukti yang sering kali tidak dapat diakses secara jelas. Di samping itu juga, sidang daring menyulitkan dalam proses menggali fakta persidangan. Hal ini menjadikan persidangan secara online dapat memengaruhi proses pembuktian karena terdakwa tidak dapat dihadapkan langsung, sehingga menyulitkan penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum dalam menggali fakta melalui pertanyaan-pertanyaan kepada terdakwa.

4) Kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, terutama penasihat hukum yang tidak berada berdampingan dengan terdakwa.

Dalam pelaksanaan sidang online, perkara pidana yang digelar dinilai merugikan terdakwa. Hal ini dikarenakan kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, terutama penasihat hukum yang tidak berada berdampingan dengan terdakwa. Malahan yang terjadi adalah persidangan penasihat hukum harus ada di dua posisi. Pertama, terdakwa bersama penasihat hukum di mana terdakwa itu ditahan, dan kedua, penasihat hukum juga hadir di persidangan yang dilakukan pada saat hakim memeriksa sidang teleconference yang implementasinya dinilai merugikan karena penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa.

5) Problematika Teleconference sebagai Alat Bukti

Penerapan kesaksian melalui teleconference merupakan sebuah terobosan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia meskipun kesaksian secara teleconference sudah pernah digunakan dalam persidangan. Namun pada kenyataannya, hal tersebut masih menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Pertentangan ini timbul dengan alasan bahwa kesaksian dengan teleconference tidak diatur dalam KUHAP.

Namun demikian, yang perlu dipahami bahwa diterima atau tidaknya suatu alat bukti di persidangan ditentukan oleh hakim. Meskipun tidak semua alat bukti yang diterima di dalam persidangan adalah layak dipercaya dan berbobot. Pengalaman dan analisis hakim merupakan paduan terbaik yang dapat digunakan untuk menentukan barang bukti mana yang layak untuk dianggap kredibel. Dalam mengevaluasi penggunaan alat bukti di dalam persidangan, perhatian perlu difokuskan pada keterkaitan antara alat bukti tersebut dengan hal yang hendak dibuktikan kebenarannya.

6) Kurangnya Penyuluhan Terkait Pelaksanaan Sidang Virtual

Secara fakta, masih banyak kendala di lapangan menyangkut E-Litigasi, meski begitu, persidangan tetap harus dilaksanakan apa pun kendalanya. Hal ini disebabkan

(12)

Page | 182 oleh salah satunya karena minimnya sosialisasi hukum terkait persidangan virtual yang dilakukan. Padahal sebagaimana diketahui, warga masyarakat sampai saat ini masih beraneka ragam dalam memberi arti dan mempersepsikan hukum, khususnya berkenaan dengan persidangan virtual, dan ada kecenderungan untuk tersesat pada pemahaman yang sempit atau keliru tentang hukum. Dengan kekeliruan dalam pemahaman hukum, dapat berpengaruh terhadap penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum. Pemahaman seseorang tentang hukum sangat tergantung pada apa yang diketahui dari pengalaman yang dialaminya tentang hukum. Bagi masyarakat yang hanya mengenal hukum adalah berupa pemenjaraan, eksekusi mati atau keharusan patuh untuk pungutan retribusi dan pajak, dalam pemikiran mereka hukum adalah sesuatu yang menyakitkan dan membebani kehidupan. Padahal, fungsi hukum yang sebetulnya sangat mengutamakan faktor kegunaan (utility) untuk terwujudnya ketentraman masyarakat melalui fungsi kontrol sosial (social control) dan perbaikan kehidupan masyarakat melalui fungsi sebagai mesin alat pembaruan (social engineering). Kendala-kendala tersebut diharapkan menjadi perhatian bersama dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sehingga revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini dibutuhkan sebagai solusi atau upaya mengatasi berbagai permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia.

C. Penutup

Persidangan perkara pidana secara virtual diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik dimana peraturan tersebut secara hierarki perundang-undangan berada di bawah undang-undang namun diakui oleh negara dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penerapan persidangan secara virtual bertentangan terhadap asas-asas hukum acara pidana, yaitu terdapat pada asas pemeriksaan hakim yang lisan dan langsung dan asas persidangan terbuka untuk umum.

Kedua asas tersebut tidak dapat di terapkan sepenuhnya sebagaimana persidangan perkara pidana secara konvensional pada umumnya, karena penerapan asas tersebut memiliki suasana dan keadaan yang sangat berbeda sehingga memiliki kendala untuk menerapkan asas-asas tersebut secara menyeluruh. Hakim dalam menentukan keabsahan alat bukti yang disampaikan dalam proses pembuktian pada persidangan perkara pidana secara virtual membutuhkan ahli yang memiliki keahlian dalam bidangnya untuk menyatakan keotentikan alat bukti atau barang bukti. Kemudian, untuk kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti tentunya merujuk pada kekuatan pembuktian pada umumnya sebagaimana yang telah diatur didalam KUHAP.

Oleh karena itu, diharapkan pengaturan mengenai penyelenggaraan sidang perkara pidana secara online jarak jauh atau Teleconference disempurnakan secepatnya, sebab lambatnya pembaruan hukum di Indonesia (Expired Law) akan melanggar pemenuhan jaminan hak hukum setiap individu yang sedang berhadapan dengan hukum.

Selain itu, mekanisme persidangan secara virtual khususnya dalam proses pembuktian juga perlu diatur secara lebih terperinci dengan payung hukum yang lebih tinggi, agar proses persidangan tersebut benar-benar ideal dan tidak sampai merugikan para pihak.

(13)

Page | 183 Daftar Pustaka

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan korupsi di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011.

Bаkri, Muhаmmаd, Pengаntаr Hukum Indonesiа: Pembidаngаn dаn Аsаs-аsаs hukum Jilid 2, Mаlаng: Universitаs Brаwijаyа press, 2015.

Chazawi, Adami, Hukum PembuktianTindak Pidana Korupsi, Bandung: Penerbit PT.

Alumni, 2006.

Fаisаl, Moch, Hukum Аcаrа Pidаnа dаlаm teori dаn prаktek, Bаndung: Mаndаr Mаju, 2001.

Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa ini Dalam Menemukan asas-asas Hukum, Medan: Fakultas Hukum USU, 1986.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-17, Jakarta:

Raja Grafindo, 2015.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Wahid, Fathul, Kamus Istilah Teknologi Informasi, Ed. I, Yogyakarta: Andi, 2002 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Persidangan Perkara Pidana Di Lingkungan Pengadilan Secara Elektronik

Wawancara Dengan Bapak Firman Halawa Selaku Jaksa Fungsional Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Pada kendaraan Autonomous level 5 kita tiba di mobil tanpa pengemudi sejati. Kendaraan berkemampuan level 5 harus dapat memonitor dan bermanuver melalui semua kondisi

Gunakan hukum Keppler ketiga untuk menentukan jari - jari planet A yang mengelilingi matahari 27 kali lebih lama dibanding waktu yang dibutuhkan oleh bumi dan tentukan pula

Pada langkah ke enam dari Gambar 3.1, hasil pengujian dan kualitas pengukuran yang diperoleh pada penelitian ini akan dijabarkan sebagai jawaban dari permasalahan

Dari jawaban siswa setelah wawancara, dapat diketahui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam Memahami bagaimana gagasan-gagasan dalam matematika saling berhubungan dan

tersebut diatas maka fokus studi pada artikel ini adalah apa urgensi dari ketersediaan ruang terbuka hijau publik dalam perencanaan tata ruang kota yang

Mannan (Ahmad, 2001) also defined that; Islamic economic is a social science which studies the economics problem of a people imbued with the values of Islam.. Meanwhile,

3) https://id.wikipedia.org/wiki/Sawah. 4) Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm.. hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang bentuk komunikasi siswa dengan gurun dan teman sebayanya, kondisi fisik sekolah, program-program