• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang

menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya.

Seiring dengan proses infeksi ini, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan terhadap infeksi lain. Tahap paling akhir dari infeksi HIV adalah AIDS. Hal ini membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun untuk membuat seseorang yang terinfeksi HIV berkembang menjadi AIDS (WHO, 2010).

Gambar 2.1 : Virion Human Immunodeficiency Virus (Carl Henderson, 2005)

(2)

2.1.1 Transmisi HIV

Transmisi HIV dapat terjadi melalui transeksual yaitu homoseksual maupun heteroseksual, kontak darah yang terkontaminasi antara lain transfusi darah, jarum suntik bekas pakai, serta ibu yang terinfeksi HIV ke anaknya selama mengandung, persalinan, dan menyusui (Volberding et al. 2008).

HIV dapat ditemukan dalam darah, semen, cairan serviks, ASI, saliva, serum, urine, air mata, cairan krevikular, cairan serebrospinal. Sejauh ini transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina, cairan serviks, dan ASI (Nasronudin, 2007).

2.1.2 Epidemiologi HIV/AIDS

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan 2 (April-Juni 2011) yaitu dari April sampai dengan Juni 2011 kasus AIDS baru dilaporkan sebanyak 2.001 kasus dari 59 Kabupaten/Kota di 19 Provinsi. Proporsi kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (36,4%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (34,5%) dan kelompok umur 40-49 tahun (13,3%). Jumlah kasus baru HIV positif sebanyak 6.087 kasus (Subdit AIDS&PMS Ditjen PP dan PL, 2011).

2.1.3 Tahapan Infeksi HIV

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September

(3)

tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat (WHO, 2011).

 Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

 Stadium II: radang saluran pernapasan atas yang berulang

 Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

 Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

2.2 Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme akibat menurunnya sistem imun tubuh (Molinari

& Glick, 2003; Blignaut, 2006; Duarsa, 2003). Virus ini merusak sistem imun tubuh pasien dan akan sangat rentan terhadap mikroorganisme oportunistik yang dapat terlihat secara sistemik maupun oral (Chapple & Hamburger, 2000; Coogan et al. 2006; Challacombe & Naglik, 2006).

2.3 Manifestasi Rongga Mulut pada Infeksi HIV/AIDS

Sejak awal adanya epidemik HIV/AIDS, lesi rongga mulut telah diketahui sebagai gejala yang mempunyai peran penting pada infeksi HIV/AIDS. Beberapa dari perubahan lesi rongga mulut secara klinis dapat merupakan refleksi akibat

(4)

berkurangnya fungsi kekebalan tubuh yang dinyatakan sebagai kondisi oportunistik rongga mulut. (Volberding et al. 2008)

Manifestasi rongga mulut pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS paling banyak dijumpai adalah kelainan Oral Candidiasis khususnya Pseudomembraneous Candidiasis dan Erythematous Candidiasis (Bodhade et al.

2011; Chattopadhyay et al. 2005; Greenberg et al, 2008). Pada penelitian prospective cohorts mengenai infeksi HIV pada homoseksual dan laki-laki

biseksual di San Francisco, Oral Hairy Leukoplakia merupakan lesi rongga mulut yang sering muncul (20,4 %) dan Pseudomembranous Candidiasis merupakan urutan selanjutnya (5,8 %). Hubungan antara prevalensi lesi rongga mulut dan jumlah CD4+ mempunyai keterkaitan yang berarti. Lesi-lesi ini terjadi pada tahap awal setelah seroconversion dan penanda perkembangan infeksi HIV/AIDS (Volberding et al. 2008).

Manifestasi rongga mulut yang berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS dikelompokkan menurut klasifikasi EEC Clearinghouse antara lain : (Bodhade et al. 2011)

Grup 1 : Lesi yang sering berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS

Oral candidiasis

 Erythematous candidiasis

 Pseudomembranous candidiasis

 Angular cheilitis

Oral hairy leukoplakia

Linear gingival erythema

Necrotizing gingivitis

(5)

Necrotizing periodontitis

Non Hodgkin’s lymphoma

Grup 2 : Lesi yang jarang berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS

Melanotic hyper pigmentation

Ulcers not otherwise specified

Herpes simplex virus infection

Herpes zoster

Decreased salivary flow rate

Grup 3 : Lesi yang dapat berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS

Recurrent aphthous ulcers

Molluscum contagiosum

Lichenoid reaction

Facial palsy

Erythema multiforme

2.4 Oral Hairy Leukoplakia (OHL)

OHL merupakan lesi kedua setelah Oral Candidiasis yang sering muncul pada pasien HIV/AIDS disertai lesi rongga mulut yang lain. OHL telah digunakan sebagai penanda progresifitas penyakit sejak lesi ini berhubungan dengan rendahnya jumlah T-lymphocyte CD4+ (Greenberg, 2008).

2.4.1 Etiopatogenesis

OHL pertama kali ditemukan di lidah pada laki-laki homoseksual (Volberding et al. 2008). OHL disebabkan oleh autoinokulasi Epstein-Barr Virus

(6)

(EBV) melalui saliva dan ada hubungannya dengan kondisi imunosupresi yang dapat disebabkan oleh infeksi HIV (Kreuter & Wieland, 2011). EBV yang telah menginfeksi epitel akan menetap secara laten dan secara periodik menjadi aktif.

Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu, bahwa pada OHL ditemukan partikel EBV hampir 100%. Genom EBV yang berada pada sel inang umumnya dalam bentuk laten episom. Penelitian membuktikan bahwa replikasi EBV didalam sel lidah hanya dijumpai pada penderita dengan keadaan imunosupresi berat (Sumaryono & Budhy, 2005).

EBV merupakan herpes virus gamma yang termasuk dalam herpesviridae (Sumaryono & Budhy, 2005). Biasanya infeksi primer EBV terjadi awal kehidupan atau selama usia belasan tahun dan umumnya berbentuk infeksi subklinis, dan 50% di antaranya menunjukkan gejala infeksi mononukleosis.

Transmisi EBV terjadi melalui kontak person to person melalui cairan tubuh.

Transmisi yang paling sering adalah melalui saliva ketika berciuman sehingga EBV dikenal sebagai kissing disease. Transmisi EBV dapat juga ditularkan melalui kontak seksual dan air susu ibu (Walling, 2000).

Selama infeksi primer, EBV menginfeksi orofaring khususnya kelenjar saliva dan membran mukosa rongga mulut yaitu pada jaringan epitel nasofaringeal yang mejadi tempat replikasi virus. Setelah menginfeksi orofaring dan jaringan epitel nasofaringeal, EBV menginfeksi sel B. Sel B ini juga merupakan tempat bereplikasi EBV. EBV dapat menjadi laten dalam sel B dan memungkinkan untuk tetap hidup di dalam host selama seumur hidup (Faulkner et al. 2000).

Pada tubuh yang sehat ada keseimbangan antara replikasi EBV dengan penghancuran EBV oleh sel sistem imun seperti limfosit-T sehingga tidak

(7)

menimbulkan gejala. Pada pasien AIDS, keseimbangan ini tidak mungkin tercapai sehungga EBV berubah sifat dari organisme komensal menjadi patogen.

Hilangnya kemampuan sel-T karena infeksi HIV, menyebabkan EBV mendapat kemampuan untuk menghadapi fase produktif dan siklus kehidupan yang tidak terkendali (Faulkner et al. 2000).

OHL biasa terjadi pada orang yang immunosupresif. Hal ini terjadi pada 50% pasien tanpa dilakukan pengobatan HIV, terutama pada jumlah CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Bravo et al. 2006). Kondisi ini memiliki nilai prognostik yang jelas untuk pengembangan selanjutnya menjadi AIDS dan diklasifikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention kategori B sebagai penanda klinis

penyakit HIV (Centers for Disease Control and Prevention, 2006). OHL juga ditemukan pada kondisi keganasan hematologi, transplantasi sumsum tulang dan pasien yang menggunakan steroid sistemik. Hal tersebut jarang dilaporkan dalam keadaan tidak adanya kondisi imunosupresi (Piperi et al. 2010).

2.4.2 Gambaran Klinis

OHL dapat ditemukan di berbagai tempat di rongga mulut, seperti mukosa bukal, palatum dan dasar mulut (Volberding et al. 2008; Langlais & Miller, 2000;

Walling et al. 2000; Lewis, 2011; Kreuter & Wieland 2011). Gambaran klinis OHL tampak sebagai lesi berwarna putih mengarah vertikal yang sering terjadi pada lateral lidah, tidak dapat dikerok dan asimtomatis. Lesi biasanya bilateral terutama pada tepi lateral lidah dan bentuk lesi seperti rambut (Langlais & Miller, 2000; Walling et al. 2000; Lewis, 2011; Kreuter & Wieland 2011). Bentuk lesi seperti rambut disebabkan oleh hiperplasia epitel yang padat sepanjang 1 cm pada

(8)

permukaan parakeratotik yang terbukti ada secara histologis (Langlais & Miller, 2000).

Gambar 2.2 : Oral Hairy Leukoplakia pada lateral lidah (Lewis DM, 2011)

Pada awalnya OHL mempunyai lipatan berlekuk-lekuk merah muda agak putih. Lekukan tersebut akhirnya bergabung membentuk plak putih yang khas atau bercak putih tebal yang luas, sedangkan lesi yang lama dapat menutup seluruh lateral dan permukaan dorsal lidah dan meluas ke mukosa pipi dan palatum (Langlais & Miller, 2000; Sayuti, 2005).

Gambar 2.3 : Oral Hairy Leukoplakia pada mukosa bukal (Lewis DM, 2011)

(9)

2.4.3 Gambaran Histopatologis

Histopatologis OHL ditandai dengan 5 gambaran histologis utama : 1. Hiperkeratosis yang terdapat pada lapisan epitel yang menunjukkan

pola keratin pada sel epitel. Hiperkeratosis sebagian besar menunjukkan adanya pola rambut atau hairy pada lesi OHL. Lesi OHL yang bercampur dengan Candida dapat dilihat pada bagian superfisial epitel yang hiperkeratinisasi.

2. Parakeratosis terdapat pada lapisan epitel superfisial dengan keadaan abnornal pada nukleus yang menunjukkan adanya diferensiasi skuamus sel yang tidak lengkap.

3. Akantosis pada stratum spinosum di lapisan tengah epitel yang berupa ekspansi tidak normal pada sel, ditandai adanya foci atau gambaran balon yang biasa disebut koilocyte. Inti sel homogen berupa gambaran ground glass.

4. Sedikit atau tidak ada peradangan dalam jaringan epitel dan subepitel.

5. Daerah basal epitel terlihat normal secara histologi.

Gambar 2.4 : Gambaran sel balon pada lapisan spinosum (Lewis DM, 2011)

(10)

Atipia sel seperti hiperkromatik sel basal dan mitosis abnormal merupakan perubahan displasi yang mengarah terjadinya keadaan prakanker, tetapi hal ini jarang terjadi. Peradangan epitel dan subepitel jarang dijumpai, kadang-kadang terlihat adanya infiltrasi sel mononuklear pada jaringan subepitel. Hal ini disebabkan jamur kandida. Hifa Candida albicans dapat meluas ke lapisan permukaan epitel. Sel spinosum menggelembung, menghasilkan degenerasi balon, koilositosis, perpindaham kromatin ke daerah tepi, dan daerah peradangan ringan (Sudiono, 2005).

Gambaran seperti rambut pada OHL terjadi karena proliferasi EBV dilapisan epitel skuamosa lidah. Vakuol sel pada OHL sering dianggap sebagai koilosit yaitu sel yang mengindikasikan adanya infeksi virus. Yaitu adanya benda inklusi dalam sel epitel atau adanya homogenisasi pada sel keratinosit dari lesi OHL diyakini sebagai tanda spesifik untuk EBV dan digunakan sebagai petunjuk adanya infeksi virus disamping tanda seperti vakuolisasi sitoplasma sel, homogenisasi dan zona perinuklear ( Sudiono, 2005).

2.4.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding OHL yaitu : (Walling, 2000)

1. Candidiasis atau thrush biasanya berupa lesi putih yang datar, dapat dikerok dan dasar lesi berupa erythematous. Lesi hyperplastic candidiasis tidak dapat dikerok dan adherent, sehingga sulit untuk

membedakan dengan OHL. Solusinya yaitu diberikan antifungal therapy pada Candidiasis. Biasanya lesi OHL seringkali bercampur dengan Candida , sehingga sering bingung untuk membedakannya.

(11)

2. Frictional keratosis biasanya akibat gigitan berupa lateral borders pada lidah yang disebabkan molar ketiga atau sesuatu yang menyebabkan iritasi. Lesi ini cepat sembuh setelah faktor iritan dihilangkan.

3. Leukoplakia biasanya sering terjadi pada perokok dan pada individu yang menggunakan tembakau. Lesi ini tidak seperti OHL yang berambut dan dapat terjadi dimana saja di rongga mulut. Leukoplakia biasanya premalignant dan harus dievaluasi dengan cara biopsi dan histologic examination.

4. Lichen planus merupakan penyakit autoimun atau reaksi alergi yang tidak diketahui penyebabnya. Pada pasien HIV, Lichen planus sering terjadi pada mukosa bukal, dan sering bergabung dengan lesi kutaneus.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis OHL dapat dibuat dengan cara pemeriksaan histologi atau sitologi yaitu menggunakan biopsi eksisi pada jaringan atau exfoliated epithelial cells. Dalam kebanyakan kasus, OHL dapat didiagnosis secara klinis tanpa perlu

dibiopsi. Hal ini tidak membutuhkan perawatan khusus dan sembuh dengan penggunaan HAART (Nokta, 2008; Neville et al. 2009).

Definitive diagnosis OHL memerlukan pemeriksaan histologi maupun

sitologi dan demonstrasi EBV DNA, RNA atau protein dalam sel epitel lesi.

Beberapa pemeriksaan immunohistochemistry dan hibridisasi in situ dapat dilakukan untuk pemeriksaan pada bidang patologi untuk mendiagnosis infeksi EBV. Definitive diagnosis OHL diperlukan bila dilakukan suatu study penelitian,

(12)

jarang digunakan untuk pemeriksaan klinis (Greenberg, 2008; Neville et al. 2009;

Walling, 2000).

2.5 T-Lympochyte CD4+

CD4+ adalah bagian dari limfosit-T yang disebut sebagai T helper. Fungsi utama CD4+ adalah meregulasi sistem imun agar bekerja dengan baik. Prosesnya dengan cara merangsang sistem imun non-spesifik berupa fagosit untuk menjalankan fungsi kemotaksis dan fagositosis benda asing. Pada sistem imun spesifik humoral, CD4+ merangsang sel B (Limfosit-B) untuk menghasilkan antibodi dan mengatur produksi antibodi, sedangkan untuk sistem imun seluler berfungsi dalam mengatur CD8+ dan sel NK, untuk membunuh sel target yang terkena infeksi virus (Nasronudin, 2007).

Ketika HIV masuk ke tubuh, maka HIV akan mencari sel dengan reseptor CD4+. CD4+ merupakan target utama virus HIV, kemudian melakukan replikasi, selanjutnya virus tersebut meninggalkan CD4+ yang telah mati. HIV terus mencari dan menginfeksi sel dengan reseptor CD4+ yang baru. Semakin banyak CD4+ yang dihancurkan, maka sistem kekebalan tubuh akan semakin melemah dan tidak mampu lagi melindungi tubuh dari berbagai infeksi dan penyakit.

Pemantauan CD4+ pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat progresifitas penyakit beserta prognosisnya (Nasronudin, 2007).

Nilai normal untuk CD4+ pada pemeriksaan laboratorium adalah rata-rata 1050 (sel/mm3). Perhitungan jumlah CD4+ lebih sering digunakan dalam persentase, karena jumlah CD4+ yang variatif pada tiap orang. Jumlah CD4+

>500 sel/mm3 setara dengan >29%, untuk jumlah CD4+ 200-500 sel/mm3setara

(13)

dengan 14-28% dan untuk jumlah CD4+ <200 sel/mm3setara sengan <14%.

Jumlah CD4+ 29% memiliki arti bahwa 29% dari sel limfosit merupakan CD4+

(Nasronudin, 2007).

Gambar 2.5 : Molekul CD4 (Stowel, 2006)

Gambar

Gambar 2.1 : Virion Human Immunodeficiency Virus (Carl Henderson, 2005)
Gambar 2.2 : Oral Hairy Leukoplakia pada lateral lidah (Lewis DM, 2011)
Gambar 2.4 : Gambaran sel balon pada lapisan spinosum (Lewis DM, 2011)
Gambar 2.5 : Molekul CD4 (Stowel, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi adalah tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinuitas pelayanan), serta menjaga

Alhamdulillah, setelah melalui perjuangan panjang menaklukkan segala rintangan, melewati berbagai goncangan keputus-asaan dan tenggelam dalam samudra kegagalan yang

Dalam rangka mendukung pelaksanaan bakti sosial Mahasiswa STT Sul-Bar pada tanggal 25 Mei 2017 di Jemaat Patudaan Klasis Buttulangi, maka Panitia Pelaksana akan melakukan

Korelasi yang positif dan signifikan antara antara kesejahteraan guru dengan motivasi kerja dalam pelaksanaan proses pembelajaran di SMA Negeri 1 Pollung dapat dipahami

129 Jurnal Pengabdian Mitra Masyarakat (JPMM) Vol. Pemateri pengabdian kepada masyarakat sedang menjelaskan tentang produk – produk wirausaha kepada siswa – siswi SMK Karya

Farmasist berlisensi, teknisi berlisensi, atau profesional yang terlatih menelaah ketepatan setiap resep atau pesanan obat, obat yang baru saja diresepkan atau dipesan, atau bilamana

PENTING: Untuk kembali dengan cepat ke layar Mulai, tekan tombol Windows pada keyboard, atau arahkan pointer ke sudut kiri bawah layar Mulai, lalu klik atau ketuk tombol

Berdasarkan pembahasan di atas, maka akan di rancang interior bangunan Kantor Bupati Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas yang dapat memenuhi kebutuhan aktivitas dan