• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran Etin Anwar Tentang Kesetaraan Gender pada Lembaga Pendidikan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran Etin Anwar Tentang Kesetaraan Gender pada Lembaga Pendidikan Islam"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

54 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran Etin Anwar

Tentang Kesetaraan Gender pada Lembaga Pendidikan Islam

Mochamad Syaifudin IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo

mochamadthole81@gmail.com

Abstrak

Dalam dunia Pendidikan isu kesetaraan gender terutama pada Lembaga Pendidikan Islam masih relevan diperpincangkan. Penggunaan istilah ustadz, ustadzah, pak guru bu guru, siswa dan siswi, merupakan konsep awal pelabelan yang darinya peran dalam ruang public mulai dibedakan, bukan karena pertimbangan kompetensi tetapi lebih dominan disebabkan faktor perbedaan jenis kelamin, yang merupakan pemberian dari Tuhan. Etin Anwar menawarkan agar paradigma gender hirerarkis dirubah menjadi paradigma kesetaraan gender, sehingga dari sini pembagian peran terutama di ruang publik dalam hal ini Lembaga Pendididan Islam terdistribusi secara proporsional sehingga pembagian peran itu bukan lagi semata didasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang sudah diberikan oleh Tuhan tapi berdasarkan kompetensi yang diusahakan yang bersangkutan. Dengan ini penempatan seseorang pada peran tertentu sangat sesuai dan kredibel.

Kata kunci : Pendidikan Kesetaraan Gender, Etin Anwar, Lembaga Pendidikan Islam

Abstract

In the world of education, the issue of gender equality, especially in Islamic educational institutions, is still relevant to be debated. The use of the terms ustadz, ustadzah, teacher, teacher, student, is the initial concept of labeling from which roles in the public sphere began to be distinguished, not because of competence considerations but more dominantly due to the gender difference factor, which is a gift from God.Etin Anwar offers that the hierarchical gender paradigm is changed to a gender equality paradigm, so that from here the division of roles, especially in the public sphere, in this case Islamic Education Institutions, is distributed proportionally so that the division of roles is no longer solely based on gender differences that have been given by God but based on gender differences that have been given by God. competence that is cultivated in question. With this the placement of a person in a particular role is very appropriate and credible.

Key words : Gender Equality Education, Etin Anwar, Islamic Education Institutions

(2)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

55 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Pendahuluan

Nama Etin Anwar termasuk orang baru dalam deretan nama perempuan pejuang kesetaraan gender selain Fatimah Mernissi dan Aminah Wadud, dan Nawal el-Sa’dawi. Di kalangan perempuan tanah air ada nama Sinta Nuriyah Wahid, Siti Musdah Mulia dan lainnya. Di kalangan laki-laki terdapat nama Nasarudin Umar, KH. Husein Muhammad, KH. Faqihudin Abdul Qadir dan Mansour Fakih untuk menyebut beberapa nama. Tapi walaupun datang belakangan, Etin Anwar mampu berkonstribusi atas pemikiran tentang gender sejajar dengan nama-nama di atas. Ini terbukti dengan diterbitkan 2 bukunya oleh penerti luar negeri, Routledge New York.

Buku pertama berjudul Gender and Self in Islam terbit pada 2006 dan buku kedua, A Genealogy of Islamic Feminism: Patterns and Changein Indonesia diterbitkan pada 2018. Kedua buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. Buku pertama diterjemahkan menjadi Jati Diri Perempuan dalam Islam oleh Kurniasih dan diterbitkan pada 20171 sedangkan buku kedua, Feminisme Islam, Genealogi, Tantangan dan Prospek di Indonesia oleh Nina Nurmila serta cetakan pertama terbut pada 2021.2

Nama-nama di atas ingin memberikan wacana tandingan di tengah pemikiran mainstream bahwa keberadaan gender hierarkis yang dikonstruk oleh budaya, politik, sosial dan ekonomi juga didukung oleh legitimasi keagamaan berupa al-Qur’an dan Hadits. Salah satu ayat yang sering dicuplik adalah surah al-Nisa ayat 1. Ayat ini sebagaimana keyakinan yang sudah mapan, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk ayah semua manusia yakni Adam. Dari Adam dan Hawa berkembang biak dan menyebar keturunannya ke seluruh penjuru dunia. Berikut ini adalah ayat dan penafsirannya yang menjelaskannya.

Hai manusai, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari seorang manusia kemudian menciptakan dari jenisnya jodoh baginya dan dari keduanya dikembangkan keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan dengan naman-Nya kamu

1 Etin Anwar, Jati Diri Perempuan dalam Islam, terj. Kurniasih (Bandung: Mizan, 2017).

2 Etin Anwar, Feminisme Islam; Genealogi, Tantangan dan Prospek di Indonesia, terj. Nina Nurmila (Bandung: Mizan, 2021).

(3)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

56 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

menjaga kekeluargaan. Sungguh Allah selalu mengawasi kamu semuanya.

(QS. 4:1).3

Dalam menjelaskan ayat ini, Hasyiyah al-Showy ‘Ala Tafsir al- Jalalain menyajikan uraian sebagai berikut: ”kata zauj dikhususkan pada perempuan walaupun bisa berarti suami dan istri. Hawa disebut demikian karena berasal dari sesuatu yang hidup, yakni dari tulang rusuk Adam. Adam tertidur sehingga ketika potongan rusuknya diambil tidak terasa sakit, ketika terjaga, ia kaget karena didekatnya ada sosok lain yang belum dikenalnya, Hawa. Malaikat pun berkata seraya ingin menjawab kekagetan itu,

“Mendekatlah hai Adam sampai kau membayar maharmu. Dengan apa?

Tanya Adam. Para ulama menjawab dengan membaca sholawat 3 kali kepada Muhammad Saw, ada juga yang berpendapat 7 kali”. Ini menunjukkan bahwa Muhammad Saw adalah sarana keberadaan segala yang mewujud bahkan ayahnya, Adam as. Keberadaan Hawa yang tercipta dari tulang rusuk Adam bukanlah seperti hubungan seorang anak dengan orang tua tapi layaknya sebatang pohon kurma yang menumbuhkan banyak cabang sehingga tidak tepat bila Hawa adalah anak perempuan Adam atau saudara bagi keturunannya yang lain, tapi ibu bagi mereka tidak ada yang lain.4

Atas dasar penafsiran yang bercorak misoginis seperti itu, buku ini ingin mengulas tentang bagaimana pemikiran Etin Anwar dalam memperjuangkan kesetaraan gender, memberikan perspektif lain dalam pemikiran tentang gender tentunya dengan dukungan argumentasi dari sumber otoritatif yakni al-Qur’an dan al-Hadits.

Sebelum terlalu jauh mengetahui tentang isi buku ini, terlebih dulu kita ketahui sejarah intelektual Etin Anwar sehingga dari latar belakang akademik itu kita bisa mengetahui karakteristik pemikirannya terkait tentang kesetaraan gender.

Riwayat Penulis

Etin Anwar adalah tokoh feminisme Islam. Cendekiawan Muslimah ini dilahirkan di Tasikmalaya pada 4 Agustus 1967. Etin menuntaskan

3 Tim Penerjemah UII, Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, (Yogjakarta: UII Press, 2020), hal. 156.

4 Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Showi, Hasyiyah al-Showy ‘Ala Tafsir al-Jalalain, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 20145), hal. 176. Beberapa pikiran dalam tafsir ini merujuk pada tafsir al-Thobary dan tafsir al-Qurthuby. Lihat juga tafsir Shofwatu al-Tafasir karya Syeikh ‘Ali al-Shobuny.

(4)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

57 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

pembelajaran tingkat sarjana di Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Begitu juga program pasca sarjana diselesaikan di kampus yang sama. Lulus dari UIN Bandung Etin melanjutkan Program Master bidang Islam Studies di Mc Gill University, Kanada. Pada periode 1998-2002, Etin bisa menuntaskan program Ph.D. dari Binghamton University dalam bidang Riset Philosophy, Interpretation, and Culture.

Etin juga aktif pada Associate Professor di Hobart and William Smith Colleges, New York, USA. Dia mempunyai kompetensi besar dalam bidang Islam serta keterkaitannya dalam isu gender. Etin memperoleh gelar Doktor dari Philosophy Department, Philosophy, Interpretation, and Culture Program di Binghamton University, New York. Dia telah berdomisili di Amerika selama 11 tahun. Etin tiba ke AS setelahs menuntaskan S-2. Setelah itu belajar lagi selama 4 tahun untuk memperoleh pasca doktoral. Karena terdapat peluang untuk mengajar di almamternya, Etin memutuskan mengajar di AS.5

Tentang buku ini

Buku ini terbagi ke dalam 5 bab, masing-masing bab akan membeicarakan isu atau tema yang berneda. Adapun 5 bab yaitu;

➢ Logika berfikir gender dan sistem yang dihasilkannya

Ada 2 kutub teori tentang gender, gender hierarkis dan kesetaraan gender. Masing-masing berlandasankan pada sandaran teks keagamaan.

Ayat-ayat terkait dengan pandangan gender hierarkis yaitu: al-Baqoroh: 30- 31, al-Nisa’: 34, al-Nisa’: 176, al-Baqoroh: 282. Berdasarkan ayat-ayat di atas maka muncul persepsi kebenaran publik yaitu :

a. Superioritas laki-laki berasal dari keadaan biologis sebagai ciptaan yang primer sementara perempuan adalah ciptaan sekunder.

b. Perbedaan jenis kelamin atau biologis membenarkan superioritas laki-laki dalam pelestarian ras manusia karena laki-laki dilihat sebagai prinsip penggerak pembuahan.

c. Perbedaan jenis kelamin dan biologis membenarkan pembagian kerja dalam keluarga. Laki-laki dianggap lebih unggul karena al-Qur’an memberikan hak istimewa di atas perempuan dalam bidang-bidang:

5 Nenny Muthiatul Awwaliyah, (https://rahma.id/etin-anwar-muslimah-indonesia-pakar- feminisme-islam/), diakses pada sabtu, 02 Oktober 2021, pukul 23.05.

(5)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

58 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

ekonomi, warisan, kuasa cerai, hak memukul secara fisik (terhadap istri seseorangg) dan hak untuk menjadi saksi.

d. Adalah suatu hal yang alami di mana suami sebagai pencari nafkah bertanggung jawab atas kedudukan sosial keluarga dan moralitas para anggota keluarganya, sementara istri adalah penjaga rumah tangga dan anak-anak.

e. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin membedakan antara ranah privat dengan publik, pribadi dengan politik, pantas dengan tidak pantas, ketaatan dengan ketidaktaatan, saleh dengan tercela, kemuliaan dengan kehinaan, dan kategori-kategori lainnya, yang melanggengkan status quo sistem gender hierarkis.

f. Karenanya, laki-laki dan perempuan tidaklah setara dalam segala hal.6 Berdasarkan ayat-ayat di atas yang membagi laki-laki sebagai makhluk primer dan perempuan makluk sekunder, dalam kajian ayat-ayat seperti ini disebut sebagai ayat misoginis, sama halnya, hadits misoginis yang menjelaskan adanya perlakuan berbeda dalam urusan domistik ataupun publik.7

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang gender egaliter ini dirujukk pada al-Nisa: 1, al-Ahzab: 35, al-An’am: 164 dan al-Baqoroh: 228. Ayat-ayat ini menawarkan landasan metafisik, sosial, etis dan eskatologis sistem gender egaliter yaitu :

a. Laki-laki dan perempuan, berdasarkan keberadaan mereka di dunia, adalah sama-sama makhluk Allah

b. Laki-laki dan perempuan sebagai pribadi, mitra, anggota masyarakat dan hamba Allah wajib saling menghormati.

c. Laki-laki dan perempuan akan menerima imbalan sesuai dengan tindakan dan perilaku mereka.

d. Laki-laki dan perempuan bersama-sama bertanggungjawab untuk mencegah kejahatan dan menyebarkan kebaikan

6 Etin Anwar, Gender and Self in Islam, (New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006), hal. 18-19.

7 Hadits yang terkenal dalam urusan ini adalah laknat malaikat hingga, ketika seorang istri menolak berhubungan dengan sang suami, begitu halnya dengan keyakinan bahwa kalau sebuah urusan dilimpahkan kepada perempuan, maka sebuah umat akan mengalami kehancura.

(6)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

59 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

e. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan sebagai manusia, mitra anggota masyarakat makhluk dan hamba Allah Swt sama-sama diharapkan untuk menjaga hak masing-masing agar diberi balasan di akhirat.8

Dalam pemikirannya, Etin Anwar mengatakan bahwa Feminisme Islam itu berusaha mengeliminasi karakter-karakter yang oppresif dari individual-individual maupun dari sistem. “Mengapa dari individual? Karena sebagaimana kita ketahui, ketika terjadi pemukulan dan kekerasan dalam keluarga, kekerasan dalam ruang publik itu berasal dari orang terdekat.”

Perihal itu pula sebab terdapat permissiveness baik itu dari agama, ataupun dari sistem budaya kita. Bagi Etin, “Jika terdapat sesuatu yang tidak diidamkan dalam keluarga, kerap kali yang disalahkan itu pihak perempuannya. Laki-laki dapat pula disalahkan tetapi norma yang ada kerapkali yang disalahkan itu perempuannya.”9

Dalam surat Ali Imron ayat 36, muncul frase laisa al-Dzakaru ka al- Untsa, sering diterjemahkan “anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”.10 Dalam nada yang sama, al-Thabarsi menjelaskan bahwa menjadi perempuan tidaklah sama dengan laki-laki karena perempuan tidak sesempurna seperti anak laki-laki dalam artian bahwa pelayanan pada Baitil Maqdis biasanya dilakukan laki-laki. Pelayanan ini tidak akan berarti sama jika yang dilakukan perempuan, terutama ketika dia mengalami menstruasiatau dalam masa nifas. Qatadah berpendapat bahwa dalam budaya laki-laki yang dominan, ibadah pelayanan dalam Baitul Maqdis hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.11

Rasulullah sebagai penafsir yang paling otoritatif al-Qur’am ketika memberikan tanggapan atas pilihan istri di rumah atau di medan perang, beliau memberikan nilai lebih atas peran ibu lantaran kesukaran yang harus dilalui. Hadits lainnya menyatakan bahwa perempuan yang hamil dan menyusui bayinya selama diperlukan dan meninggal dalam proses tersebut akan menerima pahala yang setimpal dengan pahal orang yang mati syahid.

8 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ..., hal. 21.

9 Nenny Muthiatul Awwaliyah, (https://rahma.id/etin-anwar-muslimah-indonesia-pakar- feminisme-islam/), diakses pada sabtu, 2 Oktober 2021, pukul 23.05.

10 Ini merupakan terjemahan umum yang terdapat dalam al-Qur’an versi bahasa Indonesia.

Umar menggunakan terjemahan “laki-laki tidaklah sama seperti perempuan”.

11 Abu Ali al-Fadhl, bin al-Hasan al-Thabarasi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 2, Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah, 1971), hal. 66.

(7)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

60 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Pada saat bersamaan, beliau tidak mengesampingkann kemungkinan perempuan mengambil bagian aktif dalam perang. Bahkan dalam banyak kesempatan beliau membawa serta istrinya dalam operasi militer. Apa yang dipahami para fuqoha terhadap ucapan Nabi Saw adalah bahwa peran paling cocok untuk perempuan adalah menjadi ibu, sementara mereka kurang peduli pada contoh-contoh lainnya dari nabi yang ramah terhadap perempuan. Opini hukum para fuqoha berkelindan dengan gagasan lainnya yang diterima yakni:

• Tempat yang layak bagi istri adalah di dalam rumah

• Kerusakan potensial yang disebabkan karena perempuan karena keluar rumah beserta larangannya

• Perempuan yang baik tidaklah melemparkan pandangan kepada laki-laki lain

• Ketaatan istri terhadap suaminya dan ganjarannya

• Kewajiban orang tua untuk menikahkan putrinya

• Larangan untuuk membelanjakan penghasilan suami tanpa izinnya

• Pengabdian istri terhadap suaminya di rumah beserta ganjarannya

• Kewajiban istri untuk mendidik anak-anak, khususnya setelah kematian suami beserta ganjarannya.12

Berfikir gender (gender thinking) membentuk cara kaum muslim menafsirkan penjelasan-penjelasan terperinci tentang partikularisme dalam ajaran Islam dan menerapkan tafsir khusus terhadap gagasan agama, sosial, dan filsafat atas perbedaan jenis kelamin dan gender serta sistem yang dihasilkannya. Ketika pembedaan jenis kelamin mengakibatkan pembedaan gender, maka peran perempuan dikonseptualisasikan menurut peran dan kebutuhan laki-laki. Sebagai istri, perempuan sering diharapkan selalu sedia seks, mendatangkan keuntungan ekonomi dan manajer yang efisien dalam kerja rumah tangga, pencetak anak yang subur, juga ibu yang memelihara, merawat dan menyanyangi keluarga.

Senada dengan Nasaruddin Umar, menurutnya, masih terjadi ambiguitas penafsiran al-Qur’an tentang apakah gender itu bersifat nature (kodrati) ataukah bersifat nuture (konstruksi sosial) yang dinamis. Untuk memahami autentisitas perspektif al-Qur’an, Nasarudin melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang relasi laki-laki dan perempuan dengan menggunakan analisis tematik (tafsir maudhu’i) dengan berbagai pendekatan seperti semantik-linguistik, normatif-teologis maupun

12 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ..., hal. 40.

(8)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

61 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

sosio historis.13 Hasilnya, al-Qur’an tidak secara tegas menyatakan dukungan terhadap kedua paradigma gender baik nature maupun nurture. Al-Qur’an hanya mengakomodir unsur-unsur tertentu yang terdapat dalam dua teori yang sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam. Secara umum al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan itu tidak menguntungkan salah satu pihak dan memarjinalkan pihak yang lain. Perbedaan itu diperlukan justru untuk mendukung obsesi al-Qur’an tentang kehidupan harmonis, seimbang, aman, tenteram serta kebajikan. 14

Apakah memang jabatan publik itu hak mutlak seorang laki-laki, atau ada pertimbangan lain. Ayat-ayat yang terkait dengan gender baik bersifat hierarkhis atau kesetaraan gender menempatkan bahwa manusia laki-laki atau perempuan dalam kaitannya dengan jabatan publik itu berdasarkan potensi, profesionalitas, moral dan ketaqwaan bukan semata jenis kelamin. Sehingga keduanya bisa berpotensi dan memiliki hak yang sama dalam menempati ruang publik asal memiliki kapasitas dan integritas moral.15

➢ Teori-teori penciptaan sebagai landasan jiwa ontologis dan kemanusiaan yang inklusif

Misi utama Islam adalah mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia dan membebaskan mereka dari segala bentuk subordinat dan ketidakadilan. Karena itu, umat Islam perlu mengevaluasi kembali dan mempertanyakan tafsir ajaran Islam yang tidak sesuai dengan nilai keadilan dan hak asasi manusia, misalnya meminggirkan perempuan dan ketidaksetaraan gender. Kegagalan tafsir al-Qur'an dan al-Hadits akan berakibat pada fikih perempuan yang diskriminatif. Hal itu karena paham patriarki dan misoginis yang memahami teks-teks agama secara sembarangan, terutama oleh orang-orang puritan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menyesuaikan interpretasi agama dengan kemanusiaan: pertama, interaksi antara penulis, teks, dan pembaca; kedua,

13 Muhammad Rusydi, Esoterisme Pemikiran Gender Nasaruddin Umar, Jurnal An Nisa’

Vol. 12, No. 2, Desember 2019, hal. 710.

14 Nasirotul Jannah, Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an Karya Nasaruddin Umar, SAWWA – Volume 12, Nomor 2, April 2017, hal. 168.

15 Aksin Wijaya, Menggugat Otentitaas Wahyu Tuhan (Kritik atas Nalar Tafsir Gender), (Yogyakarta: Safiria Insania Pres, 2004), hal. 247.

(9)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

62 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

bacaan kontekstual, komprehensif, dan historis, serta interpretasi dengan metode holistik dan induktif.16

Pandangan hierarkis dari teori penciptaan yang standar menghasilkan premis bahwa umat manusia berasal dari ayah bernama Adam. Berdasarkan kisah Adam dan Hawa baik sarjana muslim maupun orang muslim awam percaya bahwa Adam diciptakan melalui sebuah cara yang lebih unggul ketimbang Hawa.

Berbagai teori penciptaan manusia telah lama menarik perhatian penafsir, filosuf, sufi dan feminis. Para penafsir membahas penciptaan manusia saat mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an baik secara tematik ataupun holistik. Para filsuf membicarakan masalah bagaimana manusia diciptakan dalam hubungannya dengan cara kerja organ reproduksi di dalam tubuh manusia, dan bagaimana berbagai materi organik dan inorganik berkembang di dalam rahim perempuan. Para sufi secara simbolik menghubungkan penciptaan manusia dengan kekuasaan Tuhan. Para sarjana menelaah teori-teori penciptaan manusia di dalam kerangka al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Para feminis menafsirkan wacana publik penciptaan manusia sebagai sumber ketidaksetaraan gender dan menyerukan penafsiran ulang atas ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan penciptaan umat manusia guna menyebarluaskan sebuah pemahaman baru tentang kesetaraan gender secara serius.17

Dalam banyak pandangan tentang superipritas laki-laki atas perempuan banyak yang mengkritik terkait dengan penggunaan istilah khalifah, salah satunya Asad. Asad menafsiri kata khalifah dalam arti supremasi manusia di muka bumi serta kapasitas yang dianugerahkan padanya untuk melihat yang benar dan yang salah sebagai khalifah Allah.18

Bacaan yang hierarkis dalam teks-teks keagamaan tidak semata-mata terjadi pada Islam. Bacaan yang sama terdapat pada Kitab Kejadian 2:18-24 yang menarasikan bagaimana Hawa diciptakan dari rusuk Adam. Cerita penciptaan dalam Kitab Kejadian 2 sering dibaca sebagai pertanda bahwa perempuan itu tunduk kepada laki-laki, sehingga laki-laki itu dominan atas

16 Fajrul Islam ats-Sauri, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam: Reintepretasi tentang Kedudukan Perempuan, Progresiva : Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2 (2020), hal. 106.

17 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ... , hal. 45-46.

18 Muhammad Asad, The Message of Al-Qur’an, (Gibraltar: Dar al-Anddalus, 1998,), hal.

201.

(10)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

63 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

perempuan dikarenakan “aturan penciptaan” sebagaimana tercermin dalam argumen berikut :

a. Perempuan diciptakan setelah laki-laki dan karenanya perempuan kurang utama dibandingkan laki-laki

b. Perempuan “diambil dari laki-laki” dan karenanya kurang utama dibandingkan laki-laki.

c. Perempuan diberi nama oleh laki-laki dan karena itu lebih rendah dari laki-laki

d. Perempuan diciptakan untuk menjadi pembantu laki-laki dan hal semacam itu berarti menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandinggkan laki-laki.

Etin Anwar, telah melakukan serangkaian penelitian serius dan mendalam atas isu-isu perempuan dalam konteks dunia Islam. Dalam pemikirannya, dunia Islam pasca nabi hingga hari ini dunia masih terus memperlakukan perempuan selaku ciptaan Tuhan kelas dua serta termarjinalisasi dari segala ruang kehidupannya, dalam negeri ataupun publik. Dia juga berkata, “Wanita tidak memiliki otoritas atas badannya sendiri dalam sistem kehidupan ini. Keadaan ini berlangsung sejauh sejarah peradaban Islam.”

Perspektif patriarkhisme di atas sebetulnya bukan hanya khas Islam, namun timbul dalam seluruh peradaban manusia beratus abad di berbagai belahan dunia. Dia diiringi serta dipertahankan mati-matian oleh para pakar agama, para filsuf, antara lain Aristoteles serta Ibn Sina, para pemikir serta tokoh-tokoh besar yang lain. Aristoteles, filsuf terbesar sepanjang masa bahkan berkata, “Pria lebih unggul dari wanita secara hakikat.”19

Penciptaan kemanusiaan yang bersifat inklusif

Perempuan Muslim di seluruh dunia dalam kacamata Barat, sering digambarkan sebagai pasrah, inferior tertindas dan terbelakang.

Penganiayaan terhadap perempuan di berbagai lokalitas Muslim tidaklah berasal dari ajaran ideal al-Qur’an. Sedikit banyak hal tersebut merefleksikan tafsir bias gender atas Islam pengejahwentahan berbagai praktik ketidakadilan yang secara kultural dan sosial; ada atau telah berasimilasi dengan masyarakat Muslim. Karena orang-orang Muslim yang

19 Nenny Muthiatul Awwaliyah, (https://rahma.id/etin-anwar-muslimah-indonesia-pakar- feminisme-islam/), diakses pada sabtu, 2 Oktober 2021, pukul 23.05.

(11)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

64 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

berfikir gender hierrakis dalam menabur benih pandangan yang non- egalitarian maka sangatlah penting untuk menafsir ulang teori-teori penciptaan sehingga bisa sejalan dengan pesan dasar dalam Islam universal dan mendukung berkembangnya egalitarian gender.20

Secara ekplisit, al-Quran dalam al-Maidah: 1 dan al-A’raf : 189, menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan berasal dari sumber yang sama tapi para mufassir berbeda pendapat bagaimana cara menafsirkan ayat tersebut. Al-Baidlawi dan al-Zamkhsari misalkan mengajukan dua pemahaman yang berbeda tentang frasa, min nafs wahidah. Yang pertama mengaitkannya dengan penciptaan manusia dari satu entitas yaitu Adam yang diciptakan dari debu dan Hawa yang diciptakan dari tulang rusuknya. Yang kedua, merujuk kepada Adam yang diciptakan dari sumber yang sejenis yang darinya Hawa diciptakan.

Abduh tidak sepakat dengan tafsiran berorientasi injil terhadap ayat- ayat di atas. Dia menafsirkannya, min nafs wahidah, dengan merujuk kepada umat manusia maupun asal usul umum manusia dan kesetaraan semua ras.

Penafsiran ini sekalipun sejalan dengan kata nafs yang dimaknai sebagai diri, jiwa dan entitas hidup, tidak benar-benar tergambarkan dalam al-Qur’an kecuali pada satu kesempatan ketika terjadi pembicaraan tentang penciptaan manusia. Seperti Abduh, Wadud-Muhsin menafsirkan kata nafs meruujuk pada seluruh umat manusia.21

Dari sudut pandang penciptaan manusia yang berasal dari satu sumber yang sejenis (nafs), ditegaskan bahwa sebuah kemanusiaan inklusif di mana semua perbedaan aksidental, seperti ras, etnisitas, agama, jenis kelamin dan nasionalitas diakui sebagai komponen kemanusiaan. Pencakupan ini sejalan dengan berbagai teks al-Qu’an yang mengajarkan prinsip kesetaraan di mana laki-laki dan perempuan memiliki asal usul yang sama, yaitu nafs al-wahidah dan diciptakan berpasangan. Masing-masing anggota pasangan melengkapi satu sama lain, yang tanpa itu kemanusiaan tidak akan lengkap. Al-Quran menerangkan universalitas dalam berbagai teori penciptaan, namun teori- teori tersebut dirancang di dalam universalisme kondisional. Seolah-olah seluruh manusia diciptakan dari seorang bapak laki-laki. Premis ini bertentangan dengan versi al-Qur’an tentang asal usul manusia yang berasal

20 Sarifa Suhra, Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an dan Implikasinya dalam Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013, hal. 375.

21 Dewi Murni dan Syofrianisda, Kesetaraan Gender Menurut al-Quran, Jurnal Syahadah Vol. VI, No. 1, April 2018, hal. 160.

(12)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

65 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

dari subtansi material seperti cairan (ma’), tanah liat (shalshaal atau thin) dan debu (turab) dan nafsu wahidah. Al-Qur’an juga membicarakan tentang bagaimana manusia memperanakkan manusia yang melaluinya jiwa generatif (diwariskan dari orang tua), yang perbedaan jenis kelaminnya dibutuhkan untuk kelanggengan umat manusia.

Garis besarnya adalah potensi reproduksi perempuan oleh rezim penguasa tidak hanya mengundang represi tapi juga berisikan dualitas;

subjektifitas dan objek, maskulinitas dan femininitas, penyalahan dan tanggung jawab kebaikan dan keburukan kenikmatan dan rasa sakit serta pembedaan-pembedaan lainnya yang sekali lagi memberi laki-laki superioritas, kuasa, dan otoritas di ruang privat dan publik.22

➢ Pewarisan jiwa generatif dan kontribusi perempuan dalam perubahan

Esensi dari perspektif gender adalah ide tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Ide kesetaraan sesuai dengan prinsip dasar agama Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang berarti juga termasuk rahmat bagi perempuan tanpa terpasung hak-haknya hanya dikarenakan berjenis kelamin perempuan.23

Dimensi esoterisme dalam pemikiran gender Nasaruddin Umar telah menjadi gaya berpikir gender yang sangat mungkin untuk ditransformasikan sebagai strategi pengarusutamaan gender di era saat ini. Masalah kesetaraan gender yang diekspresikan dalam pemikiran jender mengacu pada berbagai dimensi esoteris dengan menggabungkan konsep-konsep alam dan bentuk sehingga ketergantungan pada teks tidak menjebak dalam interpretasi yang tertanam dalam struktur teks itu sendiri. Dengan esoterisme pemikiran gender yang ia kembangkan, memahami isu-isu gender yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai filosofis tasawuf menuntunnya untuk menguraikan banyak sifat ciptaan manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia tanpa harus ditetapkan dengan masalah gender ketidakadilan.24

Hal ini dielaborasi juga dalam pemikiran Etin Anwar. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa bukan filsafat Islam saja yang bertanggung jawab terhadap de-esensialisasi peran perempuan dalam reproduksi, karena berbagai

22 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ..., hal. 71.

23 Dewi Murni dan Syofrianisda, Kesetaraan Gender ... , hal. 157.

24 Muhammad Rusydi, Esoterisme Pemikiran Gender Nasarudin Umar, An Nisa, Vol. 12, No. 2, Desember 2019, pp. 710.

(13)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

66 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

penafsiran al-Qur’an tentang cara kontribusi laki-laki dan perempuan dalam pembuahan juga menempatkan perempuan ke status inferior. Meski filsafat Islam dan berbagai penafsiran al-Qur’an itu berpotensi menghasilkan klaim- klaim yang bertentangan mengenai inferioritas perempuan dalam pembuahan, kaum perempuan Muslim tidak melihat wacana filsafat tentang pembuahan dan reproduksi memiliki kuasa yang otoritatif.25

Garis dasarnya adalah potensi reproduksi perempuan oleh rezim penguasa tidak hanya mengundang represi, tetapi juga berisikan dualitas subjek dan objek, maskulinitas dan femininitas, penyalahan dan tanggung jawab, kebaikan dan keburukan, kenikmatan dan rasa sakit serta pembedaan- pembedaan lainnya, yang sekali lagi memberikan laki-laki superioritas, kuasa, dan otoritas di ruang privat dan ruang publik. Potensi reproduksi menjadi wahana pendisiplinan diri perempuan baik melalui kebijakan punya satu anak, sterilisasi, atau ideologi tertentu tenttang perempuan sebagai ibu, atau mitos pentingnya anak sebagai penerus.

Ibn Sina memperlihatkan bagaimana jiwa berasal dari sumber di luar tubuh, dia menyatakan:

“tubuh dan temperamen merupakan sebab aksidental, jiwa karena saat materi sebuah tubuh cocok menjadi instrumen jiwa dan subjeknya yang pas bereksistensi sebab-sebab yang terpisah membuat ada jiwa individu... dan wujud jiwa sebenarnya beremanasi dari sesuatu yang berbeda dari tubuh dan fungsi-fungsi jasmaniah sebagaimana yang telah kami perlihatjab sumber emanisasinya pastilah sesuatu yang berbeda dari tubuh”.

Meski teori Ibnu Sina tentang reproduksi disampaikan dalam terminologi filsafat Aristoteles, dia tidak bisa melepaskan dirinya sendiri dari pembahasan umum teori penciptaan manusia dalam Islam, ide Ibn Sina tentang sperma laki-laki sebagai titik awal proses perkembangbiakan memiliki persamaan dengan ayat al-Qur’an : al-Qiyamah: 37-39.26

➢ Pengejawantahan maskulinitas dan feminisitas : pembentukan jati diri material

Gender merupakan satu di antara sejumlah wacana yang bisa disebut kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai para

25 Misbah Zulfa Elizabeth, Reproduksi Gender Melalui Transmisi Teks Agama, TEOLOGIA, VOLUME 23, NOMOR 1, JANUARI 2012, hal. 251.

26 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ... , hal. 81.

(14)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

67 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

remaja, kalangan aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para agamawan. Maksud wacana ini adalah menutup ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin, selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosialnya. Dan sampai saat ini, wacana gender setidaknya dapat dikategorikan menjadi empat penampilan, yaitu sebagai suatu gerakan, sebagai diskursus kefilsafatan, perkembangan dari isu sosial ke isu keagamaan, dan sebagai pendekatan dalam studi agama. Tulisan ini akan membahas perspektif kesetaraan gender sebagaimana dipahami oleh para feminis muslim. Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan perjuangan feminisme adalah mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.27

Hierarki gender yang menekankan penerimaan atas peran laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan apa yang mereka anggap sebagai kelengkapan dalam kehidupan sehari-hari mereka, mendapatkan justifikasi agama sebagai berikut: ”Islam telah sedemikian rupa menjadikan perempuan sebagai mitra terhormat laki-laki dalam mengurus keluarga, seorang perempuan suci dan saleh adalah berkah bagi rumah tangganya dan akan mengantarkan anak-anaknya menjadi saleh di jalan Allah. Mitologisasi ilahiyah tentang peran perempuan sebagai mitra dalam reproduksi (dengan segala tanggung jawanya di rumah tangga) dipandang ideal untuk seluruh perempuan. Hal ini juga menempatkan laki-laki bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kebutuhan terbesar mereka, karena para laki-laki lebih mengetahui.28

Pembentuan Jati-Diri Material29

Sejumlah kuasa agama, sosial dan budaya dipergunakan untuk membentuk kebakuan jati-diri yang bersifat material seperti hijab, sunat dan keperawanan yang digunakan sebagai sarana unttuk membangun jati-diri manusia. Uraian dari masing-masing sebagai berikut:

Hijab: dimensi ruang (pemingitan)

27 Andik Wahyun Muqoyyidin, wacana kesetaraan gender : Pemikiran Islam kontemporer tentang gerakan feminisme Islam, Jurnal al-Ulum, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013, hal. 105.

28 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ... , hal. 108.

29 Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogjakarta: Irchishod, 2019), hal. 20.

(15)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

68 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Masalah hijab relevan untuk disingggung karena awalnya ia berfungsi untuk membedakan materialitas diri perempuan di ruang publik. Seriring dengan pelembagaan Islam, hijab menjadi salah satu dari banyak mekanisme yang menindas tidak hanya tubuh perempuan, tetapi juga kebakuan jati-diri material.30

Istilah hijab menurut analisis feminis Islam dan antropologis mengacu pada ruang ddan dimensi yang biasanya berarti “pembagian atau pemisahan sakral antara dua dunia, dan dua ruang: yang ilahi dan makhluk, kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap, beriman dan kafir, aristokrat dan rakyat jelata.

Pemingitan berasal dari salah satu makna kata hijab, yang pengertian asalnya merujuk pada tirai yang digunakan untuk membagi ruang publik dan privat/pribadi di dalam rumah seseorang. Makna lain dari hijab merujuk pada pakaian pribadi “Islam.” Pengertian ganda hijab ini berasal dari QS Al- Ahzab:53. Kedua makna hijab tersebut dijelaskan dengan baik dalam penafsiran al-Raazi. Dia memegangg pandangan bahwa frasa min wara’i hijab. Salah satu penafsirannya mengacu pada fakta dalam komunikasi laki- laki dan perempuan haruslah di belakang tirai, kecuali bagi mereka yang memiliki ikatan sosial yaitu perkawinan atau hubungan darah jika tidak laki- laki bisa jatuh ke dalam tindakan pelanggaran. Yang kedua, istilah ini ditafsirkan dalam memerintahkan perempuan untuk mengenakan hijab.

Dalam hal ini, hijab dipandang identik dengan ajaran Islam, yang memerintahkan perempuan Muslim untuk mengenakan hijab.

Sunat dan keperawanan: kontrol atas seksualitas31

Apabila hijab hanyalah di luar tubuh perempuan, terdapat praktek- praktek khusus yang diwajibkan pada tubuh perempuan seperti gagasan tentangg keperawanan dan keharusan melakukan sunat. Keperawanan merupakan lambang kehormatan keluarga, dan bahkan merupakan kebanggaan dan harga bagi perempuan. Namun laki-laki tidak pernah dipertanyakan keperjakaannya karena mereka tidak diperintah untuk menjaga keperjakaan oleh sistem keperjakaan.

Menurut Nawal el-Sa’dawi, feminis dari Mesir, setiap anak perempuan Arab diharapkan mempertahankan keutuhan membrannya yang halus, yang disebut selaput dara. Sementara laki-laki tidak dikenai gagasan

30 Etin Anwar, Gender and Self in Islam ... , hal. 120.

31 Ibid, hal. 124.

(16)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

69 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

ini. Standar moralitas ganda ini memperlihatkan bagaimana konsep maskulin membentuk tubuh dan kehidupan perempuan.

Kedua, sunat adalah bentuk yang jauh lebih radikal dari kontrol keperawanan seksualitas perempuan. Praktek mutikasi alat genital perempuan (FGM) dapat dibagi menjadi empat tipe berbeda yakni khitan biasa (circumcision proper), penghilangan (excision), infibulasi (infibulation) dan introsisi (introcision).

Muslim, Katolik, Protestan dan bahkan masyarakat non Muslim di seluruh negara mempraktekkan FGM secara kultural, FGM setua dengan adat Mesir Kuno dan pra-Islam di berbagai belahan dunia. Apakah tujuan sunat?

Agaknya sunat berfungsi sebagai tahapan yang akan memberi anak perempuan hak paling penuh mendapatkan kenikmatan seksualitas, meskipunn penelitian terbaru menemukan bahwa di Sudan, 91 persen perempuan yyang baru menikah dilaporkan mengalami pengalaman hubungan seksual yang buruk, 82 persen memperlihatkan hasrat negatif terhaddap hubuungan seksual, dan 74 persen dari suami-suami mereka

“bereaksi negatif melalui keluhan terhadap sikap buruk istri-istri mereka selama behubungan seks karena adanya komplikasi kesehatan akibat FGM.

Secara umum, di negara-negara dimana FGM lazim dilakukan, banyak laki- laki tidak mau menikah dengan perempuan yang tidak disunat.

Bagi seorang perempuan Muslim yang tumbuh di masyarakat Muslim, lebih “aman” untuk mewujudkan kebakuan jati-diri material-yang artinyya bertindak ttakut-takutan dan patuh agar bisa menjaga hubungan yang harrmonis dengann anggota keluarga laki-laki dan perempuan dan masyarakat. Perempuan yang tegas dan pandai berbicara disteorotipe sebagai keturunan Zulaikha. Demikian juga perempuan yang tidak taat dan liar diberi label sebagai makhlik “bengkok” seperti Hawa. Karena stereotipe ini sifat penurut, taat, takut-takutan merupakan kualitas etis yang diharapkan diicapai para wanita Muslim.

➢ Kinerja diri : memupuk saling kebergantungan dan kenikmatan Sistem gender yang hierarkis dan dominan di dalam komunitas Muslim adalah sesuatu yang disebut Butler “performatif-yaitu membentuk identtitas yang memang diinginkan oleh sistem budaya. Ia ditopang oleh

“suatu tradisi teologis” yang mengembangkan dan merumuskan berbagai citra perempuan dan praktik laki-laki yang menyangkal nilai utuh perempuan sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan dan sebagai peneriam ruh

(17)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

70 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Allah. Jati-diri ini diterjemahakn sebagi entitas hidup yang membentuk asal- usul bersama laki-laki dan perempuan. Karena jati-diri merupakan esensi kemanusiaan apa yang membentuk diri jasadiah (korporeal) berasal dari subtansi kebumian, yang dikonsumsi dan kemudian diinternalissai sebagai bagian dari jaringan dan cairan dalam tubuh manusia. Bentuk fisik manusia ini ditransmisikan dari orang tua kepada keturunannya berdasarkan jati-diri generatif melalui proses reproduksi. Teori jiwa Ibn Sina merefleksikan perkembangan ide-idenya dalam karyanya. Ia berpendapat bahwa terdapat lima bagian kemampuan jiwa. Kemampuan pertama adalah jiwa vegetatif yang berfungsi memelihara tubuh agar tetap sehat dan berada dalam keseimbangan yang tepat. Kedua, jiwa binatang. Oleh Tuhan jiwa ini dihubungkan dengan hati dan mengattur dua tipe, gerakan, aktif (fail) yang didistribusikan melalui syaraf dan otot, dan impulsif yang mencakup hasrat dan amarah. Ketiga, jiwa rasional manusia, yang merupakan agen tubuh alamiah yang menguasai organ untuk bertindak sesuai dengan pilihan rasional, deduksi rasional, dan pemahaman yang universal. Jiwa ini mengejahwantahkan dua unsur yaitu akal prakttis dan teoritis. Akal praktis berfungsi mengendalikan jiwa-jiwa yang lebih rendah yaitu jiwa binatang, dan tumbuhan agar bisa menstimulasinya untuk melakukan berbagai perbuatan bijaksana dan menentang perilakku buruk yang merupakan kecenderungan alamiahnya. Akal teoritis berfungsi mengsonseptualisasi hal- hal yang partikular ia berasal dari pemahaman jiwa binatang dan kecenderungan akal praktis terhadap konsep universal.32

Sistem gender hierarkis yang ada melestarikan dan melanggengkan cara kerja ekspresi jati-diri material, yang terbatas pada apa yang dianggap layak oleh kaum laki-laki bagi femininitas, moralitas dan kesenangan perempuan. Pembentukan jati-diri material yang multisegi baik ontologis, etis, psikologis atau ekstensional, dilemahkan oleh gagasan legitimasi agama dan budaya lokal yang meremehkan nilai perempuan sebagai manusia.

Karena Islam ideal mengusahakan sistem gender egalitarian yang menonjolkan individualistis dan tanggung jawab moralnya, umat Muslim, khususnya perempuan, harus memupuk rasa bertanggung jawab dalam memperbaiki dan mengubah kehidupan perempuan agar lebih baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dalam pengertian ini, perempuan sebagai subjek yang berbicara memiliki kapasitas untuk memperbaiki kondisi

32 Ibid, hal. 131.

(18)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

71 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

sosial-politik dan kulturalnya. Untuk tujuan ini, keluarga bisa menjadi kekuatan utama dalam menghapus sistem gender hierarkis dengan mengajukan keberatan terhadap kebergantungan eksetensional yang dikonstruksi berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan sebaliknya mendukung kebergantungan timbal balik dalam keluarga. Dalam pengertian yang lebih luas, umat Muslim bisa mensosialisasikan kebergantungan timbal balik ini sebagai kesempatan untuk mengakui hak, kesamaan, tugas dan tanggung jawab satu sama lain, sembari menghargai perbedaan jenis kelamin dan gender dalam masyarakat.

(19)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

72 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Kesimpulan

Persepsi dan praktik epistemik yang membentuk kebenaran publik mengenai perempuan dan laki-laki di dalam komunitas Muslim dipertahankan melalui pengulangan hal-hal berikut; (1) dipakainya cara berfikir gender (gender thinking) dalam membangun seksualitas dan sistem gender serta dampak kohesifnya pada pembentukan diri; (2) penafsiran atas teori penciptaan dengan maksud membangun kemanusiaan laki-laki; (3) pandangan yang lebih besar diarahkan pada peran laki-laki dalam reproduksi;

(4) pencangkokan konsep maskulin tentang feminim yang populer pada tubuh perempuan yang menyebabkan subordinasi atas otonomi kemandirian dan agensi perempuan dan : (5) bentuk diri dibangun melalui kebergantungan ekstensiional yang lazim dalam sistem hierarkis.

Buku ini telah berupaya melacak keterkaitan berbagai unsur dengan mengembangkan dan melestarikan sistem gender hierarkis yang ada serta pengaruhnya dalam membangun pembentukan diri. Buku ini tidak hanya menjelaskan akar-akar ketidaksetaraan gender yang menurunkan martabat perempuan sebagai manusia, tetapi juga meneliti upaya kauum Muslim mengejahwantahkan legetimasi otoritatif Islam dan efeknya yang besar pada tataran teoritis dan praktis, yang telah mendukung pelembagaan sistem gender hierarkis. Akar-akar sistem gender patriarkhal dan hierarkis tertanam sangat kuat dalam gagasan budaya, sosial, politik, hukum dan psikologi.

Tak diragukan lagi, al-Qur’an dan hadis sangat penting bagi Islam, sebaliknya legitimasi otoritatif kedua sumber ini sumber penafsiran manusia terhadap al-Qur’am dan hadits yang harus diperiksa dengan teliti. Memang, al-Qur’an bersifat ilahiyah dan abadi tetapi penafsirannya terikat dengan pengalaman dan keterbatasan manusia. Karena penafsiran al-Qur’an dan Hadits menghasilkan klaim yang beragam dan terkadang bertentangan dengan apa yang disebut Islam, maka penting untuk menempatkan sumber- sumber tersebut ke dalam konteksnya masing-masing.

Produksi sistem gender yang egaliter sedang berprosses betapa pun lama waktu yang dibutuhkan. Kelompok feminis, womanis, dan kaum laki- laki pendukung egalitarianisme, baik sebagai individu, maupun anggota masyarakat global secara aktif terlibat dalam waccana yang memberikan kontribusi pada sistem gender yang egaliter dengan cara membongkar akar- akar sistem gender hierarkis dan akibatnya yang menindas terhadap pembentukan diri.

(20)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

73 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Daftar Pustaka

al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshory. 2014. al- Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

al-Shobuny, Muhammad ‘Al. 2001. Shofwatu al-Tafasir. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Showi, Syeikh Ahmad bin Muhammad. 2014. Hasyiyah al-Showy ‘Ala Tafsir al-Jalalain,. Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

al-Thabaras, Abu Ali al-Fadhl, bin al-Hasan. 1971. Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 2, Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah.

al-Thabary, Abu Ja’far Muhammad Jarir. 2014. Jami’ al-Bayan Fii Ta’wil al- Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Anwar, Etin. 2006. Gender and Self in Islam. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

_________ . 2017. Jati Diri Perempuan dalam Islam, terj. Kurniasih.

Bandung: Mizan.

_________ . 2018. Genealogy of Islamic Feminism: Pattern and Changein Indonesia. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

_________ . 2021. Feminisme Islam; Genealogi, Tantangan dan Prospek di Indonesia, terj. Nina Nurmila. Bandung: Mizan.

Asad, Muhammad.1998. The Message of Al-Qur’an. Gibraltar: Dar al- Anddalus.

Ats-Sauri, Fajrul Islam. 2020. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam:

Reintepretasi tentang Kedudukan Perempuan. Progresiva : Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2.

Awwaliyah, Nenny Muthiatul. (https://rahma.id/etin-anwar-muslimah- indonesia-pakar-feminisme-islam/), diakses pada sabtu, 18 Desember 2021, pukul 23.05.

Elizabeth, Misbah Zulfa. 2012. Reproduksi Gender Melalui Transmisi Teks Agama, TEOLOGIA, Volume 23, Nomor 1, Januari.

Jannah, Nasirotul. 2017. Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an Karya Nasaruddin Umar. SAWWA – Volume 12, Nomor 2, April.

Kodir, Faqihuddin Abdul. 2019. Qiro’ah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogjakarta: Irchishod.

Murni, Dewi dan Syofrianisda. 2018. Kesetaraan Gender Menurut al-Quran.

Jurnal Syahadah Vol. VI, No. 1, April.

(21)

Mochamad Syaifudin

Pendidikan Ramah Gender; Telaah Pemikiran ...

74 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 1 Maret 2021

e-ISSN 2620-5114

Rusydi, Muhammad. 2019. Esoterisme Pemikiran Gender Nasaruddin Umar.

Jurnal An Nisa’ Vol. 12, No. 2, Desember.

Suhra, Sarifa. 2013. Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an dan Implikasinya dalam Hukum Islam. Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomor 2, Desember.

Tim Penerjemah UII. 2020. Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya.

Yogjakarta: UII Press.

Wijaya, Aksin. 2004. Menggugat Otentitaas Wahyu Tuhan (Kritik atas Nalar Tafsir Gender). Yogyakarta: Safiria Insania Pres.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku remaja putri menghadapi menarche sesuai dengan nilai dan budaya Batak di Jakarta dipengaruhi oleh informasi yang diterima, pola

Apabila dalam proses pendugaan parameter di dapat persamaan akhir yang non linear maka tidak mudah memperoleh pendugaan parameter tersebut, sehingga diperlukan

konsentrasi pemberian larutan pada tekanan-2 bar pada pengamatan persentase kecambah normal telah menunjukkan batas toleran kekeringan yang cukup, sebaliknya

Secara keseluruhannya melalui hasil daripada penganalisaan data yang diperolehi melalui ujian yang diberikan terhadap atlet Lumba Basikal, penyelidik merumuskan

Metode Vernam Cipher merupakan algoritma berjenis symmetric key kunci yang digunakan untuk melakukan enkripsi dan dekripsi yang menggunakan kunci yang

Pada tahap ini adalah bagian dokumentasi terhadap keseluruhan proses yang dilakukan ketika pembuatan kode sistem informasi afiliasi penjualan tiket seminar

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai opasitas cetak kertas yang dihasilkan berkisar antara 45,99 sampai 97,08 dimana nilai terendah dihasilkan oleh