17 BAB III STUDI KASUS
A. Identitas Anak
Anak berinisial An. FA berjenis kelamin perempuan. Lahir pada tanggal 28 Juli 2015 dan pada saat ini anak berusia 3 tahun 7 bulan. An. FA adalah anak pertama dari ibu kandung dan mempunyai kakak tiri. An. FA beragama Islam dan tinggal bersama kedua orangtuanya yang beralamat di Pandeyan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sisi dominan anak kanan. Diagnosis medis anak yaitu Down Syndrome. Diagnosis topis tidak diketahui. Diagnosis kausatif yaitu gangguan kromosom 21.
B. Data Subyektif 1. Initial Assessment
Berdasarkan wawancara dengan ibu anak pada tanggal 11 Februari 2019, keluhan yang di sampaikan oleh ibu kepada terapis yaitu anak mengalami keterlambatan perkembangan yang tidak sesuai dengan teman seusianya. Berjalan anak belum seimbang. Alasan orangtua membawa anak terapi di unit Okupasi Terapi yaitu mendapatkan rujukan dari klinik tumbuh kembang anak di RSUP Dr. Sardjito. An. FA merupakan anak pertama dari ibu kandung dan mempunyai kakak tiri. Anak lahir pada usia kehamilan cukup bulan oleh ibu berusia 45 tahun dengan persalinan sectio caesaria karena saat ibu kontrol, bayi tidak bergerak dan dokter
menyarankan untuk lahir caesar. Anak lahir kuning dan tidak menangis,
berat badan lahir rendah yaitu 2kg. Pada saat usia 1,5 tahun An.FA pernah dirawat di Rumah Sakit karena sakit pneumonia, dan pada saat usia 2 tahun An. FA mengalami batuk, pilek, panas, dan muntah darah.
Menurut keterangan orangtua, anak mampu mengangkat kepala pada usia 8-9 bulan, anak mampu duduk pada usia 1 tahun dengan posisi badan masih membungkuk dan kepala sering menunduk, serta anak mampu berjalan pada saat usia 3 tahun namun dengan pola jalan yang belum seimbang, base lebar, kepala sering menunduk, dan masih sering jatuh.
Sebelum terapi di unit okupasi terapi, anak menjalani terapi di Fisioterapi sampai anak mampu berjalan pada usia 3 tahun, namun saat berjalan anak masih belum tegak dan belum seimbang, anak masih sering jatuh saat berjalan pada permukaan yang lunak/tidak keras. Saat ini anak mendapatkan terapi di unit okupasi terapi dan terapi wicara di RSUP Dr.
Sardjito. Harapan dari orangtua, anak mampu melanjutkan tahapan perkembangan sesuai usianya dan anak dapat mandiri.
2. Observasi Klinis
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada hari Senin, 11 Februari 2019, penampilan anak rapi, bersih, dan mulut sering terbuka serta lidah menjulur keluar. An. FA memiliki tonus otot yang lemah.
Anak belum mampu bicara dan mampu mengoceh sedikit. Anak belum mampu komunikasi dua arah dan anak kurang paham terhadap perintah.
Mobilitas anak sudah mampu berjalan namun belum seimbang. Pola jalan anak dengan base lebar, sering menundukan kepala dan membungkuk.
Perilaku anak masih ‘ngeyel’, kurang patuh terhadap terapis, sering berganti mainan, dan bermain dengan cara dilempar-lempar. Anak memerlukan ‘promp’ atau bantuan saat melakukan aktivitas yang diperintahkan terapis.
An. FA pada saat duduk dilantai dengan bermain masih dengan membungkuk pada posisi bersila. Posisi duduk anak cenderung ‘W’
sitting. Anak masih kesulitan mempertahankan posisi duduk tegak dengan
kaki bersila dan sering berganti-ganti posisi. Kemampuan motorik anak yaitu anak belum mampu merangkak dengan mempertahankan kepala tegak dan pola berjalan anak masih dengan base lebar serta menundukkan kepala, anak mampu bangun dari posisi terlentang ke duduk dan duduk ke berdiri namun dengan bantuan dari terapis. Anak mampu berlutut namun dengan base lebar dan masih dipegangi oleh terapis.
3. Screening Test
Berdasarkan hasil dari pediatric screening yang dilakukan pada hari Senin, 11 Februari 2019, perkembangan anak mengalami keterlambatan, anak mengalami kesulitan saat aktivitas duduk tegak, merangkak, dan berjalan karena masalah masih lemah kontrol posturalnya.
Anak hanya bermain dengan mainan yang disukainya saat dirumah.
Perilaku anak secara umum atensinya masih sedikit dan tidak mampu bertahan pada satu permainan, kurang kooperatif, kurang paham terhadap perintah dari terapis, dan clumsy. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, anak masih memerlukan bantuan orangtua.
C. Model Treatment
Kerangka acuan yang digunakan pada kasus ini yaitu kerangka acuan Perkembangan (Developmental Frame of Reference). Kerangka acuan Perkembangan digunakan untuk mengetahui masa atau tahap perkembangan anak, untuk melatih perkembangan sesuai urutan perkembangan dan untuk anak dengan gangguan perkembangan (Kramer & Hinojosa, 1999).
D. Data Obyektif
Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan blangko pemeriksaan Motorik Kasar, anak mampu berjalan namun belum seimbang, pola berjalan anak masih dengan base lebar dan kepala sering menunduk. Anak belum mampu berjalan ke belakang, meniti, dan berlari. Saat aktivitas melompat ke bawah, anak tidak melompat dan merosot kebawah. Pada aktivitas naik tangga, anak mampu naik tangga dengan tangan berpegangan ke depan, dan turun prosotan dengan posisi tengkurap. Anak mampu melempar bola namun dengan instruksi berulang dan harus dicontohkan. Anak belum mampu menangkap dan menendang bola (terlampir).
Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan blanko pemeriksaan Motorik Halus, anak sudah mampu melakukan ketrampilan motorik halus dasar seperti meraih, menggenggam, melepas, dan menempatkan benda.
Anak mampu membuat menara blok sejumlah 6 blok, setara dengan usia 2 tahun. Anak belum mampu melakukan ketrampilan bilateral karena masih kurang memahami perintah dan memerlukan ‘promp’. Anak belum mampu
melakukan ketrampilan menulis, anak belum mengetahui cara memegang pensil dengan benar (terlampir).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), pada usia An. FA 36 bulan diketahui adanya penyimpangan perkembangan anak dan diketahui An. FA berada pada tahapan perkembangan anak usia 9 bulan (terlampir).
E. Pengkajian Data
1. Rangkuman Data Subyektif dan Obyektif
Anak berinisial FA. Berjenis kelamin perempuan, berusia 3 tahun 7 bulan. Anak hanya bermain dengan mainan yang disukainya. Perilaku anak secara umum atensinya masih sedikit dan tidak mampu bertahan pada satu permainan, kurang kooperatif, kurang paham terhadap perintah dari terapis, memiliki tonus otot yang lemah. Aktivitas sehari-hari anak masih memerlukan bantuan orangtua. Anak belum mampu bicara. Anak masih mengalami kesulitan saat aktivitas duduk tegak, merangkak, dan berjalan. Berdasarkan blangko pemeriksaan Motorik Kasar dan Motorik Halus diperoleh hasil ketrampilan anak belum sesuai dengan usianya.
Pada kemampuan motorik kasar anak masih mengalami kesulitan pada aktivitas berjalan, meniti, berlari, melompat, naik tangga, menangkap bola, dan menendang bola. Pada kemampuan motorik halus, anak masih mengalami kesulitan melakukan aktivitas bilateral dan belum mengetahui cara memegang pensil dengan pola yang benar. Pada pemeriksaan
Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) anak berada pada tahapan perkembangan usia 9 bulan.
2. Aset
Aset yang dimiliki yaitu anak berpenampilan rapi, bersih, dan rutin datang terapi. Orangtua mendukung program terapi anak. Anak sudah mampu melakukan aktivitas motorik halus dasar seperti meraih, menggenggam, melepas, dan menempatkan benda.
3. Limitasi
Limitasi yang dimiliki yaitu anak sudah mampu berjalan namun belum seimbang, pola jalan anak masih dengan base lebar, kepala sering menunduk dan badan membungkuk. Tonus otot dan kontrol postural anak lemah, posisi duduk anak masih cenderung ‘W’. Anak belum mampu komunikasi 2 arah, perilaku kurang adaptif, masih ngeyel dan belum memahami instruksi, anak masih memerlukan pengulangan instruksi dan
‘promp’ , atensi anak masih pendek, aktivitas motorik kasar dan halus masih banyak yang belum dikuasai.
4. Prioritas Masalah
Berdasarkan dari aset dan limitasi maka prioritas masalah yang di ambil adalah anak mengalami masalah pada kontrol postural saat aktivitas bermain dengan posisi duduk tegak.
5. Diagnosis OT
Anak mengalami masalah pada area produktivitas yaitu belum mampu mempertahankan posisi duduk tegak saat aktivitas bermain karena kelemahan kontrol postural.
F. Perencanaan Terapi
1. Tujuan Jangka Panjang
LTG : Anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi duduk tegak secara mandiri dalam 12 kali sesi terapi.
2. Tujuan Jangka Pendek
STG 1 : Anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi tengkurap secara mandiri dalam 4 kali sesi terapi.
STG 2 : Anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi terlentang ke duduk secara mandiri dalam 4 kali sesi terapi.
STG 3 : Anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi duduk rotasi trunk secara mandiri dalam 4 kali sesi terapi.
3. Strategi/Teknik
Strategi yang digunakan dalam kerangka acuan perkembangan yaitu mengikuti pada perkembangan anak normal. Melatih anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Serta menggunakan prinsip perkembangan cephalo-caudal dan proximal-distal (Kramer & Hinojosa,1999).
4. Frekuensi
Frekuensi terapi yang diberikan yaitu 2 kali dalam seminggu.
5. Durasi
Durasi yang diberikan selama proses terapi yaitu 25-30 menit selama satu kali sesi terapi.
6. Media Terapi
Media terapi yang dapat digunakan untuk menunjang jalannya proses terapi yaitu bola bobath, papan wedges, pegs pasak, buah-buahan, dan keranjang.
7. Home Program
Sebagai penunjang keberhasilan rencana terapi yang telah disusun dan dilaksanakan saat terapi, home program dibutuhkan agar mendapat hasil yang maksimal dalam waktu singkat. Home program yang diberikan pada anak adalah memberikan edukasi kepada orangtua dan keluarga untuk mendampingi dan membantu anak dalam aktivitas bermain dengan posisi duduk tegak saat dirumah. Seperti melatih aktivitas bermain dengan posisi tengkurap dan stimulasi permainan diletakkan di atas level mata anak, aktivitas bermain dengan posisi dari terlentang ke duduk, aktivitas bermain dengan posisi duduk dan rotasi trunk. Dan juga aktivitas untuk meningkatkan ketrampilan motorik halus seperti memasukkan manik- manik dari yang terbesar sampai manik-manik kecil ke dalam botol.
Orangtua dan keluarga diharapkan selalu memberi dukungan kepada anak.
G. Pelaksanaan Terapi 1. Adjunctive Therapy
Tahap awal dari suatu proses terapi yang berfungsi sebagai persiapan bagi anak sebelum melakukan aktivitas inti dari terapi. Aktivitas ini rutin dilakukan setiap awal pertemuan. Anak diajak bersalaman, lalu mengajak anak untuk memilih permainan apa yang ingin anak gunakan pada saat terapi, lalu terapis menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk terapi. Aktivitas ini bertujuan agar anak siap untuk melakukan aktivitas inti dari terapi.
Gambar 3.1. Anak memilih permainan yang ingin digunakan saat terapi
2. Enabling Activities
Pada tahap enabling yaitu aktivitas yang mengarah pada tujuan terapi dan biasanya melibatkan penggunaan media terapi, aktivitas yang diberikan lebih kompleks akan tetapi belum mengarah pada aktivitas yang bertujuan. Pada tahapan enabling activity, pada tahap ini mempertimbangkan aktivitas yang bertujuan.
Aktivitas bermain yang ke-1, bermain dengan posisi tengkurap di papan wedges. Pada tahapan enabling activity anak pada posisi tengkurap di atas papan wedges kemudian aktivitas yang diberikan memindahkan buah-buahan ke keranjang. Terapis berada di depan anak untuk memegangi keranjang di atas level mata anak. Pada aktivitas ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas head, neck, trunk, shoulder, untuk aktivasi otot extensor, dan koordinasi mata-tangan.
Gambar 3.2. Anak melakukan aktivitas bermain memindahkan buah- buahan ke keranjang dengan posisi tengkurap di papan wedges
Safety precautions dalam akivitas ini terapis selalu mengkondisikan
posisi anak nyaman, papan wedges diletakkan di atas permukaan yang rata, kemudian selalu berikan pengawasan pada anak dan hindarkan anak dari benda-benda yang tajam disekitarnya apabila sewaktu-waktu anak jatuh, anak dalam posisi yang aman.
Aktivitas bermain yang ke-2, bermain dengan posisi terlentang ke duduk di bola bobath. Pada tahapan enabling activity anak pada posisi terlentang ke duduk di atas bola bobath diberikan aktivitas bermain buah- buahan dan memasukkannya ke dalam keranjang. Posisi terapis berada di
depan anak dengan memegangi bagian pinggul anak untuk membantu keseimbangan anak agar tidak jatuh. Keranjang yang berisi buah-buahan diletakkan di belakang anak, sedangkan keranjang kosong yang digunakan untuk memindahkan buah-buahan diletakkan di depan anak/dibantu pegang oleh terapis lain. Pada aktivitas ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas head, neck, trunk, shoulder, untuk meningkatkan kekuatan otot trunk, thorax, untuk aktivasi otot flexor, dan koordinasi mata-tangan.
Gambar 3.3. Anak melakukan aktivitas bermain buah-buahan dengan posisi terlentang ke duduk di atas bola bobath
Safety precautions dalam akivitas ini terapis selalu mengkondisikan posisi anak nyaman, bola bobath diletakkan di atas matras, posisi terapis berada di depan anak (saat dalam posisi duduk) dan memegangi anak, kemudian selalu berikan pengawasan pada anak dan hindarkan anak dari benda-benda yang tajam disekitarnya apabila sewaktu-waktu anak jatuh, anak dalam posisi yang aman.
Aktivitas bermain yang ke-3, bermain dengan posisi duduk dengan rotasi trunk. Pada tahapan enabling activity anak pada posisi duduk dengan rotasi trunk diberikan aktivitas bermain memasang pegs pasak.
Jika pegs diletakkan di sisi kiri anak, pasak diletakkan di sisi kanan anak mengambil dengan tangan kanan dan sebaliknya jika pegs diletakkan di sisi kanan anak, pasak diletakkan di sisi kiri anak mengambil dengan tangan kiri kemudian memasangnya ke pasak. Posisi terapis berada di belakang anak. Pada aktivitas ini bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan anak, meningkatkan kekuatan otot perut External dan internal abdominal oblique, serta meningkatkan koordinasi mata-tangan.
Gambar 3.4. Anak melakukan aktivitas bermain pegs pasak dengan posisi duduk rotasi trunk
Safety precautions dalam akivitas ini terapis selalu mengkondisikan
posisi anak nyaman, posisi terapis berada di belakang anak, terapis mengobservasi dan mengoreksi posisi duduk tegak yang sesuai kemudian selalu berikan pengawasan pada anak dan hindarkan anak dari benda- benda yang tajam disekitarnya.
3. Purposeful Activities
Pada tahap purposeful activity, aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas yang fungsional bagi anak. Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah anak bermain memasang pegboard pasak dalam posisi duduk tegak dengan bersila di matras. Dalam aktivitas bermain memasang pegs pasak, anak duduk berhadapan dengan terapis, pasak dipegang
terapis di atas level mata anak. Aktivitas ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan motorik halus, dan koordinasi mata-tangan.
Safety precautions terapis mengobservasi dan mengoreksi posisi duduk
tegak yang sesuai, anak duduk di atas matras dengan posisi bersila.
Gambar 3.5. Anak melakukan aktivitas bermain pegs pasak dengan posisi duduk tegak
4. Occupational Performance
Occupational performance yaitu tahapan tertinggi dalam
pelaksanaan terapi dimana dalam lingkungan fisik maupun sosial anak mampu melakukan occupation (aktivitas) secara mandiri. Pada tahap
occupational performance ini termasuk terapi inti pada aktivitas
fungsional yaitu aktivitas bermain dengan posisi duduk tegak. Pada tahap ini aktivitas duduk tegak dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya pada aktivitas bermain, namun juga pada aktivitas yang lain seperti aktivitas minum, aktivitas makan, dan aktivitas lain. Safety precautions orangtua selalu mengobservasi dan mengoreksi posisi duduk
tegak yang sesuai.
H. Reevaluasi
1. Data Subjektif
Berdasarkan observasi klinis pada 25 Maret 2019, anak sudah mampu duduk tegak namun belum mampu mempertahankan posisi duduk tegak dalam waktu yang lama. Anak hanya mampu mempertahankan posisi duduk tegak selama ± 2 menit.
2. Data Objektif
Berdasarkan blangko pemeriksaan motorik kasar dan motorik halus, kemampuan anak masih sama dengan pemeriksaan awal dan belum mengalami peningkatan. Berdasarkan blangko Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), anak masih berada pada tahapan perkembangan usia 9 bulan.
3. Reevaluasi Hasil Terapi/Pencapaian
Berdasarkan terapi yang telah dilakukan, LTG anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi duduk tegak telah tercapai.
Pada STG I yaitu anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan
posisi tengkurap, STG II anak mampu melakukan aktivitas bermain dengan posisi terlentang ke duduk dengan bantuan terapis, serta STG III anak mampu bermain dengan aktivitas rotasi trunk pada posisi duduk An.
FA sudah mampu melakukannya namun masih membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan aktivitas yang diberikan karena anak memerlukan pengulangan instruksi dan terkadang menolaknya.
I. Follow Up
Rekomendasi untuk tindakan Okupasi Terapi selanjutnya adalah setelah penulis menyelesaikan praktik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta diharapkan terapis yang menangani An. FA selanjutnya mau melanjutkan program terapi yang telah dibuat oleh penulis. Tujuannya adalah agar program terapi yang belum berhasil dapat tercapai walaupun bukan dengan penulis melainkan dengan terapis lain. Orangtua juga diharapkan mau melanjutkan home program yang telah diberikan agar anak dapat meningkat kemampuannya.
Perkembangan yang diperoleh, diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan jadwal terapi yang rutin dan program terapi yang sesuai.