• Tidak ada hasil yang ditemukan

Area-area Sakral di Desa Sambirenteng Kecamaan Tejakula Kabupaten Buleleng Sebuah Studi Keruangan tentang Tinggalan Kebudayaan Bali Aga.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Area-area Sakral di Desa Sambirenteng Kecamaan Tejakula Kabupaten Buleleng Sebuah Studi Keruangan tentang Tinggalan Kebudayaan Bali Aga."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/Nama Bidang Ilmu : 426/Teknik Arsitektur

LAPORAN HASIL PENELITIAN

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

AREA-AREA SAKRAL DI DESA SAMBIRENTENG,

KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG:

SebuahStudiKeruangantentangTinggalanKebudayaan Bali Aga

Tim Pengusul :

1.

I Gusti Agung Bagus Suryada, S.T., M.T.

0030106606

2.

I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D

0011097401

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)

iii

3.3 Informan Penelitian ... 9

3.4 Metode Penelitian ... 12

3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

4.1 Lokasi ... 18

4.2 Sejarah Desa ... 4.3 Perkembangan Tata Ruang Desa………. 4.4 Objek-objek Bernilai Khusus Dalam Wilayah Desa ……….. 4.5 Ritual-ritual……….. 21 23 21 26 4.6 Area dan Objek Keruangan yang Bernilai Sakral di Desa Sembiran…... 32

4.7 Deskripsi Singkat tentang Padma Agung di Pura Dulu, Sembiran…….. 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5.1 Simpulan……….. 56

5.2 Saran………. 56

(4)

1

RINGKASAN

Desa Sambirenteng adalah sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang berlokasi dalam wilayah Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Desa ini memiliki karakteristik keruangan selayaknya sebuah desa pegunungan dari masa Bali Kuno, yaitu menganut pola desa linear dengan sebuah jalan utama desa yang membentang dari arah utara ke selatan desa. Sebagai sebuah Bali Aga yang berbatasan langsng dengan Laut Bali, desa ini pada masa lalunya dikenal sebagai desa hunian komunitas nelayan tradisional Bali. Selain berkenaan dengan poladesanya, ada berbagai aspek Desa Sambirenteng yang juga menarik untuk dijadikan bahan kajian keruangan, seperti pola rumah tinggal, zonasi antartetangga, bangunan suci, dan zona sakral desa.Bangunan suci dan zona-zona suci di dalam wilayah Desa Sambirentengmemiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan yang berlaku di desa-desa tradisional Bali dataran. Sambirenteng tidak mengenal konsep Pura Kahyangan Tiga.

Desa ini juga memiliki beberapa zona sakral berlatar animisme, dinamisme, dan Agama Hindu yang mendapat pengelolaan ritual secara turun temurun sejak masa Bali Aga. Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya mendorong gagasan menjalankan sebuah studi mendalam tentang konsepsi dan karakteristik tata ruang pura dan zona-zona sakral di Desa Sambirenteng. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang berbasis pada studi lapangan dan wawancara. Penelitian ini dipastikan menghasilkan suatu temuan tentang konsep keruangan tradisional yang relatif baru. Hal ini didasarkan pada minimnya studi tentang Desa Sambirenteng yang telah dijalankan selama ini.

(5)

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Desa Sambirenteng adalah sebuah desa tradisional Bali yang tergolong sebagai

desa kuno tinggalan masa Bali Aga. Desa ini berada di dalam wilayah Kecamatan

Tejakula, Kabupaten Buleleng yang berbatasan langsung dengan Laut Bali di

utara wilayah desa. Pada masa lalunya, Sambirenteng diyakini dihuni oleh

masyarakat yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani

perkebunan.

Secara tata ruang, Desa Sambirenteng memiliki pola desa selayaknya desa-desa

tradisional Bali pegunungan yang berlatar kebudayaan Bali Aga. Desa ini

menganut pola desa linear berkat adanya satu sumbu desa yang membentuk

sumbu aksis desa dari arah bukit ke arah perairan Laut Bali yang berada di utara

desa. Sistem tata ruang masing-masing persil rumah juga terlihat masih

menyisakan karakter masa lalunya. Sebagian besar petak pekarangan rumah tidak

terbatasi oleh tembok batas masif sebagai pembatas teritorinya, sesuatu yang tidak

lazim dalam tata ruang desa-desa tradisional Bali dataran.

Sambirenteng mengenal beragam tradisi dan ritual yang relatif berbeda dengan

tradisi yang dikenal komunitas masyarakat tradisional Bali pada umumnya.

Tradisi-tradisi tersebut dapat berupa tradisi sosial dan ritual keagamaan yang

keduanya telah ikut pula berperan membentuk pola meruang masyarakat secara

turun-temurun. Elemen-elemen seting area desa pun menjadi tertata sedemikian

rupa sesuai tradisi kebudayaan Bali Aga.

Desa Sambirenteng tidak menganut konsepsi Pura Kahyangan Tiga Desa. Desa ini

lebih mengenal beberapa pura, semacam Pura Pangulapan, Pura Bale Agung, dan

Pura Pungut. Dalam wilayah Desa Sambirenteng juga terdapat beberapa zona suci

tinggalan masa lalu berlatar pandangan animisme dan dinamisme yang terkelola

dengan baik hingga saat ini, seperti tepian sungai, bukit, persimpangan jalan, dan

(6)

3 menganut konsep “mandala” yang berbeda dengan yang dikenal pada umumnya (hasil grand tour dan wawancara awal, 2015).

Gambaran awal yang diperoleh ini selanjutnya mendorong gagasan untuk

melakukan riset keruangan lebih lanjut tentang karakteristik bangunan dan area

suci Desa Sambirenteng. Hasil akhir temuan penelitian ini dipastikan akan sangat

bernilai dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan keruangan tradisional

Bali. Hal ini didasarkan pada keunikan objek studi dan minimnya studi dan

inventarisasi budaya keruangan yang pernah dilakukan berkenaan dengan Desa

(7)

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ada beberapa teori yang rencananya dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu (1)

teori ruang sakral dan profan; (2) teori ruang abstrak; (3) konsep animisme dan

dinamisme; (4) konsep tentang masyarakat Bali Aga; serta (5) konsep pola desa

tradisional Bali Aga.

2.1 Ruang Sakral dan Profan

Eliade mengartikan ruang yang sakral sebagai ruang yang “nyata” yang dikelilingi oleh satu area medan tanpa wujud. Ruang sakral pada umumnya menjadi arah

orientasi bagi ruang lainnya. Manusia menghuni area dunia tengah (midland) yang

berada di antara dunia luar yang “tidak terkendali” dan area dunia dalam yang berkarakter sakral. Kedua ruang ini senantiasa memiliki kualitas kesucian yang

selalu diperbaharui melalui berbagai rangkaian kegiatan ritual sakral. Kegiatan

ritual mengambil suatu tempat dalam suatu ruang sakral ini, dan menjadi cara

tunggal untuk dapat partisipasi dalam wilayah kosmos sakral untuk dapat

membersihkan kembali dunia profan (2002: 14). Ruang yang berkarakter sakral

lebih kokoh dan bermakna, adapun ruang lainya yang profan bersifat kacau dan

tanpa makna. Manusia tradisional pada umumnya tidak mampu untuk hidup

nyaman dalam suasana dunia yang profan, karena mereka tidak mampu

mengoreintasikan dirinya sendiri.

2.2 Ruang Abstrak

Sesungguhnya ruang adalah bersifat abstrak dan tidak terbatas. Ketidakterbatasannya bersifat tiga

dimensional dari ruang universal yang berada di luar jangkauan konsepsi manusia dengan

delimitasi spasialnya yang dimilikinya. Para analis ruang sangat menyadari bahwa arsitektur

merupakan suatu manifestasi secara intelektual dari karakter ruang yang bersifat abstrak itu. Ruang

juga tidak berkarakter konkret, plastis, maupun kubis. Ruang adalah bersifat abstrak, tersebar, dan

terlarut sebagai bidang-bidang yang tidak wadaqi. (Ronald, 2008: 261)

(8)

5 Animisme merupakan suatu pandangan kepercayaan suatu kelompok masyarakat

terhadap adanya kekuatan yang diberikan oleh nenek moyang atau leluhurnya.

Pandangan ini selanjutnya melahirkan adanya tradisi di kalangan masyarakat

tradisional tentang pemujaan dan kepercayaan terhadap kekuatan abstrak nenek

moyang. Pandangan dinamisme merupakan suatu bentuk kepercayaan berkenaan

dengan adanya mana atau suatu kekuatan abstrak yang diyakini dapat diperoleh

dari manusia lain, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, bahkan benda mati.

Pandangan ini melahirkan tradisi-tradisi dan ritual terhadap benda-beda keramat,

batu besar, dan tempat-tempat sakral lainnya di alam (Anonim, 1984: 7).

2.4 Masyarakat Bali Aga

Ada dua pendapat yang dikemukakan dua sarjana berkenaan dengan masyarakat

Bali Aga yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat Bali asli yang masih

memegang teguh adat istiadat dan tradisi animisme dan dinamisme yang

diwarisi secara turun temurun (Prayitno, 2003). Masyarakat ini pada

umumnya tetap bertahan hidup di daerah pegunungan, seperti di Desa

Sukawana, Sembiran, Kintamani, dan Tenganan.

2. Masyarakat Bali Aga pada umumnya sangat kurang mendapat pengaruh

budaya Hindu Jawa dari Majapahit. (Suwidja dan Purna, 1991: 198).

Komunitas Bali Aga tidak mengenal sistem strata sosial masyarakat.

Adapun orang Hindu yang datang dari Jawa Timur ke Bali setelah masa

kejatuhan Majapahit disebut dengan Triwangsa yang terdiri dari

Brahmana, Ksatriya, dan Waisia (Shastri, 1963: 94). Komunitas

“pendatang” dikenal dengan nama Bali Arya yang menghuni wilayah

dataran Pulau Bali.

2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga

Pola desa tradisional masyarakat Bali Aga yang berlokasi di daerah pegunungan

(9)

6 membentuk pola lingkungan disesuaikan dengan transis lokasi kemiringan dan

lereng-lereng alam. Desa Sukawana, Kintamani, Bangli dan beberapa desa di

pegunungan yang berlereng beberapa arah dengan beberapa punggung bukit

orientasinya ke arah yang lebih tinggi pada zona-zona masing-masing, atau

puncak tertinggi sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama dan

tempat-tempat suci pemujaan di masing-masing keluarga ditempat-tempatkan di bagian yang

lebih tinggi atau ke arah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng ke beberapa

arah menjadikan orientasi tempat suci tidak hanya ke arah kaja dan kangin

(Anonim, 1986: 13-14). Pola desa tradisional masyarakat Bali Aga cenderung

mengambil bentuk pola sumbu aksis linear atau ada ruang plaza di tengah

(10)

7

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian yang ini memuat beberapa tujuan khusus sebagai berikut.

1. Menginventarisir serta menelusuri sejarah, latar konseptual, dan makna keruangan yang

termuat dalam perwujudan area dan zona-zona sakral di Desa tradisional Sambirenteng.

2. Menemukan pola aktivitas dan pola tradisi ritual yang dijalankan di area atau

zona-zona sakral di Desa Sambirenteng.

3. Mengkomparasikan wujud dan karakter keruangan dari zona-zona sakral di Desa

Sambirenteng sebagai desa tinggalan masa Bali Kuno dan pola yang berlaku di dalam

wilayah desa-desa Bali Pertengahan.

4. Menghasilkan produk akhir berupa materi ajar mengenai satu desa tradisional Bali

yang bercorak Bali Aga di Buleleng.

5. Menghasilkan sebuah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi

1.2Urgensi Penelitian

Penelitian ini sangat layak dilaksanakan berdasarkan beberapa pertimbangan

berkenaan aspek keutamaan yang dimiliki topik dan objek penelitian ini.

1. Penelitian ini bertujuan menginventarisasi pengetahuan budaya lama

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan menggali dan menemukan kembali

konsepsi dan nilai keruangan dari zona sakral di suatu desa yang berlatar

budaya Bali Kuno. Konsepsi yang diperoleh sangat berkaitan dengan

pandangan animisme dan dinamisme beserta sinkretisasinya dengan ajaran

Hindu Dharma.

2. Penelitian memuat topik orisinal

Penelitian tentang karakteristik zona-zona sakral di Desa Sambirenteng ini

belum pernah dilakukan secara mendalam oleh peneliti lain sebelumnya.

3. Penelitian untuk pengembangan imu pengetahuan

Hasil akhir penelitian ini akan memperkaya ilmu pengetahuan berkenaan

(11)

8 4. Penelitian ini sejalan dengan arah kebijakan Universitas Udayana

Penelitian ini sesuai dengan arah kebijakan pengembangan Universitas

Udayana yang pada intinya berupaya untuk menjadikan Universitas Udayana

sebagai satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Bali yang dapat berperan

(12)

9

BAB IV METODE PENELITIAN

Penelitian tentang karakteristik keruangan yzng termuat dalam area dan zona

sakral di Desa Sambirenteng ini tergolong sebagai sebuah penelitian kualitatif.

Pada bagian berikut ini dipaparkan secara berurutan aspek-aspek yang berkenaan

dengan: (1) materi penelitian; (2) informan penelitian; (3) metode penelitian; dan

(4) instrumen penelitian.

4.1 Materi Penelitian

Materi penelitian ini berupa pura, ruang, maupun zona-zona sakral yang berada di

area publik Desa Sambirenteng yang secara garis besarnya dapat diklasifikasikan

sebagai:

a. Kompleks bangunan pura lama tinggal budaya Bali kuno

b. Persimpangan jalan yang disakralkan

c. Wilayah sekitar tepian sungai

d. Zona sakral di dekat area tebing dan lereng bukit

e. Daerah di dekat hutan desa

f. Pohon besar yang disakralkan penduduk

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian yang akan dijalankan ini berlokasi di dalam wilayah Desa tradisional

(13)

10 Gambar 4. 1: Peta Lokasi Sambirenteng

Gambar 4. 2: Peta Area Sambirenteng

Pada peta Desa Sambirenteng di atas diperlihatkan juga persebaran beberapa

bangunan pura utama di dalam wilayah Desa Sambirenteng. Persebaran zona-zona

atau area-area sakral lainnya semacam pohon, tepian sungai, jurang, dan

(14)

11 Berikut ini diperlihatkan gambaran eksisting wilayah dan foto rekaman data

gambar Desa Sambirenteng berdasarkan hasil grand tour pada tanggal 5 Pebruari

2015.

Gambar 4.3: Sebuah Pura Dadia Milik Keluarga

Gambar 4.4: Pura Pangulapan di Ulu Desa Sambirenteng

Gambar 4.5: Pura Dadia di Desa Sambirenteng

Gambar 4.6: Pura Pungut sebagai Pura Segara Desa

Gambar 4.7: Pura Bale Agung Desa Sambirenteng

Gambar 4.8: Area Pusat Desa Sambirenteng

Gambar 4.8: Jalan Utama Desa Sambirenteng

Gambar 4.9: Jalan Utama Desa Sambirenteng

(15)

12 Gambar 4.11: Gang di Desa

Sambirenteng

Gambar 4.12: Gang di Desa Sambirenteng

Gambar 4.13: Relief Kedok Wajah di Pura Sambirenteng

4.3 Informan Penelitian

Informan penelitian adalah subjek penelitian yang akan dimintai informasi dan

keterangan berkenaan dengan topik penelitian yang diajukan ini. Para informan

penelitian dipilih dan ditetapkan berdasarkan kompetensi pemahaman yang

dimilikinya berkenaan dengan materi dan fokus studi yang dilakukan ini. Para

informan yang ditetapkan sebagai narasumber dalam penelitian ini antara lain

berstatus sebagai: (a) pemuka adat Desa Sambirenteng; (b) pemuka agama Desa

Sambirenteng; (c) para tetua desa; dan (d) para akademisi maupun peneliti yang

memahami konsep keruangan sakral di Desa Sambirenteng.

4.4 Metode Penelitian

Penelitian ini secara umum akan dijalankan sesuai tahapan-tahapan sebagai

berikut.

4.4.1 Tahap Pengumpulan Data Awal

Dalam proses pengumpulan data awal, tim peneliti telah melakukan grand tour di

dalam area penelitian serta telah melakukan wawancara dengan beberapa

narasumber di lokasi. Kegiatan grand tour ini telah menghasilkan beberapa

(16)

13 dijadikan sebagai fokus amatan dan kajian dalam penelitian ini. Tim peneliti telah

menjalankan grand tour penelitian di wilayah desa tradisional Sambirenteng

tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 2015. Fokus penelitian ini pada akhirnya

ditetapkan terfokus pada karakteristik keruangan yang termuat dalam tata ruang

dan zonasi ruang-ruang sakral di wilayah desa tradisional Sambirenteng.

4.4.2 Tahap Pengumpulan Data Lanjutan

Kegiatan pengumpulan data lanjutan dijalankan pascapengumuman resmi

berkenaan pembiayaan kegiatan penelitian ini. Dalam tahap pengumpulan data

lanjutan, tim peneliti selanjutnya akan menjalankan tiga macam tipe cara

pengkoleksian data berdasarkan sifat data yang ditargetkan seperti tabel berikut

ini.

No. Kegiatan Data/hasil target capaian Durasi

1. Pengumpulan data lapangan

 Data fisik tata ruang wilayah desa

 Kuantitas dan persebaran objek studi

 Varian perwujudan objek amatan

 Kegiatan ritual yang dijalankan di objek

 Elemen-elemen atribut objek amatan

tiga bulan

 Rekonstruksi berkenaan pola prosesi ritual yang dilakukan warga

tiga bulan

3. Pengumpulan

data instansional 

Data kependudukan Desa Sambirenteng

 Data sosial-budaya dan ekonomi desa sebulan

4.4.3 Tahap Analisis

Analisis data pada intinya dilakukan dalam beberapa teknik studi, seperti (1)

analisis tipomorfologi dari wujud objek-objek studi; (2) analisis rekonstruksi

wujud objek dan ritual berdasarkan data oral yang diperoleh dari para informan;

(17)

14 studi dan objek yang setara di luar wilayah studi; dan (4) analisis rasionalis yang

menggunakan teori maupun konsep keruangan yang relevan dengan topik kajian.

Kegiatan analisis data ini ditargetkan akan dijalankan dalam empat bulan

kalender. Dalam tabel berikut ini dalam dilihat gambaran rangkaian kegiatan

analisis penelitian yang akan dijalankan dalam riset ini.

No. Kegiatan Objek studi/penjelasan Target hasil

1. Analisis tipomorfologi

Wujud bangunan dan zona-zona sakral desa

Sejarah dan konsep masing-masing bangunan dan zona-zona

Telaah berkenaan wujud objek dan tradisi ritual yang menyertainya dikaji berdasarkan teori keruangan secara umum dan konsep-konsep lokal

Korelasi antara objek studi dan teori/konsep lokal

4.4.4 Tahap Sintesis

Tahap sintesis data dalam penelitian ini dilakukan dengan fokus kegiatan

menemukan keterkaitan antarelemen keruangan yang telah diperoleh pada

(18)

15 dapat tergambarkan secara pasti. Hal ini didasarkan pada gambaran hasil analisis

data yang akan dijalankan dalam tahap sebelumnya belum diperoleh. Tahap

sintesis data ini dapat diartikan pula sebagai suatu tahap pendialogan

antarkomponen hasil analisis sebelumnya yang saling berelasi atau berkaitan.

Pada bagian akhir dari tahap sintesis dalam penelitian ini akan dilakukan pula

beberapa kegiatan pendialogan antara hasil kajian objek dan fenomena lapangan

dan teori-teori keruangan umum serta konsep-konsep lokal yang relevan. Tahap

ini diperkirakan akan memakan waktu dua bulan kalender penelitian.

4.4.5 Tahap Penyimpulan

Tahap penyimpulan hasil penelitian adalah tahap terakhir dari seluruh rangkaian

kegiatan penelitian ini. Tahap ini akan berlangsung cukup singkat, yaitu kurang

dari sebulan kalender penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian

Instrumen utama penelitian ini adalah instrumen manusia yang dalam hal ini adalah tim peneliti

sendiri. Tim peneliti secara bersama-sama berperan sebagai penelusur, pengamat, kolektor,

katalisator, serta analisator segala data yang diperoleh dalam rangkaian kegiatan penelitian ini.

Selain dari pada itu, masih ada pula beberapa alat bantu yang digunakan oleh tim peneliti dalam

penelitian ini, yaitu:

(a) Tiga unit komputer jinjing (laptop), serta dua unit komputer tablet sebagai sarana

penyimpan data, hasil analisis, serta sebagai alat penyusunan materi laporan-laporan

kegiatan penelitian ini. Komputer tablet memiliki fungsi lain sebagai alat perekaman

gambar, video, serta rekaman audio saat melakukan observasi dan wawancara di lapangan.

(b) Satu unit printer berwarna untuk mencetak laporan penelitian dan materi focus study tim.

(c) Satu unit video camera untuk kegiatan merekam data visual bergerak di lapangan.

(d) Dua unit digital camera untuk merekam gambar objek-objek diam di lapangan.

(e) Peralatan tulis dan gambar untuk kegiatan pencatatan data dan sketsa data lapangan secara

(19)

16

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Lokasi

Sambirenteng merupakan sebuah nama Desa yang terletak di KecamatanTejakula,

Kabupaten Buleleng, Bali. Jarak tempuh Desa Sambirenteng kurang lebih 40km

atau sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Singaraja.

Gambar 4.14: Peta Desa Sambirenteng

Luas wilayah Desa Sambirenteng : 940 Ha

Pemanfaatan wilayah

(20)

17

Sebelah selatan : Kecamatan Kintamani

Sebelah barat : Desa Pakraman Lespenurukan

Sebelah timur : Desa Gretek

Jarak pemerintahan desa

Ke Ibu Kota Kecamatan Tejakula : 6 km

Ke Ibu Kota Kabupaten Buleleng : 40 km

Ke Ibu Kota Provinsi Bali : 127 km

Desa Sambirenteng terdiri dari 4 dusun, yaitu :

- Dusun Sambirenteng

- Dusun Benben

- Dusun Gretek

- Dusun Sila Gading

5.2 Sejarah Desa

Desa Sambirenteng berasal dari kata sambi yang berarti semua dan renteng itu ringan. Jadi Desa

Sambirenteng arti katanya Semua Ringan. Terdapat suatu kerajaan yang letaknya di pinggir

kaldera Gunung Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang memiliki wilayah kerajaan

yang sangat luas, sampai batas batu sungu di bagian sebelah utara kerajaan. Kerajaan tersebut

(21)

Bali-18

Ingkang dulunya pernah diserang oleh musuh, sehingga sang raja menyingkir ke suatu tempat di

suatu hutan yang lebat yang terletak di sebuah perbukitan yang ada di sebelah utara kerajaan

tersebut. Dan sekarang daerah hutan/perbukitan tersebut dikenal dengan Bukit Sari. Setelah

kerajaan dapat direbut kembali, maka raja kembali untuk menjalankan kekuasaannya.

Pada saat kerajaan Bali-Ingkang akan diserang oleh prajurit Sri Arya Gajah Para,

maka raja mengirim suatu pasukan atau Kanca yang berjumlah dua ratus orang

(Kanca Satak) yang mempunyai tugas menjaga keamanan yang ada disebelah

utara kerajaan. Pasukan atau Kanca Satak ini membangun sebuah benteng yang

berada di bagian timur laut kerajaan, yang sekarang bernama Desa Tembok.

Dengan pusat komando yang berpusat di suatu hutan yang sangat lebat yang

disebut Kayu Samah dengan menempatkan pasukan sebanyak seratus orang.

Pada saat pimpinan memberikan komando/perintah kepada anggotanya, Pimpinan

mengatakan Sami-Ranta (Bahasa Bali Kuno yang berarti Semua Siap), maka lama

kelamaan sebutan Sami-Ranta yang berasal dari perintah pimpinan tersebut,

berubah menjadi Sambirenteng yang merupakan nama desa sekarang.

Desa Sambirenteng terletak di kecamatan Tejakula, kabupaten Buleleng, provinsi Bali yang terdiri

dari 4 dusun yaitu: Dusun Samireteng, Dusun Benben, Dusun Gretek, Dusun Sila Gading.

Sebelum desa ini berada di tempatnya sekarang, desa Sambirenteng ini dulunya bernama desa

Kayu Teba/Samah saa yang berada di atas pegunungan (daerah kintamani). Perpindahan penduduk

dari daerah kintamani ke kaki gunung (yang dulu nya hutan lebat) hal tersebut dikarenakan pada

daerah tersebut penduduknya sudah cukup padat untuk menempati wilayah tersebut dan ingin

mencari sumber air terdekat (daerah desa sambirenteng sekarang).

Desa sambirenteng dikenal dengan rumah nya yang tidak menggunakan tembok pembatas atau

penyengker, tanah tempat warga mendirikian rumah sekarang ini merupakan tanah hak milik desa

sambirenteng yang luasnya kurang lebih sekitar 2 hektar, pembagian tanah pun menggunakan

sistem pembagian acak, sehingga belum tentu warga yang tinggal pada natah yang sama ada

hubungan keluarga atau bersaudara. Seiring perkembangan zaman, tidak semua rumah warga

disini tidak menggunakan tembok penyengker, ada beberapa rumah yang sudah menggunakan

(22)

19

Gambar 4.15: Perbatasan rumah warga

tanpa tembok penyengker.

Gambar 4.16: Jalan utama pada desa Sambirenteng

5.3 Objek – Objek Bernilai Khusus dalam Wilayah Desa

(23)

20 Gambar 4.17: Pura di Desa Sambirenteng

Tidak seperti desa adat pada umumnya, desa adat Sambirenteng tidak memiliki

Pura Kahyangan 3, namun pada desa ini memiliki Pura yang fungsinya sama

dengan Kahyangan 3 yang disebut dengan Sanggah Desa, Selaindari pada itu,

desa ini juga terdapat Pura Sanghyang, Pura Bale Agung, Pura Pengulapan, Pura

Pegonjongan, dan Pura Pungud.

5. 4. Kuburan / Setra

Kuburan pada Desa Sambirenteng atau setra tempat warga yang sudah meninggal

akan dibentuk seperti gundukan/menggunung, jika warga yang meninggal adalah

laki-laki maka jenazah dari laki laki tersebut akan diletakkan tengkurap, namun

jika jenazah itu perempuan, maka jenazah tersebut akan diletakkan menengadah

ke atas.

5.5 Pantai

(24)

21 Gambar 4.18: Pantai dekat Pura

5.6 Peken / Pasar

Terdapat peken desa atau pasar desa yang fungsinya sama seperti pasar pada umumnya. Pasar pada desa ini buka setiap hari dari pagi hingga malam hari sehingga tidak ada hari yang mengkhusus untuk hari buka pasar tersebut.

Gambar 4.19: Pasar Desa

5.6 Perempatan Agung

Desa ini memiliki perempatan agung yang biasanya digunakan sebagai

tempat melaksanakan ritual mecagcagan, perempatan agung desa ini

sebenar nya bukan terletak tepat di depan desa, namun karena warga lebih

sering melaksanakan kegiatan keagamaan di perempatan ini, maka

perepmpatan yang terletak di depan desa ini ditetapkan sebagai

(25)

22

Gambar 4.20: Perempatan agung tempat

melaksanakan upacara keagamaan

Gambar 4.21: Fasilitas Umum Desa

Perempatan agung yang sebenarnya terletak dekat dengan Poskesdes yang brjarak tidak terlalu

jauh dengan perempatan agung yang digunakan untuk tempat pelaksaaan upacara keagamaan

(26)

23 5.7 Ritual – Ritual Khusus Pada Desa

1. Dewa Yadnya

Pura Sanggah Desa

Upacara besar atau biasa disebut odalan di Pura Sanggah Desa yang jatuh

pada Purnama Kelima.

Pura Sanghyang

Pura ini terletak diatas desa Sambirenteng, upacara besar Pura Sanghyang

ini jatuh pada Purnama Kasil

Pura Bale Agung

Pura Bale Agung atau biasa disebut Pura Desa ini memiliki upacara besar

yang jatuh pada Purnama Kapat

Pura Pengulapan

Pada saat dilaksanakan nya upacara besar, Pura Pengulapan ini digunakan

untuk “Ngemedalan” Ida Bhatara yang berada di daerah Bangli tepatnya

yang berada di Pura Dalem Belingkang. Odalan atau upacara besar di Pura

Belingkang jatuh pada Purnama Kelima. Pada saat Purnama Kelima

masyarakat Sambirenteng pergi untuk tangkil ke Pura Dalem Belingkang

yang berada di daerah Bangli, sehingga pada saat odalan di Pura Catu

yang jatuh pada Purnama Kelima masyarakat Sambirenteng tidak tangkil

ke pura Catu sehingga dicarilah penanggalan kenem. Penanggalam kenem

merupakan saat dimana stelah Purnama Kelima namun sebelum Purnama

Kenem. Jadi waktu penanggalan kenem berada di antara Purnama Kelima

dan Purnama Kenem.

Pura Catu

Odalan atau upacara besar di Pura Catu jatuh pada Purnama Kelima, tetapi

jika berbenturan denga Odalan di Pura Dalem Belingkang maka

dilaksanakan pada saat penanggal kaenem.

Pura Pengonjongan

Upacara besar pada Pura Pengonjongan jatuh pada Purnama Kenem

(27)

24 Pura ini terletak di pesisir pantai desa Sambirenteng, upacara besarnya

jatuh pada Purnama Kepitu

2. Manusa Yadnya

Desa Sambirenteng tidak memiliki istilah Ngaben dalam ritual manusa yadnya

nya. Jika ada yang meninggal maka jasad tersebut hanya dikuburkan dan

menunggu hari baik serta biaya terkumpul. Setelah 42 hari jasad tersebut akan

dibuatkan sebuah upacara yang disebut upacara Melain atau biasa disebut Metuun

sehingga tidak ada istilah mayat dibakar. Meskipun tidak ada yang namanya

Ngaben tetapi berbagai keperluan upacara seperti “banten” tidak ada bedanya

dengan upacara Ngaben.

Desa Sambirenteng juga memiliki adat yang unik mengenai posisi jasad yang

dikuburkan, jika yang meninggal berjenis kelamin perempuan maka saat dikubur

tubuhnya dihadapkan terlentang ke atas, tetapi jika yang meninggal laki-laki maka

posisi tubuhnya akan telungkup kebawah. Tempat yang digunakan untuk

mengangkat jasadnya disebut dengan Pepaga, pepaga ini disusun dari “tiing” yang

sederhana, tetapi karena jaman makin maju untuk saat ini jasad telah dibuatkan

peti yang digunakan untuk mengangkat jasad sampai di kuburan.

Ada 2 tipe orang yang meninggal di desa Sambirenteng, ada yang disebut Meliyeh

dan. Yang Meliyeh biasanya ada tirta khusus yang dipakai serta saat diangkat ke

kuburan diiringi dengan gendingan serta gambelan dan sebelum jasad tiba di

kuburan lubang kuburannya telah disiapkan. Sedangkan yang meninggal biasa

tidak ada iringan saat mengangkat jasad, dan lubang kuburannya baru disiapkan

saat jasad tiba di kuburan.

Terdapat perlakuan yang berbeda antara yang meninggal biasa dan meliyeh

dengan yang meninggal “salah pati”, yang berbeda adalah saat jasad diangkat ke kuburan. Diangkatnya tidak menggunakan pepaga atau peti tetapi hanya

menggunakan 1 batang bambu, tangan dan kaki jasad tersebut di ikatkan di bambu

(28)

25 ini dimaksudkan agar masyarakat yang masih hidup tidak melakukan hal yang

sama dan berpikir lebih jernih.

3. Butha Yadnya

Mecakcakan

Mecakcakan jatuh pada Tilem Kepitu, upacara ini diawali dengan menghaturkan

pejati di Pura Sanggah Desa pada saat hari raya Siwaratri, setelah itu diadakan

acara adu ayam yang wajib diikuti oleh semua masyarakat yang memiliki ayam

atau jika tidak memiliki ayam masyarakat wajib membayar iuran kepada desa.

Ayam yang kalah saat diadu tidak boleh dibawa pulang karena akan dimasak yang

kemudian akan dimakan bersama warga desa. Makan bersama ini biasa disebut

megibung, alas dari megibung ini menggunakan kelakat dimana 1 kelakat dipakai

megibung untuk 8 orang.

Ngerebeg

Upacara ini ditujukan untuk memohon pada para Butha agar selalu melindungi

desa, tiap tahun upacara ngerebeg ini dilaksanakan dengan meletakan daging sapi,

babi atau kambing di jalan sebagai persembahan untuk para butha.

Nyepi

Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari

ini jatuh pada Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian

dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air

hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan terhadap mereka dengan

tujuan utama untuk memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk

menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana

Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi dilaksakan,

terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di

(29)

26

4. Dokumentasi

Gambar 4.22: Pura Sanghyang

(30)

27 Gambar 4.24: Sanggah Desa

(31)

28

Gambar 4.26: Pura Pegonjongan dan Pura Pungut

(32)

29

Gambar 4.28: Pasar

5.8 Area dan Objek Keruangan yang Bernilai Sakral di Desa Sambirenteng

Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan adanya beberapa area dan obejk

sakral yang disucikan oleh warga setempet secara pribadi, keluarga, maupun

kelompok masyarakat. Area dan objek sakral tersebut keberadaannya tersebar di

berbagai pelosok desa dalam berbagai ukuran, strata, dan fungsinya.

Pada bagian berikut ini diperlihatkan gambaran beberapa area sakral dan objek

sakral yang terdapat di wilayah Desa Sambirenteng.

1. Area Sakral

Area sakral dalam wilayah Desa Sambirenteng secara garis besarnya dapat

didefinisikan sebagai suatu area ruang terbuka atau lanskap yang dimaknai

(33)

30 masyarakat setempat. Beberapa jenis area yang tergolong sebagai area semacam

ini di Desa Sambirenteng antara lain: (a) area tepi pantai; (b) area daerah aliran

sungai; (c) area hutan; (d) mata air; dan (e) persimpangan jalan. Lazimnya, area

tepian pantai yang dimaknai sebagai area sakral di Desa Sambirenteng merupakan

area yang berkaitan dengan tradisi upacara terhadap penguasa laut (Pura Segara),

area melasti, maupun area bersejarah yang terkait dengan kedatangan kaum Cina

di wilayah ini pada masa lalunya (area tepian pantai di Pura Pagonjongan).

Berikut ini diperlihatkan foto-foto area sakral di Desa Sambirenteng.

Area sakral yang tergolong kelompok ini memiliki karakteristik radius

kesuciannya yang bervariasi tergantung pemaknaan dari civitas yang dalam hal ini

adalah masyarakat Hindu setempat. Sebagai contoh, area sakral tepian pantai ada

kalanya dimaknai hanya sebatas radius di mana lokasi perletakan sesajen upacara

ditempatkan. Pada bagian lainnya, masyarakat lainnya juga ada kalanya

memaknai area sakral wilayah pantai itu sebagai area sepanjang pantai wilayah

desanya (wawancara dengan bendesa adat, 2015). Pantai di wilayah Sambirenteng

diartikan sebagai area sakral yang menjadi transisi wilayah daratan dan lautan.

Hal semacam ini juga berlaku bagi area-area terbuka yang disakralkan di wilayah

ini, seperti area hutan, mata air, persimpangan jalan, dan sungai.

Gambaran lebih jelasnya tentang paparan tersebut dapat dilihat pada

(34)

31 Di beberapa bagian wilayah area sakral tersebut lazimnya terdapat suatu area yang

menjadi titik penempatan sesajen upacara keagamaan di wilayah tersebut.

Masyarakat Hindu setempat lazimnya tidak hanya memaknai wilayah sakral

tersebut secara fisik saja, akan tetapi juga memaknai nilai sakralitasnya terhadap

perilaku mereka. Komunitas Hindu di Desa Sambirenteng lazimnya akan tidak

bersikap atau berbicara sembarangan di wilayah-wilayah yang diyakini sebagai

area-area sakral tersebut.

2. Objek Sakral

Di dalam wilayah Desa Sambirenteng terdapat beberapa jenis objek sakral atau

objek keruangan yang benilai suci bagi masyarakat Hindu di desa itu. Objek-objek

tersebut secara fisik dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a. Objek bangunan pura

b. Objek batu besar yang disakralkan tinggalan masa megalitik

c. Objek pohon besar yang disakralkan

Objek-objek sakral tersebut lazimnya secara rutin masih tetap diupcarai oleh

masyarakat setempat hingga saat ini. Objek bangunan suci pura dapat

digolongkan sebagai objek bangunan pura tingkatan Kahyangan Desa, seperti

Pura Puseh lan Desa, Pura Bale Agung, Pura Segara, dan Pura Melanting. Adapun

pura yang tergolong pura keluarga antara lain pura dadia dan pura ibu yang

berjumlah sekitar 16 buah. Adapun beberapa jenis bagunan suci berstatus pribadi

antara lain pura catu dan pelinggih yang sangat banyak jumlahnya. Beberapa jenis

pura di wilayah Desa Sambirenteng bercikal bakal dari area sakral tempat

pemujaan berwujud tinggalan masa megalitik. Di dalam area inti pura ini

lazimnya terdapat objek tinggalan batu besar dari masa megalitik, seperti Pura

Pagonjongan dan Pura ...

Pura Kahyangan Desa yang terdapat dalam area desa adalah Pura Puseh, Pura

Desa, dan Pura Segara. Pura yang tergolong kelompok ini dibangun atau

ditetapkan berdasarkan pertimbangan penyetaraan terhadap desa-desa tradisional

(35)

32 kahyangan desa tersebut. Keberadaan Pura Kahyangan Desa di wilayah Desa

Sambirenteng pada umumnya mulai ditetapkan pada tahun 1960-an atau 1970-an

sebagai upaya menyetarakan kedudukan desa ini dengan desa-desa lain di Bali

pada umumnya.

Bangunan-bangunan suci di wilayah Desa Sambirenteng memiliki radius kesucian

yang dapat digambarkan sebagai adanya ruang kosong sempit “secukupnya”

antara tembok penyengker pura dan tembok bangunan profan lain yang

bersebelahannya dengannya. Keberadaan ruang kosong sempit ini untuk

menetralisir efek negatif yang berupa “aura panas” dari pura yang dapat

berdampak buruk bagi penghuni bangunan profan di sebelah pura. Di lapangan

diperoleh gambaran bahwa dimensi lebar ruang sempit antara tembok pura dan

tembok bangunan profan tersebut adalah bervariasi antara 0,5-2 meter saja.

Objek batu besar yang disakralkan merupakan batu tinggalan tradisi megalitik.

Pada masa sekarang, batu-batu tersebut tetap diupacarai dan dijadikan sebagai

lokasi peletakan sesajen untuk kekuatan abstrak penjaga wilayah setempat yang

dinamai sebagai ancangan. Batu-batu besar tersebut ada kalanya dilengkapi

dengan atribut berupa kain saput poleng, payung tedung agung, maupun pagar

dari bambu non permanen. Batu-batu sakral ini tidak pernah dipindahkan dari

tempatnya semula.

Hal serupa juga berlaku pada objek-objek pohon besar yang disakralkan.

Beberapa jenis pohon besar dari spesies setempat semacam Bekul (Chinese

Apple), Ketapang, Don Intaran, dan Beringin, mendapat perlakukan sebagai

pohon-pohon yang disakralkan. Pohon-pohon ini menjadi lokasi sesajen upacara

dan dilengkapi atribut kain saput poleng. Masyarakat Hindu setempat lazimnya

tidak akan sembarangan menyentuh, memotong, maupun menebang pokok utama

maupun dahan-dahan pohon sakral ini. Umat lazimnya akan terlebih dahulu

melakukan upacara khusus sebelum melakukan kegiatan tertentu yang berkaitan

dengan pohon sakral ini.

Objek sakral yang berupa batu besar dan pohon besar digambarkan hanya

(36)

33 boleh secara sembarangan menyentuh maupun berbuat seenaknya yang mengenai

secara langsung fisik objek-objek sakral ini.

Berikut ini adalah empat gambaran radius kesucian area sekitar pura, batu besar,

pelinggih ladang, dan pohon besar di Desa Sambirenteng.

Gambar 4.32 Area Pura

Gambar 4.33 Batu Besar

Gambar 4.34 Pelinggih Catu

Gambar 4.35 Pohon Besar

5.9 Kajian Khusus tentang Pura Pagonjongan

Di dalam wilayah Desa Sambirenteng terdapat sebuah pura kuno yang memiliki

catatan sejarah yang sangat penting terkait kedatangan kaum Cina yang

selanjutnya mendiami wilayah Kintamani, Bangli. Pada bagian berikut ini

dipaparkan tentang kajian sejarah dan wujud fisik bangunan Pura Pagonjongan di

wilayah Desa Pakraman Gretek, Desa Sambirenteng.

5.9.1 Gambaran Umum Pura Pagonjongan

1. Sejarah Pura Pegonjongan

Sejarah pendirian Pura Pegonjongan ini terkait dengan sejarah kedatangan kaum

saudagar dari Tiongkok yang datang ke Bali dalam misi perdagangannya. Pada

(37)

34 Kintamani merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Bangli. Sambirenteng ketika

itu memang dikenal sebagai satu daerah penghasil gula aren yang berkualitas baik.

Para pedagang dari berbagai daerah Nusantara seperti Jawa juga banyak

menjadikan daerah sekitar Pura Pegonjongan ini sebagai dermaga menambatkan

perahu-perahu layarnya.

Kaum pedagang Tiongkok juga banyak menjadikan daerah dermaga yang

kini telah menjadi lokasi Pura Pegonjongan itu sebagai tempat menitipkan

barang-barang bawaannya sebelum mendaki Bukit Sari untuk berjalan menuju daerah

Kintamani, Bangli. Di daerah Kintamani ini, pedagang dari Tiongkok ini ada yang

menetap dan keturunannya telah membentuk berbagai daerah permukiman yang

dikenal sebagai desa warga keturunan Tiongkok hingga kini, seperti Desa

Pinggan, Siakin, Lampu, dan sebagainya.

Lambat laun, lokasi penambatan perahu layar dan penitipan barang dagangan dan

bawaan para saudagar asing tersebut berkembang menjadi sebuah dermaga

perdagangan utama pada masanya. Di tempat tersebut juga dibangun dua

kompleks pura pemujaan bagi dewa perdagangan, yaitu Ratu Ngurah Subandar

dan Ratu Ayu Subandar. Kedua kompleks pura tersebut selanjutnya dikenal

dengan nama Puri Kawanan dan Puri Kanginan. Kedua pura selanjutnya dikenal

dengan nama Pura Pagonjongan yang berlokasi di satu area yang berdekatan di

tepi pantai di wilayah Desa Pekraman Gretek, Desa Sambirenteng. Pada masa

sekarang, Pura Pagonjongan dikenal sebagai pura segara bagi Desa Pekraman

Gretek.

Hasil informasi yang diperoleh, menyebutkan bahwa Pura Pagonjongan di

samping memiliki kaitan dengan masyarakat Batur, Kintamani, juga memiliki

relasi yang kuat dengan keberadaan Kerajaan Balingkang.

2. Arti Pura Pagonjongan secara Etimologi

Berdasarkan informasi yang diperoleh nama Pura Pagonjongan, diperkirakan

berasal dari kata ngojog yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai

(38)

35 Pagonjongan sebagai tempat yang pertama kali disinggahi atau dikunjungi oleh

para pedagang Tiongkok pada saat mendaratkan perahunya di Pulau Bali. Kata

ngojog tersebut lambat laun berkembang menjadi kata pagonjongan yang

selanjutnya menjadi nama kompleks pura pemujaan pasangan dewa perdagangan

dan pelabuhan laut, yaitu Pura Pagonjongan.

3. Kedudukan Pura Pagonjongan

Pura Pagonjongan yang berlokasi di Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk ini

berkedudukan sebagai pura segara bagi wilayah Desa Pekraman Gretek, Desa

Sambirenteng. Hari piodalan pura ini jatuh pada Sasih Kanem dan dilaksanakan

secara bersama-sama oleh lima desa pakraman pengemponnya, yaitu Pinggan,

Siakin, Tembok, Gretek, dan Sambirenteng.

Gambar 4.36 Peta Lokasi Pura

Selain sebagai pura segara, Pagonjongan juga menjadi sebuah pura utama bagi

komunitas warga Bali Aga yang bermukim di wilayah Batur, Kintamani dan di

Desa Blandingan serta Desa Petak di wilayah Gianyar. Sebuah tradisi budaya

(39)

36 (mekiis) bagi masyarakat di wilayah Batur, Kintamani dan sekitarnya adalah

dilakukan di wilayah pantai Pura Pagonjongan hingga saat ini.

4. Wujud Fisik Kompleks Pura Pagonjongan

Pura Pagonjongan tercatat telah memperoleh bantuan dana perbaikan fisik

bangunan pura dari pihak Kabupaten Buleleng pada tahun 2010-2011. Dana

tersebut dipergunakan untuk pembuatan bangunan pelinggih dalam kompleks Puri

Kanginan dan Puri Kawanan, pembangunan tembok penyengker, bale gong,

wantilan, bangunan suci batu kerug, jembatan di atas sungai kecil, dan senderan

tepi sungai serta pantai.

Kompleks Pura Pagonjongan secara fisik terdiri dari dua kompleks bangunan suci

utama yang masing-masing bernama Puri Kanginan di area timur tapak dan Puri

Kawanan di area barat tapak. Kedua area tapak pura dengan dua kompleks

bangunan sucinya ini dipisahkan oleh satu ruas aliran sungai sempit yang telah

dilengkapi dengan sebuah jembatan kecil yang diperuntukkan bagi umat yang

bersembahyang dan pengelola pura.

Selain dua kompleks bangunan itu, Pura Pagonjongan juga memiliki dua

bangunan suci lainnya yang bernama Pura Beji dan Pelinggih Batu Kerug.

Elemen-elemen sakral lainnya yang terdapat dalam area tapak adalah berwujud

sebuah mata air, beberapa pohon besar, dan sebongkah batu besar yang

disakralkan sebagai tempat melinggih satu "tokoh" patih utama dan para

(40)

37

Gambar 4.37: Denah Pura Pagonjongan

a. Tata Ruang Terbuka

Area ruang terbuka Pura Pagonjongan memiliki karakteristik selayaknya sebuah

area pura yang berlokasi di tepi pantai. Tanah tapak pura berkarakter berpasir

hitam dan berbatu. Tapak ini memiliki kemiringan rendah ke arah utara, yaitu ke

arah pantai. Pada tapak juga terdapat satu aliran sungai kecil yang memisahkan

area tapak Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Sungai kecil ini hanya dialiri air

pada musim penghujan saja. Area tapak Puri Kanginan lebih tinggi dari pada area

tapak Puri Kawanan yang berada di seberang aliran sungai sempit itu. Kedua area

ini dihubungkan dengan sebuah jembatan dari bahan beton bertulang yang

dibangun sekitar tahun 2011 (gambar 4).

Tata ruang terbuka kompleks pura ini belum tertata dengan baik, beberapa jenis

tanaman liar dan rerumputan tumbuh di beberapa bagian tapak. Dalam area tapak

(41)

38 Pura Pagonjongan secara umum masih tetap memuat pancaran suasana sakral

selayaknya tapak sebuah pura yang sangat disucikan umat Hindu.

Gambar 4.37 Daerah Tepian

Pantai Pura Pagonjongan

Gambar 4.38:

Kompleks Pura Kawanan

Gambar 4.39: Jembatan

Menuju Kompleks Pura

Kanginan

sumber: survey, 2015

b. Tata Bangunan Sakral

Ada dua buah kompleks bangunan suci utama dalam area tapak Pura

Pagonjongan, yaitu Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Keduanya memiliki wujud

dan fungsi masing-masing.

5. Puri Kanginan

Sesuai dengan namanya, kompleks bangunan Puri Kanginan ('istana timur')

memang berada di bagian timur tapak pura. Kompleks bangunan pura ini tersusun

atas tiga buah bangunan suci yang berada di atas satu bataran lantai dengan tinggi

sekitar 80 cm dari permukaan tanah asal. Ketiga bangunan suci tersebut terbuat

dari material bias melela dan masing-masing berwujud sebuah bangunan padma

sebagai bangunan utamanya, sebuah bangunan pelinggih berbentuk gedong, serta

sebuah bangunan pendukung yang berwujud bale piyasan. Puri Kanginan diyakini

sebagai tempat pemujaan terhadap Ratu Ayu Subandar yang diposisikan sebagai

aspek feminin dari dewa pengatur segala kegiatan perdagangan, pelayaran, dan

(42)

39 penyengker dan kori agung. Kedua bangunan utama di Puri Kanginan dibangun

menghadap ke arah barat, ke arah halaman kompleks puri yang diperuntukkan

sebagai tempat umat melakukan persembahyangannya (gambar 5).

Pada bagian depan puri ini terdapat sebatang pohon besar dan sebongkah batu

besar yang disakralkan dan diyakini sebagai tempat melinggih ancangan Ratu

Ayu Subandar. Umat yang akan melakukan persembahyangan ke dalam area inti

puri lazimnya akan melakukan persembahan di area pohon besar ini terlebih

dahulu.

Dalam suatu penggalan informasi disebutkan bahwa Puri Kanginan dimaknai juga

sebagai bangunan suci untuk tempat pasangan dewa-dewi Ratu Bagus Subandar

dan Ratu Ayu Subandar melakukan meditasi (Bali: mayoga).

6. Puri Kawanan

Kata kawanan dalam bahasa Bali berasal dari kata kauh ('barat'). Sesuai dengan

namanya, Puri Kawanan ('istana barat') memang berlokasi di barat tapak

kompleks Pura Pagonjongan. Puri ini memiliki wujud fisik bangunan yang sudah

lebih lengkap dari pada Puri Kanginan. Kompleks bangunan suci ini telah

memiliki tembok penyengker yang jelas, sebuah bangunan kori agung, serta dua

buah pintu margi ngranjing ('jalan masuk') dan margi medal ('jalan keluar') yang

mengapitnya. Semua bangunan yang berhias ornamen dan elemen dekorasi ini

berdiri megah dari material bias melela. Pada bagian tengah kori agung terdapat

sepasang daun pintu dari bahan kayu yang telah dicat berwarna biru laut.

Di dalam area ini Puri Kawanan terdapat satu halaman datar yang diperuntukkan

sebagai tempat umat melakukan persembahyangannya ke arah dua bangunan suci

utama yang berada di sisi timur area inti Puri Kawanan. Selayaknya dua bangunan

suci di Puri Kanginan, dalam area inti Puri Kawanan juga terdapat tiga bangunan

suci utama yang masing-masing berwujud bangunan sebuah bangunan padma

sebagai bangunan utamanya, sebuah bangunan pelinggih gedong, serta sebuah

(43)

40 Kompleks bangunan Puri Kawanan disebut-sebut sebagai tempat melinggih Ratu

Bagus Subandar sebagai aspek maskulin dari dewa pengatur segala kegiatan

perdagangan, pelayaran, dan pelabuhan laut di Bali. Kompleks puri ini juga

diyakini sebagai tempat resmi sang dewa dalam menerima segala tamu yang

berkunjung.

Selain sebagai tempat memuja Ratu Ngurah Subandar, Puri Kawanan juga

dimaknai sebagai tempat melinggih atau tempat pemujaan terhadap beberapa

tokoh dewa lainnya, seperti Ida Bhatara Lingsir, Ratu Gede, dan Ratu Ngurah

Lanang. Tokoh dewa yang disebutkan terakhir diyakini sebagai putra dari tokoh

bhatara utama yang melinggih di Pura Dalem Ped di Nusa Penida.

Gambar 4:40

5.10 Posisi Area dan Elemen Sakral dalam Tapak

Dalam area tapak juga terdapat beberapa area dan elemen sakral yang dapat

dipaparkan sebagai berikut.

1. Pelinggih Batu Kerug

Pelinggih Batu Kerug berlokasi di daerah tepian pantai. Pelinggih ini menurut

penuturan Bapak Bendesa Adat Desa Gretek, akan ditata kembali menjadi

bangunan suci yang lebih representatif. Batu Kerug ini diyakini sangat berperan

dalam terjadinya fenomena alam kilat di langit. Dalam bahasa Bali, kata kerug

(44)

41 diperkirakan berasal dari tradisi masa megalitikum (gambar 8). Keberadaan Batu

Kerug di Pura Pagonjongan disebutkan oleh narasumber memiliki keterkaitan

dengan keberadaan batu serupa di Pura Lingsar dan di Gunung Rinjani, Lombok.

Dalam dunia pelayaran laut, ilmu perbintangan, arah, kecepatan angin, cuaca,

musim, dan badai memang menjadi pedoman yang sangat utama demi

keselamatan dan ketepatan mencapai tujuan. Sekiranya hal inilah yang menjadi

latar penyebab keberadaan pelinggih batu Kerug ('bangunan suci batu kilat') di

Pura Pagonjongan yang dahulunya juga menjadi lokasi sebuah dermaga besar

pada masanya.

2. Pura Beji

Di area dekat aliran sungai kecil pada tapak terdapat sebuah pura Beji yang sangat

disakralkan. Pura tersebut terdiri dari dua mandala yang terdiri dari jaba mandala

yang berisikan sebentuk bangunan sumur air tawar yang sangat disucikan; dan

jeroan mandala yang menjadi area utama yang dilengkapi sebuah pelinggih

berbentuk gedong dari bahan beton cetak (gambar 9).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sumber air di Pura Beji ini semula

berwujud dasar kotak persegi panjang seperti sumber air tawar yang ada di dalam

tapak lainnya. Material perkerasannya terbuat dari susunan bahan batu paras yang

disusun berlapis. Sumber air tawar ini konon dibuat oleh Kebo Iwa, seorang patih

Bali yang tersohor itu. Cukup disayangkan, atas gagasan seorang warga, wujud

sumber air peninggalan masa lalu tersebut selanjutnya diubah menjadi selayaknya

sebuah sumur masa sekarang yang terbuat dari susun buis beton (gambar 18).

Sumur air sakral ini tidak difungsikan untuk keperluan umum. Air tawar yang

(45)

42

Gambar 4.43:

Pelinggih Batu Kerug

Gambar 4.44:

Pura Beji

Gambar 4.45:

Mata Air Tawar untuk Umum

sumber: survey, 2015

3. Mata air tawar

Selain sumber air suci tawar dalam area Pura Beji, dalam area tapak Pura

Pagonjongan juga terdapat sebuah mata air tawar yang dapat difungsikan oleh

masyarakat setempat untuk keperluan sewajarnya. Mata air tersebut saat ini secara

fisik berwujud dasar denah kotak persegi panjang dan terbuat dari material beton.

Umat juga secara rutin mengahaturkan banten pada sumber air tawar ini. Air

tawar yang keluar, difungsikan untuk keperluan minum ternak sapi (gambar 10).

4. Area konsentrasi temuan benda sakral

Pada sisi barat tembok penyengker Puri Kawanan, terdapat suatu area yang

dibatasi dinding setinggi sekitar 90 cm, terbuat dari pasangan bata merah yang

belum difinishing. Di dalam area seluas sekitar 3x3 meter persegi tersebut

terdapat dua batu yang disakralkan (gambar 11). Area ini tidak memiliki nama

khusus, akan tetapi disucikan oleh warga sebagai tempat ditemukannya berbagai

macam benda kuno dari logam, seperti rantai, genta, dan lain sebagainya.

Benda-benda tersebut diyakini sebagai due atau 'kepunyaan' Pura Pagonjongan. Pada saat

sekarang, seluruh due itemuan tersebut masih disimpan dalam sebuah bangunan

(46)

43

5. Pohon besar dan batu besar pelinggih patih

Di dekat area jalan masuk utama Pura Pagonjongan yang berada di sisi tenggara

Puri Kawanan, terdapat sebatang pohon don intaran yang disakralkan. Di

dekatnya juga terdapat sebongkah batu besar yang juga disakralkan warga. Kedua

elemen sakral ini dimaknai sebagai tempat melinggih tokoh gaib patih di Pura

Pagonjongan ini (gambar 12). Umat yang bersembahyang, lazimnya akan

memulai rangkaian kegiatan persembahyangannya dengan bersembahyang

melakukan permohonan izin masuk area pohon don intaran dan batu besar sakral

pelinggih sang patih ini.

6. Pohon-pohon besar sakral lainnya

Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa pohon besar yang

disakralkan umat dan warga setempat. Pohon-pohon tersebut diyakini sebagai

pelinggih para ancangan atau 'abdi' gaib Pura Pagonjongan. Pohon-pohon sakral

tersebut berasal dari beberapa spesies seperti don intaran, asem, dan bekul. Secara

fisik, pohon-pohon sakral tersebut dilengkapi dengan penanda yang bersifat non

fixed element, seperti kain saput poleng (gambar 13).

7. Loloan

Loloan adalah sebutan warga setempat terhadap area tepian pantai yang

(47)

44 ini terdapat suatu area kubangan air yang cukup disakralkan warga (gambar 14).

Pada area ini tidak terbangun pelinggih apapun, akan tetapi warga setempat

meyakini area ini sebagai "tempat tinggal" beberapa ekor ikan gaib yang berwujud

makhluk hibrid.

Gambar 4.49:

Loloan

Gambar 4.50: Bale Gong

untuk Pinggan dan Siyakin

Gambar 4.51: Bale Gong

untuk Gretek dan

Sambirenteng

sumber: survey, 2015

5.11 Tata Bangunan Profan

Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa bangunan yang

bersifat profan yang difungsikan pada saat pelaksanaan kegiatan upacara piodalan

di pura ini. Bangunan tersebut adalah berupa bangunan wantilan yang berlokasi di

sisi barat tapak pura, dan lima buah bale gong di sisi barat dan barat laut tapak

yang diperuntukkan bagi sekaa gong dari kelima desa pakraman pengempon Pura

Pagonjongan, yaitu Desa Pakraman Pinggan, Siyakin, Tembok, Gretek, dan

Sambirenteng (gambar 15 dan gambar 16).

1. Kepercayaan Lain berkenaan Tapak Pura Pagonjongan

Berdasarkan penuturan narasumber yang ditemui di lapangan, diperoleh

setidaknya dua buah informasi berkenaan dengan kepercayaan warga setempat

(48)

45 2. Keberadaan sebelas mata air suci di sekitar muara sungai

Di sekitar daerah muara sungai kecil yang melintasi tapak pada masa lalunya

terdapat beberapa mata air tawar yang umum digunakan oleh warga setempat

sebagai air suci pengobatan (Bali: tamba). Air suci tersebut konon sangat mudah

diperoleh pada masa lalunya. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada masa

sekarang mata air tersebut mulai seperti menghilang dan tertutup oleh kotoran

limbah yang melalui aliran sungai kecil tersebut (gambar 17). Berdasarkan

petunjuk gaib yang diperoleh pemuka agama setempat, di sekitar daerah muara

aliran sungai tersebut sesungguhnya terdapat sebelas mata air suci yang pada

saatnya akan muncul kembali apabila ritual penyucian dan pengelolaan tata ruang

tapak pura telah dijalankan dengan baik.

Gambar 4.52:

Lokasi Sebelas Mata Air Suci

Gambar 4.53:

Mata Air Suci di Pura Beji

Gambar 4.54:

Daerah Tepian Pantai Pura

sumber: survey, 2015

3. Tapak Pura Pagonjongan sebagai dermaga secara niskala

Tapak Pura Pegonjongan diyakini warga sebagai tapak sebuah dermaga yang

difungsikan secara niskala hingga saat ini. Kepercayaan ini didasarkan pada

pengalaman beberapa orang yang pernah "melihat" adanya beberapa perahu besar

(49)

46 5.12. Kajian tentang karakteristik Pura Pagonjongan

Berdasarkan data sejarah, fungsi, dan gambaran wujud elemen-elemen sakral yang

terdapat dalam area Pura Pagonjongan, maka dapat ditelaah bahwa Pura

Pagonjongan ini termasuk pura dengan karakteristik sebagai berikut.

1. Pura Pagonjongan sebagai sebuah tinggalan tradisi megalitik

Pura Pagonjongan dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura tinggalan tradisi

megalitik. Tradisi megalitik dikenal sebagai suatu masa kebudayaan yang banyak

memfungsikan batu-batu besar sebagai sarana ritual pemujaan. Dalam area Pura

Pagonjongan memang terdapat beberapa elemen sakral berwujud batu yang

difungsikan sebagai elemen pemujaan dan ritual, diantaranya pelinggih Batu

Kerug yang berada di tepian pantai dan pelinggih Batu Patih yang berada di area

jalan masuk pura.

2. Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura bernilai sejarah

Pura Pagonjongan juga dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura bernilai

sejarah. Hal ini didasarkan pada adanya keterkaitan antara Pura Pagonjongan dan

sejarah perkembangan kebudayaan pada masa Bali Aga yang menyebar di

desa-desa di wilayah Batur dan Gianyar. Hingga saat ini pun komunitas dari beberapa

desa yang yang bercorak Bali Aga masih menjadikan Pura Pagonjongan ini

sebagai salah satu pura utama dalam kegiatan ritualnya. Selain dari pada itu, Pura

Pagonjongan juga berkaitan dengan catatan sejarah kedatangan kaum saudagar

Tiongkok pada abad ... yang selanjutnya menetap dan membentuk pemukiman di

wilayah Batur, Kintamani hingga kini. Berkenaan dengan nilai kesejarahannya

yang kuat ini, pihak pengelola pura memang memiliki suatu rencana akan

membangun sebuah bangunan suci bercorak kultur Tiongkok dalam area Pura

(50)

47 (c) Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura segara

Pada masa sekarang, Pura Pagonjongan masih tetap difungsikan juga sebagai

sebuah pura segara bagi Desa Pakraman Gretek dan beberapa desa di wilayah

Batur Kintamani, Bangli. Pada saat hari melasti, pura ini akan dijadikan sebagai

pusat pelaksanaan kegiatan ritual oleh warga dari desa-desa tersebut.

7. Kajian tentang Hierarkhi Sakralitas Tapak Pura Pagonjongan

Suatu hal lain yang dapat dikaji berkenaan dengan aspek tata ruang tapak Pura

Pagonjongan adalah berkenaan hierarkhi sakralitas tapak pura. Kajian tersebut

dapat dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut.

a. Kajian tentang rangkaian prosesi persembahyangan

Pada saat kegiatan persembahyangan pada hari-hari besar keagamaan di Pura

Pagonjongan dilakukan, umat yang datang diperkirakan berjumlah ribuan orang

dari berbagai wilayah. Mereka diarahkan memarkirkan kendaraannya di beberapa

ruang terbuka terdekat milik desa maupun warga setempat sesuai keputusan rapat

yang dilakukan warga setempat. Mengingat keterbatasan lahan pura, segala

aktivitas non-ritual yang berkenaan dengan kebutuhan umat seperti

makan-minum, berbelanja, dan toilet dilakukan di perumahan penduduk sekitar wilayah

pura. Lalu lintas di Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk pun diatur sedemikian rupa

oleh para pecalang dan polisi lalu lintas demi kenyamanan bersama dan

mencegah terjadinya kemacetan yang tidak terkendali.

Dalam area pura hanya diperuntukkan bagi kegiatan persembahyangan dan segala

kegiatan pendukungnya. Prosesi persembahyangan setiap umat lazimnya akan

diawali dari area di depan batu pelinggih Patih yang berada di dekat entrance

tapak itu. Tahap selanjutnya, umat akan melakukan persembahyangan atau

persembahan ke pelinggih Batu Kerug yang berada di tepi pantai. Prosesi ketiga

dilanjutkan ke Pura Beji yang berada di dekat aliran sungai kecil. Setelah itu,

umat akan melintasi jembatan kecil di atas sungai untuk menuju area Puri

(51)

48 banten di depan pohon besar tempat melinggih salah satu ancangan Puri

Kanginan. Kegiatan upacara persembahyangan akan dilanjutkan di dalam area

Puri Kanginan sebelum akhirnya ditutup dengan persembahyangan dalam area

Puri Kawanan. Beberapa umat ada kalanya juga melakukan ritual persembahan

pada area dan elemen sakral lain pada tapak, seperti pada pohon-pohon sakral

pelinggih ancangan, pada area temuan due-due pura, pada tepi aliran sungai, dan

pada sumber air tawar yang terdapat dalam tapak.

Pola prosesi persembahyangan semacam itu juga berlaku pada saat

persembahyangan secara pribadi yang dilakukan umat saat kunjungan pada

hari-hari biasanya. Gambaran pola prosesi persembahyangan tersebut dapat dilihat

dalam gambar peta perilaku berikut ini.

Gambar 45.9: Peta Perilaku

(52)

49 b. Kajian berkenaan tata nilai tapak secara tradisional Bali

Dengan mengacu pada pedoman tata nilai tapak tradisional Bali yang berlaku di

wilayah Bali Utara, maka tapak Pura Pagonjongan yang berada di tepian pantai

Laut Bali ini memiliki zona sakral-profan sebagai berikut.

1. Sesuai konsep sumbu kangin-kauh (arah matahari terbit-matahari terbenam),

zona tapak yang bernilai paling sakral adalah berada di bagian timur tapak

(lokasi Puri Kanginan). Adapun zona yang bernilai paling profan adalah

berada di tepi barat tapak yang berbatasan langsung dengan sebuah gang.

2. Sesuai konsep sumbu kaja-kelod (arah pengunungan-arah laut) yang dapat

disepadankan dengan arah selatan-utara pada tapak, zona utama tapak adalah

berada pada sisi selatan tapak yang berada dalam area jeroan masing-masing

kompleks puri. Hal ini diperkuat dengan keberadaan posisi bangunan padma

sebagai bangunan suci paling utama yang ditempatkan di bagian tenggara

area, baik pada area jeroan Puri Kanginan maupun Puri Kawanan.

Gambar 4.60: Tata Zonasi Tapak Pura

sumber: analisis, 2015

c. Kajian terhadap tata mandala pura

Tata mandala pura di Bali lazimnya terbagi atas tiga mandala utama yang

(53)

50 kedudukannya. Area terluar tapak pura yang bernama jaba sisi mandala yang

bernilai paling profan. Area peralihan dalam tapak pura disebut dengan jaba

tengah mandala yang bernilai menengah. Adapun area inti tapak pura yang

bernilai paling sakral dinamai dengan istilah jeroan.

Pada tapak Pura Pagonjongan, konsepsi ketiga mandala pura tersebut sangat

terlihat penerapannya sebagai berikut,

1. Area tapak pura yang berada di tepi jalan raya adalah jaba mandala pura

sebagai area penerima yang bernilai profan.

2. Area tapak pura yang bernilai paling sakral adalah terdapat dalam area inti

atau jeroan mandala kompleks Puri Kanginan dan Puri Kawanan.

3. Area tapak pura selebihnya adalah area peralihan yang bernilai menengah.

Area ini dimaknai sebagai jaba tengah mandala pura.

Gambar 4.61: Tata Nilai Tapak Berdasarkan Mandala Pura

(54)

51 d. Kajian terhadap hierarkhi tata ruang secara analogis

Tata ruang tapak Pura Pagonjongan juga dapat dikaji secara analogis berdasarkan

petunjuk adanya tiga zona yang memiliki fungsi khusus dalam area utama tapak.

1. Zona pertama adalah zona sekitar batu besar pelinggih Patih yang berada di

dekat jalan masuk area utama pura. Zona ini dianggap sebagai zona penerima

kunjungan umat yang akan bersembahyang ke dalam pura. Dalam konsep

rumah tinggal, posisi ini tentunya dapat disepadankan sebagai zona bernilai

semi publik, tempat penerimaan tamu yang baru memasuki suatu rumah.

2. Zona kedua adalah zona jeroan Puri Kawanan yang diyakini umat sebagai

tempat tokoh dewa yang bersemayam di Pura Pagonjongan melakukan

kegiatan penerimaan tamu. Zona ini tentunya dapat disetarakan dengan

keberadaan ruang tamu dalam konsep rumah tinggal masa kini.

3. Zona ketiga adalah zona jeroan Puri Kanginan yang berada di bagian timur

tapak. Zona ini dapat dimaknai sebagai zona paling privat dan paling utama

dalam area Pura Pagonjongan. Hal ini didasarkan pada fungsi Puri Kanginan

sendiri yang diyakini sebagai tempat Ratu Ngurah Subandar dan Ratu Ayu

Subandar melakukan meditasi. Selayaknya rumah tinggal manusia, ruang di

zona ini tentunya dirancang sangat tenang, privat, dan jauh dari gangguan dan

(55)

52 Gambar 4.62: Tafsiran Tata Nilai Area Berdasarkan Hierarkhi Fungsi

sumber: analisis, 2015

Hasil keempat kajian tersebut apabila didialogkan, akan menghasilkan temuan

sebagai berikut.

a. Zona jaba sisi yang terdapat di tepi jalan raya adalah zona yang bernilai paling

profan dalam tapak Pura Pagonjongan.

b. Zona jalan masuk jaba tengah pura yang berada di dekat batu pelinggih Patih

merupakan zona penerima tempat umat memohon izin dan restu sebelum

memulai kegiatan persembahyangannya dalam area inti pura. Zona ini

tergolong zona peralihan atau zona madya.

c. Zona inti pura adalah zona utama mandala atau jeroan Puri Kawanan dan Puri

Kanginan. Puri Kanginan dapat dimaknai sebagai zona yang paling utama

pada tapak Pura Pagonjongan. Pendapat ini didasarkan pada posisi area Puri

Kanginan yang berada di zona timur tapak yang bernilai paling suci dalam tata

nilai tapak di wilayah Bali Utara. Secara fungsi, Puri Kanginan sebagai tempat

bermeditasi pasangan dewa-dewi juga bernilai lebih privat dari pada Puri

Kawanan yang berfungsi sebagai tempat pasangan dewa-dewi menerima

Gambar

Gambar 4. 1: Peta Lokasi Sambirenteng
Gambar 4.11: Gang di Desa  Sambirenteng
Gambar 4.14: Peta Desa Sambirenteng
Gambar  4.15: Perbatasan rumah warga
+7

Referensi

Dokumen terkait