• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Sejarah Pura Pegonjongan

5.10 Posisi Area dan Elemen Sakral dalam Tapak

Dalam area tapak juga terdapat beberapa area dan elemen sakral yang dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Pelinggih Batu Kerug

Pelinggih Batu Kerug berlokasi di daerah tepian pantai. Pelinggih ini menurut penuturan Bapak Bendesa Adat Desa Gretek, akan ditata kembali menjadi bangunan suci yang lebih representatif. Batu Kerug ini diyakini sangat berperan dalam terjadinya fenomena alam kilat di langit. Dalam bahasa Bali, kata kerug memang dapat diartikan sebagai 'kilat'. Tradisi penyucian terhadap Batu Kerug ini

41 diperkirakan berasal dari tradisi masa megalitikum (gambar 8). Keberadaan Batu Kerug di Pura Pagonjongan disebutkan oleh narasumber memiliki keterkaitan dengan keberadaan batu serupa di Pura Lingsar dan di Gunung Rinjani, Lombok. Dalam dunia pelayaran laut, ilmu perbintangan, arah, kecepatan angin, cuaca, musim, dan badai memang menjadi pedoman yang sangat utama demi keselamatan dan ketepatan mencapai tujuan. Sekiranya hal inilah yang menjadi latar penyebab keberadaan pelinggih batu Kerug ('bangunan suci batu kilat') di Pura Pagonjongan yang dahulunya juga menjadi lokasi sebuah dermaga besar pada masanya.

2. Pura Beji

Di area dekat aliran sungai kecil pada tapak terdapat sebuah pura Beji yang sangat disakralkan. Pura tersebut terdiri dari dua mandala yang terdiri dari jaba mandala yang berisikan sebentuk bangunan sumur air tawar yang sangat disucikan; dan jeroan mandala yang menjadi area utama yang dilengkapi sebuah pelinggih berbentuk gedong dari bahan beton cetak (gambar 9).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sumber air di Pura Beji ini semula berwujud dasar kotak persegi panjang seperti sumber air tawar yang ada di dalam tapak lainnya. Material perkerasannya terbuat dari susunan bahan batu paras yang disusun berlapis. Sumber air tawar ini konon dibuat oleh Kebo Iwa, seorang patih Bali yang tersohor itu. Cukup disayangkan, atas gagasan seorang warga, wujud sumber air peninggalan masa lalu tersebut selanjutnya diubah menjadi selayaknya sebuah sumur masa sekarang yang terbuat dari susun buis beton (gambar 18). Sumur air sakral ini tidak difungsikan untuk keperluan umum. Air tawar yang terdapat didalaminya hanya diambil umat untuk keperluan upacara dan ritual saja.

42

Gambar 4.43:

Pelinggih Batu Kerug

Gambar 4.44: Pura Beji

Gambar 4.45:

Mata Air Tawar untuk Umum sumber: survey, 2015

3. Mata air tawar

Selain sumber air suci tawar dalam area Pura Beji, dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat sebuah mata air tawar yang dapat difungsikan oleh masyarakat setempat untuk keperluan sewajarnya. Mata air tersebut saat ini secara fisik berwujud dasar denah kotak persegi panjang dan terbuat dari material beton. Umat juga secara rutin mengahaturkan banten pada sumber air tawar ini. Air tawar yang keluar, difungsikan untuk keperluan minum ternak sapi (gambar 10).

4. Area konsentrasi temuan benda sakral

Pada sisi barat tembok penyengker Puri Kawanan, terdapat suatu area yang dibatasi dinding setinggi sekitar 90 cm, terbuat dari pasangan bata merah yang belum difinishing. Di dalam area seluas sekitar 3x3 meter persegi tersebut terdapat dua batu yang disakralkan (gambar 11). Area ini tidak memiliki nama khusus, akan tetapi disucikan oleh warga sebagai tempat ditemukannya berbagai macam benda kuno dari logam, seperti rantai, genta, dan lain sebagainya. Benda-benda tersebut diyakini sebagai due atau 'kepunyaan' Pura Pagonjongan. Pada saat sekarang, seluruh due itemuan tersebut masih disimpan dalam sebuah bangunan suci di Pura Desa di Desa Pakraman Sambirenteng.

43

Gambar 4.46:

Area Suci Temuan Benda Sakral

Gambar 4.47:

Batu dan Pohon Pelinggih Patih

Gambar 4.48:

Pohon Sakral Lainnya sumber: survey, 2015

5. Pohon besar dan batu besar pelinggih patih

Di dekat area jalan masuk utama Pura Pagonjongan yang berada di sisi tenggara Puri Kawanan, terdapat sebatang pohon don intaran yang disakralkan. Di dekatnya juga terdapat sebongkah batu besar yang juga disakralkan warga. Kedua elemen sakral ini dimaknai sebagai tempat melinggih tokoh gaib patih di Pura Pagonjongan ini (gambar 12). Umat yang bersembahyang, lazimnya akan memulai rangkaian kegiatan persembahyangannya dengan bersembahyang melakukan permohonan izin masuk area pohon don intaran dan batu besar sakral pelinggih sang patih ini.

6. Pohon-pohon besar sakral lainnya

Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa pohon besar yang disakralkan umat dan warga setempat. Pohon-pohon tersebut diyakini sebagai pelinggih para ancangan atau 'abdi' gaib Pura Pagonjongan. Pohon-pohon sakral tersebut berasal dari beberapa spesies seperti don intaran, asem, dan bekul. Secara fisik, pohon-pohon sakral tersebut dilengkapi dengan penanda yang bersifat non fixed element, seperti kain saput poleng (gambar 13).

7. Loloan

Loloan adalah sebutan warga setempat terhadap area tepian pantai yang berbatasan langsung dengan aliran sungai kecil yang melintasi tapak pura. Di area

44 ini terdapat suatu area kubangan air yang cukup disakralkan warga (gambar 14). Pada area ini tidak terbangun pelinggih apapun, akan tetapi warga setempat meyakini area ini sebagai "tempat tinggal" beberapa ekor ikan gaib yang berwujud makhluk hibrid.

Gambar 4.49: Loloan

Gambar 4.50: Bale Gong untuk Pinggan dan Siyakin

Gambar 4.51: Bale Gong untuk Gretek dan

Sambirenteng

sumber: survey, 2015

5.11 Tata Bangunan Profan

Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa bangunan yang bersifat profan yang difungsikan pada saat pelaksanaan kegiatan upacara piodalan di pura ini. Bangunan tersebut adalah berupa bangunan wantilan yang berlokasi di sisi barat tapak pura, dan lima buah bale gong di sisi barat dan barat laut tapak yang diperuntukkan bagi sekaa gong dari kelima desa pakraman pengempon Pura Pagonjongan, yaitu Desa Pakraman Pinggan, Siyakin, Tembok, Gretek, dan Sambirenteng (gambar 15 dan gambar 16).

1. Kepercayaan Lain berkenaan Tapak Pura Pagonjongan

Berdasarkan penuturan narasumber yang ditemui di lapangan, diperoleh setidaknya dua buah informasi berkenaan dengan kepercayaan warga setempat terhadap area tapak Pura Pagonjongan.

45 2. Keberadaan sebelas mata air suci di sekitar muara sungai

Di sekitar daerah muara sungai kecil yang melintasi tapak pada masa lalunya terdapat beberapa mata air tawar yang umum digunakan oleh warga setempat sebagai air suci pengobatan (Bali: tamba). Air suci tersebut konon sangat mudah diperoleh pada masa lalunya. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada masa sekarang mata air tersebut mulai seperti menghilang dan tertutup oleh kotoran limbah yang melalui aliran sungai kecil tersebut (gambar 17). Berdasarkan petunjuk gaib yang diperoleh pemuka agama setempat, di sekitar daerah muara aliran sungai tersebut sesungguhnya terdapat sebelas mata air suci yang pada saatnya akan muncul kembali apabila ritual penyucian dan pengelolaan tata ruang tapak pura telah dijalankan dengan baik.

Gambar 4.52: Lokasi Sebelas Mata Air Suci

Gambar 4.53: Mata Air Suci di Pura Beji

Gambar 4.54: Daerah Tepian Pantai Pura

sumber: survey, 2015

3. Tapak Pura Pagonjongan sebagai dermaga secara niskala

Tapak Pura Pegonjongan diyakini warga sebagai tapak sebuah dermaga yang difungsikan secara niskala hingga saat ini. Kepercayaan ini didasarkan pada pengalaman beberapa orang yang pernah "melihat" adanya beberapa perahu besar gaib yang indah merapat di daerah sekitar tepian pantai Pura Pagonjongan.

46 5.12. Kajian tentang karakteristik Pura Pagonjongan

Berdasarkan data sejarah, fungsi, dan gambaran wujud elemen-elemen sakral yang terdapat dalam area Pura Pagonjongan, maka dapat ditelaah bahwa Pura Pagonjongan ini termasuk pura dengan karakteristik sebagai berikut.

1. Pura Pagonjongan sebagai sebuah tinggalan tradisi megalitik

Pura Pagonjongan dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura tinggalan tradisi megalitik. Tradisi megalitik dikenal sebagai suatu masa kebudayaan yang banyak memfungsikan batu-batu besar sebagai sarana ritual pemujaan. Dalam area Pura Pagonjongan memang terdapat beberapa elemen sakral berwujud batu yang difungsikan sebagai elemen pemujaan dan ritual, diantaranya pelinggih Batu Kerug yang berada di tepian pantai dan pelinggih Batu Patih yang berada di area jalan masuk pura.

2. Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura bernilai sejarah

Pura Pagonjongan juga dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura bernilai sejarah. Hal ini didasarkan pada adanya keterkaitan antara Pura Pagonjongan dan sejarah perkembangan kebudayaan pada masa Bali Aga yang menyebar di desa-desa di wilayah Batur dan Gianyar. Hingga saat ini pun komunitas dari beberapa desa yang yang bercorak Bali Aga masih menjadikan Pura Pagonjongan ini sebagai salah satu pura utama dalam kegiatan ritualnya. Selain dari pada itu, Pura Pagonjongan juga berkaitan dengan catatan sejarah kedatangan kaum saudagar Tiongkok pada abad ... yang selanjutnya menetap dan membentuk pemukiman di wilayah Batur, Kintamani hingga kini. Berkenaan dengan nilai kesejarahannya yang kuat ini, pihak pengelola pura memang memiliki suatu rencana akan membangun sebuah bangunan suci bercorak kultur Tiongkok dalam area Pura Pagonjongan ini.

47 (c) Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura segara

Pada masa sekarang, Pura Pagonjongan masih tetap difungsikan juga sebagai sebuah pura segara bagi Desa Pakraman Gretek dan beberapa desa di wilayah Batur Kintamani, Bangli. Pada saat hari melasti, pura ini akan dijadikan sebagai pusat pelaksanaan kegiatan ritual oleh warga dari desa-desa tersebut.

7. Kajian tentang Hierarkhi Sakralitas Tapak Pura Pagonjongan

Suatu hal lain yang dapat dikaji berkenaan dengan aspek tata ruang tapak Pura Pagonjongan adalah berkenaan hierarkhi sakralitas tapak pura. Kajian tersebut dapat dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut.

a. Kajian tentang rangkaian prosesi persembahyangan

Pada saat kegiatan persembahyangan pada hari-hari besar keagamaan di Pura Pagonjongan dilakukan, umat yang datang diperkirakan berjumlah ribuan orang dari berbagai wilayah. Mereka diarahkan memarkirkan kendaraannya di beberapa ruang terbuka terdekat milik desa maupun warga setempat sesuai keputusan rapat yang dilakukan warga setempat. Mengingat keterbatasan lahan pura, segala aktivitas non-ritual yang berkenaan dengan kebutuhan umat seperti makan-minum, berbelanja, dan toilet dilakukan di perumahan penduduk sekitar wilayah pura. Lalu lintas di Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk pun diatur sedemikian rupa oleh para pecalang dan polisi lalu lintas demi kenyamanan bersama dan mencegah terjadinya kemacetan yang tidak terkendali.

Dalam area pura hanya diperuntukkan bagi kegiatan persembahyangan dan segala kegiatan pendukungnya. Prosesi persembahyangan setiap umat lazimnya akan diawali dari area di depan batu pelinggih Patih yang berada di dekat entrance tapak itu. Tahap selanjutnya, umat akan melakukan persembahyangan atau persembahan ke pelinggih Batu Kerug yang berada di tepi pantai. Prosesi ketiga dilanjutkan ke Pura Beji yang berada di dekat aliran sungai kecil. Setelah itu, umat akan melintasi jembatan kecil di atas sungai untuk menuju area Puri Kanginan. Di depan puri ini, umat akan terlebih dahulu akan menghaturkan

48 banten di depan pohon besar tempat melinggih salah satu ancangan Puri Kanginan. Kegiatan upacara persembahyangan akan dilanjutkan di dalam area Puri Kanginan sebelum akhirnya ditutup dengan persembahyangan dalam area Puri Kawanan. Beberapa umat ada kalanya juga melakukan ritual persembahan pada area dan elemen sakral lain pada tapak, seperti pada pohon-pohon sakral pelinggih ancangan, pada area temuan due-due pura, pada tepi aliran sungai, dan pada sumber air tawar yang terdapat dalam tapak.

Pola prosesi persembahyangan semacam itu juga berlaku pada saat persembahyangan secara pribadi yang dilakukan umat saat kunjungan pada hari-hari biasanya. Gambaran pola prosesi persembahyangan tersebut dapat dilihat dalam gambar peta perilaku berikut ini.

Gambar 45.9: Peta Perilaku sumber: analisis, 2015

49 b. Kajian berkenaan tata nilai tapak secara tradisional Bali

Dengan mengacu pada pedoman tata nilai tapak tradisional Bali yang berlaku di wilayah Bali Utara, maka tapak Pura Pagonjongan yang berada di tepian pantai Laut Bali ini memiliki zona sakral-profan sebagai berikut.

1. Sesuai konsep sumbu kangin-kauh (arah matahari terbit-matahari terbenam), zona tapak yang bernilai paling sakral adalah berada di bagian timur tapak (lokasi Puri Kanginan). Adapun zona yang bernilai paling profan adalah berada di tepi barat tapak yang berbatasan langsung dengan sebuah gang. 2. Sesuai konsep sumbu kaja-kelod (arah pengunungan-arah laut) yang dapat

disepadankan dengan arah selatan-utara pada tapak, zona utama tapak adalah berada pada sisi selatan tapak yang berada dalam area jeroan masing-masing kompleks puri. Hal ini diperkuat dengan keberadaan posisi bangunan padma sebagai bangunan suci paling utama yang ditempatkan di bagian tenggara area, baik pada area jeroan Puri Kanginan maupun Puri Kawanan.

Gambar 4.60: Tata Zonasi Tapak Pura sumber: analisis, 2015

c. Kajian terhadap tata mandala pura

Tata mandala pura di Bali lazimnya terbagi atas tiga mandala utama yang masing-masing memiliki tingkat kesakralan tertentu sesuai dengan fungsi dan

50 kedudukannya. Area terluar tapak pura yang bernama jaba sisi mandala yang bernilai paling profan. Area peralihan dalam tapak pura disebut dengan jaba tengah mandala yang bernilai menengah. Adapun area inti tapak pura yang bernilai paling sakral dinamai dengan istilah jeroan.

Pada tapak Pura Pagonjongan, konsepsi ketiga mandala pura tersebut sangat terlihat penerapannya sebagai berikut,

1. Area tapak pura yang berada di tepi jalan raya adalah jaba mandala pura sebagai area penerima yang bernilai profan.

2. Area tapak pura yang bernilai paling sakral adalah terdapat dalam area inti atau jeroan mandala kompleks Puri Kanginan dan Puri Kawanan.

3. Area tapak pura selebihnya adalah area peralihan yang bernilai menengah. Area ini dimaknai sebagai jaba tengah mandala pura.

Gambar 4.61: Tata Nilai Tapak Berdasarkan Mandala Pura sumber: analisis, 2015

51 d. Kajian terhadap hierarkhi tata ruang secara analogis

Tata ruang tapak Pura Pagonjongan juga dapat dikaji secara analogis berdasarkan petunjuk adanya tiga zona yang memiliki fungsi khusus dalam area utama tapak. 1. Zona pertama adalah zona sekitar batu besar pelinggih Patih yang berada di

dekat jalan masuk area utama pura. Zona ini dianggap sebagai zona penerima kunjungan umat yang akan bersembahyang ke dalam pura. Dalam konsep rumah tinggal, posisi ini tentunya dapat disepadankan sebagai zona bernilai semi publik, tempat penerimaan tamu yang baru memasuki suatu rumah. 2. Zona kedua adalah zona jeroan Puri Kawanan yang diyakini umat sebagai

tempat tokoh dewa yang bersemayam di Pura Pagonjongan melakukan kegiatan penerimaan tamu. Zona ini tentunya dapat disetarakan dengan keberadaan ruang tamu dalam konsep rumah tinggal masa kini.

3. Zona ketiga adalah zona jeroan Puri Kanginan yang berada di bagian timur tapak. Zona ini dapat dimaknai sebagai zona paling privat dan paling utama dalam area Pura Pagonjongan. Hal ini didasarkan pada fungsi Puri Kanginan sendiri yang diyakini sebagai tempat Ratu Ngurah Subandar dan Ratu Ayu Subandar melakukan meditasi. Selayaknya rumah tinggal manusia, ruang di zona ini tentunya dirancang sangat tenang, privat, dan jauh dari gangguan dan polusi.

52 Gambar 4.62: Tafsiran Tata Nilai Area Berdasarkan Hierarkhi Fungsi

sumber: analisis, 2015

Hasil keempat kajian tersebut apabila didialogkan, akan menghasilkan temuan sebagai berikut.

a. Zona jaba sisi yang terdapat di tepi jalan raya adalah zona yang bernilai paling profan dalam tapak Pura Pagonjongan.

b. Zona jalan masuk jaba tengah pura yang berada di dekat batu pelinggih Patih merupakan zona penerima tempat umat memohon izin dan restu sebelum memulai kegiatan persembahyangannya dalam area inti pura. Zona ini tergolong zona peralihan atau zona madya.

c. Zona inti pura adalah zona utama mandala atau jeroan Puri Kawanan dan Puri Kanginan. Puri Kanginan dapat dimaknai sebagai zona yang paling utama pada tapak Pura Pagonjongan. Pendapat ini didasarkan pada posisi area Puri Kanginan yang berada di zona timur tapak yang bernilai paling suci dalam tata nilai tapak di wilayah Bali Utara. Secara fungsi, Puri Kanginan sebagai tempat bermeditasi pasangan dewa-dewi juga bernilai lebih privat dari pada Puri Kawanan yang berfungsi sebagai tempat pasangan dewa-dewi menerima kunjungan tamu.

53 Titik paling sakral pada tapak terdapat di posisi berdirinya bangunan suci padma dalam area Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Pandangan ini tentunya sejalan dengan konsep kaja-kangin sebagai arah paling utama yang disucikan yang berposisi di arah tenggara, arah posisi tempat bangunan suci padma berdiri dalam area Puri Kanginan dan Puri Kawanan

Rangkuman

Area dan objek sakral di Desa Sambirenteng juga memiliki corak masa Bali Aga yang pra-Hindu Majapahit. Karakteristik ini terlihat dari adanya wujud-wujud kepercayaan animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan terdapat kekuatan niskala yang menghuni batu besar, pohon besar, atau area-area tertentu. Pada beberapa bagian juga termuat tradisi Hindu Majapahit melalui adanya kompleks Pura Kahyangan Desa seperti yang berlaku di Bali dataran pada umumnya. Desa Sambirenteng juga telah mendapat pengaruh kultur Hindu pertengahan yang banyak dianut desa-desa di Bali pada umumnya.

Pada bagian lainnya, di wilayah Desa Sambirenteng juga terdapat satu kompleks pura kuno dari masa Bali Aga yang terkait dengan kedatangan komunitas Cina ke wilayah itu yang selanjutnya menetap di wilayah Kintamani, Bangli. Kompleks pura ini dikenal dengan nama Pura Pagonjongan yang banyak menganut corak kultur megalitik dan sinkretisasi kultur lama Bali-Cina.

54

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait