1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persamaan Diferensial merupakan salah satu topik dalam matematika yang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal itu karena banyak permasalahan kehidupan sehari-hari yang dapat dimodelkan dengan persamaan Diferensial, diantaranya dalam bidang kesehatan yaitu pemodelan penyakit, perkembangan bakteri, sedangkan dalam bidang teknik yaitu pemodelan gelombang air laut, pemodelan perambatan panas pada batang logam, dan sistem kerja pada pegas. Persamaan Diferensial secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu persamaan Diferensial biasa dan persamaan Diferensial parsial. Persamaan Diferensial biasa adalah persamaan yang hanya memuat turunan yang terdiri dari satu atau lebih variabel tak bebas dengan satu variabel bebas, sedangkan persamaan diferensial parsial adalah persamaan yang memuat turunan parsial satu atau lebih variabel tak bebas terhadap dua atau lebih variabel bebas (Ross,1984:4).
2
pada bidang datar antara lain setrika listrik dan prosesor. Secara umum terdapat tiga cara perpindahan panas, yaitu perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi.
Masalah persamaan Diferensial parsial dapat diselesaikan dengan menggunakan metode separasi variabel, metode kanonik, metode d’Alembert, Metode Transformasi Laplace. Metode separasi variabel adalah suatu metode yang digunakan untuk metransformasikan suatu persamaan Diferensial parsial kedalam persamaan Diferensial biasa dengan cara memisahkan solusi persamaan diferensial parsial menjadi fungsi-fungsi yang memuat satu variabel. Setelah didapatkan persamaan Diferensial biasa, kemudian selesaikan dengan integral biasa. Berdasarkan langkah tersebut diperoleh solusi dari persamaan Diferensial parsial. Untuk memperoleh solusi khusus, diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas. Apabila yang menjadi bahan tinjauan adalah potongan batang logam, dengan mengambil permisalan , yang menyatakan suhu pada posisi saat waktu sama dengan nol. Suhu saat = untuk setiap posisi dikatakan masalah nilai awal. Syarat batas adalah suhu yang terletak dikedua ujung batang logam. Terdapat tiga syarat batas yaitu syarat batas Dirichlet, syarat batas Neumann, dan syarat batas Robin atau yang biasa dikenal dengan syarat batas campuran.
Penelitian tentang persamaan panas dimensi satu pernah diteliti oleh Agah D. Garnadi (2004) dengan judul Masalah Syarat Batas Bebas Persamaan
Diferensial Parsial Parabolik Satu. Penelitian tersebut membahas tentang
3
untuk persamaan difusi satu-dimensi dengan mempergunakan satu barisan masalah syarat batas dari satu persamaan diferensial biasa. Penelitian lain dilakukan oleh Eminugroho, dkk (2013) dengan judul Eksistensi dan
Ketunggalan Solusi Persamaan Panas. Dalam penelitian tersebut membahas
tentang pembetukan persamaan panas dimensi satu dan ketunggalan solusi dalam suatu persamaan panas dimensi satu yang dilengkapi syarat awal dan syarat batas. Di tahun yang sama Yang, Ai-Ming, dkk meneliti tentang persamaan panas dimensi satu dengan judul Analytical Solutions of the
One-Dimensional Heat Equations Arising in Fractal Transient Conduction with
Local Fractional Derivative, penelitian tersebut membahas tentang gradasi
4
pada tugas akhir ini diambil judul “ Tinjauan Kasus Persamaan Panas Dimensi Satu secara Analitik ”.
B. Batasan Masalah
Beberapa batasan permasalahan yang perlu diperhatikan dalam tugas akhir ini, sebagai berikut.
1. Persamaan panas satu dimensi.
2. Persamaan panas dimensi satu tentang masalah nilai awal dan syarat batas yang berbeda.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana model persamaan panas dimensi satu?.
2. Bagaimana solusi persamaan panas dimensi satu dengan nilai awal dansyarat batas yang berbeda?.
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut.
1. Menjelaskan model persamaan panas dimensi satu.
5 E. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi mahasiswa
Menambah pengetahuan tentang model persamaan panas dimensi satu, dapat menyelesaikan persamaan panas dimensi satu dengan masalah nilai awal dan syarat batas yang berbeda.
2. Bagi universitas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan referensi yang bermanfaat bagi Universitas Negeri Yogyakarta, khususnya pada Jurusan Pendidikan Matematika.
3. Bagi pembaca
6 BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Fungsi, Fungsi Genap, Fungsi Ganjil, Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Integral Tentu, Integral Parsial, Teorema Nilai Rata-Rata Integral, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen, Orthogonal Fungsi Eigen, Metode Separasi Variabel,
Deret Fourier, Sifat-Sifat Perambatan Panas. Berikut ini penjelasannya.
A. Fungsi
Definisi 2.1 Fungsi(Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 76):
Sebuah fungsi adalah suatu aturan korespondensi yang menghubungkan
setiap objek dalam satu himpunan, yang disebut daerah asal, dengan sebuah
nilai tunggal dari suatu himpunan kedua yag disebut daerah hasil.
Contoh 2.1:
= { , , , , , , , , , }
= { , , , , , , , , , }
= { , , , , , }
7
himpunan A memasangkan tepat satu dengan sebuah nilai tunggal di kodomain. Begitu juga untuk himpunan , namun hal yang berbeda untuk satu nilai domain pada himpunan yang mempunyai dua anggota di kodomain. Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan definisi fungsi.
Selanjutnya akan dibahas tentang fungsi genap dan fungsi ganjil, berikut ini penjelasannya.
Definisi 2.2 Fungsi Genap (Walter A. Strauss, 1992 : 110):
Sebuah fungsi genap adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan
(2.1)
− = (2.1)
artinya bahwa grafik = akan simetris terhadap sumbu .
Definisi 2.3 Fungsi Ganjil (Walter A. Strauss, 1992 : 110):
Sebuah fungsi ganjil adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan
(2.2)
− = − . (2.2)
artinya bahwa grafik = akan simetris terhadap titik asal.
Contoh 2.2:
= (2.3)
= (2.4)
8
= (2.6)
= . (2.7)
Berdasarkan Definisi (2.3), Persamaan (2.3) pada Contoh (2.2) merupakan fungsi ganjil, karena − = − = − = − . Persamaan (2.5) juga merupakan fungsi ganjil, karena − = − = − = − . Persamaan (2.4) dan Persamaan (2.6) merupakan fungsi genap, karena
− = − = = dan − = − =
= . Persamaan (2.7) merupakan fungsi genap sekaligus fungsi ganjil karena − = = .
B. Limit
Definisi 2.4 Limit : (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 118):
Diberikan
→ = � yang artinya untuk setiap > yang nilainya sangat
kecil, terdapat > , sedemikian sehingga | − �| < dengan syarat <
| − | < atau dengan kata lain
< | − | < → | − �| < .
Contoh 2.3:
Akan dibuktikan bahwa lim →
− −
− = .
Analisis pendahuluan:
9
< | − | < → | − −− − | <
sehingga
| −− − − | < ↔ | + − − − | <
↔ | + − | <
↔ | − | <
↔ | − | <
↔ | || − | <
↔ | − | < (2.8)
Berdasarkan Persamaan (2.8) diperoleh nilai dari = �.
Bukti baku:
Andaikan nilai dari > , dan dipilih nilai dari = �, sehingga didapatkan
| −− − − | = | + − − − | = | + − |
= | − | = | − | < =
10 C. Turunan
Misalkan merupakan titik tetap yang terletak pada kurva = dan merupakan titik yang berdekatan dengan yang melalui = seperti tampak pada Gambar (2.1).
Kemiringan garis yang melalui titik dan pada Gambar (2.1) adalah
= ′ = ∆∆
= ′ = + ℎ −+ ℎ −
= ′ = + ℎ −ℎ (2.9)
Apabila nilai dekat dengan , maka nilai limit dari ℎ → , sehingga Persamaan (2.9) dapat dituliskan
′ = lim
ℎ→
+ ℎ −
[image:10.595.137.511.190.408.2]ℎ .
11
Definisi 2.5 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 163):
Turunan pertama fungsi dinotasikan ’ yang nilainya pada sembarang
adalah
′ =ℎ→ + ℎ −ℎ
dengan syarat nilai limit dari ada.
Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz , , ... atau notasi prima ′, ", ′′′, … atau bisa dinotasikan sebagai , , , ….
atau ’ , " , ′′′ …. Contoh 2.4:
Akan ditentukan turunan pertama dari = − . Menurut Definisi (2.5), sehingga
′ = limℎ→ + ℎ − ℎ − −
′ = limℎ→ + ℎ − ℎ − −
′ = limℎ→ + ℎ − ℎ − +
′ = lim
ℎ→ ℎ ℎ = .
12
D. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik
Teorema 2.1 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 :182):
Jika = , maka ’ = .
Bukti:
Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga
′ = ℎ→ + ℎ −ℎ ′ = ℎ→ + ℎ − ℎ ′ = ℎ→ ℎ + ℎ − ℎ ′ = ℎ→ (− ( − ℎ ℎ ) + ( ℎ ℎ )) ′ = − ( ℎ→ ( − ℎ ℎ )) + (ℎ→ ( ℎ ℎ )) ′ = − . + . = Terbukti.
Teorema 2.2 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 :182):
13 Bukti:
Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga
′ = limℎ→ + ℎ −ℎ
′ = lim
ℎ→
+ ℎ − ℎ
′ = lim
ℎ→
cos ℎ − sin sin ℎ − cos ℎ
′ = lim
ℎ→ (− cos (
− cos ℎ
ℎ ) − (
sin ℎ ℎ ))
′ = − (lim
ℎ→ (
− cos ℎ
ℎ )) − (limℎ→ ( sin ℎ
ℎ ))
′ = − . − . = −
Terbukti.
Teorema 2.3 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 541):
Jika = ℎ , maka ’ = ℎ .
Bukti:
Bentuk lain dari ℎ adalah �− −�, sehingga
14
= − −
= − −
= − −
’ = + −
’ = + −
’ = ℎ
Terbukti.
Teorema 2.4 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 541):
Jika = ℎ , maka ’ = ℎ .
Bukti:
Bentuk lain dari ℎ , adalah �+ −�, sehingga
= + −
15
= + −
’ = − −
’ = − −
’ = ℎ
Terbukti.
Berikutnya akan dibahas tentang integral tentu. Integral tentu pada BAB III digunakan untuk menentukan luasan perambatan panas pada suatu interval tertutup, berikut penjelasannya.
E. Integral Tentu
[image:15.595.128.510.478.679.2]Diberikan sebuah fungsi pada interval [ , ] kemudian dipartisi terhadap sumbu sebanyak seperti tampak pada Gambar (2.2) berikut ini.
Gambar 2.2 Partisi Sumbu Titik Partisi
Titik Sampel Partisi
∆ ∆ ∆
=
−
∗ ∗ ∗
. . . .
16
Pada Gambar (2.2) merupakan partisi sumbu dengan titik titik partisi = < < < ⋯ < − < = . Apabila disketsakan pada sumbu dan sumbu , diperoleh bentuk partisi berupa persegi panjang, maka jumlahan semua persegi panjang dengan banyaknya partisi disebut Jumlahan Riemann. Pada Prinsipnya konsep Integral merupakan Jumlahan Riemann. Langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut ini.
1. Partisi fungsi menjadi beberapa bagian misalkan banyak partisi , dalam hal ini semakin banyak partisinya semakin bagus, karena nilainya akan mendekati nilai eksak atau dengan kata lain errornya sangat kecil. 2. Apabila kita akan menentukan hasil dari pada interval [a,b], maka
tentukan jarak di setiap partisinya ∆ = − − , dengan = , , … . . 3. Setelah itu tentukan nilai dari ∗ .
4. Kemudian gunakan konsep jumlahan luas persegi panjang yaitu
∑ ∗ ∆
= (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010:363).
Definisi 2.6 Integral Tentu (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010: 363):
Andaikan f suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup [a,b]. Jika
|�|→ ∑
∗ ∆
=
ada, kita katakan f adalah terintegralkan pada [a,b]. Lebih lanjut ∫
17
∫ =|�|→ ∑ ∗ ∆
=
.
Contoh 2.5:
Akan ditentukan luas daerah = + pada interval [− , ].
Apabila grafik = + disketsakan dalam koordinat kartesius, maka tampak pada Gambar (2.3).
Apabila pada interval [− , ] dipartisi sebanyak bagian, maka diperoleh jarak antar partisi ∆ = − − = dengan ∆ = − − , = , , , … . Dengan partisi pada interval [ , ] adalah = < < < … <
[image:17.595.132.510.275.549.2]− < = .
Gambar 2.3 Fungsi = + dipartisi sebanyak
−
18 = −
= − + ∆ = − + ( )
= − + ∆ = − + ( )
= − + ∆ = − + ( )
. . .
− = − + − ∆ = − + − ( )
= − + ∆ = − + ( ) =
karena ∗ merupakan titik-titik di ujung sebelah kanan di setiap partisinya, sehingga diperoleh = ∗ = − + dan ∗ = ∗+ = − +
+ = + . Oleh karena itu diperoleh
∫ + −
=|�|→ ∑ ∗ ∆
=
=|�|→ ∑ + ( ) ( )
19 = lim|�|→ (∑ ( )
=
) + ( ) ∑ =
)
= lim→∞ ( ) + ( ) + + + ⋯ +
= lim→∞(( ) + ( ) ( + ))
= lim→∞ + ( + ) = + = .
Jadi, hasil dari ∫− + = satuan luas.
Teorema 2.5 Teorema Dasar Kalkulus (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 372):
Misalkan kontinu pada interval [ , ] dan misalkan antiturunan dari ,
sehingga
∫ = − .
Bukti:
20
− = ( − − + ( − − − + ⋯
+ ( − + ( −
− = ∑( − − .
=
Menurut Teorema nilai rata-rata turunan pada selang [ − , ] adalah
− − = ′ ∗ − , = ∗ ∆
Sehingga diperoleh
− = ∑ ∗ ∆ .
=
Apabila partisinya diambil sangat kecil | | → , maka
− = lim|�|→ ∑ ∗ ∆
=
= ∫ .
Terbukti.
Contoh 2.6:
Akan ditentukan hasil dari ∫ ( − .
Berdasarkan Teorema (2.5), sehingga diperoleh
21
∫ ( − = ( − ) ( − −
∫ ( − = ( − ) ( − = ( − ) . =
Jadi, hasil dari ∫ ( − = .
F. Integral Parsial
Misalkan = , maka turunan pertama dari adalah
′ = ′ + ′ . (2.10)
Apabila Persamaan (2.10) diintegralkan, maka
∫ ′ = ∫( ′ + ′
= ∫( ′ + ∫( ′
∫( ′ = − ∫( ′ (2.11)
karena = ’ dan = ’ , sehingga Persamaan (2.11) menjadi
∫ = − ∫ . (2.12)
22 Contoh 2.7:
Akan ditentukan hasil dari ∫ .
Berdasarkan Persamaan (2.12), sehingga diperoleh
∫ = − + ∫ +
∫ = − + ( − ∫ ) +
∫ = − + − ∫ +
∫ = − + +
∫ = − + +
∫ = − + + .
Jadi, hasil dari
∫ = − + + .
G.Teorema Nilai Rata-Rata Integral
23
Teorema 2.6 Teorema Nilai Rata-Rata Integral (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 387):
Jika fungsi kontinu pada interval [ , ], maka terdapat suatu bilangan yang
terletak diantara dan , sedemikian sehingga
∫ = − .
Bukti:
Andaikan didefinisikan suatu fungsi sebagai berikut
= ∫ ,
Berdasarkan teorema nilai rata-rata turunan yang mengatakan bahwa andaikan didefinisikan , maka terdapat nilai pada interval , , sehingga
− = ′ −
∫ − = ′ −
(2.13)
karena ′ = (∫ . Hal ini akan berakibat nilai dari ′ = , sehingga Persamaan (2.13) menjadi
= ∫ −
24 H. Persamaan Diferensial
Definisi 2.7 Persamaan Diferensial (Ross,L.S, 1984:3):
Persamaan Diferensial adalah persamaan yang memuat turunan-turunan dari
satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.
Secara umum Persamaan Diferensial dibedakan menjadi dua, yaitu Persamaan Diferensial Biasa(PDB) dan Persamaan Diferensial Parsial(PDP).
Definisi 2.8 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, L.S, 1984:4):
Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan yang memuat
turunan-turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.
Definisi 2.9 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, L.S, 1984:4):
Persamaan Diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang memuat
turunan-turunan parsial dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih
dari satu variabel bebas.
Persamaan Diferensial Parsial biasanya dinotasikan dengan �
� untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas . Untuk turunan parsial kedua, ketiga sampai turunan ke berturut-turut dinotasikan sebagai �
� , � � ,
� � , …
�
� . Persamaan Diferensial Parsial juga dapat dinotasikan , untuk turunan kedua fungsi atas terhadap .
25
+ = (2.14)
+ = + (2.15)
� � =
� �
(2.16)
� � =
� � −
� �
(2.17)
Berdasarkan Contoh (2.8), sesuai dengan Definisi (2.8) dan Definisi (2.9) tentang Persamaan Diferensial biasa dan Persamaan Diferensial Parsial, dapat disimpulkan bahwa Persamaan (2.14) dan Persamaan (2.15) merupakan Persamaan Diferensial biasa. Hal itu karena Persamaan (2.14) terdapat satu variabel bebas yaitu , dan satu variabel tak bebas yaitu , sedangkan Persamaan (2.15) terdapat satu variabel bebas yaitu , dan ada dua variabel tak bebas yaitu , .
Persamaan (2.16) dan Persamaan (2.17) merupakan Persamaan Diferensial parsial, karena Persamaan (2.16) terdapat dua variabel bebas yaitu , dan satu variabel tak bebas . Untuk Persamaan (2.17) terdapat dua variabel bebas yaitu , dan satu varibel tak bebas .
Selanjutnya akan dibahas tentang persamaan Diferensial parsial (PDP).
Definisi 2.10 (James W.B & Ruel V. Churchill 1993:24):
26
+ + + + + = (2.18)
dengan = , , dimana , , , . . . . merupakan konstanta atau fungsi
dalam dan . Apabila nilai dari = , maka Persamaan (2.18) dikatakan
sebagai persamaan Diferensial parsial homogen. Jika nilai ≠ , maka
Persamaan (2.18) dikatakan Persamaan Diferensial parsial nonhomogen.
Selanjutnya akan dibahas tentang Prinsip Superposisi.
Teorema 2.7 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005:130):
Jika , , , … adalah solusi dari Persamaan Diferensial homogen
berorde dari Persamaan (2.17) pada interval I, maka kombinasi linearnya
adalah
= + + + ⋯ +
dimana untuk = , , . . . . adalah konstanta, juga solusi dalam interval I.
Bukti :
Misalkan � didefinisikan sebagai operator Diferensial dan , , , … adalah solusi dari persamaan homogen, sehingga
� = . Jika didefinisikan = + + + ⋯ +
, maka linearitas dari � adalah
� = � + + + ⋯ +
27
karena nilai dari � = , maka � = . + . + . + ⋯ + . = (Terbukti).
I. Solusi Persamaan Diferensial Parsial
1. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas
Untuk ilustrasi yang lebih mudah, dalam hal ini diambil tinjauan sebuah batang logam dengan panjang yang dipanasi dengan suhu tertentu. Misalkan , menyatakan suhu pada posisi saat waktu sama dengan nol dan < < , sehingga suhu saat = untuk setiap posisi dikatakan masalah nilai awal.
Secara umum syarat batas dibedakan menjadi tiga yaitu syarat batas Dirichlet, syarat Neumann, dan syarat batas Robin atau Campuran dari syarat batas Dirichlet dan Neumann. Syarat batas Dirichlet adalah syarat batas yang kedua ujung batang logam dipertahankan nol derajat, dalam hal ini yang digunakan untuk mempertahankan suhunya nol derajat adalah benda yang bersifat isolator. Misalkan , merupakan suhu pada posisi saat waktu ke . Apabila syarat batas Dirichlet dituliskan dalam bentuk notasi matematika, maka , = , = dengan > .
Syarat batas Neumann adalah syarat batas yang perubahan suhu di kedua ujung batang logam dipertahankan 0 derajat. Misalkan � ,
� merupakan perubahan suhu terhadap posisi. Apabila syarat batas Neumann dituliskan dalam notasi matematika, maka � ,
� =
� ,
28
Syarat batas Robin adalah syarat batas yang perubahan suhu pada posisi = dipertahankan nol derajat, sedangkan suhu pada posisi = dipertahankan nol derajat. Apabila dituliskan dalam notasi matematika, maka � ,
� = , = dengan > . Syarat batas Robin disebut juga syarat batas campuran. Hal ini dikarenakan, syarat batas Robin merupakan kombinasi linear dari dari syarat batas Dirichlet dan Neumann (Dean G. Duffy, 2003 : 648).
2. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen
Definisi 2.11 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003:501):
Diberikan Persamaan Diferensial linear berorde 2 berikut ini
[ ] + [ + � ] =
+ ′ + [ + � ] = , untuk (2.19)
dengan syarat batas + ′ = dan + ′ = . Dalam hal
ini nilai dari , , dan merupakan fungsi bilangan real atas , �
adalah suatu parameter. Nilai dari , , , merupakan suatu konstanta real,
sedangkan nilai dari dan merupakan suatu fungsi yang kontinu dan
positif yang terletak pada interval , sehingga Persamaan (2.19)
disebut sebagai Masalah Sturm-Liouville.
29
solusi = untuk semua nilai �. Namun, solusi nontrivial ada jika diambil nilai tertentu, nilai ini disebut nilai karakteristik atau nilai eigen. Nilai yang sesuai solusi nontrivial adalah disebut fungsi karakteristik atau fungsi eigen. (Dean G. Duffy, 2003 : 502).
Selanjutnya, akan ditentukan akar-akar karakteristik dari Persamaan (2.19). Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Akar-akar karakteristik riil berbeda
Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah dan , maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah
= + = ℎ + ℎ .
2. Akar-akar karakteristik riil kembar
Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) suatu akar riil kembar yaitu , maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah
= + .
3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks
Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah + dan − , maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah
= +
30 Contoh 2.9:
Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.20)
�" − � = . (2.20)
Persamaan karakteristik pada Persamaan (2.20) adalah
− =
− + =
, = ±
sehingga solusi umum Persamaan (2.20) adalah
� = + −
� = ( + ) + − −
� = + + + − − −
� = + − + − −
� = + − + − −
� = ℎ + ℎ .
31
� = ℎ + ℎ .
Contoh 2.10:
Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.21)
�" − �′ + � = . (2.21)
Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.21) adalah
− + =
− =
, =
Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.21) adalah
� = + .
Contoh 2.11:
Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.22)
�" + � = . (2.22)
Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.22) adalah
+ =
32 , = ±
sehingga solusi umum Persamaan (2.22) adalah
� = + −
� = + + −
� = + + −
� = + + −
� = + + −
� = +
Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.22) adalah
� = + .
3. Ortogonal Fungsi Eigen
Diberikan fungsi yang terdefinisi pada interval < < . Kita dapat menuliskan dalam bentuk fungsi eigen , sehingga
= ∑ ∞
=
. (2.23)
33
∫ = ∑ ∫
∞
=
(2.24)
Bentuk Orthogonal yang berada di ruas kanan di Persamaan (2.24) nilainya akan sama dengan 0, kecuali nilai = , sehingga Persamaan (2.24) menjadi
∫ = ∫
= ∫ ∫
(2.25)
kemudian Persamaan (2.25) disebut sebagai Koefisien Fourier secara umum (Dennis & Michael, 2009:401).
4. Metode Separasi Variabel
Metode Separasi Variabel merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah persamaan Diferensial parsial. Pada prinsipnya metode ini adalah mengkonversikan masalah persamaan Diferensial parsial ke dalam persaman Diferensial biasa.Langkah-langkah penyelesaian(Dean G. Duffy, 2003 : 574):
1. Subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan fungsi yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap fungsinya adalah perkalian.
2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – � dengan � merupakan bilangan riil. 3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga diperoleh Persamaan
34
4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai � < , � = dan � > dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.
5. Berdasarkan langkah 4 tentukan nilai eigen dan fungsi eigen.
6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.
7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan diferensial linear homogen orde 2.
Contoh 2.12: � � =
� � .
(2.26)
dengan syarat batas Dirichlet , = , = .
Langkah penyelesaian:
1. Ambil subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan fungsi yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap fungsinya adalah perkalian.
Ambil substitusi , = � � , sehingga diperoleh �
� =
� �" dan �
� = �" � , kemudian hasilnya disubtitusikan ke Persamaan (2.26), maka diperoleh
� � =
35
� �" = �" � (2.27)
2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – � dengan � merupakan bilangan riil. Sehingga, Persamaan (2.27) menjadi
� �" = �" � = −�. (2.28)
3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga menjadi Persamaan diferensial biasa.
�"
� =
�"
� = −�.
(2.29)
Berdasarkan Persamaan (2.29), sehingga diperoleh Masalah Sturm-Liouville �"
� = −�
(2.30)
�"
� = −�.
(2.31)
4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai � < , � = dan � > dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.
Kemungkinan 1: untuk nilai � = − < , sehingga Persamaan (2.30) menjadi
�" − � = . (2.32)
Solusi umum Persamaan (2.32) adalah
� = ℎ + ℎ .
36
� = ℎ . + ℎ .
= . + .
=
syarat batas � = → � = ℎ + ℎ
� = . ℎ + ℎ
=
karena = = , sehingga untuk nilai � = − < diperoleh solusi trivial.
Kemungkinan 2: untuk nilai � = , sehingga Persamaan (2.30) menjadi
�" = . (2.33)
Apabila kedua ruas pada Persamaan (2.33) diintegralkan, maka diperoleh
∫ �" = ∫
�′ =
∫ �′ = ∫
� = + .
Syarat batas � = → � = +
� = + .
=
37
� = + .
=
karena = = , sehingga untuk nilai � = diperoleh solusi trivial.
Kemungkinan 3: untuk nilai � = > , sehingga Persamaan (2.30) menjadi
�" + � = . (2.34)
Solusi umum Persamaan (2.34) adalah
� = +
syarat batas � = → � = +
� = . + .
= . + .
=
syarat batas � = → � = +
� = . +
= .
Agar diperoleh solusi nontrivial, maka nilai ≠ . Tetapi nilai dari =
38
5. Berdasarkan langkah 4, tentukan nilai eigen dan fungsi eigen. Nilai dari pada Persamaan (2.35) bergantung dengan , sehingga = . Oleh karena itu Persamaan (2.35) dapat dituliskan
= , = , , ….
= , = , , ….
Karena nilai dari � = + , dengan
= , sehingga � = . Nilai dari bergantung pada , hal tersebut berakibat nilai dari � juga bergantung pada . Jadi, fungsi eigen dari Persamaan (2.34) adalah
� = dengan = , , , …. (2.36)
6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.
Selanjutnya akan ditentukan solusi dari Persamaan �"
� = −�.
(2.37)
Mengingat nilai � yang memenuhi adalah � = > dan nilai bergantung pada . Hal itu berakibat nilai dari � juga bergantung pada
, sehingga � = = , = , , …. Persamaan (2.37) dapat dituliskan menjadi
39
dan diperoleh solusi dari Persamaan (2.37) adalah
� = +
� = ( ) + ( ) (2.38)
7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan diferensial linear homogen orde 2. Berdasarkan Persamaan (2.36) dan Persamaan (2.38) nilai dari � , � bergantung pada , sehingga nilai dari , juga bergantung pada . Oleh karena itu, , = � . � dapat dituliskan menjadi
, = ( ) + ( ) (2.39)
dengan = , , … Apabila Persamaan (2.39) diubah dengan menggunakan prinsip superposisi, maka didapatkan
, = ∑ ( ) + ( )
∞
=
(Walter A. Strauss, 1992 : 83).
Definisi 2.12 Deret Fourier ( Dennis G Zill & Warren Wright 2013: 427):
Deret fourier pada fungsi yang terdefinisi pada interval − , adalah
= + ∑ ( ( ) + ( ))
∞
=
dengan
40 = ∫
�
−�
= ∫ ( )
�
−�
= ∫ ( )
�
−�
Contoh 2.13:
Akan ditentukan deret Fourier dari = {− , jika − < < , jika < < .
Berdasarkan Definisi (2.12) tentang deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari
= ∫ −
−
+ ∫ = − ]
− + ] =
= ∫ −
−
+ ∫
= − − ]
− + + ]
= − −
= ∫ −
−
41
= − ]
− + −
+ ] =
Jadi, deret Fourier dari adalah
= + ∑ ( ( ) + ( ))
∞
=
= + ∑ − −
∞
=
= − ∑
∞
= , , …
(Mayer Humi & William B. Miller, 1992:80).
J. Sifat-Sifat Perambatan Panas
Menurut Holman(2010:6), dalam proses perambatan panas terdapat beberapa sifat yang perlu diperhatikan, diantaranya.
1. Panas hanya mengalir dari suhu yang tinggi menuju suhu yang rendah. 2. Kecepatan perambatan panas dipengaruhi oleh konduksi bahan
penyusunnya.
102
DAFTAR PUSTAKA
Agah D. Garnadi. (2004). Masalah Syarat Batas Bebas Persamaan Diferensial
Parsial Parabolik Satu-Dimensi. Diakses dari http://math.ipb.ac.id/index.php?Itemid=216&option=com_mathipb&act=P ublikasi&task=view&id=18 pada tanggal 30 April 2016, pukul 15.40 WIB. C.DiPrima, Willian E.Boyce & Richard. (2009). Elementary Diffirential Equations
and Boundary Value Problems. 9th.Ed.New York: John Wiley and Sons, Inc.
Churchill, James Ward Brown & Ruel V. (1993). Fourier Series and Boundary
Value Problem. 5th.Ed. New York: McGraw-Hill,Inc.
Duffy, D. G. (2003). Advanced Engineering Mathematics with Matlab.2nd. Ed. Florida: Chapman and Hall/CRC.
Eminugroho Ratna Sari, Dwi L.& Fitriana Yuli S.(2013). Eksistensi dan
Ketunggalan Solusi Persamaan Panas. Jurnal Sains Dasar (Nomor 2 tahun
2013). Hlm.41-48.
G.Zill, D. (2005). A First Course in Differential Equations.8th. Ed. Victoria: Thomson Learning.
G.Zill, D & Michael R. Cullen. (2009). Differential Equations with
Boundary-Value Problems.7th. Ed. Boston: Brooks/Cole.
J.P.Holman. (2010). Heat Transfer.10th.Ed. New York: McGraw-Hill.
L.Ross, S. (1984). Differential Equations. 3rd.Ed.New York: John Wiley and Sons. Miller, Mayer Humi and William B. (1992). Boundary Value Problems and Partial
Differential Equations. Boston: PWS-KENT.
Purcell, Dale Verberg and Edwin J. (2010). Calculus:Kalkulus Jilid 1(Alih Bahasa
Indonesia oleh I Nyoman Susila). Tangerang: Binarupa Aksara.
S.Wright, Dennis G.Zill and Warren. (2013). Differential Equations with
103
Strauss, Walter A. (1992). Partial Differential Equations An Introduction. New York: John Wiley and Sons,Inc.
Yang, Ai-Ming,dkk. (2013). Analytical Solutions of the One-Dimensional Heat
Equations Arising in Fractal Transient Conduction with Local Fractional
Derivative. Diakses dari