• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Fungsi, Fungsi Genap, Fungsi Ganjil, Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Integral Tentu, Integral Parsial, Teorema Nilai Rata-Rata Integral, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen, Orthogonal Fungsi Eigen, Metode Separasi Variabel, Deret Fourier, Sifat-Sifat Perambatan Panas. Berikut ini penjelasannya.

A. Fungsi

Definisi 2.1 Fungsi (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 76):

Sebuah fungsi 𝑓 adalah suatu aturan korespondensi yang menghubungkan setiap objek 𝑥 dalam satu himpunan, yang disebut daerah asal, dengan sebuah nilai tunggal 𝑓(𝑥) dari suatu himpunan kedua yag disebut daerah hasil. Contoh 2.1:

𝐴 = {(1, 1), (2, 4), (3, 6), (4, 7), (5, 8)} 𝐵 = {(1, 6), (2, 7), (2, 8), (3, 9), (4, 10)} 𝐶 = {(1, 4), (2, 5), (3, 6)}

Berdasarkan Definisi (2.1), himpunan 𝐴 dan 𝐶 merupakan fungsi, sedangkan himpunan 𝐵 bukan merupakan fungsi. Hal ini dikarenakan setiap domain di

(2)

7

himpunan A memasangkan tepat satu dengan sebuah nilai tunggal di kodomain. Begitu juga untuk himpunan 𝐶, namun hal yang berbeda untuk satu nilai domain pada himpunan 𝐵 yang mempunyai dua anggota di kodomain. Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan definisi fungsi.

Selanjutnya akan dibahas tentang fungsi genap dan fungsi ganjil, berikut ini penjelasannya.

Definisi 2.2 Fungsi Genap (Walter A. Strauss, 1992 : 110):

Sebuah fungsi genap adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan (2.1)

𝑓(−𝑥) = 𝑓(𝑥) (2.1)

artinya bahwa grafik 𝑦 = 𝑓(𝑥) akan simetris terhadap sumbu 𝑦. Definisi 2.3 Fungsi Ganjil (Walter A. Strauss, 1992 : 110):

Sebuah fungsi ganjil adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan (2.2)

𝑓(−𝑥) = −𝑓(𝑥). (2.2)

artinya bahwa grafik 𝑦 = 𝑓(𝑥) akan simetris terhadap titik asal. Contoh 2.2:

𝑓(𝑥) = 𝑥3 (2.3)

𝑓(𝑥) = 𝑥2016 (2.4)

(3)

8

𝑓(𝑥) = 𝑐𝑜𝑠(14𝑥) (2.6)

𝑓(𝑥) = 0. (2.7)

Berdasarkan Definisi (2.3), Persamaan (2.3) pada Contoh (2.2) merupakan fungsi ganjil, karena 𝑓(−𝑥) = (−𝑥)3 = −𝑥3 = −𝑓(𝑥). Persamaan (2.5) juga merupakan fungsi ganjil, karena 𝑓(−𝑥) = 𝑠𝑖𝑛(−4𝑥) = −𝑠𝑖𝑛(4𝑥) = −𝑓(𝑥). Persamaan (2.4) dan Persamaan (2.6) merupakan fungsi genap, karena

𝑓(−𝑥) = (−𝑥)2016= 𝑥2016 = 𝑓(𝑥) dan 𝑓(−𝑥) = 𝑐𝑜𝑠(−14𝑥) =

𝑐𝑜𝑠(14𝑥) = 𝑓(𝑥). Persamaan (2.7) merupakan fungsi genap sekaligus fungsi

ganjil karena 𝑓(−𝑥) = 𝑓(𝑥) = 0. B. Limit

Definisi 2.4 Limit : (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 118): Diberikan 𝑙𝑖𝑚

𝑥→𝑐𝑓(𝑥) = 𝐿 yang artinya untuk setiap 𝜀 > 0 yang nilainya sangat

kecil, terdapat 𝛿 > 0, sedemikian sehingga |𝑓(𝑥) − 𝐿| < 𝜀 dengan syarat 0 < |𝑥 − 𝑐| < 𝛿 atau dengan kata lain

0 < |𝑥 − 𝑐| < 𝛿 → |𝑓(𝑥) − 𝐿| < 𝜀.

Contoh 2.3:

Akan dibuktikan bahwa lim 𝑥→2

2𝑥2−3𝑥−2 𝑥−2 = 5.

Analisis pendahuluan:

(4)

9 0 < |𝑥 − 2| < 𝛿 → |2𝑥2−3𝑥−2 𝑥−2 − 5| < 𝜀 sehingga |2𝑥 2− 3𝑥 − 2 𝑥 − 2 − 5| < 𝜀 ↔ | (2𝑥 + 1)(𝑥 − 2) 𝑥 − 2 − 5| < 𝜀 ↔ |(2𝑥 + 1) − 5| < 𝜀 ↔ |2𝑥 − 4| < 𝜀 ↔ |2(𝑥 − 2)| < 𝜀 ↔ |2||𝑥 − 2| < 𝜀 ↔ |𝑥 − 2| < 𝜀 2 (2.8)

Berdasarkan Persamaan (2.8) diperoleh nilai dari 𝛿 = 𝜀 2.

Bukti baku:

Andaikan nilai dari 𝜀 > 0, dan dipilih nilai dari 𝛿 =𝜀

2, sehingga didapatkan |2𝑥 2− 3𝑥 − 2 𝑥 − 2 − 5| = | (2𝑥 + 1)(𝑥 − 2) 𝑥 − 2 − 5| = |2𝑥 + 1 − 5| = |2(𝑥 − 2)| = 2|𝑥 − 2| < 2𝛿 = 𝜀

(5)

10 C. Turunan

Misalkan 𝑃 merupakan titik tetap yang terletak pada kurva 𝑦 = 𝑓(𝑥) dan 𝑄 merupakan titik yang berdekatan dengan 𝑃 yang melalui 𝑦 = 𝑓(𝑥) seperti tampak pada Gambar (2.1).

Kemiringan garis yang melalui titik 𝑃 dan 𝑄 pada Gambar (2.1) adalah

𝑚 = 𝑓′(𝑥) =∆𝑓(𝑥) ∆𝑥 𝑚 = 𝑓′(𝑥) =𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) (𝑥 + ℎ) − 𝑥 𝑚 = 𝑓′(𝑥) =𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ (2.9) Apabila nilai 𝑃 dekat dengan 𝑄, maka nilai limit dari ℎ → 0, sehingga

Persamaan (2.9) dapat dituliskan

𝑓′(𝑥) = lim

ℎ→0

𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥)

ℎ .

Gambar 2.1 Ilustrasi Garis singgung

𝑥 𝑦

(6)

11

Definisi 2.5 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 163):

Turunan pertama fungsi 𝑓(𝑥) dinotasikan 𝑓’(𝑥) yang nilainya pada sembarang 𝑥 adalah

𝑓′(𝑥) = 𝑙𝑖𝑚 ℎ→0

𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ

dengan syarat nilai limit dari 𝑓(𝑥) ada.

Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz 𝑑𝑦 𝑑𝑥,

𝑑2𝑦 𝑑𝑥2,

𝑑3𝑦

𝑑𝑥3... atau notasi prima 𝑦′, 𝑦", 𝑦′′′, … atau bisa dinotasikan sebagai 𝐷

𝑥𝑦, 𝐷𝑥2𝑦, 𝐷𝑥3𝑦 , …. atau 𝑓’(𝑥), 𝑓"(𝑥), 𝑓′′′(𝑥) ….

Contoh 2.4:

Akan ditentukan turunan pertama dari 𝑓(𝑥) = 4𝑥 − 14. Menurut Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 (4(𝑥 + ℎ) − 14) − (4𝑥 − 14) ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 (4𝑥 + 4ℎ − 14) − (4𝑥 − 14) ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 4𝑥 + 4ℎ − 14 − 4𝑥 + 14 ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 4ℎ ℎ = 4.

(7)

12

D. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik

Teorema 2.1 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 :182):

Jika 𝑓(𝑥) = 𝑠𝑖𝑛 𝑥, maka 𝑓’(𝑥) = 𝑐𝑜𝑠 𝑥.

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(𝑥) = 𝑙𝑖𝑚 ℎ→0 𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ 𝑓′(𝑥) = 𝑙𝑖𝑚 ℎ→0 𝑠𝑖𝑛(𝑥 + ℎ) − 𝑠𝑖𝑛 𝑥 ℎ 𝑓′(𝑥) = 𝑙𝑖𝑚 ℎ→0 𝑠𝑖𝑛 𝑥 𝑐𝑜𝑠 ℎ + 𝑐𝑜𝑠 𝑥 𝑠𝑖𝑛 ℎ − 𝑠𝑖𝑛 𝑥 ℎ 𝑓′(𝑥) = 𝑙𝑖𝑚 ℎ→0(− 𝑠𝑖𝑛 𝑥 ( 1 − 𝑐𝑜𝑠 ℎ ℎ ) + 𝑐𝑜𝑠 𝑥 ( 𝑠𝑖𝑛 ℎ ℎ )) 𝑓′(𝑥) = (− 𝑠𝑖𝑛 𝑥) (𝑙𝑖𝑚 ℎ→0( 1 − 𝑐𝑜𝑠 ℎ ℎ )) + (𝑐𝑜𝑠 𝑥) (𝑙𝑖𝑚ℎ→0( 𝑠𝑖𝑛 ℎ ℎ )) 𝑓′(𝑥) = (− 𝑠𝑖𝑛 𝑥). 0 + (𝑐𝑜𝑠 𝑥). 1 = 𝑐𝑜𝑠 𝑥 Terbukti.

Teorema 2.2 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 :182):

(8)

13 Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0 𝑐𝑜𝑠(𝑥 + ℎ) − 𝑐𝑜𝑠 𝑥 ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0

𝑐𝑜𝑠 𝑥 cos ℎ − sin 𝑥 sin ℎ − cos 𝑥 ℎ 𝑓′(𝑥) = lim ℎ→0(− cos 𝑥 ( 1 − cos ℎ ℎ ) − 𝑠𝑖𝑛 𝑥 ( sin ℎ ℎ )) 𝑓′(𝑥) = (− 𝑐𝑜𝑠 𝑥) (lim ℎ→0( 1 − cos ℎ ℎ )) − (𝑠𝑖𝑛 𝑥) (limℎ→0( sin ℎ ℎ )) 𝑓′(𝑥) = (− 𝑐𝑜𝑠 𝑥). 0 − (𝑠𝑖𝑛 𝑥). 1 = −𝑠𝑖𝑛 𝑥 Terbukti.

Teorema 2.3 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 541):

Jika 𝑓(𝑥) = 𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑥, maka 𝑓’(𝑥) = 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑥.

Bukti:

Bentuk lain dari 𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑥 adalah 𝑒𝑥−𝑒−𝑥

2 , sehingga

𝑓(𝑥) =𝑒

𝑥− 𝑒−𝑥 2

(9)

14 𝑓(𝑥) =𝑒 𝑥− 𝑒−𝑥 2 𝑓(𝑥) =𝑒 𝑥 2 − 𝑒−𝑥 2 𝑓(𝑥) =1 2𝑒 𝑥1 2𝑒 −𝑥 𝑓’(𝑥) = 1 2𝑒 𝑥+1 2𝑒 −𝑥 𝑓’(𝑥) =𝑒 𝑥+ 𝑒−𝑥 2 𝑓’(𝑥) = 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑥 Terbukti.

Teorema 2.4 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 541):

Jika 𝑓(𝑥) = 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑥, maka 𝑓’(𝑥) = 𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑥. Bukti:

Bentuk lain dari 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑥, adalah 𝑒𝑥+𝑒−𝑥

2 , sehingga 𝑓(𝑥) =𝑒 𝑥+ 𝑒−𝑥 2 𝑓(𝑥) =𝑒 𝑥 2 + 𝑒−𝑥 2

(10)

15 𝑓(𝑥) =1 2𝑒 𝑥+1 2𝑒 −𝑥 𝑓’(𝑥) =1 2𝑒 𝑥1 2𝑒 −𝑥 𝑓’(𝑥) =𝑒 𝑥− 𝑒−𝑥 2 𝑓’(𝑥) = 𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑥 Terbukti.

Berikutnya akan dibahas tentang integral tentu. Integral tentu pada BAB III digunakan untuk menentukan luasan perambatan panas pada suatu interval tertutup, berikut penjelasannya.

E. Integral Tentu

Diberikan sebuah fungsi pada interval [𝑎, 𝑏] kemudian dipartisi terhadap sumbu 𝑥 sebanyak 𝑛 seperti tampak pada Gambar (2.2) berikut ini.

Gambar 2.2 Partisi Sumbu 𝑥 Titik Partisi Titik Sampel Partisi ∆𝑥1 ∆𝑥2 ∆𝑥𝑛 𝑥𝑛= 𝑏 𝑥𝑛−1 𝑥2 𝑥1 𝑥0 𝑥1𝑥2𝑥 𝑛∗ . . . . . . . .

(11)

16

Pada Gambar (2.2) merupakan partisi sumbu 𝑥 dengan titik titik partisi 𝑎 = 𝑥0 < 𝑥1 < 𝑥2 < ⋯ < 𝑥𝑛−1 < 𝑥𝑛 = 𝑏. Apabila disketsakan pada sumbu 𝑥 dan sumbu 𝑦, diperoleh bentuk partisi berupa persegi panjang, maka jumlahan semua persegi panjang dengan banyaknya partisi 𝑛 disebut Jumlahan Riemann. Pada Prinsipnya konsep Integral merupakan Jumlahan Riemann. Langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut ini.

1. Partisi fungsi 𝑓(𝑥) menjadi beberapa bagian misalkan banyak partisi 𝑛, dalam hal ini semakin banyak partisinya semakin bagus, karena nilainya akan mendekati nilai eksak atau dengan kata lain errornya sangat kecil. 2. Apabila kita akan menentukan hasil dari 𝑓(𝑥) pada interval [a,b], maka

tentukan jarak di setiap partisinya ∆𝑥𝑖 = 𝑥𝑖 − 𝑥𝑖−1, dengan 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛. 3. Setelah itu tentukan nilai dari 𝑓(𝑥𝑖∗).

4. Kemudian gunakan konsep jumlahan luas persegi panjang yaitu ∑𝑛𝑖=1𝑓(𝑥𝑖∗)(∆𝑥𝑖) (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010:363).

Definisi 2.6 Integral Tentu (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010: 363): Andaikan f suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup [a,b]. Jika

𝑙𝑖𝑚 |𝑃|→0∑ 𝑓(𝑥𝑖 ∗)∆𝑥 𝑖 𝑛 𝑖=1

ada, kita katakan f adalah terintegralkan pada [a,b]. Lebih lanjut ∫ 𝑓(𝑥)𝑎𝑏 𝑑𝑥 disebut integral tentu (atau integral Riemann) f dari a ke b, diberikan oleh

(12)

17 ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 𝑏 𝑎 = 𝑙𝑖𝑚 |𝑃|→0∑ 𝑓(𝑥𝑖 ∗)∆𝑥 𝑖 𝑛 𝑖=1 . Contoh 2.5:

Akan ditentukan luas daerah 𝑓(𝑥) = 𝑥 + 2 pada interval [−1,2].

Apabila grafik 𝑓(𝑥) = 𝑥 + 2 disketsakan dalam koordinat kartesius, maka tampak pada Gambar (2.3).

Apabila pada interval [−1,2] dipartisi sebanyak 𝑛 bagian, maka diperoleh jarak antar partisi ∆𝑥𝑖 = 2−(−1)

𝑛 =

3

𝑛 dengan ∆𝑥𝑖 = 𝑥𝑖− 𝑥𝑖−1, 𝑖 = 1,2,3, … 𝑛. Dengan partisi pada interval [𝑎, 𝑏] adalah 𝑎 = 𝑥0 < 𝑥1 < 𝑥2 < 𝑥3… < 𝑥𝑛−1 < 𝑥𝑛 = 𝑏.

Gambar 2.3 Fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥 + 2 dipartisi sebanyak 𝑛 𝑦 𝑥 −1 𝑓(𝑥) = 𝑥 + 2 2 𝑂 2

(13)

18 𝑥0 = −1 𝑥1 = −1 + ∆𝑥 = −1 + (3 𝑛) 𝑥2 = −1 + 2∆𝑥 = −1 + 2 (3 𝑛) 𝑥3 = −1 + 3∆𝑥 = −1 + 3 (3 𝑛) . . . 𝑥𝑛−1 = −1 + (𝑛 − 1)∆𝑥 = −1 + (𝑛 − 1) (3 𝑛) 𝑥𝑛 = −1 + 𝑛∆𝑥 = −1 + 𝑛 (3 𝑛) = 2

karena 𝑥𝑖∗ merupakan titik-titik di ujung sebelah kanan di setiap partisinya, sehingga diperoleh 𝑥𝑖 = 𝑥𝑖∗ = −1 + 𝑖 (3 𝑛) dan 𝑓(𝑥𝑖 ∗) = 𝑥 𝑖∗+ 2 = (−1 + 𝑖 (3 𝑛) ) + 2 = 1 + 𝑖 ( 3

𝑛). Oleh karena itu diperoleh

∫(𝑥 + 2) 2 −1 𝑑𝑥 = 𝑙𝑖𝑚|𝑃|→0∑ 𝑓(𝑥𝑖∗)∆𝑥𝑖 𝑛 𝑖=1 = 𝑙𝑖𝑚 |𝑃|→0∑ (1 + 𝑖 ( 3 𝑛)) ( 3 𝑛) 𝑛 𝑖=1

(14)

19 = lim |𝑃|→0((∑ ( 3 𝑛) 𝑛 𝑖=1 ) + ((9 𝑛2) ∑ 𝑖 𝑛 𝑖=1 )) = lim 𝑛→∞(( 3 𝑛) 𝑛 + ( 9 𝑛2) (1 + 2 + 3 + ⋯ + 𝑛)) = lim 𝑛→∞(( 3 𝑛) 𝑛 + ( 9 𝑛2) ( 𝑛(𝑛 + 1) 2 )) = lim 𝑛→∞(3 + 9 2(1 + 1 𝑛)) = 3 + 9 2= 7 1 2.

Jadi, hasil dari ∫ (𝑥 + 2)−12 𝑑𝑥 = 71

2 satuan luas.

Teorema 2.5 Teorema Dasar Kalkulus (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 372):

Misalkan 𝑓 kontinu pada interval [𝑎, 𝑏] dan misalkan 𝐹 antiturunan dari 𝑓, sehingga ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 𝑏 𝑎 = 𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎). Bukti:

Misalkan 𝑃: 𝑎 = 𝑥0 < 𝑥1 < 𝑥2 < 𝑥3 < ⋯ < 𝑥𝑛−1 < 𝑥𝑛 = 𝑏 adalah partisi pada interval [𝑎, 𝑏], sehingga

(15)

20 𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎) = (𝐹(𝑥𝑛) − 𝐹(𝑥𝑛−1)) + (𝐹(𝑥𝑛−1) − 𝐹(𝑥𝑛−2)) + ⋯ + (𝐹(𝑥2) − 𝐹(𝑥1)) + (𝐹(𝑥1) − 𝐹(𝑥0)) 𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎) = ∑(𝐹(𝑥𝑖) − 𝐹(𝑥𝑖−1)). 𝑛 𝑖=1

Menurut Teorema nilai rata-rata turunan 𝐹 pada selang [𝑥𝑖−1, 𝑥𝑖] adalah

𝐹(𝑥𝑖) − 𝐹(𝑥𝑖−1) = 𝐹′(𝑥 𝑖∗)(𝑥𝑖−1, 𝑥𝑖) = 𝑓(𝑥𝑖∗)∆𝑥𝑖 Sehingga diperoleh 𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎) = ∑(𝑓(𝑥𝑖∗)∆𝑥𝑖). 𝑛 𝑖=1

Apabila partisinya diambil sangat kecil |𝑃| → 0, maka

𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎) = lim |𝑃|→0∑(𝑓(𝑥𝑖 ∗)∆𝑥 𝑖) 𝑛 𝑖=1 = ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥. 𝑏 𝑎 Terbukti. Contoh 2.6:

Akan ditentukan hasil dari ∫ 𝑐𝑜𝑠((2𝑛 − 1)𝑥)𝑑𝑥.0𝜋 Berdasarkan Teorema (2.5), sehingga diperoleh

∫ 𝑐𝑜𝑠((2𝑛 − 1)𝑥)𝑑𝑥 𝜋 0 = ( 1 2𝑛 − 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 − 1)𝑥)]0 𝜋

(16)

21 ∫ 𝑐𝑜𝑠((2𝑛 − 1)𝑥)𝑑𝑥 𝜋 0 = (( 1 2𝑛 − 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 − 1)𝜋)) − 0 ∫ 𝑐𝑜𝑠((2𝑛 − 1)𝑥)𝑑𝑥 𝜋 0 = (( 1 2𝑛 − 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 − 1)𝜋)) = ( 1 2𝑛 − 1) . 0 = 0

Jadi, hasil dari ∫ 𝑐𝑜𝑠((2𝑛 − 1)𝑥)𝑑𝑥0𝜋 = 0. F. Integral Parsial

Misalkan 𝑓(𝑥) = 𝑢(𝑥)𝑣(𝑥), maka turunan pertama dari 𝑓(𝑥) adalah

𝑓′(𝑥) = 𝑢(𝑥)𝑣(𝑥) + 𝑢(𝑥)𝑣(𝑥). (2.10)

Apabila Persamaan (2.10) diintegralkan, maka

∫ 𝑓′(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫(𝑢′(𝑥)𝑣(𝑥) + 𝑢(𝑥)𝑣′(𝑥))𝑑𝑥

𝑢(𝑥)𝑣(𝑥) = ∫(𝑢′(𝑥)𝑣(𝑥)) 𝑑𝑥 + ∫(𝑢(𝑥)𝑣(𝑥)) 𝑑𝑥

∫(𝑢(𝑥)𝑣′(𝑥)) 𝑑𝑥 = 𝑢(𝑥)𝑣(𝑥) − ∫(𝑢′(𝑥)𝑣(𝑥)) 𝑑𝑥 (2.11)

karena 𝑑𝑣 = 𝑣’(𝑥)𝑑𝑥 dan 𝑑𝑢 = 𝑢’(𝑥)𝑑𝑥, sehingga Persamaan (2.11) menjadi

∫ 𝑢(𝑥)𝑑𝑣 = 𝑢(𝑥)𝑣(𝑥) − ∫ 𝑣(𝑥)𝑑𝑢. (2.12)

Persamaan (2.12) merupakan rumus integral parsial (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 579).

(17)

22 Contoh 2.7:

Akan ditentukan hasil dari ∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥.

Berdasarkan Persamaan (2.12), sehingga diperoleh

∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = −1 4𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 4𝑥 +1 4∫ 𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 2𝑥𝑑𝑥 + 𝑐 ∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = −1 4𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 4𝑥 +1 4( 1 4𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 −1 4∫ 𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥) + 𝑐 ∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = −1 4𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 4𝑥 + 1 16𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 − 1 16∫ 𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 + 𝑐 17 16∫ 𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = − 4 16𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 4𝑥 + 1 16𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 + 𝑐 ∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = − 4 17𝑒 𝑥𝑐𝑜𝑠 4𝑥 + 1 17𝑒 𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 + 𝑐 ∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = 1 17𝑒 𝑥(−4𝑐𝑜𝑠 4𝑥 + 𝑠𝑖𝑛 4𝑥) + 𝑐.

Jadi, hasil dari

∫ 𝑒𝑥𝑠𝑖𝑛 4𝑥 𝑑𝑥 = 1

17𝑒

𝑥(−4𝑐𝑜𝑠 4𝑥 + 𝑠𝑖𝑛 4𝑥) + 𝑐.

G.Teorema Nilai Rata-Rata Integral

Teorema ini digunakan untuk membuktikan bahwa dalam suatu perambatan panas pada suatu interval tertutup, dan proses perambatan panasnya diasumsikan kontinu, maka terdapat minimal satu titik yang terdapat dalam interval tertutup tersebut.

(18)

23

Teorema 2.6 Teorema Nilai Rata-Rata Integral (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 387):

Jika fungsi 𝑓 kontinu pada interval [𝑎, 𝑏], maka terdapat suatu bilangan 𝑐 yang terletak diantara 𝑎 dan 𝑏, sedemikian sehingga

∫ 𝑓(𝑡) 𝑏

𝑎

𝑑𝑡 = 𝑓(𝑐)(𝑏 − 𝑎).

Bukti:

Andaikan didefinisikan suatu fungsi 𝐺(𝑥) sebagai berikut

𝐺(𝑥) = ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 𝑥

𝑎

, 𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑏

Berdasarkan teorema nilai rata-rata turunan yang mengatakan bahwa andaikan didefinisikan 𝐺(𝑥), maka terdapat nilai 𝑐 pada interval (𝑎, 𝑏), sehingga

𝐺(𝑏) − 𝐺(𝑎) = 𝐺′(𝑐)(𝑏 − 𝑎) ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 − 0 𝑏 𝑎 = 𝐺′(𝑐)(𝑏 − 𝑎) (2.13)

karena 𝐺′(𝑥) = 𝐷𝑥(∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡𝑎𝑥 ). Hal ini akan berakibat nilai dari 𝐺′(𝑐) = 𝑓(𝑐), sehingga Persamaan (2.13) menjadi

𝑓(𝑐) =∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡

𝑏 𝑎

𝑏 − 𝑎

(19)

24 H. Persamaan Diferensial

Definisi 2.7 Persamaan Diferensial (Ross,L.S, 1984:3):

Persamaan Diferensial adalah persamaan yang memuat turunan-turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Secara umum Persamaan Diferensial dibedakan menjadi dua, yaitu Persamaan Diferensial Biasa(PDB) dan Persamaan Diferensial Parsial(PDP).

Definisi 2.8 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, L.S, 1984:4):

Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan yang memuat turunan-turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.9 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, L.S, 1984:4):

Persamaan Diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang memuat turunan-turunan parsial dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas.

Persamaan Diferensial Parsial biasanya dinotasikan dengan 𝜕𝑢

𝜕𝑥 untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas 𝑢 terhadap variabel bebas 𝑥. Untuk turunan parsial kedua, ketiga sampai turunan ke 𝑛 berturut-turut dinotasikan sebagai 𝜕2𝑢 𝜕𝑥2, 𝜕3𝑢 𝜕𝑥3, 𝜕4𝑢 𝜕𝑥4, … 𝜕𝑛𝑢

𝜕𝑥𝑛. Persamaan Diferensial Parsial juga dapat dinotasikan 𝑢𝑥𝑥, ∇2𝑢 untuk turunan kedua fungsi atas 𝑢 terhadap 𝑥.

(20)

25 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ 5𝑦 = 𝑒 𝑥 (2.14) 𝑑𝑥 𝑑𝑡+ 𝑑𝑦 𝑑𝑡 = 2𝑥 + 𝑦 (2.15) 𝜕2𝑢 𝜕𝑡2 = 𝑐2 𝜕2𝑢 𝜕𝑥2 (2.16) 𝜕2𝑢 𝜕𝑥2 = 𝜕2𝑢 𝜕𝑡2 − 2 𝜕𝑢 𝜕𝑡 (2.17)

Berdasarkan Contoh (2.8), sesuai dengan Definisi (2.8) dan Definisi (2.9) tentang Persamaan Diferensial biasa dan Persamaan Diferensial Parsial, dapat disimpulkan bahwa Persamaan (2.14) dan Persamaan (2.15) merupakan Persamaan Diferensial biasa. Hal itu karena Persamaan (2.14) terdapat satu variabel bebas yaitu 𝑥, dan satu variabel tak bebas yaitu 𝑦, sedangkan Persamaan (2.15) terdapat satu variabel bebas yaitu 𝑡, dan ada dua variabel tak bebas yaitu 𝑥, 𝑦.

Persamaan (2.16) dan Persamaan (2.17) merupakan Persamaan Diferensial parsial, karena Persamaan (2.16) terdapat dua variabel bebas yaitu 𝑥, 𝑡 dan satu variabel tak bebas 𝑢. Untuk Persamaan (2.17) terdapat dua variabel bebas yaitu 𝑥, 𝑡 dan satu varibel tak bebas 𝑢.

Selanjutnya akan dibahas tentang persamaan Diferensial parsial (PDP). Definisi 2.10 (James W.B & Ruel V. Churchill 1993:24):

(21)

26

𝐴𝑢𝑥𝑥+ 𝐵𝑢𝑦𝑦+ 𝐶𝑢𝑥𝑦+ 𝐷𝑢𝑥+ 𝐸𝑢𝑦+ 𝐹𝑢 = 𝐺 (2.18)

dengan 𝑢 = 𝑢(𝑥, 𝑦), dimana 𝐴, 𝐵, 𝐶, . . . . 𝐺 merupakan konstanta atau fungsi dalam 𝑥 dan 𝑦. Apabila nilai dari 𝐺 = 0, maka Persamaan (2.18) dikatakan sebagai persamaan Diferensial parsial homogen. Jika nilai 𝐺 ≠ 0, maka Persamaan (2.18) dikatakan Persamaan Diferensial parsial nonhomogen.

Selanjutnya akan dibahas tentang Prinsip Superposisi.

Teorema 2.7 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005:130):

Jika 𝑦1, 𝑦2, 𝑦3, … 𝑦𝑘 adalah solusi dari Persamaan Diferensial homogen berorde 𝑛 dari Persamaan (2.17) pada interval I, maka kombinasi linearnya adalah

𝑦 = 𝑐1𝑦1(𝑥) + 𝑐2𝑦2(𝑥) + 𝑐3𝑦3(𝑥) + ⋯ + 𝑐𝑘𝑦𝑘(𝑥)

dimana 𝑐𝑖 untuk 𝑖 = 1,2, . . . . 𝑘 adalah konstanta, juga solusi dalam interval I.

Bukti :

Misalkan 𝐿 didefinisikan sebagai operator Diferensial dan

𝑦1(𝑥),𝑦2(𝑥), 𝑦3(𝑥), … 𝑦𝑘(𝑥) adalah solusi dari persamaan homogen, sehingga

𝐿(𝑦(𝑥)) = 0. Jika didefinisikan 𝑦 = 𝑐1𝑦1(𝑥) + 𝑐2𝑦2(𝑥) + 𝑐3𝑦3(𝑥) + ⋯ +

𝑐𝑘𝑦𝑘(𝑥), maka linearitas dari 𝐿 adalah

𝐿(𝑦) = 𝐿(𝑐1𝑦1(𝑥) + 𝑐2𝑦2(𝑥) + 𝑐3𝑦3(𝑥) + ⋯ + 𝑐𝑘𝑦𝑘(𝑥))

(22)

27

karena nilai dari 𝐿(𝑦(𝑥)) = 0, maka 𝐿(𝑦) = 𝑐1. 0 + 𝑐2. 0 + 𝑐3. 0 + ⋯ + 𝑐𝑘. 0 = 0 (Terbukti).

I. Solusi Persamaan Diferensial Parsial 1. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas

Untuk ilustrasi yang lebih mudah, dalam hal ini diambil tinjauan sebuah batang logam dengan panjang 𝑙 yang dipanasi dengan suhu tertentu. Misalkan

𝑢(𝑥, 0) menyatakan suhu pada posisi 𝑥 saat waktu 𝑡 sama dengan nol dan 0 <

𝑥 < 𝑙 , sehingga suhu saat 𝑡 = 0 untuk setiap posisi dikatakan masalah nilai

awal.

Secara umum syarat batas dibedakan menjadi tiga yaitu syarat batas Dirichlet, syarat Neumann, dan syarat batas Robin atau Campuran dari syarat batas Dirichlet dan Neumann. Syarat batas Dirichlet adalah syarat batas yang kedua ujung batang logam dipertahankan nol derajat, dalam hal ini yang digunakan untuk mempertahankan suhunya nol derajat adalah benda yang bersifat isolator. Misalkan 𝑢(𝑥, 𝑡) merupakan suhu pada posisi 𝑥 saat waktu ke 𝑡. Apabila syarat batas Dirichlet dituliskan dalam bentuk notasi matematika, maka 𝑢(0, 𝑡) = 𝑢(𝑙, 𝑡) = 0 dengan 𝑡 > 0.

Syarat batas Neumann adalah syarat batas yang perubahan suhu di kedua ujung batang logam dipertahankan 0 derajat. Misalkan 𝜕𝑢(𝑥,𝑡)

𝜕𝑥 merupakan perubahan suhu terhadap posisi. Apabila syarat batas Neumann dituliskan dalam notasi matematika, maka 𝜕𝑢(0,𝑡)

𝜕𝑥 = 𝜕𝑢(𝑙,𝑡)

(23)

28

Syarat batas Robin adalah syarat batas yang perubahan suhu pada posisi

𝑥 = 0 dipertahankan nol derajat, sedangkan suhu pada posisi 𝑥 = 𝑙

dipertahankan nol derajat. Apabila dituliskan dalam notasi matematika, maka 𝜕𝑢(0,𝑡)

𝜕𝑥 = 𝑢(𝑙, 𝑡) = 0 dengan 𝑡 > 0. Syarat batas Robin disebut juga syarat batas

campuran. Hal ini dikarenakan, syarat batas Robin merupakan kombinasi linear dari dari syarat batas Dirichlet dan Neumann (Dean G. Duffy, 2003 : 648).

2. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen

Definisi 2.11 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003:501): Diberikan Persamaan Diferensial linear berorde 2 berikut ini

𝑑 𝑑𝑥[𝑝(𝑥) 𝑑𝑦 𝑑𝑥] + [𝑞(𝑥) + 𝜆𝑟(𝑥)]𝑦 = 0 𝑝(𝑥)𝑑 2𝑦 𝑑𝑥2+ 𝑝′(𝑥) 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ [𝑞(𝑥) + 𝜆𝑟(𝑥)]𝑦 = 0, untuk 𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑏 (2.19)

dengan syarat batas 𝛼𝑦(𝑎) + 𝛽𝑦′(𝑎) = 0 dan 𝛾𝑦(𝑎) + 𝛿𝑦′(𝑏) = 0. Dalam hal ini nilai dari 𝑝(𝑥), 𝑞(𝑥), dan 𝑟(𝑥) merupakan fungsi bilangan real atas 𝑥, 𝜆 adalah suatu parameter. Nilai dari 𝛼, 𝛽, 𝛾, 𝛿 merupakan suatu konstanta real, sedangkan nilai dari 𝑝(𝑥) dan 𝑟(𝑥) merupakan suatu fungsi yang kontinu dan positif yang terletak pada interval 𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑏, sehingga Persamaan (2.19) disebut sebagai Masalah Sturm-Liouville.

Ketika 𝑝(𝑥) atau 𝑟(𝑥) hilang di salah satu ujung interval [𝑎, 𝑏] atau pada interval tak terbatas, masalah ini merupakan masalah Sturm-Liouville tunggal. Dengan mempertimbangkan solusi untuk masalah reguler Sturm-Liouville, diperoleh

(24)

29

solusi 𝑦 = 0 untuk semua nilai 𝜆. Namun, solusi nontrivial ada jika diambil nilai tertentu, nilai ini disebut nilai karakteristik atau nilai eigen. Nilai yang sesuai solusi nontrivial adalah disebut fungsi karakteristik atau fungsi eigen. (Dean G. Duffy, 2003 : 502).

Selanjutnya, akan ditentukan akar-akar karakteristik dari Persamaan (2.19). Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Akar-akar karakteristik riil berbeda

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah 𝑎 dan 𝑏, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1𝑒𝑎𝑥+ 𝑐

2𝑒𝑏𝑥 = 𝑐1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑎𝑥) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛ℎ (𝑏𝑥).

2. Akar-akar karakteristik riil kembar

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) suatu akar riil kembar yaitu 𝑎, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1𝑒𝑎𝑥+ 𝑐

2𝑥𝑒𝑎𝑥. 3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah

𝑎 + 𝑖𝑏 dan 𝑎 − 𝑖𝑏, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1𝑐𝑜𝑠(𝑏𝑥) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛(𝑏𝑥)

(25)

30 Contoh 2.9:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.20)

𝑋"(𝑥) − 𝑘2𝑋(𝑥) = 0. (2.20)

Persamaan karakteristik pada Persamaan (2.20) adalah

𝑚2 − 𝑘2 = 0

(𝑚 − 𝑘)(𝑚 + 𝑘) = 0

𝑚1,2 = ±𝑘

sehingga solusi umum Persamaan (2.20) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐3𝑒𝑘𝑥 + 𝑐4𝑒−𝑘𝑥 𝑋(𝑥) = (𝑐1+ 𝑐2 2 ) 𝑒 𝑘𝑥 + (𝑐1 − 𝑐2 2 ) 𝑒 −𝑘𝑥 𝑋(𝑥) = (𝑐1 2) 𝑒 𝑘𝑥 + (𝑐2 2) 𝑒 𝑘𝑥 + + (𝑐1 2) 𝑒 −𝑘𝑥− (𝑐2 2) 𝑒 −𝑘𝑥 𝑋(𝑥) = (𝑐1 2) 𝑒 𝑘𝑥 + (𝑐1 2) 𝑒 −𝑘𝑥+ (𝑐2 2) 𝑒 𝑘𝑥− (𝑐2 2) 𝑒 −𝑘𝑥 𝑋(𝑥) = 𝑐1(𝑒 𝑘𝑥 + 𝑒−𝑘𝑥 2 ) + 𝑐2( 𝑒𝑘𝑥− 𝑒−𝑘𝑥 2 ) 𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘𝑥) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛ℎ(𝑘𝑥).

(26)

31

𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘𝑥) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛ℎ(𝑘𝑥).

Contoh 2.10:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.21)

𝑋"(𝑥) − 2𝑘𝑋′(𝑥) + 𝑘2𝑋(𝑥) = 0. (2.21)

Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.21) adalah

𝑚2− 2𝑘𝑚 + 𝑘2 = 0

(𝑚 − 𝑘)2 = 0

𝑚1,2 = 𝑘

Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.21) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑒𝑘𝑥+ 𝑐

2𝑥𝑒𝑘𝑥.

Contoh 2.11:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan (2.22)

𝑋"(𝑥) + 𝑘2𝑋(𝑥) = 0. (2.22)

Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.22) adalah

𝑚2 + 𝑘2 = 0

(27)

32

𝑚1,2 = ±𝑘𝑖

sehingga solusi umum Persamaan (2.22) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐3𝑒𝑘𝑥𝑖+ 𝑐4𝑒−𝑘𝑥𝑖 𝑋(𝑥) = 𝑐3(𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑖 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥)) + 𝑐4(𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) − 𝑖 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥)) 𝑋(𝑥) = 𝑐3𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑖𝑐3𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) + 𝑐4𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) − 𝑐4𝑖 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) 𝑋(𝑥) = 𝑐3𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑐4𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑖𝑐3𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) − 𝑐4𝑖 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) 𝑋(𝑥) = (𝑐3+ 𝑐4)𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑖(𝑐3− 𝑐4) 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) 𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥)

Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.22) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥).

3. Ortogonal Fungsi Eigen

Diberikan fungsi 𝑓(𝑥) yang terdefinisi pada interval 𝑎 < 𝑥 < 𝑏. Kita dapat menuliskan 𝑓(𝑥) dalam bentuk fungsi eigen 𝑦𝑛(𝑥), sehingga

𝑓(𝑥) = ∑ 𝑐𝑛𝑦𝑛(𝑥)

𝑛=1

.

(2.23)

Setelah itu kalikan Persamaan (2.23) dengan 𝑟(𝑥)𝑦𝑚(𝑥) dengan 𝑚 adalah bilangan bulat dan integralkan Persamaan (2.23)dengan batas bawah 𝑎 dan batas atas 𝑏. Persamaan (2.23) dapat dituliskan menjadi

(28)

33 ∫ 𝑟(𝑥)𝑓(𝑥)𝑦𝑚(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑏 𝑎 ∑ 𝑐𝑛∫ 𝑟(𝑥) 𝑏 𝑎 𝑦𝑛(𝑥)𝑦𝑚(𝑥)𝑑𝑥 ∞ 𝑛=1 (2.24)

Bentuk Orthogonal yang berada di ruas kanan di Persamaan (2.24) nilainya akan sama dengan 0, kecuali nilai 𝑚 = 𝑛, sehingga Persamaan (2.24) menjadi

∫ 𝑟(𝑥)𝑓(𝑥)𝑦𝑚(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑏 𝑎 𝑐𝑚∫ 𝑟(𝑥) 𝑏 𝑎 𝑦𝑚(𝑥)𝑦𝑚(𝑥)𝑑𝑥 𝑐𝑚= ∫ 𝑟(𝑥)𝑓(𝑥)𝑦𝑚(𝑥)𝑑𝑥 𝑏 𝑎 ∫ 𝑟(𝑥)𝑎𝑏 𝑦𝑚2(𝑥)𝑑𝑥 (2.25)

kemudian Persamaan (2.25) disebut sebagai Koefisien Fourier secara umum (Dennis & Michael, 2009:401).

4. Metode Separasi Variabel

Metode Separasi Variabel merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah persamaan Diferensial parsial. Pada prinsipnya metode ini adalah mengkonversikan masalah persamaan Diferensial parsial ke dalam persaman Diferensial biasa.Langkah-langkah penyelesaian(Dean G. Duffy, 2003 : 574):

1. Subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan fungsi yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap fungsinya adalah perkalian.

2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – 𝜆 dengan 𝜆 merupakan bilangan riil. 3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga diperoleh Persamaan

(29)

34

4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai 𝜆 <

0, 𝜆 = 0 dan 𝜆 > 0 dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.

5. Berdasarkan langkah 4 tentukan nilai eigen dan fungsi eigen.

6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.

7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan diferensial linear homogen orde 2.

Contoh 2.12: 𝜕2𝑢 𝜕𝑡2 = 𝑐2 𝜕2𝑢 𝜕𝑥2. (2.26)

dengan syarat batas Dirichlet 𝑢(0, 𝑡) = 𝑢(𝑙, 𝑡) = 0. Langkah penyelesaian:

1. Ambil subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan fungsi yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap fungsinya adalah perkalian.

Ambil substitusi 𝑢(𝑥, 𝑡) = 𝑋(𝑥)𝑇(𝑡), sehingga diperoleh 𝜕2𝑢 𝜕𝑡2 = 𝑋(𝑥)𝑇"(𝑡) dan 𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 = 𝑋"(𝑥)𝑇(𝑡), kemudian hasilnya disubtitusikan ke

Persamaan (2.26), maka diperoleh 𝜕2𝑢

𝜕𝑡2 = 𝑐2

𝜕2𝑢

(30)

35

𝑋(𝑥)𝑇"(𝑡) = 𝑐2(𝑋"(𝑥)𝑇(𝑡)) (2.27)

2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – 𝜆 dengan 𝜆 merupakan bilangan riil. Sehingga, Persamaan (2.27) menjadi

𝑋(𝑥)𝑇"(𝑡) = 𝑐2(𝑋"(𝑥)𝑇(𝑡)) = −𝜆. (2.28)

3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga menjadi Persamaan diferensial biasa. 𝑇"(𝑡) 𝑐2𝑇(𝑡)= 𝑋"(𝑥) 𝑋(𝑥) = −𝜆. (2.29)

Berdasarkan Persamaan (2.29), sehingga diperoleh Masalah Sturm-Liouville 𝑋"(𝑥) 𝑋(𝑥) = −𝜆 (2.30) 𝑇"(𝑡) 𝑐2𝑇(𝑡)= −𝜆. (2.31)

4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai 𝜆 <

0, 𝜆 = 0 dan 𝜆 > 0 dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.

Kemungkinan 1: untuk nilai 𝜆 = −𝑘2 < 0, sehingga Persamaan (2.30) menjadi

𝑋"(𝑥) − 𝑘2𝑋(𝑥) = 0. (2.32)

Solusi umum Persamaan (2.32) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘𝑥) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛ℎ(𝑘𝑥).

(31)

36 𝑋(0) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘. 0) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛ℎ (𝑘. 0) 0 = 𝐶1. 1 + 𝐶2. 0 𝐶1 = 0 syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 → 𝑋(𝑥) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘𝑥) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛ℎ (𝑘𝑥) 𝑋(𝑙) = 0. 𝑐𝑜𝑠ℎ(𝑘𝑙) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛ℎ (𝑘𝑙) 0 = 𝐶2

karena 𝐶1 = 𝐶2 = 0, sehingga untuk nilai 𝜆 = −𝑘2 < 0 diperoleh solusi trivial.

Kemungkinan 2: untuk nilai 𝜆 = 0, sehingga Persamaan (2.30) menjadi

𝑋"(𝑥) = 0. (2.33)

Apabila kedua ruas pada Persamaan (2.33) diintegralkan, maka diperoleh

∫ 𝑋"(𝑥)𝑑𝑥 = ∫ 0 𝑑𝑥 𝑋′(𝑥) = 𝑐2 ∫ 𝑋′(𝑥)𝑑𝑥 = ∫ 𝑐2𝑑𝑥 𝑋(𝑥) = 𝑐1+ 𝑐2𝑥. Syarat batas 𝑋(0) = 0 → 𝑋(𝑥) = 𝐶1 + 𝐶2𝑥 𝑋(0) = 𝐶1 + 𝐶2. 0 𝐶1 = 0 syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 → 𝑋(𝑥) = 𝐶1+ 𝐶2𝑥

(32)

37

𝑋(𝑙) = 0 + 𝐶2. 𝑙

𝐶2 = 0

karena 𝐶1 = 𝐶2 = 0, sehingga untuk nilai 𝜆 = 0 diperoleh solusi trivial. Kemungkinan 3: untuk nilai 𝜆 = 𝑘2 > 0, sehingga Persamaan (2.30) menjadi

𝑋"(𝑥) + 𝑘2𝑋(𝑥) = 0. (2.34)

Solusi umum Persamaan (2.34) adalah

𝑋(𝑥) = 𝑐1𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥) syarat batas 𝑋(0) = 0 → 𝑋(𝑥) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠 (𝑘𝑥) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑥) 𝑋(0) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠 (𝑘. 0) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘. 0) 0 = 𝐶1. 1 + 𝐶2. 0 𝐶1 = 0 syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 → 𝑋(𝑥) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠 (𝑘𝑥) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑥) 𝑋(𝑙) = 0. 𝑐𝑜𝑠 (𝑘𝑙) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑙) 0 = 𝐶2𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑙).

Agar diperoleh solusi nontrivial, maka nilai 𝐶2 ≠ 0. Tetapi nilai dari 𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑙) = 0

(33)

38

5. Berdasarkan langkah 4, tentukan nilai eigen dan fungsi eigen. Nilai dari 𝑘 pada Persamaan (2.35) bergantung dengan 𝑛, sehingga 𝑘 = 𝑘𝑛. Oleh karena itu Persamaan (2.35) dapat dituliskan

𝑘𝑛𝑙 = 𝑛𝜋, 𝑛 = 1,2,3 ….

𝑘𝑛 =

𝑛𝜋

𝑙 , 𝑛 = 1,2,3 ….

Karena nilai dari 𝑋(𝑥) = 𝐶1𝑐𝑜𝑠 (𝑘𝑥) + 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑥), dengan 𝐶1 = 0, sehingga 𝑋(𝑥) = 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑥). Nilai dari 𝑘 bergantung pada 𝑛, hal tersebut berakibat nilai dari 𝑋(𝑥) juga bergantung pada 𝑛. Jadi, fungsi eigen dari Persamaan (2.34) adalah

𝑋𝑛(𝑥) = 𝐶2𝑠𝑖𝑛 (

𝑛𝜋

𝑙 𝑥) dengan 𝑛 = 1,2,3,4 ….

(2.36)

6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.

Selanjutnya akan ditentukan solusi dari Persamaan 𝑇"(𝑡)

𝑐2𝑇(𝑡)= −𝜆.

(2.37)

Mengingat nilai 𝜆 yang memenuhi adalah 𝜆 = 𝑘2 > 0 dan nilai 𝑘 bergantung pada 𝑛. Hal itu berakibat nilai dari 𝑇(𝑡) juga bergantung pada 𝑛, sehingga 𝜆𝑛 = 𝑘𝑛2 = (𝑛𝜋 𝑙 ) 2 , 𝑛 = 1,2,3 …. Persamaan (2.37) dapat dituliskan menjadi 𝑇"(𝑡) + 𝑐2𝑘2𝑇(𝑡) = 0

(34)

39

dan diperoleh solusi dari Persamaan (2.37) adalah

𝑇(𝑡) = 𝐶3𝑐𝑜𝑠(𝑐𝑘𝑡) + 𝐶4𝑠𝑖𝑛(𝑐𝑘𝑡) 𝑇𝑛(𝑡) = (𝐶3)𝑛𝑐𝑜𝑠 (𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 ) + (𝐶4)𝑛𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 ) (2.38) 7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan

diferensial linear homogen orde 2. Berdasarkan Persamaan (2.36) dan Persamaan (2.38) nilai dari 𝑋(𝑥), 𝑇(𝑡) bergantung pada 𝑛, sehingga nilai dari 𝑢(𝑥, 𝑡) juga bergantung pada 𝑛. Oleh karena itu, 𝑢(𝑥, 𝑡) = 𝑋(𝑥). 𝑇(𝑡) dapat dituliskan menjadi

𝑢𝑛(𝑥, 𝑡) = ((𝐶3)𝑛𝑐𝑜𝑠 (𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 ) + (𝐶4)𝑛𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 )) (𝐶2𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋 𝑙 𝑥)) (2.39)

dengan 𝑛 = 1,2,3 … Apabila Persamaan (2.39) diubah dengan menggunakan prinsip superposisi, maka didapatkan

𝑢(𝑥, 𝑡) = ∑ ((𝐶3)𝑛𝑐𝑜𝑠 (𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 ) + (𝐶4)𝑛𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑐𝑡 𝑙 )) (𝐶2𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋 𝑙 𝑥)) ∞ 𝑛=1 (Walter A. Strauss, 1992 : 83).

Definisi 2.12 Deret Fourier ( Dennis G Zill & Warren Wright 2013: 427): Deret fourier pada fungsi 𝑓 yang terdefinisi pada interval (−𝑝, 𝑝)adalah

𝑓(𝑥) =𝑎0 2 + ∑ (𝑎𝑛𝑐𝑜𝑠 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 ) + 𝑏𝑛𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 )) ∞ 𝑛=1 dengan 5. Deret Fourier

(35)

40 𝑎0 =1 𝑝 ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 𝑝 −𝑝 𝑎𝑛 =1 𝑝 ∫ 𝑓(𝑥)𝑐𝑜𝑠 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 ) 𝑑𝑥 𝑝 −𝑝 𝑏𝑛 =1 𝑝 ∫ 𝑓(𝑥)𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 ) 𝑑𝑥 𝑝 −𝑝 Contoh 2.13:

Akan ditentukan deret Fourier dari 𝑓(𝑥) = {−𝑥, jika − 1 < 𝑥 < 0 𝑥, jika 0 < 𝑥 < 1.

Berdasarkan Definisi (2.12) tentang deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari 𝑎0 = 1 1( ∫ −𝑥𝑑𝑥 0 −1 + ∫ 𝑥𝑑𝑥 1 0 ) = −1 2𝑥 2] −1 0 +1 2𝑥 2] 0 1 = 1 𝑎𝑛 = 1 1( ∫ −𝑥𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)𝑑𝑥 0 −1 + ∫ 𝑥𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)𝑑𝑥 1 0 ) 𝑎𝑛 = −𝑥 𝑛 𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥) − 1 𝑛2𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)] −1 0 +𝑥 𝑛𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥) + 1 𝑛2𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)] 0 1 𝑎𝑛 = 2 (𝑛𝜋)2((−1) 𝑛− 1) 𝑏𝑛 = 1 1( ∫ −𝑥𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥)𝑑𝑥 0 −1 + ∫ 𝑥𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥)𝑑𝑥 1 0 ) = 0

(36)

41 𝑏𝑛 = 𝑥 𝑛𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥) − 1 𝑛2𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥)] −1 0 +−𝑥 𝑛 𝑠𝑖𝑛(𝑛𝜋𝑥) + 1 𝑛2𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)] 0 1 = 0

Jadi, deret Fourier dari 𝑓(𝑥) adalah

𝑓(𝑥) =𝑎0 2 + ∑ (𝑎𝑛𝑐𝑜𝑠 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 ) + 𝑏𝑛𝑠𝑖𝑛 ( 𝑛𝜋𝑥 𝑝 )) ∞ 𝑛=1 𝑓(𝑥) =1 2+ ∑ ( 2 (𝑛𝜋)2((−1)𝑛− 1)𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥)) ∞ 𝑛=1 𝑓(𝑥) =1 2− 4 𝜋2 ∑ ( 𝑐𝑜𝑠(𝑛𝜋𝑥) 𝑛2 ) ∞ 𝑛=1,3,5…

(Mayer Humi & William B. Miller, 1992:80). J. Sifat-Sifat Perambatan Panas

Menurut Holman(2010:6), dalam proses perambatan panas terdapat beberapa sifat yang perlu diperhatikan, diantaranya.

1. Panas hanya mengalir dari suhu yang tinggi menuju suhu yang rendah. 2. Kecepatan perambatan panas dipengaruhi oleh konduksi bahan

penyusunnya.

3. Ketebalan batang logam, panjang batang logam, luas penampang, dan volume penampang.

Gambar

Gambar 2.1 Ilustrasi Garis singgung
Gambar 2.2 Partisi Sumbu
Gambar 2.3 Fungsi

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antifungi perasan daun

The quantitative yields of polar lipid fatty acids (PLFA) and PLFA composition of soils and humic acids were compared with absorbance spectra (200±850 nm) of lipid extracts

PENGGUNAAN MEDIA ANIME “KOTONOHA NO NIWA” DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PUISI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu. Subana, Rahadi, dan

Dengan menggunakan metode penelusuran diatas didapatkan dua studi dengan uji klinis mengenai pemberian G-CSF pada pasien acute on chronic liver failure dan

Sekolah juga mempunyai faktor kelemahan dalam aspek ouput yaitu kurangnya waktu untuk kegiatan ekstrakurikuler, kekhawatiran orang tua bahwa kemungkinan lulusan

merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita, yang telah dapat.. mengatasi percobaan dan ujian sejarah, sehingga kita meyakini sedalam-dalamnya.

Pada hari ini Rabu tanggal Dua puluh sembilan bulan Juni tahun Dua Ribu Enam Belas kami Pokja Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Manggarai, telah melaksanakan download

Apalagi di Indonesia banyak sekali jenis tanaman yang mampu untuk dijadikan sebua produk dan usaha, salah satunya adalah buah nangka, buahnya yang manis dan