• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP DENSITAS, WAKTU HANCUR DALAM AIR, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH KOTORAN SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP DENSITAS, WAKTU HANCUR DALAM AIR, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH KOTORAN SAPI"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP

DENSITAS, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS

PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH

KOTORAN SAPI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknik

Oleh :

AHMAD MUSLIM RIFA’I NIM. I 1406518

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan,

maka bersama kesulitan pasti ada kemudahan

(Q.S. Al-Insyirah: 5-6)”

(3)

“Memiliki semangat untuk hidup akan jauh lebih hidup dari pada hanya merasa hidup”

Hidup adalah perjuangan hadapi dengan senyuman

karena hidup ini indah”

Karya ini kupersembahkan kepada:

¾

Bunda dan Ayahku tercinta

terima kasih untuk kasih sayang dan doa yang engkau panjatkan demi puteramu ini, jerih payah dan pengorbananmu akan jadi hal yang takkan sanggup terbalaskan

(4)

commit to user

doa dan kesetiaanmu adalah peyulut api semangat, you are my

everything

¾

Kedua Kakakku dan keponakanku serta adikku tersayang

terima kasih dorongan dan keceriaan yang kalian berikan

¾

Keluarga Besar Teknik Mesin UNS

(5)

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP

DENSITAS, WAKTU HANCUR DALAM AIR, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH

KOTORAN SAPI

AHMAD MUSLIM RIFA’I Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret

Intisari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui densitas, waktu hancur dalam air, ketahanan impak dan kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit. Pellet dibuat dengan campuran dari kotoran sapi dengan menggunakan molasses sebagai perekatnya. Komposisi yang digunakan adalah 50 % kotoran sapi dan 50 %

molasses. Variasi yang digunakan adalah diameter lubang output pada mesin pembuat pellet. Proses pembuatannya adalah kotoran sapi dan molasses dicampur terlebih dahulu dengan persentasi yang telah ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam mesin pembuat pellet dengan variasi diameter lubang luaran. Pengujian yang dilakukan meliputi, uji ketahanan impak, uji densitas, uji hancur dalam air, dan kapasitas produksi. Hasil penelitian menunjukan ketahanan impak pupuk pellet biokomposit pada variasi lubang diameter 12 mm, 10mm dan 8 mm cenderung semakin meningkat. Demikian juga untuk waktu kapasitas produksinya. Pada diameter lubang output 12 mm nilainya lebih besar dibandingkan dengan diameter 10 mm dan 8 mm. Untuk nilai densitas, pada variasi diameter lubang output 12 mm, 10 mm dan 8 mm cenderung berbanding terbalik. Pada diameter lubang output 8 mm memiliki nilai densitas yang lebih besar daripada nilai densitas pada diameter lubang output 10 mm dan 12 mm.

Kata Kunci: biokomposit, kotoran sapi, molasses, pellet

EFFECT OF HOLE DIAMETER OUTCOME ON DENSITY, DISINTEGRATION TIME IN WATER, IMPACT RESISTANCE, AND PRODUCTION CAPACITY OF FERTILIZER BIOCOMPOSITE PELLETS

(6)

commit to user

AHMAD MUSLIM RIFA’I

Mechanical Engineering Sebelas Maret University

Abstract

The purpose of this study was to determine the density, when crushed in water, impact resistance and fertilizer production capacity biocomposite pellets. Pellets made with a mixture of cow manure by using molasses as an adhesive. The composition used was 50% cow manure and 50% molasses. The variation used is the output hole diameter on pellet machine. The manufacturing process is the cow manure and molasses mixed in advance with predetermined percentage, then inserted into the pellet machine with output hole diameter variation. Tests conducted included, impact resistance test, density test, tests crushed in water, and production capacity. The result showed resilience impact biocomposites fertilizer pellets on 12 mm diameter hole variation, 10mm and 8 mm tend to increase. Similarly, for the production capacity. At 12 mm diameter hole output value is larger than the diameter of 10 mm and 8 mm. For density values, the variation of the output hole diameter 12 mm, 10 mm and 8 mm tend to be inversely proportional. At the output of 8 mm diameter hole has a value greater density than the density values in the output hole diameter of 10 mm and 12 mm.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah dan

bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP DENSITAS,

KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK

BIOKOMPOSIT LIMBAH KOTORAN SAPI. Adapun tujuan penulisan

skripsi ini adalah untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar

sarjana teknik di Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sangat mendalam kepada semua

pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini,

khususnya kepada :

1. Bapak Zainal Arifin, S.T., M.T. selaku pembimbing I dan Bapak Prof. Dr.

Kuncoro Diharjo, S.T., M.T. selaku pembimbing II yang dengan sabar dan

penuh pengertian telah memberikan banyak bantuan dalam penelitian dan

penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dody Ariawan, S.T., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin

Fakultas Teknik UNS.

3. Bapak Eko Prasetya Budiana, S.T., M.T., Bapak Ir. Wijang Wisnu Raharjo,

M.T., Bapak Dody Ariawan, S.T., M.T., selaku dosen penguji.

4. Bapak Prof. Dr. Kuncoro Diharjo, S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Teknik

UNS.

5. Bapak Bambang Kusharjanta, S.T, M.T. selaku pembimbing akademik.

6. Dosen-dosen Teknik Mesin FT UNS yang telah membuka wacana keilmuan

penulis.

7. Ibu Hj. Daryati dan Bapak H. Damami, S.Pd yang selalu mendo’akan dan

menyayangiku

8. Farlina Wahyulistyo, SE yang selalu mendampingiku saat suka dan duka

9. Bapak H. Paryono dan Ibu Sri Wahyuni, terimakasih do’anya

10.Mas Muhson Rifa’i dan Mbak Erna serta si kecil Fadly yang selalu

(8)

commit to user

11.Anwar Rifa’i yang selalu menyemangatiku

12.Teman-teman mahasiswa Teknik Mesin UNS

13.Seluruh civitas akademika Teknik Mesin UNS

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan. Oleh karena itu, bila ada saran, koreksi dan kritik demi kesempurnaan

skripsi ini, akan penulis terima dengan ikhlas dan dengan ucapan terima kasih.

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap skripsi ini dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Surakarta, April 2011

(9)

DAFTAR ISI

BAB II. DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.3 Pengujian Sampel Pellet Pupuk Biokomposit ... 15

2.3.1 Pengujian Densitas ... 15

2.3.2 Pengujian Ketahanan Impak ... 16

2.3.3 Kapasitas Produksi Mesin ... 17

(10)

commit to user

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi ... 7 Tabel 2.2 Pengaruh macam-macamperekat ... 12 Tabel 4.1.a Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit ... 24 Tabel 4.1.b Perbandingan Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

(12)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peternakan sapi milik pondok pesantren Abdurrahman bin Auf ... 2

Gambar 2.1 Konsep mesin pres untuk pembuatan POP ... 9

Gambar 2.2 Alat uji ketahanan impak ... 16

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ... 18

Gambar 3.2 Rawmaterial kotoran sapi kering ... 19

Gambar 3.3 Molasses (tetes tebu) ... 20

Gambar 3.4 Mesin Pembuat Pellet ... 20

Gambar 3.5 Tabung pencampur ... 22

Gambar 3.6 Set up peralatan proses pencampuran ... 22

Gambar 4.1 Kurva hubungan variasi diameter pellet dengan ketahanan impak (IRI) ... 24

Gambar 4.2 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan densitas rata-rata ... 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alat Penelitian ... 32

Lampiran 2. Bahan Penelitian ... 33

Lampiran 3. Hasil Pengujian Ketahanan Impak ... 34

Lampiran 4. Data Awal ... 35

(14)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penggunaan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan semakin

berkembang. Dahulu limbah kotoran ternak merupakan salah satu masalah yang

berdampak sistemik bagi lingkungan di sekitar area peternakan. Dewasa ini kotoran

sapi mulai dikembangkan ke arah energi alternatif dan pemanfaatan pupuk organik.

Karena kurangnya pengetahuaan para petani akan pendayagunaan pupuk organik

maka para petani lebih memilih pupuk kimiawi yang mudah didapat. Sesuai

dengan data Lembaga Penelitian Tanah (LPT) akibat pemakaian pupuk kimiawi,

79% tanah sawah di Indonesia bahan organik (BO) sangat rendah. Kondisi ini

memerlukan penyembuhan. Untuk meningkatkan kandungan bahan organik,

dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10

ton/hektar. Kebutuhan pupuk organik yang sangat besar memicu peneliti dalam

mengkaji dalam usaha menciptakan pupuk organik yang tepat guna.

Berdasarkan peninjauan di lapangan, Pondok Pesantren Abdurrahman bin

Auf yang berada di Klaten (Jawa Tengah) memiliki luas lahan kurang lebih

mencapai lima hektar. Pondok Pesantren Abdurahman bin Auf memiliki beberapa

unit usaha, diantaranya peternakan ayam, peternakan bebek, peternakan angsa,

peternakan kambing dan peternakan sapi. Pondok Pesantren memiliki santri

sebanyak 120 orang dan 30% diantaranya aktif dalam bidang swadaya peternakan

tersebut. Dengan jumlah sapi mencapai 100 ekor, volume kotoran yang dapat

dimanfaatkan juga sangat besar. Seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat

dan cair sekitar 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari (Undang, 2002). Jika Pondok

Pesantren tersebut memiliki 100 ekor sapi dengan rata-rata kotoran yang dihasilkan

adalah 2.360 kg/hari untuk kotoran sapi berwujud padat dan 910 kg/hari untuk

kotoran sapi berwujud cair. Sebagian besar kotoran basah sapi dimanfaatkan untuk

kepentingan biogas dan pupuk kandang berwujud cair. Namun, beberapa masalah

juga timbul dari kotoran sapi pasca biogas yang dinilai cukup potensial jika diteliti

(15)

lebih baik dari pada kotoran sapi baru. Gas metan yang terkandung di dalam

kotoran sapi tersebut sangat tidak dibutuhkan oleh tanaman pertanian.

Gambar 1.1. Peternakan sapi milik Pondok Pesantren Abdul Rahman

Bin Auf Klaten

Beberapa penelitian tentang limbah ternak kotoran sapi semakin banyak

mendatangkan manfaat. Selain untuk keperluan biogas, kotoran sapi ini dapat

mendatangkan manfaat lain seperti dijadikan pupuk organik untuk keperluan

pertanian. Pupuk organik bisa berasal dari kotoran hewan ternak (pupuk kandang)

dan bisa pula dari pembusukan dedaunan. Untuk pupuk organik yang berasal dari

kotoran hewan, material penyusun utamanya adalah kotoran sapi dan kambing.

Namun, selain mudah didapat dalam aplikasinya kotoran sapi lebih banyak

digunakan sebagai bahan dasar pupuk kompos organik. Seiring dengan

perkembangan teknologi pupuk organik, banyak berbagai macam bentuk pupuk

organik diantaranya adalah:

1. Pupuk Organik Granul (berbentuk bulatan dengan demensi tertentu)

Pupuk dalam bentuk granul mempunyai keunggulan baik pada proses

handling di lapangan (penyebaran) dan proses packing yang cukup baik.

Namun, pupuk granul ini memiliki kelemahan pada proses pembuatan yang

cukup panjang. Selain itu, pupuk dalam bentuk granul tidak mudah hancur

dalam air dan memiliki harga yang cukup mahal.

2. Pupuk Organik Bokhasi (berbentuk box/trapesium dengan dimensi sesuai

kebutuhan) pupuk ini sangat mudah dibuat namun dengan mencampurkan

(16)

commit to user

air daun dan lain sebagainya. Kelemahan pupuk organik bokhasi adalah

bentuk kurang baik dan proses packing yang sulit.

3. Pupuk Organik Curah (serbuk/powder)

Proses pembuatan pupuk curah yang cukup mudah karena mirip dengan

proses pembuatan pupuk bokhasi yang dilanjutkan dengan proses

penghancuran (crushing). Pupuk dalam bentuk serbuk memiliki kelemahan

pada proses handling di lapangan yang cukup sulit, karena ukuran partikel

serbuk yang terlalu kecil dan ringan.

4. Pupuk Organik Cair (berbentuk cair berasal dari urin sapi dan zat lainya)

Pupuk dalam bentuk ini sangat baik jika dilihat dari proses hancurnya.

Namun kelemahan dari pupuk berbentuk cair adalah kadungan nutrisi yang

ada dalam pupuk ini tidak sebanding dengan pupuk organik yang berasal

dari kotoran sapi padat.

5. Pupuk Organik Pelet (berbentuk silinder dan berdimensi sesuai kebutuhan)

Bentuk pelet merupakan bentuk baru yang sedang dikembangkan

Sebelumnya beberapa peneliti berusaha menemukan komposisi yang tepat

campuran antara kotoran sapi dengan bahan pencampurnya. Namun seiring dengan

perkembangan pupuk kompos yang yang berasal dari kotoran sapi diperlukan

proses pembuatan pupuk yang lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi yang

ada, di antaranya dengan menggunakan mesin pellet. Mesin pellet yang digunakan

menyerupai mesin pellet yang digunakan untuk membuat pakan ternak. Pupuk

yang dibuat ini dinamakan pupuk organik biokomposit, karena tidak menggunakan

bahan kimia sehingga bersifat organik. Hal ini sesuai dengan perkembangan

teknologi pertanian saat ini yaitu dengan memanfaatkan pupuk organik yang

mempunyai dampak lebih bagus daripada pemanfaatan pupuk kiimia. Dimana

pengertian dari pupuk organik biokomposit itu sendiri adalah penggabungan dua

unsur yang berasal dari biosif menjadi satu antara pupuk kompos limbah biogas

dan perekat tetes tebu (binder) dengan persentasi yang ditentukan.

(17)

Limbah kotoran sapi yang ada ternyata berjumlah banyak. Tetapi

penangananan limbah tersebut masih terbatas secara konvensional. Hal ini

dikarenakan terdapat kendala dalam pengolahannya. Oleh karena itu perlu adanya

suatu proses yang tepat dalam menangani limbah ini. Salah satunya adalah dengan

dibuatnya pellet pupuk biokomposit dengan bahan limbah kotoran sapi ini. Maka

dibuat penelitian ini mengenai pengaruh diameter lubang luaran terhadap densitas,

ketahanan impak dan kapasitas produksi pellet pupuk biokomposit.

1.3 Batasan Masalah

Untuk menentukan arah penelitian yang baik, ditentukan batasan masalah

sebagai berikut:

a) Pengambilan bahan material kotoran sapi sudah melewati tahap pengomposan

mengunakan bakteri STARBIO®.

b) Distribusi partikel limbah kotoran sapi diasumsikan homogen.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

a) Mengetahui besarnya densitas dari pupuk pellet biokomposit

b) Mengetahui besarnya ketahanan impak pupuk pellet biokomposit

c) Mengetahui besarnya kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit

1.5 Manfaat Penelitian

a) Manfaat bagi Mahasiswa: Dapat memahami proses pembuatan, mengetahui

fungsi dan menemukan bentuk baru untuk pupuk organik yang berasal dari

kotoran sapi.

b) Manfaat bagi Perguruan Tinggi: Meyakinkan kepada masyarakat/industri akan

kemampuan dalam pengembangan teknologi, khususnya teknologi pupuk

organik dibidang pertanian.

c) Manfaat bagi Pemerintah: Mengurangi akan keberadaan pupuk tanaman

nasional bersubsidi yang membebani negara dengan adanya pupuk organik

(18)

commit to user

d) Manfaat dari aspek ekonomi: Harga pupuk organik komersil lebih murah dan

dapat dikembangkan secara mandiri.

e) Manfaat bagi tanah/tanaman pertanian: Meningkatkan kesuburan tanah,

(19)

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Undang (2002) dalam penelitiannya seekor sapi mampu menghasilkan

kotoran padat dan cair 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari. Seekor sapi muda yang sudah

dikebiri akan memproduksi 15-30 kg kotoran/hari. Namun, kotoran sapi yang

masih baru tidak dapat langsung dipakai sebagai pupuk tanaman, tetapi harus

mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa bahan

organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai

pupuk tanaman antara lain adalah:

a) Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik

berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman,

b) Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara

ke dalam tanah,

c) Struktur bahan organik segar sangat kasar dan dayanya terhadap air kecil,

sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi

sangat remah,

d) Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga

pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum

digunakan sebagai pupuk.

Iwan (2002) meneliti akan kandungan nitrogen (N), phospor (P) dan kalium

(K) dalam kotoran sapi potong tertera pada Tabel 2.1. Hasil analisis

laboratorium Lokal Penelitian Sapi Potong dan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian) Jawa Timur terhadap kompos organik (hi-grade) produksi Lokal

(20)

commit to user

Tabel. 2.1. Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi (Iwan, 2002)

Kotoran sapi tidak serta merta langsung bisa digunakan sebagai pupuk

tanaman atau campuran media tanam karena masih mengandung gas-gas berbahaya

yang bisa mematikan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan pupuk kandang harus

melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Tahap pertama kotoran sapi

difermentasikan dan dicampur dengan bahan-bahan organik seperti cacahan

gedebog pisang atau cacahan rumput. Setelah tercampur ditambah kapur dan

difermentasikan kembali selama tiga sampai empat hari sesuai dengan kebutuhan.

Jika dalam skala besar biasanya jangka yang diperlukan sekitar 14 sampai 21 hari.

Selanjutnaya ditambahkan tepung dedak, tepung jagung, molasses (tetes tebu) dan

pemberian starter (bakteri pembusuk). Strater dibuat sendiri di laboratorium

tanaman hias. Perkembangan bakteri pembusuk saat ini telah berhasil dibuat dan

mengembangkan sebanyak dua belas macam starter diantaranya: DMAZ®

(Dekomper MAZ), STARDA® (strater Dahsyat), STARBIO® (Starter bio),

STARKO® (Strater komplit), PSBB® (Phosphat solubilizing Bactery

Bengkalis-pelarut fospat dari bengkalis) dan lai sebagainya (Windukencana, 2009).

Dalam penelitian ini digunakan kotoran sapi sisa hasil biogas. Pada kotoran

ini tidak berbau lagi dikarenakan sudah diberikan bakteri pengurai seperti

STARBIO®, buatan dari PT. Lembah Hijau Multifarm Solo. Serbuk pengurai

limbah organik (tinja, lemak, rambut, sampah makanan dan lain-lain) yang apabila

terkena air berubah menjadi miliaran mikroba yang memangsa kotoran organik

dalam septic tank anda serta memangsa bakteri yang mengeluarkan bau tidak

sedap. STARBIO® merupakan produk terbaru teknologi canggih yang akan

membantu kita mengatasi masalah kotoran ternak, septic tank /saluran limbah

(21)

menguraikan limbah menjadi bahan asal alami yang tidak berbau. Dalam septic

tank, STARBIO® bekerja memangsa endapan isi septic tank yang sudah menahun

dan menguraikannya menjadi bahan alami, kembali ke tanah, tanpa bau, beracun,

ramah lingkungan (Taufiq, 2008).

Widyawati (2006) menyatakan bahwa fungsi molasses bagi pupuk kompos

adalah dapat menghambat kandungan gas metan (CH4) yang terkandung di dalam

kotoran hewan ternak. Kadar metan dalam kotoran hewan merupakan unsur yang

paling tidak dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu molasses juga berfungsi

mengoptimalkan sintesis protein mikroba pada tanah dan juga mampu

menyediakan energi tersedia, sumber nitrogen untuk aktivitas dan pertumbuhan

mikrobia dalam rumen khususnya bakteri golongan selulolitik dan hemiselulolitik

tercermin dari degradasi serat kasarnya.

Iwan (2002) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat dibuat menjadi beberapa

jenis kompos yaitu curah, blok, granula dan bokhasi. Kompos sebagai pupuk

organik yang berbahan kotoran sapi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

pupuk anorganik. Selain itu, kompos juga mempunyai prospek dan peluang yang

besar untuk dipasarkan secara lebih meluas untuk mengurangi ketergantungan

petani terhadap pupuk kimia. Penyediaan kompos organik yang berkelanjutan dan

praktis dapat mempermudah petani untuk memanfaatkannya sebagai penyubur

tanah dan tanaman pertaniannya.

Isroi (2009) melakukan penelitian tentang macam-macam bentuk pupuk

organik. Pupuk organik yang umum dikemas dalam bentuk granul atau dikenal

dengan istilah POG (Pupuk Organik Granul). Bentuk granul dipilih karena petani

sudah terbiasa dengan pupuk granul. Dalam hal ini petani mengalami masalah

karena terbiasa dengan pemakaian pupuk granul yang sudah dilnilai paling

sempurna dalam keseharianya. Bentuk granul juga memudahkan untuk aplikasi dan

pengemasan. Salah satu kelemahan POG adalah proses produksinya yang cukup

sulit. Pembuatan POG minimal harus melewati 7 tahap pembuatan. Setiap tahapan

ada tingkat kesulitannya tersendiri.

Isroi (2009) melakukan penelitian tentang perbandingan bentuk pupuk secara

fungsional. Keunggulan POP (Pupuk Organik Pelet) bentuk alternatif pupuk

(22)

commit to user

yaitu: kemudahan aplikasi, pengemasan, dan transportasi. Keunggulan yang lain

adalah proses pembuatan yang lebih singkat dan mudah.. Tidak adanya pupuk

organik yang berbentuk pelet di pasaran merupakan salah satu pemicu utama dari

dibentuknya POP ini. Tantangan POP kemungkinan adalah resistensi dari petani.

Keunggulan penting POP adalah dari sisi teknik dan biaya produksi. Tahapan

produksi POP sangat singkat dan sederhana. Tahapan pentingnya hanya 4 tahap

saja. Jadi bisa menghemat sekitar tiga tahap. Tahapan ini juga akan berimbas pada

ongkos produksi. Karena tahapannya yang sederhana dan singkat dan relatif murah.

Harga POP bisa dibuat murah, kira-kira bisa 30-50% dari harga POG. Berikut

adalah tahap-tahap dalam pembuatan POP (Pupuk Organik Pelet):

1. Pengomposan bahan mentah

2. Pencampuran dengan bahan-bahan lain

3. Pembuatan pelet

4. Pengeringan

5. Pengemasan

Adapun peralatan yang dibutuhkan adalah. (Isroi, 2009) :

1. Mesin pelet

2. Pengering (jika perlu)

3. Alat-alat pendukung:

a) Meja conveyor

b) Pisau pemotong pelet

(23)

Sugondo (2000) melakukan penelitian tentang manufaktur pelet, Di mana

pelet mentah dapat dibentuk dengan pengepresan uniaksial. Pada proses ini

diperlukan bahan pengikat (perekat) dan pelumas (lubricant). Pengikat

dimaksudkan untuk menambah daya ikat antar partikel sehingga tidak terjadi

keretakan dan laminasi. Pelumas dimaksudkan untuk mengurangi keausan dinding

cetakan (die) dan meningkatkan daya geser partikel. Pelumas yang digunakan

dalam peletisasi uranium dioksida ialah seng stearat dan tidak digunakan senyawa

pengikat lain.

Diposeno (2010) melakukan penelitian tentang variasi campuran antara

kotoran sapi dengan molasses. Untuk campuaran terbaik perbandingan antara

kotoran sapi dengan molasses yaitu sebesar 50:50, yaitu 50% kotoran sapi dan 50%

molasses.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Komposit dan Komposit Partikel

Zulfia (2008) menyatakan bahwa pengertian komposit merupakan

perpaduan dari dua material atau lebih yang memiliki fasa yang berbeda menjadi

suatu material baru yang memiliki propertis lebih baik dari keduanya. Jika

perpaduan ini terjadi dalam skala makroskopis maka disebut sebagai komposit.

Zulfia (2008) menyatakan bahwa kotoran sapi yang sering digunakan

sebagai material komposit adalah kotoran kering yang sudah berbentuk butiran atau

berbentuk partikel. Hal ini merupakan perpaduan antar dua partikel yang berbeda

antara partikel unsur padat dan kering atau disebut gabungan partikel komposit.

Fungsi dari komposit partikel atau komposit yang berbentuk partikel lebih bersifat

sebagai penguat (Particulate composites). Interaksi antara partikel dan matrik

terjadi tidak dalam skala atomik atau molekular. Partikel seharusnya berukuran

kecil dan terdistribusi merata ke segala bidang. Sebagai contoh dari large particle

composite: cement sebagai matriks dan sand sebagai partikel atau gravel sebagai

(24)

commit to user

2.2.2 Biokomposit

Harizamrry (2008) melakukan penelitian tentang biokomposit. Biokomposit

adalah gabungan dari dua kata bio dan komposit. Bio itu sendiri adalah suatu unsur

yang berasal dari bahan-bahan organik. Sedangkan komposit yang berarti suatu

material yang terdiri dari dua atau lebih material yang di gabungkan secara makro

(digabungkan secara mekanis), membentuk material baru dengan sifat yang lebih

baik. Jadi dapat disimpulkan secara umum, biokomposit adalah gabungan dua atau

lebih material yang digabungkan secara makro namun material penggabungannya

hanya material yang bersifat organik. Hal ini tentunya untuk membentuk material

baru yang memiliki sifat lebih baik. Dalam prosesnya pembuatan material

biokomposit hampir sama dengan proses pembuatan biomassa namun yang

membedakan adalah fungsinya. Biasanya material komposit adalah material yang

digunakan untuk komoditas bahan atau material komponen. Sedangkan biomassa

biasanya digunakan untuk komoditas bahan bakar pemanfaatan energi alternatif.

2.2.3 Perekat (Binder)

Vest (2003) meneliti tentang pengepresan material padat. Bahwa pada

pengepresan (kompaksi) tekanan rendah membutuhkan bahan perekat untuk

membantu pembentukan ikatan diantara partikel pada sampel. Penambahan

pengikat yang digunakan dalam pengepresan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu

bahan perekat organik dan anorganik. Bahan-bahan perekat organik antara lain:

molasses, coaltar, bitumen, kanji dan resin; sedangkan bahan pengikat anorganik

antara lain: tanah liat, semen, lime, dan sulphite liquior.

Ozbayoglu (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh macam-macam

pengikat pada pengepresan Angouran Smithsonite Fines. Berikut adalah data

pengujian pada pengepresan Angouran Smithsonite Fines pada kandungan perekat

5%, kandungan air 6%, tekanan pengepresan 200 kg/cm² dan temperatur

(25)

Tabel. 2.2 Pengaruh macam-macam perekat (Kristanto, 2007).

Binder (%) Crushing Load (kg/sampel)

-

Hinkle dan Rosenthal (2003) menyatakan bahwa fungsi utama perekat

dalam proses pengepresan adalah sebagai bahan perekat/pengikat. Dengan adanya

perekat, maka sampel yang dihasilkan pemilihan jenis dan kandungan perekat yang

tepat akan sangat menentukan kualitas sampel yang akan dibuat. Ada beberapa

kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih perekat yang akan digunakan

sebagai pengikat, antara lain:

a) Kesesuaian antara perekat dengan bahan yang akan diikat.

b) Kemampuan perekat untuk dapat meningkatkan sifat-sifat material

pengepresan.

c) Kemudahan untuk memperolehnya.

(26)

commit to user

2.2.4 Tetes Tebu (Molasses)

Winoto (2009) manyatakan bahwa, tebu merupakan salah satu jenis

tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis.

Perkebunan tebu di Indonesia menempati luas areal + 232 ribu hektar, yang

tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Dari seluruh

perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% di antaranya adalah perkebunan

rakyat, 30% perkebunan swasta, dan hanya 20% perkebunan negara. Pada tahun

2002 produksi tebu Indonesia mencapai +2 juta ton. Tebu-tebu dari perkebunan

diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula. Dalam proses produksi di pabrik gula,

ampas tebu dihasilkan sebesar 90% dari setiap tebu yang diproses, gula yang

termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa molasses (tetes tebu) dan air.

Molasses merupakan salah satu hasil sampingan pabrik gula yang memiliki

sukrosa sekitar 30 % dan gula reduksi sekitar 25 %, berupa glukosa dan fruktosa.

Molasses masih dapat diolah menjadi beberapa produk lain seperti gula cair,

penyedap makanan (MSG), alkohol dan dry yeast untuk roti, protein tunggal, pakan

ternak, asa citric dan acetic acid alcohol. (Kristanto, 2007).

Selama ini medium fermentasi yang sering digunakan untuk produksi

alginat baik oleh bakteri A. Vinelandii maupun P.aerugionosa adalah media sintetis.

Molasses merupakan hasil samping industri gula yang mengandung senyawa

nitrogen, trace element dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama kandungan

sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37% (Suastuti, 1998).

2.2.5 Proses Pembuatan Pellet

Proses pengolahan pellet terdiri dari 3 tahap yaitu, (Pujoningsih, 2004):

a. Pengolahan Pendahuluan, ditujukan untuk pemecahan dan pemisahan

bahan-bahan pencemar atau kotoran dari bahan-bahan yang akan digunakan.

b. Pembuatan pellet, terdiri atas proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan.

c. Perlakuan akhir, terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan

Pada proses pembuatan pellet terdapat proses pengkondisian dimana

campuran bahan pakan dipanaskan dengan air dengan tujuan untuk gelatinisasi.

Tujuan gelatinisasi yaitu agar terjadi pencetakan antar partikel bahan penyusun

(27)

bagus. Gelatinisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari imbibisi air,

pembengkakan granula sampai granula pecah. Pecahnya granula pati disebabkan

karena pemanasan melebihi batas pengembangan granula. Penguapan dilakukan

dengan bantuan steam boiler yang uapnya diarahkan ke dalam campuran. Apabila

pencampuran dilakukan dengan mixer jenis beton molen, proses penguapan

dilakukan sambil mengaduk campuran tersebut. Penguapan tidak boleh dilakukan

diatas suhu yang diizinkan, yaitu sekitar 800C. Beberapa mesin cetak pellet

berkapasitas sedang dan besar mempunyai fasilitas penguapan ini. Jadi, penguapan

atau steaming tidak dilakukan pada saat pencampuran, tetapi pada saat pencetakan,

(Pujoningsih, 2004).

Pencetakan

Setelah semua bahan baku tercampur secara homogen, langkah selanjutnya

adalah mencetak campuran tadi menjadi bentuk pellet. Mesin pencetakan sederhana

bisa merupakan hasil modifikasi gilingan daging yang diberi penggerak berupa

motor listrik atau motor bakar. Perbedaan mendasar antara mesin pencetak pellet

sederhana dan mesin pencetak pellet yang digunakan di industri pakan terletak

pada sistem kerja mesin tersebut. Sistem kerja mesin cetak sederhana adalah

dengan mendorong bahan pakan campuran di dalam sebuah tabung besi atau baja

dengan menggunakan ulir (screw) menuju cetakan (die) berupa pelat berbentuk

lingkaran dengan lubang-lubang berdiameter 2-3 mm, sehingga pakan akan keluar

dari cetakan tersebut dalam bentuk pellet. Kelemahan sistem ini adalah diperlukan

tambahan air sebanyak 10-20% kedalam campuran pakan, sehingga diperlukan

pengeringan setelah pencetakan tersebut. Penambahan air dimaksudkan untuk

membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga bisa keluar melalui

cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam campuran, mesin akan

macet. Di samping itu, pellet yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang

padat, (Pujoningsih, 2004).

Pengeringan

Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam

pakan menjadi kurang dari 14%. Proses pengeringan perlu dilakukan apabila

(28)

commit to user

mesin pellet sistem kering, cukup dikering-anginkan saja hingga uap panasnya

hilang, sehingga pellet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk

tepung. Proses pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik

matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada cuaca, higienitas atau

kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai tercemar debu, kotoran

dan gangguan hewan atau unggas yang dikhawatirkan akan membawa bibit

penyakit. Mesin pengering yang umum digunakan sangat beragam, diantaranya

oven pengering. Dalam oven pengering, pellet basah disimpan dalam baki dan oven

dipanaskan dengan bantuan kompor minyak tanah, batu bara atau bahan bakar

lainnya. Penyimpanan pellet dalam baki tidak boleh terlalu tebal, supaya dihasilkan

pengeringan yang merata dan harus sering dibalik supaya tidak gosong. Yang perlu

diperhatikan apabila menggunakan alat pengering adalah suhu pemanasan tidak

boleh lebih dari 800 C. Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi akan merusak

kandungan nutrisi pakan, serta membuat pakan menjadi terlalu keras, (Pujoningsih,

2004).

2.3 Pengujian Sampel Pellet Pupuk Biokomposit

2.3.1 Pengujian Densitas

Densitas suatu material merupakan perbandingan antara berat dan volume

dari material tersebut. Penentuan densitas dapat dilakukan berdasarkan ASTM

D1037-99, dengan rumus:

t

K : konstanta (1 untuk satuan dalam SI atau 0,061 untuk satuan dalam inch-pound)

(29)

Pengujian ini mangacu pada standard pengujian Fuel Briquettes (ASTM

D2677-67T), untuk ketahanan jatuh dari suatu briket dijatuhkan dari ketinggian ± 2

meter dan diamati kerusakannya. Sampel dijatuhkan berulang kali sampai hancur.

(2.2)

Dari rumus ini kita dapat mengambil hasil IRI (Impack Resistance Index)

untuk nilai ambang batas yang dipenuhi adalah sebesar 50 poin, jika dihitung

menggunakan rumus IRI hasil dari kesepuluh sampel dapat dikatakan baik jika

lebih dari nilai 50 (Physical Testing of Fuel Briquettes ,1989).

20

0

40

Ø3,5

Gambar 2. 2. Alat uji ketahanan impak

2.3.3 Kapasitas Produksi Mesin

Untuk kapasitas produksi mesin pellet dihitung dengan cara besarnya pellet

yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu, pada penelitian ini selama satu menit.

Setelah satu menit mesin dihentikan kemudian pellet yang dihasilkan ditimbang

(30)

commit to user

dalam satuan gram, setelah itu di cari berapa jumlah pellet yang di dapat dari berat

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Digram Alir Penelitian

MULAI

MEMBUAT ALAT STUDI EKSPERIMENTAL UNTUK PROSES HOMOGENITAS Merancang tabung homogenitas pencampuran kotoran sapi dengan molasse

ANALISA DATA:

Data yang diperoleh dari beberapa sampel uji:

1. Analisa data ketahanan impak 2. Analisa data besarnya densitas

3. Analisa data besarnya kapasitas produksi

KESIMPUL STUDI SIFAT FISIS DAN MEKANIS:

- Pencarian data sekunder dari

Uji Ketahanan Impak

Uji Densitas Kapasitas Produksi MEMBUAT DIAMETER LUBANG

(32)

commit to user

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April -November 2010. Bertempat di

Laboraturium Material, Laboraturium Proses Produksi Jurusan Teknik Mesin

Universitas Sebelas Maret Surakarta

3.3 Bahan Penelitian

1. Bahan dasar yang digunakan adalah kotoran sapi kering residu biogas yang

sudah berbentuk powder, berasal dari peternakan sapi perah yang berada di

Podok Pesantren Aburrahman bin Auf (Klaten).

Gambar 3.2. Rawmaterial kotoran sapi kering

Kotoran sapi ini telah mengalami proses fermentasi atau pembuatan pupuk

organik secara terbuka. Dengan mencampurkan kotoran sapi dengan bakteri

pengurai bernama BIOSTAR dan jerami, diaduk dan didiamkan selama 2

sampai 3 minggu. Setelah benar-benar kering kemudian pupuk organik

dihancurkan menggunakan mesin crushing. Kotoran sapi sudah tidak berbau

lagi dan memiliki struktur yang cukup kering dan berbentik partike/serbuk.

Adapun persentase perbandingan dari proses pengomposan pupuk adalah:

kotoran sapi + 10 % jerami : STARBIO : air = 8 : 1 : 1.

2. Molasses (tetes tebu) yang berasal limbah proses produksi gula pasir, berasal

(33)

Gambar 3.3. Molasses (tetes tebu)

3.4 Peralatan Penelitian

a) Timbangan Digital

b) Mesin pembuat pellet

c) Jangka Sorong

3.4.1 Mesin Pembuat Pellet

Gambar 3.4. Mesin Pembuat Pellet

Cara kerja dari mesin pembuat pellet adalah sebagai berikut: gaya pada

motor di teruskan ke gear box, gear box mentransmisikan gaya dari arah horizontal

(34)

commit to user

menggerakkan shaft yang sudah terhubung dengan screw pencetak, sesuai dengan

arah putaran shaft secara torsional screw menekan bahan kearah keluar mendesak

keluar melalui celah-celah pencetak.

Pellet mentah dapat dibentuk dengan pengepresan uniaksial. Pada proses ini

diperlukan bahan pengikat (binder) dan pelumas (lubricant). Pengikat

dimaksudkan untuk menambah daya ikat antar partikel sehingga tidak terjadi

keretakan dan laminasi. Pelumas dimaksudkan untuk mengurangi keausan dinding

die dan meningkatkan daya geser partikel. Pelumas yang digunakan dalam

peletisasi uranium dioksida ialah seng stearat dan tidak digunakan senyawa

pengikat lain, (Sugondo, 2000).

3.5 Tahap Penelitian

1. Tahap pengambilan bahan, pengambilan bahan dasar kotoran sapi diperoleh

dari peternakan sapi perah di Pondok Pesantren Abdurahman bin Auf di

Delanggu.

2. Tahap pengambilan molasses (tetes tebu), diambil dari limbah pabrik gula

pasir yang berada di daerah Karanganyar.

3. Tahap pencampuran, dengan variasi kandungan kotoran sapi dengan molasses

50:50.

4. Tahap pembuatan pellet, dengan memasukkan campuran kotoran sapi dengan

molasses ke dalam mesin pembuat pellet dengan variasi diameter lubang

output 12 mm, 10 mm, dan 8 mm.

5. Tahap pengujian, pengujian ketahanan impak dengan alat uji jatuh dengan cara

sampel dijatuhkan pada ketinggian 2 meter ,yang mengacu pada standard

ASTM D 2677-67T, pengujian densitas mengacu pada standard ASTM

D1037-99 dan penghitungan besarnya kapasitas produksi.

6. Tahap analisa data, dengan pengambilan data dari ke tiga pengujian tersebut

(35)

3.6 Teknik Pelaksanaan

3.6.1 Proses Pencampuran

Pada dasarnya penelitian ini menggunakan metode spray up. Karena raw

material yang dipakai berbentuk serbuk (powder) maka metode spray up dilakukan

di dalam tabung tertutup (tabung pencampur) yang sudah dimodefikasi dengan

lubang masukan dan lubang keluran udara.

Gambar 3. 5. Tabung pencampur

Lubang masukan dan keluaran udara pada tabung pencampur bertujuan agar dapat

menciptakan arus terbulensi yang memudahkan dalam proses pencampuran.

Kotoran sapi dan molasses dapat tercampur secara homogen akan memudahkan

proses pencampuran, proses manufaktur dan pengujian sampel pellet pupuk

biokomposit.Berikut adalah set up peralatan spary up ditunjukan pada gambar 3.6.

di bawah ini.

(36)

commit to user

3.6.2 Proses Pembuatan Pellet

Proses pembuatan pellet adalah sebagai berikut:

1. Cetakan dipasang terlebih dahulu untuk diameter 12 mm.

2. Memanasi barrel dengan heater dalam waktu 5 menit dengan suhu 120°C.

3. Kemudian setelah mesin dinyalakan adonan dimasukkan ke dalam hopper

4. Kotoran sapi akan masuk dalam barrel menuju cetakan lubang luaran dan

keluar berupa pellet.

(37)

BAB IV

ANALISA DATA

4.1 Ketahanan Impak Pellet Pupuk Biokomposit

Pengujian ketahanan impak sampel pupuk pellet biokomposit dapat dilihat

pada gambar 4.1.a

Tabel 4.1.a Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

No Diameter

(mm) Banyaknya nilai jatuh

Banyaknya

sampel IRI (poin)

1 8 22 10 220

2 10 27 10 270

3 12 32 10 320

Gambar 4.1. Kurva hubungan variasi diameter pellet dengan ketahanan

impak (IRI)

Ketahanan sampel pupuk pellet biokomposit ditunjukkan dengan nilai IRI

poin (impack resistance indect). Untuk variasi diameter lubang output 12 mm

memiliki nilai IRI yang terbesar yaitu sebesar 320 poin. Sedangkan nilai IRI yang

terendah pada variasi diameter 8 mm yaitu sebesar 220 poin.

Dari perolehan data dapat dilihat bahwa diameter ouput semakin besar maka

nilai IRI poin juga akan semakin besar. Semakin besar diameter output maka pupuk

pellet biokomposit juga semakin besar pula. Sehingga semakin besar pupuk pellet

biokomposit maka ketahanan impaknya juga akan semakin besar pula. Hal ini

menunjukkan bahwa IRI poin dipengaruhi oleh besarnya ukuran dari diameter

(38)

commit to user

bikomposit akan semakin besar juga sehingga cenderung lebih kuat dan lebih tahan

apabila menerima tekanan. Semakin besar ukuran dari diameter sampel maka nilai

IRI-nya akan semakin besar pula.

Tabel 4.1.b Perbandingan Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

dengan Kotoran Kambing

Apabila dibandingkan dengan kotoran kambing nilai IRI dari pupuk pellet

biokomposit sangat terpaut jauh. Untuk kotoran kambing mempunyai IRI poin

sebesar 802 poin. Walau memiliki kekuatan impak yang lebih rendah daripada

kotoran kambing, pupuk pellet biokomposit sudah memiliki kekuatan impak yang

termasuk bagus. Tujuan dari penelitian ini tidak hanya mencari kekuatan impak

yang paling besar saja.

4.2 Densitas

Nilai densitas rata-rata dari pellet pupuk biokomposit adalah sebagai berikut:

(39)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan densitas

rata-rata

Untuk nilai densitas pupuk pellet biokomposit, pada diameter lubang output

8 mm, nilai densitas 0,00212 gr/mm3. Sedangkan pada diameter 10 mm memiliki

nilai densitas 0,0014 gr/mm3. Pada diameter 12 mm densitas yang dihasilkan

sebesar 0,00136 gr/mm3.

Besarnya nilai densitas berkebalikan dengan besarnya diameter lubang

keluaran. Pada diameter yang besar, dalam hal ini 12 mm, densitas pupuk pellet

biokomposit cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan densitas dari pupuk

pellet biokomposit yang memliki diameter yang lebih kecil, yaitu 10 mm dan 8

mm. Diameter lubang luaran berpengaruh terhadap besar kecilnya pellet yang

1 1.56 2.22 3.81 0.0019 0.0014 0.0014

2 1.68 2.2 3.55 0.002 0.0014 0.0013

3 1.8 2.29 3.76 0.0022 0.0015 0.0014 4 1.74 2.12 3.62 0.0022 0.0013 0.0013 5 1.84 2.15 3.91 0.0023 0.0014 0.0014

(40)

commit to user

dihasilkan, dengan penekanan yang sama maka untuk diameter lubang luaran yang

lebih besar akan mengakibatkan mudah keluar dari pellet tersebut, sehingga

kerapatan yang ada cenderung kecil. Untuk diameter lubang luaran yang lebih kecil

akan menyebabkan pellet yang keluar lebih susah sehingga kerapatan menjadi lebih

besar. Karena dengan ukuran yang lebih besar maka kerapatan tentu saja lebih

rendah bila dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil. Sehingga untuk diameter

lubang keluaran yang kecil, dalam hal ini 8 mm, memiliki kerapatan yang lebih

besar sehingga densitas juga lebih besar pula (0,00212 gr/mm3).

4.3 Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi dari mesin pellet dapat dilihat pada gambar 4.3

Tabel 4.3 Kapasitas Produksi Pupuk Pellet Biokomposit.

No Diameter (mm)

Berat rata-rata sampel (gram)

Kapasitas Produksi (pcs/min)

1 8 1.724 110.59

2 10 2.196 98.83

(41)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan besarnya

kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit

Kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit dengan diameter 8 mm adalah

sebesar 110,59 pcs/min. Sedangkan pada diameter 10 mm kapasitas produksinya

sebesar 98,53 pcs/min. Untuk kapasitas produksi pellet dengan diameter 12 mm,

yaitu sebesar 62,86 pcs/min.

Besarnya kapasitas produksi dipengaruhi oleh diameter luaran mesin pellet.

Diameter yang besar memang akan menghasilkan pellet dengan jumlah yang lebih

sedikit daripada diameter yang lebih kecil. Karena diameter yang lebih kecil akan

menghasilkan pellet dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jumlah yang

dihasilkan pun akan lebih banyak dibandingkan dengan diameter yang lebih besar

(42)

commit to user

BAB V

PENUTUP

5. 1. Kesimpulan

Kesimpulan

1. Densitas pellet pupuk biokomposit diameter 8 mm sebesar 0,0021 gr/mm3,

diameter 10 mm sebesar 0,0014 gr/mm3, diameter 12 mm sebesar 0,0013

gr/mm3

2. Nilai IRI pellet pupuk biokomposit untuk diameter 8 mm sebesar 220 poin,

diameter 10 mm sebesar 270 poin, diameter 12 mm sebesar 320 poin

3. Besarnya kapasitas produksi untuk diameter luaran 8 mm sebesar 110,59

pcs/min, untuk diameter luaran 10 mm sebesar 98,53 pcs/min, untuk

diameter luaran 12 mm sebesar 62,86 pcs/min.

4. Ketahanan impak pupuk pellet biokomposit pada variasi lubang diameter 12

mm, 10mm dan 8 mm cenderung semakin meningkat. Pada diameter lubang

output 12 mm nilainya lebih besar dibandingkan dengan diameter 10 mm

dan 8 mm.

5. Untuk nilai densitas dan kapasitas produksi, pada variasi diameter lubang

output 12 mm, 10 mm dan 8 mm cenderung berbanding terbalik. Pada

diameter lubang output 8 mm memiliki nilai densitas yang lebih besar

daripada nilai densitas pada diameter lubang output 10 mm dan 12 mm.

5. 2. Saran

Untuk lebih mengembangkan penelitian tentang pupuk pellet biokomposit,

maka penulis menyarankan :

1. Untuk penelitian selanjutnya dalam pembuatan pupuk pellet biokomposit

disarankan untuk memeprgunakan daya motor yang lebih besar.

2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak variasi dari

Gambar

Tabel 2.1 Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi  .........................   7
Gambar 1.1. Peternakan sapi milik Pondok Pesantren Abdul Rahman
Tabel. 2.1. Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi (Iwan, 2002)
Gambar 2.1. Konsep mesin pres untuk pembuatan POP (Isroi, 2009) commit to user
+7

Referensi

Dokumen terkait

4.2 Kesesuaian Penerapan Pemungutan dan Pelaporan PPh Pasal 22 BUMN KBM Komersial Kayu Semarang dengan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasakan peraturan Menteri Keuangan Republik

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas (Class Action Research) yakni suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif

Langkah awal dari perencanaan ini adalah menetapkan kelas yang akan dijadikan objek penelitian yaitu kelas VII, menetapkan materi pelajaran yaitu tentang badan

Berdasarkan studi komparasi yang dilakukan terhadap dua objek yang sama-sama menggunakan material bambu sebagai material utamanya maka objek Papendangan juga akan menggunakan

Berdasarkan pendapat tersebut serta uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam

Yoghurt mempunyai tekstur yang agak kental sampai kental atau semi padat dengan kekentalan yang homogen akibat dari penggumpalan protein karena asam organik yang

Dalam penyusunan makalah Tugas Akhir Prarancangan Pabrik ini penyusun telah banyak menerima bantuan, petunjuk dan bimbingan yang sangat bermanfaat dari berbagai pihak.. Oleh sebab

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk menganalisis penghapusbukuan sebagai bentuk penyelesaian kredit macet dan akibat hukum penghapusbukuan oleh bank terhadap utang debitur