• Tidak ada hasil yang ditemukan

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian 2. Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian 2. Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua"

Copied!
257
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

Bagian – 2

Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan

Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber

(3)

ii

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Undang-undang Hak Cipta

Pasal 2.

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling lambat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(4)

iii

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

Bagian – 2

Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan

Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan

Pangan Di Tanah Papua

Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding

Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak

Harisetijono, Hendrison Ondi

Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI

(5)

iv

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

(Bagian–2)

Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah

Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua

ISBN 978-979-1280-01-3

@ Tim Penulis

Cetakan Pertama, November 2013

Gambar Sampul :

Pulau Yop Meos, Sagu, Kelapa Hutan (Pandanus brossimos Merr. &

Perry ), Buah Negri, Kelapa Hutan (Pandanus julianettii Mart.), Buah

Markisa Muda, Terong Belanda, Kaum, Aibon (Bruguiera gymnorhiza)

Penerbit :

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi - Susweni, Manokwari - Papua Barat

www.balithutmanokwari.com

(6)

v

“Kami mendedikasikan buku ini

untuk mereka yang bekerja dengan hati

di Tanah Papua dan menaruh perhatian

pada keanekaragaman tumbuhan dan

lingkungan, para mentor kami dan seluruh

(7)

vi

Buku ini dipersembahkan untuk saudara kami terkasih :

Luigi Agape Heipon

(In memorial)

Atas dedikasinya pada Dunia Tumbuhan dan Lingkungan di Tanah Papua.

Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih atas semua yang dilakukan dan pengorbanan tanpa pamrih kepada mereka yang membutuhkan jasanya (Peneliti, Dosen, Mahasiswa dan

Pelajar),

serta kebaikannya yang pernah diberikan kepada kita

Semoga kehidupan abadi diberikan Tuhan Yesus Kristus kepadanya, dan memberikan kekuatan bagi keluarga yang telah ditinggalkan

(8)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

vii

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

xiii

UCAPAN TERIMAKASIH

xv

SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN

MANOKWARI

xvii

I.

PENDAHULUAN

1

II.

KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA

6

A. A. Potensi Jenis Endemik

6

B. B. Kondisi Saat Ini

11

C. C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua

20

III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA

21

A. A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial

21

B. B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua

22

IV. MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis) SERTA

PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN

JAYAWIJAYA

25

A.

4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.)

26

(9)

viii

B. B. Kondisi Sosio-Geografis

28

C.

C. Ekologi Habitat Markisa

52

1.

1. Faktor Fisiografis

52

2.

2. Suhu Udara dan Kelembaban

54

3.

3. Keadaan Tanah

56

D. D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah

58

1.

1. Potensi Tegakan

58

2.

2. Potensi Buah

59

D.

E. Kandungan Gizi Markisa

60

E.

F. Etnobotani Markisa dalam Budaya Suku Dani

61

F.

G. Konservasi Tradisional

61

G.

H. Status Konservasi

62

H.

I. Prospek Pengembangan

62

4.2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)

65

A.

A. Deskripsi Botani

65

B.

B. Ekologi Habitat Buah Negri

67

1.

1. Faktor Fisiografis

67

2.

2. Suhu udara dan Kelembaban

70

3.

3. Keadaan Tanah

71

C.

C. Potensi Tegakan dan Buah

74

1.

1. Potensi Tegakan

74

2.

2. Potensi Buah

74

(10)

ix

E.

E. Etnobotani Buah Negri dalam Budaya Suku Dani

76

F.

F. Konservasi Tradisional

77

G.

G. Status Konservasi

78

H.

H. Prospek Pengembangan

78

V.

TERONG BELANDA (Cyphomandra betaceae

Sendt.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU

DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA

82

A.

A. Deskripsi Botani

83

B.

B. Kondisi Sosio-Geografis

84

C.

C. Ekologi Habitat Terong Belanda

84

1.

1. Faktor Fisiografis

87

2.

2. Suhu Udara dan Kelembaban

89

3. 3. Keadaan Tanah

90

1. D. Potensi Tegakandan Buah

92

a. b. Potensi Tegakan

92

c. d. Potensi Buah

93

D.

E. Kandungan Gizi Terong Belanda

94

F.

F. Etnobotani Terong Belanda dalam Budaya Suku

Dani

95

G.

G. Konservasi Tradisional

96

H. H. Status Konservasi

96

(11)

x

VI

BUAH KELAPA HUTAN (Pandanus brosimus dan

Pandanus julianettii) DAN PEMANFAATANNYA

OLEH SUKU LANI DI KABUPATEN TOLIKARA

101

A. A. Deskripsi Botani

101

B. B. Kondisi Sosio-Geografis

108

C. C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan

126

1. 1. Faktor Fisiografis

128

2. 2. Suhu Udara dan Kelembaban

131

3. 3. Keadaan Tanah

132

D. E. Potensi Tegakandan Potensi Buah

133

1. 1. Potensi Tegakan

133

2. 2. Potensi Buah

134

F. F. Kandungan Gizi Kelapa Hutan

135

G. G. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku Lani

154

H.

H. Konservasi Tradisional

140

I. I. Status Konservasi

141

J.

J. Prospek Pengembangan

142

VII BUAH KAUM (Burckella obovata (Forst.) Pierre)

DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI

KABUPATEN BIAK NUMFOR

146

A. A. Deskripsi Botani

146

B. B. Kondisi Sosio-Geografis

153

(12)

xi

1. 1. Faktor Fisiografis

169

2. 2. Suhu Udara dan Kelembaban

173

3. 3. Keadaan Tanah

175

D. D. Potensi Tegakandan Buah

177

1. 1. Potensi Tegakan

177

2. 2. Potensi Buah

178

E. E. Kandungan Gizi Buah Kaum

180

E. F. Etnobotani Buah Kaum dalam Budaya Suku Biak

182

G. G. Konservasi Tradisional

184

F.

H. Status Konservasi

186

I. I. Prospek Pengembangan

186

VIII BUAH AIBON (Bruguiera gymnorhiza Lamk.) dan

PEMANFAATANNYA

OLEH

SUKU

BIAK

DI

KABUPATEN SUPIORI

189

A. A. Deskripsi Botani

189

B. B. Kondisi Sosio-Geografis

194

C. C. Ekologi Habitat Aibon

210

1. 1. Faktor Fisiografis

211

2. 2. Suhu Udara dan Kelembaban

213

3. 3. Keadaan Tanah

214

D. D. Potensi Tegakandan Buah

217

1. 1. Potensi Tegakan

217

2. 2. Potensi Buah

218

(13)

xii

F. F. Etnobotani Aibon dalam Budaya Suku Biak Numfor

223

G. G. Konservasi Tradisional

224

H. H. Status Konservasi

225

I. I. Prospek Pengembangan

225

PENUTUP

226

PUSTAKA ACUAN

228

Glosary

233

Indeks

250

Indeks Nama Ilmiah

260

(14)

xiii

SAMBUTAN KEPALA BADAN

Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sangat tinggi. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian pula dengan pemanfaatannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional.

Buku ini merupakan bagian atau seri ke 2 yang merupakan lanjutan dari buku “Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian 1”. Buku ini mengungkapkan lebih lanjut keanekaragaman flora tanah Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan prospek pengembangannya sebagai diversifikasi bahan pangan. Buku ini sangat menarik, karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga jelas untuk dikenal.

Penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi penyedia iptek dalam pengembangan penelitian keanekaragaman flora dan manfaatnya (etnobotani) di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua. Karena, pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik

(15)

xiv

sepanjang dilakukan proses transformasi generasi berikutnya dengan baik.

Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Harisetijono, Hendrison Ondi, Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan semoga karya ini dapat terus dilanjutkan. Semoga buku kedua ini akan bermanfaat dan merupakan perintis bagi karya-karya selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan di Indonesia.

November 2013

(16)

xv

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu Tahun 2011 dan Tahun 2012 yang merupakan hasil kerjasama Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap penerbitan buku ini, yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari yang bersedia menerbitkan karya kami ini; Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono, M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu sehingga buku ini dapat diterbitkan; Kepala Kampung Nabunage di Kabupaten Tolikara, Kepala Kampung Hom-Hom di Kabupaten Puncak Jaya, Kepala Kampung Anggaduber di Kabupaten Biak dan Kepala Kampung Biniki di Kabupaten Supiori yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian ini dapat berlangsung; Laboratorum Tanah Fakultas Pertanian UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas

(17)

xvi

Teknologi Pertanian UGM yang telah membantu dalam proses analisis tanah dan kandungan gizi.

Akhirnya kami menyadari bahwa buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua, masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini memberikan manfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman dan manfaat flora di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.

Manokwari, November 2013 KL, EB, PAD, WFR, HS, HO, CDH, HYL

(18)

xvii

Sambutan Kepala Balai Penelitian

Kehutanan Manokwari

Buku Re-Diversivikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua ini merupakan bagian 2 atau lanjutan dari Buku Re-Diversivikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 1): Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua. Sama halnya dengan buku pertama, buku kedua ini juga merupakan hasil sintesa penelitian insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa Pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2011 dan 2012. Buku ini adalah merupakan karya para penulis yang ditulis berdasarkan hasil penelitian untuk memperkenalkan keanekaragaman flora dan pemanfaatannya (etnobotani), terutama jenis-jenis yang termuat dalam bagian kedua edisi buku ini.

Di dalam buku ini penulis menguraikan secara singkat tentang status taksonomi, deskripsi jenis, ekologi habitat, potensi jenis, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi tradisional dan prospek pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan baku pangan alternatif beserta gambar (foto-foto) sehingga mudah untuk dikenal. Ketekunan para penulis dalam merangkum dan mewujudkan dalam suatu buku adalah prestasi luar biasa dan merupakan karya monumental yang sangat berharga bagi generasi

(19)

xviii

mendatang. Semoga buku ini merupakan awal yang baik untuk menghasilkan karya-karya luar biasa berikutnya. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada namun dengan tujuan yang mulia, saya sambut penerbitan buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Bahan Pangan di Tanah Papua, semoga bermanfaat.

Manokwari, November 2013

Ir. Harisetjono, M.Sc. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

(20)

1

Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam bentuk-bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan hutan.

Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik. Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang tergantung pada penyesuaian kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember, 1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik pada beberapa etnik di Papua.

(21)

2

Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun lalu. Menurut Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya, Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kabery pada tahun yang sama di Jayapura dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen, Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee

et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan

sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada tahun 1963 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya).

Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam, Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama.

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat membantu dalam menyediakan informasi awal bagi penelitian selanjutnya. Namun sejauh ini informasi yang dihimpun jarang ditindaklanjuti, sehingga pengetahuan lokal masyarakat mengenai sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum banyak terungkap. Penelitian tersebut sesungguhnya sangat menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia

(22)

3

budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa.

Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah menjadi indikator penting perlunya pengembangan potensi sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini. Sumbangan yang diberikan berupa peningkatan ekonomi masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) perlu mendapat tempat tersendiri dalam aktivitas ekonomi dan perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi keberlanjutan produktivitas hutan, upaya semacam ini memiliki resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil.

Menurut Barber et al (1997), pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, namun permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat dan masih beroperasinya beberapa HPH. Kondisi ini perlu disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari pengetahuan lokal yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan.

(23)

4

Menurut Whittmore (1966) dalam Powell (1976), studi etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan khususnya yang berasal dari biji dan buah-buah hutan kurang mendapat perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada masa lalu sumber makanan tambahan (suplement

food) yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki

nilai penting dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea. Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat terbatas. Disisi lain, aplikasi kajian etnobotani, khususnya bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki masyarakat etnik Dani di Wamena, Lani di Tolikara, Biak di Pulau Biak serta Biak di Pulau Supiori. Permasalahan yang muncul adalah apakah potensi jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan pangan masih potensial di hutan alam Papua? dan apakah masyarakat lokal masih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan pangan alternatif? untuk menjawab masalah tersebut maka sangat diperlukan penelitian dalam upaya mengumpulkan informasi pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam.

Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan

(24)

5

pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah.

Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua. Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan di Tanah Papua.

(25)

6

A. Potensi Jenis Endemik

Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, kawasan ini masih tersimpan banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan flora malesiana (Petocz, 1987).

Menurut Primak (1998), keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, belum dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatan dalam rangka peningkatan

(26)

7

kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional.

Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah :

1. Paijsman (1976), marga Angiospermae sebanyak 1.465 telah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan 9.000 jenis (spesies) 2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah

flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis (spesies)

3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui 20.000 jenis (spesies)

4. Jhons (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat tinggi 20.000-25.000 jenis (spesies)

Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis (spesies) flora Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (Steenis-Kruseman, Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia,

Flora Malesiana I (1).1950) :

1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis (spesies) 2. Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 jenis (spesies)

namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis (spesies) tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu)

3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis (spesies) tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu)

(27)

8

4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 jenis (spesies) tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu. 5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara

6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor, Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya

Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis (spesies) tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan masing-masing daerah di Indonesia.

Keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua dengan kisaran 20.000-25.000 jenis (spesies), merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui 10.000 dalam tahun-tahun mendatang. Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan mereka.

Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data

(28)

9

perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan seperti hampir dilupakan.

Tabel 1. Kekayaan jenis (spesies) endemik flora di beberapa daerah di Indonesia

Wilayah Kekayaan Spesies Endemik Persentase Spesies Endemik (%) Sumatera 820 11 Jawa 630 5 Kalimantan 900 33 Sulawesi 520 7 Sunda kecil 150 3 Maluku 380 6 Papua 1030 55

Sumber : FAO/Mackinnon (1981) dalam Kusmana dan Hikmat 2005

Tabel 2 menunjukan jumlah koleksi herbarium selama kurun waktu Tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di Papua (New Guinea). Selama kurun waktu Tahun 1951-2008, jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di Papua. Hal ini menunjukan bahwa penelitian dan ekspedisi taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua masih sangat rendah sehingga perlu untuk ditingkatkan.

(29)

10

Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Papua dan beberapa daerah di Indonesia

TAHUN 1817 - 1950 TAHUN 1951 - 2008 PULAU LUAS (KM2) JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM RATA-RATA NOMOR KOLEKSI PER 100 KM2 JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM JUMLAH NOMOR KOLEKSI HIDUP Papua (New Guinea) 2.980.155 196.755 3,6 2.150 (Papua) 946 (Papua) Maluku (Moluccas) 63.575 27.525 43 22.216 1.173 Sulawesi (Celebes) 182.870 32.350 18 15.420 1.834 Nusa Tenggara 98.625 24.546 25 4.365 3.638 Kalimantan (Borneo) 739.175 91.550 12 28.820 (Kalimantan) 2.739 (Kalimantan) Jawa (Java) 132.474 247.522 25 4.363 3.638 Sumatera (Andalas) 479.513 87.900 18 26.966 3.357 Sumber : Kartawinata, 2010

(30)

11

Dalam buku bagian pertama telah disebutkan ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua, Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai Utara, Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian Timur pulau Papua dan Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di “kepala burung (Vogelkop)” pulau Papua memiliki arti yang strategis dalam potensi keanekaragaman hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi.

Selain ke 4 kabupaten tersebut, pada buku bagian kedua ini akan dibahas 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti yaitu Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori. Ke 4 kabupaten tersebut juga memiliki etnik atau suku yang cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya terdapat di Tanah Papua saja) dan indigenous (native species) yang merupakan jenis tumbuhan asli Tanah Papua dengan penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku (Moluccas), Sulawesi (Celebes), Jawa (Java), Sumatera (Andalas) dan Kalimantan (Borneo).

(31)

12

B. Kondisi Saat Ini

Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 2761, dan dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa dan bahasa tersebut, 5 di antaranya sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya hanya tertinggal 271 suku bahasa dari suku-suku tersebut. Saat ini telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).

1)

Data Summer Institute of Linguistik, tahun 2011

Gambar 1. Rumah orang Korowai yang merupakan suku terasing di Kabupaten Mappi

(32)

13

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar 3. Perempuan Korowai di dusun sagu, mereka sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarganya

(33)

14

Bahasa asli yang berjumlah 271 tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua kategori phylum2 (golongan bahasa) yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan (phylum) bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan Halmahera Utara.

Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok adalah sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, kumbili, ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki bahan pangan pokok umbi-umbian.

Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu

2)

Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk (editor-Koentjaraningrat)

(34)

15

menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan sagu dan umbi-umbian.

Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan (berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan pangan alternatif saja.

Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua

(35)

16

Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012

Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua

(36)

17

Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada daerah-daerah yang sulit di jangkau seperti daerah pegunungan tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari ekonomi lemah.

Gambar 6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua ; A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)

A A

B

C

Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012

(37)

18

Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada, masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.

Di era otonomi saat ini, terutama dengan adanya perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya. Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam tersebut.

Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001, dari 21,9 juta ha hutan produksi 12 juta ha telah diberikan kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut bertumpang tindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi (Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang ditebang per tahunnya adalah 52.000 ha.

(38)

19

Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan 18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi 19 setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten baru, rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, pemukiman, pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk digali manfaatnya.

Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara Indonesia, belum banyak penelitian mengenai potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial.

Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan manfaat jenis tumbuhan tersebut.

(39)

20

C. Status Pemanfaatan Oleh Etnik Papua

Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu warisan tersebut sangat perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

(40)

21

A. Jenis Tumbuhan Penghasil Buah Potensial

Hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941, Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963, Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukan bahwa terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan. 115 jenis tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magic, 39 jenis dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan sebagai obat malaria.

Lekitoo et al (2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al (2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dimanfaatkan oleh masyarakat Waropen sebagai bahan pangan.

(41)

22

Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen herbarium diketahui bahwa tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papua yang dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Dani, Lani, Biak dan Supiori) adalah sebagai berikut :

1. Markisa (Passiflora lingularis L.) 2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)

3. Terong Belanda (Cyphomandra betaceae Sendt.) 4. Woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry) 5. Gawen (Pandanus julianettii Mart.)

6. Kaum (Burckella obovata (Forst.) Pierre) 7. Aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)

B. Pemanfaatan Oleh Beberapa Etnik Papua

Buah markisa (Passiflora lingularis L.), buah negri (Passiflora

edulis Sims.) dan terong belanda (Cyphomandra betacea Sendt.)

dimanfaatkan daging buah dan bijinya oleh masyarakat Suku Dani di Wamena Kabupaten Jayawijaya sebagai sumber vitamin C, buah kelapa hutan yaitu woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry) dan gawen (Pandanus julianettii Mart.) dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Lani di Kabupaten Tolikara sebagai sumber lemak atau seperti kelapa pantai (Cocos nucifera), buah kaum (Burckella

obovata (Forst.) Pierre dimanfaatkan daging buahnya oleh

masyarakat Suku Biak di Pulau Biak Kabupaten Biak Numfor sebagai bahan pangan sumber lemak atau seperti buah alpukat (Persea americana), buah aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)

(42)

23

dimanfaatkan daging buahnya oleh masyarakat Suku Biak di Kabupaten Supiori seperti tepung sebagai sumber karbohidrat .

Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan prospek pengembangan dari tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik akan diuraikan lebih lanjut pada halaman berikutnya dari buku ini.

(43)

24

Gambar 7. Markisa (Passiflora lingularis L.)

(44)

25

Markisa adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah Wamena dan Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan berupa buah segar.

Markisa pada daerah Wamena dan Pegunungan Tengah umumnya terdiri atau terdapat 2 jenis yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”markisa” atau dikenal dengan nama ilmiah Passiflora lingularis L. dan jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”buah negri” atau dikenal dengan nama ilmiah Passiflora edulis Sims. Berdasarkan karakter morfologi daun dan rasa buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut :

a. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat oval, tidak bercangap, daun tipis, permukaan daun halus, buah rasanya manis... Passiflora lingularis L. b. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat

oval bercangap 3, daun agak tebal, permukaan daun kasar, buah rasanya asam... Passiflora edulis Sims.

IV. MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis)

SERTA PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI

KABUPATEN JAYAWIJAYA

(45)

26

4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.) A. Deskripsi Botani

Pasiflora lingularis L. (Pasifloraceae) Nama dagang : markisa

Nama daerah : markisa

Perawakan: Tumbuhan merambat, liana parenial, biasanya membelit pada pohon inang, panjangnya mencapai 12–15 m. Batang utama silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin dan berbuncak untuk tumbuhan dewasa. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan mengelupas kecil-kecil atau kasar bagi tumbuhan yang sudah dewasa, berwarna hijau muda keputihan atau coklat muda. Takikan batang pepagan tebalnya 4–5 mm, tidak bergetah, pepagan dalam lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning muda. Daun tunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar telur, pangkal daun berbentuk jantung, simetris, ujung meruncing, tepi daun rata, gundul, seperti kulit, panjang daun 10–20 cm, lebar 7–15 cm, panjang tangkai daun 3,5–6 cm. Urat daun sekunder tenggelam pada permukaan atas. Stipula berbentuk segitiga, panjang 1,5–2,5 cm, lebar 1–1,5 cm. Perbungaan berbentuk tunggal atau berpasangan, biasanya terdapat pada ketiak daun atau batang pada cabang dan ranting. Bunga beraturan, tunggal atau berpasangan 3–5 pada satu cabang, berkelamin 2, kelopak umumnya 5, mahkota 5, bakal buah menumpang, beruang 1, bakal biji banyak. Buah berbentuk oval seperti telur, panjang buah 5–7 cm dan lebar 3–5 cm,

(46)

27

tidak membuka. Biji banyak, berukuran kecil seperti biji tomat (Lycopersicum esculenta)

Daun Stipula

Bunga Bakal bunga

(47)

28

B. Kondisi Sosio-Geografi

Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Kabupaten Jayawijaya terletak pada garis meridian 137°12'-141°00' Bujur Timur dan 3°2'-5°12' Lintang Selatan yang memiliki daratan seluas 52.916 km², merupakan satu-satunya Kabupaten di Provinsi Irian Barat (pada saat itu) yang wilayahnya tidak bersentuhan dengan bibir pantai. Kabupaten Jayawijaya berada di hamparan Lembah Baliem, sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1500-2000 m di atas permukaan laut.

Bunga mekar Buah muda

Gambar 8. Karakter morfologi markisa (Passiflora lingularis L.)

(48)

29

1. Pengantar

Kondisi sosial budaya di daerah Pegunungan Tengah umumnya dan daerah Wamena khususnya di abad 21 ini jauh berbeda dari kondisi sosial budaya pada abad ke-20 yang lalu. Pada abad ke-20 lalu terutama ditahun-tahun awal daerah ini bersentuhan dengan pembangunan, baik dengan pemerintah Kolonial Belanda maupun dengan pemerintahan Republik Indonesia yakni sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, daerah Wamena merupakan salah satu daerah yang sangat terisolasi dan eksotik. Pandangan tentang Wamena yang terisolasi dan eksoktik ini digambarkan melalui lingkungan alam yang luar biasa sulit dijangkau karena cara satu-satunya untuk masuk ke wilayah ini adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Lokasi kota Wamena juga terletak di sebuah lembah besar yang disebut lembah Baliem dan dialiri oleh sebuah sungai besar yang juga diberi nama sungai Baliem. Kota Wamena dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan curam yang dihiasi oleh kebun-kebun penduduk setempat. Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2008, melaporkan bahwa suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2008 mencapai 19,3⁰C dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%. Dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai 15⁰C sementara suhu maksimum hanya sekitar 26,2⁰C. Sedangkan curah hujan rata-rata yang terjadi yaitu sekitar 190,7 mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2008 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 324,4 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yakni sebesar 71,8 mm.

(49)

30

Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 24 hari, namun pernah juga hampir mencapai sebulan, yaitu pada bulan Februari 2008 hingga 28 hari hujan. Hujan kerap kali terjadi di wilayah ini karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan banyak perbukitan sehingga sulit dibedakan musim secara jelas.

Salah satu keunikan dari suku Dani yang mendiami lembah Baliem ini adalah pakaian tradisionalnya yang terkenal dengan nama koteka yaitu sejenis labu panjang yang digunakan untuk menutup penis laki-laki. Selain itu, model rumah tradisional “honai” yang bentuknya bulat dan tertutup rapat. Meskipun hampir sebagain besar laki-laki Dani di lembah Baliem tidak lagi menggunakan koteka dan banyak rumah di lembah tersebut yang sudah tidak lagi berbentuk honai, namun hingga kini Ikon koteka dan honai masih menjadi simbol utama jika berbicara mengenai kebudayaan Wamena. Bahkan banyak orang luar yang kurang memahami Papua, lazimnya menganggap koteka dan honai merepresentasi kebudayaan Papua umumnya. Bukan itu saja, sejumlah keunikan budaya orang Dani di lembah besar Baliem ini juga bisa terlihat dari bagaimana mereka bercocok tanam. Kebun-kebun mereka dibangun di atas tebing-tebing gunung, atau di dataran dengan dipagari batu-batu besar dan kayu-kayu yang disusun rapi. Salah satu ritual penting dari suku ini adalah pesta babi merupakan suatu pesta yang penting dalam kehidupan sosial budaya orang Dani di lembah ini.

2. Lembah Baliem dan Orang Dani

Lembah Baliem terletak kurang lebih 1.600 meter di atas permukaan laut. Kontak pertama orang Dani dengan orang asing

(50)

31

(orang Eropa) pada tahun 19095 ketika suatu expedisi bernama Zuid Nieuw Guinea Expeditie di bawah pimpinan Lorentz melalui pantai selatan (melalui daerah Asmat) mengunjungi penduduk yang mendiami daerah di sebelah Selatan lembah Baliem. Kemudian diikuti oleh dua ekspedisi susulan lainnya, juga dari daerah yang sama, yakni ekspedisi militer tahun 1911 dan ekspedisi lanjutan dari ekspedisi tahun 1909, yang dilakukan pada tahun 1912-1913.

Kontak selanjutnya pada tahun 1954 para pekabar Injil dari CAMA (Christian and Missinaries Alliance) membuka pos pertama di Lembah Baliem. Sejak itu berdatanganlah para pekabar Injil dari aliran-aliran Gereja Protestan seperti RBMU (Regions Beyond

Missionary Union), TEAM (The Evangelical Alliance Mission),

pekabar-pekabar dari Gereja Katholik Roma dan kemudian pemerintah (Belanda) masuk bertugas di daerah tersebut.

Orang Dani diperkirakan menempati lembah Baliem kurang lebih 9000 tahun SM yang mana didasarkan pada penemuan-penemuan arkeologis di bagian Timur Pegunungan Tengah di Papua New Guinea (lihat White, 1972:147, dikutip Heider, 1979:23)6. Lebih jauh hipotesa Heider mengenai kehadiran orang Dani di lembah Baliem, bahwa sebelum orang Dani menjadi penduduk lembah tersebut mereka hidup sebagai peramu sagu dan dan pemburu di daerah berbukit-bukit dataran rendah. Ketika mereka mengenal tanaman-tanaman pangan seperti, keladi, ubi manis, dan pisang maka berpindahlah mereka ke daerah bertanah kering yang letaknya lebih tinggi (kurang lebih 1600 m diatas permukaan laut) dan

3)

Mansoben, 137 :1995 4)

(51)

32

disanalah mereka melakukan aktivitas pertanian. Akhirnya mereka tiba di lembah Baliem yang hingga kini menjadi tempat hunian mereka (Heider, 1979:32).

Mengenai bahasa yang digunakan orang Dani di lembah Baliem sesungguhnya mereka mengujar satu bahasa yang disebut bahasa Dani. Namun demikian, bahasa Dani ini dibagi lagi atas tiga sub keluarga bahasa yakni, sub keluarga Wano, sub keluarga Dani Pusat dan sub keluarga Nggalik-Dugawa. Adapun sub keluarga Dani Pusat terbagai lagi atas dua dialek, masing-masing dialek Dani Barat dan dialek Grand Valley Dani (Lembah Besar Dani). Dialek Dani Barat sering juga disebut bahasa Laany yang terdapat di Baliem Utara Lembah Swart, Yamo, Nogolo, Ilaga, Beoga, Dugindagu, Kemandaga dan Bokondini, di bagian atas Grand Valley, di sekitar hulu Sungai Hablifuri, Kimbim dan lembah-lembah Bele atau Ibele. Dialek Grand Valley Dani terdapat mulai dari daerah pegunungan Pyramid sampai ke sungai-sungai Samenage di daerah perbatasan Barat Laut dan agak sedikit ke bawah di sungai Wet di daerah batas Timur–Laut (Bromley, 1973:6). Adapun bahasa Dani dikategorikan ke dalam kategori Western Highland Phylum, salah satu dari empat phylum bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea7.

Nama Dani yang sekarang digunakan untuk menamakan penduduk di lembah Baliem sebenarnya bukan berasal dari penduduk asli lembah tersebut. Sebutan Dani sebenarnya diberikan oleh orang Moni, suatu golongan sub etnik dari orang Ekari (Kapauku), kepada orang-orang di lembah Baliem, yang artinya “orang asing”. Nama itu

5)

Adapun keempat phylum bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea adalah Central-South New Guinea Phylum, Western Highland Phylum, North Coast Phylum dan Bird’s Head Phylum.

(52)

33

pada mulanya berbunyi “Ndani” dan untuk pertama kalinya didengar dan digunakan oleh orang asing pada tahun 1926, ketika suatu ekspedisi bersama orang-orang Amerika dan Belanda mengunjungi daerah yang didiami oleh orang Moni (Heider, 1979). Adapun penduduk di lembah Baliem sendiri tidak mau menggunakan nama Dani, mereka menamakan dirinya sendiri nit (akuni) Palimeke, yang berarti “kami (orang) dari Baliem” (Camps, 1972:35).

Heider mengatakan, “orang Dani selalu dikerumuni oleh babi dan ubi manis atau Dioscorea esculanta (1979:35)”. Ucapan ini secara implisit menunjukkan dua jenis mata pencaharian hidup pokok orang Dani, yaitu bercocok tanam (dengan ubi manis sebagai tanaman pokok) dan beternak babi.

3. Berkebun

Dahulu sebelum derasnya pengaruh dari luar, Orang Dani di lembah Baliem mengerjakan kebun-kebunnya dengan alat sederhana seperti kayu tugal dan kapak batu. Kebun dikerjakan tidak hanya di bagian dataran di lembah tersebut, tetapi juga di lereng-lereng gunung yang tinggi dan curam. Menurut Mansoben, di lembah Baliem terdapat 3 jenis kebun. Pertama adalah kebun-kebun yang terdapat pada bagian yang rendah dan datar yang diusahakan secara permanen. Kedua, jenis kebun yang terdapat pada lereng-lereng gunung dan ketiga, kebun-kebun yang terdapat di pekarangan rumah, terletak di belakang suatu kompleks perumahan, uma. Tanah pekarangan ini biasanya ditanami dengan tanaman tembakau, pisang dan tebu.

Adapun pada jenis kebun pertama dan kedua, biasanya setelah dibersihkan dari pepohonan dan belukar, kemudian dibakar lalu

(53)

34

ditanami dengan ubi manis sampai dua kali panen. setelah itu ditinggalkan dan mereka pindah untuk membuka lahan baru di lokasi yang lain. Setelah beberapa waktu lamanya tanah bekas kebun itu dibiarkan dalam masa bera (masa istirahat) hingga ditumbuhi pepohonan dan belukar yang menyebabkan pulihnya kesuburan, maka bekas kebun itu bisa diolah kembali. Selain upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah sebagaimana dilakukan di atas, orang Dani percaya kesuburan tanah dapat terjadi karena kekuatan magis. Di mana lazimnya di setiap uma terdapat satu atau dua orang yang memiliki rahasia kekuatan tersebut dapat menyuburkan tanah, mereka ini disebut aptugure, yang mana sebagai kepala adat kesuburan tanah. Cara menyuburkan tanah oleh seorang

aptugure ialah dengan cara dia menggosok darah babi keliling kebun

pada saat upacara penanaman dimulai.

Sedangkan tanah yang dikerjakan sebagai kebun biasanya dikuasai oleh satu, dua atau lebih kelompok kekerabatan yang bergabung, namun demikian terkadang juga hanya oleh satu kelompok kerabat saja. Batas-batas hak ulayat masing-masing kelompok kekerabatan biasanya ditandai oleh unsur-unsur alam seperti sungai, gunung/bukit, atau jurang. Anggota-anggota tiap kelompok kekerabatan berhak memakai tiap bagian dari tanah yang belum atau tidak digunakan oleh anggota lain untuk dirinya sendiri, asalkan dia memberitahukan pemakaian bidang tanah tadi kepada kepala kelompok (kain). Jika si pemakai meninggalkannya, maka anggota lain dari kelompok yang sama dapat menggunakannya tanpa ada pembayaran ganti rugi. Namun demikian, kadang-kadang jika ada tanah yang kebetulan merupakan tanah yang dihargai oleh banyak

(54)

35

orang , seorang yang hendak bercocok tanam di lokasi tersebut, bisa memberikan seekor babi kepada si penggarap sebelumnya. Salah satu bentuk transaksi tanah secara tradisional di mana sebidang tanah dapat diserahkan oleh si penggarap kepada kerabat lain dengan cara menerima hasil panen ubi yang pertama dari kelompok kerabat yang menggarap tanah tersebut (Koentjaraningrat, 1970:13-14;cf.Peters 1965).

Pembagian kerja antara pria dan wanita yang berkaitan dengan proses becocok tanam lazimnya diawali dengan pekerjaan kaum lelaki kemudian disusul dengan pekerjaan kaum wanita. Kaum pria menebang pohon, memotong belukar dan membakar pohon-pohon dan belukar yang telah dipotong dan sudah kering. Pekerjaan pada tahap berikutnya adalah dikerjakan oleh kaum wanita dimana membersihkan sisa-sisa kayu dan dahan yang telah dibakar untuk dibawa pulang ke rumah, digunakan sebagai kayu api untuk memasak. Tahap berikutnya, kaum pria mencongkel dan membalik tanah dengan menggunakan tugal. Pekerjaaan selanjutnya yakni kaum wanita menggemburkan tanah dengan cara memecah-mecahkan gumpalan-gumpalan tanah tersebut menjadi halus dengan menggunakan kayu tugal atau dengan menggunakan tangan.

Pekerjaan yang cukup penting sebelum kebun ditanami adalah pembuatan pagar keliling kebun dengan tumpukan-tumpukan batu, selain itu membuat irigasi yang merupakan selokan-selokan kecil yang mengelilingi dan memotong kebun tersebut. Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum lelaki. Setelah kebun siap ditanami. Kepala kelompok (kain) kemudian membagi-bagikan lokasi kebun yang sudah siap ditanami itu kepada anggota-anggota wanita dari

(55)

36

keluarganya, yakni ibunya, isteri-isterinya, saudara-saudara perempuannya dan anak-anak perempuannya. Lokasi yang telah dibagi oleh kain diolah dan diurus oleh para wanita yang sudah diserahkan tanggung jawab tersebut. Merekalah yang akan menanam, menyiangi, menyiram hingga akhirnya menuai.

4. Beternak babi

Salah satu aktivitas mata pencaharian orang Dani yang sangat penting adalah memelihara babi. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan secara pribadi memiliki sejumlah ternak babi. Meskipun babi-babi tersebut dimiliki secara personal oleh seorang laki-laki maupun seorang perempuan, akan tetapi pekerjaan memelihara babi hanya dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak.

Babi adalah salah satu ternak yang sangat penting hingga dewasa ini dalam kehidupan orang Dani karena mempunyai banyak fungsi. Perlu diketahui bahwa setelah adanya kontak dengan dunia luar yang dibawa oleh pihak gereja dan pemerintah sebagai agen of development, ternyata ada sejumlah ternak yang dimasukkan ke wilayah lembah Baliem dan sekitarnya, seperti domba, sapi, kelinci, dll. Namun demikian, babi tetap memiliki nilai yang paling tinggi dalam kehidupan orang Dani. Hal ini karena secara tradisional babi selain dagingnya merupakan sumber protein utama, juga darahnya digunakan dalam aktivitas magis. Tulang-tulang dan ekornya dibuat menjadi ornament, tulang rusuknya dibuat menjadi pisau untuk mengupas ubi, alat-alat kelaminnya diikat sebagai gelang tangan untuk menolak roh-roh jahat. Salah satu fungsi yang paling penting dari babi dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem dan sekitarnya adalah babi digunakan sebagai alat tukar menukar,

(56)

37

sebagai bride price (mas kawin) dan fungsi ekonomi perdagangan. Selain itu jika terjadi konflik antar kelompok, babi juga digunakan sebagai alat perdamaian. Demikianpun babi digunakan sebagai alat persatuan antar kelompok-kelompok kekerabatan yang berlainan atau antar konfederasi dalam upacara-upacara pesta babi yang besar.

5. Struktur Sosial

Orang Dani mengenal dua kelompok utama dalam rangka pembentukan struktur sosial mereka, yakni kelompok-kelompok kekerabatan dan kelompok-kelompok teritorial atau wilayah. Namun demikian ada baiknya kita perlu meninjau ke belakang mite dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem. Menurut kisah mite tersebut orang Dani yang ada di lembah Baliem berasal dari sepasang suami isteri yang muncul dekat sebuah danau yang terletak di sekitar Kampung Maina, di lembah Selatan. Adapun anak-anak yang berasal dari pasangan suami isteri tersebut, dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok diberi nama wita dan waia. Atas pesan orang tua tersebut dimana tidak boleh terjadi perkawinan diantara anggota dalam kelompok yang sama. Perkawinan hanya boleh berlangsung diantara anggota kelompok yang berlainan, yakni antara anggota dari kelompok wita berpasangan dengan anggota dari kelompok waia.

Makna cerita di atas sesungguhnya tercermin dari apa yang kini menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Dani, yakni adanya paroh masyarakat (moiety) dan adat eksogami klen dalam kehidupan orang Dani. Adat eksogami klen antara paroh masyarakat tersebut menurut Broekhuijse dalam Mansoben (1994:143), melaporkan bahwa pada orang Mulaik-Hisache di lembah Selatan, jika terjadi

(57)

38

hubungan seksual antara anggota dari paroh masyarakat yang sama diberi sanksi hukuman mati.

Adapun amanat nenek moyang dalam mitos, dua paroh masyarakat eksogam haruslah bersifat patrilineal. Artinya garis keturunan dihitung berdasarkan garis keturunan ayah atau pihak laki-laki. Jadi struktur sosial orang Dani sesungguhnya terbentuk berdasarkan dua paroh masyarakat yang bersifat eksogami dan patrilineal.

Dari kedua paroh (moiety) tersebut orang Dani masih terbagi-bagi lagi ke dalam kesatuan sosial yang lebih kecil yang disebut ukul. Masing-masing ukul diberi nama lagi misalnya, ukul Wilil, ukul Heinam, ukul Walilo, ukul Alua, dsb. Kelompok sosial ukul adalah kelompok kekerabatan eksogami patrilineal tidak fungsional yang berketurunan dari satu nenek moyang mitos. Menurut Broekhuijse

dalam Mansoben, (1994:144, footnote), meskipun

anggota-anggotanya berasal dari moyang mitos yang sama tetapi hal tersebut tidak mempunyai arti penting bagi para anggotanya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Contohnya, para anggota dari ukul Wilil yang tergolong dalam moiety atau paroh masyarakat wita, tinggal tersebar diseluruh lembah Baliem, membentuk kesatuan konfederasi yang berbeda-beda dan saling berperang melawan sesamanya (Broekhuijse, 1967:23).

Menurut Heider dalam Mansoben (1995:145), kesatuan wilayah atau teritorial terbesar yang terdapat pada orang Dani di lembah Baliem adalah konfederasi (confederation). Kesatuan teritorial aliansi sebenarnya lebih besar dari konfederasi, namun menurut Heider (1979:62), tidak dapat dikategorikan sebagai kesatuan teritorial sebab

(58)

39

tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan teritorial lainnya seperti konfederasi, wilayah bertetangga, gabungan kompleks dan kompleks. Orang Dani sendiri tidak mempunyai istilah khusus untuk menyebut konfederasi, namun demikian tiap konfederasi dinamakan atau disebut menurut nama klen-klen besar dari mana orang-orang penting berasal. Misalnya, konfederasi Wilihiman-Walalua, berasal dari empat nama klen besar, yaitu klen Wilil, klen Himan, klen Walilo dan klen Alua.

Meskipun sifat konfederasi bertahan lama, namun keanggotaannya tidak permanen. Anggota-anggota satu konfederasi dapat berpindah ke konfederasi lain untuk menetap dan bergabung dengan teman-temannya dan di tempat baru mereka mendapat tanah untuk membangun rumah dan untuk berkebun. Satu konfederasi dapat berpindah dari satu lokasi yang lama ke lokasi yang baru yang tidak ditempati oleh konfederasi yang lain. Perpindahan konfederasi tersebut terjadi karena apabila di lokasi yang semula (lokasi lama) terjadi bencana alam atau peperangan. Sebagai contoh, konfederasi Wilihiman-Walalua pada tahun 1966 meninggalkan wilayahnya untuk menempati tempat baru yang tak bertuan yang terletak jauh di sebelah Selatan lokasi lama yang ditinggalkan. Dapat disimpulkan bahwa sifat keanggotaan dan wilayah dari konfederasi adalah fleksibel (Heider 1979:62 dalam Mansoben 1995:145).

Konfederasi bukanlah merupakan kesatuan sosial resmi yang menguasai tanah atau hak milik. Hanya sedikit saja peristiwa yang melibatkan seluruh konfederasi. Namun demikian, fungsi formal konfederasi ialah penggunaan nama konfederasi untuk menyatakan tempat tinggal atau untuk menyatakan dimana terjadinya

Gambar

Gambar 1. Rumah orang  Korowai yang merupakan suku terasing di   Kabupaten Mappi
Gambar  3.  Perempuan      Korowai  di    dusun  sagu,  mereka  sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarganya
Gambar  4.    Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), salah satu jenis bahan  pangan pokok etnik Papua
Gambar  5.  Proses    pengolahan    sagu    menjadi  aci  sagu  yang  merupakan bahan pangan pokok etnik Papua
+7

Referensi

Dokumen terkait