• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua"

Copied!
287
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

Bagian-1

P

Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan

Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber

(3)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Hak Cipta

Pasal 2.

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada

(4)

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

Bagian-1

P

Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan

Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber

Bahan Pangan di Tanah Papua

Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding,

Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak

Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo

Kementerian Kehutanan

(5)

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA

(Bagian-1)

P

Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah

sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua

ISBN

978-979-8452-51-2

© Tim Penulis

Cetakan Pertama, November 2012

Peer Reviewer

Prof. Dr Evrizal A.M Zuhud, M.Sc.

Dr. Tati Rostiwati, M.Si.

Proof Reader

Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc.

Gambar sampul :

Pulau Yo’ Meos, Sagu, ‰‰—”ƒ’—ƒ, Buah Piarawi, Buah ƒ‡”,

Buah Gayang, —ƒŠ‘–‘ dan ‡Žƒ’ƒ—–ƒ

Penerbit

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt XI

Jl Jend. Gatot Soebroto Jakarta Pusat

(6)

“Kami mendedikasikan buku ini

untuk mereka yang bekerja dengan hati

di Tanah Papua dan menaruh

perhatian pada keanekaragaman

tumbuhan dan lingkungan, para mentor

kami dan seluruh masyarakat di Tanah

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

vi

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

UCAPAN TERIMAKASIH

xiii

xv

I.

PENDAHULUAN

1

II.

KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA

6

A. Potensi Jenis Endemik

6

B. Kondisi Saat Ini

11

C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua

20

III.

SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA

21

A.

Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial

21

B.

Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua

22

IV. BUAH TAER (

Anisoptera thurifera

ssp.

polyandra

(Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU

WONDAMA DI PULAU YOP MEOS KABUPATEN

TELUK WONDAMA

25

A. Deskripsi Botani

25

(8)

C. Ekologi Habitat Taer

35

1. Faktor Fisiografis

36

2. Suhu Udara dan Kelembaban

38

3. Keadaan Tanah

40

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi

Buah

41

1. Potensi Tegakan

41

a. Tingkat Semai

44

b. Tingkat Pancang

47

c. Tingkat Tiang

51

d. Tingkat Pohon

52

2. Struktur Populasi

54

3. Potensi Buah

57

E. Kandungan Gizi Taer

58

F. Etnobotani Taer dalam Budaya Suku Wondama

59

1. Fungsi Historis dan Pertahanan

60

2. Fungsi Ketahanan Pangan atau Konsumtif

61

G. Konservasi Tradisional

62

H. Status Konservasi

62

I.

Prospek Pengembangan

64

V. BUAH PIARAWI (

Haplolobus

cf.

monticola

Husson)

DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA

(9)

A. Deskripsi Botani

67

B. Kondisi Sosio-Geografis

70

C. Ekologi Habitat Piarawi

75

1. Faktor Fisiografis

75

2. Suhu Udara dan Kelembaban

76

3. Keadaan Tanah

77

D. Potensi Tegakan dan Buah

78

1. Potensi Tegakan

78

2. Potensi Buah

79

E. Kandungan Gizi Piarawi

80

F. Etnobotani Piarawi dalam Budaya Suku Wondama

82

1. Fungsi Historis dan Pertahanan

83

2. Fungsi Legalitas Perkawinan

84

3. Fungsi Perdamaian atau Rekonsilidasi

85

4. Fungsi Ekonomi

89

5. Fungsi Pewarisan

89

G. Konservasi Tradisional

90

H. Status Konservasi

92

I.

Prospek Pengembangan

92

VI. BUAH WOTON (

Sterculia shillinglawii

F.v. Muell.)

DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU GEBE DI

PULAU GAG KABUPATEN RAJA AMPAT

95

(10)

B. Kondisi Sosio-Geografis

98

C. Ekologi Habitat Woton

104

1. Faktor Fisiografis

104

2. Suhu Udara dan Kelembaban

106

3. Keadaan Tanah

106

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi

Buah

107

1. Potensi Tegakan

107

a. Tingkat Semai

109

b. Tingkat Pancang

112

c. Tingkat Tiang

114

d. Tingkat Pohon

116

2. Struktur Populasi

118

3. Potensi Buah

120

E. Kandungan Gizi Woton

121

F. Etnobotani Woton dalam Budaya Suku Gebe

121

G. Konservasi Tradisional

124

H. Status Konservasi

124

I.

Prospek Pengembangan

126

VII. BUAH GAYANG (

Inocarpus fagifer

Fosberg) DAN

PEMANFAATANNYA OLEH SUKU ISIRAWA DI

KABUPATEN SARMI

129

(11)

B. Kondisi Sosio-Geografis

134

C. Ekologi Habitat Gayang

139

1. Faktor Fisiografis

139

2. Suhu Udara dan Kelembaban

140

3. Keadaan Tanah

141

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi

Buah

142

1. Potensi Tegakan

142

a. Tingkat Semai

144

b. Tingkat Pancang

146

c. Tingkat Tiang

147

d. Tingkat Pohon

148

2. Struktur Populasi

150

3. Potensi Buah

151

E. Kandungan Gizi Buah Gayang

152

F. Etnobotani Gayang dalam Budaya Suku Isirawa

153

G. Konservasi Tradisional

156

H. Status Konservasi

157

I.

Prospek Pengembangan

158

VIII. KELAPA HUTAN (

Borassus heineanus

Becc.) DAN

PEMANFAATANNYA OLEH SUKU MANIREM DI

KABUPATEN SARMI

161

(12)

B. Kondisi Sosio-Geografis

166

C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan

168

1. Faktor Fisiografis

168

2. Suhu Udara dan Kelembaban

169

3. Keadaan Tanah

170

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi

Buah

171

1. Potensi Tegakan

171

a. Tingkat Semai

172

b. Tingkat Pradewasa

175

c. Tingkat Dewasa

178

2. Struktur Populasi

180

3. Potensi Buah

181

E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan

182

F. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku

Manirem

184

G. Konservasi Tradisional

186

H. Status Konservasi

187

I.

Prospek Pengembangan

188

IX. ANGGUR PAPUA (

Sararanga sinuosa

Hemsley)

DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU TEPRA DI

KABUPATEN JAYAPURA

192

A. Deskripsi Botani

192

(13)

C. Ekologi Habitat Anggur Papua

208

1. Faktor Fisiografis

209

2. Suhu Udara dan Kelembaban

209

3. Keadaan Tanah

210

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi

Buah

211

1. Potensi Tegakan

211

a. Tingkat Semai

213

b. Tingkat Pradewasa

215

c. Tingkat Dewasa

218

2. Struktur Populasi

220

3. Potensi Buah

222

E. Kandungan Gizi Anggur Papua

223

F. Etnobotani Anggur Papuadalam Budaya Suku

Tepra

224

G. Konservasi Tradisional

225

H. Status Konservasi

226

I.

Prospek Pengembangan

227

PENUTUP

230

DAFTAR PUSTAKA

232

GLOSARY

236

INDEKS SUBYEK

255

INDEKS NAMA ILMIAH

263

(14)

SAMBUTAN KEPALA BADAN

Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di

Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di

dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sanga tinggi.

Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak

dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan

penyebarannya. Demikian pula dengan pemanfaatannya

dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih

dalam skala kecil dan bersifat tradisional.

Buku ini mengungkapkan keanekaragaman flora tanah

Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan

prospek pengembangan sebagai diversifikasi bahan pangan.

Buku ini sangat menarik, karena selain memberikan

pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di

dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua

yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi

yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga

jelas untuk dikenal.

(15)

terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan

proses transformasi generasi berikutnya dengan baik.

Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada

saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A.

Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Charlie D. Heatubun dan

Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan

semoga karya ini merupakan perintis bagi karya-karya

selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti

lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk

menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan

Ilmu Pengetahuan di Indonesia.

November , 2012

(16)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih

dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak

baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam

proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa

penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan

Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu tahun

2009 dan tahun 2010 yang merupakan hasil kerjasama Badan

Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian

Negara Riset dan Teknologi.

Kami menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap

penerbitan buku ini, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan yang bersedia memfasilitasi karya kami; Ir. Thomas

Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala

Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono,

M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu

sehingga buku ini dapat diterbitkan; Prof. Dr. Ir. Ervizal AǤM.

Zuhud, M.Sc dari Institut Pertanian Bogor; Dr. Dra. Tati

Rostiwati, M.Si dari Badan Litbang Kehutanan selaku Peer

Reviewer dan Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc. selaku Proof

(17)

untuk penyempurnaan tulisan ini sehingga layak untuk

diterbitkan. Kepala Kampung Gambir di Pulau Gag, Kepala

Kampung Yop di Pulau Yop Meos, Kepala Kampung Maniwak

(Miei), Kepala Kampung Amsira dan Kepala Kampung

Tablasupa yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian

ini dapat berlangsung; Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian

UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas Teknologi

Pertanian UGM dan Herbarium Bogoriense LIPI yang telah

membantu dalam proses analisis tanah, kandungan gizi dan

genetika.

Akhirnya kami menyadari bahwa buku Rediversifikasi

Pangan di Tanah Papua (Bagian I): Pemanfaatan Enam Jenis

Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan

Pangan di Tanah Papua,masih jauh dari sempurna.Untuk itu,

kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi

penyempurnaan buku ini dan seri selanjutnya. Semoga buku ini

memberikan manfaat dan menambah khasanah ilmu

pengetahuan tentang keanekaragaman dan manfaat flora di

Indonesia, khususnya di Tanah Papua.

Manokwari, November 2012

(18)

Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki

hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam

bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka

gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu

pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap

faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka

berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua

faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup

penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal

dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara

pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang

dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona

hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki

cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan

hutan.

Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan

terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan

proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.

Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang

tergantung pada penyesuaian kebutuhan kelompok-kelompok

masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember,

1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada

(19)

suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik

pada beberapa etnik di Papua.

Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73

tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed

pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya,

Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan

sekitarnya), Kaberry pada tahun yang sama di Jayapura dan

sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada

tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen

dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen,

Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee

et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan

sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada tahun yang sama di

Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada tahun 1963 di

Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya).

Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani

selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam,

Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai

dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta

Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama.

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat

(20)

sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum

banyak terungkap. Penelitian tersebut sesungguhnya sangat

menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang

tumbuh-tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia

budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya

bangsa.

Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis

tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah

menjadi indikator penting perlunya pengembangan potensi

sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini.

Sumbangan yang diberikan berupa peningkatan ekonomi

masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya

hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa

sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) perlu

mendapat tempat tersendiri dalam aktivitas ekonomi dan

perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi

keberlanjutan produktivitas hutan, Upaya semacam ini memiliki

resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil.

Menurut Barber et al(1997), pemanfaatan sumberdaya hutan

secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa

dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, namun

permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang

akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan

untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua

(21)

disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari

pengetahuan lokal yang kemudian pemanfaatannya dikembangkan

lewat teknologi yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan

sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih

ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan.

Menurut Whitmore (1966) dalam Powell (1976), studi

etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan

khususnya biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat

perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada

masa lalu sumber makanan tambahan (suplement food) yang

berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki nilai penting

dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea.

Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan

biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat

terbatas. Di sisi lain, aplikasi hasil kajian etnobotani, khususnya

bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan

kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat

maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa

pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri

terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini

tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki

masyarakat etnik Wondama di Teluk Wondama, Gebe di Pulau

Gag, Tepra di Depapre serta Isirawa dan Manirem di Sarmi.

(22)

Papua? dan apakah masyarakat lokal masih memanfaatkan

tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan pangan

alternatif? Untuk menjawab masalah tersebut maka sangat

diperlukan penelitian dalam upaya mengumpulkan informasi

pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam.

Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang

disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan

pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan

ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau

pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk

mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian

eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh

lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah.

Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan

informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi

tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan

makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan

peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah

potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua.

Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan

selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan

(23)

A. Potensi Jenis Endemik

Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New

Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui

dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman

hayati yang tertinggi di dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan

banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora),

yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan

flora malesiana (Petocz, 1987).

Menurut Primack (1998), keragaman flora yang terdapat pada

suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas

serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah

hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau

dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz

(1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan

hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan

famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di

dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa

tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat

dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini

kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, belum

dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya.

Demikian pula pemanfaatan dalam rangka peningkatan

(24)

Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan

sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan

atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah :

1. Paijsman (1976), sebanyak 1.465 jenis (spesies) dari

Angiospermaetelah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan

mencapai 9.000 jenis.

2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalamPetocz (1987), jumlah

flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis.

3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora

seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui

20.000 jenis.

4. Johns (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat

tinggi diperkirakan sebanyak 20.000-25.000 jenis.

Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah

Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia

secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (van

Steenis-Kruseman dan van Steenis Cyclopedia of Botanical Exploration in

Malesia, Flora MalesianaI (1).1950) :

1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis.

2. Kalimantan (Borneo): antara 10.000-15.000 jenis. namun

berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis

tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).

3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis tumbuhan

berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).

4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 jenistumbuhan tinggi

(25)

5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya

tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900

berasal dari Maluku Utara.

6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor,

Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya.

Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis

tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi

dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan

Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada

Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan

perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan

masing-masing daerah di Indonesia.

Tanah Papua dengan keanekaragaman jenis flora diduga

berkisar antara 20.000-25.000 jenis, merupakan daerah yang

memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini

sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa

dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah

keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi

sampai melampaui 10.000 jenis dalam tahun-tahun mendatang.

Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja

yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan

dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan

kesejahteraan mereka.

Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data

(26)

perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan

seperti hampir dilupakan.

Tabel 1.Kekayaan jenis endemik flora di beberapa daerah di Indonesia

Wilayah Kekayaan Spesies Endemik

Persentase Spesies Endemik

(%)

Sumatera 820 11

Jawa 630 5

Kalimantan 900 33

Sulawesi 520 7

Sunda kecil 150 3

Maluku 380 6

Papua 1030 55

Sumber : FAO/MacKinnon (1981)dalamKusmana dan Hikmat (2005)

Tabel 2 menunjukkan jumlah koleksi herbarium selama kurun

waktu tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa

Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di

Papua (New Guinea). Selama kurun waktu tahun 1951-2008,

jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di

Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian dan ekspedisi

taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua

(27)

Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia

TAHUN 1817 - 1950 TAHUN 1951 - 2008 PULAU LUAS

2.980.155 196.755 3,6 2.150

(Papua)

946 (Papua)

Maluku (Moluccas)

63.575 27.525 43 22.216 1.173

Sulawesi (Celebes)

182.870 32.350 18 15.420 1.834

Nusa Tenggara 98.625 24.546 25 4.365 3.638

Kalimantan (Borneo)

739.175 91.550 12 28.820

(Kalimantan)

2.739 (Kalimantan)

Jawa (Java)

132.474 247.522 25 4.363 3.638

(28)

Ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman

hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk

Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua,

Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai utara,

Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur pulau Papua dan

Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di

kepala burung (Vogelkop)” pulau Papua. Ke empat kabupaten

tersebut memiliki arti yang strategis dalam potensi keanekaragaman

hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas

dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi.

Selain itu ke empat kabupaten ini juga memiliki etnik atau suku yang

cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan

hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan

yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan

sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya

terdapat di Tanah Papua saja) dan indigenous(native species) yang

merupakan jenis tumbuhan asli Tanah Papua dengan

penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku

(Moluccas) dan di Sulawesi (Celebes).

B. Kondisi Saat Ini

Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 bahasa1), dan

dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka

ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa

1)

(29)

dan bahasa tersebut, 5 suku bangsa di antaranya sudah tidak ada

lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya

hanya tertinggal 271 suku bangsa dari suku-suku tersebut. Saat ini

telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga

jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan

bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku

Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan

dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

(30)

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

(31)

Bahasa asli yang berjumlah 271 bahasa tersebut dapat

dikategorikan kedalam dua kategori phylum2) (golongan bahasa)

yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan

bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam

phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu

umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam

phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di

daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat

lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan

Halmahera Utara.

Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara

umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai

dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok berupa

sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, gumbili,

ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik

Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki

bahan pangan pokok umbian-umbian.

Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten

baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah

meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras

yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu

alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen

dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka

2)

(32)

(editor-lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu

menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan

sagu dan umbi-umbian.

Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program

pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan

nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat

sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan

(berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan

pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan

masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat

beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan

utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan

pangan alternatif saja.

Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagusRottbelliana.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua

(33)

Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012

Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua

(34)

Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan

pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang

memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada

daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah pegunungan

tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari

ekonomi lemah.

Gambar6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2011 Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012

Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012

A B

(35)

Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal

jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat

sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau

gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada,

masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.

Di era Otonomi Daerah saat ini, terutama dengan adanya

perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan

saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi

sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi

kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya.

Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak

menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman

bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan

sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan

peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang

dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam

tersebut.

Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang

berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin

cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001,

dari 21,9 juta hektar hutan produksi, 12 juta hektar telah diberikan

kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut

tumpangtindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi

(Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang

(36)

Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh

pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan

kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan

18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi

19 kabupaten setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir

tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan

yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten

baru. Rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit,

pemukiman dan pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat

mendorong terjadinya konversi hutan. Konsekuensi yang harus

dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat

besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya

hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk

digali manfaatnya.

Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, belum banyak penelitian mengenai

potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan

tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari

keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber

informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru

yang masih potensial.

Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi

pengembangan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah

potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam

(37)

masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan

manfaat jenis tumbuhan tersebut.

C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua

Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan

oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun

temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional

masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam

tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan

adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut

terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan

hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan

sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain.

Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam

tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat

penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan

budaya bangsa berdasarkan pengalaman yang secara turun

temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi

berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan

datang. Oleh karena itu, warisan tersebut sangat perlu dijaga dan

dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif

yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat

dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena

menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara

(38)

Iiiiii

A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial

Hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh

beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941,

Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan

Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963,

Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan

Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukkan bahwa terdapat 225 jenis

tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,

63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan.115 jenis

tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magik, 39 jenis

dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis

dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat

luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38

jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis

dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis

dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis

dimanfaatkan sebagai obat malaria.

Lekitooet all(2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang

buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman

Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al

(2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya

(39)

Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen

herbarium diketahui bahwa enam jenis tumbuhan hutan penghasil

buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papuayang

dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Wondama, Gebe,

Isirawa, Manirem dan Depapre/Tepra) adalah sebagai berikut :

1. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.)

Ashton)

2. Waribo (Borassus heineanusBeccarii)

3. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson)

4. Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)

5. Selre (Sararanga sinuosaHemsley)

6. Woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.)

A. Papua

B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua

Buah taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton)

dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop

Meos Kabupaten Teluk Wondama seperti kacang hijau, piarawi atau

buah hitam (Haplolobus cf. monticola Husson) dimanfaatkan daging

buahnya sebagai sumber lemak atau seperti alpukat oleh

masyarakat Suku Wondama di Kabupaten Teluk Wondama, buah

woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.) dimanfaatkan bijinya oleh

masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat seperti

kacang hijau, buah gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)

dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Isirawa di Kabupaten

(40)

masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan

pangan seperti kelapa pantai (Cocos nucifera) dan selre atau

anggur Papua (Sararanga sinuosaHemsley) dimanfaatkan buahnya

oleh masyarakat Suku Depapre/Tepra di Kabupaten Jayapura

sebagai bahan pangan seperti buah anggur (Vitis vinifera).

Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi

habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan

gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan

prospek pengembangan dari enam jenis tumbuhan hutan penghasil

buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik

(41)
(42)

A. Deskripsi Botani

Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Asthon (Dipterocarpaceae)

Nama dagang : mersawa Nama daerah : taer (Yop/Wondama), takum (Ambaidiru/Yapen)

Perawakan: Pohon berukuran besar, tingginya mencapai 40–45 m. Batang utama silindris, sedikit berbuncak, berpilin tetapi tidak berlekuk. Bebas cabang mencapai 30 m dengan diameter setinggi dada ± 150 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 200 cm. Pepagan luar kasar, berlenti sel, berwarna coklat atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Tidak bergetah.Pepagan dalam keras dan berserat, berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan. Daun tunggal, kedudukan daun melingkar (spiral), berbentuk bulat menjorong, pangkal daun membulat, ujung daun melancip, tepi daun rata atau bergerigi halus, panjang 8–11 cm, lebar 3,5–5 cm, panjang tangkai daun 2,6–3 cm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, urat daun sekunder menyirip, 10–12 pasang, urat daun tersier berbentuk jala. Permukaan atas berwarna hijau kusam, permukaan bawah hijau muda. Daun tua biasanya berwarna kekuningan. Perbungaan berbentuk malai biasanya pada ketiak daun atau ujung ranting, tangkai bunga panjangnya 5 mm. Bungadaun kelopak bulat telur memanjang, runcing, hijau pucat atau kemerahan, dari luar berambut. Daun mahkota kuning atau putih kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm. tonjolan dasar bunga berambut kasar. Bakal buah bulat telur, berambut rapat. Kepala putik tidak melebar. Buah bersayap dengan pangkal membulat atau berbentuk bola, gundul atau berambut halus, berwarna kuning, bergaris tengah ± 2 cm. Biji1, berdiameter 0,7–1,0 cm, berbentuk bulat pipih dan berwarna hijau terang atau hijau mengkilat.

(43)

Gambar 8. Anisoptera thurifera ssp. polyandra(Bl.) Ashton –

A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. Buah tua

A

B

Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009

C

Dokumentasi: C. D. Heatubun, 2006

D

(44)

Taer (A. thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton, adalah

merupakan jenis tumbuhan asli (native species) di Papua.

Penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara

(Halmahera). Jenis ini juga merupakan salah satu jenis kayu

komersil di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya.

Sayangnya, jenis ini pada diameter tertentu, tegakan alaminya

sangat mudah diserang oleh bubuk kayu sehingga sering dijumpai

kering atau mati pada hutan alam, terutama pada hutan alam tropis

di Halmahera. Kayunya yang sudah ditebang, apabila terlambat

dikupas kulitnya, dalam beberapa hari akan membusuk karena

sangat mudah diserang hama bubuk kayu.

Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang

dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis

dari marga Anisoptera yang terdapat di Papua. Jenis ini biasanya

tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan jenis

vegetasi berkayu lainnya membentuk formasi hutan hujan dataran

rendah Papua yang sangat kaya akan keanekaragaman jenisnya.

Tumbuh menyebar pada hutan dataran rendah dengan tipe

habitattanah, tanah berbatu dan tanah berkarang dengan

penyebaran secara ekologipada ketinggian tempat dari 10–600m

dpl. Jenis ini termasuk jenis yang berbuah sekali dalam 3 sampai 5

tahun pada umumnya, namun biasanya ada satu sampai beberapa

pohon yang berbuah dan buahnya tidak banyak pada waktu-waktu

tertentu atau pada tahun di mana bukan musim buahnya. Meskipun

(45)

regenerasinya di alam tetap terjaga karena buah yang dihasilkan

sangat banyak.

B. Kondisi Sosio-Geografis

Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten

di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari

yang terbentuk pada tanggal 12 April 2003 berdasarkan UU Nomor

26 Tahun 2002. Kabupaten tersebut terletak pada “leher burung

pulau Papua dengan koordinat geografis 0°15’00” - 3°25’00”Lintang

Selatan dan 132°35’00” - 134°45’00” Bujur Timur dengan luas

1.440.074 ha dengan rincian 662.786 ha luas daratan dan 778.288

ha luas perairan. Wilayah Kabupaten Teluk Wondama memiliki iklim

tropika basah dengan ciri-ciri curah hujan yang tinggi yaitu berkisar

antara 1.400–4.900 mm per tahun dengan penyebaran merata

sepanjang tahun dan suhu udara berkisar antara 22,9°-33,0°C.

Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai

162 mm/bulan (BNPB, 2011).

Secara administratif Kabupaten Teluk Wondama memiliki

batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Ransiki Kabupaten

Manokwari;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten

Nabire;

(46)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Idoor dan Kuri

Kabupaten Teluk Bintuni.

Sejarah penulisan atau penyebutan “Wandamen” berasal dari

publikasi para penulis asing yang menuliskan Wondama-man, untuk

menyebutkan keberadaan penduduk lokal yang berada di

Wondama. Secara entimologi Wondama berasal dari bahasa

Wamesa “Won”artinya orang yang ditakdirkan atau ditentukan dan

Dama” artinya datang dan mendiami tanah dan negerinya. Secara

harafiah Wondama berarti manusia yang dipilih untuk tinggal dan

membangun tanah dan negerinya.

Sejarah asal-usul etnis Wondama berasal dari kepercayaan

tradisional Cargo cults, yang telah dipercaya turun temurun dan

sudah ada sebelum agama Kristen masuk di Wondama. Pola

kepercayaan tradisional Cargo cults terdiri dari : Okultisme,

animismedan mitos. Etnis Wondama terdiri dari Suku Wamesa,

Kuri, Miere, Mairasi (Toro), Ambumi, Dusner, Roon dan Sough.

Sistem kepemimpinan tradisional Suku Wondama merupakan

sistem kepemimpinan campuran (Mansoben, 1995). Sistem

kepemimpinan campuran ini merupakan sistem yang memiliki sifat

pewarisan kedudukan yang terdapat dalam sistem kepemimpinan

raja dan Ondoafi, dan sifat pencapaian kedudukan pemimpin yang

terdapat pada sistem kepemimpinan pria berwibawa (bigman). Tipe

kepemimpinan campuran diperoleh pada tingkat stratifikasi sosial

yang rendah dan sifatnya ditentukan oleh waktu dan tempat. Untuk

(47)

berubah-ubah menurut situasi dan kondisi daerah setempat. Untuk

menjadi pemimpin pada masa keadaan relatif kondusif damai dan

makmur, kriteria bagi seorang pemimpin didasarkan atas keturunan,

jadi kedudukan pemimpin diemban oleh seseorang yang

berketurunan pendiri kampung (berlaku sifat pewarisan kedudukan

pemimpin). Sebaliknya jika berada pada situasi tidak kondusif,

ketika masyarakat mengalami kesulitan, misalnya kelaparan karena

musim kering yang berkepanjangan, wabah penyakit yang

menyerang, bahaya karena diserang musuh atau penduduk sedang

dilanda dekadensi moral akibat proses akulturasi, maka kriteria

pemimpin tidak lagi didasarkan pada keturunan, tetapi diutamakan

kepada kemampuan atau kecakapan seseorang untuk menjadi

pemimpin. Dalam keadaan demikian individu-individu dengan

kacakapan tertentu akan tampil ke depan untuk menjadi pemimpin

masyarakatnya dalam usaha mengatasi situasi yang dihadapi.

Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di

Kabupaten Teluk Wondama. Secara administrasi, Pulau Yop

termasuk wilayah Distrik Windisi. Jika ditempuh dengan

menggunakan kendaraan laut dari ibu kota kabupaten, waktunya

sangat relatif tergantung cuaca (gelombang laut), jenis transportasi

dan kecepatan motor laut yang digunakan. Jika menggunakan

perahu semang dengan motor 15 PK, waktu yang ditempuh 2 jam

(tanpa gelombang) dan 2 jam 30 menit sampai 4 jam jika

gelombang. Jika menggunakan perahu semang (longboat) dengan

(48)

speedboatdengan motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa

gelombang) dan I Jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika

menggunakan speedboat dengan motor 80 PK, waktu yang

ditempuh 30 menit sampai 45 menit (tanpa gelombang) dan 1 jam

sampai 1 jam 30 menit jika gelombang.

Posisi Pulau Yop Meos yang melintang pada bagian

permukaan Teluk Wondama menyebabkan masyarakat Wondama

percaya dan selalu menghubungkan posisi letak pulau tersebut

dengan cerita mitos Kuri dan Pasai. Cerita mitos Kuri dan Pasai

mengisahkan tentang dua orang raksasa bersaudara (kakak dan

adik) yang bernama Kuri dan Pasai. Ke dua raksasa ini akhirnya

berkelahi atau berperang karena adanya selisih paham yang

disebabkan karena tipu muslihat di antara keduanya. Akhirnya

Pasai meninggalkan Kuri dan pergi ke sebelah Barat. Pasai berjanji

akan kembali ke Wondama dengan membawa ilmu pengetahuan

serta benda-benda lainnya. Sementara Kuri tinggal di tempatnya di

Inggorosai (Wondama) dan meninggal akibat tipu muslihat orang

Maniwak (orang-orang kerdil yang tinggal di Miei) hanya karena

keinginannya memakan sagu. Secara umum dari mitos ini

masyarakat asli Wondama percaya bahwa apabila Pasai datang

kembali (pulang) ke Wondama maka Pulau Yop Meos akan

bergerak menutup Teluk Wondama yang dianggap sebagai pintu

masuk ke Kabupaten Wondama sehingga orang Wondama yang

berada di luar Wondama tidak bisa pulang atau kembali lagi ke

(49)

Mansoben (1995), membagi sistem mata pencaharian

suku-suku di Papua atas empat zona yang masing-masing menunjukkan

diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka

berdasarkan kebudayaannya. Ke empat zona ekologi tersebut

adalah :

1. Zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai (Swampy

Area, Coastal and Riverine);

2. Zona ekologi daerah pantai dan hutan pantai (Coastal Lowland

Areas);

3. Zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah kecil (Foothills and

Small Valleys);

4. Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands).

Secara umum Kampung Yop Meos termasuk dalam zona

ekologi kedua yaitu daerah pantai dan hutan pantai dengan mata

pencaharian utama adalah berladang berpindah dan mata

pencaharian pendamping yaitu menangkap ikan di sungai dan di

(50)

Gambar 9.

Lokasi Pulau Yop Meos di KabupatenTeluk Wondama

Pulau Yop

(51)

Gambar 10. Pulau Yop Meos

Gambar 10. Pulau Yop Meos

Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009

(52)

C. Ekologi Habitat Taer

Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap

jenis taer,baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun

di luar habitatnya (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu

untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor

fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan

kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang

dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan

bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi

dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan

sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat

tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan

yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan

bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau areal

ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; habitat, karena habitat

akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi

dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya waktu

vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu

jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada di sekitarnya.

Secara umum kepulauan memiliki keanekaragaman spesies

yang lebih rendah dari pada pulau besar. Hal ini disebabkan oleh

waktu yang terbatas untuk mengakumulasi spesies karena umur

kepulauan yang relatif lebih muda (Leksono, 2007). Pada tahun

1961, MacArthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru

(53)

menyatakan sedikitnya jumlah spesies di kepulauan bukan

disebabkan oleh waktu yang terbatas bagi spesies untuk menyebar,

tetapi oleh keseimbangan yang terjadi di semua kepulauan.

1. Faktor Fisiografis

Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun

penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan,

terutama karena pengaruhnya terhadap iklm. Topografi mempunyai

arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup,

kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan

dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam

penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007).

Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu

daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.

Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan

kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih

baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan

pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang

berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi

permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan

rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan

tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang

dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi

(54)

Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009

kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan

basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007).

Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor

iklim. Suhu udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah

(Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua,

keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat

keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian

tempat pada habitat pohon buah taer di Kampung Yop Meos (Pulau

Yop) adalah 150–220m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya

maka taer digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu (pohon)

dataran rendah.

Tabel 3. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat taer di Pulau Yop Meos

Lereng atau kemiringan lahan adalah sudut yang dibentuk

oleh permukaan tanah dan bidang horisontal. Taer pada Kampung

Yop Meos tumbuh baik pada kisaran kelerangan 20-110%. Kisaran

kelerengan tersebut sangat bervariasi dan memiliki kondisi habitat

yang relatif datar sedikit bergelombang ringan dan sedang sampai

(55)

berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan taer.

Kualitas pertumbuhan taer pada habitat datar dan bergelombang

umumnya sangat baik, namun sangat berbeda dalam banyaknya

individu (kuantitasnya). Daerah datar dan lembah umumnya lebih

banyak individu dibanding daerah punggung dan puncak bukit.

2. Suhu Udara dan Kelembaban

Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.

Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional

akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita

mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat

bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman

tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa

banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat

atau beriklim tropis.

Taer tumbuh pada daerah dengan naungan sedang sampai

berat (75–95%) dengan suhu optimum berkisar antara 27–30ºC dan

kelembaban optimum berkisar antara 79–90%. Adanya kisaran

demikian disebabkan karena penyebaran buah taer secara alami di

Pulau Yop Meos adalah pada bagian punggung dan puncak bukit.

Hal ini mengindikasikan bahwa taer mampu tumbuh pada habitat

(56)

Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009

Tabel 4. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat Taer di Pulau Yop Meos

Suhu udara berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu

merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada

jenis-jenis tumbuhan yang hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu

udara tertentu. Umumnya pertumbuhan meningkat kalau suhu

udara naik dan menurun kalau suhu udara turun, disebabkan

karena pengaruh cahaya terhadap aktifitas metabolisme. Pengaruh

nyata dari suhu udara terhadap pola-pola dalam ekosistem adalah

terjadinya zonasi dan stratifikasi.

Kelembaban udara, yang dinyatakan sebagai banyaknya

kandungan uap air dalam udara, merupakan fungsi dari banyak dan

lamanya curah hujan. Kelembaban mempengaruhi suhu udara.

Kelembaban cenderung kurang dari pantai mengikuti ketinggian

tempat atau kelembaban berbanding lurus dengan ketinggian

tempat.

Persen penutupan tajuk menunjukkan banyak cahaya yang

dapat menembus strata atau tajuk hutan dan sampai ke lantai

hutan. Pada hutan tropis cahaya merupakan faktor pembatas.

(57)

Jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan nampak

menentukan lapisan (strata) yang dibentuk oleh pepohonan.

Pulau yang tidak bergunung atau berbukit rendah memiliki

curah hujan yang rendah sedangkan pulau yang bergunung-gunung

memiliki curah hujan yang tinggi. Air penting bagi pertumbuhan

pohon karena pada daerah yang suhunya memungkinkan bagi

pertumbuhan pohon, pepohonan tersebut akan lebih tergantung

pada suplai air.

3. Keadaan Tanah

Taer umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan

solum yang dangkal (± 10 cm) sampai sedang (± 20 cm), sedikit

berbatu, daerah berkarang dengan banyak serasah atau bahan

organik yang proses dekomposisinya lambat dan tanah umumnya

lembab. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah

bergelombang ringan sampai bergelombang berat yang cukup

curam (kelerengan < 45 %) atau pada daerah puncak bukit.

Adanya curah hujan dan suhu udara tinggi di daerah tropika

menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses

pencucian dan pelapukan berjalan cepat. Akibatnya pada daerah

tropika Indonesia, khususnya di Papua, telah mengalami pelapukan

lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Di daerah

yang beriklim lebih kering yang juga terdapat di Tanah Papua,

(58)

Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM Tabel 5. Kesuburan tanah pada habitat taer di Pulau Yop Meos

Parameter

Bahan Organik 10,80 %

Tanah pada habitat taer bersifat netral sampai agak alkalis

(pH 6,65 - 7,98), N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi,

Mg tersedia sedang, C/N ratio sangat tinggi dan K tersedia rendah.

Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada

habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong jenis tanah marginal

dengan tingkat kesuburan sangat rendah sampai rendah.

D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah

1. Potensi Tegakan

Vegetasi berkayu yang tumbuh bersama taer dari tingkat

semai sampai tingkat pohon pada kawasan hutan dataran rendah

punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos berjumlah 62 jenis

(spesies) yang terdiri dari 35 famili. Secara rinci sebagai berikut;

pada tingkat pohon terdapat 40 jenis dari 27 famili, tingkat tiang47

jenis dari 29 famili, tingkat pancang 51 jenis dari 32 famili dan

(59)

Potensi tegakan taer pada hutan alam tropis di Pulau Yop

Meos, berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pancang,

tiang dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 11.

Populasi untuk setiap tingkat pertumbuhan pada habitat

pohon taer membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu

berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi

hutan habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum

mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.

Gambar 11. Potensi tegakan taer berdasarkan tingkat pertumbuhan di Pulau Yop Meos

(60)

Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),

disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis

tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor

seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor

tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan

keberadan jenis taer tersebut di alam yang pada akhirnya peran

kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.

Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan

dengan pancang, tiang dan pohon disebabkan karena jenis ini

meskipun periode berbuahnya cukup lama (3-5 tahun sekali) tetapi

pada waktu berbuah akan menghasilkan buah yang maksimal

dalam jumlah banyak dengan kematangan fisiologis buah yang baik

dan penyebaran benih yang maksimal, karena buahnya yang sudah

masak secara fisiologi sangat mudah diterbangkan oleh angin.

Kondisi Pulau Yop Meos yang sangat dipengaruhi oleh angin laut

menyebabkan pada musim berbuahnya jenis taer, hampir semua

bagian pulau terdapat buah/benih taer yang diterbangkan oleh

angin. Hal ini yang menjadi indikator bagi masyarakat di Pulau Yop

Meos kalau jenis ini memang sedang berbuah dan merupakan

masa puncak berbuah atau masa berbuah optimal. Jika demikian,

maka masyarakat akan mengadakan ritual bersama yaitu berupa

ibadah bersama di gereja sebagai tanda untuk memulai kegiatan

(61)

a. Tingkat Semai

Komposisi jenis vegetasi atau tumbuhan dalam suatu

ekosistem dapat diartikan sebagai variasi jenis flora dan merupakan

daftar floristik jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas

berdasarkan hasil deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005).

Daftar floristik berguna untuk analisis vegetasi karena merupakan

salah satu parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis

tumbuhan (species diversity) di dalam komunitasnya.

Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan

deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga

macam parameter kuantitatif antara lain; densitas (kerapatan),

frekuensi dan dominansi. Indeks nilai penting (important value

index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk

menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)

spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994).

Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu

komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,

sehingga spesies yang paling dominan akan memiliki indeks nilai

penting yang paling besar. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis

dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang

ditempatinya secara efisien daripada jenis lain dalam tempat yang

sama.

Taer pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan

(62)

semai yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak

bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos secara lengkap

disajikan pada Tabel 6. Jenis yang paling dominan berturut-turut

pada kawasan hutan punggung dan bukit di Pulau Yop Meos

adalah Podocarpus neriifolius, Vatica rassak, Litsea ladermanii,

Lunasia amara dan Anisoptera thurifera. Hal ini menunjukkan

adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta

adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis ini dalam

mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dikenal dengan

seleksi-r.

Menurut Banister (1980), respon yang berbeda terhadap

faktor-faktor lingkungan pada setiap tingkat pertumbuhan ditentukan

oleh kemampuan suatu jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa

kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh

berbagai faktor, di antaranya sifat jenis itu sendiri dan

tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Menurut Barstra (1998),

pola aliran air, ketinggian tempat dan tipe tanah adalah faktor-faktor

(63)

Tabel 6. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat taer di Pulau Yop Meos

Potensi permudaan anakan atau semai taer adalah sebanyak

6.750 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 5.

Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya

yang banyak pada tingkat semai bukan karena penyebaran

individunya yang merata, hal ini menggambarkan bahwa jenis ini

menggunakan strategi – r dalam proses regenerasinya.

Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi

pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk

mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui

proses seleksi –r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya

lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak

NAMA JENIS K

Podocarpus neriifolius 6250 11,36 0,7 9,86 21,22

Vatica rassak 9250 16,82 0,3 4,23 21,04

Litsea ladermanii 5750 10,45 0,6 8,45 18,91

Lunasia amara 7000 12,73 0,4 5,63 18,36

Anisoptera thurifera 6750 12,27 0,1 1,41 13,68

Antiaris toxicaria 2750 5,00 0,6 8,45 13,45

Lepinopsis ternatensis 2750 5,00 0,4 5,63 10,63

Sterculia parkisionin 2500 4,55 0,4 5,63 10,18

Dacussocarpus wallichianus 1250 2,27 0,4 5,63 7,91

Haplolobus monticola 1000 1,82 0,4 5,63 7,45

(64)

tersebut merupakan individu yang secara alami dianggap telah

mampu dan stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh,

karena memiliki kualitas yang baik.

b. Tingkat Pancang

Taer pada tingkat permudaan pancang, ternyata merupakan

salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak

bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat

pancang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak

bukit pada hutan di Pulau Yop dapat dilihat pada Tabel 7. Pada

tingkat pancang, jenis yang paling dominan berturut-turut pada

kawasan hutan punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos adalah

Lunasia amara, Palaquium amboinensis, Podocarpus

neriifolius,Vatica rassak dan Haplolobus celebicus.

Dominannya jenis Lunasia amara pada habitat buah taer yaitu

pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop

Meos disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang

sangat tinggi terhadap habitat dengan tanah berkarang dan karang.

Habitat punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos yang

merupakan tanah berkarang dan karang sangat mendukung bagi

pertumbuhan jenis Lunasia amara. Karena kemampuannya yang

baik untuk tumbuh pada daerah berkarang, jenis Lunasia amara

oleh beberapa suku yang bermukim pada kawasan hutan dataran

Gambar

Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia
Gambar 3. Perempuan   Korowai   di   DusunSagu sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarga
Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagus Rottbelliana.), salah satujenis bahan pangan pokok etnik Papua
Gambar 8. Anisoptera thurifera ssp. polyandra(Bl.) Ashton –
+7

Referensi

Dokumen terkait

Samsoedin &amp; Subandiono (2006) menyatakan bahwa hutan kota merupakan pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi lichenes pada tegakan pohon Pinus merkusii di dua kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara yaitu

Berdasarkan analisis data kuantitatif secara umum dapat disimpulkan bahwa areal tutupan dominan pohon buah di hutan tembawang ampar memiliki keanekaragaman jenis vegetasi (flora)

Nilai tersebut berarti keanekaragaman jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Gunung Ambawang termasuk dalam kategori sedang.Hasil analisa data di kawasan

Nilai tersebut berarti keanekaragaman jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Gunung Ambawang termasuk dalam kategori sedang.Hasil analisa data di kawasan

Pohon penghasil buah-buahan di Zona Panoghan dan Zona Sialang Layang Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio memiliki karakteristik batang berwarna cokelat dan

Keanekaragaman Vegetasi Tanaman Obat di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Kawasan Taman Hutan Raya Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara.. Program Studi Kehutanan

Judul Penelitian : Keanekaragaman Jenis Burung Berdasarkan Pemanfaatan Strata Vertikal Vegetasi di Hutan Mangrove Desa Jaring Halus.. Nama :