RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
Bagian-1
P
Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan
Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Hak Cipta
Pasal 2.
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
Bagian-1
P
Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan
Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber
Bahan Pangan di Tanah Papua
Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding,
Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak
Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo
Kementerian Kehutanan
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA
(Bagian-1)
P
Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah
sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua
ISBN
978-979-8452-51-2
© Tim Penulis
Cetakan Pertama, November 2012
Peer Reviewer
Prof. Dr Evrizal A.M Zuhud, M.Sc.
Dr. Tati Rostiwati, M.Si.
Proof Reader
Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc.
Gambar sampul :
Pulau Yo Meos, Sagu, , Buah Piarawi, Buah ,
Buah Gayang, dan
Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt XI
Jl Jend. Gatot Soebroto Jakarta Pusat
“Kami mendedikasikan buku ini
untuk mereka yang bekerja dengan hati
di Tanah Papua dan menaruh
perhatian pada keanekaragaman
tumbuhan dan lingkungan, para mentor
kami dan seluruh masyarakat di Tanah
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
UCAPAN TERIMAKASIH
xiii
xv
I.
PENDAHULUAN
1
II.
KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
6
A. Potensi Jenis Endemik
6
B. Kondisi Saat Ini
11
C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua
20
III.
SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA
21
A.
Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial
21
B.
Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua
22
IV. BUAH TAER (
Anisoptera thurifera
ssp.
polyandra
(Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU
WONDAMA DI PULAU YOP MEOS KABUPATEN
TELUK WONDAMA
25
A. Deskripsi Botani
25
C. Ekologi Habitat Taer
35
1. Faktor Fisiografis
36
2. Suhu Udara dan Kelembaban
38
3. Keadaan Tanah
40
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi
Buah
41
1. Potensi Tegakan
41
a. Tingkat Semai
44
b. Tingkat Pancang
47
c. Tingkat Tiang
51
d. Tingkat Pohon
52
2. Struktur Populasi
54
3. Potensi Buah
57
E. Kandungan Gizi Taer
58
F. Etnobotani Taer dalam Budaya Suku Wondama
59
1. Fungsi Historis dan Pertahanan
60
2. Fungsi Ketahanan Pangan atau Konsumtif
61
G. Konservasi Tradisional
62
H. Status Konservasi
62
I.
Prospek Pengembangan
64
V. BUAH PIARAWI (
Haplolobus
cf.
monticola
Husson)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA
A. Deskripsi Botani
67
B. Kondisi Sosio-Geografis
70
C. Ekologi Habitat Piarawi
75
1. Faktor Fisiografis
75
2. Suhu Udara dan Kelembaban
76
3. Keadaan Tanah
77
D. Potensi Tegakan dan Buah
78
1. Potensi Tegakan
78
2. Potensi Buah
79
E. Kandungan Gizi Piarawi
80
F. Etnobotani Piarawi dalam Budaya Suku Wondama
82
1. Fungsi Historis dan Pertahanan
83
2. Fungsi Legalitas Perkawinan
84
3. Fungsi Perdamaian atau Rekonsilidasi
85
4. Fungsi Ekonomi
89
5. Fungsi Pewarisan
89
G. Konservasi Tradisional
90
H. Status Konservasi
92
I.
Prospek Pengembangan
92
VI. BUAH WOTON (
Sterculia shillinglawii
F.v. Muell.)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU GEBE DI
PULAU GAG KABUPATEN RAJA AMPAT
95
B. Kondisi Sosio-Geografis
98
C. Ekologi Habitat Woton
104
1. Faktor Fisiografis
104
2. Suhu Udara dan Kelembaban
106
3. Keadaan Tanah
106
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi
Buah
107
1. Potensi Tegakan
107
a. Tingkat Semai
109
b. Tingkat Pancang
112
c. Tingkat Tiang
114
d. Tingkat Pohon
116
2. Struktur Populasi
118
3. Potensi Buah
120
E. Kandungan Gizi Woton
121
F. Etnobotani Woton dalam Budaya Suku Gebe
121
G. Konservasi Tradisional
124
H. Status Konservasi
124
I.
Prospek Pengembangan
126
VII. BUAH GAYANG (
Inocarpus fagifer
Fosberg) DAN
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU ISIRAWA DI
KABUPATEN SARMI
129
B. Kondisi Sosio-Geografis
134
C. Ekologi Habitat Gayang
139
1. Faktor Fisiografis
139
2. Suhu Udara dan Kelembaban
140
3. Keadaan Tanah
141
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi
Buah
142
1. Potensi Tegakan
142
a. Tingkat Semai
144
b. Tingkat Pancang
146
c. Tingkat Tiang
147
d. Tingkat Pohon
148
2. Struktur Populasi
150
3. Potensi Buah
151
E. Kandungan Gizi Buah Gayang
152
F. Etnobotani Gayang dalam Budaya Suku Isirawa
153
G. Konservasi Tradisional
156
H. Status Konservasi
157
I.
Prospek Pengembangan
158
VIII. KELAPA HUTAN (
Borassus heineanus
Becc.) DAN
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU MANIREM DI
KABUPATEN SARMI
161
B. Kondisi Sosio-Geografis
166
C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan
168
1. Faktor Fisiografis
168
2. Suhu Udara dan Kelembaban
169
3. Keadaan Tanah
170
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi
Buah
171
1. Potensi Tegakan
171
a. Tingkat Semai
172
b. Tingkat Pradewasa
175
c. Tingkat Dewasa
178
2. Struktur Populasi
180
3. Potensi Buah
181
E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan
182
F. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku
Manirem
184
G. Konservasi Tradisional
186
H. Status Konservasi
187
I.
Prospek Pengembangan
188
IX. ANGGUR PAPUA (
Sararanga sinuosa
Hemsley)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU TEPRA DI
KABUPATEN JAYAPURA
192
A. Deskripsi Botani
192
C. Ekologi Habitat Anggur Papua
208
1. Faktor Fisiografis
209
2. Suhu Udara dan Kelembaban
209
3. Keadaan Tanah
210
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi
Buah
211
1. Potensi Tegakan
211
a. Tingkat Semai
213
b. Tingkat Pradewasa
215
c. Tingkat Dewasa
218
2. Struktur Populasi
220
3. Potensi Buah
222
E. Kandungan Gizi Anggur Papua
223
F. Etnobotani Anggur Papuadalam Budaya Suku
Tepra
224
G. Konservasi Tradisional
225
H. Status Konservasi
226
I.
Prospek Pengembangan
227
PENUTUP
230
DAFTAR PUSTAKA
232
GLOSARY
236
INDEKS SUBYEK
255
INDEKS NAMA ILMIAH
263
SAMBUTAN KEPALA BADAN
Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di
Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di
dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sanga tinggi.
Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan
penyebarannya. Demikian pula dengan pemanfaatannya
dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih
dalam skala kecil dan bersifat tradisional.
Buku ini mengungkapkan keanekaragaman flora tanah
Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan
prospek pengembangan sebagai diversifikasi bahan pangan.
Buku ini sangat menarik, karena selain memberikan
pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di
dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua
yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi
yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga
jelas untuk dikenal.
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi generasi berikutnya dengan baik.
Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada
saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A.
Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Charlie D. Heatubun dan
Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan
semoga karya ini merupakan perintis bagi karya-karya
selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti
lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan
Ilmu Pengetahuan di Indonesia.
November , 2012
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam
proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa
penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan
Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu tahun
2009 dan tahun 2010 yang merupakan hasil kerjasama Badan
Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Negara Riset dan Teknologi.
Kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap
penerbitan buku ini, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan yang bersedia memfasilitasi karya kami; Ir. Thomas
Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala
Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono,
M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu
sehingga buku ini dapat diterbitkan; Prof. Dr. Ir. Ervizal AǤM.
Zuhud, M.Sc dari Institut Pertanian Bogor; Dr. Dra. Tati
Rostiwati, M.Si dari Badan Litbang Kehutanan selaku Peer
Reviewer dan Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc. selaku Proof
untuk penyempurnaan tulisan ini sehingga layak untuk
diterbitkan. Kepala Kampung Gambir di Pulau Gag, Kepala
Kampung Yop di Pulau Yop Meos, Kepala Kampung Maniwak
(Miei), Kepala Kampung Amsira dan Kepala Kampung
Tablasupa yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian
ini dapat berlangsung; Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian
UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian UGM dan Herbarium Bogoriense LIPI yang telah
membantu dalam proses analisis tanah, kandungan gizi dan
genetika.
Akhirnya kami menyadari bahwa buku Rediversifikasi
Pangan di Tanah Papua (Bagian I): Pemanfaatan Enam Jenis
Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan
Pangan di Tanah Papua,masih jauh dari sempurna.Untuk itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi
penyempurnaan buku ini dan seri selanjutnya. Semoga buku ini
memberikan manfaat dan menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang keanekaragaman dan manfaat flora di
Indonesia, khususnya di Tanah Papua.
Manokwari, November 2012
Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki
hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam
bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka
gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu
pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap
faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka
berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua
faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup
penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal
dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara
pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona
hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki
cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan
hutan.
Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.
Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang
tergantung pada penyesuaian kebutuhan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember,
1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada
suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik
pada beberapa etnik di Papua.
Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73
tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed
pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya,
Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan
sekitarnya), Kaberry pada tahun yang sama di Jayapura dan
sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada
tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen
dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen,
Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee
et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan
sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada tahun yang sama di
Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada tahun 1963 di
Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya).
Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani
selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam,
Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai
dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta
Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat
sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum
banyak terungkap. Penelitian tersebut sesungguhnya sangat
menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang
tumbuh-tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia
budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya
bangsa.
Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis
tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah
menjadi indikator penting perlunya pengembangan potensi
sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini.
Sumbangan yang diberikan berupa peningkatan ekonomi
masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya
hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa
sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) perlu
mendapat tempat tersendiri dalam aktivitas ekonomi dan
perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi
keberlanjutan produktivitas hutan, Upaya semacam ini memiliki
resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil.
Menurut Barber et al(1997), pemanfaatan sumberdaya hutan
secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa
dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, namun
permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang
akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan
untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua
disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari
pengetahuan lokal yang kemudian pemanfaatannya dikembangkan
lewat teknologi yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan
sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih
ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan.
Menurut Whitmore (1966) dalam Powell (1976), studi
etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan
khususnya biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat
perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada
masa lalu sumber makanan tambahan (suplement food) yang
berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki nilai penting
dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea.
Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan
biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat
terbatas. Di sisi lain, aplikasi hasil kajian etnobotani, khususnya
bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan
kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat
maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa
pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri
terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini
tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki
masyarakat etnik Wondama di Teluk Wondama, Gebe di Pulau
Gag, Tepra di Depapre serta Isirawa dan Manirem di Sarmi.
Papua? dan apakah masyarakat lokal masih memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan pangan
alternatif? Untuk menjawab masalah tersebut maka sangat
diperlukan penelitian dalam upaya mengumpulkan informasi
pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam.
Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang
disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan
pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau
pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk
mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian
eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh
lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan
informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi
tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan
makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan
peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah
potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua.
Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan
selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan
A. Potensi Jenis Endemik
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New
Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui
dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman
hayati yang tertinggi di dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan
banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora),
yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan
flora malesiana (Petocz, 1987).
Menurut Primack (1998), keragaman flora yang terdapat pada
suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas
serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah
hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau
dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz
(1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan
hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan
famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di
dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa
tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat
dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini
kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, belum
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya.
Demikian pula pemanfaatan dalam rangka peningkatan
Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan
sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan
atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah :
1. Paijsman (1976), sebanyak 1.465 jenis (spesies) dari
Angiospermaetelah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan
mencapai 9.000 jenis.
2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalamPetocz (1987), jumlah
flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis.
3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora
seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui
20.000 jenis.
4. Johns (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat
tinggi diperkirakan sebanyak 20.000-25.000 jenis.
Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah
Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia
secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (van
Steenis-Kruseman dan van Steenis Cyclopedia of Botanical Exploration in
Malesia, Flora MalesianaI (1).1950) :
1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis.
2. Kalimantan (Borneo): antara 10.000-15.000 jenis. namun
berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis
tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).
3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis tumbuhan
berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).
4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 jenistumbuhan tinggi
5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya
tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900
berasal dari Maluku Utara.
6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor,
Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya.
Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis
tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan
Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada
Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan
perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan
masing-masing daerah di Indonesia.
Tanah Papua dengan keanekaragaman jenis flora diduga
berkisar antara 20.000-25.000 jenis, merupakan daerah yang
memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini
sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa
dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah
keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi
sampai melampaui 10.000 jenis dalam tahun-tahun mendatang.
Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja
yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan
kesejahteraan mereka.
Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data
perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan
seperti hampir dilupakan.
Tabel 1.Kekayaan jenis endemik flora di beberapa daerah di Indonesia
Wilayah Kekayaan Spesies Endemik
Persentase Spesies Endemik
(%)
Sumatera 820 11
Jawa 630 5
Kalimantan 900 33
Sulawesi 520 7
Sunda kecil 150 3
Maluku 380 6
Papua 1030 55
Sumber : FAO/MacKinnon (1981)dalamKusmana dan Hikmat (2005)
Tabel 2 menunjukkan jumlah koleksi herbarium selama kurun
waktu tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa
Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di
Papua (New Guinea). Selama kurun waktu tahun 1951-2008,
jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di
Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian dan ekspedisi
taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua
Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia
TAHUN 1817 - 1950 TAHUN 1951 - 2008 PULAU LUAS
2.980.155 196.755 3,6 2.150
(Papua)
946 (Papua)
Maluku (Moluccas)
63.575 27.525 43 22.216 1.173
Sulawesi (Celebes)
182.870 32.350 18 15.420 1.834
Nusa Tenggara 98.625 24.546 25 4.365 3.638
Kalimantan (Borneo)
739.175 91.550 12 28.820
(Kalimantan)
2.739 (Kalimantan)
Jawa (Java)
132.474 247.522 25 4.363 3.638
Ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman
hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk
Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua,
Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai utara,
Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur pulau Papua dan
Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di
“kepala burung (Vogelkop)” pulau Papua. Ke empat kabupaten
tersebut memiliki arti yang strategis dalam potensi keanekaragaman
hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas
dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi.
Selain itu ke empat kabupaten ini juga memiliki etnik atau suku yang
cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan
hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan
yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya
terdapat di Tanah Papua saja) dan indigenous(native species) yang
merupakan jenis tumbuhan asli Tanah Papua dengan
penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku
(Moluccas) dan di Sulawesi (Celebes).
B. Kondisi Saat Ini
Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 bahasa1), dan
dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka
ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa
1)
dan bahasa tersebut, 5 suku bangsa di antaranya sudah tidak ada
lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya
hanya tertinggal 271 suku bangsa dari suku-suku tersebut. Saat ini
telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga
jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan
bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku
Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan
dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Bahasa asli yang berjumlah 271 bahasa tersebut dapat
dikategorikan kedalam dua kategori phylum2) (golongan bahasa)
yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan
bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam
phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu
umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam
phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di
daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat
lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan
Halmahera Utara.
Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara
umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai
dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok berupa
sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, gumbili,
ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik
Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki
bahan pangan pokok umbian-umbian.
Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten
baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah
meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras
yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu
alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen
dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka
2)
(editor-lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu
menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan
sagu dan umbi-umbian.
Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program
pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan
nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat
sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan
(berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan
pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan
masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat
beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan
utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan
pangan alternatif saja.
Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagusRottbelliana.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua
Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan
pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang
memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada
daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah pegunungan
tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari
ekonomi lemah.
Gambar6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2011 Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
A B
Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal
jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat
sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau
gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada,
masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.
Di era Otonomi Daerah saat ini, terutama dengan adanya
perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan
saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi
sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi
kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya.
Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak
menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman
bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan
sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan
peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang
dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam
tersebut.
Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang
berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin
cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001,
dari 21,9 juta hektar hutan produksi, 12 juta hektar telah diberikan
kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut
tumpangtindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi
(Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang
Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh
pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan
kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan
18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi
19 kabupaten setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir
tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan
yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten
baru. Rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit,
pemukiman dan pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat
mendorong terjadinya konversi hutan. Konsekuensi yang harus
dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat
besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya
hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk
digali manfaatnya.
Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, belum banyak penelitian mengenai
potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan
tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari
keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber
informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru
yang masih potensial.
Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi
pengembangan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah
potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam
masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan
manfaat jenis tumbuhan tersebut.
C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua
Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan
oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun
temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional
masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam
tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan
adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut
terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan
sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain.
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam
tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat
penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan
budaya bangsa berdasarkan pengalaman yang secara turun
temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi
berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan
datang. Oleh karena itu, warisan tersebut sangat perlu dijaga dan
dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif
yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat
dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena
menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara
Iiiiii
A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial
Hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941,
Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan
Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963,
Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan
Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukkan bahwa terdapat 225 jenis
tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan.115 jenis
tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magik, 39 jenis
dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis
dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat
luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38
jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis
dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis
dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis
dimanfaatkan sebagai obat malaria.
Lekitooet all(2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang
buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman
Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al
(2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen
herbarium diketahui bahwa enam jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papuayang
dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Wondama, Gebe,
Isirawa, Manirem dan Depapre/Tepra) adalah sebagai berikut :
1. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.)
Ashton)
2. Waribo (Borassus heineanusBeccarii)
3. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson)
4. Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
5. Selre (Sararanga sinuosaHemsley)
6. Woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.)
A. Papua
B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua
Buah taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton)
dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop
Meos Kabupaten Teluk Wondama seperti kacang hijau, piarawi atau
buah hitam (Haplolobus cf. monticola Husson) dimanfaatkan daging
buahnya sebagai sumber lemak atau seperti alpukat oleh
masyarakat Suku Wondama di Kabupaten Teluk Wondama, buah
woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.) dimanfaatkan bijinya oleh
masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat seperti
kacang hijau, buah gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Isirawa di Kabupaten
masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan
pangan seperti kelapa pantai (Cocos nucifera) dan selre atau
anggur Papua (Sararanga sinuosaHemsley) dimanfaatkan buahnya
oleh masyarakat Suku Depapre/Tepra di Kabupaten Jayapura
sebagai bahan pangan seperti buah anggur (Vitis vinifera).
Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi
habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan
gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan
prospek pengembangan dari enam jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik
A. Deskripsi Botani
Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Asthon (Dipterocarpaceae)
Nama dagang : mersawa Nama daerah : taer (Yop/Wondama), takum (Ambaidiru/Yapen)
Perawakan: Pohon berukuran besar, tingginya mencapai 40–45 m. Batang utama silindris, sedikit berbuncak, berpilin tetapi tidak berlekuk. Bebas cabang mencapai 30 m dengan diameter setinggi dada ± 150 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 200 cm. Pepagan luar kasar, berlenti sel, berwarna coklat atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Tidak bergetah.Pepagan dalam keras dan berserat, berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan. Daun tunggal, kedudukan daun melingkar (spiral), berbentuk bulat menjorong, pangkal daun membulat, ujung daun melancip, tepi daun rata atau bergerigi halus, panjang 8–11 cm, lebar 3,5–5 cm, panjang tangkai daun 2,6–3 cm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, urat daun sekunder menyirip, 10–12 pasang, urat daun tersier berbentuk jala. Permukaan atas berwarna hijau kusam, permukaan bawah hijau muda. Daun tua biasanya berwarna kekuningan. Perbungaan berbentuk malai biasanya pada ketiak daun atau ujung ranting, tangkai bunga panjangnya 5 mm. Bungadaun kelopak bulat telur memanjang, runcing, hijau pucat atau kemerahan, dari luar berambut. Daun mahkota kuning atau putih kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm. tonjolan dasar bunga berambut kasar. Bakal buah bulat telur, berambut rapat. Kepala putik tidak melebar. Buah bersayap dengan pangkal membulat atau berbentuk bola, gundul atau berambut halus, berwarna kuning, bergaris tengah ± 2 cm. Biji1, berdiameter 0,7–1,0 cm, berbentuk bulat pipih dan berwarna hijau terang atau hijau mengkilat.
Gambar 8. Anisoptera thurifera ssp. polyandra(Bl.) Ashton –
A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. Buah tua
A
B
Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009
C
Dokumentasi: C. D. Heatubun, 2006
D
Taer (A. thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton, adalah
merupakan jenis tumbuhan asli (native species) di Papua.
Penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara
(Halmahera). Jenis ini juga merupakan salah satu jenis kayu
komersil di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya.
Sayangnya, jenis ini pada diameter tertentu, tegakan alaminya
sangat mudah diserang oleh bubuk kayu sehingga sering dijumpai
kering atau mati pada hutan alam, terutama pada hutan alam tropis
di Halmahera. Kayunya yang sudah ditebang, apabila terlambat
dikupas kulitnya, dalam beberapa hari akan membusuk karena
sangat mudah diserang hama bubuk kayu.
Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang
dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis
dari marga Anisoptera yang terdapat di Papua. Jenis ini biasanya
tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan jenis
vegetasi berkayu lainnya membentuk formasi hutan hujan dataran
rendah Papua yang sangat kaya akan keanekaragaman jenisnya.
Tumbuh menyebar pada hutan dataran rendah dengan tipe
habitattanah, tanah berbatu dan tanah berkarang dengan
penyebaran secara ekologipada ketinggian tempat dari 10–600m
dpl. Jenis ini termasuk jenis yang berbuah sekali dalam 3 sampai 5
tahun pada umumnya, namun biasanya ada satu sampai beberapa
pohon yang berbuah dan buahnya tidak banyak pada waktu-waktu
tertentu atau pada tahun di mana bukan musim buahnya. Meskipun
regenerasinya di alam tetap terjaga karena buah yang dihasilkan
sangat banyak.
B. Kondisi Sosio-Geografis
Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten
di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari
yang terbentuk pada tanggal 12 April 2003 berdasarkan UU Nomor
26 Tahun 2002. Kabupaten tersebut terletak pada “leher burung”
pulau Papua dengan koordinat geografis 0°15’00” - 3°25’00”Lintang
Selatan dan 132°35’00” - 134°45’00” Bujur Timur dengan luas
1.440.074 ha dengan rincian 662.786 ha luas daratan dan 778.288
ha luas perairan. Wilayah Kabupaten Teluk Wondama memiliki iklim
tropika basah dengan ciri-ciri curah hujan yang tinggi yaitu berkisar
antara 1.400–4.900 mm per tahun dengan penyebaran merata
sepanjang tahun dan suhu udara berkisar antara 22,9°-33,0°C.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai
162 mm/bulan (BNPB, 2011).
Secara administratif Kabupaten Teluk Wondama memiliki
batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Ransiki Kabupaten
Manokwari;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten
Nabire;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Idoor dan Kuri
Kabupaten Teluk Bintuni.
Sejarah penulisan atau penyebutan “Wandamen” berasal dari
publikasi para penulis asing yang menuliskan Wondama-man, untuk
menyebutkan keberadaan penduduk lokal yang berada di
Wondama. Secara entimologi Wondama berasal dari bahasa
Wamesa “Won”artinya orang yang ditakdirkan atau ditentukan dan
“Dama” artinya datang dan mendiami tanah dan negerinya. Secara
harafiah Wondama berarti manusia yang dipilih untuk tinggal dan
membangun tanah dan negerinya.
Sejarah asal-usul etnis Wondama berasal dari kepercayaan
tradisional Cargo cults, yang telah dipercaya turun temurun dan
sudah ada sebelum agama Kristen masuk di Wondama. Pola
kepercayaan tradisional Cargo cults terdiri dari : Okultisme,
animismedan mitos. Etnis Wondama terdiri dari Suku Wamesa,
Kuri, Miere, Mairasi (Toro), Ambumi, Dusner, Roon dan Sough.
Sistem kepemimpinan tradisional Suku Wondama merupakan
sistem kepemimpinan campuran (Mansoben, 1995). Sistem
kepemimpinan campuran ini merupakan sistem yang memiliki sifat
pewarisan kedudukan yang terdapat dalam sistem kepemimpinan
raja dan Ondoafi, dan sifat pencapaian kedudukan pemimpin yang
terdapat pada sistem kepemimpinan pria berwibawa (bigman). Tipe
kepemimpinan campuran diperoleh pada tingkat stratifikasi sosial
yang rendah dan sifatnya ditentukan oleh waktu dan tempat. Untuk
berubah-ubah menurut situasi dan kondisi daerah setempat. Untuk
menjadi pemimpin pada masa keadaan relatif kondusif damai dan
makmur, kriteria bagi seorang pemimpin didasarkan atas keturunan,
jadi kedudukan pemimpin diemban oleh seseorang yang
berketurunan pendiri kampung (berlaku sifat pewarisan kedudukan
pemimpin). Sebaliknya jika berada pada situasi tidak kondusif,
ketika masyarakat mengalami kesulitan, misalnya kelaparan karena
musim kering yang berkepanjangan, wabah penyakit yang
menyerang, bahaya karena diserang musuh atau penduduk sedang
dilanda dekadensi moral akibat proses akulturasi, maka kriteria
pemimpin tidak lagi didasarkan pada keturunan, tetapi diutamakan
kepada kemampuan atau kecakapan seseorang untuk menjadi
pemimpin. Dalam keadaan demikian individu-individu dengan
kacakapan tertentu akan tampil ke depan untuk menjadi pemimpin
masyarakatnya dalam usaha mengatasi situasi yang dihadapi.
Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di
Kabupaten Teluk Wondama. Secara administrasi, Pulau Yop
termasuk wilayah Distrik Windisi. Jika ditempuh dengan
menggunakan kendaraan laut dari ibu kota kabupaten, waktunya
sangat relatif tergantung cuaca (gelombang laut), jenis transportasi
dan kecepatan motor laut yang digunakan. Jika menggunakan
perahu semang dengan motor 15 PK, waktu yang ditempuh 2 jam
(tanpa gelombang) dan 2 jam 30 menit sampai 4 jam jika
gelombang. Jika menggunakan perahu semang (longboat) dengan
speedboatdengan motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa
gelombang) dan I Jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika
menggunakan speedboat dengan motor 80 PK, waktu yang
ditempuh 30 menit sampai 45 menit (tanpa gelombang) dan 1 jam
sampai 1 jam 30 menit jika gelombang.
Posisi Pulau Yop Meos yang melintang pada bagian
permukaan Teluk Wondama menyebabkan masyarakat Wondama
percaya dan selalu menghubungkan posisi letak pulau tersebut
dengan cerita mitos Kuri dan Pasai. Cerita mitos Kuri dan Pasai
mengisahkan tentang dua orang raksasa bersaudara (kakak dan
adik) yang bernama Kuri dan Pasai. Ke dua raksasa ini akhirnya
berkelahi atau berperang karena adanya selisih paham yang
disebabkan karena tipu muslihat di antara keduanya. Akhirnya
Pasai meninggalkan Kuri dan pergi ke sebelah Barat. Pasai berjanji
akan kembali ke Wondama dengan membawa ilmu pengetahuan
serta benda-benda lainnya. Sementara Kuri tinggal di tempatnya di
Inggorosai (Wondama) dan meninggal akibat tipu muslihat orang
Maniwak (orang-orang kerdil yang tinggal di Miei) hanya karena
keinginannya memakan sagu. Secara umum dari mitos ini
masyarakat asli Wondama percaya bahwa apabila Pasai datang
kembali (pulang) ke Wondama maka Pulau Yop Meos akan
bergerak menutup Teluk Wondama yang dianggap sebagai pintu
masuk ke Kabupaten Wondama sehingga orang Wondama yang
berada di luar Wondama tidak bisa pulang atau kembali lagi ke
Mansoben (1995), membagi sistem mata pencaharian
suku-suku di Papua atas empat zona yang masing-masing menunjukkan
diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka
berdasarkan kebudayaannya. Ke empat zona ekologi tersebut
adalah :
1. Zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai (Swampy
Area, Coastal and Riverine);
2. Zona ekologi daerah pantai dan hutan pantai (Coastal Lowland
Areas);
3. Zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah kecil (Foothills and
Small Valleys);
4. Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands).
Secara umum Kampung Yop Meos termasuk dalam zona
ekologi kedua yaitu daerah pantai dan hutan pantai dengan mata
pencaharian utama adalah berladang berpindah dan mata
pencaharian pendamping yaitu menangkap ikan di sungai dan di
Gambar 9.
Lokasi Pulau Yop Meos di KabupatenTeluk Wondama
Pulau Yop
Gambar 10. Pulau Yop Meos
Gambar 10. Pulau Yop Meos
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
C. Ekologi Habitat Taer
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap
jenis taer,baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun
di luar habitatnya (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu
untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor
fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan
kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang
dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan
bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi
dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan
sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat
tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan
yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan
bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau areal
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; habitat, karena habitat
akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya waktu
vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu
jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada di sekitarnya.
Secara umum kepulauan memiliki keanekaragaman spesies
yang lebih rendah dari pada pulau besar. Hal ini disebabkan oleh
waktu yang terbatas untuk mengakumulasi spesies karena umur
kepulauan yang relatif lebih muda (Leksono, 2007). Pada tahun
1961, MacArthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru
menyatakan sedikitnya jumlah spesies di kepulauan bukan
disebabkan oleh waktu yang terbatas bagi spesies untuk menyebar,
tetapi oleh keseimbangan yang terjadi di semua kepulauan.
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun
penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan,
terutama karena pengaruhnya terhadap iklm. Topografi mempunyai
arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan
dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam
penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu
daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.
Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan
kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih
baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan
pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang
berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi
permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan
rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan
tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang
dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan
basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007).
Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor
iklim. Suhu udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah
(Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua,
keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat
keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian
tempat pada habitat pohon buah taer di Kampung Yop Meos (Pulau
Yop) adalah 150–220m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya
maka taer digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu (pohon)
dataran rendah.
Tabel 3. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat taer di Pulau Yop Meos
Lereng atau kemiringan lahan adalah sudut yang dibentuk
oleh permukaan tanah dan bidang horisontal. Taer pada Kampung
Yop Meos tumbuh baik pada kisaran kelerangan 20-110%. Kisaran
kelerengan tersebut sangat bervariasi dan memiliki kondisi habitat
yang relatif datar sedikit bergelombang ringan dan sedang sampai
berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan taer.
Kualitas pertumbuhan taer pada habitat datar dan bergelombang
umumnya sangat baik, namun sangat berbeda dalam banyaknya
individu (kuantitasnya). Daerah datar dan lembah umumnya lebih
banyak individu dibanding daerah punggung dan puncak bukit.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.
Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional
akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita
mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat
bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman
tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa
banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat
atau beriklim tropis.
Taer tumbuh pada daerah dengan naungan sedang sampai
berat (75–95%) dengan suhu optimum berkisar antara 27–30ºC dan
kelembaban optimum berkisar antara 79–90%. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena penyebaran buah taer secara alami di
Pulau Yop Meos adalah pada bagian punggung dan puncak bukit.
Hal ini mengindikasikan bahwa taer mampu tumbuh pada habitat
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
Tabel 4. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat Taer di Pulau Yop Meos
Suhu udara berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu
merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada
jenis-jenis tumbuhan yang hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu
udara tertentu. Umumnya pertumbuhan meningkat kalau suhu
udara naik dan menurun kalau suhu udara turun, disebabkan
karena pengaruh cahaya terhadap aktifitas metabolisme. Pengaruh
nyata dari suhu udara terhadap pola-pola dalam ekosistem adalah
terjadinya zonasi dan stratifikasi.
Kelembaban udara, yang dinyatakan sebagai banyaknya
kandungan uap air dalam udara, merupakan fungsi dari banyak dan
lamanya curah hujan. Kelembaban mempengaruhi suhu udara.
Kelembaban cenderung kurang dari pantai mengikuti ketinggian
tempat atau kelembaban berbanding lurus dengan ketinggian
tempat.
Persen penutupan tajuk menunjukkan banyak cahaya yang
dapat menembus strata atau tajuk hutan dan sampai ke lantai
hutan. Pada hutan tropis cahaya merupakan faktor pembatas.
Jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan nampak
menentukan lapisan (strata) yang dibentuk oleh pepohonan.
Pulau yang tidak bergunung atau berbukit rendah memiliki
curah hujan yang rendah sedangkan pulau yang bergunung-gunung
memiliki curah hujan yang tinggi. Air penting bagi pertumbuhan
pohon karena pada daerah yang suhunya memungkinkan bagi
pertumbuhan pohon, pepohonan tersebut akan lebih tergantung
pada suplai air.
3. Keadaan Tanah
Taer umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan
solum yang dangkal (± 10 cm) sampai sedang (± 20 cm), sedikit
berbatu, daerah berkarang dengan banyak serasah atau bahan
organik yang proses dekomposisinya lambat dan tanah umumnya
lembab. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah
bergelombang ringan sampai bergelombang berat yang cukup
curam (kelerengan < 45 %) atau pada daerah puncak bukit.
Adanya curah hujan dan suhu udara tinggi di daerah tropika
menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses
pencucian dan pelapukan berjalan cepat. Akibatnya pada daerah
tropika Indonesia, khususnya di Papua, telah mengalami pelapukan
lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Di daerah
yang beriklim lebih kering yang juga terdapat di Tanah Papua,
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM Tabel 5. Kesuburan tanah pada habitat taer di Pulau Yop Meos
Parameter
Bahan Organik 10,80 %
Tanah pada habitat taer bersifat netral sampai agak alkalis
(pH 6,65 - 7,98), N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi,
Mg tersedia sedang, C/N ratio sangat tinggi dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada
habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong jenis tanah marginal
dengan tingkat kesuburan sangat rendah sampai rendah.
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Vegetasi berkayu yang tumbuh bersama taer dari tingkat
semai sampai tingkat pohon pada kawasan hutan dataran rendah
punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos berjumlah 62 jenis
(spesies) yang terdiri dari 35 famili. Secara rinci sebagai berikut;
pada tingkat pohon terdapat 40 jenis dari 27 famili, tingkat tiang47
jenis dari 29 famili, tingkat pancang 51 jenis dari 32 famili dan
Potensi tegakan taer pada hutan alam tropis di Pulau Yop
Meos, berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pancang,
tiang dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 11.
Populasi untuk setiap tingkat pertumbuhan pada habitat
pohon taer membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu
berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
hutan habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum
mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.
Gambar 11. Potensi tegakan taer berdasarkan tingkat pertumbuhan di Pulau Yop Meos
Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis
tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor
seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor
tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberadan jenis taer tersebut di alam yang pada akhirnya peran
kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.
Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan
dengan pancang, tiang dan pohon disebabkan karena jenis ini
meskipun periode berbuahnya cukup lama (3-5 tahun sekali) tetapi
pada waktu berbuah akan menghasilkan buah yang maksimal
dalam jumlah banyak dengan kematangan fisiologis buah yang baik
dan penyebaran benih yang maksimal, karena buahnya yang sudah
masak secara fisiologi sangat mudah diterbangkan oleh angin.
Kondisi Pulau Yop Meos yang sangat dipengaruhi oleh angin laut
menyebabkan pada musim berbuahnya jenis taer, hampir semua
bagian pulau terdapat buah/benih taer yang diterbangkan oleh
angin. Hal ini yang menjadi indikator bagi masyarakat di Pulau Yop
Meos kalau jenis ini memang sedang berbuah dan merupakan
masa puncak berbuah atau masa berbuah optimal. Jika demikian,
maka masyarakat akan mengadakan ritual bersama yaitu berupa
ibadah bersama di gereja sebagai tanda untuk memulai kegiatan
a. Tingkat Semai
Komposisi jenis vegetasi atau tumbuhan dalam suatu
ekosistem dapat diartikan sebagai variasi jenis flora dan merupakan
daftar floristik jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas
berdasarkan hasil deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005).
Daftar floristik berguna untuk analisis vegetasi karena merupakan
salah satu parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis
tumbuhan (species diversity) di dalam komunitasnya.
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan
deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga
macam parameter kuantitatif antara lain; densitas (kerapatan),
frekuensi dan dominansi. Indeks nilai penting (important value
index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk
menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994).
Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu
komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
sehingga spesies yang paling dominan akan memiliki indeks nilai
penting yang paling besar. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis
dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang
ditempatinya secara efisien daripada jenis lain dalam tempat yang
sama.
Taer pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan
semai yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos secara lengkap
disajikan pada Tabel 6. Jenis yang paling dominan berturut-turut
pada kawasan hutan punggung dan bukit di Pulau Yop Meos
adalah Podocarpus neriifolius, Vatica rassak, Litsea ladermanii,
Lunasia amara dan Anisoptera thurifera. Hal ini menunjukkan
adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta
adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis ini dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dikenal dengan
seleksi-r.
Menurut Banister (1980), respon yang berbeda terhadap
faktor-faktor lingkungan pada setiap tingkat pertumbuhan ditentukan
oleh kemampuan suatu jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh
berbagai faktor, di antaranya sifat jenis itu sendiri dan
tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Menurut Barstra (1998),
pola aliran air, ketinggian tempat dan tipe tanah adalah faktor-faktor
Tabel 6. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat taer di Pulau Yop Meos
Potensi permudaan anakan atau semai taer adalah sebanyak
6.750 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 5.
Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya
yang banyak pada tingkat semai bukan karena penyebaran
individunya yang merata, hal ini menggambarkan bahwa jenis ini
menggunakan strategi – r dalam proses regenerasinya.
Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi
pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk
mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui
proses seleksi –r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya
lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak
NAMA JENIS K
Podocarpus neriifolius 6250 11,36 0,7 9,86 21,22
Vatica rassak 9250 16,82 0,3 4,23 21,04
Litsea ladermanii 5750 10,45 0,6 8,45 18,91
Lunasia amara 7000 12,73 0,4 5,63 18,36
Anisoptera thurifera 6750 12,27 0,1 1,41 13,68
Antiaris toxicaria 2750 5,00 0,6 8,45 13,45
Lepinopsis ternatensis 2750 5,00 0,4 5,63 10,63
Sterculia parkisionin 2500 4,55 0,4 5,63 10,18
Dacussocarpus wallichianus 1250 2,27 0,4 5,63 7,91
Haplolobus monticola 1000 1,82 0,4 5,63 7,45
tersebut merupakan individu yang secara alami dianggap telah
mampu dan stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh,
karena memiliki kualitas yang baik.
b. Tingkat Pancang
Taer pada tingkat permudaan pancang, ternyata merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat
pancang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada hutan di Pulau Yop dapat dilihat pada Tabel 7. Pada
tingkat pancang, jenis yang paling dominan berturut-turut pada
kawasan hutan punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos adalah
Lunasia amara, Palaquium amboinensis, Podocarpus
neriifolius,Vatica rassak dan Haplolobus celebicus.
Dominannya jenis Lunasia amara pada habitat buah taer yaitu
pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop
Meos disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang
sangat tinggi terhadap habitat dengan tanah berkarang dan karang.
Habitat punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos yang
merupakan tanah berkarang dan karang sangat mendukung bagi
pertumbuhan jenis Lunasia amara. Karena kemampuannya yang
baik untuk tumbuh pada daerah berkarang, jenis Lunasia amara
oleh beberapa suku yang bermukim pada kawasan hutan dataran