• Tidak ada hasil yang ditemukan

RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1. Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1. Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua"

Copied!
287
0
0

Teks penuh

(1)

(2) RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1. Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua. i.

(3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Hak Cipta Pasal 2. 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii.

(4) RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1. Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua. Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2012 iii.

(5) RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA (Bagian-1) Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua ISBN 978-979-8452-51-2 © Tim Penulis Cetakan Pertama, November 2012 Peer Reviewer Prof. Dr Evrizal A.M Zuhud, M.Sc. Dr. Tati Rostiwati, M.Si. Proof Reader Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc. Gambar sampul : Pulau Yo Meos, Sagu,   , Buah Piarawi, Buah

(6) , Buah Gayang,   dan 

(7)     Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt XI Jl Jend. Gatot Soebroto Jakarta Pusat www.forda-mof.org. iv.

(8) “Kami mendedikasikan buku ini untuk mereka yang bekerja dengan hati di Tanah Papua dan menaruh perhatian pada keanekaragaman tumbuhan dan lingkungan, para mentor kami dan seluruh masyarakat di Tanah Papua”. v.

(9) DAFTAR ISI DAFTAR ISI. vi. SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN. xiii. UCAPAN TERIMAKASIH. xv. I. II.. PENDAHULUAN. 1. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA. 6. A. Potensi Jenis Endemik B. Kondisi Saat Ini. 6 11. C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua. 20. III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA. 21. A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua IV. BUAH TAER (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI PULAU YOP MEOS KABUPATEN TELUK WONDAMA. 21 22. 25. A. Deskripsi Botani. 25. B. Kondisi Sosio-Geografis. 28. vi.

(10) C. Ekologi Habitat Taer. 35. 1. Faktor Fisiografis. 36. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 38. 3. Keadaan Tanah D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan. 40 41 41. a. Tingkat Semai. 44. b. Tingkat Pancang. 47. c. Tingkat Tiang. 51. d. Tingkat Pohon. 52. 2. Struktur Populasi. 54. 3. Potensi Buah. 57. E. Kandungan Gizi Taer. 58. F. Etnobotani Taer dalam Budaya Suku Wondama. 59. 1. Fungsi Historis dan Pertahanan. 60. 2. Fungsi Ketahanan Pangan atau Konsumtif. 61. G. Konservasi Tradisional. 62. H. Status Konservasi. 62. I.. 64. Prospek Pengembangan. V. BUAH PIARAWI (Haplolobus cf. monticola Husson) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI KABUPATEN TELUK WONDAMA. vii. 67.

(11) A. Deskripsi Botani. 67. B. Kondisi Sosio-Geografis. 70. C. Ekologi Habitat Piarawi. 75. 1. Faktor Fisiografis. 75. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 76. 3. Keadaan Tanah. 77. D. Potensi Tegakan dan Buah. 78. 1. Potensi Tegakan. 78. 2. Potensi Buah. 79. E. Kandungan Gizi Piarawi. 80. F. Etnobotani Piarawi dalam Budaya Suku Wondama. 82. 1. Fungsi Historis dan Pertahanan. 83. 2. Fungsi Legalitas Perkawinan. 84. 3. Fungsi Perdamaian atau Rekonsilidasi. 85. 4. Fungsi Ekonomi. 89. 5. Fungsi Pewarisan. 89. G. Konservasi Tradisional. 90. H. Status Konservasi. 92. I.. 92. Prospek Pengembangan. VI. BUAH WOTON (Sterculia shillinglawii F.v. Muell.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU GEBE DI PULAU GAG KABUPATEN RAJA AMPAT A. Deskripsi Botani. viii. 95 95.

(12) B. Kondisi Sosio-Geografis C. Ekologi Habitat Woton. 98 104. 1. Faktor Fisiografis. 104. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 106. 3. Keadaan Tanah D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan. 106 107 107. a. Tingkat Semai. 109. b. Tingkat Pancang. 112. c. Tingkat Tiang. 114. d. Tingkat Pohon. 116. 2. Struktur Populasi. 118. 3. Potensi Buah. 120. E. Kandungan Gizi Woton. 121. F. Etnobotani Woton dalam Budaya Suku Gebe. 121. G. Konservasi Tradisional. 124. H. Status Konservasi. 124. I.. 126. Prospek Pengembangan. VII. BUAH GAYANG (Inocarpus fagifer Fosberg) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU ISIRAWA DI KABUPATEN SARMI 129 A. Deskripsi Botani. 129. ix.

(13) B. Kondisi Sosio-Geografis. 134. C. Ekologi Habitat Gayang. 139. 1. Faktor Fisiografis. 139. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 140. 3. Keadaan Tanah D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan. 141 142 142. a. Tingkat Semai. 144. b. Tingkat Pancang. 146. c. Tingkat Tiang. 147. d. Tingkat Pohon. 148. 2. Struktur Populasi. 150. 3. Potensi Buah. 151. E. Kandungan Gizi Buah Gayang. 152. F. Etnobotani Gayang dalam Budaya Suku Isirawa. 153. G. Konservasi Tradisional. 156. H. Status Konservasi. 157. I.. 158. Prospek Pengembangan. VIII. KELAPA HUTAN (Borassus heineanusBecc.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU MANIREM DI KABUPATEN SARMI 161 A. Deskripsi Botani. 161. x.

(14) B. Kondisi Sosio-Geografis. 166. C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan. 168. 1. Faktor Fisiografis. 168. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 169. 3. Keadaan Tanah D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan. 170 171 171. a. Tingkat Semai. 172. b. Tingkat Pradewasa. 175. c. Tingkat Dewasa. 178. 2. Struktur Populasi. 180. 3. Potensi Buah. 181. E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan F. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku Manirem G. Konservasi Tradisional. 182. H. Status Konservasi. 187. I.. 188. Prospek Pengembangan. 184 186. IX. ANGGUR PAPUA (Sararanga sinuosa Hemsley) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU TEPRA DI KABUPATEN JAYAPURA 192 A. Deskripsi Botani. 192. B. Kondisi Sosio-Geografis. 197. xi.

(15) C. Ekologi Habitat Anggur Papua. 208. 1. Faktor Fisiografis. 209. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. 209. 3. Keadaan Tanah D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan. 210 211 211. a. Tingkat Semai. 213. b. Tingkat Pradewasa. 215. c. Tingkat Dewasa. 218. 2. Struktur Populasi. 220. 3. Potensi Buah. 222. E. Kandungan Gizi Anggur Papua F. Etnobotani Anggur Papuadalam Budaya Suku Tepra G. Konservasi Tradisional. 223. H. Status Konservasi. 226. I.. 227. Prospek Pengembangan. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA GLOSARY INDEKS SUBYEK INDEKS NAMA ILMIAH INDEKS NAMA DAERAH DAN PERDAGANGAN. xii. 224 225. 230 232 236 255 263 266.

(16) SAMBUTAN KEPALA BADAN Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sanga tinggi. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak dikenal. dan. diketahui. informasi. botani,. biologi. dan. penyebarannya. Demikian pula dengan pemanfaatannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Buku ini mengungkapkan keanekaragaman flora tanah Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan prospek pengembangan sebagai diversifikasi bahan pangan. Buku. ini. sangat. pengetahuan. menarik,. tentang. karena. selain. tumbuh-tumbuhan. memberikan berguna,. di. dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga jelas untuk dikenal. Penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi penyedia. Iptek. dalam. pengembangan. penelitian. keanekaragaman flora dan manfaatnya (etnobotani) di Indonesia. dan. khususnya. di. Tanah. Papua.. Karena,. pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan. xiii.

(17) terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan proses transformasi generasi berikutnya dengan baik. Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan semoga karya ini merupakan perintis bagi karya-karya selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan di Indonesia.. November , 2012. Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc.. xiv.

(18) UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009 dan tahun 2010 yang merupakan hasil kerjasama Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Kami menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap penerbitan buku ini, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang bersedia memfasilitasi karya kami; Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono, M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu sehingga buku ini dapat diterbitkan; Prof. Dr. Ir. Ervizal AM. Zuhud, M.Sc. dari Institut Pertanian Bogor; Dr. Dra. Tati. Rostiwati, M.Si dari Badan Litbang Kehutanan selaku Peer Reviewer dan Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc. selaku Proof Readeryang telah memberikan saran, masukan xv. dan kritik.

(19) untuk penyempurnaan tulisan ini sehingga layak untuk diterbitkan. Kepala Kampung Gambir di Pulau Gag, Kepala Kampung Yop di Pulau Yop Meos, Kepala Kampung Maniwak (Miei), Kepala Kampung Amsira dan Kepala Kampung Tablasupa yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian ini dapat berlangsung; Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan Herbarium Bogoriense LIPI yang telah membantu dalam proses analisis tanah, kandungan gizi dan genetika. Akhirnya kami menyadari bahwa buku Rediversifikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian I): Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua,masih jauh dari sempurna.Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi penyempurnaan buku ini dan seri selanjutnya. Semoga buku ini memberikan. manfaat. dan. menambah. khasanah. ilmu. pengetahuan tentang keanekaragaman dan manfaat flora di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.. Manokwari, November 2012 Tim Penulis. xvi.

(20) I.. Hutan. dan. PENDAHULUAN. masyarakat. tradisional. di. Papua. memiliki. hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka gunakan.. Bentuk. pemanfaatan. tersebut. merupakan. suatu. pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal dengan pengetahuan lokal. (local knowledge). Perbedaan cara. pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan hutan. Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan. akan. terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik. Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang tergantung. pada penyesuaian kebutuhan kelompok-kelompok. masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember, 1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada. 1.

(21) suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik pada beberapa etnik di Papua. Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya, Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kaberry pada tahun yang sama di Jayapura dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen, Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada tahun yang sama di Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada tahun 1963 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya). Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan. Republik. Indonesia. (NKRI),. penelitian. etnobotani. selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam, Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat membantu dalam menyediakan informasi awal bagi penelitian selanjutnya. Namun. sejauh ini informasi yang dihimpun jarang. ditindaklanjuti, sehingga pengetahuan lokal masyarakat mengenai. 2.

(22) sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum banyak terungkap. Penelitian tersebut sesungguhnya sangat menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuhtumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap. rahasia. budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah menjadi. indikator. penting. perlunya. pengembangan. potensi. sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini. Sumbangan. yang. diberikan. berupa. peningkatan. ekonomi. masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) perlu mendapat. tempat. tersendiri. dalam. aktivitas. ekonomi. dan. perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi keberlanjutan produktivitas hutan, Upaya semacam ini memiliki resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil. Menurut Barber et al (1997), pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa dampak negatif. terhadap keanekaragaman hayati, namun. permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat dan masih beroperasinya beberapa HPH. Kondisi ini perlu. 3.

(23) disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari pengetahuan lokal yang kemudian pemanfaatannya dikembangkan lewat teknologi yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan. Menurut Whitmore (1966) dalam Powell (1976), studi etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan khususnya biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada masa lalu sumber makanan tambahan (suplement food) yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki nilai penting dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea. Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat terbatas. Di sisi lain, aplikasi hasil kajian etnobotani, khususnya bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki masyarakat etnik Wondama di Teluk Wondama, Gebe di Pulau Gag, Tepra di Depapre serta Isirawa dan Manirem di Sarmi. Permasalahan yang muncul adalah apakah potensi jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan pangan masih potensial di hutan alam. 4.

(24) Papua? dan apakah masyarakat lokal masih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan. tersebut. sebagai. sumber. bahan. pangan. alternatif? Untuk menjawab masalah tersebut maka sangat diperlukan penelitian dalam upaya mengumpulkan informasi pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam. Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan pemerintah. mengeluarkan. himbauan. untuk. meningkatkan. ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Tujuan penulisan. buku ini adalah untuk memberikan. informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua. Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan di Tanah Papua.. 5.

(25) II. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA A.. Potensi Jenis Endemik Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New. Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan flora malesiana (Petocz, 1987). Menurut Primack (1998), keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti,. belum. dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian. pula. pemanfaatan. dalam. rangka. peningkatan. kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional.. 6.

(26) Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah : 1. Paijsman. (1976),. sebanyak. 1.465. jenis. (spesies). dari. Angiospermaetelah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan mencapai 9.000 jenis. 2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis. 3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui 20.000 jenis. 4. Johns (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat tinggi diperkirakan sebanyak 20.000-25.000 jenis. Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (van SteenisKruseman dan van Steenis Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia, Flora MalesianaI (1).1950) : 1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis. 2. Kalimantan (Borneo): antara 10.000-15.000 jenis. namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu). 3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu). 4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 jenistumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu.. 7.

(27) 5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara. 6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor, Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya. Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel. 1.. Data. tersebut. akan. berubah. sejalan. dengan. perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan masingmasing daerah di Indonesia. Tanah Papua dengan keanekaragaman jenis flora diduga berkisar antara 20.000-25.000 jenis, merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan. penelitian. taksonomi. lanjutan,. pasti. jumlah. keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui 10.000 jenis dalam tahun-tahun mendatang. Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data base keanekaragaman hayati di Tanah Papua menyebabkan laju. 8.

(28) perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan seperti hampir dilupakan. Tabel 1.Kekayaan jenis Indonesia Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Sunda kecil Maluku Papua. endemik. flora di beberapa daerah di. Kekayaan Spesies Endemik 820 630 900 520 150 380 1030. Persentase Spesies Endemik (%) 11 5 33 7 3 6 55. Sumber : FAO/MacKinnon (1981)dalam Kusmana dan Hikmat (2005). Tabel 2 menunjukkan jumlah koleksi herbarium selama kurun waktu tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di Papua (New Guinea). Selama kurun waktu tahun 1951-2008, jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian dan ekspedisi taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua masih sangat rendah sehingga perlu untuk ditingkatkan.. 9.

(29) 10 132.474 479.513. Jawa (Java). Sumatera (Andalas). Sumber : Kartawinata, 2010. 739.175. Kalimantan (Borneo). 98.625. 182.870. Sulawesi (Celebes). Nusa Tenggara. 63.575. 2.980.155. LUAS 2 (KM ). Maluku (Moluccas). Papua (New Guinea). PULAU. 87.900. 247.522. 91.550. 24.546. 32.350. 27.525. 196.755. JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM. TAHUN 1817 - 1950. 18. 25. 12. 25. 18. 43. 3,6. RATA-RATA NOMOR KOLEKSI PER 2 100 KM. 26.966. 4.363. 28.820 (Kalimantan). 4.365. 15.420. 22.216. 2.150 (Papua). JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM. 3.357. 3.638. 2.739 (Kalimantan). 3.638. 1.834. 1.173. 946 (Papua). JUMLAH NOMOR KOLEKSI HIDUP. TAHUN 1951 - 2008. Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia.

(30) Ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua, Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai utara, Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur pulau Papua dan Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di “kepala burung (Vogelkop)” pulau Papua. Ke empat kabupaten tersebut memiliki arti yang strategis dalam potensi keanekaragaman hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi. Selain itu ke empat kabupaten ini juga memiliki etnik atau suku yang cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya terdapat di Tanah Papua saja) dan indigenous (native species) yang merupakan. jenis. tumbuhan. asli. Tanah. Papua. dengan. penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku (Moluccas) dan di Sulawesi (Celebes).. B.. Kondisi Saat Ini Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 bahasa1), dan. dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa. 1). Data Summer institute of Linguistik, tahun 2011. 11.

(31) dan bahasa tersebut, 5 suku bangsa di antaranya sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya hanya tertinggal 271 suku bangsa dari suku-suku tersebut. Saat ini telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).. Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010. Gambar1. Rumah orang Korowai yang merupakan masyarakat suku terasing di Kabupaten Mappi. 12.

(32) Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010. Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu. Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010. Gambar 3. Perempuan Korowai di DusunSagu sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarga. 13.

(33) Bahasa asli yang berjumlah 271 bahasa tersebut dapat dikategorikan kedalam dua kategori phylum2) (golongan bahasa) yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Papua adalah khas Papua yang. umumnya berada di. daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat lainnya seperti di. Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan. Halmahera Utara. Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok berupa sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, gumbili, ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki bahan pangan pokok umbian-umbian. Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka 2). Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya membangun masyarakat Majemuk (editorKoentjaraningrat). 14.

(34) lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan sagu dan umbi-umbian.. Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009. Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagus Rottbelliana.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan nasional sehingga. sebagai. faktor. mereka. tidak. utama. ketergantungan. melakukan. kegiatan. masyarakat perladangan. (berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan pangan alternatif saja.. 15.

(35) Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012. Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012. Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua. 16.

(36) Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah pegunungan tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari ekonomi lemah.. A. B. Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2011. Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012. C Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012. Gambar6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon). 17.

(37) Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada, masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut. Di era Otonomi Daerah saat ini, terutama dengan adanya perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya. Agar. dalam. pemanfaatan. sumberdaya. tumbuhan. tidak. menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam tersebut. Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001, dari 21,9 juta hektar hutan produksi, 12 juta hektar telah diberikan kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut tumpangtindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi (Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang ditebang per tahunnya adalah 52.000 ha.. 18.

(38) Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan 18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi 19 kabupaten setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten baru. Rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, pemukiman dan pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat mendorong terjadinya konversi hutan. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk digali manfaatnya. Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, belum banyak penelitian mengenai potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial. Informasi pengembangan. ini. diharapkan. jenis-jenis. menjadi. tumbuhan. bahan. hutan. acuan. bagi. penghasil. buah. potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan. 19.

(39) masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan manfaat jenis tumbuhan tersebut. C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting. dalam. mempertahankan. kelangsungan. hidupnya.. Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu, warisan tersebut sangat perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena menjamin. keberadaan. keanekaragaman. berkelanjutan.. 20. hayati. secara.

(40) Iiiiii III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA. A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial Hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941, Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963, Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukkan bahwa terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan.115 jenis tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magik, 39 jenis dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan sebagai obat malaria. Lekitoo et all (2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al (2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dimanfaatkan oleh masyarakat Waropen sebagai bahan pangan.. 21.

(41) Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen herbarium diketahui bahwa enam jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papuayang dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Wondama, Gebe, Isirawa, Manirem dan Depapre/Tepra) adalah sebagai berikut : 1.. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton). 2.. Waribo (Borassus heineanusBeccarii). 3.. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson). 4.. Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg). 5.. Selre (Sararanga sinuosa Hemsley). 6.. Woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.). A. Papua B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua Buah taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton) dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop Meos Kabupaten Teluk Wondama seperti kacang hijau, piarawi atau buah hitam (Haplolobus cf. monticola Husson) dimanfaatkan daging buahnya sebagai sumber lemak atau seperti alpukat oleh masyarakat Suku Wondama di Kabupaten Teluk Wondama, buah woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.) dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat seperti kacang hijau, buah gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg) dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Isirawa di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan sumber protein, buah waribo atau kelapa hutan (Borassus heineanus Beccarii) dimanfaatkan oleh. 22.

(42) masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan seperti kelapa pantai (Cocos nucifera) dan selre atau anggur Papua (Sararanga sinuosa Hemsley) dimanfaatkan buahnya oleh masyarakat Suku Depapre/Tepra di Kabupaten Jayapura sebagai bahan pangan seperti buah anggur (Vitis vinifera). Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan prospek pengembangan dari enam jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik akan diuraikan lebih lanjut pada halaman berikutnya dari buku ini.. 23.

(43) Dokumentasi : Charlie D. Heatubun. Gambar7. Buah Taer (Anisoptera thurifera spp. polyandra (Bl.) Ashton 24.

(44) IV. BUAH TAER (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI PULAU YOP MEOS TELUK WAHDAMA A. Deskripsi Botani Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Asthon (Dipterocarpaceae) Nama dagang Nama daerah. : :. mersawa taer (Yop/Wondama), takum (Ambaidiru/Yapen). Perawakan: Pohon berukuran besar, tingginya mencapai 40–45 m. Batang utama silindris, sedikit berbuncak, berpilin tetapi tidak berlekuk. Bebas cabang mencapai 30 m dengan diameter setinggi dada ± 150 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 200 cm. Pepagan luar kasar, berlenti sel, berwarna coklat atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Tidak bergetah.Pepagan dalam keras dan berserat, berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan. Daun tunggal, kedudukan daun melingkar (spiral), berbentuk bulat menjorong, pangkal daun membulat, ujung daun melancip, tepi daun rata atau bergerigi halus, panjang 8–11 cm, lebar 3,5–5 cm, panjang tangkai daun 2,6–3 cm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, urat daun sekunder menyirip, 10–12 pasang, urat daun tersier berbentuk jala. Permukaan atas berwarna hijau kusam, permukaan bawah hijau muda. Daun tua biasanya berwarna kekuningan. Perbungaan berbentuk malai biasanya pada ketiak daun atau ujung ranting, tangkai bunga panjangnya 5 mm. Bunga daun kelopak bulat telur memanjang, runcing, hijau pucat atau kemerahan, dari luar berambut. Daun mahkota kuning atau putih kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm. tonjolan dasar bunga berambut kasar. Bakal buah bulat telur, berambut rapat. Kepala putik tidak melebar. Buah bersayap dengan pangkal membulat atau berbentuk bola, gundul atau berambut halus, berwarna kuning, bergaris tengah ± 2 cm. Biji 1, berdiameter 0,7–1,0 cm, berbentuk bulat pipih dan berwarna hijau terang atau hijau mengkilat.. 25.

(45) B Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009. C A Dokumentasi: C. D. Heatubun, 2006 Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009. D Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009. Gambar 8. Anisoptera thurifera ssp. polyandra(Bl.) Ashton – A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. Buah tua. 26.

(46) Taer (A. thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton, adalah merupakan jenis tumbuhan asli (native species) di Papua. Penyebarannya meliputi Papua, Maluku. dan Maluku Utara. (Halmahera). Jenis ini juga merupakan salah satu jenis kayu komersil di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya. Sayangnya, jenis ini pada diameter tertentu, tegakan alaminya sangat mudah diserang oleh bubuk kayu sehingga sering dijumpai kering atau mati pada hutan alam, terutama pada hutan alam tropis di Halmahera. Kayunya yang sudah ditebang, apabila terlambat dikupas kulitnya, dalam beberapa hari akan membusuk karena sangat mudah diserang hama bubuk kayu. Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis dari marga Anisoptera yang terdapat di Papua. Jenis ini biasanya tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan jenis vegetasi berkayu lainnya membentuk formasi hutan hujan dataran rendah Papua yang sangat kaya akan keanekaragaman jenisnya. Tumbuh menyebar pada hutan dataran rendah dengan tipe habitattanah,. tanah. berbatu. dan. tanah. berkarang. dengan. penyebaran secara ekologipada ketinggian tempat dari 10–600m dpl. Jenis ini termasuk jenis yang berbuah sekali dalam 3 sampai 5 tahun pada umumnya, namun biasanya ada satu sampai beberapa pohon yang berbuah dan buahnya tidak banyak pada waktu-waktu tertentu atau pada tahun di mana bukan musim buahnya. Meskipun berbuah dalam. waktu 3 sampai. 27. 5 tahun, namun proses.

(47) regenerasinya di alam tetap terjaga karena buah yang dihasilkan sangat banyak.. B. Kondisi Sosio-Geografis Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari yang terbentuk pada tanggal 12 April 2003 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten tersebut terletak pada “leher burung” pulau Papua dengan koordinat geografis 0°15’00” - 3°25’00”Lintang Selatan dan 132°35’00” - 134°45’00” Bujur Timur dengan luas 1.440.074 ha dengan rincian 662.786 ha luas daratan dan 778.288 ha luas perairan. Wilayah Kabupaten Teluk Wondama memiliki iklim tropika basah dengan ciri-ciri curah hujan yang tinggi yaitu berkisar antara 1.400–4.900 mm per tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun dan suhu udara berkisar antara 22,9°-33,0°C. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 162 mm/bulan (BNPB, 2011). Secara administratif Kabupaten Teluk Wondama memiliki batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari; - Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten Nabire; - Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten Nabire dan Teluk Cenderawasih;. 28.

(48) - Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Idoor dan Kuri Kabupaten Teluk Bintuni. Sejarah penulisan atau penyebutan “Wandamen” berasal dari publikasi para penulis asing yang menuliskan Wondama-man, untuk menyebutkan. keberadaan. penduduk. lokal. yang. berada. di. Wondama. Secara entimologi Wondama berasal dari bahasa Wamesa “Won” artinya orang yang ditakdirkan atau ditentukan dan “Dama” artinya datang dan mendiami tanah dan negerinya. Secara harafiah Wondama berarti manusia yang dipilih untuk tinggal dan membangun tanah dan negerinya. Sejarah asal-usul etnis Wondama berasal dari kepercayaan tradisional Cargo cults, yang telah dipercaya turun temurun dan sudah ada sebelum agama Kristen masuk di Wondama. Pola kepercayaan tradisional Cargo cults terdiri dari : Okultisme, animismedan mitos. Etnis Wondama terdiri dari Suku Wamesa, Kuri, Miere, Mairasi (Toro), Ambumi, Dusner, Roon dan Sough. Sistem kepemimpinan tradisional Suku Wondama merupakan sistem kepemimpinan campuran (Mansoben, 1995). Sistem kepemimpinan campuran ini merupakan sistem yang memiliki sifat pewarisan kedudukan yang terdapat dalam sistem kepemimpinan raja dan Ondoafi, dan sifat pencapaian kedudukan pemimpin yang terdapat pada sistem kepemimpinan pria berwibawa (bigman). Tipe kepemimpinan campuran diperoleh pada tingkat stratifikasi sosial yang rendah dan sifatnya ditentukan oleh waktu dan tempat. Untuk mencapai kedudukan sebagai seorang pemimpin campuran bisa. 29.

(49) berubah-ubah menurut situasi dan kondisi daerah setempat. Untuk menjadi pemimpin pada masa keadaan relatif kondusif damai dan makmur, kriteria bagi seorang pemimpin didasarkan atas keturunan, jadi. kedudukan. pemimpin. diemban. oleh. seseorang. yang. berketurunan pendiri kampung (berlaku sifat pewarisan kedudukan pemimpin). Sebaliknya jika berada pada situasi tidak kondusif, ketika masyarakat mengalami kesulitan, misalnya kelaparan karena musim. kering. yang. berkepanjangan,. wabah penyakit. yang. menyerang, bahaya karena diserang musuh atau penduduk sedang dilanda dekadensi moral akibat proses akulturasi, maka kriteria pemimpin tidak lagi didasarkan pada keturunan, tetapi diutamakan kepada kemampuan atau kecakapan seseorang untuk menjadi pemimpin. Dalam keadaan demikian individu-individu dengan kacakapan tertentu akan tampil ke depan untuk menjadi pemimpin masyarakatnya dalam usaha mengatasi situasi yang dihadapi. Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Teluk Wondama. Secara administrasi, Pulau Yop termasuk. wilayah. Distrik. Windisi.. Jika. ditempuh. dengan. menggunakan kendaraan laut dari ibu kota kabupaten, waktunya sangat relatif tergantung cuaca (gelombang laut), jenis transportasi dan kecepatan motor laut yang digunakan. Jika menggunakan perahu semang dengan motor 15 PK, waktu yang ditempuh 2 jam (tanpa gelombang) dan 2 jam 30 menit sampai 4 jam jika gelombang. Jika menggunakan perahu semang (longboat) dengan motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa gelombang) dan 1 jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika menggunakan. 30.

(50) speedboat dengan motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa gelombang) dan I Jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika menggunakan speedboat dengan motor 80 PK, waktu yang ditempuh 30 menit sampai 45 menit (tanpa gelombang) dan 1 jam sampai 1 jam 30 menit jika gelombang. Posisi Pulau Yop Meos yang melintang pada bagian permukaan Teluk Wondama menyebabkan masyarakat Wondama percaya dan selalu menghubungkan posisi letak pulau tersebut dengan cerita mitos Kuri dan Pasai. Cerita mitos Kuri dan Pasai mengisahkan tentang dua orang raksasa bersaudara (kakak dan adik) yang bernama Kuri dan Pasai. Ke dua raksasa ini akhirnya berkelahi atau berperang karena adanya selisih paham yang disebabkan karena tipu muslihat di antara keduanya. Akhirnya Pasai meninggalkan Kuri dan pergi ke sebelah Barat. Pasai berjanji akan kembali ke Wondama dengan membawa ilmu pengetahuan serta benda-benda lainnya. Sementara Kuri tinggal di tempatnya di Inggorosai (Wondama) dan meninggal akibat tipu muslihat orang Maniwak (orang-orang kerdil yang tinggal di Miei) hanya karena keinginannya memakan sagu. Secara umum dari mitos ini masyarakat asli Wondama percaya bahwa apabila Pasai datang kembali (pulang) ke Wondama maka Pulau Yop Meos akan bergerak menutup Teluk Wondama yang dianggap sebagai pintu masuk ke Kabupaten Wondama sehingga orang Wondama yang berada di luar Wondama tidak bisa pulang atau kembali lagi ke Wondama.. 31.

(51) Mansoben (1995), membagi sistem mata pencaharian sukusuku di Papua atas empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi. terhadap. sistem. mata. pencaharian. mereka. berdasarkan kebudayaannya. Ke empat zona ekologi tersebut adalah : 1. Zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai (Swampy Area, Coastal and Riverine); 2. Zona ekologi daerah pantai dan hutan pantai (Coastal Lowland Areas); 3. Zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah kecil (Foothills and Small Valleys); 4. Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands). Secara umum Kampung Yop Meos termasuk dalam zona ekologi kedua yaitu daerah pantai dan hutan pantai dengan mata pencaharian. utama. adalah. berladang. berpindah. dan. mata. pencaharian pendamping yaitu menangkap ikan di sungai dan di laut.. 32.

(52) 33. Keterangan :. = Lokasi Penelitian. Gambar 9. Lokasi Pulau Yop Meos di KabupatenTeluk Wondama. Pulau Yop.

(53) 34. Gambar 10. Pulau Yop Meos. Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009. Gambar 10. Pulau Yop Meos.

(54) C. Ekologi Habitat Taer Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap jenis taer, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun di luar habitatnya (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; habitat, karena habitat akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada di sekitarnya. Secara umum kepulauan memiliki keanekaragaman spesies yang lebih rendah dari pada pulau besar. Hal ini disebabkan oleh waktu yang terbatas untuk mengakumulasi spesies karena umur kepulauan yang relatif lebih muda (Leksono, 2007). Pada tahun 1961, MacArthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru mengenai. pola. kekayaan. spesies. 35. di. kepulauan.Teori. ini.

(55) menyatakan sedikitnya jumlah spesies di kepulauan bukan disebabkan oleh waktu yang terbatas bagi spesies untuk menyebar, tetapi oleh keseimbangan yang terjadi di semua kepulauan. 1. Faktor Fisiografis Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama karena pengaruhnya terhadap iklm. Topografi mempunyai arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup, kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007). Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi. mempengaruhi. proses. pembentukan. tanah. dan. kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi sifatsifat tanah antara lain tebal solum, kandungan bahan organik,. 36.

(56) kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007). Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim. Suhu udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah (Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua, keanekaragaman. jenis. semakin. menurun. namun. tingkat. keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian tempat pada habitat pohon buah taer di Kampung Yop Meos (Pulau Yop) adalah 150–220m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka taer digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu (pohon) dataran rendah. Tabel 3. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat taer di Pulau Yop Meos Habitat. Ketinggian tempat (m) dpl. Topografi/kelerengan (%). 1. 2. 3. 4.. 150 – 220 170 – 220 170 – 200 160 – 220. 20 – 110 40 – 120 45 –100 50 –100. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Lereng atau kemiringan lahan adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dan bidang horisontal. Taer pada Kampung Yop Meos tumbuh baik pada kisaran kelerangan 20-110%. Kisaran kelerengan tersebut sangat bervariasi dan memiliki kondisi habitat yang relatif datar sedikit bergelombang ringan dan sedang sampai bergelombang berat. Kondisi habitat demikian secara alami sangat. 37.

(57) berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan taer. Kualitas pertumbuhan taer pada habitat datar dan bergelombang umumnya sangat baik, namun sangat berbeda dalam banyaknya individu (kuantitasnya). Daerah datar dan lembah umumnya lebih banyak individu dibanding daerah punggung dan puncak bukit. 2. Suhu Udara dan Kelembaban. Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata. Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis. Taer tumbuh pada daerah dengan naungan sedang sampai berat (75–95%) dengan suhu optimum berkisar antara 27–30ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 79–90%. Adanya kisaran demikian disebabkan karena penyebaran buah taer secara alami di Pulau Yop Meos adalah pada bagian punggung dan puncak bukit. Hal ini mengindikasikan bahwa taer mampu tumbuh pada habitat dengan naungan yang cukup berat (tajuk sangat rapat).. 38.

(58) Tabel 4. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat Taer di Pulau Yop Meos No.. Suhu udara (ºC). Kelembaban (%). Penutupan Tajuk (%). 1. 2. 3. 4.. 27 - 29 28 - 30 28 - 29 27 - 29. 80 – 88 79 – 85 80 – 85 83 – 90. 90 75 80 95. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Suhu udara berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis tumbuhan yang hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu udara tertentu. Umumnya pertumbuhan meningkat kalau suhu udara naik dan menurun kalau suhu udara turun, disebabkan karena pengaruh cahaya terhadap aktifitas metabolisme. Pengaruh nyata dari suhu udara terhadap pola-pola dalam ekosistem adalah terjadinya zonasi dan stratifikasi. Kelembaban udara, yang dinyatakan sebagai banyaknya kandungan uap air dalam udara, merupakan fungsi dari banyak dan lamanya curah hujan. Kelembaban mempengaruhi suhu udara. Kelembaban cenderung kurang dari pantai mengikuti ketinggian tempat atau kelembaban berbanding lurus dengan ketinggian tempat. Persen penutupan tajuk menunjukkan banyak cahaya yang dapat menembus strata atau tajuk hutan dan sampai ke lantai hutan. Pada hutan tropis cahaya merupakan faktor pembatas.. 39.

(59) Jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan nampak menentukan lapisan (strata) yang dibentuk oleh pepohonan. Pulau yang tidak bergunung atau berbukit rendah memiliki curah hujan yang rendah sedangkan pulau yang bergunung-gunung memiliki curah hujan yang tinggi. Air penting bagi pertumbuhan pohon karena pada daerah yang suhunya memungkinkan bagi pertumbuhan pohon, pepohonan tersebut akan lebih tergantung pada suplai air. 3. Keadaan Tanah Taer umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan solum yang dangkal (± 10 cm) sampai sedang (± 20 cm), sedikit berbatu, daerah berkarang dengan banyak serasah atau bahan organik yang proses dekomposisinya lambat dan tanah umumnya lembab.. Habitat. demikian. umumnya. terdapat pada. daerah. bergelombang ringan sampai bergelombang berat yang cukup curam (kelerengan < 45 %) atau pada daerah puncak bukit. Adanya curah hujan dan suhu udara tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pencucian dan pelapukan berjalan cepat. Akibatnya pada daerah tropika Indonesia, khususnya di Papua, telah mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Di daerah yang beriklim lebih kering yang juga terdapat. di Tanah Papua,. pencucian tidak berjalan intensif sehingga tanahnya kurang masam dan lebih tinggi kadar basa-basanya.. 40.

(60) Tabel 5. Kesuburan tanah pada habitat taer di Pulau Yop Meos Parameter Uji. Nilai Kandungan. Satuan. N P K Fe Mg pH (T) C/N ratio Bahan Organik. 0,12 587,36 0,12 4,29 1,39 6,65 - 7,98 32,33 10,80. % ppm % % % %. Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM. Tanah pada habitat taer bersifat netral sampai agak alkalis (pH 6,65 - 7,98), N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi, Mg tersedia sedang, C/N ratio sangat tinggi dan K tersedia rendah. Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong jenis tanah marginal dengan tingkat kesuburan sangat rendah sampai rendah. D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan Vegetasi berkayu yang tumbuh bersama taer dari tingkat semai sampai tingkat pohon pada kawasan hutan dataran rendah punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos berjumlah 62 jenis (spesies) yang terdiri dari 35 famili. Secara rinci sebagai berikut; pada tingkat pohon terdapat 40 jenis dari 27 famili, tingkat tiang47 jenis dari 29 famili, tingkat pancang 51 jenis dari 32 famili dan tingkat semai 58 jenis dari 33 famili.. 41.

(61) Potensi tegakan taer pada hutan alam tropis di Pulau Yop Meos, berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pancang, tiang dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 11.. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Gambar 11. Potensi tegakan taer berdasarkan tingkat pertumbuhan di Pulau Yop Meos. Populasi untuk setiap tingkat pertumbuhan pada habitat pohon taer membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hutan habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.. 42.

(62) Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990), disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor tersebut. adalah. untuk. mempertahankan. keseimbangan. dan. keberadan jenis taer tersebut di alam yang pada akhirnya peran kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis. Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan dengan pancang, tiang dan pohon disebabkan karena jenis ini meskipun periode berbuahnya cukup lama (3-5 tahun sekali) tetapi pada waktu berbuah akan menghasilkan buah yang maksimal dalam jumlah banyak dengan kematangan fisiologis buah yang baik dan penyebaran benih yang maksimal, karena buahnya yang sudah masak secara fisiologi sangat mudah diterbangkan oleh angin. Kondisi Pulau Yop Meos yang sangat dipengaruhi oleh angin laut menyebabkan pada musim berbuahnya jenis taer, hampir semua bagian pulau terdapat buah/benih taer yang diterbangkan oleh angin. Hal ini yang menjadi indikator bagi masyarakat di Pulau Yop Meos kalau jenis ini memang sedang berbuah dan merupakan masa puncak berbuah atau masa berbuah optimal. Jika demikian, maka masyarakat akan mengadakan ritual bersama yaitu berupa ibadah bersama di gereja sebagai tanda untuk memulai kegiatan pemanenan.. 43.

(63) a. Tingkat Semai Komposisi jenis vegetasi atau tumbuhan dalam suatu ekosistem dapat diartikan sebagai variasi jenis flora dan merupakan daftar floristik jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas berdasarkan hasil deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Daftar floristik berguna untuk analisis vegetasi karena merupakan salah satu parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan (species diversity) di dalam komunitasnya. Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara lain; densitas (kerapatan), frekuensi dan dominansi. Indeks nilai penting (important value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesiesspesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994). Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan akan memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien daripada jenis lain dalam tempat yang sama. Taer pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat. 44.

(64) semai yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan punggung dan bukit di Pulau Yop Meos adalah Podocarpus neriifolius, Vatica rassak, Litsea ladermanii, Lunasia amara dan Anisoptera thurifera. Hal ini menunjukkan adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis ini dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dikenal dengan seleksi-r. Menurut Banister (1980), respon yang berbeda terhadap faktor-faktor lingkungan pada setiap tingkat pertumbuhan ditentukan oleh kemampuan suatu jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh berbagai. faktor,. di. antaranya. sifat. jenis. itu. sendiri. dan. tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Menurut Barstra (1998), pola aliran air, ketinggian tempat dan tipe tanah adalah faktor-faktor yang sangat menentukan komposisi jenis suatu hutan.. 45.

(65) Tabel 6. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat taer di Pulau Yop Meos NAMA JENIS. K (n/ha). KR (%). F. FR (%). INP (%). Podocarpus neriifolius. 6250. 11,36. 0,7. 9,86. 21,22. Vatica rassak. 9250. 16,82. 0,3. 4,23. 21,04. Litsea ladermanii. 5750. 10,45. 0,6. 8,45. 18,91. Lunasia amara. 7000. 12,73. 0,4. 5,63. 18,36. Anisoptera thurifera. 6750. 12,27. 0,1. 1,41. 13,68. Antiaris toxicaria. 2750. 5,00. 0,6. 8,45. 13,45. Lepinopsis ternatensis. 2750. 5,00. 0,4. 5,63. 10,63. Sterculia parkisionin. 2500. 4,55. 0,4. 5,63. 10,18. Dacussocarpus wallichianus. 1250. 2,27. 0,4. 5,63. 7,91. Haplolobus monticola. 1000. 1,82. 0,4. 5,63. 7,45. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Potensi permudaan anakan atau semai taer adalah sebanyak 6.750 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 5. Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya yang banyak pada tingkat semai bukan karena penyebaran individunya yang merata, hal ini menggambarkan bahwa jenis ini menggunakan strategi – r dalam proses regenerasinya. Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui proses seleksi – r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak pada tingkat semai dan tumbuhan muda namun individu-individu. 46.

(66) tersebut merupakan individu yang secara alami dianggap telah mampu dan stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh, karena memiliki kualitas yang baik. b. Tingkat Pancang Taer pada tingkat permudaan pancang, ternyata merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat pancang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada hutan di Pulau Yop dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tingkat pancang, jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos adalah Lunasia. amara,. Palaquium. amboinensis,. Podocarpus. neriifolius,Vatica rassak dan Haplolobus celebicus. Dominannya jenis Lunasia amara pada habitat buah taer yaitu pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang sangat tinggi terhadap habitat dengan tanah berkarang dan karang. Habitat punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos yang merupakan tanah berkarang dan karang sangat mendukung bagi pertumbuhan jenis Lunasia amara. Karena kemampuannya yang baik untuk tumbuh pada daerah berkarang, jenis Lunasia amara oleh beberapa suku yang bermukim pada kawasan hutan dataran rendah di Papua dikenal dengan sebutan “kayu karang”.. 47.

(67) Tabel 7. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pancang pada habitat taer di Pulau Yop Meos NAMA JENIS. K (n/ha). KR (%). F. FR (%). INP (%). Lunasia amara. 440. 13,41. 0,4. 6,90. 20,31. Palaquium amboinensis. 360. 10,98. 0,5. 8,62. 19,60. Podocarpus neriifolius. 200. 6,10. 0,4. 6,90. 12,99. Vatica rassak. 280. 8,54. 0,2. 3,45. 11,98. Haplolobus celebicus. 200. 6,10. 0,3. 5,17. 11,27. Aglaia spectabilis. 160. 4,88. 0,3. 5,17. 10,05. Gironniera nervosa. 120. 3,66. 0,3. 5,17. 8,83. Prunus arborea. 120. 3,66. 0,3. 5,17. 8,83. Dacussocarpus walichianus. 160. 4,88. 0,1. 1,72. 6,60. Anisoptera thurifera. 80. 2,44. 0,2. 3,45. 5,89. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Potensi permudaan tingkat pancang taer adalah sebanyak 80 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 10. Dominannya jenis taer disebabkan karena penyebaran individunya yang merata bukan karena individunya yang banyak, bila dibandingkan dengan jenis Dacussocarpus walichianus yang memiliki individu yang banyak tetapi penyebarannya sangat tidak merata. Pada. tingkat. pancang,. proses. suksesi. masih. terus. berlangsung. Komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi merupakan gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi pada habitat taer. Kerapatan atau densitas adalah besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individuindividu dalam setiap unit luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj,. 48.

(68) 1979). Kerapatan populasi bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam pengkajian suatu kondisi populasi atau komunitas hutan, kerapatan populasi merupakan parameter utama yang perlu diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu menentukan. pengaruh. populasi. terhadap. hal yang. komunitas. atau. ekosistem. Kerapatan juga sering dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit luas atau volume. Adanya perbedaan jenis dominan dan komposisi jenis pada tingkat semai dan pancang disebabkan karena penyebaran jenis yang tidak merata dan kemampuan beradaptasi dari setiap jenis. Hal ini sesuai dengan pendapat Korner (1999), dalam Dolezal dan Srutek,. 2002). persebaran. yang. suatu. menyatakan. jenis. tumbuhan. bahwa secara. penyebaran tidak. atau. langsung. dipengaruhi oleh interaksi antara vegetasi dan suhu udara, kelembaban udara, dan kondisi topografi seperti ketinggian tempatdan ketebalan tanah. Habitat taer yang memiliki tipe habitat yang bervariasi yaitu tanah berbatu, tanah berkarang dan karang dengan keadaan topsoil yang berbeda diduga merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran jenis vegetasi pada tingkat semai, di mana penyebaran jenis pada habitat tanah dan tanah berbatu akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan habitat tanah berkarang atau berkarang.. 49.

(69) A. B. C Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2007. Gambar 12. Kayu Karang (Lunasia amara),jenis yang paling dominan pada tingkat pancang di Pulau Yop Meos – A. batang; B. daun; C. buah tua. 50.

(70) c. Tingkat Tiang Pada tingkat permudaan tiang, taer merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada hutan di Pulau Yop Meos. Sepuluh jenis permudaan tingkat tiang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan tiang pada habitat taer di Pulau Yop Meos NAMA JENIS. K (n/ha). KR (%). FR (%). DR (%). INP (%). Podocarpus neriifolius. 70. 10,4. 9,09. 9,41. 28,95. Anisoptera thurifera. 60. 9,0. 9,09. 9,63. 27,67. Horsfieldia sylvestris. 50. 7,5. 7,27. 5,88. 20,62. Campnosperma brevipetiolata. 40. 6,0. 3,64. 4,70. 14,31. Calophyllum pseudovitiense. 30. 4,5. 3,64. 4,96. 13,08. Dacussocarpus walichianus. 30. 4,5. 3,64. 4,77. 12,88. Spathiostemon javaensis. 30. 4,5. 3,64. 4,26. 12,38. Homalium foetidum. 20. 3,0. 3,64. 4,07. 10,69. Lepinopsis ternatensis. 20. 3,0. 3,64. 3,85. 10,47. Calophyllum inophyllum. 20. 3,0. 3,64. 3,85. 10,47. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Pada tingkat tiang, jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos adalah Podocarpus neriifolius, Anisptera thurifera, Horsfieldia sylvestris,. Campnosperma. brevipetiolata. 51. dan. Calophyllum.

(71) pseudovitiense. Dominannya jenis-jenis tersebut mengindikasikan bahwa jenis ini tumbuh dan menyebar merata karena mampu beradaptasi dengan semua tipe habitat yang ada pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos. Potensi permudaan tingkat tiang taer adalah sebanyak 60 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 2. Dominannya jenistaerdisebabkan karena jumlah individunya yang banyak,. penyebaran. individu. yang. merata. dan. rata-rata. pertumbuhan riap diameter yang baik. d. Tingkat Pohon Fase pertumbuhan pohon merupakan tahap akhir suksesi pada habitat taer. Pada tingkat pohon, taer merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos. Sepuluh jenis vegetasi tingkat pohon yang paling mendominasi kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos disajikan pada Tabel 9. Jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos adalah Vatica rassak, Anisoptera javaensis. thurifera,. Haplolobus. dan Pterygota horsfieldii.. lanceolatus,. Spathiostemon. Dominannya jenis-jenis ini. menunjukkan bahwa jenis-jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Selain memiliki adaptasi yang baik sehingga tersebar merata, jenis-jenis tersebut juga memiliki kemampuan pertumbuhan diameter dan tinggi yang optimal. 52.

(72) sehingga jenis ini memungkinkan untuk mendominasi strata teratas dan menjadi penciri tegakan utama di kawasan ini. Tabel 9.. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat pohon pada habitat taer di Pulau Yop Meos. NAMA JENIS Vatica rassak Anisoptera thurifera. K (n/ha). KR (%). FR (%). DR (%). INP (%). 20. 9,20. 9,21. 10,43. 28,83. 15. 6,90. 6,58. 10,23. 23,71. Haplolobhus lanceolatus. 12.5. 5,75. 6,58. 3,73. 16,06. Spathiostemon javanensis. 12.5. 5,75. 6,58. 3,50. 15,83. Pterygota horsfiedii. 7.5. 3,45. 3,95. 6,40. 13,80. Pometia coreacea. 10. 4,60. 2,63. 5,92. 13,15. Lepinopsis ternatensis. 10. 4,60. 5,26. 3,02. 12,88. Pertusadina eurynchae. 10. 4,60. 3,95. 3,28. 11,82. Dysoxylum sp.. 10. 4,60. 3,95. 2,29. 10,84. Podocarpus neriifolius. 5. 2,30. 2,63. 4,79. 9,72. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang rendah disebabkan karena jenis tersebut tidak mampu bersaing dengan jenis lainnya atau sesama jenisnya terhadap lingkungan yang rendah, karena setiap jenis vegetasi membutuhkan lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai dari semai sampai pohon sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada habitatnya. Potensi vegetasi tingkat pohon taer adalah sebanyak 20 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 2. Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya yang banyak serta rata-rata pertumbuhan riap diameter yang cukup. 53.

(73) baik,. bukan. karena. penyebaran. individunya. yang. merata.. Berdasarkan fakta tersebut dapat diindikasikan bahwa jenis pohon taer tidak mampu tumbuh atau beradaptasi pada habitat karang tetapi mampu tumbuh dan beradapatasi dengan habitat tanah berbatu dan tanah berkarang. 2. Struktur Populasi Struktur populasi taer di Pulau Yop Meos dapat diketahui dengan. pendekatan. jumlah. individu. untuk. setiap. tingkat. pertumbuhan yang ditemukan pada kawasan hutan tersebut. Pada fase semai, pancang, tiang dan pohon jumlah individu, tingkat populasi dan persen kegagalan dapat dilihat pada Tabel 10. Struktur populasi taer pada Tabel 10 memperlihatkan suatu bentuk piramida populasi yang normal di mana semai (57,54%), menempati alas piramida, pancang (26,82%) pada tingkat kedua dari alas piramida, tiang (10,06%) pada tingkat ketiga dan pohon (5,59%) pada tingkat keempat atau tingkat paling atas dari alas piramida.. 54.

(74) Tabel 10. Tingka tpopulasi dan persen kegagalan taer pada fase semai, pancang, tiang dan pohon Tingkat pertumbuhan. Jumlah individu. Persen (%). Jumlah gagal. Persen (%). Semai Pancang Tiang. 103 48 18. 57,54 26,82 10,06. 55 20. 53,40 41,67. Pohon. 10. 5,59. 8. 44,44. Jumlah. 179. 100,00. 83. 139,51. Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009. Persentase kegagalan taer dari fase semai ke fase pancang 53,40%. Persentase kegagalan tersebut tergolong besar. Hal ini disebabkan karena adanya seleksi alam baik ekstern maupun intern. Secara ekstern adalah persaingan antara individu taer (interspecific competition) maupun dengan jenis vegetasi lain (interspecific competition) pada tingkat yang sama maupun antar strata dalam memperebutkan ruang tempat tumbuh, cahaya dan unsur hara. Sedangkan faktor intern meliputi sifat genetika dan potensi taer serta kemampuan adaptasi individu terhadap seleksi alam tersebut.. 55.

(75) B. A C Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2006. Gambar 13. Vatica rassak, Jenis yang paling dominan pada tingkat pohon di pulau Yop Meos -A. batang; B. daun; C. buah. Persentase kegagalan taer dari fase pancang ke fase tiang adalah sebesar 41,67%. Persentase kegagalan tersebut tergolong rendah karena umumnya individu-individu jenis ini yang telah mencapai fase tiang adalah individu-individu yang telah melalui proses seleksi alam sehingga mampu tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan. Namun demikian adanya persaingan terhadap ruang dan waktu mengakibatkan persen kegagalan jenis taer pada fase tiang hingga mencapai fase pohon sebesar 44,44%.. 56.

(76) 3. Potensi Buah Menurut masyarakat di Pulau Yop, pohon taer. hanya. berbuah sekali dalam 5 tahun dan tahun 2009 bukan merupakan tahun berbuah untuk pohon taer tersebut, namun dalam survey lapangan ditemukan satu pohon yang berbuah dengan potensi buah yang cukup banyak. Pengamatan terhadap potensi buah hanya dilakukan pada satu pohon tersebut. Pohon yang berbuah tersebut berdiameter 50 cm, tinggi bebas cabang 12 m dan tinggi total 35 m. Hal ini menyebabkan adanya dugaan sementara bahwa kemungkinan pohon taer pada awal berbuah atau pertama kali berbuah pada diameter pohon lebih besar dari 25 cm, mengingat bahwa jenis pohon tersebut merupakan tipe pohon berukuran besar atau raksasa pada hutan tropis di Indonesia. Berdasarkan hasil pengamatan potensi buah terhadap satu pohon berbuah tersebut, dapat diketahui bahwa potensi buah taer per pohon sangat bervariasi menurut umur, diameter dan tinggi pohon. Namun secara umum potensi buah pada pohon berbuah tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka untuk pohon tersebut akan menghasilkan 40–50 ember. Hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut meskipun sangat kecil (berdiameter ± 1 cm) tetapi jumlahnya sangat banyak.. 57.

Referensi

Dokumen terkait

Melihat persepsi Wajib Pajak mengenai pemberitaan korupsi pajak di media massa dan penegakan hukum dalam korupsi pajak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Tuturan (3) termasuk ke dalam tindak tutur ekspresif dengan makna memuji karena berisi pujian yang dituturkan oleh Nishinoya kepada Hinata.. Pujian tersebut

penguatan/pelemahan kinerja, sehingga dalam kajian ini diberi judul “Pengaruh Person Organization Fit dan Organizational Citizenship Behavior terhadap Kinerja Pegawai

Pada metode ini campuran bahan-bahan kimia, yang terdiri dari bahan penopang dan bahan pendekontaminasi dengan cara dioleskan/dicatkan/dikuaskan pada permukaan bahan yang

Baca Bacalah so lah soal den al dengan te gan teliti s liti sebelum ebelum menja menjawab pe wab pertany

Dalam form edit data ini berisi sama persis isian dengan form pendaftaran baru, yang membedakan adalah dalam form ini akan otomatis muncul peringatan jika ada isian data yang

Kota Tasikmalaya sesuai Undang-Undang nomor 10 tahun 2001 wilayahnya terdiri dari 8 Kecamatan dengan total kelurahan sebanyak 15 dan desa sebanyak 54, selanjutnya melalui Peraturan

Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap setuju atau tidaknya terhadap pernyataan faktor-faktor hambatan penyedia jasa pada proses pengadaan jasa konsultansi secara