• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 bahasa1), dan dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa

1)

Data Summer institute of Linguistik, tahun 2011

dan bahasa tersebut, 5 suku bangsa di antaranya sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya hanya tertinggal 271 suku bangsa dari suku-suku tersebut. Saat ini telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar1. Rumah orang Korowai yang merupakan masyarakat suku terasing di Kabupaten Mappi

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010

Gambar 3. Perempuan Korowai di DusunSagu sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarga

Bahasa asli yang berjumlah 271 bahasa tersebut dapat dikategorikan kedalam dua kategori phylum2) (golongan bahasa) yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan Halmahera Utara.

Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok berupa sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, gumbili, ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki bahan pangan pokok umbian-umbian.

Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka

2)

Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya membangun masyarakat Majemuk (editor-Koentjaraningrat)

lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan sagu dan umbi-umbian.

Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan (berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan pangan alternatif saja.

Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagus Rottbelliana.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua

Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009

Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012

Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua

Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012

Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah pegunungan tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari ekonomi lemah.

Gambar6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)

Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2011 Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012

Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012

A B

C

Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada, masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.

Di era Otonomi Daerah saat ini, terutama dengan adanya perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya. Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam tersebut.

Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001, dari 21,9 juta hektar hutan produksi, 12 juta hektar telah diberikan kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut tumpangtindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi (Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang ditebang per tahunnya adalah 52.000 ha.

Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan 18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi 19 kabupaten setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten baru. Rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, pemukiman dan pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat mendorong terjadinya konversi hutan. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk digali manfaatnya.

Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, belum banyak penelitian mengenai potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial.

Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan

masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan manfaat jenis tumbuhan tersebut.

Dokumen terkait