PEMILIHAN JENIS DI HUTAN LINDUNG
Dosen Penanggung Jawab : Dr. Kansih Sri Hartini, S.Hut., MP.
Disusun Oleh :
Mhd Raihan Fernando 191201012
Sindy Hutapea 191201128
Febrian Armando Pinem 191201132
Aisyah Aqilah 191201137
Anderson Sitorus 191201178 Venecia Margaretha S 191201182
Kelompok 5 HUT 4A
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum silvikultur.
Laporan Praktikum Silvikultur yangberjudul “Pemilihan Jenis Hutan Lindung”ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Praktikum Silvikultur dan sebagai syarat praktikal yang akan datang pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen penanggungjawab Praktikum Silvikultur Dr. Kansih Sri Hartini, S.Hut., MP. karena telah memberikan materi dengan baik dan benar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada asisten yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis mengikuti kegiatan praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak dalam upaya untuk memperbaiki isi laporan ini akan sangat penulis hargai. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Medan, Maret 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Rumusan masalah...2
1.3. Tujuan ...2
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Hutan Lindung Wehea ...3
2.2 Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Lindung Wehea ...3
2.3 Tanaman Yang Dilindungi Di Hutan Lindung Wehea ...4
2.4 Jenis Fauna Yang Dilindungidi Hutan Lindung Wehea...5
2.5 Permasalahan di Hutan Lindung Wehea ...6
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan ...7 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan adalah salah satu potensi yang cukup besar nilainya. Selain itu hutan juga mempunyai fungsi yang cukup penting bagi kelestariannya. Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan lonjakan kebutuhan lahan pertanian, permukiman, lapangan kerja baru, dan menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan. Sementara kondisi lain menunjukan kurang terbukanya sektor pekerjaan di luar sektor pertanian, luas lahan yang semakin sempit, menyebabkan keadaan biofisik pedesaan mengalami pemerosotan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan bahkan sering terjadi lahan yang kritis. Sebagai wujud komitmen untuk melaksanakan pengelolaan hutan secara lestari serta sebagai upaya untuk memperoleh pengakuan internasional (Pamuji dan Teguh dwi, 2013).
Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang sangat tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun, seiring dengan bertambah jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi nasional, desakan akan kebutuhan papan, berdampak terhadap sumber daya hayati semakin meningkat. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan pengertian hutan adalah sebagai berikut : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu denganlainnya tidak dapat dipisahkan”
Peran serta masyarakat terhadap pengelolahan hutan bergantung pada kondisi lingkungannya. Oleh karena itu manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya (Firman dan Erlan, 2013).
Secara khusus fungsi lindung, pemerintah telah mengupayakan Undang- Undang 32 Tahun 2009 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan bahwa perlindungan dan pengelolaan ingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan untuk melindungi dan mencegah pelaksanaan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang termasuk perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum Jauh sebelum itu pemerintah telah mengupayakan kebijakan terkait linkungan hidup melalui Keputusan Persesen Republik Indonesi / Kepres 32 tahun 1990 (tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) yang mengamanatkan bahwa pengelolaan pengelolaan kawasan lindung mengatur kawasan kawasan bawahannya (kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air), kawasan perlindungan lokal (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau / waduk, kawasan sekitar mata air), kawasan suaka alam dan cagar budaya (kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai afrika, taman nasional, taman hutan Raya dan taman wisata alam (Sinery dkk., 2015).
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Kegiatan perlindungan hutan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UU Kehutanan). Tujuan dari penyelenggaraan perlindungan hutan yaitu untuk menjaga hutan, kawasan hutan, dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal (Yani dan Rahma, 2017) 1.2 Rumusan Masalah
1. Dimana letak hutan lindung wehea?
2. Bagaimana partisipasi rakyat terhadap hutan lindung wehea?
3. Apa saja jenis tanaman yang dilindungi di hutan lindung wehea?
4. Apa saja jenis fauna yang dilindung di hutan lindung wehea?
5. Apa permasalahan yang timbul di hutan lindung wehea?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui letak hutan lindung wehea.
2. Dapat mengetahui bagaimana partisipasi rakyar terhadap hutan lindung wehea.
3. Dapat mengetahui jenis tanaman apa saja yang dilindungidi hutan lindung wehea
4. Dapat mengetahui jenis fauna yang dilindungi di hutan lindung wehea.
5. Dapat mengetahui permasalahan yang timbul di hutan lindung wehea
BAB II ISI
2.1 Hutan Lindung Wehea
Hutan Lindung wehea terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, dengan luas kawasan 38.000 ha, berada di ketinggian 250 m di timur sampai 1750 m di barat, dengan tipe hutan mulai dari dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hutan Wehea mempunyai fungsi hidrologis yang penting karena merupakan DAS untuk Sungai Wehea di Kabupaten Kutai Timur dan Sungai Long Gi di Kabupaten Berau.
Berfungsi sebagai penyangga tiga sub DAS di daerah ini, Secara ekologis, Hutan Lindung Wehea menjadi penyangga tiga sub DAS, yaitu Sub-DAS Seleg, Sub-DAS Melinyiu dan Sub-DAS Sekung, tiga Sub DAS itu bermuara ke sungai Mahakam. Kawasan Hutan Lindung Wehea memiliki keanekaragaman hayati berupa flora (tumbuhan), berdasarkan keanekaragaman yang ada di Hutan Lindung Wehea, beberapa jenis tumbuhan sering di manfaatkan oleh masyarakat Wehea sebagai, ritual adat, kerajinan, buah-buahan dan obat-abatan. ketinggian 340 mdpl.
secara umum mempunyai tingkat kelerengan yang berbeda dari landai hingga sangat curam, yaitu 13,6 sampai 68%. Tipe iklim di areal Hutan Lindung Wehea tergolong tipe A (Q = 11,4%). Rata-rata curah hujan 2.580 mm per tahun, dengan curah hujan rata-rata bulanan tertinggi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Agustus. Suhu udara berkisar antara 21-35 ° C dengan temperatur rata-rata 26 ° C, dan secara umum kondisi vegetasi pada tingkat pohon dengan kerapatan total 167% perhektar tiang 580% perhektar, pancang 2480% perhektar dan semai 3520% perhektar (Rahmadi dkk., 2014)
2.2 Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Lindung Wehea
Partisipasi masyarakat lokal menentukan keberhasilan program-program konservasi, tidak terkecuali pada hutan wehea yang secara tidak resmi statusnya adalah hutan konservasi. Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor pembatas berupa norma,
kode etik, aturan operasional maupun aturan kolektifuntuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama.
Di tingkat lapangan, hutan lindung Wehea dikelola oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Warga Dayak Wehea melalui lembaga adat Dayak Wehea menunjukan kepedulian tinggi dalam melestarian hutan Wehea. Mereka kemudian membentuk "penjaga hutan" yang dalam bahasa lokal disebut Petkuq Mehuey (PM). Setiap hari ada pemuda yang tergabung dalam PM yang menjaga hutan lindung Wehea secara bergantian.
Petkuq Mehuey bertugas melakukan monitoring terhadap semua kegiatan yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung. Mereka bukan hanya mengamankan hutan dari para pemburu, penebang ilegal, dan kebakaran hutan namun juga bertugas untuk menginventarisasi satwa serta tumbuhan yang ada di hutan. Selain melakukan monitoring kawasan, mereka bertugas membuat jalur maupun merawat jalur-jalur wisata di Hutan Lindung Wehea. Mereka juga bertugas memandu wisatawan maupun peneliti yang akan masuk ke area Hutan Lindung Wehea.
Hasilnya, sejak kawasan ini ditetapkan sebagai Hutan Lindung Wehea yang dijaga anggota PM, pembalakan dan perburuan liar menurun drastis. Para penjaga hutan ini berhasil membuktikan kerja keras mereka dalam melakukan tugas sebagai
“ranger” Hutan Lindung Wehea.
Kepedulian Masyarakat Adat Wehea ini kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah dengan dianugrahkannya penghargaan Kalpataru ke Lembaga Adat Dayak Wehea Nehas Liah Bing pada tahun 2009. Penghargaan yang diberikan langsung oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu semakin membuka mata masyarakat luas akan keberadaan hutan lindung Wehea yang patut dilestarikan.
2.3 Tanaman Yang Dilindungi Di Hutan Lindung Wehea
Kondisi biogeofisik dalam kawasan Hutan Lindung Wehea memiliki potensi keanekaragaman jenis flora yang tinggi baik jenis pohon, jenis anggrek, jenis jamur, jenis liana maupun jenis rotan. Disisi lain terdapat pula beberapa jenis pohon yang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal dan potensi pakan bagi orangutan maupun beberapa primata lainnya.
Jenis-jenis tumbuhan ini seperti rotan, anggur, serta beberapa Cucurbitaceae (suku labu-labuan), Liana merupakan tumbuhan merambat atau tidak dapat tumbuh
tegak mendukung tajuknya. Untuk mendukung pertumbuhannya, kelompok tumbuhan ini umumnya memanfaatkan berbagai jenis pohon untuk merambat.
Liana akan memanjat tumbuhan tinggi yang lebih besar, tetapi akarnya tetap di bawah tanah sebagai alat untuk mendapatkan makanan .Beberapa jenis liana dapat mencapai lapisan tajuk tajuk inangnya dengan memanfaatkan pohon inangnya.sehingga mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk proses fotosintesis
Selain itu, melalui “Petkuq Mehuey” warga membuat persemaian di desa Nehas Liah Bing yang di beri nama Persemaian Letap Hiq. Persemaian tersebut berisi semai jenis pohon lokal, seperti meranti merah (Shorea sp.), kapur (Drybalanops sp.), agatis (Agathis borneonsis), dan karet (Hevea brasiliensis).
Bibit-bibit tersebut di jual ke perusahaan kehutanan dan perusahaan kelapa sawit untuk merehabilitasi kawasan sekitar desa.
2.4 Jenis Fauna Yang Dilindungi di Hutan Lindung Wehea
Menurut penelitian the Nature Conservancy, di Hutan Lindung Wehea terdapat berbagai jenis satwa liar antara lain 19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 12 hewan pengerat, 9 jenis primata, dan 59 jenis pohon bernilai ekonomi. Salah satu primata yang menggantungkan hidupnya terhadap kelestarian Hutan Wehea adalah orangutan (Pongo pygmaeus). Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Didi Suryadi, pada tahun 2012 di sejumlah media massa mengatakan populasi orangutan di Hutan Lindung Wehea ada sekitar 750 ekor (Allo 2015).
Beberapa jenis mamalia yang ditemui di sini terdaftar sebagai species langka dan berstatus konservasi tinggi berdasarkan daftar merah (Red List Data Book) IUCN, yaitu Terancam Punah (Near Threatened) sebanyak 7 jenis, Rentan (Vulnerable) 14 jenis, Genting (Endangered) 4 jenis, dan Kritis (Critically Endangered) 1 jenis. Lima jenis termasuk dalam Appendix I CITES, 11 jenis Appendix II, dan 2 jenis Appendix III, serta 17 jenis masuk daftar mamalia yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999.
Jenis-jenis mamalia yang teridentifikasi adalah jenis yang sangat tergantung dengan kondisi hutan yang masih bagus. Empat jenis kucing hutan (Felidae) yang teridentifikasi dari lima jenis kucing hutan yang ada di Kalimantan menandakan
bahwa fungsi ekologis daru Hutan Lindung Wehea masih berjalan dalam koridor yang semestinya. Famili Felidae merupakan predator tingkat tinggi yang ada di Kalimantan, dengan jenis yang paling besar adalah Macan Dahan (Neofelis diardi).
Jenis ini diketahui hanya terbatas berada di hutan tropis alami dengan gangguan minimum, begitu pula dengan jenis Kucing Hutan lain yang dijumpai di sini (Kucing Batu Pardofelis marmorata dan Kucing Merah Pardofelis Badia), kecuali Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis) yang dalam kasus tertentu masih dapat ditemui di kawasan hutan yang telah terbuka, hutan tanaman dan kebun sawit.
Ditemukan pula 18 jenis kelelawar dengan indikasi habitat pada hutan primer dataran rendah. Dominansi jenis kelelawar yang ditemukan adalah jenis pemakan serangga. Dominansi ini sangat jelas dapat mempengaruhi keseimbangan populasi serangga. Dapat dibayangkan jika Hutan Lindung Wehea ini rusak, maka akan terjadi ledakan populasi serangga yang sangat drastis, karena kelelawar pemakan serangga tidak lagi berfungsi sebagai predator yang menjadi penyeimbang fungsi ekologis di kawasan ini.
Demikian pula halnya dengan jenis-jenis karnivora yang lain. Ordo karnivora pada nomenklatur mamalia di Kalimantan tidak selalu menandakan bahwa jenis mamalia yang termasuk dalam ordo ini adalah pemakan daging. Ordo karnivora tidak linier dengan kelas makan (trophic level). Beberapa jenis mamalia Kalimantan yang masuk dalam Ordo Carnivora adalah juga pemakan serangga dan buah seperti berbagai jenis musang (Viverridae), dan bahkan juga madu seperti Beruang Madu (Helarctos malayanus). Namun di sinilah fungsi ekologis dapat tercapai dari rangkaian rantai makanan.
Fungsi lain mamalia sebagai penyebar biji tanaman sangat mempengarui keragaman jenis tumbuhan di hutan tropis dataran rendah. Keberadaan hutan alami di Hutan Lindung Wehea merupakan salah satu benteng terakhir pertahanan habitat terbaik di hutan tropis dataran rendah Kalimantan. Keingginan peningkatan ekonomi dengan berbagai program yang dicetuskan pemerintah masih
"menganaktirikan" kepentingan ekologis yang secara jangka panjang justru investasi abadi kesejahteraan.
2.5 Permasalahan di Hutan lindung wehea
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan lindung adalah perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (stakeholder) mengenai luasan, tata batas, hak pengelolaan, serta pemanfaatan hutan lindung, Salah satu jalan untuk menyatukan perbedaan persepsi tersebut adalah dengan menerapkan kemitraan (collaborative management) antara pemerintah, masyarakat, dan pemegang peran lain yang terkait.
Konsekuensi dari luasnya kriteria penetapan hutan lindung antara lain adalah luasnya kemungkinan perubahan tataguna hutan yang semula merupakan hutan produksi yang kewenangan pengelolaannya di tangan pemerintah pusat (pada hutan produksi pemerintah pusat berhak menetapkan kepada siapa hak konsesi diserahkan) menjadi hutan lindung agar pengelolaannya dapat diserahkan pada daerah tingkat II. Hal ini terjadi di Hutan Wehea, Kabupaten Kutai Timur.
Statusnya semula adalah hutan produksi yang hak konsesinya dipegang PT Gruti III. Kegiatan perusahaan tersebut sudah dihentikan sejak tahun 1993. Tahun 2000 nama PT Gruti III diganti menjadi PT Dwiloka Hutani Raya (PT LDR), perusahaan patungan antara PT Gruti III dan PT Inhutani II. Tanggal 15 Desember 2000 Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan surat kepada Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi No 240/RHS/VII-INV/2000 mengenai peta areal kerja a.n. PT LDR seluas 38.00 ha, dengan fungsi hutan sebagai hutan produksi terbatas.
Namun hingga tahun 2006 Departemen Kehutanan belum mengeluarkan SK pengelolaan dan RKPH untuk PT LDR di kawasan eks PT Gruti III.
Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor pembatas berupa norma, kode etik, aturan operasional maupun aturan kolektifuntuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama. Aturan dalam lembaga berfungsi untuk mengarahkan operasional lembaga, mengendalikan perilaku sosial maupun mengatur insentif dalam lembaga.
Kebijakan dan kelembagaan (institusi) sulit dipisahkan. Kebijakan yang baik namun tidak diimplementasikan dalam kelembagaan yang bagus membuat tujuan pembangunan sulit tercapai, demikian pula kelembagaan yang bagus tetapi tidak didukung oleh kebijakan yang berlaku tidak akan mencapai hasil maksimal.
KESIMPULAN
1. Hutan Lindung Wehea terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, dengan luas kawasan 38.000 ha dengan tipe hutan mulai dari dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hutan Wehea mempunyai fungsi hidrologis yang penting karena merupakan DAS untuk Sungai Wehea di Kabupaten Kutai Timur dan Sungai Long Gi di Kabupaten Berau.
2.
Hutan Lindung Wehea dikelola oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Warga Dayak Wehea melalui lembaga adat Dayak Wehea menunjukan kepedulian tinggi dalam melestarian hutan Wehea. Kepedulian Masyarakat Adat Wehea ini kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah dengan dianugrahkannya penghargaan Kalpataru ke Lembaga Adat Dayak Wehea Nehas Liah Bing pada tahun 2009.3. Kondisi biogeofisik dalam kawasan Hutan Lindung Wehea memiliki potensi keanekaragaman jenis flora yang tinggi baik jenis pohon, jenis anggrek, jenis jamur, jenis liana maupun jenis rotan. Terdapat beberapa jenis pohon yang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal dan potensi pakan bagi orangutan maupun beberapa primata lainnya seperti meranti merah (Shorea sp.), kapur (Drybalanops sp.), agatis (Agathis borneonsis), dan karet (Hevea brasiliensis).
4. Di Hutan Lindung Wehea terdapat berbagai jenis satwa liar antara lain 19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 12 hewan pengerat, 9 jenis primata, dan 59 jenis pohon bernilai ekonomi. Salah satu primata yang menggantungkan hidupnya terhadap kelestarian Hutan Wehea adalah orangutan (Pongo pygmaeus).
5. Konsekuensi dari luasnya kriteria penetapan hutan lindung antara lain adalah luasnya kemungkinan perubahan tataguna hutan yang semula merupakan hutan produksi yang kewenangan pengelolaannya di tangan pemerintah pusat (pada hutan produksi pemerintah pusat berhak menetapkan kepada siapa hak konsesi diserahkan) menjadi hutan lindung agar pengelolaannya dapat diserahkan pada daerah tingkat II.
DAFTAR PUSTAKA
Aliri.2015.Analisis Kebijakan Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lindung Wehea di Kabupaten Kutai Timur. Jurnal warta rimba, 2(2): 171-174.
Allo, J. (2015). Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Konservasi Hutan Wehea Di Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Pertanian Terpadu, 3(1), 154-174.
Diana, R., & Andani, L. (2020). Keragaman Jenis Liana pada Tutupan Kanopi berbeda di Hutan lindung Wehea, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, 6(2), 149-156.
Falah F. 2017. Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan Beberapa Hutan Lindung di Kalimantan Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,4(1):
1-19.
Firmansyah, Erlan. 2013. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Lindung Desa Mandalamekar Kecamatan Jatiwaras Kabupaten Tasik Malaya. Universitas Pendidikan Indonesia.
Ginoga, K. 2013. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2 (2): 169-194
Sari Ulfah K. 2015. "Petkuq Mehuey", Pasukan Penjaga Hutan Lindung Wehea (Komitmen Masyarakat Dayak Wehea dalam Melestarikan Hutan. Swara Samboja, 4(3): 201.
Sinery, A. S., Angrianto, I. R., Rahawarin, Y. Y., & Peday, H. F. 2015. Potensi dan Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani. Deepublish.
Pamuji, Teguh Dwi. 2013. Sistem Informasi Geografi (SIG) Pemetaan Hutan Menurut Klasifikasi Sebagai Potensi Hutan Lindung di Kabupaten Blora.
Doctoral dissertation, Stikusbank University.
Yani, Rahma. 2017. Kewenagan Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Kasituwu Kabupaten Luwu Timur. Skripsi, Makassar: Universitas Hasanudin.
Rahmadi, Rahmadi, Nanang Sasmita, and Arbain Arbain. 2014. Identifikasi Tumbuhan Berkhasiat Obat di Hutan Lindung Wehea Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Pertanian Terpadu, 2(2), 31-55.