• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan

Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Agroekoteknologi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Dolly Sojuangan Siregar

NIM : 107001015

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon

di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh

T E S I S

Oleh

Dolly Sojuangan Siregar 107001015

Menyetujui Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni, S.Hut, MS, Ph.D Ketua

Siti Latifah, S.Hut, MSi, Ph.D Anggota

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh

Nama Mahasiswa : Dolly Sojuangan Siregar

Nomor Pokok : 107001015

Program Studi : Agroekoteknologi

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni, S.Hut, MS, Ph.D Ketua

Siti Latifah, S.Hut, MSi, Ph.D Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi Agroekoteknologi

(Prof. Dr.Ir Abdul Rauf, MP

Dekan Fakultas Pertanian

) (Prof Dr. Ir. Darma Bakti, MS)

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Mohammad Basyuni, S.Hut, MS, Ph.D Anggota : 1. Siti Latifah, S.Hut, MSi, Ph.D

2. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc 3. Dr. Delvian, SP, MP

(5)

ABSTRACT

Dolly Sojuangan Siregar: Inventory of degredation level and carbon stock in protected mangrove forest Kuala Langsa, Aceh. Supervised by Mohammad Basyuni and Siti Latifah.

The purpose of this study was to find out accurate data on mangrove species diversity, carbon stock and level of degredation of protected mangrove forest Kuala Langsa which refers to the Guidelines for Identification of Critical Areas Inventory and Mangrove Department of Forestry Directorate General of Land Rehabilitation.

A research location in Kuala Langsa Mangrove Forest is geographically located at 97º 53 '15 "- 98º 04' 42" East longitude and 04º 24 '35 "- 04º 33' 47" North Latitude.

The survey used to inventory mangrove forest is purposive random sampling method, taken random starting from the sea front towards to the deepest zone. Vegetation study using 3 plots containing 14 lines with a width of 20 m to 190 m length of the line, the distance between plots was 10 m. Measurements

made of the tree was a woody plant with Ø ≥ 10 cm (20 m x 20 m), saplings were

higher than 1,5 m up to Ø <10 cm (5 m x 5 m), and seedlings were to as high as 1,5 m (2 m x 2 m)

Results of this study showed that Rhizophora apiculata dominated either type of seedlings, saplings and trees with the number density of seedlings were 11011,90 individuals/ha, density of saplings were 3009,52 individuals/ha, and density of tree were 70,83 individuals/ha. Total tree biomass was 19.062,68 kg/ha, with carbon stocks of 9,53 tons/ha. Total value score criticality level of protected mangrove forest Kuala Langsa was 285(standard value of non degraded was < 300) resulted this area was degraded.

(6)

ABSTRAK

Dolly Sojuangan Siregar : Inventarisasi tingkat kerusakan dan cadangan karbon di hutan lindung mangrove Kuala Langsa, Aceh. Dibimbing oleh Mohammad Basyuni sebagai ketua komisi pembimbing dan Siti Latifah sebagai anggota komisi pembimbing

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui data yang akurat tentang keanekaragaman jenis mangrove, biomassa pohon, potensi karbon, dan tingkat kerusakan di hutan lindung mangrove Kuala Langsa yang mengacu kepada Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan.

Lokasi penelitian di hutan lindung mangrove Kuala Langsa Kota Langsa yang secara geografis terletak pada posisi 970 53’ 15” – 980 04’ 42” bujur Timur dan 040 24’ 35” – 040

Metode penelitian yang digunakan adalah survey langsung di lapangan

(teristris) dengan metode purposive random sampling (metode garis berpetak)

yang diambil secara acak dimulai dari pinggir laut menuju zona terdalam. Penelitian ini menggunakan plot vegetasi sebanyak 14 jalur dengan lebar 20 m dengan panjang garis 190 m yang berisi 3 plot dengan jarak antar plot adalah 10 m. Pengukuran dilakukan terhadap pohon adalah tumbuhan berkayu dengan Ø ≥ 10 cm (20 m x 20 m), pancang adalah anakan dengan tinggi lebih dari 1,5 m sampai Ø < 10 cm (5 m x 5 m), dan semai adalah anakan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi 1,5 m (2 m x 2 m).

33’ 47” Lintang Utara.

Hasil penelitian ini memperlihatkan dominasi jenis Rhizopora apiculata

baik dari tingkat semai, pancang dan pohon dengan jumlah kerapatan tingkat semai = 11.011,90 individu/ha, kerapatan tingkat pancang = 3.009,52 individu/ha, dan kerapatan tingkat pohon = 70,83 individu/ha. Total kandungan biomassa pohon sebesar 19.062,68 kg/ha dengan potensi karbon 9,53 ton/ha. Total nilai skor hasil tingkat kekritisan lahan hutan lindung mangrove Kuala Langsa adalah 295 (Nilai < 300) sehingga hutan lindung ini berkriteria rusak.

Kata Kunci : Tingkat kerusakan, magrove, biomassa, cadangan karbon dan hutan lindung mangrove dan Kuala Langsa.

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Dolly Sojuangan Siregar, dilahirkan di Medan pada tanggal 27 September 1972 dari Ayanda H. Achmad Zuhri Siregar dan Hj. Nuraida Simatupang. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara.

Adapun pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah SD Negeri 060853 Medan lulus tahun 1985, SMP Negeri 11 Medan lulus tahun 1988, SMA Negeri 8 Medan lulus tahun 1991, S-1 Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara lulus tahun 1996. Terdaftar sebagai mahasiswa magister Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Mohammad Basyuni, MS, Phd selaku dosen ketua komisi pembimbing dan ibu Siti Latifah, S.Hut, MSi, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing dan membantu dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini, dan juga kepada para dosen dan staf pengajar mata kuliah yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.

Ucapan terimakasih yang tulus dan rasa hormat penulis sampaikan kepada ayahanda H. Achmad Zuhri Siregar dan ibunda Hj. Nuraida Simatupang tercinta yang telah membesarkan penulis dengan segenap kasih sayang, do’a serta pengorbanan yang tak terhingga. Teristimewa buat isteri tercinta dr. Nanda Susanti Milyana, M.Ked(Ped), Sp.A dan anak anak saya tersayang Siti Alya Fahira dan Muhammad Arif Muzhaffar dan juga buat adik Dewi, adik Molly, Adik Danny serta Adik Adinda yang telah mendukung penulis selama penulisan tesis ini.

(9)

lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan, saran, dukungan baik dalam pelaksaan penelitian maupun dalam penulisan tesis ini dn semoga di beri balasan oleh Allah S.W.T.

Akhir kata penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini dimasa mendatang. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, Mei 2013

(10)

DAFTAR ISI

4.7. Penentuan Tingkat Kekritisan Lahan/Penentuan Kerusakan Mangrove ... 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil ... 31

5.1.1. Kerapatan Vegetasi ... 31

5.1.2. Biomassa Pohon dan Cadangan Karbon ... 33

5.1.3. Tingkat Kekritisan Lahan/Penentuan Kerusakan Mangrove ... 34

5.2. Pembahasan ... 37

(11)

5.2.2. Biomassa Pohon dan Cadangan Karbon ... 42

5.2.3. Tingkat Kerusakan ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1. Kesimpulan ... 49

6.2. Saran ... 49

(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Data kualitas perairan di pesisir Kota Langsa ... 21 2 Persamaan allometrik biomassa bagian atas pada beberapa

mangrove dengan diameter setinggi dada (cm) ... 27 3 Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat

kekritisan lahan mangrove dengan cara teristris (survey lapangan). ... 29 4 Hasil analisa vegetasi tingkat semai, pancang dan pohon hutan

lindung mangrove Kuala Langsa ... 32 5 Indeks Keanekargaman (H') vegetasi hutan lindung mangrove

Kuala Langsa. ... 33 6 Kandungan biomassa dan karbon vegetasi pohon dengan tingkat

pertumbuhan pohon (diameter > 10 cm) di kawasan hutan lindung Kuala Langsa. ...

34

7 Tipe tutupan lahan Kawasan Kuala Langsa ... 35 8 Perhitungan Lebar Jalur Hijau (LJH) 1 Tahun (Januari 2012 -

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Kerangka berfikir dalam penelitian ... 4 2 Cara penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove ... 18 3 Peta jalur transek di lokasi penelitian ... 22 4 Desain unit contoh pengamatan vegetasi dilapangan dengan

rancangan line plot systematic sampling (metode garis berpetak).

23

5 Tutupan lahan Gampong Kuala Langsa ... 34 6 Aktivitas pembalakan liar pada tingkat pancang yang ditemukan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Tally Sheet Analisa Vegetasi Tingkat Pohon Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa ukuran diameter tanaman > 10 centimeter ... 53 2 Tally Sheet Analisa Vegetasi Tingkat Pancang Hutan Lindung

Mangrove Kuala Langsa ukuran diameter tanaman 2 cm – 10 cm 61 3 Tally Sheet Analisa Vegetasi Tingkat Semai Hutan Lindung

Mangrove Kuala Langsa ukuran diameter < 2 cm dan tinggi

tanaman ≤ 1,5 meter ... 64 4 Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove Tingkat Pertumbuhan

Pohon di Kawasan Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa ... 67 5 Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove Tingkat Pertumbuhan

Pancang di Kawasan Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa ... 68 6 Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove Tingkat Pertumbuhan

Semai di Kawasan Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa ... 69

7 Analisis kesesuaian lahan hasil identifikasi tipe vegetasi dan kondisi fisik lingkungannya. ... 70 8 Data Perhitungan Lebar Jalur Hijau Kawasan Hutan Lindung

Mangrove Kuala Langsa ... 71 9 Data Luas Hutan Mangrove Kota Langsa dan Luas Rehabilitasi ... 83 10 Daftar Nama Pengusaha Dapur Arang dan Anggota Pengumpul

Kayu Mangrove Wilayah Kota Langsa ... 84 11 Jenis – jenis mangrove yang ditemukan dihutan lindung mangrove

(15)

ABSTRACT

Dolly Sojuangan Siregar: Inventory of degredation level and carbon stock in protected mangrove forest Kuala Langsa, Aceh. Supervised by Mohammad Basyuni and Siti Latifah.

The purpose of this study was to find out accurate data on mangrove species diversity, carbon stock and level of degredation of protected mangrove forest Kuala Langsa which refers to the Guidelines for Identification of Critical Areas Inventory and Mangrove Department of Forestry Directorate General of Land Rehabilitation.

A research location in Kuala Langsa Mangrove Forest is geographically located at 97º 53 '15 "- 98º 04' 42" East longitude and 04º 24 '35 "- 04º 33' 47" North Latitude.

The survey used to inventory mangrove forest is purposive random sampling method, taken random starting from the sea front towards to the deepest zone. Vegetation study using 3 plots containing 14 lines with a width of 20 m to 190 m length of the line, the distance between plots was 10 m. Measurements

made of the tree was a woody plant with Ø ≥ 10 cm (20 m x 20 m), saplings were

higher than 1,5 m up to Ø <10 cm (5 m x 5 m), and seedlings were to as high as 1,5 m (2 m x 2 m)

Results of this study showed that Rhizophora apiculata dominated either type of seedlings, saplings and trees with the number density of seedlings were 11011,90 individuals/ha, density of saplings were 3009,52 individuals/ha, and density of tree were 70,83 individuals/ha. Total tree biomass was 19.062,68 kg/ha, with carbon stocks of 9,53 tons/ha. Total value score criticality level of protected mangrove forest Kuala Langsa was 285(standard value of non degraded was < 300) resulted this area was degraded.

(16)

ABSTRAK

Dolly Sojuangan Siregar : Inventarisasi tingkat kerusakan dan cadangan karbon di hutan lindung mangrove Kuala Langsa, Aceh. Dibimbing oleh Mohammad Basyuni sebagai ketua komisi pembimbing dan Siti Latifah sebagai anggota komisi pembimbing

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui data yang akurat tentang keanekaragaman jenis mangrove, biomassa pohon, potensi karbon, dan tingkat kerusakan di hutan lindung mangrove Kuala Langsa yang mengacu kepada Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan.

Lokasi penelitian di hutan lindung mangrove Kuala Langsa Kota Langsa yang secara geografis terletak pada posisi 970 53’ 15” – 980 04’ 42” bujur Timur dan 040 24’ 35” – 040

Metode penelitian yang digunakan adalah survey langsung di lapangan

(teristris) dengan metode purposive random sampling (metode garis berpetak)

yang diambil secara acak dimulai dari pinggir laut menuju zona terdalam. Penelitian ini menggunakan plot vegetasi sebanyak 14 jalur dengan lebar 20 m dengan panjang garis 190 m yang berisi 3 plot dengan jarak antar plot adalah 10 m. Pengukuran dilakukan terhadap pohon adalah tumbuhan berkayu dengan Ø ≥ 10 cm (20 m x 20 m), pancang adalah anakan dengan tinggi lebih dari 1,5 m sampai Ø < 10 cm (5 m x 5 m), dan semai adalah anakan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi 1,5 m (2 m x 2 m).

33’ 47” Lintang Utara.

Hasil penelitian ini memperlihatkan dominasi jenis Rhizopora apiculata

baik dari tingkat semai, pancang dan pohon dengan jumlah kerapatan tingkat semai = 11.011,90 individu/ha, kerapatan tingkat pancang = 3.009,52 individu/ha, dan kerapatan tingkat pohon = 70,83 individu/ha. Total kandungan biomassa pohon sebesar 19.062,68 kg/ha dengan potensi karbon 9,53 ton/ha. Total nilai skor hasil tingkat kekritisan lahan hutan lindung mangrove Kuala Langsa adalah 295 (Nilai < 300) sehingga hutan lindung ini berkriteria rusak.

Kata Kunci : Tingkat kerusakan, magrove, biomassa, cadangan karbon dan hutan lindung mangrove dan Kuala Langsa.

(17)

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Spalding et al., 2010). Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang hidup diantara daratan dan lautan daerah pasang surut, kondisi tanah berlumpur dan salinitas tinggi di daerah tropis dan subtropis (Duke et al., 2007). Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif di bumi dibandingkan dengan ekosistem lainya (Clough et al., 2000), dan memberikan sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) (Bouillon, 2011). Hutan mangrove memainkan peranan penting dalam strategi mitigasi terhadap perubahan iklim, yaitu kemampuannya menyimpan lima kali lebih banyak karbon dibandingkan tipe hutan lainnya sekitar 1,023 ton karbon atau setara 3,750 ton CO2

(18)

hutan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetika, bahan pewarna dan penyamak kulit, serta sumber pakan ternak dan lebah. Selain itu, hutan mangrove merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan udang, yang diharapkan dapat mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang diusahakan oleh para nelayan dan petani tambak. Pada beberapa tipe ekologi wilayah pantai, hutan mangrove sangat berperan penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut, serta sebagai penyangga terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan. Keanekaragaman jenis flora dan fauna serta keunikan ekosistem mangrove, dapat dikembangkan dan dilestarikan untuk ekowisata atau bahkan taman nasional di beberapa wilayah pantai (Departemen Kehutanan, 2005).

(19)

yang cukup mengkhawatirkan. Indikasi adanya ancaman terhadap degradasi hutan mangrove masih berlangsung pada hampir semua wilayah pantai. Secara umum, hal ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangan dan penegakan hukum yang masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan perlindungan ekosistem mangrove masih lemah sebagai akibat kurangnya intensitas penyuluhan dan kurang optimalnya pengembangan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan (Departemen Kehutanan, 2009).

Keberadaan hutan lindung mangrove di Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh, telah memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Langsa. Hutan mangrove yang dilindungi oleh peraturan daerah atau qanun Kota Langsa tersebut, berfungsi sebagai ekowisata bagi masyarakat setempat (Bappeda Kota Langsa, 2012).

(20)

Penelitian tentang estimasi stok karbon pada tegakan mangrove diperlukan untuk mengetahui jumlah karbon yang diserap oleh mangrove, kita akan lebih memahami manfaat ekologi mangrove sebagai penyerap karbon sehingga usaha konservasi mangrove dalam rangka mengurangi pemanasan global serta sebagai usaha perdagangan karbon dapat lebih ditingkatkan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Alur berpikir di dalam melakukan penelitian ini merujuk pada Gambar 1:

1.3. Tujuan Penelitian

1. Diperoleh data tentang kondisi aktual keanekaragaman jenis mangrove. 2. Mendapatkan nilai potensi karbon tersimpan dalam kawasan hutan

lindung mangrove Kuala Langsa.

Hutan Mangrove Kota Langsa - Aceh

Pemilihan lokasi penelitian (Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa- Aceh )

Analisis

Potensi Karbon Tingkat

Kerusakan Keanekaragaman

Mangrove

Baik Rusak

(21)

3. Mendapatkan nilai tingkat kerusakan di hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

1.4. Mafaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang kondisi aktual keanekaragaman jenis vegetasi penyusun hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue

dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komonitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan komonitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut. Tidal

forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa melayu),

hutan bakau adalah nama lain dari hutan mangrove yang sering disebut oleh masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara (Kusmana et al., 2003).

Hutan mangrove dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam (Kusmana et al., 2003).

(23)

Arief (2003) menunjukkan keterkaitan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan terhadap manusia maka fungsi dan manfaat hutan mangrove dibedakan menjadi lima yaitu fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, fungsi fisik dan fungsi wisata. Fungsi kimia kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Sebagai penghasil oksigen karena merupakan tempat terjadinya proses daur ulang

b. Sebagai penetralisir limbah dan bahan-bahan berbahaya dari pabrik-pabrik maupun kapal-kapal di lautan.

c. Sebagai penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis. Fungsi biologi kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Sebagai sumber bahan makanan bagi invertebrata kecil melalui proses pelapukan dan kemudian invertebrata kecil tersebut sebagai makanan bagi hewan-hewan yang lebih besar.

b. Sebagai tempat memijah atau asuhan bagi udang, ikan, kepiting maupun kerang, dimana hewan-hewan tersebut akan kembali ke lepas pantai pada saat dewasa.

c. Sebagai habitat alami berbagai jenis biota. d. Sebagai sumber plasma nutfah.

(24)

a. Sebagai penghasil kayu, misalnya kayu bahan bangunan, bahan perkakas rumah tangga, arang serta kayu bakar.

b. Sebagai penghasil bahan baku industri, misalnya bahan obat-obatan, pewarna, kosmetik.

c. Sebagai penghasil bibit, misalnya ikan, udang, kepiting dan kerang Fungsi wisata kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai tempat penelitian.

b. Sebagai tempat konservasi dan pendidikan.

c. Sebagai tempat kunjungan wisata atau sebagai kawasan wisata. Fungsi fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai pelindung garis pantai agar tetap stabil.

b. Sebagai penahan sedimen.

c. Mencegah terjadinya abrasi pantai, erosi serta menahan hembusan angin kencang dari laut ke darat.

2.2. Vegetasi Mangrove

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi

Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya

(25)

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp.

c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, minor dan kelompok asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponennya penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluar sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, A.marina, A. officinalis, B.

gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal,

Kandelia candel, X. granatum,dan X. moluccensis.

(26)

pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang merjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak terbatas pada zona litoral. Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah B. cylindrica, Lumnitzera racemosa, X. moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus

spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla,

dan Oncosperma tigillaria.

c. Asosiasi mengrove merupakan komponen yang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat. Di Indonesia, mangrove yang termasuk dalam kelompok ini adalah tapak kuda (Ipomea pes caprae), jeruju (Acanthus illicifolius), nipah (Nypa fructicans), dan gelang laut (Sesuvium portulacastrum L.) (Kustanti, 2011)

Berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline 2006, sumber emisi berbasis lahan dibagi menjadi 6 kategori yaitu: (1) Lahan Hutan, (2) Padang Rumput, (3) Lahan pertanian, (4) Lahan basah, (5) Permukiman, dan (6) Lahan lain. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan. Kategori lahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Lahan Hutan (Forest Land)

(27)

termasuk sistem vegetasi yang belum termasuk dalam kategori hutan akan tetapi berpotensi untuk menjadi hutan.

2. Lahan pertanian (Crop Land)

Kategori ini termasuk lahan pertanian, yaitu sawah, sistem agro-forestry yang tidak termasuk dalam kategori lahan hutan.

3. Padang Rumput (Grass Land)

Kategori ini termasuk padang rumput yang bukan sebagai lahan pertanian. Juga termasuk vegetasi berkayu, dan bukan rumput lainnya seperti belukar dan semak yang tidak termasuk kategori lahan hutan. Kategori ini termasuk seluruh padang rumput pada lahan di areal rekreasi, pertanian dan konisten dengan defisini nasional.

4. Lahan basah (Wet Land)

Kategori ini termasuk areal gambut yang diekstraksi dan lahan yang digenangi air seluruhnya atau sebagian sepanjang tahun (misalnya lahan gambut) dan bukan termasuk sebagai kategori Lahan Hutan, Lahan Pertanian, Padang Rumput atau Pemukiman. Termasuk waduk sebagai bagian dari sungai serta danau.

5. Pemukiman (Settlement)

(28)

6. Lahan Lainnya (Other Land)

Kategori ini termasuk lahan terbuka, berbatu, es, dan lahan lainnya yang tidak masuk dalam lima kategori lainnya. Hal ini memungkinkan total areal secara nasional teridentifikasi jika data tidak tersedia. Jika data tersedia, suatu negara disarankan untuk mengklasifikasikannya sebagai lahan tidak terkelola (unmanaged lands) seperti kategori lahan di atas (misalnya lahan yang tidak terkelola sebagai Lahan Hutan Padang Rumput, dan Lahan Basah). Hal ini akan meningkatkan tranparansi dan kemampuan untuk melacak konversi dari lahan yang terkelola menjadi kategori tertentu di atas.

2.3. Biomassa

Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997).

(29)

dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya (Sutaryo, 2009).

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau Carbon dioksida (CO2

Penghitungan biomassa merupakan salah satu langkah penting yang harus diketahui dan dilakukan dalam sebuah kegiatan atau proyek mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Hanya kegiatan yang bertipe substitusi pkarbon tidak memerlukan penghitungan biomassa. Jenis-jenis kegiatan lainnya seperti pencegahan deforestasi, pengelolaan hutan tanaman dan agroforestry memerlukan penghitungan biomassa (Sutaryo, 2009).

), Metana (CH) dan nitrous oksida (NO) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah et al., 2011).

Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan menaksir volume pohon (tanpa melakukan perusakan). Volume pohon dapat ditaksir dari ukuran diameter batangnya, yang diukur setinggi dada (DBH) atau 1,3 m dari permukaan tanah. Jika diperlukan maka tinggi pohon juga dapat diukur untuk mempertinggi akurasi estimasi volume pohonnya. (Hairiah et al., 2011).

(30)

pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia

berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2

Hairiah dan Rahayu (2007) melaporkan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO

di dunia (Noor et al., 2006).

2 ke udara lewat respirasi dan pelapukan

(dekomposisi) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak

sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah

yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah

serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan

(emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan

(31)

melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2

Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30–50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan (Departemen Kehutanan, 2009).

yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan C.

Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. (Departemen Kehutanan, 2009).

(32)

kurang penting dalam inventore hutan. Jadi tingkat kecermatan informasi yang dicatat dalam inventore hutan ditentukan oleh tujuan inventore hutan yang diinginkan (Simon, 2007).

Deforestasi dan perubahan tata guna lahan saat ini menyebabkan emisi karbondioksida (CO2

Sampai tahun 2009, luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 22.811.070 ha, yang merupakan peningkatan dari penunjukan kawasan konservasi pada tahun 1996 yang hanya 9,67 juta Ha, yang 6,65 juta ha ditetapkan sebagai Taman Nasional dan Taman Hutan Raya. Penetapan kawasan lindung dan kawasan konservasi tidak secara langsung menghasilkan keuntungan berupa kayu, akan tetapi hal ini akan mengkonservasi karbon di ) sekitar 8 – 20% yang bersumber dari kegiatan manusia di tingkat global – menempati posisi kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil. Sebuah kesepakatan internasional mengenai iklim baru-baru ini menekankan pentingnya Reduced Emissions from Deforestation and

Degradation (REDD+) sebagai kunci dan pilihan yang berbiaya relatif rendah

(33)

hutan, mempertahankan biodiversity dan bermanfaat dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir. Upaya peningkatan jumlah kawasan konservasi juga perlu didukung oleh upaya pengamanan hutan sehingga tidak terjadi gangguan hutan seperti kebakaran, pembalakan liar, perambahan dan sebagainya (Kementerian Kehutanan, 2011).

Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan hutan mangrove, perlu dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari survey langsung di lapangan atau dari data GIS

(Geographic Information System) dan teknologi inderaja (penginderaan

jauh, seperti citra satelit). Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya (Departemen Kehutanan, 2009).

Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system) dan inderaja (citra satelit), dan

2. Penilaian secara langsung di lapangan (teristris).

(34)

tersebut cukup luas. Sedangkan cara teristris dilakukan untuk areal yang tidak terlalu luas dan apabila tidak tersedia data citra satelit. Selain itu, cara kedua ini dapat diterapkan untuk melakukan pengecekan lapangan dari hasil interpretasi dan analisis citra satelit (pada cara pertama). Secara skematis, hubungan kedua cara penilaian tersebut dapat dijelaskan seperti terlihat pada Gambar 2.

Kawasan Hutan Lindung Mangrove

Penentuan tingkat kekritisan mangrove dengan

teknologi inderaja

Pengecekan Lapangan

Peta tingkat Kekritisan Lahan mangrove

Penentuan tingkat kekritisan mangrove

secara teristris

Apakah data inderaja (citra satelit)

tersedia?

Tidak

(35)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3. 1. Lokasi Penelitian

Kota Langsa berada pada posisi 97º 53’ 15” – 98º 04’ 42” bujur Timur dan 04º 24’ 35” – 04º

Secara administratif Kota Langsa berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :

33’ 47” Lintang Utara merupakan wilayah hasil pemekaran dari wilayah Induk Aceh Timur yang disahkan berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Langsa. Secara administrasi Kota Langsa terdiri dari 5 kecamatan, 49 Desa, dan 2 kemukiman dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 145.351 jiwa. Kota Langsa mempunyai luas wilayah 26.241 Ha dengan luas lahan kehutanan menurut fungsinya sebagai hutan lindung mangrove seluas 1.730 Ha (khusus hutan lindung mangrove Kuala Langsa + 766,18 Ha) (Bappeda Kota Langsa, 2012).

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten

Aceh Timur dan Selat Malaka.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang.

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur dan Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang.

(36)

Kota Langsa merupakan daerah tropis yang selalu dipengaruhi oleh angin musim, sehingga setiap tahun ada dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya terjadi setiap tahun antara bulan Februari dan musim kemarau berkisar dari bulan Maret sampai Agustus. Meskipun perubahan cuaca sering, curah hujan rata-rata per tahun berkisar dari 1.500 mm sampai 3.000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata berkisar antara 28° - 33° C dan kelembaban relatif rata-rata 75 persen.

Secara topografi Kota Langsa terletak pada dataran aluviasi pantai dengan elevasi berkisar sekitar 8 m dari permukaan laut di bagian barat daya dan selatan dibatasi oleh pegunungan lipatan bergelombang sedang, dengan elevasi sekitar 75 m, sedangkan di bagian timur merupakan endapan rawa-rawa dengan penyebaran cukup luas.

Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik Kota Langsa tahun 2010 jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki laki 1026 jiwa, perempuan 906 jiwa dengan 565 kepala keluarga. Berdasarkan mata pencaharian penduduk Gampong Kuala Langsa yaitu nelayan sebanyak 721 orang, pedagang 32 orang, supir 23 orang dan PNS 9 orang.

3. 2. Kondisi Vegetasi Pesisir

(37)

Tabel 1. Data kualitas perairan di pesisir Kota Langsa

No Parameter Kisaran

1 Salinitas (º/oo) 24 – 32

2 Temperatur (ºC ) 28 – 33

3 Kecerahan ( meter ) 3 – 13

4 pH 7,00 – 7,75

5 Oksigen Terlarut (DO) (mg/L) 6,50 – 7,75 Sumber : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), 2007.

(38)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian Inventarisasi Tingkat Kerusakan dan Cadangan Karbon di Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa - Aceh seluas + 766,18 Ha ditunjukkan dalam Gambar 4 dan dilaksanakan pada Bulan Juli – Desember 2012.

Gambar 3. Peta jalur transek di lokasi penelitian 4.2. Alat

(39)

4.3. Metode Penelitian

Pengukuran tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara survey langsung di lapangan (teristris) dengan metode metode garis berpetak

(Purposive Random Sampling). Plot penelitian sebanyak 14 jalur dengan lebar

20 m dengan panjang garis 190 m yang masing - masing jalur berisi 3 plot dengan jarak antar plot 10 m. Pengukuran dilakukan terhadap pohon (20 m x 20 m), pancang (5 m x 5 m), dan semai (2 m x 2 m) (Gambar 4).

4.4. Pelaksanaan Penelitian

Data primer diperoleh dari survey langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penulusuran terhadap data atau dokumen yang diperoleh dari dinas atau instansi serta lembaga sosial masyarakat.

(40)

Untuk tingkat semai dan pancang dihitung jumlah individunya dan dicatat nama daerah, nama ilmiah dengan menggunakan buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor et al., 2006). Pada tingkat pohon selain dicatat nama ilmiah, nama daerah, dihitung jumlah individu juga diukur tinggi dan diameter batang dari setiap individu. Untuk pengukuran diameter, digunakan diameter setinggi dada (130 cm) kecuali untuk jenis

Rhizophora, diameter diukur pada posisi 20 cm di atas akar tunjang teratas.

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk memperoleh gambaran kondisi vegetasi hutan mangrove pada petak contoh penelitian.

Pengukuran pada hutan lindung mangrove kuala langsa dilaksanakan dari pinggir laut secara tegak lurus terhadap garis pantai sampai ke zone terdalam/peralihan dengan hutan rawa.. Kriteria tingkat pertumbuhannya : a. Semai adalah anakan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi 1,5 m. b. Pancang adalah anakan dengan tinggi lebih dari 1,5 m sampai Ø < 10 cm. c. Pohon adalah tumbuhan berkayu dengan Ø ≥ 10 cm.

4.5. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah cara untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur vegetasi dalam suatu ekosistem (Kusmana, 1997), data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dihitung untuk menentukan variabel sebagai berikut :

(41)

b) Untuk tingkat semai dan pancang : INP (%) = (KR) + (FR) dimana ; Kerapatan relatif (KR), frekuensi suatu jenis (F), frekuensi relatif (FR), dominasi suatu jenis (D), dominansi relatif (DR) ; dihitung dengan rumus sebagai berikut :

a. Kerapatan suatu jenis (K), dihitung dengan rumus :

� (������

ℎ� ) =

�����ℎ������������������ ��������������ℎ

b. Kerapatan relatif (KR) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

�� = �������������������

���������������ℎ����� � 100%

c. Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

� = �����ℎ�������������� ����������

�����ℎ������ℎ����������ℎ

d. Frekuensi relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

�� = �������������������

��������� ������ℎ����� � 100%

e. Dominasi (D) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

� (�2/ℎ�) = �������������������������

��������������ℎ

Untuk mendapatkan nilai luas bidang dasar (LBD) pada perhitungan dominansi menggunakan rumus sebagai berikut : LBD (m2) = ¼ π (d) f. Dominasi relatif (DR) suatu jenis, dihitung dengan rumus :

��= ������������������

�������� ������ℎ����� � 100%

(42)

g. Indeks Keanekaragaman (H1

Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan indeks Shannon Wienner :

Menurut Barbour et al.,(1987) menyatakan bahwa nilai H' dengan kriteria ; 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang dan > 3 tergolong tinggi.

4.6. Biomassa Pohon dan Cadangan Karbon

Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.

(43)

antara lain dari kelompok Rhizophora., Bruguiera. dan Avicennia. Rumus penduga ini dikembangkan oleh beberapa peneliti yang disarikan dalam Komiyama et al., (2007).

Tabel 2. Persamaan allometrik biomassa pohon bagian atas (Above-ground tree) mangrove dengan diameter setinggi dada (cm).

Jenis Mangrove Rumus Allometrik Sumber

Mangrove secara umum 0,168. ρ . (DBH)2,47 Chave et al., 2005

R. apiculata 0,235 . (DBH)2,42 Ong et al., 2004

B. gymnorrhiza 0,186. (DBH)2,31 Clough and Scott., 1989

X. granatum 0,0823 . (DBH)2,59 Clough and Scott., 1989

Keterangan: DBH= diameter setinggi dada (cm).

Penghitungan karbon dari biomassa menggunakan rumus sebagai berikut: Cb = B x % C organik

Keterangan: Cb = Adalah kandungan karbon dari biomassa, dinyatakan dalam kilogram (kg); B = adalah total biomassa, dinyatakan dalam (kg)/ha ; % C organik = adalah nilai persentase kandungan karbon dengan asumsi bahwa kandungan karbon dalam tanaman adalah 50% (Komiyama et al., 2007), Cadangan Karbon = Total Biomassa Pohon perlahan (Ton/ha) x 0,5.

4.7. Penentuan Tingkat Kekritisan Lahan/Penentuan Kerusakan Mangrove

(44)

1) Tipe penutupan dan penggunaan lahan

Kriteria tipe penutupan dan penggunaan lahan diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 30 dengan cara skoring.

2) Jumlah pohon per hektar

Kerapatan tegakan (jumlah pohon per hektar, N) dan kemerataan kehadirannya (frekuensi, F) merupakan kriteria penting untuk menentukan tingkat kekritisan lahan mangrove. Kriteria ini diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 25 dengan cara skoring.

3) Jumlah permudaan per hektar

Jumlah permudaan (semai dan pancang) per hektar (Np) diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 20 dengan cara skoring.

4) Lebar jalur hijau mangrove

Sesuai dengan Keppres No. 32 Tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, kawasan pantai berhutan bakau/mangrove = 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah (PPS) tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah darat, dikategorikan masih dapat berfungsi cukup baik. Bobot nilai yang diberikan pada kriteria lebar jalur hijau mangrove adalah 15 dengan cara skoring. (Data Pasang Surut Air Laut Dan Tabel Solunar kawasan pantai Langsa dari Januari 2012 s/d Desember 2012).

5) Tingkat abrasi

(45)

Secara ringkas, kriteria, bobot dan skor penilaian tersebut dapat disajikan seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara teristris (survey lapangan).

No. Kriteria Bobot Skor Penilaian

1. Tipe

b. 4 : hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain c. 3 : hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpang sari, atau areal tambak tumpangsari murni

d. 2 : hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non-vegetasi (pemukiman, tambak non tumpangsari, dsb)

(46)

Berdasarkan Tabel 3, total nilai skoring (TNS) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

TNS = (Tppl x 30) + (N x 25) + (Np x 20) + (L x 15) + (A x 10)

Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut:

(47)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1. 1. Kerapatan Vegetasi

Berdasarkan inventarisasi flora hasil survey lapangan daerah kawasan hutan lindung magrove Kuala Langsa diperoleh 7 jenis flora mangrove yang terdiri atas 5 jenis mangrove sejati (true mangrove/major components) dan 2 jenis komponen mangrove ikutan. Kelima jenis mangrove sejati tersebut adalah Avicennia lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, R.

mucronata dan Xylocarpus granatum. Jenis-jenis mangrove ikutan

(associate mangrove) yang dijumpai adalah Derris trifoliata dan Thespesia

populnea.

Hasil analisis vegetasi mangrove di hutan lindung mangrove Kuala Langsa dilihat pada Tabel 4. Tingkat vegetasi semai, pancang dan pohon didominasi oleh jenis R. apiculata dengan jumlah kerapatan permudaan tingkat semai = 11.011,90 individu/ha dengan total kerapatan untuk seluruh tingkat semai sebanyak 16.011,90 individu/ha. Jenis R. apiculata yang mendominasi tingkat pancang = 3.009,52 individu/ha dengan dengan total kerapatan untuk seluruh jenis pancang sebanyak 3.104,75 individu/ha. Kerapatan vegetasi tingkat pohon yang di dominasi jenis R. apiculata

(48)

Tabel 4. Hasil analisa vegetasi tingkat semai, pancang dan pohon hutan lindung mangrove Kuala Langsa

Keterangan : K = Kerapatan (individu/ha) , F = Frekuensi,

KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%), INP = Indeks Nilai Penting (%).

Tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tingkat pohon yang menunjukkan INP didominasi oleh jenis R. apiculata dengan INP semai 162,52%, INP pancang 189,79% danINP pohon 241,21% (Tabel 4).

Berdasarkan Tabel 5 indeks keanekaragaman vegetasi hutan lindung mangrove Kuala Langsa pada tingkat semai (H' = 0,76), pancang (H' = 0,15), dan pohon (H' = 0,40) tergolong rendah.

(49)

Tabel 5. Indeks Keanekargaman (H') vegetasi hutan lindung mangrove Kuala

b. Tingkat Pancang

1 R. apiculata 323 0,970 0,03 0,03

5.1.2. Biomassa Pohon dan Cadangan Karbon

(50)

Tabel 6. Kandungan biomassa dan karbon vegetasi pohon dengan tingkat pertumbuhan pohon (diameter > 10 cm) di kawasan hutan lindung Kuala Langsa.

Keterangan : AGB (Above-ground biomass)

5.1.3. Tingkat Kekritisan Lahan/Penentuan Kerusakan Mangrove.

Survei langsung di lapangan (terestris) dengan kriteria : Tipe penutupan dan penggunaan lahan, jumlah pohon per hektar, jumlah permudaan per hektar, lebar jalur hijau mangrove dan tingkat abrasi sebagai berikut :

1. Tipe penutupan lahan dan Penggunaan lahan (Tppl)

Daerah Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa adalah hutan mangrove bercampur tambak = 340,18 ha, pemukiman = 23,76 ha, kawasan pelabuhan = 13,00 ha dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) = 3,24 ha (skor 2).

(51)

Tabel 7. Tipe tutupan lahan Kawasan Kuala Langsa Warna Tipe tutupan lahan Luas (ha)

Sungai 399,08

Tambak 340,18

Mangrove 766,18

Pemukiman 23,76

Kawasan Pelabuhan 13,00 Pusat Pelelangan Ikan (PPI) 3,24 Sumber : Bappeda Kota Langsa 2012

2. Jumlah pohon per hektar

Jumlah pohon per hektar dari Tabel 4 diperoleh dominasi R. apiculata

pada fase pohon dengan kerapatan pohon per hektar = 70,83 individu/ha dengan frekuensi relatif = 57,14% (Skor = 1).

3. Permudaan per hektar

Permudaan (fase semai dan pancang) per hektar dari Tabel 4 diperoleh dominasi R. apiculata pada fase semai = 11.011,90 individu/ha dengan frekuensi relatif = 93,75%. Dominasi R. apiculata pada fase pancang = 3.009,52 individu/ha dengan frekuensi relatif = 92,86%. (Skor = 5). 4. Rata-rata Lebar Jalur Hijau Tahunan

(52)

melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha) (Noor et al., 2006). Perbedaan pasang surut dikali 130 menggambarkan kondisi lebar jalur hijau pantai. Persentase jalur hijau diperoleh dengan membandingkan lebar jalur hijau pantai dengan lebar minimum (200 m) dikali dengan 100%.

Tabel 8. Tabel Perhitungan Lebar Jalur Hijau 1 Tahun (Januari 2012 - Desember 2012)

Keterangan : PPS (Perbedaan Pasang Surut)

(53)

5. Tingkat Abrasi

Berdasarkan tingkat laju sedimentasi yang terukur di area kawasan hutan lindung Kuala Langsa dan pelabuhan Kuala Langsa sebesar 0,52 m/tahun (score 5) (BRR, 2007).

Total Nilai Skor (TNS) tingkat kekritisan lahan hutan lindung mangrove Kuala Langsa :

TNS = (2 x 30) + (1 x 25) + (5 x 20) + (4 x 15) + (5 x 10) = 60 + 25 + 100 + 60 + 50

= 295 Kriteria ;

• Nilai 100 – 200 : rusak berat • Nilai 201 – 300 : rusak • Nilai > 300 : tidak rusak

Total nilai skor yang diperoleh = 295, sehingga hutan lindung mangrove Kuala Langsa dinyatakanrusak.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Kerapatan Vegetasi

Kerapatan Vegetasi diketahui bahwa jenis vegetasi mangrove yaitu R.

apiculata merupakan vegetasi yang ada di setiap kelas pertumbuhan,

(54)

tergolong normal. Fenomena ini umum terjadi di berbagai lokasi di dunia yaitu terjadi polarisasi kerapatan jenis pohon sehingga terjadi zonasi komunitas mangrove tertentu.

Semakin meningkat kerapatan pohon semakin tinggi tingkat penutupan tajuk di suatu kawasan hutan dan semakin sedikit celah yang terbentuk sehingga lantai hutan semakin tertutup oleh tajuk pohon. Semakin baik kondisi hutan berarti penutupan tajuk hutannya semakin rapat dan lantai hutan semakin tertutup. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya iklim mikro di dalam hutan yang relatif baik, sehingga memperkecil berkembangnya introduksi jenis vegetasi luar yang berkembang di habitat mangrove.

Dengan rapatnya batang-batang dan susunan perakaran mangrove, maka banyak partikel liat terdeposisi di zona mangrove, bersamaan dengan ini banyak nutrien yang berasal dari kolom badan air terserap dalam sedimen liat tersebut. Hal ini selain mencegah hilangnya nutrien dari mangrove ke laut lepas juga memperbesar cadangan nutrien dalam sedimen mangrove tersebut (Kusmana, 2009).

Pada tingkat pertumbuhan pohon pada hutan lindung mangrove Kuala Langsa diperoleh dominasi jenis R. apiculata 70,83 individu/ha. Hal ini diduga pada tingkat vegetasi pohon di lokasi penelitian hutan lindung Kuala Langsa mengalami degredasi. Jika dibandingkan hasil BRR (2007) dominasi

R. apiculata pada keseluruhan kawasan mangrove di keseluruhan pesisir Kota

(55)

Gambar 6. Aktivitas pembalakan liar pada tingkat pancang yang ditemukan di setiap jalur kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

Hal ini diduga akibat aktifitas masyarakat yang mengambil dan menebang mangrove jenis R. apiculata terutama pada tingkat pertumbuhan pancang yang dipergunakan untuk bahan baku rumah tangga atau peralatan nelayan, dan banyaknya aktifitas-aktifitas pabrik kayu arang (diameter batang < 10 cm) dengan memanfaatkan lemahnya sistem penanganan dan penegakan hukum secara tidak sah (illegal), sehingga dampak degredasi hutan tersebut adalah penurunan kualitas tegakan tingkat pohon.

(56)

INP digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Jenis R. apiculata yang mendominasi dari tingkat semai, pancang dan pohon diduga karena R. apiculata mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga dapat tumbuh dengan baik dari tingkat semai, pancang dan pohon.

Supriharyono (2007) menunjukkan bahwa Nilai INP dari tiap jenis mangrove sangat tergantung kondisi pertumbuhan mangrove. Mangrove untuk dapat tumbuh baik memerlukan sejumlah faktor pendukung utama dalam pertumbuhan yaitu ketersediaan nutrien atau bahan organik. Noor et al., (2006) menyatakan bahwa R. apiculata dapat tumbuh mencapai tingkat dominasi 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Kondisi tersebut didukung dengan dimana kondisi wilayah pesisir Kota Langsa tersebut mempunyai kisaran salinitas 24 – 32 (o/oo), substrat tanah

(57)

bahwa deliniasi zonasi R. apiculata dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

Nilai indeks keanekaragaman yang besar mengisyaratkan terdapatnya daya dukung lingkungan yang besar terhadap kehidupan. Suatu lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis yang besar umumnya akan terdiri dari populasi-populasi yang masing-masing dengan jumlah individu yang relatif kecil. Sebaliknya, lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis kecil umumnya dalam lingkungan tersebut akan dihuni oleh jenis yang terbatas dengan jumlah individu melimpah.

Berdasarkan perhitungan terhadap keanekaragaman jenis (H') (Tabel 5) pada lokasi penelitian baik pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Hal ini diduga telah terjadi tekanan oleh faktor luar yang mengakibatkan hilangnya jenis-jenis mangrove tertentu, apakah akibat penebangan liar, rendahnya persentase perkecambahan biji akibat tingginya genangan air atau naiknya suhu tanah akibat tingginya intensitas yang masuk ke lantai hutan atau adanya upaya alih fungsi lahan oleh masyarakat perambah terhadap kawasan hutan lindung magrove Kuala Langsa.

(58)

5.2.2. Biomassa Pohon dan Cadangan Karbon

Proporsi penyimpanan karbon terbesar umumnya terdapat pada komponen tegakan atau biomasa pohon. Hasil pengukuran pada plot contoh penelitian menunjukan hutan lindung mangrove Kuala Langsa memiliki biomasa tegakan mangrove sebesar 19.062,68 kg/ha dengan potensi karbon 9,53 ton/ha.

Lampiran 1 Analisa Vegetasi Tingkat Pohon di ketahui vegetasi pohon (diameter > 10 cm) terdapat pada jalur 1, 3, 9, 13 dan 14, sedangkan pada plot 2 - 8 dan plot 10 - 12 tidak ditemukan vegetasi mangrove dengan diameter > 10 cm karena pada plot tersebut hanya dijumpai vegetasi tingkat semai dan pancang.

Hutan mangrove adalah sumberdaya alam yang multifungsi, dalam kaitannya dengan efek pemanasan global. Hutan mangrove mampu mengurangi kadar CO2 di udara dan memperangkapnya dalam bentuk

biomassa. Hutan klimaks dalam keseimbangan dinamik tidak lagi berfungsi mengurangi kadar CO2

(59)

GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim dan keseimbangan ekosistem. Konsentrasi GRK diatmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas, dan adanya pengeringan lahan gambut serta perubahan fungsi lahan mangrove menjadi areal pertambakan.

Hutan mangrove selain sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan kayu juga berfungsi sebagai pengatur tata air, ekowisata maupun sebagai penyerap karbondioksida dari atmosfer. Proses penyerapan CO2 dari udara

oleh vegetasi terjadi pada saat fotosintesis. Hutan maupun vegetasi lainnya mengambil CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbohidrat untuk

pertumbuhannya, diserap dan disimpan oleh tanaman diasumsikan sebanding dengan jumlah karbon organik dalam tegakan.

5.2.3. Tingkat Kerusakan

Berdasarkan hasil skor (295), hutan lindung mangrove Kuala Langsa dinyatakan rusak. Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis/rusak apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam.

1. Tipe penutupan lahan dan Penggunaan lahan (Tppl)

(60)

lindung mangrove Kuala Langsa sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan aktifitas masyarakat disekitar kawasan hutan lindung tersebut. Resiko pencemaran lingkungan disekitar kawasan hutan lindung kerap terjadi. Konversi hutan tanpa melihat dan memperhatikan fungsi dan keberadaan hutan mangrove bagi kestabilan ekosistem mengakibatkan rusaknya habitat mangrove akibat kegiatan konversi dan eksploitasi yang berlebihan. Indikatornya adalah makin sedikitnya jenis-jenis mangrove yang tumbuh di hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan pada tingkat keanekaragaman mangrove yang rendah disemua tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon. Keanekaragaman yang rendah tersebut merupakan cerminan dari tidak stabilnya komunitas magrove akibat terganggunya keseimbangan ekosistem ataupun habitat yang terdapat pada hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

2. Jumlah pohon per hektar

Kerapatan pohon per hektar = 70,83 individu/ha yang didominasi jenis mangrove R. apiculata sangat rendah dibandingkan dengan penelitian Restu (2003) pada hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas Kabupaten Lampung Timur dengan keadaan kondisi yang tidak rusak, dengan kerapatan tingkat pohon sebesar 394 individu/ha yang didominasi jenis mangrove A. alba.

3. Permudaan per hektar

(61)

jika dibandingkan dengan penelitian Restu (2003) pada hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas Kabupaten Lampung Timur dengan keadaan kondisi yang tidak rusak, dengan kerapatan pada tingkat semai sebesar 18.125 individu/ha dan tingkat pancang sebesar 4.200 individu/ha. Hal ini menunjukkan tingkat semai dan pancang pada hutan lindung mangrove Kota Langsa berada dibawah kondisi hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas.

4. Rata-rata Lebar Jalur Hijau Tahunan

Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk melindunginya. Perbedaan pasang surut di kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa diperoleh hasil rata-rata tahunan sebesar 1,44 m, dengan lebar jalur hijau minimum 186,63 m. Secara umum lebar jalur hijau di pesisir wilayah hutan lindung mangrove Kuala Langsa berada di bawah batas minimum yang dipersyaratkan surat keputusan bersama tahun 1984 Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan (200 m). Pasang yang terjadi di kawasan mangrove juga menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. Penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora

mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

(62)

pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya (Indriyanto, 2006). Daerah hutan lindung mangrove terletak didaearah Teluk Langsa. Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora (Noor et al., 2006).

5. Tingkat Abrasi

Garis pantai adalah batas air laut pada waktu pasang tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia. Dalam melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, manusia melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Hutan lindung mangrove Kuala Langsa berada di daerah Teluk Langsa. Berdasarkan tingkat laju sedimentasi yang terukur di Teluk Langsa sebesar 0,52 m/tahun. Hal ini diduga pada daerah kawasan hutan lindung Kuala Langsa berada didaerah tel yang teluk sehingga terhindar dari ancaman kombinasi hempasan gelombang, angin dan arus laut pada bibir pantai sehingga tidak mengubah garis pantai.

(63)

garam. Hal ini perlu adanya upaya peningkatan pengamanan kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa di lokasi-lokasi yang diindikasikan mempunyai potensi gangguan yang cukup tinggi.

Fungsi kawasan hutan lindung yaitu mengatur hidrologi, penyerap karbon, perlindungan ekosistem dengan vegetasi alami dengan tingkat suksesi primer. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan menetapkan pemanfaatan hutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat setempat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung sebagai amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

(64)

mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian.

(65)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Kandungan biomassa pohon pada hutan lindung mangrove Kuala Langsa dengan luasan + 766,18 ha diperoleh biomassa sebesar 19.062,68 kg/ha dan cadangan karbon sebesar 9,53 ton/ha.

2. Total nilai skor tingkat kekritisan pada hutan lindung mangrove Kuala Langsa diperoleh nilai 295. Nilai tersebut menyatakan kondisi di hutan lindung mangrove Kuala Langsa dalam keadaan rusak.

6.2. Saran

1. Pemerintah Kota Langsa dapat memanfaatkan hutan lindung mangrove Kuala Langsa sebagai penyedia benih mangrove.

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)., 2007. Buku Analisa Laporan

Akhir : Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Pesisir Provinsi NAD Pasca Tsunami : PT. Sumaplan Adicipta Persada, Banda Aceh.

Badan Pusat Statistik Kota Langsa, 2010. Data Agregat per Kecamatan Kota Langsa.

Bappeda Kota Langsa, 2012. Langsa Dalam Angka, BPS Kota Langsa Bekerjasama dengan Bappeda Kota Langsa.

Barbour, M.G., Burk, J.H., & Pitts, W.D., 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park CA : The Benjamin Cumming Pub. Co. Inc.

Bengen, D.G., 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan–Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Bouillon, S., 2011. Carbon cycle: Storage beneath mangroves. Nature Geosci. 4, 282-283.

Brown, S., 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper - 134). FAO, Rome. Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M.A., Chambers, J.Q., Eamus, D.,

Folster, H., Fromard, F., Higuchi, N., Kira, T., Lescure, J.P., Nelson, B.W., Ogawa, H., Puig, H., Rie´ra, B., Yamakura, T., 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145, 87–99

Clough, B., Tan, D.T., Phuong, D.X., Buu, D.C., 2000. Canopy leaf area index and litter fall in stands of the mangrove Rhizophora apiculata of different age in the Mekong Delta, Vietnam. Aquat. Bot. 66, 311-320.

Clough, B.F., Scott, K., 1989. Allometric relationships for estimating aboveground biomass in six mangrove species. Forest Ecol. Manage. 27, 117–127.

(67)

Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial, 2009. Pedoman Inventarisasi Dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove, Jakarta.

Donato, D.C., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., Kanninen, M., 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geosci.4, 293-297.

Duke, N.C., Meynecke, J.O., Dittmann, S., Ellison, A.M., Anger, K., Berger, U., Cannicci, S., Diele, K., Ewel, K.C., Field, C.D., Koedam, N., Lee, S.Y., Marchand, C., Nordhaus, I., Dahdouh-Guebas, F.,2007. A world without mangroves? Science 317, 41-42.

Hairiah K, dan Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘karbon tersimpan’ di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 p. Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R.R., Rahayu, S., 2011. Pengukuran Cadangan

Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Center, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya (UB), Malang, Indonesia 88 p.

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

IPCC., 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan.

Kementerian Kehutanan, 2011., Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Volume 5 No. 8.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Jakarta.

Komiyama, A., Ong, J.E., Poungparn, S., 2007. Allometry, biomass, and productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Botany, Vol. 89, 128–137.

Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi, Institut Pertanian Bogor, Bandung. Kusmana, C., Onrizal, Sudarmaji., 2003. Jenis-jenis pohon mangrove di teluk Bintuni,

Papua. Fakultas IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries, Bogor. Kusmana, C, 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu, Workshop

(68)

Noor Y R., Khazali M., dan Suryadiputra., 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP (Wetland Internasional- Indonesia Program), Bogor. Ong, J.E., Gong, W.K., Wong, C.H., 2004. Allometry and partitioning of the

mangrove, Rhizophora apiculata. Forest Ecol. Manage. 188, 395–408.

Pasanglaut.com. 2012. Tabel Pasang Surut Air Laut Dan Tabel Solunar Di Langsa Bay. http://www.pasanglaut.com/as/west-indonesia/langsa-bay. Diakses pada tanggal 05 Januari 2013.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, tanggal 8 Januari 2007.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/MENHUT-V/2004, Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitas Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitas Hutan dan Lahan, tanggal 22 Juli 2004.

Restu R. 2003. Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove di Resort Wako Taman Nasional Way Kambas. Lampung.

Simon, H, 2007. Metode Inventore Hutan, Pustaka Belajar, Yogyakarta.

Spalding, M., Kainuma, M., Collins, L., 2010. World Atlas of Mangroves.Earthscan. London.

Supriharyono., 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

(69)

Lampiran 1. Tally Sheet Analisa Vegetasi Tingkat Pohon Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa Ukuran Diameter Tanaman > 10 centimeter

Jalur : 1

Ukuran Plot Contoh : 20 m x 20 m Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar Lokasi (GPS) : N.04o31.863' E.098o00.097

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

S - PU (cm) Total (m) Cabang (m)

1 R. apiculata 34.00 3.70 1.35

Jalur : 2

Ukuran Plot Contoh : 20 m x 20 m Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar

Lokasi (GPS) : N. 04º 31' 863" E. 0,98º 00' .097"

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

S - PU (cm) Total (m) Cabang (m) Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar

Lokasi (GPS) : N. 04º 52' 868" E. 0,98º 01' 551"

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

S - PU (cm) Total (m) Cabang (m)

1 A. lanata 29.00 4.80 1.50

Nama Latin Ket.

Nama Latin

Nama Latin

Ket.

(70)

Lanjutan Lampiran 1

Jalur : 4

Ukuran Plot Contoh : 20 m x 20 m Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar

Lokasi (GPS) : N. 04º 53' 691" E. 0,98º 01' 745"

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

S - PU (cm) Total (m) Cabang (m) Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar

Lokasi (GPS) : N. 04º 53' 419" E. 0,98º 01' 038"

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

S - PU (cm) Total (m) Cabang (m) Tanggal/Bulan/Tahun : 5 September 2012 Nama Lokasi : Kuala Langsa

Nama Pengukur : Dolly Sojuangan Siregar

Lokasi (GPS) : N. 04º 52' 738" E. 0,98º 00' 353"

No Diameter Tinggi Tinggi Bebas

Gambar

Gambar 1:
Gambar 2.
Tabel 1. Data kualitas perairan di pesisir Kota Langsa
Gambar 3. Peta jalur transek di lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA INTERAKTIF BERBASIS GAME MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK.. KETERCAPAIAN

In this study, which was carried out in order to determine the aboveground and belowground biomass amounts of maquis lands within the borders of Çamalan Forest Sub-Dis-

Kesimpulan dari tulisan untuk mencegah potensi konflik yang mungkin terjadi dan menyelesaikan permasalahan yang ada maka kelembagaan yang telah dianggap berfungsi baik dalam

Mean dari dimensi bentuk kesadaran sosial pengalaman orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri dilihat dari identifikasi terhadap nilai moral individualisme

H2: Rasio Aktivitas ( Total Asset Turnover ) berpengaruh positif terhadap price earning ratio pada perusahaan sektor keuangan non bank yang terdaftar di bursa efek Indonesia.

Sampel pada penelitian ini ialah 46 perusahaan real estate dan property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2016 yang diambil dengan mengunakan

S ecara garis besar sistem ko- m oditas ubijalar, ubi N agara dan ubi A labio ini terdiri dari subsistem industri pengolahan, subsistem konsum en dan subsistem distribusi/pem

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang