KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMALSUAN UANG DI INDONESIA
(STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
IKHSAN MAULANA B.
100200059
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMALSUAN UANG DI INDONESIA
(STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH
IKHSAN MAULANA B.
NIM : 100200059
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum NIP. 195703261986011001
Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M
NIP: 196104081986011002 NIP: 196305111989031001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt, karena atas berkat,
rahmat, dan hidayah-Nya skripsi dengan judul “Kajian Hukum Terhadap Tindak
Pidana Pemalsuan Uang di Indonesia (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.
Jkt.Tim) ini dapat terselesaikan. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi
tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, tak ada
pengetahuan penulis yang dapat diandalkan kecuali ketekunan dan kesungguhan.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon kepada pembaca
agar kiranya sudi memberikan kritik dan saran yang membangun bagi
penyempurnaan karya ilmiah ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH,
MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III
3. Bapak Muhammad Hamdan, SH, M.Hum, selaku Kepala Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Madiasa Ablisar SH, MS selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis
dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen / Staff Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu, yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.
7. Kedua orangtua, Imran Butar-Butar dan Khairannur Lubis yang selalu
memberikan dukungan dan nasihat selama proses penyusunan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan di Group A Angkatan 2010, Don Kengon,
Don Okto, Bobby Keyser Soze, Ammar Rasyad, Idin Manahan, Along
Prayudha, Daniel Cobra, serta teman-teman lainnya yang tak bisa
disebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan, baik berupa kata
maupun perbuatan. Semoga kiranya apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini
Medan, Februari 2015
DAFTAR ISI
1. Pengertian Tindak Pidana……… 7
2. Pengertian Uang, Jenis Uang dan Fungsi Uang….. 8
3. Pengertian Pemalsuan Uang……… 14
G. Metode Penelitian…... 14
H. Sistematika Penulisan... 16
BAB II : PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG A. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana... 19
1. Meniru atau Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP).... 20
2. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP)…... 24
3. Merusak Uang (Pasal 246 KUHP)………. 32
5. Mengedarkan Uang Palsu yang Lain dari Pasal
245, 247 (Pasal 249 KUHP)………... 34
6. Membuat atau Mempunyai Persediaan Benda atau Bahan Untuk Memalsu Uang (Pasal 250 KUHP)……… 35
7. Menyimpan Kepingan Perak yang Dianggap Mata Uang (Pasal 251 KUHP)……… 37
B. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang ... 38
1. Larangan………. 39
2. Ketentuan Pidana………... 42
C. Perbedaan Antara Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ... ... 46
BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PADA TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG (STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/PN.JKT. TIM)
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan... 74
B. Saran ... 75
ABSTRAK stabilitas dan kemajuan perekonomian suatu negara. Tingginya kebutuhan akan uang mendorong masyarakat melakukan tindakan guna memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Tindakan tersebut seringkali justru bertentangan atau melawan hukum, contohnya adalah dengan melakukan tindak pidana pemalsuan uang.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, Apakah
perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?
Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi
pada tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan Nomor
1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka. Data yang digunakan adalah data sekunder seperti buku-buku, peraturan perundang-perundangan, dan data-data lain yang diperoleh dari situs-situs internet.
Hasil pembahasan dalam skripsi ini, bahwa yang menjadi pembeda utama antara aturan hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dapat dilihat dari segi objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan. Objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan dalam KUHP adalah uang kertas dan uang logam dari seluruh negara, baik itu mata uang lokal (Rupiah) maupun mata uang asing. Sedangkan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengkhususkan perlindungan dari perbuatan pemalsuan hanya bagi mata uang Rupiah saja. Larangan dan ketentuan pidana dalam UU Mata Uang sebenarnya hampir sama dengan yang berada di KUHP, hanya saja beberapa pasal di UU Mata Uang menerapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, berbeda dengan aturan KUHP tentang pemalsuan uang yang ancaman maksimal pidananya adalah 15 (lima belas) tahun penjara (Pasal 244 dan 245).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap satu putusan atas tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim telah memiliki berbagai pertimbangan, dan atas suatu keyakinan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI
* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Terdakwa dijatuhi hukuman berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 60.000.000,- oleh Majelis Hakim.
ABSTRAK stabilitas dan kemajuan perekonomian suatu negara. Tingginya kebutuhan akan uang mendorong masyarakat melakukan tindakan guna memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Tindakan tersebut seringkali justru bertentangan atau melawan hukum, contohnya adalah dengan melakukan tindak pidana pemalsuan uang.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, Apakah
perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?
Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi
pada tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan Nomor
1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka. Data yang digunakan adalah data sekunder seperti buku-buku, peraturan perundang-perundangan, dan data-data lain yang diperoleh dari situs-situs internet.
Hasil pembahasan dalam skripsi ini, bahwa yang menjadi pembeda utama antara aturan hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dapat dilihat dari segi objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan. Objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan dalam KUHP adalah uang kertas dan uang logam dari seluruh negara, baik itu mata uang lokal (Rupiah) maupun mata uang asing. Sedangkan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengkhususkan perlindungan dari perbuatan pemalsuan hanya bagi mata uang Rupiah saja. Larangan dan ketentuan pidana dalam UU Mata Uang sebenarnya hampir sama dengan yang berada di KUHP, hanya saja beberapa pasal di UU Mata Uang menerapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, berbeda dengan aturan KUHP tentang pemalsuan uang yang ancaman maksimal pidananya adalah 15 (lima belas) tahun penjara (Pasal 244 dan 245).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap satu putusan atas tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim telah memiliki berbagai pertimbangan, dan atas suatu keyakinan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI
* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat
melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan
dengan pertukaran antara barang dengan barang, jasa dengan jasa, barang dengan
jasa, atau sebaliknya. Bahkan hingga saat ini barter itu masih dilakukan, namun
praktiknya yang terkesan membuang waktu dan tenaga, seringkali membuat tidak
banyak perdagangan mungkin dilaksanakan.2 Perlahan praktik barter ditinggalkan
sebab sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan.
Terdapat beberapa kendala yang sering terjadi dalam sistem barter, antara
lain sebagai berikut.3
1. Sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya yang sesuai
dengan kebutuhan yang diinginkan.
2. Sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan terhadap barang
yang diinginkan.
3. Sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya dengan jasa yang
dimiliki atau sebaliknya.
4. Sulit untuk menemukan kebutuhan yang mau ditukarkan pada saat yang
cepat sesuai dengan keinginan. Artinya untuk memperoleh barang yang
diinginkan memerlukan waktu yang terkadang relatif lama.
2
Stephen M. Goldfeld dan Lester V. Chandler, Ekonomi Uang dan Bank, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 6.
3
Beberapa kendala dari praktik barter tersebut memberikan pengaruh besar
bagi masyarakat sebagai pelakunya. Tujuan utama dari pertukaran adalah agar
terpenuhi kebutuhan masing-masing pihak, namun barter dengan segala
kekurangannya justru mengakibatkan pertukaran kebutuhan menjadi memakan
waktu bahkan bisa berakhir dengan gagalnya pertukaran. Dengan tujuan
mempermudah transaksi perdagangan, maka kemudian muncul alat tukar yang
jauh lebih efisien yang dikenal dengan sebutan Uang.
Uang memberikan kemudahan dalam setiap proses pemenuhan kebutuhan
hidup manusia karena diterima secara luas oleh masyarakat. Dalam perekonomian
yang semakin modern seperti sekarang ini, uang memainkan peranan yang sangat
penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah merupakan suatu
kebutuhan, bahkan saat ini, uang telah menjadi salah satu penentu stabilitas dan
kemajuan perekonomian di suatu negara.4
Peran uang dalam kehidupan manusia semakin hari semakin meningkat.
Semakin tingginya kebutuhan hidup manusia umumnya sejalan dengan
peningkatan kebutuhan akan uang. Hal ini mendorong masyarakat untuk
melakukan tindakan, yang sering kali justru bertentangan dengan hukum, sebagai
upaya untuk mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Salah
satunya adalah dengan cara melakukan pemalsuan uang.
Karena peredaran uang palsu yang begitu cepat, kejahatan pemalsuan uang
dapat dianggap sebagai salah satu jenis kejahatan dengan dampak kerugian besar
yang tak terbatas lingkupnya. Negara sebagai otoritas yang berwenang dalam
4
mencetak dan mengedarkan uang akan merugi. Masyarakat sebagai penerima dan
pengguna uang juga akan menjadi korban apabila karena kurang teliti atau tanpa
sepengetahuannya telah mendapatkan uang palsu dari transaksi yang telah mereka
lakukan sebelumnya.
Modus peredaran uang palsu saat ini semakin beragam dan hasil dari proses
pemalsuan uang (uang palsu) juga semakin baik. Secara sekilas bahkan tampak
seperti uang asli. Peralatan canggih hasil dari perkembangan teknologi
memungkinkan para pelaku kejahatan untuk menciptakan uang palsu yang
semakin baik kualitasnya.
Meskipun Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang
dalam melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan penarikan
Rupiah telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi terkait ciri dari Rupiah asli,
tetap saja masyarakat sering tertipu karena kualitas dari uang palsu yang mereka
terima hampir serupa dengan uang asli pada umumnya. Tingkat peredaran uang
palsu terus saja meningkat dari waktu ke waktu.
Pembahasan mengenai aturan hukum terkait pemalsuan uang sangat
diperlukan. Dengan keberadaan hukum maka akan terciptalah keamanan dalam
kehidupan masyarakat. Hukum memberi petunjuk tentang apa yang harus
diperbuat dan tidak diperbuat, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan tertib
dan teratur.5 Dengan begitu, pembahasan terhadap aturan hukum tindak pidana
pemalsuan uang adalah penting mengingat keberadaan aturan hukum merupakan
5
salah satu instrumen penting dalam memberantas dan mengurangi tingkat
kejahatan pemalsuan uang.
Praktik pemalsuan uang yang kerap berkembang secara pesat, harus terus
diimbangi dengan perkembangan peraturan hukum. Selain dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sekarang permasalahan tindak pidana pemalsuan
uang juga dibahas secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Aturan mengenai pemalsuan uang dalam KUHP terdapat pada buku kedua,
tentang kejahatan, tepatnya pada bab X. Tindak pidana pemalsuan uang, atau
pemalsuan objek lainnya, dapat di golongkan sebagai bentuk penyerangan
terhadap kepercayaan atas kebenaran sesuatu hal yang di yakini sebagai asli.
Dibentuknya aturan mengenai kejahatan pemalsuan pada pokoknya ditujukan bagi
perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran sesuatu:
keterangan di atas sumpah, atas uang sebagai alat pembayaran, materai dan
merek, serta surat-surat. Karena kebutuhan hukum masyarakat terhadap
kepercayaan atas kebenaran pada objek-objek tadi, maka Undang-Undang
menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi dengan cara mencantumkan
perbuatan berupa penyerangan tadi sebagai suatu larangan dengan disertai
ancaman pidana.6
Dalam Pasal 4 bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga
diterangkan bahwa pada kejahatan terhadap mata uang (uang logam) dan uang
kertas Indonesia (Rupiah) yang dilakukan diluar wilayah Indonesia, berlaku
6
ketentuan pidana sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia (asas universaliteit). Hal ini mengindikasikan bahwa
pemalsuan uang adalah kejahatan yang berat dan dianggap serius oleh pembuat
hukum.
Sementara itu pada aturan hukum terbaru, yaitu dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, pada bagian
penjelasan umum di sebutkan bahwa tindakan pemalsuan uang dapat mengancam
kondisi moneter dan perekonomian nasional. Hal ini merupakan salah satu alasan
mendasar terciptanya aturan yang lebih khusus mengenai tindak pidana
pemalsuan uang tersebut.
Dengan lahirnya aturan hukum baru yang lebih bersifat khusus dalam
mengatur kejahatan pemalsuan uang, maka perlu untuk diperhatikan mengenai
aplikasi dari aturan hukum itu sendiri. Pada salah satu kasus pemalsuan uang yang
terjadi dan telah diputus di tahun 2013, kepada pelaku telah diberikan dakwaan,
tuntutan, dan hukuman atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang (Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim).
Pembahasan yang lebih merinci tentang putusan dari kasus tersebut diatas dirasa
penting untuk mengetahui bagaimana penerapan aturan hukum pemalsuan uang
yang baru dan pertimbangan hukum hakim terhadap dalam menjatuhkan sanksi
pidana pada Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim.
Berdasarkan uraian-uraian yang sudah disebutkan sebelumnya, maka dapat
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi yang berjudul Kajian
Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang (Studi Putusan No.
1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) adalah:
1. Apakah perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam
KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang?
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pada tindak
pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan tindak
pidana pemalsuan uang di Indonesia dan perbedaan antara masing-masing
aturan tersebut.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim
terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan Studi Putusan Nomor
1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim.
D. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis, yaitu: memberikan informasi kepada semua kalangan bahwa
dampak besar berupa kerugian bagi negara sebagai pihak yang berwenang
dalam mencetak dan mengedarkan uang, juga bagi masyarakat sebagai
pengguna uang.
2. Secara praktis, yaitu: hasil dari penilitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi dalam proses penyelesaian perkara pemalsuan uang di Indonesia.
E. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)” sepengetahuan penulis
belum pernah dikemukakan oleh penulis lain, dan hal ini telah dikonfirmasikan
kepada Sekretariat Departemen Pidana.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan salah satu pengertian dari istilah „Strafbaar Feit‟.
Istilah ini berasal dari bahasa Belanda yang terdiri dari penggabungan kata
Strafbaar dan Feit. Strafbaar yang berarti dapat dihukum,7 dan Feit yang berarti
kejadian, peristiwa, keadaan.8
Tidak terdapatnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia penjelasan mengenai definisi dari tindak pidana menimbulkan lahirnya
berbagai pendapat dari sarjana .
7
Google Translate., https://translate.google.com/#nl/id/Strafbaar., diakses pada tanggal 8 November 2014.
8
Hazewinkel-Suringa misalnya, telah membuat suatu rumusan yang bersifat
umum dari ‘strafbaar feit’ sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat
tertentu telah ditolak didalam pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai
perilaku yang harus dibedakan oleh hukum pidana dengan menggunakan
sarana-sarana bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.9
Van Hamel merumuskan ‘strafbaar feit’ sebagai „suatu serangan atau suatu
ancaman terhadap hak-hak orang lain‟.10
Menurut Pompe, ‘strafbaar feit’ adalah suatu tindakan yang menurut suatu
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.11
2. Pengertian Uang, Jenis Uang, dan Fungsi Uang
A. Pengertian Uang
Uang adalah segala sesuatu yang secara umum diterima di dalam
pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk
pembayaran hutang-hutang.12
Uang sebagaimana dimaksud dalam aturan hukum pidana Indonesia
dalam bagian pemalsuan uang, dibedakan menjadi 2 macam, yaitu mata
uang dan uang kertas. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Mata uang diartikan sebagai jenis uang yang terbuat dari logam,
berbentuk koin, dan umumnya memiliki nilai nominal yang kecil.
Sedangkan uang kertas adalah uang yang terbuat dari bahan berupa kertas.
9
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 181.
B. Jenis Uang
Adapun jenis-jenis uang dapat dilihat dari berbagai sisi.13
a) Berdasarkan bahan
Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang maka jenis uang
terdiri dari 2 macam, yaitu uang logam dan uang kertas.
Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat
dari logam, baik dari aluminium, emas, perak, atau perunggu dan
bahan lainnya. Biasanya uang yang terbuat dari logam bernominal
kecil.
Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas
atau bahan sejenis kertas. Uang dari kertas biasanya dalam nominal
yang besar sehingga mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari. Uang
jenis ini terbuat dari kertas yang berkualitas tinggi, yaitu bahan yang
tahan terhadap air, tidak mudah robek atau luntur.
b) Berdasarkan nilai
Jenis uang ini dapat dilihat dari nilai yang terkandung pada uang
tersebut, apakah nilai intrinsiknya (bahan uang) atau nilai nominalnya
(nilai yang tertera dalam uang tersebut). Uang jenis ini terbagi
kedalam dua jenis, yaitu uang bernilai penuh (full bodied money) dan
uang tidak bernilai penuh (representatif full bodied money).
13
Uang bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang
nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang
logam, di mana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama
dengan nominal yang tertulis di uang.
Uang tidak bernilai penuh (representatif full bodied money)
merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari nilai
nominalnya. Sebagai contoh uang yang terbuat dari kertas. Uang jenis
ini sering disebut „uang bertanda‟ atau token money. Kadangkala nilai
intrinsiknya jauh lebih rendah dari nilai nominal yang terkandung di
dalamnya.
c) Berdasarkan lembaga
Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga
yang menerbitkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang
diterbitkan berdasarkan lembaga terdiri dari uang kartal dan uang
giral.
Uang kartal merupakan uang yang diterbitkan oleh Bank
Sentral, baik uang logam maupun uang kertas.
Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum
seperti cek, bilyet giro, traveller cheque, dan credit card.
Perbedaan mendasar antara uang kartal dan uang giral antara
1. Uang kartal berlaku dan digunakan di seluruh lapisan
masyarakat, sedangkan uang giral hanya digunakan dan berlaku
di kalangan masyarakat tertentu saja.
2. Nominal dalam uang kartal sudah tertera dan terbatas,
sedangkan nominal dalam uang giral harus ditulis lebih dulu
sesuai dengan kebutuhan dan nominalnya tidak terbatas.
3. Uang kartal dijamin oleh pemerintah tertentu, sedangkan uang
giral hanya dijamin oleh bank yang mengeluarkan saja.
4. Uang kartal memeiliki kepastian pembayaran seperti yang
tertera dalam nominal uang, sedangkan uang giral belum ada
kepastian pembayaran, hal ini masih tergantung dari beberapa
hal termasuk lembaga yang mengeluarkannya.
d) Berdasarkan kawasan
Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu
uang. Artinya bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam
satu wilayah tertentu dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku
di seluruh wilayah.
Jenis uang berdasarkan kawasan bisa di bedakan dalam bentuk
Uang Lokal, Uang Regional, dan Uang Internasional.
Uang Lokal merupakan uang yang berlaku di suatu negara
Uang Regional merupakan uang yang berlaku di kawasan
tertentu yang lebih luas cakupannya daripada uang lokal, seperti untuk
kawasan benua Eropa berlaku mata uang tunggal Eropa, yaitu Euro.
Uang Internasional merupakan uang yang berlaku antar negara
seperti US Dollar dan menjadi standar pembayaran internasional.
Dalam pembahasan mengenai pemalsuan uang, yang merupakan objek
dari pemalsuan uang adalah uang kartal, yaitu uang yang dikeluarkan oleh
bank sentral dan dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Uang
kartal yang dimaksud dapat berupa uang logam maupun uang kertas.
C. Fungsi Uang
Pada awalnya fungsi uang hanyalah sebagai alat guna memperlancar
pertukaran. Namun, seiring dengan perkembangan zaman fungsi uang pun
sudah beralih dari alat tukar ke fungsi yang lebih luas. Uang sekarang ini
telah memiliki berbagai fungsi sehingga benar-benar dapat memberikan
banyak manfaat bagi pengguna uang. Beragamnya fungsi uang berakibat
penggunaan uang yang semakin penting dan semakin dibutuhkan dalam
berbagai kegiatan masyarakat luas.
Fungsi dari uang secara umum yang ada dewasa ini adalah sebagai
berikut.14
a) Alat tukar-menukar
Dalam hal ini uang digunakan sebagai alat untuk membeli atau
menjual suatu barang maupun jasa. Dengan kata lain, uang dapat
14
dilakukan untuk membayar terhadap barang yang akan dibeli atau
diterima sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa. Maksudnya
penggunaan uang sebagai alat tukar dapat dilakukan terhadap segala
jenis barang dan jasa yang ditawarkan.
b) Satuan hitung
Fungsi uang sebagai satuan hitung menunjukkan nilai dari
barang dan jasa yang dijual atau dibeli. Besar kecilnya nilai yang
dijadikan sebagai satuan hitung dalam menentukan harga barang dan
jasa secara mudah. Dengan adanya uang akan mempermudah
keseragaman dalam satuan hitung.
c) Penimbun kekayaan
Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau
menimbun kekayaan sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang
tersebut tidak akan berubah. Uang yang disimpan menjadi kekayaan
dapat berupa uang tunai atau uang yang disimpan di bank dalam
bentuk rekening. Menyimpan atau memegang uang tunai di samping
sebagai penimbun kekayaan juga memberikan manfaat lainnya.
Memegang uang tunai biasanya memiliki beberapa tujuan seperti
untuk memudahkan melakukan transaksi, berjaga-jaga atau
melakukan spekulasi. Kemudian dengan menyimpan uang di bank
justru akan menambah kekayaan karena akan memperoleh uang jasa
d) Standar pencicilan utang
Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan standar
pencicilan utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai
maupun secara angsuran. Begitu pula dengan adanya uang, secara
mudah dapat ditentukan berapa besar nilai utang piutang yang harus
diterima atau di bayar sekarang atau di masa yang akan datang.
3. Pengertian Pemalsuan Uang
Pemalsuan uang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
kumpulan orang dengan cara meniru atau memalsu uang yang menghasilkan uang
yang tidak asli (uang palsu). Objek dari kejahatan pemalsuan uang adalah uang
kartal, yaitu mata uang dan uang kertas. Dalam KUHP, yang dimaksud dengan
mata uang adalah uang yang terbuat dari bahan logam, sedangkan uang kertas
merupakan uang yang terbuat dari bahan berupa kertas.
Kejahatan pemalsuan uang dapat dipahami sebagai suatu bentuk
penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang
sebagai alat pembayaran yang sah.15 Masyarakat sebagai pengguna uang harus
memperoleh jaminan akan keaslian uang yang mereka gunakan sebagai alat
pembayaran, untuk itulah kejahatan pemalsuan uang diatur dalam hukum pidana
Indonesia.
15
G. Metode Penelitian
Dalam penyusunan serta penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi haruslah
didukung dengan bukti, data, dan fakta yang akurat. Metode penelitian yang
penulis pergunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi dapat
dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada
skripsi ini, penulis memilih pengumpulan data dengan cara penelitian
kepustakaan.
Penelitian kepustakaan, adalah teknik penelitian dengan cara
mengumpulkan data dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah,
makalah, serta internet, yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum berupa Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang dan peraturan hukum lain yang
tingkatannya berada di bawah Undang Undang.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum berupa buku, hasil penelitian,
laporan-laporan, artikel, majalah, jurnal, hasil-hasil seminar, dan situs
internet yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder seperti kamus,
3. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif,
yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan
asas-asas, pengertian, serta sumber-sumber hukum yang ada untuk mencapai kejelasan
dari permasalahan yang akan dibahas.
H. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG
Bab ini menguraikan penjelasan mengenai peraturan hukum yang
terkait dengan tindak pidana pemalsuan uang, baik yang di atur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga yang di atur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang. Bab ini juga memuat bahasan tentang perbedaan
BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI
PADA TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG (STUDI PUTUSAN
NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)
Bab ini menguraikan sebuah putusan pengadilan terkait tindak pidana
pemalsuan uang (Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) dan
analisa terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pada
kasus tindak pidana pemalsuan uang tersebut.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang inti dari
pembahasan pada bab-bab sebelumnya dalam bentuk kesimpulan dan
BAB II
PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum
pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.16 Keberadaan hukum adalah
penting guna memelihara ketertiban sekaligus sebagai bentuk perlindungan dari
suatu tindak kejahatan. Pada kasus tindak pidana pemalsuan uang juga demikian,
perbuatan pemalsuan uang adalah tindakan yang dapat merugikan masyarakat dan
negara. Peraturan hukum yang memadai adalah salah satu sarana yang dapat
digunakan sebagai bentuk penanggulangan sekaligus pencegahan terjadinya
tindak pidana serupa di masa yang akan datang. Keberadaan hukum akan
membuat masyarakat tahu tentang boleh tidaknya suatu perbuatan di lakukan.
Dengan adanya hukum yang berlaku, maka pelaku kejahatan dapat diberi sanksi,
dan dengan adanya pelaku yang dijatuhi sanksi karena melanggar hukum adalah
sekaligus sebagai bentuk peringatan bagi masyarakat yang tidak dan/atau belum
melakukan kejahatan agar berpikir ulang sebelum melakukan perbuatan serupa.
Peraturan hukum yang menyangkut tindak pidana pemalsuan uang bisa di
lihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
16
A. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d.
252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb. Tahun
1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal tersebut, terdapat 7 pasal yang
merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251.17
Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atur dalam
buku kedua tentang Kejahatan pada Bab X. Dalam sistem hukum pidana kita,
kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas dikategorikan sebagai kejahatan
berat. Alasan yang mendukung pernyataan tersebut antara lain adalah:18
1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk
rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP,
dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal
244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246
dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250).
Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun
(Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal
249).
2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas
universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal
17
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 22
18
4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh Undang-
undang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan
terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum
negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai
contoh hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum
seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang
kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak
mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
1. Meniru atau Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 244 KUHP:
“Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedakan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak
dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut19.
b) menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolah-olah
asli dan tidak dipalsu.
a) Perbuatan Meniru
Dalam perbuatan meniru, haruslah ada sesuatu barang yang asli
sebelumnya, lalu kemudian barang itu dibuat tiruannya yang menyerupai barang
aslinya. Dalam kejahatan Pasal 244, sesuatu barang yang ditiru itu adalah mata
uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara.
Membuat uang kertas baru yang sebelumnya tidak terdapat aslinya bukanlah
merupakan perbuatan meniru. Meskipun dalam keadaan tersebut terdapat niat dari
pelaku untuk mengedarkan uang tersebut, tetapi perbuatan membuat uang itu
bukanlah perbuatan meniru karena sama sekali tidak ada uang sebelumnya untuk
ditiru.
b) Perbuatan Memalsu
Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan
suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya
sebelum pembuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan
memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada
uang asli ini dilakukan perbuatan menembah sesuatu baik tulisan, gambar maupun
warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain
dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau
Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu.
Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh
mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu
termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana.
Kejahatan Pasal 244 dirumuskan secara formil, maksudnya ialah melarang
melakukan perbuatan tertentu, dan tidak secara tegas menimbulkan akibat
tertentu. Sebagai tindak pidana formil, terwujudnya atau selesainya kejahatan ini
bergantung pada selesainya perbuatan meniru atau memalsu. Untuk dapat selesai
atau terwujudnya perbuatan meniru atau memalsu diperlukan suatu syarat yakni
hasil atau akibat dari perbuatan. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang atau
uang kertas yang palsu atau tidak asli, sedang dari perbuatan memalsu
menghasilkan mata uang atau uang kertas yang dipalsu. 20
c) Mata Uang dan Uang Kertas
Pengertian mata uang negara dan uang kertas negara masing-masing terdiri
dari logam dan uang kertas yang merupakan alat pembayaran yang sah, baik mata
uang dan uang negara Republik Indonesia maupun mata uang dan uang negara
asing.21
20
Ibid., hlm. 25.
21
d) Maksud untuk: a) Mengedarkan dan b) Menyuruh mengedarkan mata
uang dan uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu
Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan
uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als
oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan
perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau
mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk
mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas
negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas
negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang
kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu.
Memperhatikan unsur kesalahan dalam rumusan Pasal 244 KUHP, dapat
disimpulkan bahwa: a) di samping pelaku menghendaki untuk mengedarkan atau
menyuruh mengedarkan; dan b) juga ia harus mengetahui atau mata uang atau
uang kertas itu adalah tidak asli atau dipalsu. Tidak asli atau palsunya itu
diketahuinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri berupa meniru atau memalsu.
Kesadaran pelaku juga harus ditujukan pada palsunya uang, sedangkan
penyebab palsunya itu disadarinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri, maka
sikap batin pelaku terhadap perbuatan meniru atau memalsu yang menghasilkan
tidak asli atau palsunya mata uang atau uang kertas itu adalah sikap batin
sebagaimana yang dimaksud oleh unsur kesengajaan yang menurut MvT sebagai
unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur
kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu sesungguhnya ada. Kesengajaan
terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung.
Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau
memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan pada
perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya
perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula.
Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada
pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau karena kelalaian/culpa.
Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu
telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah berupa
apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya
kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan pada telah
terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan.
Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP
tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP.22
2. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 245 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan
22
maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan
tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Dalam rumusan pasal 245 tersebut di atas, ada 4 bentuk kejahatan
mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu.
3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke
Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu,
yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu olehnya sendiri dengan maksud
untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan
tidak dipalsu.
4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke
Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang
waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak
dipalsu.
Keempat bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu tersebut, bila bentuk
satu per satu dirinci, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:24
23
Bentuk Pertama
a) Unsur unsur objektif:
1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu;
2. Objeknya:
a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;
b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3. Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri;
b) Unsur subjektif:
4. Dengan sengaja.
Bentuk Kedua
a) Unsur unsur objektif:
1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu;
2. Objeknya:
a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;
b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3. Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya.
b) Unsur subjektif:
4. Dengan sengaja.
24
Bentuk Ketiga
a) Unsur-unsur objektif:
1. Perbuatan:
a) Menyimpan;
b) Memasukkan ke Indonesia;
2. Objeknya:
a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;
b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3. Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri.
b) Unsur subjektif:
4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai asli dan tidak dipalsu.
Bentuk Keempat
a) Unsur-unsur objektif:
1. Perbuatan:
a) Menyimpan;
b) Memasukkan ke Indonesia;
2. Objeknya:
a) Mata uang palsu atau dipalsu;
b) Uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu;
c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c) Unsur subjektif:
4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai asli dan tidak dipalsu.
Berdasarkan penjabaran mengenai bentuk-bentuk kejahatan yang dimaksud
dalam Pasal 245 KUHP, dapat diketahui terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan.
Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama dan bentuk
kedua, unsur objektif berupa perbuatan dan objeknya adalah sama. Selain itu
unsur subjektifnya juga sama, yaitu dengan sengaja.
Yang menjadi pembeda adalah di unsur objektif yang ketiga. Dalam
kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama, pelaku yang mengedarkan
uang palsu berperan juga sebagai pemalsu atau peniru uang palsu itu. Sedangkan
pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua, ada pelaku lain yang
membuat uang palsu. Jadi, pengedar dan pembuat adalah dua pelaku yang
berbeda.
Pada bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk ketiga dan keempat,
persamaannya terdapat pada unsur perbuatan, objeknya, dan unsur subjektif.
Sedangkan perbedaannya adalah sama dengan perbedaan antara yang bentuk
pertama dan bentuk kedua.
Bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh
pelaku melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia
terlebih dulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu.25
Kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk keempat tidak mengharuskan
pelaku penyimpan atau pelaku yang memasukkan uang palsu ke Indonesia
tersebut berperan sekaligus sebagai pembuat atau peniru. Pelaku pembuatan atau
peniruan uang palsu itu bisa merupakan orang lain yang sama sekali tidak perlu
dikenalnya. Yang dijadikan pertimbangan pada kejahatan bentuk keempat adalah
kesadaran pelaku saat menerima uang, bahwa uang yang disimpan atau dibawa
masuk ke Indonesia olehnya adalah uang palsu.
a) Perbuatan: (a) Mengedarkan, (b) Menyimpan dan (c) Memasukkan ke
Indonesia
Perbuatan mengedarkan, menyimpan, dan memasukkan ke Indonesia
haruslah terjadi setelah adanya uang kertas yang tidak asli atau dipalsu. Perbuatan
mengedarkan terdapat pada bentuk kejahatan pertama dan kedua. Untuk
terwujudnya kejahatan maka perbuatan mengedarkan harus sudah selesai
dilakukan. Artinya uang palsu (tidak asli atau dipalsu) tersebut sudah tidak berada
dalam kekuasaannya lagi.26
Berlainan dengan perbuatan menyimpan dimana perbuatannya sangat
berlawanan dengan mengedarkan. Jika dalam perbuatan mengedarkan pelaku
melepas uang palsu dari kekuasaanya kepada orang lain, maka dalam perbuatan
menyimpan justru sebaliknya dimana kekuasaan atas uang palsu beralih dari
Perbuatan menyimpan sebetulnya tidak termasuk dalam pengertian
mengedarkan karena pengertiannya berlawanan dengan pengertian mengedarkan.
Perbuatan itu dimasukkan dalam rumusan Pasal 245 berhubung dengan maksud
dari penyimpanannya itu adalah untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai uang asli dan tidak dipalsu.27
Perbuatan yang ketiga yaitu memasukkan uang palsu ke Indonesia. Maksud
dari perbuatan ini adalah bahwa sebelumnya uang palsu berasal dari luar negara
Indonesia.
b) Mata Uang, Uang Kertas Negara dan Uang Kertas Bank
Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang
terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga, perak, dan lain sebagainya. Uang
kertas dibedakan menjadi dua macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas
bank. Uang kertas negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dan
uang kertas bank adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu bank yang
ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia bank yang ditunjuk pemerintah ini adalah
Bank Indonesia.28
Objek uang yang dimaksud dalam Pasal 245 tidak hanya mata uang dan
uang kertas Indonesia (Rupiah) saja, tetapi juga termaksud bagi mata uang dan
uang kertas asing.
c) Palsunya Uang Disebabkan karena Perbuatan Meniru atau Memalsu
Dalam melakukan pengedaran uang palsu, pelaku bisa juga berperan
sebagai pemalsu. Maksudnya adalah sebelum tindak pengedaran uang palsu
terjadi, pelaku sendiri lah yang membuat uang palsu.
d) Dengan Sengaja
Unsur kesengajaan ini berarti si pelaku harus tahu bahwa barang-barang
tersebut adalah uang palsu. Pelaku tidak perlu mengetahui bahwa, berhubung
dengan barang-barang itu, telah dilakukan tindak pidana pembuatan uang palsu
atau memalsukan uang asli.29
e) Pada Saat Menerima Diketahuinya Bahwa Uang itu Palsu
Pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua dan keempat, ada
unsur pada saat menerima diketahuniya bahwa uang itu palsu (tidak asli dan atau
dipalsu). Dalam kalimat ini ada 3 hal yakni: (1) pada saat menerima uang, (2)
adanya kenyataan uang itu palsu atau dipalsu dan (3) kenyataan palsunya uang
diketahui olehnya.30
f) Dengan Maksud untuk Mengedarkan atau Menyuruh Mengedarkan
sebagai Uang Asli dan Tidak Dipalsu
Dalam kalimat dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, mengandung pengertian: (a)
29
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 178.
30
perbuatan menyimpan dan memasukkan ke Indonesia dilakukan dengan sengaja
dan bukan dengan atau karena culpa, (b) dalam menyimpan dan memasukkan
uang palsu ke Indonesia didorong oleh suatu kehendak untuk mengedarkannya
atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dan (c) ia
mengetahui bahwa uang itu tidak asli dan dipalsu.31
3. Merusak Uang (Pasal 246 KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 246 KUHP:
“Barangsiapa mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya itu,
dipidana karena merusak uang dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”
Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 246 memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:32
a) Unsur-unsur Objektif
1. Perbuatan: mengurangi nilai;
2. Objeknya: mata uang;
b) Unsur Subjektif
3. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
uang yang dikurangi nilainya.
Pasal ini ditujukan pada uang yang dibuat dari logam, baik emas maupun
perak atau jenis lainnya, yang dirusak dengan berbagai cara dan berakibat kepada
Unsur objektif mengurangi nilai maksudnya adalah, akibat dari tindakan si
pelaku nilai intrinsik dari mata uang menjadi berkurang, bukan nilai nominalnya.
Contohnya seperti melakukan perusakan terhadap uang logam dengan cara
melubangi atau mengikirnya. Hal itu akan mengurangi nilai intrinsik dari uang
logam. Namun pelaku perusak uang logam tetap berniat/bermaksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah berkurang nilainya
akibat perusakan yang sudah terjadi sebelumnya.
Perbuatan mengedarkan dan menyuruh mengedarkan tidak perlu
diwujudkan, karena unsur ini hanya dituju oleh maksud pelaku.33 Perbuatan yang
diatur dalam Pasal ini sudah dapat dipidana apabila terbukti ada suatu niat untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan dari si pelaku.
4. Mengedarkan Uang Rusak (Pasal 247 KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 247 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilainya olehnya sendiri atau yang kerusakannya waktu diterima diketahui, sebagai uang yang tidak rusak; ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang demikian itu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang yang tidak rusak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”
Kejahatan mengedarkan uang rusak pada dasarnya sama dengan kejahatan
mengedarkan uang palsu (Pasal 245), masing-masing mempunyai unsur
perbuatan, kesalahan dan cara merumuskan yang sama.34
Perbedaannya dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:
33
Ibid., 41.
34
1. Objek dalam Pasal 245 adalah mata uang atau uang kertas palsu, sedangkan
dalam Pasal 247 objeknya adalah berupa mata uang rusak.
2. Dalam Pasal 245 penyebab uang tersebut palsu adalah perbuatan meniru
atau memalsu, sedangkan dalam Pasal 247 penyebab rusaknya uang adalah
karena perbuatan mengurangi nilai.
3. Ancaman pidana maksimal terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal 245
adalah 15 tahun penjara, sedangkan ancaman pidana maksimal bagi
kejahatan Pasal 247 adalah 12 tahun penjara.
4. Kejahatan Pasal 245 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal 244.
Sedangkan kejahatan Pasal 247 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal
246.
5. Mengedarkan Uang Palsu yang Lain dari Pasal 245, 247 (Pasal 249
KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 249 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang tidak asli, dipalsu atau dirusak, atau uang kertas negara atau bank yang palsu atau dipalsu, dipidana, kecuali berdasarkan Pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”
Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 249
KUHP diatas adalah:35
a) Unsur-unsur Objektif
1. Perbuatan: mengedarkan;
35
2. Objeknya:
a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;
b) Mata uang yang dirusak;
c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
d) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
b) Unsur Subjektif
3. Dengan sengaja.
Pada KUHP Pasal 245 dan Pasal 247, palsu atau rusaknya uang diketahui
oleh pelaku pengedaran uang karena perbuatan memalsu atau merusak uang itu
dilakukan oleh dirinya sendiri. Selain itu, pelaku pengedar uang juga bisa
mengetahui mengenai palsu atau rusaknya uang pada saat dia menerima uang itu.
Pasal 249 memiliki maksud yang berbeda dari Pasal 245 dan Pasal 247.
Penyebab palsunya uang pada Pasal 249 bukan karena dipalsu oleh si
pengedar, juga bukan karena dia mengetahui saat menerima uang, melainkan
diketahui akan palsunya atau rusaknya uang itu beberapa saat setelah uang
tersebut diterimanya.
6. Membuat atau Mempunyai Persediaan Benda atau Bahan Untuk
Memalsu Uang (Pasal 250 KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 250 KUHP:
“Barangsiapa membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa itu digunakannya untuk meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang, atau untuk meniru atau memalsu uang kertas negara atau bank, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling
Dari rumusan pasal 250 KUHP, dapat dilihat unsur-unsurnya, yang adalah:36
a) Unsur-unsur Objektif
1. Perbuatan:
a) Membuat;
b) Mempunyai persediaan;
2. Objeknya:
a) Bahan;
b) Benda;
b) Unsur Subjektif
Yang diketahuimya bahwa itu digunakan untuk
1) Meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang;
2) Meniru atau memalsu uang kertas negara;
3) Meniru atau memalsu uang kertas bank.
Dari rumusan dan rincian unsur-unsur diatas, dapat dilihat bahwa Pasal 250
KUHP ini adalah bentuk persiapan sebelum dilakukannya kejahatan Pasal 244
KUHP (meniru atau memalsu uang) dan Pasal 246 KUHP (merusak uang).
Perbuatan „membuat bahan atau benda‟ adalah membuat bahan-bahan atau
benda-benda yang selanjutnya akan digunakan untuk memalsu atau mengurangi
nilai mata uang. Perbuatan „mempunyai persediaan bahan atau benda‟ maksudnya
adalah bahan atau benda yang diketahuinya untuk meniru uang, memalsu uang,
36
atau mengurangi nilai mata uang disimpan atau berada dalam kekuasaannya
dalam jumlah tertentu, yang bila diperlukan segera dapat digunakan.37
7. Menyimpan Kepingan Perak yang Dianggap Mata Uang (Pasal 251
KUHP)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 251 KUHP:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000,-, barangsiapa dengan sengaja dan tanpa izin pemerintah, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembar-lembaran perak, baik yang ada maupun tidak ada capnya atau dikerjakan sedikit, mungkin dianggap sebagai mata uang, padahal tidak nyata-nyata akan
digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan.”
Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 251
(4) setelah dikerjakan sedikit tampak seperti mata uang;
3. Padahal tidak nyata-nyata akan digunakan sebagai perhiasan atau
tanda peringatan.
4. Tanpa izin pemerintah.
b) Unsur Subjektif: dengan sengaja
Tujuan dari perumusan Pasal 251 adalah agar tidak ada barang yang
menyerupai mata uang beredar di Indonesia. Menyimpan atau memasukkan benda
berupa keping-kepingan perak atau lembar-lembaran perak harus mendapatkan
izin terlebih dahulu dari pemerintah. Namun, izin tidak harus diperlukan apabila
barang-barang yang dimasukkan ke Indonesia itu secara jelas memang
diperuntukkan sebagai perhiasan seperti cincin, kalung, dan sejenisnya.
B. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
didasari oleh pertimbangan bahwa Rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan
negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara
Indonesia.
Penggunaan dan peranan uang yang terus berkembang, merupakan salah
satu alasan mengapa pentingnya aturan mengenai mata uang ini. Pengelolaan
perekonomian tak akan lepas dari peranan uang, untuk itulah pengelolaan uang
juga harus terus diperbaiki, salah satu caranya adalah dengan pembentukan
hukum. Kehadiran UU tentang mata uang ini adalah salah satu cara untuk
Dalam bagian penjelasan UU RI Nomor 7 tahun 2011, isu mengenai
kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang, dianggap sebagai salah
satu keadaan yang merisaukan karena dampaknya dapat mengancam kondisi
moneter dan perekonomian nasional.
Pemalsuan uang dianggap seringkali menjadi awal dari kejahatan berat
lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundering),
pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human
trafficking), baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang dilakukan oleh
korporasi.
Modus dan bentuk kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang,
semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dianggap belum
mengatur secara komprehensif jenis perbuatan dan sanksi yang diancamkan.
Dengan dasar pemikiran tersebut, lahirnya peraturan hukum baru yang membahas
mengenai Rupiah sebagai mata uang Indonesia, berikut larangan dan sanksi dalam
suatu undang-undang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah baru dalam upaya
pemberantasan tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia.
1. Larangan
Isi dari bab VII dari UU RI Nomor 7 Tahun 2011 merupakan larangan atas
beberapa perbuatan terhadap Rupiah sebagai mata uang Indonesia yang terdiri
a) Menolak Rupiah Sebagai Alat Pembayaran (Pasal 23)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 23:
(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.
Aturan ini bukan merupakan aturan mengenai pemalsuan uang, melainkan
tentang kewajiban menerima mata uang Rupiah (baik uang kertas Rupiah maupun
uang logam Rupiah) pada suatu pembayaran (sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 21). Tapi pasal ini juga memiliki keterkaitan dengan tindak pidana
pemalsuan uang, dimana apabila ada keragu-raguan atas keaslian dari rupiah yang
diterima dari suatu pembayaran, maka diberikan pengecualian untuk mereka yang
menolak Rupiah sebagai alat pembayaran.
b) Meniru Rupiah (Pasal 24)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 24:
(1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/ atau promosi dengan memberi kata spesimen.
(2) Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan.
Perbuatan meniru rupiah menghasilkan Rupiah Tiruan yang dalam UU Mata
Uang mengandung arti sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar,
dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak,
digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan
c) Merusak Rupiah (Pasal 25)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 25:
(1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
(2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
(3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
Perbuatan merusak Rupiah dianggap sebagai bentuk merendahkan
kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. Untuk itu setiap orang dilarang
melakukan perbuatan merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah
Rupiah. Uang yang telah dirusak itu juga dilarang untuk diperdagangkan atau
diedarkan.
d) Memalsu Rupiah (Pasal 26)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 26:
(1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah.
(2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.
Pada bagian ketentuan umum UU RI Nomor 7 Tahun 2011, Pasal 1 butir ke
9, Rupiah Palsu diartikan sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna,
gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak,
digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan
Pasal 26 ini melarang setiap orang untuk menyimpan, mengedarkan,
membelanjakan, membawa atau memasukkan ke dalam dan/atau ke luar Wilayah
Indonesia, dan mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.
e) Memproduksi atau Memiliki Persediaan Bahan untuk membuat
Rupiah Palsu (Pasal 27)
Berikut adalah rumusan dari Pasal 27:
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
(2) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
Larangan yang dimaksud dalam Pasal 27 dapat dipahami sebagai bentuk
pencegahan terhadap pemalsuan Rupiah. Pasal 27 ini bukan merupakan salah satu
kejahatan terhadap Rupiah karena terjadi sebelum adanya peniruan, pemalsuan,
atau perusakan Rupiah.
2. Ketentuan Pidana
Sanksi hukum terhadap kejahatan Mata Uang, khususnya pemalsuan
Rupiah, pada UU RI Nomor 7 Tahun 2011 semakin diperberat guna menimbulkan
efek jera bagi pelaku sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar, baik bagi
negara dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aturan Pasal yang
menerapkan hukuman seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, sedangkan
dalam KUHP ancaman maksimal bagi kejahatan yang menyangkut pemalsuan