• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi

1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)

Dalam mengadili dan mengambil putusan dalam suatu perkara, hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh manapun. Putusan dari seorang hakim haruslah mencerminkan keadilan dan memberikan gambaran tentang kepastian hukum. Sebab keadilan merupakan tujuan hukum yang paling utama, dan kepastian

hukum merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan keadilan.43 Dengan

maksud mencapai tujuan tersebut, maka dalam mengambil keputusan hakim tidak terikat pada hal apapun juga kecuali pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah

hukum yang dijadikan landasan yuridis keputusannya.44

Pada persidangan kasus pidana dalam perkara No.

1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim. dengan terdakwa Dedi Junaedi, telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum suatu dakwaan yang merupakan dakwaan alternative. Adapun isi dari dakwaan itu: Kesatu, menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kedua, menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 245 KUHP.

Setelah proses pemeriksaan di persidangan, Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa Terdakwa memang bersalah karena melanggar Pasal 36 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan kemudian menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa menjalani tahanan

43

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 45.

44

dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.60.000.000,-(enam puluh juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan.

Peranan hakim dalam membuat putusan (menjatuhkan hukuman) merupakan suatu tahapan yang sering dianggap sebagai bentuk penegakan keadilan dan upaya menciptakan ketertiban. Untuk itulah perlu bagi seorang hakim agar bersikap teliti dalam pertimbangannya akan suatu perkara supaya tujuan penjatuhan hukuman yang berupa penegakan keadilan dan upaya menciptakan ketertiban itu dapat terealisasikan.

Pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman dalam suatu tindak pidana harus dilakukan dengan dasar yang kuat, relevan dengan fakta yang terungkap pada saat persidangan, agar pemidanaan bagi pelaku kejahatan itu memberikan manfaat, baik pada diri si pelaku maupun bagi orang lain.

Hakim dalam mengadili suatu perkara haruslah memperhatikan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebut bahwa alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pada Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim, alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa merupakan hal yang dicantumkan pada bagian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dari

keterangan-keterangan tersebut hakim dapat mengetahui bahwa tindakan menyimpan secara fisik Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) benar telah dilakukan oleh Terdakwa. Selain itu, pada kasus ini juga dapat diketahui bahwa disaat penangkapan dilakukan, pelaku tertangkap tangan sedang menyimpan 20 lembar uang palsu (6 lembar pecahan Rp. 100.000,- dan 14 lembar pecahan Rp. 50.000,-). Barang bukti lembaran uang palsu tersebut juga dibawa pada proses persidangan, meskipun kekuatan pembuktiannya tidak tercantum dalam KUHAP, keberadaan barang bukti tersebut dapat memberikan keyakinan kepada hakim bahwa memang benar perbuatan tersebut telah dilakukan oleh Terdakwa.

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan di persidangan, maka hakim memperoleh fakta tentang perkara yang sedang ditanganinya dan meyakini bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, diketahui bahwa Terdakwa Dedi Junaedi telah melakukan perbuatan menyimpan secara fisik dengan cara apapun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu. Dengan begitu, penjatuhan pidana bagi Terdakwa dapat dilakukan.

Pada perkara ini, akhirnya Terdakwa Dedi Junaedi dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kepada Terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan.

Pidana penjara yang dijatuhkan kepada Dedi Juanedi tergolong rendah mengingat ancaman pidana maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (2) adalah pidana penjara (sepuluh) 10 tahun. Namun, Majelis Hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan lain seperti sikap sopan yang ditunjukkan Terdakwa selama persidangan, pengakuan Terdakwa pada kesaksiannya yang secara terus terang mengakui perbuatannya, dan juga Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya. Beberapa hal yang disebutkan diatas merupakan hal-hal yang meringankan Terdakwa pada perkara ini, dan hal itu juga termasuk dalam pertimbangan Majelis Hakim.

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditentukan yang menjadi kesimpulan dan saran sebagai penutup dari tulisan ini adalah:

A. Kesimpulan

1. Aturan hukum tentang pemalsuan uang di Indonesia pada UU RI No. 7

tahun 2011 tentang Mata Uang, sebenarnya memiliki banyak kesamaan dari sisi isi atau materi jika dibandingkan dengan aturan hukum pemalsuan uang dalam KUHP. Perbedaan mendasarnya adalah UU Mata Uang mengkhususkan ketentuan hukumnya pada mata uang Indonesia saja, yaitu Rupiah. Sedangkan pemalsuan uang di KUHP, objeknya juga meliputi uang dari negara asing. Selain itu perbedaan juga dapat dilihat dari ancaman maksimal pidana penjara, dimana pada KUHP ancaman maksimal bagi kejahatan pemalsuan uang adalah 15 tahun, sedangkan pada UU Mata Uang terdapat beberapa pasal yang menerapkan ancaman maksimal berupa penjara seumur hidup.

2. Hakim harus meneliti berbagai keterangan dan mencari fakta atas suatu

kasus yang dihadapkan kepadanya. Untuk terciptanya keadilan, putusan dari seorang Hakim haruslah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang relevan dengan fakta-fakta di persidangan. Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pada tindak pidana

pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) adalah

mengenai terpenuhinya unsur-unsur kejahatan sebagaimana yang

dituduhkan kepada terdakwa, alat-alat bukti, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang tercantum pada salinan Putusan. Pada Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt/Tim pertimbangan yang dibuat hakim sudah tepat dimana dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa Dedi Junaedi memang terbukti bersalah dengan melakukan tindak pidana “Mata Uang Palsu” sehingga penjatuhan hukuman kepadanya adalah suatu tindakan yang tepat.

B. Saran

1. Masyarakat harus bersikap kooperatif dengan melaporkan temuan uang

palsu agar pihak yang berwenang dapat mengambil tindakan.

2. Penegak hukum harus memandang kejahatan pemalsuan uang ini secara

serius dengan berani mengancam dan menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku pemalsuan uang mengingat dampak yang ditimbulkan dari kejahatan ini sangat besar.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.K. Moch. Anwar. Hukum Pidana Bagian Khusus. Bandung: Alumni. 1980.

Adami Chazawi. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

2005.

Antonius Sudirman. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra Aditya

Bakti. 2007.

Iswardono Sardjonopermono. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE. 1984.

J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta:

Aksara Baru. 1980.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.

Marwan Effendy. Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana.

Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. 2012.

P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adya

Bakti. 1997.

R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991.

Stephen M. Goldfeld dan Lester V. Chandler. Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta:

Bina Aksara. 1988.

Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media. 2011.

Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:

Refika Aditama. 2010.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

C. Internet

https://translate.google.com/#nl/id/Strafbaar., diakses pada tanggal 8 November 2014.

Dokumen terkait