• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.3. Tingkat Kerusakan

Berdasarkan hasil skor (295), hutan lindung mangrove Kuala Langsa dinyatakan rusak. Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis/rusak apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam.

1. Tipe penutupan lahan dan Penggunaan lahan (Tppl)

Tipe penutupan lahan dan Penggunaan lahan hutan lindung mangrove Kuala Langsa bercampur tambak, kawasan pemukiman dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) memberikan gambaran bahwa kondisi hutan

lindung mangrove Kuala Langsa sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan aktifitas masyarakat disekitar kawasan hutan lindung tersebut. Resiko pencemaran lingkungan disekitar kawasan hutan lindung kerap terjadi. Konversi hutan tanpa melihat dan memperhatikan fungsi dan keberadaan hutan mangrove bagi kestabilan ekosistem mengakibatkan rusaknya habitat mangrove akibat kegiatan konversi dan eksploitasi yang berlebihan. Indikatornya adalah makin sedikitnya jenis-jenis mangrove yang tumbuh di hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan pada tingkat keanekaragaman mangrove yang rendah disemua tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon. Keanekaragaman yang rendah tersebut merupakan cerminan dari tidak stabilnya komunitas magrove akibat terganggunya keseimbangan ekosistem ataupun habitat yang terdapat pada hutan lindung mangrove Kuala Langsa.

2. Jumlah pohon per hektar

Kerapatan pohon per hektar = 70,83 individu/ha yang didominasi jenis mangrove R. apiculata sangat rendah dibandingkan dengan penelitian Restu (2003) pada hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas Kabupaten Lampung Timur dengan keadaan kondisi yang tidak rusak, dengan kerapatan tingkat pohon sebesar 394 individu/ha yang didominasi jenis mangrove A. alba.

3. Permudaan per hektar

Kerapatan pertumbuhan permudaan tingkat semai (Tabel 4) sebesar 11.011,90 individu/ha dan tingkat pancang sebesar 3.009,52 individu/ha,

jika dibandingkan dengan penelitian Restu (2003) pada hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas Kabupaten Lampung Timur dengan keadaan kondisi yang tidak rusak, dengan kerapatan pada tingkat semai sebesar 18.125 individu/ha dan tingkat pancang sebesar 4.200 individu/ha. Hal ini menunjukkan tingkat semai dan pancang pada hutan lindung mangrove Kota Langsa berada dibawah kondisi hutan mangrove di Taman Nasional Way Kambas.

4. Rata-rata Lebar Jalur Hijau Tahunan

Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk melindunginya. Perbedaan pasang surut di kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa diperoleh hasil rata-rata tahunan sebesar 1,44 m, dengan lebar jalur hijau minimum 186,63 m. Secara umum lebar jalur hijau di pesisir wilayah hutan lindung mangrove Kuala Langsa berada di bawah batas minimum yang dipersyaratkan surat keputusan bersama tahun 1984 Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan (200 m). Pasang yang terjadi di kawasan mangrove juga menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. Penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora

mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya (Indriyanto, 2006). Daerah hutan lindung mangrove terletak didaearah Teluk Langsa. Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora (Noor et al., 2006).

5. Tingkat Abrasi

Garis pantai adalah batas air laut pada waktu pasang tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia. Dalam melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, manusia melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Hutan lindung mangrove Kuala Langsa berada di daerah Teluk Langsa. Berdasarkan tingkat laju sedimentasi yang terukur di Teluk Langsa sebesar 0,52 m/tahun. Hal ini diduga pada daerah kawasan hutan lindung Kuala Langsa berada didaerah tel yang teluk sehingga terhindar dari ancaman kombinasi hempasan gelombang, angin dan arus laut pada bibir pantai sehingga tidak mengubah garis pantai.

Semua jenis pemanfaatan mangrove dapat berdampak buruk terhadap ekosistem, antara lain berubahnya komposisi tumbuhan mangrove, mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai, terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove, pendangkalan perairan pantai, erosi garis pantai dan intrusi

garam. Hal ini perlu adanya upaya peningkatan pengamanan kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa di lokasi-lokasi yang diindikasikan mempunyai potensi gangguan yang cukup tinggi.

Fungsi kawasan hutan lindung yaitu mengatur hidrologi, penyerap karbon, perlindungan ekosistem dengan vegetasi alami dengan tingkat suksesi primer. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan menetapkan pemanfaatan hutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat setempat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung sebagai amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi dan pembersih air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain mangrove menyediakan berbagai jenis produk yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional maupun nasional. Kesemua fungsi

mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian.

Pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove, harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah upaya mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi kebutuhan hidup (barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin keanekaragaman hayatinya di pihak lain. Adanya produksi arang di Kota Langsa + 115,6 ton/bulan (Lampiran 10) akan memicu cepatnya degredasi hutan lindung mangrove Kota Langsa. Pemerintah Kota Langsa telah merehabilitasi seluas 65 Ha di hutan lindung mangrove Kuala Langsa (Lampiran 9) dari dana APBD Kota Langsa. Hal ini merupakan kepedulian Pemerintah Kota Langsa dalam perbaikan Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa.

Dokumen terkait