• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Biomassa

Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997).

Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran/perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer

dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya (Sutaryo, 2009).

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau Carbon dioksida (CO2

Penghitungan biomassa merupakan salah satu langkah penting yang harus diketahui dan dilakukan dalam sebuah kegiatan atau proyek mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Hanya kegiatan yang bertipe substitusi pkarbon tidak memerlukan penghitungan biomassa. Jenis-jenis kegiatan lainnya seperti pencegahan deforestasi, pengelolaan hutan tanaman dan agroforestry memerlukan penghitungan biomassa (Sutaryo, 2009).

), Metana (CH) dan nitrous oksida (NO) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah et al., 2011).

Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan menaksir volume pohon (tanpa melakukan perusakan). Volume pohon dapat ditaksir dari ukuran diameter batangnya, yang diukur setinggi dada (DBH) atau 1,3 m dari permukaan tanah. Jika diperlukan maka tinggi pohon juga dapat diukur untuk mempertinggi akurasi estimasi volume pohonnya. (Hairiah et al., 2011).

Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya

pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2

Hairiah dan Rahayu (2007) melaporkan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO

di dunia (Noor et al., 2006).

2 ke udara lewat respirasi dan pelapukan

(dekomposisi) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak

sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan

(emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan

melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2

Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30–50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan (Departemen Kehutanan, 2009).

yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan C.

Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. (Departemen Kehutanan, 2009).

Dalam sistem pengelolaan hutan modern, inventore hutan tidak hanya berkepentingan dengan hutan dan kawasannya saja. Masalah-masalah di luar hutan dan kawasan hutan mempunyai arti yang tidak kalah pentingnya sehingga juga harus dikumpulkan secara cermat dengan persiapan yang memadai. Tergantung pada tujuan inventore hutan, maka kecermatan pencatatan masing-masing informasi tersebut akan berbeda-beda. Untuk informasi yang dianggap penting tentu saja diperlakukan data yang lebih akurat dibandingkan dengan informasi lain yang mempunyai kedudukan

kurang penting dalam inventore hutan. Jadi tingkat kecermatan informasi yang dicatat dalam inventore hutan ditentukan oleh tujuan inventore hutan yang diinginkan (Simon, 2007).

Deforestasi dan perubahan tata guna lahan saat ini menyebabkan emisi karbondioksida (CO2

Sampai tahun 2009, luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 22.811.070 ha, yang merupakan peningkatan dari penunjukan kawasan konservasi pada tahun 1996 yang hanya 9,67 juta Ha, yang 6,65 juta ha ditetapkan sebagai Taman Nasional dan Taman Hutan Raya. Penetapan kawasan lindung dan kawasan konservasi tidak secara langsung menghasilkan keuntungan berupa kayu, akan tetapi hal ini akan mengkonservasi karbon di ) sekitar 8 – 20% yang bersumber dari kegiatan manusia di tingkat global – menempati posisi kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil. Sebuah kesepakatan internasional mengenai iklim baru-baru ini menekankan pentingnya Reduced Emissions from Deforestation and

Degradation (REDD+) sebagai kunci dan pilihan yang berbiaya relatif rendah

untuk mitigasi perubahan Iklim ; strategi ini bertujuan untuk menjaga simpanan karbon (C) di darat melalui insentif finansial untuk melindungi hutan (misalnya, kredit karbon). REDD+ dan beberapa program serupa menuntut adanya pemantauan yang ketat atas simpanan dan emisi C yang menggarisbawahi pentingnya estimasi simpanan C secara tepat untuk berbagai tipe hutan, khususnya tipe-tipe yang memiliki cadangan C yang tinggi dan yang mengalami perubahan tata guna lahan yang tak terkendali (Donato et al., 2011).

hutan, mempertahankan biodiversity dan bermanfaat dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir. Upaya peningkatan jumlah kawasan konservasi juga perlu didukung oleh upaya pengamanan hutan sehingga tidak terjadi gangguan hutan seperti kebakaran, pembalakan liar, perambahan dan sebagainya (Kementerian Kehutanan, 2011).

Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan hutan mangrove, perlu dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari survey langsung di lapangan atau dari data GIS

(Geographic Information System) dan teknologi inderaja (penginderaan

jauh, seperti citra satelit). Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya (Departemen Kehutanan, 2009).

Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system) dan inderaja (citra satelit), dan

2. Penilaian secara langsung di lapangan (teristris).

Cara penilaian pertama dapat dilakukan apabila tersedia data GIS dan inderaja dari kawasan mangrove yang akan diinventarisasi. Cara ini cukup efektif diterapkan apabila kawasan mangrove yang akan diinventarisasi

tersebut cukup luas. Sedangkan cara teristris dilakukan untuk areal yang tidak terlalu luas dan apabila tidak tersedia data citra satelit. Selain itu, cara kedua ini dapat diterapkan untuk melakukan pengecekan lapangan dari hasil interpretasi dan analisis citra satelit (pada cara pertama). Secara skematis, hubungan kedua cara penilaian tersebut dapat dijelaskan seperti terlihat pada Gambar 2.

Kawasan Hutan Lindung Mangrove

Penentuan tingkat kekritisan mangrove dengan

teknologi inderaja

Pengecekan Lapangan

Peta tingkat Kekritisan Lahan mangrove Penentuan tingkat kekritisan mangrove secara teristris Apakah data inderaja (citra satelit) tersedia? Tidak

Dokumen terkait