• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

41 4.1.1 Keadaan Demografis

Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, dan memiliki batas–batas administrasi sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ilotidea

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tilote / Kota Gorontalo 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Bolango

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Danau Limboto

Wilayah Desa Tabumela dengan luas keseluruhan ± 82,50 Ha terbagi dalam 5 (Lima) Dusun yaitu Dusun Teratai, Dusun Kuntum Mekar, Dusun Mujair, Dusun Kabos dan Dusun Flamboyan. Secara geografis, wilayah Desa Tabumela terbagi pada 2 kelompok masyarakat besar yang berada di 5 (Lima) dusun. Dusun Kuntum Mekar dan Mujair terletak di bagian Utara desa dan Dusun Teratai, Kabos serta Flamboyan terletak dibagian selatan desa. Hubungan transportasi masyarakat di kedua wilayah tersebut hanya melalui jalan Desa Tilote sebab belum tersedianya sarana jalan penghubung masyarakat Dusun Mujair dan Kabos. Dari data kependudukan, pada tahun 2011 Desa Tabumela mengalami lonjakan jumlah penduduk yang cukup tinggi yakni sekitar 5,2 % dengan jumlah total 2.075 jiwa. Dusun dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Dusun Flamboyan yakni 575 jiwa, kemudian Dusun Kuntum Mekar sejumlah 482,

(2)

Dusun Teratai sejumlah 442, Dusun Mujair 310 jiwa dan dusun dengan jumlah penduduk terkecil adalah Dusun Kabos dengan jumlah penduduk 266 jiwa.

4.1.2 Keadaan Sosial

Jumlah Penduduk Desa Tabumela Kecamatan Tilango Tahun 2008 sebesar 1.955 Jiwa, Tahun 2009 naik sebesar 2,3 % sehingga menjadi 1.967 Jiwa, sedangkan di Tahun 2011 berkembang menjadi 2.075 berarti prosentasenya naik 5,2 %.

Bila dilihat dari kepadatan serta persebaran penduduk Desa Tabumela tidak berimbang antara luas dusun dan kepadatan dapat diuraikan sbb :

1. Dusun Teratai dengan luas wilayah : 24,5 Ha berpenduduk : 442 Jiwa 2. Dusun Kuntum Mekar dengan luas wilayah : 14,5 Ha berpenduduk :

482 Jiwa

3. Dusun Mujair dengan luas wilayah : 9 Ha berpenduduk : 310 Jiwa 4. Dusun Kabos dengan luas wilayah : 18 Ha berpenduduk : 266 Jiwa 5. Dusun Flamboyan dengan luas wilayah : 16,5 Ha berpenduduk : 575

Jiwa

4.1.3 Keadaan Ekonomi

Roda perekonomian penduduk Desa Tabumela lebih didominasi oleh sektor Perikanan dan Pertanian. Data yang ada menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat terutama yang berada di Dusun Teratai, Kabos, Flamboyan dan Dusun Mujair bermata pencaharian sebagai nelayan dan sebagian petani, sementara di Dusun Kuntum Mekar didominasi pedagang, Pegawai Negeri Sipil/Honorer, buruh harian dan-lain-lain. Sedangkan untuk lahan perkebunan yang ada di Desa

(3)

ini adalah seluas 37.25 Ha, itupun bila pada saat musim penghujan tidak dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam sebab tergenang banjir, sehingga dimanfaatkan oleh para nelayan untuk mencari ikan diperairan Danau Limboto.

Pada musim penghujan yang sering menyebabkan banjir, banyak masyarakat beralih profesi menjadi nelayan dadakan namun disisi lain menjadi permasalahan rutin sebab disaat-saat banjir banyak bangunan yang rusak terutama rumah-rumah penduduk dan juga fasilitas umum, disamping itu wabah penyakit menular setelah pascah banjir juga menjadi permasalahan yang sangat vital. Hal ini sangat mengganggu roda perekonomian penduduk setempat.

4.2 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari dari tanggal 20 April sampai dengan 30 April 2013. Sampel penelitian berjumlah 174 anak balita yang berasal dari satu desa yang terdiri dari lima dusun yaitu dusun Teratai sebanyak 47 balita, dusun Kuntum Mekar sebanyak 23 balita, dusun Mujair sebanyak 16 balita, dusun Kabos sebanyak 29 balita dan dusun Flamboyan sebanyak 59 balita.

4.2.1 Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat atau analisis deskriptif dilakukan untuk mendeskripsikan dan melihat distribusi dari umur responden, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan terakhir, kejadian ISPA, kondisi ventilasi rumah, kondisi lantai, kepadatan hunian, pencahayaan alami, dan pendapatan keluarga. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel.

(4)

1) Distribusi responden Berdasarkan Umur

Distribusi umur responden dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1

Distribusi responden menurut kelompok umur

Umur (Tahun) Jumlah

N %

12-16 1 1

17-25 82 47

26-35 72 42

36-45 16 9

46-55 3 2

Total 174 100

Sumber: data primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa kelompok umur responden bervariasi mulai dari kelompok umur 12-16 tahun sampai dengan kelompok umur 46-55 tahun. Sebagian besar responden berada pada kelompok umur 17-25 tahun yaitu sebanyak 81 orang (47%), sedangkan terendah adalah kelompok umur 12-16 tahun sebanyak 1 orang (1%).

2) Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Distribusi pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2

Distribusi responden berdasarkan pendidikan

Pendidikan Jumlah

n %

SD 85 49

SMP 65 37

SMA 18 10

PT 6 3

Total 174 100

Sumber: data primer 2013

(5)

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau sebanyak 85 orang (49%) memiliki tingkat pendidikan SD dan yang terendah yaitu perguruan tinggi sebanyak 6 orang (3%).

3) Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Distribusi responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.3 Tabel 4.3

Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah

n %

URT 159 91

PEDAGANG 1 1

WIRASWASTA 7 4

NELAYAN 1 1

PNS 6 3

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa distribusi pekerjaan responden terbanyak adalah URT yaitu sebanyak 159 orang (91%), dan yang paling sedikit adalah pedagang dan nelayan sebanyak 1 orang (1%).

4) Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Dari hasil analisis di dapatkan bahwa sampel paling banyak berumur 12-17 bulan dan 24-29 bulan yaitu sebanyak 36 anak balita (21%) dan paling sedikit berumur 30-35 bulan yaitu sebanyak 8 anak balita (5%).

Distribusi umur sampelnya dapat dilihat pada tabel 4.4

(6)

Tabel 4.4

Distribusi sampel berdasarkan umur

Umur Balita (Bulan) Jumlah

N %

12-17 36 21

18-23 19 11

24-29 36 21

30-35 8 5

36-41 23 13

42-47 14 8

48-53 21 12

54-59 17 10

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

5) Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.5 Tabel 4.5

Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

N %

Laki-laki 86 49

Perempuan 88 51

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Dari hasil analisis di dapatkan bahwa sampel yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 86 anak balita (49%) dan perempuan sebanyak 88 anak balita (51%). Dapat disimpulkan bahwa jumlah sampel balita yang berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit dibandingkan jumlah sampel yang berjenis kelamin perempuan.

(7)

6) Distribusi Kejadian ISPA

Distribusi kejadian ISPA dapat dilihat pada tabel 4.6 Tabel 4.6

Distribusi Kejadian ISPA

Kejadian ISPA Balita Jumlah

N %

ISPA 81 47

Tidak ISPA 93 53

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Dari hasil analisis univeriat di dapatkan bahwa sampel yang pernah menderita ISPA sebanyak 81 sampel (47 %) dan sampel yang tidak ISPA sebanyak 93 sampel (53 %).

7) Distribusi responden berdasarkan kondisi rumah Tabel 4.7

Distribusi rumah berdasarkan kondisi ventilasi rumah

Ventilasi Rumah Jumlah

n %

Memenuhi Syarat 79 45

Tidak Memenuhi Syarat 95 55

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden yaitu sebanyak 95 rumah (55%) tidak memenuhi syarat ventilasi, sedangkan rumah yang memenuhi syarat ventilasi sebanyak 79 rumah (39,7%).

(8)

Tabel 4.8

Distribusi rumah berdasarkan kondisi lantai

Lantai Jumlah

N %

Memenuhi Syarat 124 71

Tidak Memenuhi Syarat 50 29

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Dilihat dari tabel 4.8 menunjukan bahwa kondisi lantai yang memenuhi syarat lebih banyak dibandingkan dengan kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat. Kondisi lantai yang memenuhi syarat sebanyak 124 rumah (71%) dan kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 50 rumah (50%).

Tabel 4.9

Distribusi rumah berdasarkan kepadatan hunian

Kepadatan Hunian Jumlah

n %

Memenuhi Syarat 38 22

Tidak Memenuhi Syarat 136 78

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden yaitu sebanyak 136 rumah (78%) tidak memenuhi syarat kepadatan penghuni, sedangkan rumah yang memenuhi syarat kepadatan penghuni sebanyak 38 rumah (22%).

(9)

Tabel 4.10

Distribusi rumah berdasarkan pencahayaan alami

Pencahayaan Alami Jumlah

n %

Memenuhi Syarat 126 72

Tidak Memenuhi Syarat 48 28

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden yaitu sebanyak 126 rumah (72%) memenuhi syarat pencahayaan alami, sedangkan rumah yang tidak memenuhi syarat pencahayaan alami sebanyak 48 rumah (28%).

8) Distribusi responden berdasarkan sosial ekonomi keluarga Tabel 4.11

Distribusi responden berdasarkan pendapatan keluarga

Pendapatan Keluarga Jumlah

n %

Tinggi 29 17

Rendah 145 83

Total 174 100

Sumber: Data Primer 2012

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase

Dilihat dari tabel 4.11 menunjukan bahwa responden yang memiliki pendapatan rendah lebih banyak di bandingkan responden yang memiliki pendapatan tinggi. Responden yang memiliki pendapatan rendah sejumlah 145 responden (83%) dan yang memiliki pendapatan tinggi sejumlah 29 responden (17%).

(10)

4.2.2 Hasil Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara kondisi fisik rumah dan sosial ekonomi keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Analisis data secara statistik dilakukan dengan uji statistik chi square dengan menggunakan bantuan program SPSS. Dikatakan ada hubungan jika nilai P value < 0,05.

1) Hubungan Luas Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita.

Hubungan antara Luas ventilasi rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita disajikan pada tabel 4.12.

Tabel 4.12

Hubungan Luas Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo

Variabel

Kejadian ISPA Total ISPA; p

n (%)

Tidak ISPA;

n (%) n (%) Kondisi

Ventilasi Rumah

Memenuhi Syarat 31 (38,3) 48 (51,6) 79 (45,4)

0.078 Tidak memenuhi

Syarat 50 (61,7) 45 (48,0) 95 (54,6) Jumlah 81 (100) 93 (100) 174 (100) Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase, p = Tingkat Kemaknaan

Dari hasil analisis hubungan antara Luas ventilasi rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita yang diperoleh terlihat bahwa pada kelompok ISPA terdapat 31 balita (38,3%) yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat, sedangkan pada kelompok tidak ISPA terdapat 48 balita (51,6%) yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat.

Kemudian pada kelompok ISPA yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi

(11)

yang tidak memenuhi syarat terdapat 50 balita (61,7%) sedangkan kelompok tidak ISPA terdapat 45 (48,0%) balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.078 (p ≥ 0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha ditolak, sehingga tidak ada

hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

2) Hubungan Kondisi Lantai Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita disajikan pada tabel 4.13.

Tabel 4.13

Hubungan Kondisi Lantai Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo

Variabel

Kejadian ISPA Total ISPA; p

n (%)

Tidak ISPA;

n (%) n (%) Kondisi

Lantai Rumah

Memenuhi Syarat 59 (72,8) 65 (69,9) 124 (71,3)

0,668 Tidak memenuhi

Syarat 22 (27,2) 28 (30,1) 50 (28,7) Jumlah 81 (100) 93 (100) 174 (100) Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase, p = Tingkat Kemaknaan

Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa pada kelompok ISPA terdapat 59 balita (72,8%) yang kondisi lantai rumahnya memenuhi syarat. Pada kelompok tidak ISPA terdapat 65 balita (69,9%) yang kondisi lantai rumahnya memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok ISPA yang kondisi lantainya tidak memenuhi syarat terdapat 22 balita (27,2%) dan pada kelompok tidak ISPA terdapat 28 (30,1%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.668 (p ≥ 0.05 ). Dengan

(12)

demikian dapat disimpulkan Ha ditolak, sehingga tidak ada hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

3) Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita disajikan pada tabel 4.14.

Tabel 4.14

Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo

Variabel

Kejadian ISPA Total ISPA; p

n (%)

Tidak ISPA; n

(%)

n (%)

Kepadatan Hunian

Memenuhi Syarat 9 (11,1) 29 (31,2) 38 (21,8)

0,001 Tidak memenuhi

Syarat 72 (88,9) 64 (68,8) 136 (78,2) Jumlah 81 (100) 93 (100) 174 (100) Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase, p = Tingkat Kemaknaan

Dari hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita yang diperoleh terlihat bahwa pada kelompok ISPA terdapat 9 balita (11,1%) yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat, kemudian pada kelompok tidak ISPA terdapat 29 balita (31,2%) yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok ISPA yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat terdapat 72 balita (88,9%) dan pada kelompok tidak ISPA terdapat 64 balita (68,8%) yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.001 (p ≤ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan

(13)

Ha diterima, sehingga ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

4) Hubungan Pencahayaan Alami Dengan Kejadian Penyakit Ispa Pada Balita Hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian penyakit ISPA pada balita disajikan pada tabel 4.15.

Tabel 4.15

Hubungan Pencahayaan Alami Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo

Variabel

Kejadian ISPA Total ISPA; n p

(%)

Tidak ISPA;

n (%) n (%) Pencahayaan

Alami

Memenuhi Syarat 56 (69,1) 70 (75,3) 126 (72,4)

0,367 Tidak memenuhi

Syarat 25 (30,9) 23 (24,7) 48

(27,6)

Jumlah 81 (100) 93 (100) 174

(100) Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase, p = Tingkat Kemaknaan

Dari hasil analisis hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian penyakit ISPA pada balita yang diperoleh terlihat bahwa pada kelompok ISPA terdapat 56 balita (69,1%) yang pencahayaan alaminya memenuhi syarat, kemudian pada kelompok tidak ISPA terdapat 70 balita (75,3%) yang pencahayaan alaminya memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok ISPA yang pencahayaan alaminya tidak memenuhi syarat terdapat 25 balita (30,9%) dan pada kelompok tidak ISPA terdapat 23 balita (24,7%) yang pencahayaan alaminya tidak memenuhi syarat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.367 (p ≥ 0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha ditolak, sehingga tidak ada

(14)

hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

5) Hubungan Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita Hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita disajikan pada tabel 4.16

Tabel 4.16

Hubungan pendapatan keluarga Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo

Variabel

Kejadian ISPA Total ISPA; p

n (%)

Tidak ISPA;

n (%) n (%) Pendapatan

Keluarga

Tinggi 7 (8,6) 22 (23,7) 29 (16,7)

0,008 Rendah 74 (91,4) 71 (76,3) 145 (83,3)

Jumlah 81 (100) 93 (100) 174 (100) Sumber: Data Primer 2013

Keterangan : n = Jumlah, % = Prosentase, p = Tingkat Kemaknaan

Dari hasil analisis hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita yang diperoleh terlihat bahwa pada kelompok ISPA terdapat 7 balita (8,6%) yang tingkat pendapatan keluarganya tinggi, kemudian pada kelompok tidak ISPA terdapat 22 balita (23,7%) yang tingkat pendapatan keluarganya tinggi. Sedangkan pada kelompok ISPA yang tingkat pendapatan keluarganya rendah terdapat 74 balita (91.4%) dan pada kelompok tidak ISPA terdapat 71 balita (76.3%) yang tingkat pendapatan keluarganya rendah. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.008 (p ≤ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha diterima, sehingga ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

(15)

4.3 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara kondisi fisik rumah dan sosial ekonomi keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Sampel pada penelitian ini berjumlah 174 sampel.

Dalam kaitannya dengan kejadian ISPA, responden paling banyak pada umur 17-25 tahun sebanyak 81 orang (47%) dan yang paling sedikit adalah responden yang berumur 12-16 tahun hanya 1 orang (1%). Dimana responden yang anak balitanya paling banyak menderita ISPA pada kelompok umur 17-25 tahun atau pada kategori umur masa remaja akhir. Hal ini dikarenakan responden yang berumur 17-25 tahun masih terlalu muda untuk mengurus anak, dimana pada umur seperti itu kebiasaan seseorang untuk main-main masih sangat tinggi sehingga kadangkala anak mereka kurang diperhatikan. Pada umumnya responden memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu pendidikan SD sebanyak 85 orang (49%), pendidikan SMP sebanyak 65 orang (37%). Sedangkan pendidikan SMA hanya ada 18 orang (10%) dan perguruan tinggi 6 orang (3%), hal ini sangat mempengaruhi kejadian ISPA yang ada di Desa Tabumela karena rendahnya pendidikan ibu akan lebih mengurangi pengetahuan ibu tentang pentingya kesehatan balita dan juga bisa mempersulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mempengaruhi pendapatan keluarga, buktinya sebagian besar responden memiliki pekerjaan URT yaitu sebanyak 159 responden (91%).

Untuk sampel yang paling banyak menderita ISPA adalah sampel yang berumur 12-17 bulan dan 24-29 bulan sebanyak 36 anak balita (21%) dan yang

(16)

paling sedikit menderita ISPA adalah sampel yang berumur 30-35 yaitu 8 anak balita (5%). Untuk jenis kelamin sampel, sampel berjenis kelamin perempuan banyak menderita ISPA (51%) dibandingkan sampel berjenis kelamin laki-laki (49%). Akan tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan, hal ini di karenakan baik balita yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki kemungkinan besar akan menderita penyakit ISPA.

4.3.1 Hubungan Luas Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Hasil analisis data statistik menunjukan bahwa luas ventilasi rumah tidak ada hubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.078 (p ≥ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha ditolak,

sehingga tidak ada hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Ventilasi adalah lubang penghawaan yang menjaga sirkulasi udara tetap dalam kondisi baik. Ventilasi berfungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar (berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga, sehingga mempercepat pengeluaran bahan-bahan pencemar yang ada di dalam ruangan). Ventilasi di kategorikan memenuhi syarat bila luasnya ≥ 10%

dari luas lantai dan terbuka, dan dikategorikan tidak memenuhi syarat bila luasnya

< 10% dari luas lantai (Kepmenkes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012) tentang kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

(17)

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara dengan nilai p= 0.862 (p≥0.05).

Berdasarkan penelitian terhadap 174 rumah di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, di ketahui bahwa rumah yang mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat adalah 95 rumah (54,6%), dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah sebesar 50 balita (61,7%). Sedangkan ventilasi yang memenuhi syarat adalah 79 rumah (45,4%), dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan ventilasi yang memenuhi syarat adalah sebesar 31 balita (38.3%). Artinya walaupun jumlah responden yang memiliki ventilasi memenuhi syarat sedikit, namun persentase balita yang terkena ISPA tergolong tinggi. Namun demikian, ternyata pada kelompok balita dengan kategori ventilasi tidak memenuhi syarat diperoleh persentase kasus ISPA yang lebih besar. Hal ini berkaitan dengan kebersihan ventilasi, kondisi ventilasi (terbuka atau tertutup), serta berkaitan dengan kepadatan penduduk yang ada di Desa Tabumela. hal ini dikarenakan berdasarkan observasi walaupun luas ventilasi rumah responden kurang dari 10%

luas lantai namun kondisi ventilasinya terbuka dan tidak terhalang oleh benda lain, sehinga sedikit kemungkinan untuk udara dalam rumah lancar dan tingkat kelembabannya dalam rumah tidak terlalu tinggi. Kemudian sebagian rumah responden walaupun luas ventilasinya >10% luas lantai namun berdasarkan

(18)

observasi bahwa ventilasinya ditutupi oleh benda lain seperti tripleks yang memungkinkan sirkulasi udara dalam ruangan tidak lancar sehingga ruangan terasa panas.

Banyak masyarakat yang belum mengetahui peranan ventilasi terhadap kesehatan rumah. Dengan tidak diketahuinya peranan ventilasi terhadap kesehatan rumah, maka banyak masyarakat membangun rumah dengan biaya yang mahal tetapi ventilasi tidak memenuhi syarat sehingga rumah menjadi terasa pengap karena pertukaran udara tidak lancar. Untuk golongan ekonomi lemah, dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap suatu konsep kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan fisik rumah terhadap kajadian ISPA. Oleh karena itu yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ventilasi rumah (terlebih untuk yang tidak memenuhi syarat) adalah dengan melakukan penyuluhan kesehatan terlebih dahulu kemudian menghubungkannya dengan ventilasi. Hal ini perlu dilakukan dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat atau kelompok yang sangat berpengaruh di wilayah tersebut seperti puskesmas maupun pihak pemerintah, membiarkan ventilasi yang sudah ada agar terbuka.

4.3.2 Hubungan Kondisi Lantai Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Hasil analisis data statistik menunjukan bahwa kondisi lantai rumah tidak ada hubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.668 (p ≥ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha ditolak,

(19)

sehingga tidak ada hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Lantai adalah bagian dasar rumah. Lantai merupakan komponen yang penting yang digunakan sebagai tempat berpijak. Lantai dalam penelitian ini, di kategorikan memenuhi syarat bila seluruh bagian lantai terbuat dari semen, ubin, tegel, keramik dan tidak rusak kondisinya. Sedangkan lantai yang terbuat dari tanah, papan atau semen dengan kondisi rusak atau tidak utuh dikategorikan tidak memenuhi syarat. Selain itu menurut Permenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, pada dasarnya bahan bangunan tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh kembangnnya mikroorganisme.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012) tentang kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kondisi lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara dengan nilai p= 0.596 (p≥0.05).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 174 rumah di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, di ketahui bahwa rumah yang mempunyai lantai tidak memenuhi syarat adalah 50 rumah (28,7%) dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat adalah sebesar 27,2% (22 balita). Sedangkan rumah yang mempunyai lantai memenuhi syarat adalah 124 rumah (71,3%), dimana kasus ISPA pada kelompok

(20)

responden yang mempunyai jenis lantai yang memenuhi syarat sebanyak 72,8%

(59 balita).

Berdasarkan hasil observasi sebagian besar kelompok balita yang ada di Desa Tabumela telah memiliki jenis lantai rumah yang memenuhi syarat. Namun demikian, ternyata persentase ISPA pada kelompok balita yang telah memiliki jenis lantai yang memenuhi syarat masih tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian rumah responden walaupun kondisi lantainya diplester dan berubin namun berdasarkan observasi bahwa kondisi lantainya kotor (berdebu) dan kondisinya rusak. Faktor resiko lain yang mungkin dapat mempengaruhi kejadian ISPA di Desa Tabumela pada kelompok balita yang memiliki jenis lantai memenuhi syarat antara lain kualitas kebersihan lantai, terkait perilaku yaitu seberapa sering menyapu atau mengepel lantai yang berdampak pada tingginya jumlah debu dan mikroorganisme dilantai.

Rumah dengan kondisi lantai yang tidak permanen mempunyai kontribusi yang besar terhadap penyakit pernafasan, karena menghasilkan debu lebih banyak, terlebih pada musim kemarau. Debu yang dihasilkan dari lantai tanah kemudian terhirup dan menempel pada saluran pernafasan. Meskipun begitu, di tengah kondisi zaman yang begitu modern dimana kebutuhan akan bahan bangunan mudah diperoleh di pasaran, ternyata masih ada rumah yang berlantai tidak memenuhi syarat. Hal ini mengarah pada dua kemungkinan yaitu rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, atau ketidakpedulian masyarakat. Kurangnya pengetahuan dan informasi yang diterima masyarakat pada akhirnya dapat membahayakan kesehatan, meningkatkan persentase jumlah kesakitan, maka dari

(21)

itu perlu dilakukan sosialisasi maupun bantuan baik oleh pihak Puskesmas maupun pihak pemerintah. Sehingga akhirnya ada perbaikan jenis lantai dari yang tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat. Selain dapat menunjang kesehatan, lantai yang memenuhi syarat misalnya yang terbuat dari semen atau keramik juga memiliki ketahanan atau kekuatan untuk dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.

4.3.3 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Hasil analisis data statistik menunjukan bahwa ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.001 (p

≤ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha diterima, sehingga ada

hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Kepadatan hunian rumah yang melebihi syarat kesehatan pada dasarnya akan mengakibatkan aktifitas keluarga dirumah terganggu, terjadinya polusi udara karena aktifitas manusia, terjadinya polusi udara yang dikeluarkan oleh bangunan dan isinya, ketidakteraturan dalam ruangan, membuka kesempatan serangga dan tikus untuk bersembunyi dan bersarang, tidak terpeliharanya sanitasi perumahan, memudahkan terjadinya penularan penyakit, serta mengganggu kenyamanan tinggal dirumah. Hunian dikategorikan tidak padat yaitu ≥ 9m2.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012) tentang kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan

(22)

antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara dengan nilai p= 0.032 (p<0.05).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 174 rumah di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, di ketahui bahwa rumah yang mempunyai kepadatan hunian tidak memenuhi syarat adalah 136 rumah (78,2%) dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat adalah sebanyak 72 balita (88.9%). Sedangkan kepadatan hunian yang memenuhi syarat adalah 38 rumah (21,8%), dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 9 balita (11,1%).

Sesuai dengan hasil observasi di Desa Tabumela, masalah kepadatan hunian di Desa Tabumela ini sebagian besar disebabkan karena masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk mandiri. Banyaknya keluarga yang tinggal dalam satu rumah (menumpang) bersama orang tua atau saudara orang tua, mertua, kerabat keluarga balita. Selain itu, penyebab lainnya terjadinya kepadatan penghuni adalah karena jumlah anak terlalu banyak (tidak sesuai dengan sosial ekonomi keluarga), hal ini juga disebabkan karena ketakutan ibu melakukan KB.

Semakin padatnya ruangan menyebabkan kondisi dalam ruangan terasa pengap dan penghuninya sukar untuk bernafas karena udara segar dalam ruangan untuk kebutuhan pernafasan orang sudah tidak tercukupi lagi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko balita terkena ISPA akan meningkat jika tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan

(23)

hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya.

Untuk menanggulangi masalah ini, maka keluarga balita tersebut sedapat mungkin menempati rumah secara mandiri misal dengan cara kontrak atau menempati rumah sendiri. Sedangkan untuk menanggulangi masalah keluarga yang banyak anak, maka diharapkan agar mengikuti program keluarga berencana (KB). Untuk itu perlu mendapat perhatian, bantuan, dukungan serta sosialisasi dari pihak Puskesmas dan pemerintah agar masyarakat semakin tahu dan mengerti.

4.3.4 Hubungan Pencahayaan Alami Dengan Kejadian Penyakit Ispa Pada Balita Hasil analisis data statistik menunjukan bahwa pencahayaan alami tidak ada hubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.367 (p ≥ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha ditolak,

sehingga tidak ada hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Pencahayaan merupakan sistem penerangan di dalam ruangan. Cahaya matahari yang masuk kedalam ruangan dapat digunakan untuk membunuh kuman penyakit. Sinar matahari sanggup membunuh bakteri penyakit, virus dan jamur.

Selain itu, sinar matahari juga dapat membantu dalam pembentukan vitamin D.

(24)

Vitamin D bermanfaat untuk menghancurkan dan membunuh segala macam bakteri atau virus dan memberi kekebalan terhadap penyakit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012) tentang kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan warakas kecamatan tanjung priok jakarta utara tahun 2011. Pada analisis hubungan di dapatkan nilai p=1.000 (p ≥ 0.05 ).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 174 rumah di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, di ketahui bahwa rumah yang mempunyai pencahayaan tidak memenuhi syarat adalah 48 rumah (27,6%) dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat adalah sebesar 30,9% (25 balita). Sedangkan pencahayaan yang memenuhi syarat adalah 126 rumah (72,4%), dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan pencahayaan yang memenuhi syarat sebanyak 69,1% (56 balita).

Sesuai dengan hasil observasi di lapangan sebagian besar responden memiliki pencahayaan alami yang memenuhi syarat, namun balita yang ISPA masih tergolong tinggi, untuk pencahayaan alaminya sudah memenuhi syarat karena kebiasaan masyarakat membuka pintu sehingga cahaya bisa masuk ke dalam ruangan. Adapun faktor lain yang menyebabkan tingginya penyakit ISPA di Desa tabumela berkaitan dengan padatnya penghuni dan lingkungan perumahan

(25)

yang berada di sekitaran danau limboto sehingga keadaan rumah menjadi lembab, dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri penyakit sehingga akan mempengaruhi terjadinya penularan penyakit ISPA yang ada di Desa Tabumela Kecamatan Tilango.

4.3.5 Hubungan Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita

Hasil analisis data statistik menunjukan bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.008 (p ≤ 0.05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan Ha diterima,

sehingga ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non- material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, secara luas kemiskinan juga kerap di definisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan:

kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang di butuhkan oleh masyarakat (Suharto, 2009).

Dalam hal ini tingkat sosial ekonomi di kategorikan tinggi bila pendapatan keluarga balita dalam sebulan lebih atau sama dengan UMP wilayah Gorontalo tahun 2013 yaitu ≥ Rp 1.175.000 ribu, dan dikategorikan rendah bila pendapatan keluarga balita dalam sebulan kurang dari UMP wilayah Gorontalo yaitu < Rp 1.175.000 ribu (Keputusan Gubernur Gorontalo nomor 433/12/XI/2012).

(26)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012) tentang kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara dengan nilai p= 0.001 (p<0.05). Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Sukamawa, Sulistiyorini dan Keman (2005) tentang determinan sanitasi rumah dan sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian ISPA pada anak balita serta manajmen penanggulangannya di puskesmas. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA pada anak balita dengan nilai p= 0.003 (p<0.05).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 174 rumah di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo, di ketahui bahwa rumah yang memiliki pendapatan keluarga rendah adalah 145 rumah (83,3%) dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan pendapatan keluarga rendah adalah adalah 91,4%

(74 balita). Sedangkan yang memiliki pendapatan keluarga tinggi adalah 29 rumah (16,7%), dimana kasus ISPA pada kelompok responden dengan pendapatan keluarga tinggi adalah 8,6% (7 balita).

Sesuai dengan hasil observasi prosentase kasus ISPA pada kelompok sosial ekonomi rendah sangat tinggi, hal ini dipengaruhi karena masih tingginya masyarakat miskin yang ada di Desa Tabumela. Faktor resiko lain yang turut mempengaruhi yaitu karena prosentase dengan tingkat pendidikan ibu rendah juga

(27)

masih sangat tinggi serta sebagian besar pasangan suami istri masih berumur di bawah 20 tahun. Hal ini sangat mempengaruhi pola asuh, dan kemampuan dalam menyediakan makanan, serta lingkungan yang bersih.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mengatasi kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintah juga dapat memberikan informasi, sosialisasi yang berguna untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat, sehingga pada akhirnya dapat mengubah perilaku masyarakat kearah yang lebih baik.

Referensi

Dokumen terkait

Pagelaran, Gadingrejo, dan Sukoharjo merupakan tiga kecamatan dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak, yaitu masing-masing 11.051

Berdasarkan hasil pengamatan spesies Eclipta alba memiliki ciri morfologi yaitu memiliki akar tungang, memiliki batang tegak atau berbaring, batang bulat berwarna hijau

Berdasarkan penelitian di lapangan Desa Menoro Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang, sejak dahulu sampai sekarang masyarakat Desa Menoro mata pencahariannya banyak

Tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan sesuai hasil penelitian sebagian besar keluarga nelayan di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo

Sesuai dengan informasi yang didapat di Desa Pagedangan Kecamatan Turen Kabupaten Malang mengenai praktik hadhânah anak yang sudah mumayyiz pasca perceraian, maka

Sesuai dengan hasil penelitian yang ada pada CV. Malu’o Farm di Desa Huluduotamo Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango telah mempergunakan beberapa karyawan

Berdasarkan gambaran (gambar 4.7) menunjukkan bahwa kehadiran dari jenis Protoreaster nodosus ini sangat banyak ditemukan di Desa Sungai Bakau Kecamatan Kumai Kabupaten

Tingkat Ancaman Bencana Gempabumi di Desa Muruh Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten Termasuk dalam tingkat Tinggi hal ini diperoleh dari hasil perpaduan indeks