93
EKSEKUSI BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUCIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG JAMINAN FIDUCIA
Lenny Verawaty SH Siregar Dosen Universitas HKBP Nommensen
ABSTRAC
The purpose of this study was to determine the execution process of a fiduciary collateral object as collateral for debt because the debtor defaulted on creditors based on library data obtained through library research sourced from legislation such as the Civil Code, Fiduciary Insurance Act, books, scientific works, and other writings. From the results of the research conducted, the authors concluded that in the case of the execution of objects of fiduciary collateral over debtors, defaults to creditors have binding legal powers based on Article 29 to Article 34 of the Fiduciary Guarantee Law which regulates execution. The third method of execution is first, the executorial title or based on writing containing the implementation of a court decision that provides the basis for seizure and seizure auction without the mediation of the Judge. Second, the sale of objects on their own power through public and third auctions, namely under-the-sale sales based on the agreement of the giver and recipient of fiduciary, which if the highest price can be obtained that benefits the parties. And in the case of a fiduciary agreement not registered at the office of registration of fiduciary guarantees, it can be executed by parate execution (right to own power) and under the hand.
Keywords: Execution, fiducia guarantee, fiducia law A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dimaksud dapat diperoleh melalui kegiatan pinjam – meminjam. Perolehan pendanaan tersebut salah satunya adalah melalui perjanjian dengan jaminan fidusia.
Arti dari kata jaminan merupakan tanggung atau tanggungan atas segala perikatan dari seseorang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Sedangkan fidusia berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Pasal 1131 KUH Perdata mengatakan : Segala kebendaan siberutang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan segala perikatan pribadi debitor.
Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. Istilah civil law berasal dari kata Latin “jus civile” yang diperlakukan kepada masyarakat Romawi. Jus civile diartikan sebagai hukum sipil yakni hukum yang dibuat oleh rakyat untuk kalangan warga sendiri sedangkan jus gentium artinya hukum bangsa-bangsa. Jadi, fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian yakni sebagai kata benda dan kata sifat.
Sebagai kata benda, istilah fidusia memiliki arti seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban untuk melakukan perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat, istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan.
Ciri khas dari jaminan fidusia menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Memberikan kedudukan yang diistimewakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya (pasal 1 ayat 2)
2. Jaminan fidusia tetap memiliki benda yang menjadikan objek fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada ( pasaal 20 )
3. Merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok ( pasal 4 ) 4. Memenuhi asas spesialitas ( pasal 6 )
94 5. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya ( pasal 29 )
Dalam pasal 1152 KUHPerdata dikatakan hanya barang bergerak yang berwujud, namun dalam pasal 1131 KUHPerdata dikatakan semua kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan, dinamakan jaminan hutang. Dalam pasal 1 ayat (2)dikatakan Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dalam hukum mengenai pengikatan jaminan, penggolongan atas benda bergerak dan tidak bergerak mempunyai arti yang sangat penting. Adanya perbedaan penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis lembaga jaminan/pengikatan jaminan mana yang dapat dibebankan atas benda jaminan yang diberikan untuk menjamin pelunasan. Mengenai penggolongan benda bergerak dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Benda bergerak karena sifatnya, yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan(pasal 509 KUHPerdata).Termasuk juga sebagai benda bergerak adalah kapal-kapal, perahu, dan sebagainya (pasal 510 KUHPerdata).
2. Benda bergerak karena ketentuan Undang-Undang (pasal 511 KUHPerdata) misalnya : - Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;
- Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;
- Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah-jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak;
- Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan;
- Andil dalam perutangan atas beban Negara Indonesia;
- Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan yang dilakukan negara-negara asing.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian hutang piutang yang melibatkan penjaminan dan harus dibuat oleh notaris agar memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pengeksekusian terhadap benda-benda jaminan milik debitor yang menjadi jaminan tersebut akan dilakukan apabila debitor wanprestasi terhadap prestasinya. Namun banyak pula kejadian yang terjadi justru pihak debitor yang wanprestasi tersebut tidak ingin barang yang ia jaminkan tersebut dieksekusi. Untuk itu penulis tertarik untuk membahas bagaimana sesungguhnya kedudukan pengeksekusian tersebut di dalam Undang-Undang dan peraturan yang berlaku sesuai dengan kenyataan yang terjadi sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah kekuatan hukum eksekusi benda bergerak sebagai jaminan atas debitor wanprestasi berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan untuk mengetahui bagaimana Proses Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Yang Tidak Dibuatkan Akta Notaris dan Tidak Didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang JaminanFidusia
C. Tujuan Penulisan
Dalam merumuskan tujuan penulisan, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah :Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana kekuatan hukum mengenai eksekusi benda bergerak sebagai jaminan atas debitor wanprestasi berdasarkan Undang-Undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan untukmengetahuibagaimanaProses Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Yang Tidak Dibuatkan Akta Notaris dan Tidak Didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang JaminanFidusia
95 D. TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan, Fidusia, dan Jaminan Fidusia
Hukum jaminan merupakan keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian jaminan ini adalah : 1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan dua macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan adalah orang atau badan hukum.
3. Adanya jaminan
Jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan.
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan.
Pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi dua tempat, yaitu:
1. Di dalam Buku II KUHPerdata ketentuan hukum yang masih berlaku dan erat kaitannya dengan hukum jaminan adalah gadai ( paal 1150 KUHPerdata sampai Pasal 1161 KUHPerdata ) dan Hipotek (Pasal 1162 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata).
2. Di luar Buku II KUHPerdata meliputi :
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA;
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tangggungan;
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Sistem pengaturan hukum jaminan adalah sistem tertutup (clossed system) yang berarti orang tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dapat dilihat pengertian fidusia, adalah :
“Pengalihan hak kepemilikansuatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”. Yang diartikan dengan pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia.
Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang lembaga gadai mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masayarakat. Hambatan itu meliputi :
1. Adanya asas yang menyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai yang diatur dalam Pasal 1152 KUHPerdata, ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas
96
benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya;
2. Gadai atas surat-surat piutang; dan 3. Gadai kurang memuaskan.
Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktik timbul lembaga baru yaitu fidusia. Disamping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan fidusia ini dikenal dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Unsur-unsur jaminan fidusia adalah : 1. Adanya hak jaminan;
2. Adanya objek, yaitu benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan;
3. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia; dan 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur.
Selanjutnya disebutkan maksud penjelasan ditetapkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah : 1. Menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana
untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan;
2. Memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi pemberi fidusia Objek jaminan tetap dikuasai oleh pihak debitor namun debitor menyerahkan hak miliknya kepada kreditor, jaminan fidusia lahir sebagai jaminan kebendaan sejak perjanjian fidusia didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia.
Jaminan fidusia memberikan hak kepada pihak debitor untuk menggunakan dan memanfaatkan barang tersebut sepanjang tidak dialihkan kepada pihak lain. Kreditor tidak dapat langsung melakukan penjualan lelang karena barang berada di dalam penguasaan pihak debitor sehingga harus didahului dengan pengambilan secara fisik objek jaminan tersebut dari pihak debitor. Pemberi jaminan fidusia bertanggung jawab atas hilangnya, musnahnya termasuk penurunan nilai objek jaminan yang disebabkan karena kelalaiannya.
2. Asas-Asas Dalam Hukum Jaminan Fidusia a. Jaminan Fidusia Bersifat Assesoir
Sifat assesoir lebih mudah dilihat pada saat setelah keduanya lahir, yaitu perjanjian jaminan akan selalu mengikuti perjanjian pokoknya, artinya pada saat perjanjian pokoknya hapus atau batal, maka dengan sendirinya perjanjian jaminannya pun akan menjadi hapus dan batal juga.
Dengan kata lain, perjanjian pokok bisa lahir tanpa adanya perjanjian jaminan, sedangkan perjanjian jaminan tidak mungkin ada/lahir tanpa ada perjanjian pokoknya (perjanjian kredit). Beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan makna bahwa perjanjian jaminan merupakan perjanjian assesoir yaitu :
1. Pasal 1821 KUHPerdata 2. Pasal 1822 KUHPerdata
3. Pasal 1151 KUHPerdata tentang Gadai 4. Pasal 1209 KUHPerdata tentang Hipotek 5. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 6. Pasal 4 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia b. Jaminan Fidusia Bersifat Absolut
Hak kebendaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata berbunyi “ atau suatu kebendaan seseorang dapat mempunyai baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak Gadai atau Hipotek ”. Hak kebendaan itu adalah bersifat absolut karena selain dapat dipertahankan kepada siapa saja pemegang hak kebendaan tersebut dapat menuntut kepada siapa saja yang mengganggu haknya atau menghalang-halangi si pemegang hak dalam menikmati dan memanfaatkan
97
hak tersebut. Hal tersebut berbeda dengan sifat dari hak pribadi (perorangan) yang hanya dapat ditujukan kepada orang-orang tertentu saja, yaitu lawan janji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1340 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa “ persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 ” sehingga pihak ketiga yang tidak turut dalam perjanjian itu tidak tunduk terhadap perjanjian yang mereka buat, hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
c. Asas Droit De Suite Dalam Jaminan Fidusia
Setiap hak kebendaan memiliki sifat droit de suite yaitu suatu hak yang selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda tersebut berada, merupakan hak kebendaan yang dianut dalam KUHPerdata. Sifat droit de suite terkandung dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan, sedangkan dalam lembaga jaminan fidusia diatur dalam Pasal 20 UU Fidusia. Pemegang jaminan kebendaan dapat selalu melakukan pelunasan dengan objek jaminannya di tangan siapapun benda tersebut berada, hal ini memberikan pengertian setiap peralihan benda jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan adalah batal demi hukum, sehingga si pemegang jaminan kapan saja akan dapat mengeksekusi benda jaminan tersebut seakan-akan tidak pernah ada peralihan.
d. Asas Droit De Preference Dalam Jaminan Fidusia
Pasal 1133 KUHPerdata berbunyi “ hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari Gadai dan dari Hipotek ” sedangkan hak istimewa menurut Pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga kedudukannya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Pasal 27 UU Fidusia memberikan pengaturan tentang hak mendahului dalam jaminan fidusia sebagai berikut:
1. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya;
2. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atau hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
3. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi pemberi fidusia.
Hak preferensi akan sangat berguna bagi kreditor pada saat debitor dalam waktu bersamaan memiliki lebih dari satu kreditor, sehingga para kreditor akan melaksanakan hak tagihannya berdasarkan kedudukan masing- masing, dalam posisi pertama kreditor separatis pemegang jaminan kebendaan akan mendapatkan hak paling dulu untuk mengambil pelunasan dari benda jaminan, lalu disusul oleh kreditor preferen dan di posisi terakhir adalah kreditor konkuren yang akan mengambil pelunasan dari harta milik si debitor yang masih tersisa. Jika hanya ada satu-satunya kreditor maka hak preferensi menjadi tidak begitu penting artinya karena kreditor tidak dihadapkan pada persaingan untuk melakukan pelunasan atas harta benda milik debitor.
e. Asas Spesialitas Dalam Objek Jaminan Fidusia
Asas spesialitas pada objek jaminan memiliki arti objek yang dibebankan menjadi jaminan ditentukan secara spesifik, hal ini sebagaimana asas spesialitas yang diatur dalam Pasal 1174 KUHPerdata tentang Hipotek yang berbunyi “ akta dalam mana diletakkan Hipotek harus memuat suatu penyebutan khusus tentang benda yang dibebani, begitu pula tentang sifat dan letaknya, penyebutan mana sedapat-dapatnya harus didasarkan pada pengukuran-pengukuran resmi ”.
Pasal 6 UU Fidusia menyebutkan akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang- kurangnya memuat :
a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
d. Nilai penjaminan; dan
e. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
98
Ketentuan-ketentuan diatas menunjukkan bahwa objek jaminan pada jaminan-jaminan kebendaan selalu harus bersifat spesifik (khusus) berdasarkan jenis ukuran dan sifatnya, hal ini untuk memudahkan pihak kreditor dalam melakukan identifikasi pada saat hendak melakukan penjualan secara lelang.
f. Asas Publisitas
Asas publisitas artinya bahwa setiap pembebanan jaminan dilakukan secara terbuka dan tegas, tidak dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi. Dalam jaminan fidusia ketentuan tentang pendaftaran diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia yang menyebutkan bahwa “ benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan ” dan pada Pasal 12 UU Fidusia disebutkan bahwa pendaftaran tersebut dilakukan dikantor pendaftaran Fidusia pada Departemen Kehakiman yang sekarang Departemen Hukum dan HAM. Setelah jaminan fidusia didaftarkan, maka berlaku fictie hukum bahwa setiap orang akan dianggap mengetahui tentang pemberian jaminan tersebut, sehingga penerima jaminan dapat mempertahankan objek jaminan tersebut kepada siapapun, dan sebagai kelanjutan dari asas publisitas ini adalah bahwa pihak pemegang jaminan dapat melakukan eksekusi objek jaminan di tangan siapapun benda tersebut berada.
3. Subjek Dalam Jaminan Fidusia
Subjek hukum atau para pihak dalam jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia meliputi orang perorangan atau koorporasi, pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau koorporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
4. Objek Dalam Jaminan Fidusia
Ketentuannya terdapat antara lain dalam Pasal (1) ayat (4), Pasal 4, Pasal 10, dan Pasal 20 Undang- Undang tentang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut :
1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
2. Dapat atas benda berwujud;
3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang;
4. Benda bergerak;
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan;
6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek;
7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri;
8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda;
9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda;
10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia;
11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
12. Benda persediaan (inventory) stok perdagangan, dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.
Dalam pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 dengan tegas mengatakan bahwa undang-undang ini tidak berlaku terhadap :
a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang- undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan;
b. Hipotek atas kapal laut yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3atau lebih;
c. Hipotek atas pesawat terbang;dan d. Gadai
B. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi
Apabila si berutang atau debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia “ alpa “ atau “ lalai “ atau “ ingkar janji “. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan wanprestasi adalah seseorang yang
99
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitor (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian.
Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetap si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditor menghendaki pelaksanaan perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan, misalnya dalam jual beli suatu barang tertentu yang sudah ditangan si penjual, maka prestasi tadi tentunya juga dapat dituntut seketika.
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi
Adapun bentuk-bentuk wanprestasi berdasarkan KUHPerdata antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1239 KUHPerdata yaitu : “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya, seperti yang tertulis dalam Pasal 1240 KUHPerdata yaitu : “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya, dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu”.
3. Melakukan tetapi terlambat , seperti yang tertulis dalam Pasal 1244 KUHPerdata yaitu : “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1242 KUHPerdata yaitu : “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga”
C. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi
Apabila si berutang atau debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia “ alpa “ atau “ lalai “ atau “ ingkar janji “. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan wanprestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitor (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian.
Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetap si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditor menghendaki pelaksanaan perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan, misalnya dalam jual beli suatu barang tertentu yang sudah ditangan si penjual, maka prestasi tadi tentunya juga dapat dituntut seketika.
100 2. Bentuk-bentuk Wanprestasi
Adapun bentuk-bentuk wanprestasi berdasarkan KUHPerdata antara lain :
5. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1239 KUHPerdata yaitu : “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
6. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya, seperti yang tertulis dalam Pasal 1240 KUHPerdata yaitu : “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya, dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu”.
7. Melakukan tetapi terlambat , seperti yang tertulis dalam Pasal 1244 KUHPerdata yaitu : “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
8. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1242 KUHPerdata yaitu : “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
D. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Hutang Piutang 1. Pengertian Perjanjian Hutang Piutang
Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 KUHPerdata, didefinisikan sebagai :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Tersirat arti dari pasal tersebut bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Pasal 1132 menegaskan : kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangnya padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Suatu piutang yang kreditornya diberikan hak istimewa itu dinamakan piutang yang diistimewakan. Menurut Pasal 1134 hak istimewa itu adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditor sehingga tingkatnya (kedudukannya) lebih tinggi dari pada kreditor-kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang itu. Orang-orang yang mempunyai hak istimewa adalah orang pemegang Gadai dan Hipotik.
Ketentuan yang tertulis dalam Undang-Undang tentang jaminan fidusia Pasal 1 ayat (3) berbunyi : “Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran”. Dan Pasal 1 ayat(7) berbunyi : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen”. Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang. Apa yang dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Antara orang yang membayar tanpa diwajibkan dan orang yang menerima pembayaran, oleh undang-undang ditetapkan suatu perikatan. Orang yang membayar berhak menuntutnya kembali, sedangkan orang yang menerima pembayaran berkewajiban mengembalikan pembayaran itu ( Pasal 1359 KUHPerdata). Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
101
Undang-undang menetapkan suatu perikatan antara dua orang, yaitu antara orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dan orang yang menderita kerugian karena perbuatan tersebut. Perikatan ini lahir dari undang- undang karena perbuatan seseorang, dalam hal ini suatu perbuatan yang melanggar hukum.
2. Syarat-syarat Perjanjian Hutang Piutang
Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berlaku untuk semua bentuk dan jeins perjanjian, yaitu:
a. Adanya kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian;
b. Adanya kecakapan berbuat dari para pihak;
c. Adanya perihal tertentu; dan d. Adanya kausa yang diperbolehkan.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan karena pelanggaran terhadap unsur subjektif dan objektif. Syarat subjektif digantungkan pada dua macam keadaan :
1. Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian;
2. Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.
Kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan.
E. METODE PENELITIAN A. Sumber Data
Untuk mencari membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka diperlukan sumber-sumber penelitian.
Penelitian ini merupakan Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis yakni:KUHPerdata dan Undang- undangJaminan Fiducia
b. Data Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode kepustakaan (Library Research),Metode kepustakaan adalah metode pengambilan data yang dilakukan dengan cara menggunakan bahan-bahan yang ada di perpustakaan seperti buku-buku, jurnal ilmu hukum atau artikel, majalah hukum, perundang-undangan, data-data yang diperoleh dari karya ilmiah dan internet, dengan permasalahan yang akan dibahas untuk menyempurnakan penelitian ini.
C. MetodeAnalisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahanhukumprimer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula. Selanjutnya data dianalisa
102
dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.
F. PEMBAHASAN
1. Kekuatan hukum eksekusi benda bergerak sebagai jaminan atas debitor wanprestasi berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Dalam eksekusi benda bergerak sebagai jaminan atas debitor wanprestasi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena eksekusi jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :
Pasal 29 :
Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia;
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Pasal 30 :
Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.
Pasal 31 :
Dalam hal benda yang yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32 :
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan 31, batal demi hukum.
Pasal 33 :
Setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Pasal 34 :
(1) Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;
(2) Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah diberikan somasi. Ada 3 cara eksekusi benda jaminan fidusia, yaitu :1
1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia. Yang dimaksud dengan titel eksekutorial yaitu tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan, yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita tanpa perantaraan Hakim;
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan dan;
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan (Pasal 29 UU Nomor 42 Tahun 1999).
1Ibid, hlm. 90
103
Dasar pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR merupakan bagian wewenang eksekusi di bawah kekuasaan Ketua Pengadilan Negeri2. Jadi, prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi fidusia ataupun penerima fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi. 3
Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia mewajibkan pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.4 Seperti dibahas sebelumnya bahwa jaminan fidusia tersebut mengikuti kemanapun benda jaminan tersebut berada. Jadi, seandainya karena alasan apapun, benda jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka fidusia atas benda tersebut tetap saja berlaku.5 Sebagaimana diketahui pada prinsipnya pemberi fidusia tidak boleh mengalihkan benda objek jaminan fidusia mengingat adanya pengalihan hak atas benda jaminan fidusia kepada pihak penerima fidusia. Karena itu, pihak pemberi fidusia tidak berwenang lagi untuk mengalihkan benda tersebut. Kekecualian atas larangan tersebut dibuka manakala hal tersebut dibenarkan secara tertulis oleh pihak penerima fidusia atau jika benda objek jaminan fidusia adalah benda persediaan (stock barang). Akan tetapi, untuk melindungi pihak penerima fidusia sebagaimana dijaminkan hutangnya dalam hal pemegang fidusia mengalihkan benda persediaan, maka pemberi fidusia diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan benda yang setara dalam arti jenis maupun nilainya.
Jaminan Fidusia merupakan jaminan yang memberikan hak istimewa, atau hak yang kedudukannya diistimewakan, yang disebut sebagai hak prevelege (preferensi). Adapun hak preferensi adalah hak dari kreditor pemegang jaminan tertentu untuk terlebih dahulu diberikan haknya (dibandingkan dengan kreditor lainnya) atas pelunasan hutangnya yang diambil dari hasil penjualan barang jaminan utang tersebut. Oleh Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 diberikan hak preferensi kepada penerima fidusia dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1). Hak preferensi ini baru dapat diperoleh pada saat didaftarkannya fidusia dikantor pendaftaran fidusia.6
Apabila terjadi hal tertentu maka jaminan fidusia oleh hukum dianggap telah dihapus. Kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hapusnya hutang yang dijamin oleh jaminan fidusia;
2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; dan 3. Musnahnya benda yang menjadi jaminan fidusia.7
Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin fidusia adalah sebagai konsekuensi logis dari karakter perjanjian jaminan fidusia yang merupakan perjanjian ikutan (assesoir). Jadi, jika perjanjian hutang piutang, atau piutangnya lenyap karena alasan apapun, maka jaminan fidusia sebagai ikutannya juga akan melenyap. Sementara itu, hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia juga wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu. Dan hapusnya fidusia akibat musnahnya barang jaminan fidusia tentu juga wajar, mengingat tidak mungkin ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan jika barang objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada. Hanya saja dalam hal ini, jika ada pembayaran asuransi atas musnahnya barang tersebut (misalnya asuransi kebakaran) maka pembayaran asuransi tersebut menjadi haknya pihak penerima fidusia berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, yang berbunyi :
2D.Y. Witanto, op.cit.hlm. 232
3Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, op.cit. hlm. 152
4Ibid, hlm. 153
5Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, cetakan ke-4, Bandung, 2012, hlm. 156
6Munir Fuady, op.cit. cetakan ke-1, hlm. 125
7Munir Fuady, op.cit. cetakan ke-4, hlm. 157
104
“musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b”.8
Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan fidusia, yaitu :9
1. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;
2. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, debitor atau pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.
Ada dua janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yaitu :
1. Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999; dan
2. Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitor cedera janji.
2. Proses Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Yang Tidak Dibuatkan Akta Notaris dan Tidak Didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang JaminanFidusia
Proses eksekusi terhadap objek perjanjian fidusia dilakukan bila debitor cedera janji atau wanprestasi. Dalam hukum perjanjian, jika seorang debitor tidak memenuhi isi perjanjian atau tidak melakukan hal-hal yang dijanjikan, debitor tersebut telah melakukan wanprestasi dengan segala akibat hukumnya dan harus menyerahkan objek jaminan fidusia agar dapat dilakukan eksekusi. Objek perjanjian fidusia, yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Jaminan Fidusia , yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik10. Objek yang dapat dieksekusi jika sudah ada putusan yaitu objek yang dieksekusi melalui titel eksekutorial. Titel eksekutorial akan dapat dilaksanakan jika kreditor memiliki sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Bila objek perjanjian fidusia tidak dibuatkan akta notaris dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran jaminan fidusia, dapat dieksekusi dengan parate eksekusi. Adapun parate eksekusi sebagai salah satu tahap eksekusi dalam fidusia yang tidak didaftarkan dalam akta notaris, paling sering ditemukan dalam lembaga Jaminan Gadai, dimana pihak pemegang gadai dapat atau bahkan selalu melakukan penjualan dimuka umum dengan kekuasaannya sendiri. Selain dalam lembaga gadai, juga dikenal dalam lembaga hipotek, hak tanggungan dan fidusia.11 Parate eksekusi adalah hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. KUHPerdata menentukan bahwa janji berupa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri menurut Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata dapat dimintakan oleh kreditor pertama agar dicantumkan secara tegas dalam perjanjiannya.12 Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia menyebutkan : “Apabila debitor cedera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri”.13 Parate eksekusi ini memberikan kemudahan kepada para kreditor pemegang jaminan untuk mengambil pelunasan atas piutangnya.14
Kekuasaan kreditor untuk melakukan parate eksekusi berdasarkan mandat dan kuasa yang diberikan oleh pemilik jaminan mengandung makna yang sedikit melenceng dari pengertian kuasa pada umumnya, karena jika kita bertumpu pada pengertian penjualan berdasarkan kuasa dari pihak debitor, maka penjualan itu harus berdasarkan kehendak si debitor secara sukarela, namun pada kenyataannya bahwa kekuasaan untuk menjual tersebut tetap dapat dilakukan oleh pihak kreditor, meskipun pihak debitor tidak menginginkannya.15 Kewenangan
8Munir Fuady, op.cit. cetakan ke-1, hlm. 126
9Salim, op.cit. hlm. 91
10Tim Redaksi Tatanusa, op.cit. hlm. 2
11D.Y. Witanto, op.cit. hlm. 191
12Ibid, hlm. 192
13Ibid, hlm. 193
14Ibid, hlm. 199
15Ibid,hlm. 207
105
parate eksekusi yang sejak semula telah dipegang oleh kreditor, baru dapat digunakan sejak debitor dalam keadaan wanprestasi, jika sampai dengan berakhirnya masa perjanjian ternyata tidak terjadi wanprestasi, maka kewenangan parate eksekusi tersebut tidak dapat digunakan oleh kreditor dan akan gugur dengan sendirinya sejak utang yang dijamin oleh jaminan tersebut dibayar lunas, karena sebagaimana sifat accesoir dari perjanjian jaminan yang selalu mengikuti perjanjian pokoknya, maka begitu perjanjian pokoknya selesai, dengan sendirinya perjanjian jaminan itu pun akan turut menjadi hapus. Dalam perjanjian kredit, jika debitor lalai tidak melakukan prestasi sebagaimana yang telah disepakati, maka sejak saat itu kreditor telah bisa menggunakan haknya untuk melakukan parate eksekusi walaupun secara kepatutan mestinya pihak bank akan melakukan somasi terlebih dahulu.
Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “debitor dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri yaitu bila perikatan itu mengakibatkan debitor harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.16 Dalam melakukan penjualan lelang dengan menggunakan parate eksekusi, nilai utang pokok berikut bunganya dan segala biaya-biaya lainnya yang harus dibayar oleh debitor harus jelas dan pasti berdasarkan perhitungan tagihan terakhir dan biaya-biaya lain namun dikurangi dengan jumlah pembayaran yang pernah dilakukan. Jika terjadi perselisihan mengenai nilai utang dan bunga, maka debitor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dan pengadilan akan memerintahkan untuk tidak dilakukan parate eksekusi sebelum nilai hutangnya menjadi jelas berdasarkan putusan pengadilan.17 Adapun kelebihan dari parate eksekusi antara lain :18
1. Penjualan itu berdasarkan kuasa (teori mandat) atau sebagai pelaksanaan haknya sendiri (teori eksekusi) yang diperjanjikan dengan pemberi jaminan;
2. Diluar hukum acara, dengan konsekuensi hukum acara sepanjang mengenai eksekusi tidak wajib diikuti;
3. Tidak perlu melalui atau didahului dengan penyitaan;
4. Tidak perlu menunjukkan grosse akta/sertifikat jaminan;
5. Tidak perlu ada flat eksekusi/penetapan dari pengadilan dari Ketua Pengadilan;
6. Tidak perlu somasi, kalau dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa dengan lewatnya waktu/tanggal tertentu saja debitor sudah dianggap dalam keadaan lalai.
Dan selain kelebihan tentunya terdapat kelemahan dari pada parate eksekusi ini yaitu :19
1. Jika dalam objek jaminan ternyata ada atau dikuasai oleh pihak ketiga maka pihak kreditor tidak bisa melakukan eksekusi riil terhadap keberadaan pihak ketiga tersebut;
2. Jika ternyata benda (objek yang dieksekusi tidak mencukupi untuk melunasi utang debitor, maka kreditor tidak dapat melakukan parate eksekusi untuk benda-benda lain yang tidak menjadi jaminan secara khusus dalam utang piutang tersebut;
3. Jika terjadi perlawanan/gugatan karena merasa keberatan atas adanya pelaksanaan penjualan lelang tersebut maka Ketua Pengadilan/Hakim dapat memerintahkan untuk menghentikan proses pelelangan tersebut dengan Putusan Provisi.
Beranjak dari parate eksekusi, adapun perjanjian secara di bawah tangan telah disinggung juga sebelumnya diatas, berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 mengenai penjualan secara dibawah tangan, tidaklah begitu jauh berbeda dengan parate eksekusi dan merupakan bagian dari parate eksekusi. Akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara para pihak dimana pembuatannya tidak dihadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Seperti telah disebutkan diatas, pada poin A, dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar di daerah yang
16Ibid, hlm. 204
17Ibid, hlm. 205
18Ibid, hlm. 209
19Ibid, hlm. 210
106
bersangkutan. Penjualan objek jaminan yang dilaksanakan secara sukarela dalam penjualan secara di bawah tangan ini, akan menghindarkan beberapa kerugian, antara lain :20
1. Kerugian dari biaya eksekusi yang dijalankan, karena pada akhirnya akan dibebankan pada pihak tereksekusi;
2. Kerugian dari nilai penjualan objek jaminan yang rendah dari proses eksekusi pelelangan;
3. Kerugian sosial di mata masyarakat, karena dengan adanya proses eksekusi secara paksa akan menjadi bahan perhatian masyarakat;
4. Kerugian-kerugian lain terhadap harta benda milik si tereksekusi karena tindakan paksa dari pelaksana eksekusi.
Dan pada akhirnya, pemberian syarat dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai kreditor penerima fidusia seenaknya melakukan penjualan di bawah tangan karena tanpa melalui prosedur lelang. Akibat hukum dari perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak melahirkan perjanjian kebendaan bagi jaminan fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti droit de suite(hak yang mengikuti bendanya ditangan siapapun benda tersebut berada) dan hak preferensi (hak istimewa) tidak melekat pada kreditor pemberi jaminan fidusia.21 Dalam praktik perbankan, masih banyak pihak kreditor penerima fidusia yang tidak mendaftarkan akta jaminannya. Faktor penyebabnya antara lain jangka waktu kreditnya hanya berlangsung selama tidak lebih dari satu tahun, dan nilai pinjaman kecil. Konsekuensi yuridis bagi kreditor yang tidak mendaftarkan akta jaminan fidusia tidak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia22, atau tidak mempunyai hak eksekutorial yang legal.
G. KESIMPULAN
1. Dalam eksekusi benda bergerak sebagai jaminan atas debitor wanprestasi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena eksekusi jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Ketiga cara eksekusi benda jaminan fidusia ini memiliki pengertian, yaitu :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia. Yang dimaksud dengan titel eksekutorial yaitu tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan, yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita tanpa perantaraan Hakim;
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan dan;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak.Dengan 3 cara pengeksekusian tersebut penerima fidusia dilarang untuk memiliki objek jaminan fidusia apabila debitor cedera janji.
2. Bila objek perjanjian fidusia tidak dibuatkan akta notaris dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran jaminan fidusia, dapat dieksekusi dengan parate eksekusi (hak atas kekuasaan sendiri) dan secara di bawah tangan berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam para tereksekusi (hak atas kekuasaan sendiri), kreditor berhak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan dankreditor juga memiliki wewenang untuk menjual objek jaminan fidusia meskipun debitor tidak menginginkannya dan hanya dapat digunakan jika debitor wanprestasi, dan gugur pada saat terpenuhinya prestasi tersebut. Dalam hal eksekusi, apabila hasil proses eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia dan apabila hasil eksekusi tidak mencukupi pelunasan hutang, debitor atau pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.
20Ibid, hlm. 275
21Tan Kamello, op.cit. hlm. 213
22Ibid,hlm. 216
107
Secara dibawah tangan, harus berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia dan dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar di daerah yang bersangkutan. Konsekuensi yuridis bagi kreditor yang tidak mendaftarkan akta jaminan fidusia tidak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
D.Y., Witanto. Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Bandung : Mandar Maju, 2015.
Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata. Cetakan ke-1. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2014.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Cetakan ke-4. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012.
Kamello, Tan. Hukum Jaminan Fidusia. Bandung : PT. Alumni, 2014.
Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2016.
Samosir, Djamanat. Hukum Jaminan. Medan : Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, 2014.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cetakan ke-20. Jakarta : PT. Intermasa, 2004.
……….Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Cetakan ke-3. Bandung : PT.
Alumni, 1986.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2015.
Widjaja Gunawan & Yani Ahmad. Jaminan Fidusia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
B. Peraturan Perundang-Undangan KUHPerdata
Tim Redaksi Tatanusa. 2016. Jaminan Fidusia UU No. 42 Tahun 1999. Jakarta : PT Tatanusa.