• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF. Available online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSPEKTIF. Available online"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Analisis Proses Politik Uji Mampu Baca Al-Qur’an Calon Anggota DPRA Dan DPRK Bagi Partai Politik Nasional Di

Provinsi Aceh

Analysis of the Political Process Test of Being Able to Read the Qur'an for Candidates for Members of DPRA and DPRK

for National Political Parties in Aceh Province

Nana, R. Hamdani Harahap & Heri Kusmanto*

Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Diterima: 21 Juni 2021; Disetujui: 15 Desember 2021; Dipublish: 01 Januari 2022 Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses politik terhadap pemberlakuan Uji Mampu Baca Al-qur’an bagi Partai Politik Nasional peserta Pemilu 2019 di Provinsi Aceh. Berdasarkan permasalahan, penulis memilih menggunakan penelitian kualitatif dalam penelitian ini, dimana penulis dapat menjelaskan bagaimana proses politik terhadap pemberlakuan uji mampu baca Alquran dan alasan partai nasional dalam menerima dan mengikuti uji mampu baca Al-qur’an calon legislatif pada pemilu 2019. Dalam regulasi Pemilihan Umum Serentak 2019 yang notabene tidak mengatur pelaksanaan tes membaca Alqur’an bagi bakal calon legislatif dari partai nasional tertapi di Aceh mensyaratkan aturan tersebut. Hasil penelitian ini tidak jauh dari asumsi awal penulis dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa proses politik uji mampu baca Alqur’an bagi partai politik nasional tidak hanya untuk mempertahankan syariat Islam sebagai bagian penting dari kekhususan Aceh yang tertuang dalam UUPA, juga sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan partai politik agar eksistensi dan elektabilitasnya terus meningkat dalam setiap tahapan pemilihan umum legislatif di Aceh. Dan Hal ini relevansi dengan teori aktor politik yang disebutkan oleh Mosca bahwa para aktor adalah pemegang posisi atau jabatan strategis di eksekutif yaitu di KIP Aceh dan memiliki pengaruh untuk menambah kebijakan dalam pemilu legislatif di Aceh demi untuk kepentingan Aceh sebagai wilayah Syariat Islam.

Kata Kunci: Analisis Proses Politik; Baca Al-Qur’an; Calon Anggota Dewan; Pemilu 2019; Provinsi Aceh Abstract

This study aims to identify and analyze the political process for the implementation of the Al-Qur'an Reading Ability Test for National Political Parties participating in the 2019 General Election in Aceh Province. Based on the problem, the author chose to use qualitative research in this study, where the author can explain how the political process towards the implementation of the Qur'anic reading test and the reasons for the national party in accepting and taking the test of being able to read the Qur'an for legislative candidates in the 2019 election. General Simultaneous 2019, which incidentally did not regulate the implementation of the Qur'an reading test for prospective legislative candidates from national parties, but in Aceh requires this rule. The results of this study are not far from the author's initial assumptions where the results of the study show that the political process of being able to read the Qur'an for national political parties is not only to maintain Islamic law as an important part of the specificity of Aceh contained in the UUPA, but also as an effort to fulfill the party's interests. politics so that their existence and electability will continue to increase in every stage of the legislative general election in Aceh. And this is relevant to the theory of political actors mentioned by Mosca that actors are the holders of strategic positions or positions in the executive, namely in KIP Aceh and have the influence to add policies in the legislative elections in Aceh for the sake of Aceh as an Islamic Shari'a area.

Keywords: Analysis of Political Process; Reading the Qur'an; Candidates for Council Members; 2019 election; Aceh Province

How to cite: Nana, Harahap, R.H. & Kusmanto, H. (2022). Analisis Proses Politik Uji Mampu Baca Al-Qur’an Calon Anggota DPRA Dan DPRK Bagi Partai Politik Nasional Pada Pemilu 2019 Di Provinsi Aceh. PERSPEKTIF, 11 (1): 231- 249.

*Corresponding author:

E-mail: [email protected] ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN 2541-5913 (online)

(2)

PENDAHULUAN

Tahun 1955 merupakan tahun pertama kali dilaksanakan pemilu di Indonesia, sebutan pemilu paling bersih begitu melekat pada masyarakat Indonesia pada waktu itu dengan dukungan dari para birokrat. Pelaksanaan pemilu merupakan bentuk pesta demokrasi, hal ini juga merupakan ciri dari Negara demokrasi yang menjalankan prinsip keterbukaan serta memprioritaskan kepentingan rakyat. Pemilu merupakan sebuah sarana untuk partai politik, institusi yang bertugas mencari dukungan dan pengaruh didalam suatu Negara. Tidak terkecuali dengan Indonesia partai politik juga mempunyai tujuan dan cita-cita yaitu mengisi berbagai posisi strategis dalam pemerintahan, baik dipusat maupun di daerah, partai politik mempunyai tujuan untuk berusaha mengagresasikan aspirasi masyarakat sehingga dapat tersalurkan. Dalam Negara demokrasi tujuan utama dari partai politik sebenarnya adalah untuk mengakomodir keinginan masyarakat, mengatur kehendak umum yang carut marut dan mendidik warga negara untuk bertanggung jawab secara politik.

Pemilu serentak yang dilaksanakan pada tahun 2019 yang lalu merupakan pemilu pertama kali yang dilaksanakan oleh Indonesia, menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden merupakan amanah perwujudan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang dirumuskan dan pembahasan rancangan Undang-Undang tersebut dilakukan oleh anggota DPR RI terpilih periode 2014-2019 serta diperkuat dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan teknis pemilihan umum secara khusus di beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Papua serta Aceh. Setelah Bencana Tsunami di Aceh yang terjadi pada Bulan Desember tahun 2004 yang meluluh lantakkan bumi seramoe mekkah yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, berselang beberapa bulan kemudian Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menempuh proses perdamaian damai dari konflik bersenjata selama lebih kurang 32 (tiga puluh dua) tahun lamanya, dengan perantara Organisasi The Crisis Management Initiative yang dipimpin oleh mantan presiden Finlandia

“Martti Ahtisaari” sebagai mediator antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI). Kesepakatan damai antara lain tertuang dalam Mou secara resmi

dan ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 agustus 2005 setelah melewati negosiasi panjang yang kemudian sebagai cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Saat itu bertepatan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, mengadopsi beberapa pasal dari Undang- Undang Otonomi Khusus Nomor 18 Tahun 2001 dan dituangkan dalam MoU serta menambahkan beberapa point tambahan yang sangat krusial terkait partisipasi politik di Aceh.

Substansi point tambahan antara lain memperbolehkan pengajuan calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah dan mengizinkan pembentukan partai politik lokal di Aceh untuk dapat bersaing memperebutkan kursi legislatif ditingkat lokal. Langkah tersebut merupakan sebuah cara dengan harapan dapat membantu memulihkan kondisi Aceh serta membantu proses demokratisasi di Aceh pasca konflik tersebut.

Lembaga yang menjalankan pemilihan umum disebut dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diseluruh Indonesia, secara umum untuk semua daerah sebutan untuk penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, sedangkan di Aceh disebut dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) hal ini berdasarkan penjabarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 yang diturunkan dari UUPA Nomor 11 Tahun 2006. Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (di tingkat provinsi) dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota mempunyai wewenang terhadap usulan pembentukan Komisioner KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu khususnya dalam hal rekruitmen.

Aceh merupakan salah satu provinsi yang berada dalam wilayah ujung barat Indonesia, disamping mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Aceh yang juga berpedoman pada Undang- Undang Pemerintahan Aceh, kehadiran Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 tentunya mempunyai warna tersendiri bagi Aceh dalam menjalankan demkorasi di bumi seramoe mekkah (serambi mekkah). Berjumlah 16 (enam belas) partai politik nasional dan 4 (empat) partai politik lokal di aceh lolos maju ke bursa Pemilu Serentak 2019. Peserta pemilu dari partai politik lokal dalam perhelatan demokrasi di

(3)

Aceh antara lain Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Daerah Aceh dan Partai Nanggroe Aceh.

Karena begitu kuatnya konsentrasi dalam politik dan juga peran sosial dalam politik yang diberikan kepadanya, maka dalam hukum dapat diintervensi oleh politik. Dalam sebuah lembaga pemerintahan, tentunya sebuah kebijakan selalu menjadi jalan yang terbaik untuk memperoleh kekuasaan dengan tujuan untuk kebaikan bersama, kepentingan khusus menjadi satu usulan kebijakan umum yang selanjutnya dituangkan dalam proses pembuatan kebijakan oleh badan legislatif dan badan eksekutif. Berbagai polemik dalam tahapan Pemilu 2019 Provinsi Aceh maupun di Kabupaten/Kota terjadi pada saat tahapan, salah satunya mengenai kekhususan Aceh dalam pelaksanaan pemilu seperti yang diamanatkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2018, Proses politik terhadap pelaksanaan tahapan yang sangat krusial yaitu Tahapan Uji Mampu Baca Alqur’an agar dapat dilanjutkan dengan tahapan penetapan daftar calon sementara dan daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, disamping mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga terdapat ketentuan kekhususan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Salah satu ketentuan khusus berlaku dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum legislatif di Provinsi Aceh adalah harus mampu membaca Alqur’an. untuk memenuhi syarat tersebut, maka perlu diadakan suatu proses yang dapat digunakan untuk menetapkan dan mengukur kemampuan bakal calon dalam membaca Al-

Qur’an. Proses tersebut dapat diimplementasikan melalui suatu mekanisme pengujian dengan standar dan metode yang pasti dan diberlakukan setara untuk setiap bakal calon yang di ajukan oleh partai politik sebagai calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

Secara eksplisit, dalam pasal 13 ayat 1 huruf c qanun nomor 3 tahun 2008 tentang partai politik lokal bahwa setiap calon anggota DPRA dan DPRK harus sanggub menjalankan Islam secara kaffah dan dapat membaca Alqur’an bagi yang beragama Islam, yang lebih menarik meski dari judulnya saja secara khusus ditujukan untuk partai politik lokal. Penerbitan petunjuk teknis pelaksanaan uji mampu baca Alqur’an oleh KPU RI serta yang rancu dalam teknis pelaksanaan tersebut juga mewajibkan partai politik nasional untuk mengikuti uji mampu baca Al-qur’an padahal aturan baca Alquran bagi partai politik nasional tersebut tidak ada sama sekali.

Ketentuan sanggub menjalankan Islam secara kaffah yang diterjemahkan dengan dapat membaca Al-qur’an bagi yang beragama islam seperti tertera dalam ayat 1 huruf b dan c pasal 13 serta juga diberlakukan untuk bakal calon anggota DPRA dan DPRK dari partai politik nasional. Pilihan rasional yang diambil oleh partai nasional dan semua calon legislatif yang ada di Aceh dalam menerima dan mau mengikuti uji mampu baca Alqur’an yang di berlakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang pada waktu itu dan dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP Kabupaten/kota adalah sebuah fenomena yang selalu terjadi pada setiap tahapan Pemilihan Umum Legislatif di Provinsi Aceh dan di Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Aceh.

KPU RI mengesahkan juknis Nomor 869/PL.01.4-Kpt/03/KPU/VII/2018 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tahap Uji Mampu Baca Al-qur’an Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Aceh, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, pengujian tersebut dilaksanakan haruslah dilaksanakan oleh Badan yang Independen dan Memiliki Kompetensi yang tepat. Pelaksanaan Tes membaca Alqur’an diselenggarakan pada ruang terbuka serta dapat dilihat oleh masyarakat banyak. Untuk mendukung tahapan kegiatan Uji Mampu Baca Alquran Bakal Calon Legislatif

di Aceh, KIP Aceh mempunyai tugas dan wewenang menyediakan tempat dan menetapkan para penguji yang melibatkan berbagai unsur diantaranya berasal dari LPTQ Aceh, Unsur Kemenag Aceh dan Unsur Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.

Hal serupa juga pernah terjadi pada pemilihan legislatif tahun 2014, KIP Aceh mengeluarkan sebuah aturan tentang teknis pelaksanaan uji mampu baca Alqur’an, padahal hal tersebut sama sekali tidak tertuang dalam undang-undang pemilu nasional. Tes uji mampu baca Alqur’an yang dilaksanakan oleh

(4)

KIP Provinsi Aceh maupun Kabupaten/Kota adalah merupakan perwujudan dari amanah Qanun Aceh nomor 3 tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal peserta pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Bab IV disebutkan bahwa terdapat beberapa syarat dan mekanisme anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Kota antara lain point pertama huruf c yaitu bakal calon legislatif harus sanggup menjalankan syariat Islam secara kaffah serta dapat membaca Alqur’an bagi yang beragama Islam, sedangkan point yang kedua adalah tentang kelengkapan administrasi bakal calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dijelaskan, bahwa untuk menjadi bakal calon legislatif harus dibuktikan dengan surat pernyataan kesanggupan menjalankan Syariat Islam bagi yang beragama Islam, dan surat keterangan dapat membaca Alqur’an yang dikeluarkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Uniknya lagi partai nasional pada pemilu 2019 yang lalu dengan begitu saja menerima dan mengikuti proses uji mampu baca Alquran padahal partai nasional secara pembentukan diatur dalam undang-undang nasional namun partai nasional tidak pernah menolak apalagi menggugat ke pengadilan terhadap Petunjuk Teknis yang dikeluarkan Komisi pemilihan Umum Republik Indonesia tersebut yang pada waktu itu mengambil alih beban tugas dan tanggung jawab KIP Aceh karena Gubernur Aceh tidak mau melantik komisioner KIP Aceh terpilih Periode 2018-2022 hasil penjaringan Tim Pansel yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Dari beberapa polemik yang terjadi pada Pemilu 2019 tetang Uji Kemampuan Baca Alqur’an Calon Legislatif dari aspek proses politik bagi partai politik nasional penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu barometer terwujudnya pemilu yang berkepastian hukum sehingga tidak terjadinya anomali, jujur dan adil sesuai dengan azaz pemilu, serta memperoleh kesempatan yang sama dalam pemilu baik untuk dipilih dan memilih tanpa adanya diskriminasi dan tanpa adanya potensi korban. Berdasarkan realitas diatas, penelitian ini akan menganalisis mengenai ‘Proses Politik Uji mampu Baca Al qur’an Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota pada Pemilihan Umum 2019 di Provinsi Aceh bagi partai nasional”.

Penelitian tentang Uji Mampu Baca Alqur’an Calon Anggota DPRA dan DPRK/kota di Provinsi Aceh pada Pemilu 2019 bagi partai politik nasional menurut hemat penulis belum ada yang melakukan, namun beberapa penelitian yang relevan yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan antara lain:

Oky Spinola Idroos Mahasiswa Fakultas Magiter Ilmu Hukum UNSYIAH dalam Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Volume 3, Nomor 3, Agustus 2015 dengan judul Uji Mampu Baca Alqur’an bagi bakal calon legislatif di Aceh dalam pemilu dari partai politik nasional pada pemilu 2014 di Provinsi Aceh mengatakan bahwa Uji mampu baca Al-Qur’an merupakan salah satu syarat bagi Bakal Calon legislatir di Aceh untuk dapat maju dalam pencalonan pemilu 2014.

Pentunjuk teknis yang dirumuskan oleh KIP Aceh tentang teknis baca Al-quran yang mewajibkan partai nasional dan partai lokal untuk mengikuti baca Al-quran menjadi suatu polemik di Aceh. Namun Apakah layak Qanun yang merupakan turunan dari undang-undang pemerintahan Aceh melangkahi Undang- Undang yang lebih tinggi. Keunggulan Penelitian ini menggunakan kajian hukum, dan lebih menekankan kepada makna perbedaan penafsiran dalam bahasa yang diadopsi dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 yang berbunyi “dapat” sedangkan dalam juknis baca Alqur’an yang dirumuskan KIP Aceh pada tahun 2014 mengggunakan bahasa “mampu”

sehingga penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis teliti. Perbedaannya terletak pada proses politik terhadap perumusan kebijakan pemberlakuan Tes Uji Mampu Baca Alqur’an Calon Anggota DPRA dan DPRK Bagi Partai Politik Nasional.

Marini, perihal hak politik, anggota Panwaslih Aceh. Bawaslu 2019, terhadap pemberlakuan uji mampu baca Al-quran Calon legislatif Anggota DPRA dan Anggota DPRK yang ada di Aceh mengatakan bahwa apabila partai politik nasional merasa prinsip keadilan dan kesetaraan belum dapat dirasakan dalam pelaksanaan pemilu 2019 dalam hal pemberlakuan uji mampu baca Alqur’an bagi partai nasional, maka partai politik nasional dapat melakukan uji materil terhadap ketentuan tersebut. Qanun dapat diuji oleh

(5)

Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Zahlul Pasha Karim, Pengajar Pada Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam Elektoral Research Yang Berjudul Sengkarut Lembaga Pemilu di Antara Tiga Aturan Studi Terhadap KIP Aceh yang mengatakan bahwa sejatinya aturan bagi KIP Aceh harus disesuaikan dengan UU Pemilu, bukan dengan UUPA sebab UUPA nyatanya bukanlah aturan khusus pemilu, melainkan aturan umum tentang kewenangan pelaksanaan otonomi khusus Aceh. Dan didalamnya hanya mengatur sedikit tentang pelaksanaan dan kelembagaan pemilu. jadi apabila terdapat aturan yang sangat khusus terhadap pemilu, terhadap asas preferensi hukum, regulasi pemilu dalam UUPA haruslah disesuaikan lebih khusus dengan UU Pemilu.

Penelitian yang dilakukan oleh Trever Knight (2001) tentang Keadilan Pemilu untuk Orang Aborigin di Kanada Vol 46 yang mengatakan bahwa Sejak Konfederasi, orang Aborigin telah ditolak perwakilan yang efektif di lembaga demokrasi pusat Kanada. Ini pertama kali disebabkan oleh penolakan terhadap hak pilih, tetapi hari ini adalah hasil dari bekerjanya sistem pemilu SUP. Untuk mengatasi kegagalan sistem tersebut dengan memberikan representasi yang pasti kepada orang-orang Aborigin. Hal ini serupa dengan tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat dan Selandia Baru untuk memberikan perwakilan yang lebih besar bagi kelompok minoritas di sana.

Penelitian yang dilakukan oleh Michael Addaney and Michael G dan Nyarko Eds (2020) yang yang mengatakan bahwa Pemilu bisa jadi kontroversial dan perselisihan bisa muncul di setiap tahap proses pemilu. Piagam Afrika tentang Demokrasi. Pemilu dan Pemerintahan mensyaratkan negara-negara pihak untuk membangun dan memperkuat mekanisme nasional yang menangani sengketa terkait pemilu secara tepat waktu.

Penelitian yang dilakukan oleh David Efendi, Haedar Nashir, Achmad Nurmandi Vol.

73 No. 11 November 2017. Yang mengatakan bahwa Studi ini memberikan kontribusi perspektif baru tentang peran organisasi keagamaan dalam prosedural demokrasi. Dari perspektif kajian agama, ditemukan bahwa kerangka teologis, identitas politik, dan

preferensi kelompok agama beradaptasi dengan realitas sosial politik yang baru.

Perspektif ilmu politik menunjukkan mobilisasi itu pendekatan harus dipelajari secara dominan dalam organisasi keagamaan. Meminjam lembaga baru Teori ekonomi, Muhammadiyah sebagai organisasi, diartikan sebagai kelompok yang erat melalui Mekanisme kelembagaan mencakup penyebab yang lebih dalam karena mereka membentuk insentif struture untuk organisasi dan individu. Elit lokal Muhammadiyah menerjemahkan kerangka teologis baru untuk pemilihan bupati lokal di konteks pemaksimalan nilai agama. Temuan ini bertentangan dengan Muhammadiyah perilaku pemilu di tingkat nasional dengan tiga karakteristik internal-kecenderungan untuk dihindari politik partisan, investigasi rasional independen dan elit terpecah.

Penelitian yang dilakukan oleh Gary N.

Marks, Paula Mc Donell dalam International Journal of Public Opinion Research, Volume 8, Issue 1, SPRING 1996, Pages 31–50, Published:

01 March 1996 yang mengatakan bahwa keputusan Pengadilan Tinggi Australia atas kasus Mabo, yang mengizinkan hak penduduk asli untuk orang Aborigin Australia, menjadi masalah politik utama selama paruh kedua tahun 1993. Partai Buruh yang memperjuangkan masalah ini menunjukkan perubahan mendasar dalam politik Australia seperti yang diprediksi oleh 'baru ahli teori politik seperti Ronald Inglehart.

Penelitian yang dilakukan oleh Geoffrey Evans, Shreya Sarawgi, Katrin Voltmer dalam International Journal of Public Opinion Research, Volume 25, Issue 1, Spring 2013, Pages 119–131, Published: 22 May 2012 hasil nya adalah Teori demokrasi liberal arus utama terutama menekankan persaingan sebagai kekuatan pendorong yang menjamin kelangsungan hidup pemerintahan demokratis.

Ketika partai politik dan kandidat bersaing untuk mendapatkan mayoritas elektoral, diyakini bahwa pemimpin terbaik dan proposal kebijakan terbaik pada akhirnya akan menang (Downs, 1957; Schumpeter, 1954).

Penelitian yang dilakukan oleh Doh Chull Shin, Chong-Min Park, Ah-Ran Hwang, Hyeon- Woo Lee, Jiho Jang dengan judul The Democratization of Mass Political Orientations in South Korea: Ascertaining the Cultural Dimension of Democratic Consolidation dalam International Journal of Public Opinion

(6)

Research, Volume 15, Issue 3, September 2003, Pages 265–284, Published: 01 September 2003 hasil penelitian menunjukkan Dalam gelombang demokratisasi global saat ini, Korea Selatan (selanjutnya Korea) secara luas dianggap sebagai salah satu contoh paling sukses.

Penelitian yang dilakukan oleh Daniel N.

Lipson dengan judul Affirmative Action’s Severed Civil Rights Roots in the Age of Diversity December 2008 | Vol. 6/No. 4, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tindakan afirmatif berbasis ras tersebut telah lebih tepatnya memperdalam akar mereka di Amerika Serikat sebagai hasilnya munculnya kebijakan keragaman rasial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses politik terhadap pemberlakuan Uji Mampu Baca Al- qur’an bagi Partai Politik Nasional peserta Pemilu 2019 di Provinsi Aceh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan apakah proses politik pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an bagi calon anggota DPRA dan DPRK di Provinsi Aceh pada pemilu 2019 murni sebagai upaya mempertahankan kekhususan Aceh ataukah ada unsur kepentingan politik lainnya bagi individu atau aktor yang melatarbelakangi lahirnya juknis uji mampu baca Alqur’an pada pemilu 2019 bagi calon Anggota DPRA dan DPRK bagi partai nasional di Provinsi Aceh.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang ingin diteliti, penulis memilih menggunakan penelitian kualitatif dalam penelitian ini, dimana penulis dapat menjelaskan bagaimana proses politik terhadap pemberlakuan uji mampu baca Alquran dan alasan partai nasional dalam menerima dan mengikuti uji mampu baca Al-qur’an calon legislatif pada pemilu 2019. Dalam regulasi Pemilihan Umum Serentak 2019 yang notabene tidak mengatur pelaksanaan tes membaca Alqur’an bagi bakal calon legislatif dari partai nasional tertapi di Aceh mensyaratkan aturan tersebut.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder: Data primer bersumber dan diperoleh dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan karena dalam penelitian ini akan menggali berbagai macam alasan dari informan terhadap proses

politik pemberlakuan Uji Mampu Baca Alqur’an Calon Anggota DPRA dan DPRK/Kota pada Pemilu 2019. wawancara langsung kepada informan secara tatap muka dengan mengajukan berbagai pertanyaan penelitian.

Dengan pendekatan semi terstruktur sehingga peneliti dapat melakukan observasi dengan cara memperhatikan mimik wajah informan, respon informan saat ditanya, dan keadaan informan sebelum dan setelah melakukan wawancara untuk mendapatkan kedalaman penggalian informasi.

Untuk mendapatkan informasi yang spesifik dan akurat, maka informan dalam penelitian ini yaitu pihak-pihak yang memiliki peranan yang terkait secara langsung Pemberlakuan Uji Mampu Baca Al-Qur’an Calon Angggota DPRA dan DPRK/kota di Provinsi Aceh Pemilu 2019. Karena tujuan utama mewawancarai informan adalah untuk memperoleh jawaban dari sebuah penelitian dan memperoleh data dan informasi dari informan. Informan Kunci; Ilham Saputra, S.IP, Plt. Ketua KPU RI yang mengetahui tentang mekanisme pemberlakuan uji mampu baca Alqur’an yang diadopsi dari Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2008 dan dituangkan dalam petunjuk teknis uji mampu baca Alqur’an Calon Anggota DPRA dan DPR Kabupaten/Kota. Samsul Bahri (Tgk. Tiyong), Anggota DPR Aceh Periode 2009 Fraksi Partai Aceh, Anggota DPR Aceh Periode 2019-2023 Fraksi PNA yang terlibat dalam Pembahasan Rancangan Qanun, dan Sekaligus Terlibat dalam Tes Uji Mampu Baca Alqur’an Mulai sejak Pemilu 2009. Ahmad Darlis, Kabag Hukum KIP Aceh, yang mengetahui tentang Perumusan Teknis Baca Alqur’an Calon Anggota DPRA dan DPR Kabupaten/Kota di Aceh pada Pemilu 2019.

Data Sekunder yang penulis kumpulkan berupa buku, jurnal nasional dan jurnal international yang relefan dengan penelitian serta dokumen pendukung lainnya seperti Undang-Undang Pemilu Nasional, UUPA, dalam Qanun Nomor 3 tahun 2008 yang berkaitan dengan pemilu. Data lainnya yaitu PKPU, Keputusan KPU, Keputusan KIP Aceh, dan surat-surat yang terkait dengan tahapan pencalonan legislatif, dan informasi dari berbagai media cetak dan media elektronik, serta hasil studi dari berbagai literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian.

(7)

Setelah data diperoleh dan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mengolah data tersebut, seperti yang dikemukakan oleh creswell teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data dengan konten. Data tersebut di analisis berdasarkan isi pembicaraan narasumber.

Manusia sebagai sumber informasi maka informasi yang diberikan oleh narasumber berdasarkan fakta dan peristiwa yang terjadi di lapangan, sehingga setelah informasi diperoleh dari individu-individu yang secara langsung terlibat dalam proses politik pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an calon anggota DPRA dan DPRK di Provinsi Aceh selanjutnya adalah menganalis secara konten sehingga menjadi tambahan informasi yang dapat dianalisis dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Politik Uji Mampu Baca Alqur’an Calon Anggota Dpra Dan Dprk Bagi Partai Politik Nasional Pada Pemilu 2019

Dalam proses politik terhadap pemberlakuan Tes Uji Mampu Baca Alqur’an Penulis juga meneliti dari sisi UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh selain berpedoman pada regulasi pemilihan umum secara nasional yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu serentak tahun 2019. Aceh juga menerapkan beberapa point tentang kekhususan dan keistimewaan Aceh yang dituangkan dalam UUPA, sehingga berlatarbelakang regulasi tersebut tersebut lahirlah Petunjuk teknis Uji mampu baca Alqur’an yang awalnya diberlakukan bagi Partai Politik Lokal akan tetapi pada kenyataannya pengaplikasian nya dalam pemilu 2019 dalam petunjuk teknis yang ditetapkan oleh KPU RI tentang Tes Uji Mampu Baca Alqur’an di Provinsi Aceh diwajibkan juga bagi Partai Politik Nasional.

Tanggal 11 Juli 2006 Akhirnya Rancangan UUPA disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan pada tanggal 1 Agustus 2006 disahkan oleh Presiden SBY menjadi UUPA yang terdiri dari 40 bab dan 273 pasal dan dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633, yang berbeda dalam penyusunan RUU- Pemerintah Aceh sebenarnya hanya terletak pada proses penyusunannya melibatkan pada

sebagian besar elemen masyarakat sebelum dibahas oleh DPR dan Presiden.

Hal ini menandai babak baru di Aceh dalam hal berdemokrasi, paradigma berfikir masyarakat Aceh semakin bereforia untuk memajukan Nanggroe Aceh Darussalam dibawah Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus diberikan Pemerintah Indonesia seluas-luasnya bagi Aceh.

Pengesahan qanun-qanun tersebut diatas semuanya adalah hasil kerja keras para aktor lokal yang ada di Aceh yang bernaung di DPR Aceh yang kesemuanya itu berasal dari perwakilan fraksi-fraksi partai politik nasional.

Dalam pelaksanaan pemilu legislatif 2009 di Aceh, KIP Aceh berdasarkan pasal 13 ayat 1 huruf c Qanun nomor 3 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa setiap calon anggota DPRA dan DPRK di Aceh harus sanggub menjalankan syariat Islam secara kaffah dan dapat membaca Alqur,an bagi yang beragama Islam. Syariat Islam dan Qanun di Aceh merupakan hasil dari konflik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia adalah salah satu formalisasi dan legalisasi Syariat Islam di Aceh. Pemberian hak untuk formalisasi Syariat Islam di Aceh diberikan guna mengakhiri konflik vertikal yang berkepanjangan.

Dalam akumulasi konflik di Aceh yang asal muasalnya memiliki akar politik yang sangat mendalam dan terjadi sepanjang sejarah Aceh. Berbagai cara dan kebijakan ditempuh oleh Pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh.

Kebijakan yang dianggap sebagai solusi bagi provinsi Aceh adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.

Walaupun terakhir pada tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Menandatangani Perjanjian Damai yang tetuang dalam MoU Helsinky. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan setelah keluarnya UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 18 Tahun 2001, hal mendasar dalam Undang- Undang tersebut adalah adanya pemberian kesempatan yang luas untuk mengatur dan

(8)

mengurus rumah tangga nya sendiri, menggali dan memberdaya Sumberdaya Alam dan Sumber Daya Manusia sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh seperti yang terakhir dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberi peluang semakin besar bagi Aceh untuk mengurus sendiri pemerintahannya.

Pengertian Syariat Islam di Aceh menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 adalah tentang ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Syariat Islam dipraktekkan secara luas dan dalam mencakup dalam semua lini antara lain bidang pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi dan lainnya.

Berangkat dari hal tersebut Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan Syariat Islam secara formal. Instrumen hukum tersebut terdiri dari Qanun yang membahas masalah spesifik seputar pemberlakuan Syariat Islam.

Setelah penandatangan MoU Helsinky, pemikiran rakyat Aceh mulai bereforia hal ini dapat dilihat setelah pengesahan Undang- Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006 yang tak lama kemudian Aceh dihadapkan pada tahapan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati tahun 2006.

Tentunya DPR Aceh sebelum melaksanakan tahapan Pemilihan Kepala Daerah di Aceh sudah memikirkan langkah strategis yaitu dengan merumuskan serta membahas tentang Qanun tentang pelaksanaan Pilkada di Aceh pada tahun 2006. Pengesahan Qanun Nomor 2 tahun 2004 silam tentang Pilkada Aceh dimana dalam pasal 33 ayat (2) huruf (b) mengatur tentang syarat calon Kepala Daerah harus mampu membaca Alqur’an.

Menurut Tengku Faisal Aly fasih dalam membaca Alqur’an bukan berarti hanya pada sebatas bisa membaca dengan indah dan menafsirkan saja, akan tetapi lebih harus mampu “membumikan” kandungan isi Alqur’an di Negeri Serambi Mekkah dan apabila mendapat sosok kepala Daerah yang seperti itu dipastikan akan menjadi sosok pemimpin yang dirindukan mayoritas masyarakat. Mayoritas rakyat Aceh tidak akan menolak jika persyaratan bisa baca Alqur’an bagi setiap calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang akan turut dalam Pilkada 2006.

Sangat memalukan jika ada elemen masyarakat, apalagi anggota DPRD Aceh yang tidak mendukung persyaratan bisa baca sekaligus menafsirkan dengan baik Alqur’an bagi setiap calon Kepala Daerah di Aceh semakin banyak persyaratan agama yang diberikan calon pemimpin di Aceh maka akan semakin baik roda pemerintahan yang akan dijakankannya juga akan lebih sempurna dan

‘amanah”. Dan jika seorang pemimpin itu benar-benar memiliki dasar keimanan yang kuat, cerdas dan bermoral tinggi maka akan terhindar dari berbagai cobaan duniawi sehingga tidak serakah dan memperkaya diri sendiri. Pemimpin yang memiliki fondasi agama, katanya tidak akan menelantarkan rakyat karena ia secara langsung bertanggung jawab kepada sang pencipta.

Pengesahan Qanun Nomor 2 tahun 2004 tentang pemilihan Kepala Daerah di Aceh adalah sebagai langkah awal bagi Aceh untuk memajukan Aceh pasca konflik. Setelah pengesahan Qanun Aceh nomor 2 tahun 2004 yang terakhir direvisi menjadi Qanun nomor 7 tahun 2006 tentang Pilkada di Aceh. Agenda Utama KIP Aceh terpilih waktu itu adalah dengan menyelenggarakan pelaksanaan tahapan Pilkada di Aceh untuk memilih Kepala Daerah Di Aceh baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

Awal mula pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’an diterapkan pada pelaksana pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Aceh pada tahun 2006, munculnya ide terhadap pelaksanaan tes baca Alqur’an tersebut adalah hasil kerja keras para aktor politik yang berasal dari DPR Aceh fraksi partai politik nasional yang pada waktu itu mengesahkan Qanun tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Aceh yang memuat beberapa point tentang syarat calon Gubernur, Bupati dan Walikota di Aceh agar dapat menjalankan syarita Islam secara kaffah di Aceh, hal ini menunjukkan bahwa partai politik nasional juga menerima akan pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an dalam pemilihan pertama sekali yang dilaksanakan di Aceh pasca damai di Helsinky dan juga untuk pertama sekali menerapkan pencalonan kepala daerah dari jalur calon Independen. Tentunya langkah yang di ambil aktor lokal yang menduduki jabatan strategis di DPR Aceh tersebut merupakan suatu hal yang

(9)

rasional yang berdasarkan kesadarannya merumuskan dan membahasan kebijakan tentang Qanun tentang pemilihan Kepala Daerah di Aceh tahun 2006 karena langkah yang diambil aktor lokal yang substansinya tentang “sanggub menjalankan syariat Islam secara kaffah dan mampu membaca Alqur,an.

Karena bagi masyarakat Aceh siapa pun yang ingin menjadi pemimpin yang ada di Aceh maka bakal calon tersebut harus mampu mengaplikasikan syarat sanggub menjalankan syariat Islam secara kaffah yang artinya menyeluruh tersebut adalah untuk mempertahankan identitas kedaerahan dan juga mempertahankan keistimewaan Aceh. Pun kendati demikian masyarakat Aceh menilai apabila seorang bakal calon sudah bisa membaca Alqur’an tentunya hal ini akan bisa menjaga si bakal calon tersebut apabila terpilih kedepan menjadi pemimpin di Aceh, maka segala tindak tanduk dalam rangka memajukan pembangunan di Aceh baik segi ekonomi, pendidikan, dan politik maka si bakal calon tersebut akan terbentengi dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilihan di Aceh, KIP Aceh yang terbentuk berdasarkan Qanun Nomor 7 Tahun 2007 melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam setiap rangkaian kegiatan tahapan pemilu dengan berpedoman pada Undang- Undang Pemilu Nasional, Undang-Undang pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 dengan tidak mengesampingkan tentang pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dan menyeluruh.

Seiring dengan perkembangan politik di Aceh dimana perkembangan politik menghendaki ada sebuah ukuran standar bagaimana seorang itu dapat menjalankan syariat Islam yaitu dengan diuji bakal calon harus mampu baca Alqur’an.

Sedangkan menurut salah satu wawancara dengan informan tambahan bahwa bagi masyarakat Aceh ini hal baca Alqur’an ini merupakan pemenuhan syarat dasar bagi masyarakat Islam, karena sejak dulu memang sudah diterapkan pada masa Sultan Aceh menjabat.

Individu sebagai aktor dalam Perumusan Juknis Tes Membaca Alqur’an Bagi Calon Legislatif Dari Partai Nasional Dalam Pemilu 2019 di Provinsi Aceh.

Pada Pelaksanaan Pemilu Legislatif di Aceh 2019 yang lalu, proses politik terhadap perumusan regulasi petunjuk teknis uji membaca Alqur’an pada bagi bakal calon legislatif khususnya bagi partai politik nasional adalah tidak terlepas dari upaya-upaya aktor yang terlibat didalamnya yang dengan berpedoman pada pelaksanaan pemilihan umum pada tahun-tahun sebelumnya di Aceh.

Hal ini juga tidak terlepas dari pada dukungan- dukungan dari partai politik peserta pemilu 2019 khususnya partai politik nasional karena walaupun secara regulasi partai politik nasional ini berpedoman pada regulasi nasional akan tetapi karena partai politik nasional tersebut berdomisili di Aceh, maka segala aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh juga harus diikuti oleh partai politik tersebut.

Dukungan yang sama juga disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang pada dasarnya berkaitan dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang terakhir dituangkan dalam UUPA Nomor 11 Tahun 2006 dimana dalam pelaksanaan pemilu legislatif di Aceh ada syarat tambahan tentang pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’am di Aceh yang mewajibkan partai politik nasional.

Dukungan-dukungan yang diberikan oleh partai politik baik lokal maupun nasional dalam tahapan pemilu 2019 khususnya dalam tahapan tes uji mampu baca Alqur’an. hal ini terlihat sepanjang akan menjelang pelaksanaan tes baca Alqur’an para bakal calon dari partai politik beramai-ramai mempelajari baca Alqur’an agar fasih sesuai harakat, makhraj, dan maad. Hal ini dibenarkan oleh oleh pengurus partai politik nasional yaitu ketua harian Partai Amanat Nasional, beliau mengatakan bahwa ini merupakan hal yang positif bagi Aceh, antusias para bakal calon dalam mempelajari Alqur’an terlihat pada saat menjelang tahapan pencalonan dalam pemilu legislatif di Aceh. Bahkan ada beberapa partai politik nasional membuat strategi agar supaya bakal calon yang diusung nya dapat lolos dalam tes uji mampu baca Alqur’an yaitu dengan mengundang Para Ustad yang paham akan metode pengajian yang sesuai dengan penilaian makhrajul huruf, harakat dan maad.

Ini jelas terlihat bahwa begitu antusiasnya partai politik dan para bakal calon yang diusung dalam pemilihan umum legislatif di Aceh agar dapat maju dan lolos dalam tes uji

(10)

mampu baca Alqur’an. dan hal ini menurut saya siapa pun orang di Aceh apabila tidak bisa mengaji mungkin si bakal calon tersebut akan malu. Karna mustahil orang Aceh tidak bisa baca Alqur’an. dan hal ini merupakan suatu bentuk dari kentalnya adat dan budaya terhadap terkait agama Islam di Aceh. Dan jika partai politik atau pun pejabat pejabat yang menduduki pemerintahan di Aceh menolak tentunya ini akan mengundang pro dan kontra dari masyarakat Aceh sendiri karna seperti yang kita lihat dan kita ketahui bahwa masyarakat Aceh begitu fanatik dengan agama, adalah merupakan hal yang tabu jika ada masyarakat Aceh yang tidak bisa baca Alqur’an karna hal ini sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh sejak terun temurun dari zaman penjajahan dahulu kala sebelum Indonesia merdeka.

Dinamika politik terjadi pada pemilu 2019 yaitu saat tahapan pencalonan Anggota DPD RI. Komisioner terpilih periode 2013-2018 memasuki masa purna tugas, sedangkan komisioner terpilih 2018-2022 hasil penjaringan DPR Aceh oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tidak mau melantiknya. Polemik tentang masa jabatan komisioner KIP Aceh antara Gubernur Aceh dan DPR Aceh yang menyebabkan pelantikan urung dilaksanakan sehingga dengan dasar untuk menghindari kekosongan maka KPU RI mengambil alih beban tugas dan wewenang dan tanggung jawab KIP Aceh sampai dengan pelantikan komisioner terpilih dilantik oleh Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan Pemilihan Umum Serentak tahun 2019 Pasal 555 ayat (3) dalam Buku Keenam Penutup BAB I Ketentuan lain- lain menjelaskan apabila terjadi hal yang mengakibatkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan tugasnya, KPU setingkat di atasnya melaksanakan tahapan Penyelenggaraan Pemilu untuk sementara waktu sampai dengan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat menjalankan tugasnya kembali. Yang artinya Bahwa lembaga pemilu ini berkesinambungan, apabila disatu tingkatan penyelengenggara pemilu berhalangan artinya habis masa jabatan, diberhentikan oleh DKPP, maka tahapan pemilu ini tidak boleh berhenti dan terus berjalan, berkelanjutan karena ini adalah

agenda nasional maka diambil alih oleh lembaga setingkat diatasnya dalam hal ini KPU.

KPU karena ini kaitannya dengan tahapan Pemilu DPRA dan DPRK maka dia tunduk pada aturan Qanun di Aceh. Karena Qanun ini sudah berlaku sejak pemilu 2009, Qanun adalah aturan lokal dan penyelenggara itu adalah KPU dan justeru tidak ada masalah, karena Qanun ini sudah diuji oleh menteri dalam negeri sebelum pengesahannya. Justeru kalau KPU tidak melaksanakan aturan Qanun atau meniadakan tes uji mampu baca Alqur’an maka akan menyalahi aturan.

Dinamika politik juga terjadi di tubuh KIP Kabupaten/Kota pada waktu itu apalagi pada saat itu salah satunya adalah banyak Komisioner terpilih di Kabupaten/Kota hasil penjaringan DPRK/Kota tidak langsung serta merta dilantik oleh Bupati dan Walikota masing-masing sehingga beban tugas dan tanggung jawab tahapan pemilu 2019 diambil alih oleh KIP Aceh dan Tim Sekretariat KIP Aceh maupun Tim Sekretariat Kabupaten/kota menjadi suporrting system dalam menyelenggarakan tahapan pemilu di Aceh dan Kabupaten/Kota masing-masing.

Dalam proses politik perumusan regulasi juknis uji mampu baca Alqur’an dalam tahapan pemilu 2019 yang lalu di Aceh tidak terlepas dari pada Individu-individu yang dipandang sebagai aktor dengan jaringan kekuasaan dan posisi yang aktor miliki yang akhirnya menciptakan suatu keputusan dan berusaha mempengaruhi individu-individu lain supaya keputusan tersebut dapat diterima. Tindakan yang ditempuh oleh individu tersebut adalah merupakan suatu hal untuk mencapai suatu tujuan. Individu-individu yang dianggap sebagai aktor tersebut yang terlibat dalam perumusan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tes Uji Mampu Baca Alqur’an.

Sumberdaya.Sumber daya merupakan hal-hal yang dikendalikan aktor dan yang diinginkannya. interaksi antara aktor dan sumber daya secara rinci menuju ke tingkat sistem sosial. Basis minimal oleh sistem sosial tindakan yaitu dua aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Masing-masing aktor mempunyai tujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang saling memberikan ciri saling ketergantungan.

Tindakan aktor, akan tetap mengejar tujuan dalam situasi apapun dimana norma-norma

(11)

mengarahkannya dalam memilih cara alternatif dan alat untuk mencapai tujuan.

Secara khusus, dalam proses politik ditingkat lokal adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan baik itu berdasarkan kebijakan atau pun bukan. Proses politik biasanya didorong oleh aktor tertentu dalam suatu daerah tertentu yang memegang kekuasaan. Kebijakan biasanya lahir dari suatu kondisi sosial dalam wilayah tersebut dimana hal tersebut sudah menjadi suatu budaya atau adat istiadat. Aceh sebagai daerah yang menganut sistem syariat Islam dalam pemerintahan, tentunya semua elemen harus ikut mendukung hal tersebut, dalam pemerintahan di Aceh ada Majelis Permusyawaratan Ulama, Majelis Adat, hal ini sebagai bentuk dari kekhususan Aceh yang diberikan pemerintah kepada Aceh secara otonom. Dalam Pemilihan Umum maupun Pemilihan di Aceh, KIP sebagai Penyelenggara Pemilu maupun Pemilihan juga berpedoman pada aturan khusus tersebut. Salah satunya dengan menambah lagi satu syarat khusus dalam kegiatan tahapan pemilu maupun pemilihan, tahapan tersebut adalah tahapan Uji Mampu Baca Alqur’an yang dilaksanakan dalam tahapan setelah pendaftaran bakal calon legislatif selesai. Pilihan KIP Aceh terhadap penyelesaian tugas nya sebagai penyelenggara Pemilu maupun Pemilihan dalam menjaring calon legislatif yang berintegritas dan kompeten yaitu dengan merumuskan petunjuk teknis uji mampu baca Alqur’an. Hal tersebut merupakan suatu bentuk implentasi adanya tindakan politik yang dilakukan oleh KPU RI yang menganbil alih beban tugas KIP Aceh dalam merumuskan Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Alqur’an yang tidak hanya melibatkan calon anggota DPRA dari Partai Politik Lokal saja, tetapi juga mewajibkan juga kepada Bakal Calon Legislatif dari Partai Politik Nasional yang menurut penafsiran KPU dan KIP Aceh adalah merupakan suatu hal yang tepat dengan memperhatikan kondisi Aceh sebagai wilayah mempunyai hak otonom dalam mengelola wilayahnya. Sehingga, tipe tindakan tersebut jika ditinjau dari penggolongan tindakan yang dilakukan oleh Max Weber tergolong ke dalam tindakan rasionalitas instrumental. Rasionalitas instrumental (sarana-tujuan) yang jelaskan oleh Max Weber bahwa tindakan yang ditentukan berdasarkan harapan terhadap perilaku objek dalam

lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan dari pada aktor ataupun indvidu ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional.

Tindakan rasional instrumental ini, terdapat suatu pemikiran yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu sebelum memilih merumuskan Juknis Uji Mampu Baca Alqur’an tentang Pemberlakuan Tes Uji Mampu Baca Alqur’an Bagi Anggota DPRA bagi Partai Politik Nasional. Hal tersebut sangat tepat bagi penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU RI dan KIP Aceh. Pemikiran tersebut tentunya tidak terlepas dari manfaat atau tujuan yang nantinya hendak dicapai oleh Penyelenggara Pemilu. Tujuan tersebut diantaranya adalah memenuhi kewajiban hukum di Aceh yaitu mempertahankan kekhususan Aceh yang pertama seperti yang tertuang dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, dan yang kedua adalah UU Nomor 11 Tahun 2006. Sehingga, pilihan KIP Aceh dan KPU RI Pada saat tahapan pencalonan yang dilanjutkan dengan kegiatan tes uji mampu baca Alqur’an bakal calon legislatif pada tahun 2018 Pemilu 2019 di Provinsi Aceh merupakan salah satu alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Sarana tersebut juga melalui perhitungan tentang efisiensi dan efektifitas untuk mencapai tujuan yang diharapkan Penyelenggara Pemilu. Lain lagi dengan tindakan rasionalitas nilai yang mengutamakan nilai keagamaan yang ditentukan dengan tindakan kesadaran.

Rasionalitas nilai yang digunakan oleh Max Weber bahwa tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius, atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya.

Menurut James S. Coleman bahwa perhatiannya memfokuskan pada tingkat individu yaitu individu yang merupakan tempat dimana intervensi biasanya dilakukan untuk menciptakan perubahan-perubahan sosial.

Dengan menerjemahkan sanggup melaksanakan Syariat Islam secara kaffah sehingga diterjemahkan dalam mampu membaca Alqur’an dan untuk merealisasikan tersebut dibentuk TIM Penguji yang melibatkan unsur MPU, Kemenag Aceh, dan LPTQ untuk menguji Bakal Calon Legislatif pada Pemilu 2019. Sehingga, KIP Aceh dan KPU RI tetap memberlakukan Tes Uji Mampu baca Alqur’an

(12)

tersebut kepada semua calon anggota DPRA.

Tidak ada satu partai politik pun yang menolak maupun menggugat Penyelenggara Pemilu terhadap Pemberlakukan Tes Uji Mampu Baca Alqur’an, semua mengikuti nya dengan patuh.

Partai Politik peserta pemilihan umum dari partai politik lokal berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang kekhususan Aceh diwajibkan mengikuti uji mampu baca Alqur’an dan faktanya pula sejak pemilihan umum tahun 2009 s/d pemilihan umum tahun 2019 partai politik nasional bersedia mengikuti penambahan syarat bagi bakal calon. Sementara syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik nasional tidak tunduk kepada Qanun. Namun sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku secara nasional, akan tetapi yang terjadi dalam pemilihan umum tahun 2019 calon legislatif di Aceh dari Partai Politik Nasional tetap menerima dan melaksanakan kewajiban tersebut meskipun hanya tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tentang Partai Politik Lokal. Dalam proses politik pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an bagi semua calon anggota DPRA tidak terkecuali apakah dari partai politik lokal maupun partai politik nasional yang dilakukan oleh KIP Aceh dan KPU RI tentunya mempunyai pilihan-pilhan dan pilihan tersebut didasarkan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam berdasarkan kesadaran, efisiensi dan efektifitas dari nilai lebih atas setiap pilihan yang ada. KPU RI yang waktu itu mengambil alih beban tugas dan tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara ditingkat lokal yang melaksanakan kewajiban hukum berdasarkan pedoman pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 sebagai turunannya yang diturunkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 20008. Berbagai macam pertimbangan juga dipertimbangkan oleh KPU RI dan KIP Aceh yaitu dengan melaksanakan aturan Syariat Islam yang menyeluruh yaitu dengan mewajibkan semua calon legislatif yang maju dalam pencalonan Pemilihan Umum di Aceh untuk ikut tes uji mampu baca Alqur’an.

Hal ini, berdasarkan pada teori pilihan rasional James S. Coleman yang memiliki perhatian pada aktor sebagai individu yang memiliki maksud dan tujuan. Dalam artian, aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor juga

dipandang memiliki pilihan (preferensi) atau nilai.

Dasar membentuk pilihan, aktor menggunakan pertimbangan secara mendalam berdasarkan kesadarannya. Diadaptasi dari konsep pilihan rasional James S. Coleman, rasionalitas tersebut menjelaskan bahwa Juknis Uji Mampu Baca Alqur’an bagi calon anggota DPRA merupakan sumber daya. Aktor merupakan pelaku utama atau subyek yaitu Sekretariat KIP Aceh dan KPU RI, dan KIP Aceh terpilih yang memiliki ketertarikan dengan sumber daya yang nantinya akan dipilihnya.

Sumber daya adalah Petunjuk Teknis Uji Mampu baca Alqu’an dan juga pelaksanaan kegiatan tes uji mampu baca Alqur’an merupakan suatu kewajiban yang harus diselesaikan oleh Sekretariat KIP Aceh, KPU RI, dan KIP Aceh Terpilih. Aktor (penyelenggara Pemilu di Aceh) melihat dari Tes Uji Mampu Baca Alqur’an adalah untuk menghasilkan anggota legislatif yang islami dan berintegritas.

Aktor menganggap kepentingan untuk menyelesaikan kewajiban hukumnya yaitu merealisasikan “Sanggup menjalankan Islam secara Kaffah” adalah sesuatu yang rasional karena aktor memiliki kekuatan dalam menentukan pilihannya terhadap sumber daya.

Aktor memiliki tujuan yang hendak dicapai sebelum masuk pada pilihan atau nilai yang akan diambilnya. Maka, aktor mempunyai tujuan atau maksud untuk menyelesaikan. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pada aktor dan sumber daya adalah sama- sama ingin mempertahankan kekhususan Aceh dan juga dapat menghasilkan anggota legislatif yang islami dan berintegritas dalam menjalankan roda pemerintahan di Aceh kedepan.

Dukungan Partai Politik Nasional Terhadap Uji Mampu Baca Alqur’an.

Partai politik nasional juga mengapresiasi akan pemberlakuan syariat Islam dalam pemilihan umum di Aceh. Menurut Sulaiman Abda dari Golkar dalam Oki Spinola Idros, memang seharusnya semua caleg dari Aceh mendapatkan perlakuan yang sama, mengingat Aceh memiliki suatu kekhususan dalam sistem pemerintahan yang diberikan pemerintah pusat baik itu dalam politik, dan penyelenggaraan pemilu.

Ini jelas terlihat bahwa memang partai politik nasional tetap mengikuti aturan regulasi

(13)

tentang baca Alqur’an yang dikeluarkan oleh KIP Aceh yang dahulunya perrtama sekali dituangkan dalam Qanun Pilkada Aceh Tahun 2006. Sebagai partai politik yang sudah memiliki kekuatan besar di Aceh baik dari sisi struktur partai politik, keangggotaan, keuangan partai nasional tentunya tidak begitu merasa gundah akan pemberlakuan hal tersebut.

hampir semua informan mengatakan mendukung akan hal tersebut mengingat hal baca Alqur’an adalah kewajiban dasar sebagai seorang makhluk ciptaan Tuhan.

Analisis Kekhususan Aceh.

Pengesahan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Partai Politik Lokal adalah hasil pembahasan Pimpinan dan Anggota DPR Aceh yang waktu itu semuanya berasal dari Partai Politik Nasional. Ini jelas terlihat bahwa dari awal memang anggota legislatif yang menduduki kursi di DPR Aceh tidak pernah menolak akan hal itu. Setelah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Partai Politik Lokal yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dimana dalam pasal 13 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa “bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dari partai politik lokal harus memenuhi persyaratan yaitu sanggup menjalankan Syariat Islam secara kaffah dan dapat membaca Alqur’an bagi yang beragama Islam. Berangkat dari isi Qanun tersebut, Komisi Independen Pemilihan Aceh dalam menjalan kan tugasnya sebagai penyelenggara Pemilihan Umum dan Juga Penyelenggara Pemilihan dengan berdalih menjalankan kewajiban hukum yaitu hukum syariat maka Komisi Independen Pemilihan Aceh menerbitkan Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Alqur’an bagai bakal calon legislatif untuk semua partai paolitik baik lokal maupun nasional.

Syarat Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, berdasarkan Qanun Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Komisi Independen Pemilihan Aceh memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tentang uji baca Al Qur’an, yang dituangkan dalam Keputusan Komisi

Independen Pemilihan Aceh Nomor 3 Tahun 2013. Dalam hal melakukan verifikasi administrasi kelengkapan syarat bakal calon Anggota Legislatif, berdasarkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008, Komisi Independen Pemilihan Aceh mengeluarkan surat mampu uji baca Al –Qur’an.

Secara fakta dan dinamika politik pasca Mou Helsinky Partai politik lokal dibeberapa daerah mendominasi perolehan kursi saat pemilu legislatif. Bagi partai politik nasional tentunya kondisi ini perlu disingkapi agar eksistensi mereka sebagai partai politik masih dapat diterima oleh masyarakat.

Ini tentunya sesuai dengan Hadih Madja (pepatah lama orang Aceh) yaitu “adat ngon hukom lage zat ngon sifeut” yang artinya kebiasaan hidup termasuk politik dengan hukum (syariat) seperti zat dan sifat yang tidak mungkin dipisah ceraikan, karenanya pilihan partai nasional untuk mengikuti tes uji mampu baca Alqur’an adalah sesuatu yang rasional dan sesuai dengan prinsip kearifan lokal.

Komisi Independen Pemilihan Aceh sebagai lembaga penyelenggara Pemilu di Aceh selain memunculkan ide untuk penyusunan draft awal terhadap perumusan tes uji mampu baca Alqur’an juga menjalankan tahapan pemilu berdasarkan teknis pelaksanaan uji mampu baca Alqur’an karena KPU RI yang mengeluarkan keputusan tentang uji mampu baca Alqur’an bagi anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di Aceh. Tidak ada satupun calon legislatif maupun partai politik yang menolak akan pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an. Setelah pelaksanaan Tes membaca Alqur’an dilaksanakan selesai dan Tim Juri yang ditetapkan memberikan nilai yang diserahkan kepada Ketua KIP Aceh. Jika kita melihat rujukan pembahasan sebelumnya bahwa pilihan individu sebagai Aktor dilingkungan KIP Aceh dalam perumusan teknis uji mampu baca Alqur’an pada Pemilu 2019 adalah untuk mempertahakan kekususan Aceh sebagai wilayah syariat Islam, dan tentunya untuk menghasilkan calon legislatif yang berkompeten. Sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 tentang partai politik lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan dari individu sebagai aktor dalam lingkungan KIP Aceh terhadap pemberlakuan tes uji mampu baca Alqur’an bagi partai nasional adalah murni untuk mempertahankan kekhususan dan keistimewaan Aceh yang

(14)

pertama kali tertuang dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang saat ini terangkum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pelaksanaan kegiatan tes membaca Alqur’an bagi anggota legislatif pada dasarnya merupakan bentuk ciri khas dari Aceh sebagai Provinsi yang diberikan hak otonom yang berbeda dengan Provinsi lain. Uji mampu baca Al Qur’an merupakan satu hal unik dan spesial, mengingat begitu banyaknya syarat bagi bakal calon Anggota DPRA dan DPRK dalam pemilu Legislatif.

Temuan ini mengingatkan pada tulisan Warjio yang mengatakan bahwa dorongan aktor/elit dalam satu lembaga untuk memberlakukan tes uji mampu baca Alqur’an bagi partai politik nasional adalah didasari oleh aturan khusus Aceh tentang Otonomi Daerah beserta turunannya dalam Qanun Aceh yang harus diakui dan dihargai sebagai suatu identitas kedaerahan.

Selain adanya upaya aktor/elit dalam mempertahankan identitas daerah juga melekat pada tujuan yang bersifat untuk kepentingan individual Kelompok dalam Partai Politik tersebut yaitu menghasilkan caleg-caleg yang islami. Adalah hal yang tabu jika ada orang Islam yang enggan apalagi tidak bisa baca Alqur’an dan ini tentu pula sesuai dengan prinsip “Being of Acehnes Being Amouslem artinya menjadi orang Aceh adalah menjadi orang Islam.

Analisis Implementasi Terhadap Proses Politik Perumusan Juknis Tes Kemampuan Membaca Alqur’an Bagi Calon Legislatif

Lahirnya petunjuk teknis uji mampu baca Alqur’an pada pemilihan legislatif 2019 di Aceh dalam tambahan kegiatan pencalonan sangat dipengaruhi oleh aktor yang ada di KIP Aceh.

Mereka memiliki simbol kultural lokal yang berada dalam lembaga penyelenggara pemilu di Aceh. Berbekal jabatan politik di KIP Aceh dengan mempedomani Qanun Aceh nomor 3 tahun 2008 tentang pembentukan partai politik lokal tentang pemenuhan syarat bagi bakal calon legislatif di Aceh dalam pemilu 2019, mereka menjelma menjadi kekuatan baru untuk mempengaruhi kebijakan pelaksanaan pemilu di Aceh.

Fakta membuktikan bahwa setelah penandatanganan nota kesepahaman

(Memorandum Of Understanding/MoU) yang merupakan simbol dari perdamaian akibat konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disepakati pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinky. Dinamika politik di Aceh memasuki babak baru dengan munculnya aktor-aktor ditingkal lokal yang memainkan perannya di ranah panggung politik lokal.

Petunjuk teknis uji mampu baca Alqur’an pada pemilihan umum tahun 2019 tidak akan terwujud tanpa adanya peran dari Tim Sekretariat KIP Aceh dan KPU RI yang terus menerus berupaya mendistribusikan pengaruhnya baik di media maupun diruang publik terhadap penyelenggaraan pemilihan umum. Tindakan aktor ini terlihat sangat mahir dalam mengumpulkan dukungan dari partai politik dan juga dari berbagai pihak lainnya untuk terus menggaungkan penerapan Syariat Islam dalam tahapan pemilu dan pemilihan di Aceh. Aktor-aktor yang dianggap sebagai Individu yaitu orang-orang yang sudah lama dan pernah bertugas di KIP Aceh dan juga paham akan kondisi kekhususan dan keistimewaan Aceh yang diterapkan dalam pemilihan umum.

Aktor inilah yang menurut McNair merupakan Individu-Individu yang berkeinginan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dan menjadi bagian penting dari proses politik menuju perubahan yang ingin dicapai. Yaitu penambahan tahapan baca Alqur’an dalam tahapan Pencalonan pada pemilihan umum legislatif untuk memilih Anggota DPRA dan DPRK pada pemilu 2019 dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 dan berpedoman pada Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Partai Politik Lokal.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa keberhasilan aktor memainkan perannya di KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu di tingkat lokal yang berhasil juga dipengaruhi oleh kekuatan koordinasi yang dimiliki KPU RI yang dengan memperhatikan kekhususan dan keistimewaan Aceh sehingga pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’an tetap dilaksanakan dalam pemilihan umum 2019 yang lalu di Aceh dan memberlakukan juga kepada partai politik nasional agar dapat mengikuti dan mendaftarkan bakal calonnya dalam tahapan uji mampu baca Alqur’an.

(15)

Dukungan yang diperoleh aktor dari partai politik nasional dan parrtai politik lokal yaitu dengan tidak pernah menolak akan perlakuan uji mampu baca Alqur’an karena hal ini merupakan pemenuhan kewajiban dasar bagi seorang muslim dan juga point penilaian minimal 50 point karena dengan kredit point dari adab tatacara bakal calon dalam membaca atau fasih membaca ayat Alqur’an asal tidak salah baris, dan sesuai harakat dan mad maka bakal calon akan dinyatakan lulus sehingga hal ini tidak terlalu memberatkan bakal calon dari partai politik. Sehingga dengan mudah mempengaruhi individu lain yaitu KPU RI dalam mengesahkan juknis uji mampu baca Alqur’an dengan mengedepankan regulasi lokal pada pencalonan Angggota DPRA dan DPRK di Aceh sehingga aktor dengan mudah menerapkan pelaksanaan Tes uji mampu baca Alqur’an bagi partai politik nasional walaupun regulasinya secara nasional tidak disebutkan tentang syarat baca Alqur’an.

Syarat Uji mampu baca Alqur’an yang diterjemahkan dari “sanggub menjalankan syariat Islam secara kaffah” adalah merupakan butir-butir dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 yang di adopsi ke Keputusan KPU Nomor : 869 Tahun 2018 Tentang Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Alqur’an Bakal Calon Anggota DPRA dan DPRK di Provinsi Aceh dalam Pemilu 2019. Dengan menggunakan kajian teori rational choice menemukan bahwa individu yang dipandang sebagai aktor atas kesadarannya dengan kekuatan, jaringan, kedudukan, posisi dan memperhatikan culture Aceh sebagai wilayah syariat Islam dan mengesahkan juknis uji mampu baca Alqur’an tersebut yang merupakan aktor sentral dalam proses politik.

Yang secara rasional bertindak untuk memaksimalkan utilitas pribadi, dan cara efektif yang digunakan untuk mencapai tujuan dilakukan melalui tindakan institusional. Oleh karena itu tindakan aktor mempengauhi KPU RI dengan perilaku yang dibentuk oleh aturan lembaga dan sebaliknya tindakan dan keputusan KPU RI juga dapat merefleksikan tindakan aktor di KIP Aceh.

Apabila ada penolakan terhadap pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’an dalam pemilihan umum di Aceh, maka hal ini akan dianggap mencederai kekhususan Aceh yang telah diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Aceh yang dituangkan dalam

MoU Helsinky dan terakhir dituangkan kedalam UUPA dan Qanun Aceh.

Sanggub menjalankan Syariat Islam yang di ukur secara Zahir oleh Aktor melalui pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’an yaitu untuk menguji dan menilai seseorang bakal calon tersebut mumpuni dan layak terutama dalam menjalankan roda pemerintahan di Aceh yang merupakan hal yang sudah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Apabila aktor dalam pemilu 2019 meniadakan tes uji mampu baca Alqur’an sehingga di khawatirkan akan muncul gejolak dalam masyarakat dan akan terganggunya situasi perdamaian di Aceh.

Karena masyarakat Aceh sangat fanatik akan agama. Sehingga penyelenggara pemilu dianggap juga bertanggung jawab atas berjalannya amanat MoU Helsinky yang di atur dalam UUPA dan Qanun dalam pelaksanaan pemilu di Aceh khususnya dalam pemilu 2019.

Kekosongan komisioner KIP Aceh saat itu mengharuskan KPU RI dengan sendirinya mengambil alih beban tugas KIP Aceh berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019.

Berbagai upaya dilakukan aktor dalam memainkan perannya pada saat perumusan juknis uji mampu baca Alqur’an dimana aktor juga mensinergikan dengan lobi politik yang pada dasarnya untuk memperjuangkan kepentingan lokal, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu walaupun aturan-aturan yang memihak pada tujuannya yaitu Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 yang merujuk pada UUPA mengenai hak ikut serta partai politik lokal dalam pemilu yang menjadi acuan strategi aktor dengan tetap menjaga keseimbangan institusi.

Kajian teori pilihan rational melihat bahwa KIP Aceh sebagai aktor lokal yang mengendalikan aturan dan memaksimalkan keuntungan yang didasarkan oleh aturan- aturan tersebut. Meski dalam implementasi tidak semua pihak merasa menerima dengan hasil penilaian yang dikeluakan oleh KIP Aceh pasca pelaksanaan tes uji mampu baca Alqur’an sehingga para bakal calon merasa tidak senang ataupun merasaa tidak diuntungkan dengan aturan tersebut sebagaimana anggapan para bakal calon yang tidak lolos dalam uji mampu baca Alqur’an yang berbeda, akan tetapi

Referensi

Dokumen terkait

Outline materi (silabi) : Pemahaman mengenai definisi, pengetahuan tentang sumber, klasifikasi, struktur, reaksi-reaksi kimia, klasifikasi dan sifat-sifat kimiawi dan

Rata-rata jumlah tubuh buah dan diameter tudung jamur tiram putih Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat dijelaskan bahwa pada penelitian ini media

Hasil Pada penelitian ini untuk mengetahui adanya perbedaan tampilan memori kerja antar kelompok setelah pemberian etanol selama 20 hari dengan melihat parameter Number of Error,

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disebut SKPDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit

Instruksi Presiden untuk mengambil langkah tegas terhadap para pelaku Illegal Fishing yang salah satunya dilakukan dengan menenggelamkan kapal dilakukan dengan

Belum layak Pasien autoimun tidak dianjurkan untuk diberikan vaksinasi Covid sampai hasil penelitian yang lebih jelas telah dipublikasi... HIV Layak (dengan

Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat pengaruh yang kuat antara efektivitas sistem informasi keuangan daerah dengan kinerja pegawai; (2) terdapat pengaruh moderat

Pengeluaran untuk pembayaran sewa ruangan,sewa mobil dan biaya sewa lainnya pada saat pengadaan peralatan dan mesin secara swakelola sampai dengan peralatan dan mesin tersebut siap