1
A. Latar Belakang Masalah
Bayi merupakan individu yang memiliki sejumlah refleks bawaan pada saat lahir sehingga lebih mudah peka terhadap rangsangan yang diberikan (Dewi, 2010). Bayi yang sering mendapatkan rangsangan taktil dan dirawat secara maksimal oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan memiliki tumbuh kembang yang optimal. Rangsangan taktil dapat diberikan dengan cara berinteraksi langsung kepada bayi seperti memijat, membelai dan mengajak bayi bercanda (Subekti, 2008). Bayi yang kurang mendapatkan rangsangan taktil, sentuhan, belaian dan percakapan pada awal kehidupannya akan mengalami kegagalan tumbuh kembang (Dariyo, 2007). World Population Data Sheet (2007), menyatakan bahwa jumlah bayi yang lahir di
dunia mencapai 1,3 miliar jiwa dengan prevalensi gagal tumbuh kembang bayi sekitar 5 - 10% setiap tahun.
Prevalensi gagal tumbuh kembang bayi di Indonesia berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (2015) yaitu 32%. Jumlah kelahiran bayi di Indonesia
pada tahun 2015 sebanyak 4.880.951 juta jiwa kelahiran hidup. Estimasi hasil
sensus penduduk sesuai dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, jumlah penduduk di Yogyakarta pada tahun 2010
sebanyak 3.513.071 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.735.514 jiwa
2
sedangkan jumlah perempuan sebanyak 1.777.557 jiwa. Jumlah kelahiran bayi pada tahun 2012 yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Yogyakarta yaitu sebanyak 46.104 jiwa jumlah kelahiran hidup sedangkan jumlah bayi yang lahir mati sebanyak 360 bayi. Prevalensi gagal tumbuh kembang bayi pada tahun 2012 di Yogyakarta mencapai 12% sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 16,43%. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan tumbuh kembang pada bayi yaitu kurangnya peran orang tua dalam merawat dan memantau tumbuh kembang bayi (Wibowo, 2011).
Merawat dan memantau tumbuh kembang bayi merupakan peran penting yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Menurut Setyowati (2008) pada tipe keluarga tradisional, ayah dan ibu mempunyai peran yang berbeda. Ibu berperan dalam memberikan kesejahteraan secara afeksi pada keluarga dan berperan aktif dalam pengasuhan bayi (Setyowati, 2008). Ayah berperan untuk melindungi keluarga dan mencari nafkah sehingga lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah (Mikarsa, 2007). Secara sosial, ayah kurang terlibat dalam pengasuhan bayi sehari-hari sehingga dianggap kurang mampu dalam hal merawat bayi (Widjaja, 2009). Kenyataannya pada zaman sekarang, peran ibu secara tradisional telah bergeser menjadi modern.
Banyak ibu yang justru memilih berkarir dan bekerja full time sehingga jarang
memiliki waktu untuk merawat bayi. Peristiwa ini menuntut para ayah untuk
turut terlibat dalam pengasuhan bayi (Lawler, 2008).
Keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan bayi akan memaksimalkan perkembangan fungsi motorik dan kecerdasan kognitif pada bayi (Santrock, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan bayi yaitu faktor psikologis yang mengarah pada self esteem dan motivasi ayah melakukan pengasuhan bayi (Santrock, 2007). Self esteem merupakan wujud penilaian orang lain atas dirinya mengenai perasaan, sikap, potensi yang dimiliki dan tingkah lakunya (Syahbita, 2009). Seorang ayah yang memiliki self esteem positif mampu melakukan pengasuhan bayi secara mandiri sedangkan ayah yang memiliki self esteem negatif cenderung tidak percaya diri dalam mengasuh bayinya. Salah satu peran ayah dalam keterlibatannya dengan keluarga yaitu sebagai Caregiver. Ayah memiliki peran dalam memberikan stimulasi afeksi, salah satunya dengan pemijatan bayi (Thomas, 2008).
Pemijatan bayi yang dilakukan seorang ayah terhadap bayinya merupakan
dasar komunikasi secara timbal balik antara ayah dan bayinya (Anggraini,
2008). Studi yang dilakukan di Australia menyatakan bahwa pemijatan yang
dilakukan ayah terhadap bayi yang berumur 12 minggu membuat bayi lebih
sering melakukan kontak mata dengan ayahnya dan menimbulkan perasaan
positif pada istri (Prasetyono, 2009). Pemijatan yang dilakukan sembarangan
dapat mengakibatkan dampak negatif seperti pembengkakan, lebam,
pergeseran urat, cidera, bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi
(Adriana, 2011). Salah satu fenomena di Indonesia yang memicu terjadinya
4
dampak negatif pemijatan bayi yaitu banyaknya anggapan bahwa yang boleh melakukan pemijatan bayi hanya dukun. Penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2012), menyatakan bahwa pemijatan yang dilakukan dukun bayi tidak didasari oleh pendidikan dan pelatihan yang jelas sehingga pelaksanaannya sering menimbulkan cidera dan trauma pada bayi.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta untuk menghindari terjadinya cidera pada bayi saat melakukan pemijatan yaitu memberikan penyuluhan pijat bayi kepada masyarakat. Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta terletak di Kelurahan Terban Kecamatan Gondokusuman. Visi mereka yaitu menciptakan puskesmas pilihan masyarakat yang mendukung tercapainya pengembangan kesehatan nasional dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Misi mereka yaitu menggerakkan pembangunan kesehatan di wilayah kerja dengan melibatkan lintas program dan lintas sektoral secara terpadu, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau, meningkatkan kesehatan individu, keluarga, masyarakat serta lingkungannya.
Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta memiliki dua wilayah kerja yaitu di
Kelurahan Terban dengan jumlah penduduk 9.230 jiwa dan Kelurahan
Kotabaru dengan jumlah penduduk 2.853 jiwa.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan April 2017 di wilayah kerja Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta yaitu jumlah bayi berusia 1 sampai 12 bulan hingga bulan Juni 2017 di Kelurahan Terban yaitu 60 orang sedangkan di Kelurahan Kotabaru yaitu 3 orang. Salah satu program khusus di Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta yaitu meningkatkan status kesehatan bayi dengan cara memberikan penyuluhan terkait pijat bayi kepada masyarakat tetapi pelatihan tentang pijat bayi belum pernah dilakukan.
Hasil wawancara yang dilakukan pada lima ibu dan tiga ayah di wilayah kerja
Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta memberikan informasi bahwa di
wilayah tersebut ketika bayi sakit atau menangis terus menerus akan segera
dibawa ke dukun bayi untuk dipijat karena biasanya bayi akan sembuh setelah
dipijat oleh dukun. Dua ibu mengakui tidak pernah melakukan pijat bayi
kepada bayinya semenjak lahir dan tiga ayah yang diwawancarai mengakui
tidak pernah menggendong dan melakukan pijat bayi kepada bayinya karena
takut. Sesuai hasil wawancara di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh pelatihan pijat bayi terhadap self esteem
ayah untuk melakukan pijat bayi secara mandiri pada bayi berusia 1-12 bulan
di Kelurahan Terban Yogyakarta Tahun 2017 ”.
6