IDEOLOGI TAFSIR AL-FURQAN
KARYA AHMAD HASSAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Ahmad Sopian NIM: 11150340000202
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
IDEOLOGI TAFSIR AL-FURQAN
KARYA AHMAD HASSAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh : Ahmad Sopian NIM: 11150340000202 Pembimbing Dr. M. Suryadinata, M.Ag NIP. 196009008 198903 1005
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul IDEOLOGI TAFSIR AL-FURQAN KARYA AHMAD HASSAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal25 Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 25 Maret 2021 Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH
NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. H. Mafri Amir, M.Ag Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A
NIP. 19580301 199203 1 001 NIP. 19550725 200012 2 001
Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, M.Ag NIP. 19600908 198903 1 005
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ahmad Sopian
NIM : 11150340000202
Dengan ini menyatakan skripsi yang berjudul IDEOLOGI TAFSIR
AL-FURQAN KARYA AHMAD HASSAN adalah benar merupakan karya asli
saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika dikemudian hari terbukti karya ini sebagian besar atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sadar dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ciputat, 17 Desember 2020
i
Abstrak
Ahmad Sopian. IDEOLOGI TAFSIR AL-FURQAN KARYA AHMAD HASSAN, 2021
Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi tafsir Ahmad Hassan dalam Al-Furqan Tafsir Qur’an dari sudut pandang sosio-historis. Hassan menuliskan tafsirnya dilatar belakangi oleh permintaan umat Islam, khususnya anggota Persis, untuk memahami ajaran Islam. Namun, tidak sedikit penafsirannya bertentangan dengan pemikian Islam yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia. Misalnya, perihal taklid, seruan berijtihad dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini penulis menerapkan penelitian kualitatif. Sumber primer penelitian ialah kitab Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan, didukung sumber sekunder berupa buku, artikel ilmiah, atau tulisan
yang berkaitan. Kemudian data dianalisis dengan metode
deskriptif-analitik. Dengan analisis tersebut penulis berupaya menguraikan permasalahan penelitian.
Berdasarkan analisis penulis, Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan hadiran untuk mendebat pemikiran yang telah berkembang dalam masyarakat Islam Indonesia. Pemikirannya sangat kontroversial ketika pertama kali tampil kemuka dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dipicu oleh slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” yang tidak sejalan dengan pemikiran Islam Indonesia. Pribadi Hassan berperan penting pada mengemukanya pemikiran tersebut yang dengan gigih mempublikasikan pemikirannya melalui berbagai media.
Hal tersebut diperkuat dengan temuan lainnya, yakni Hassan memasukkan unsur subjektifitasnya dalam menafsirkan al-Qur’an demi untuk membela keyakinannya. Hassan dalam menafsirkan al-Qur’an pada karyanya Al-Furqan Tafsir Qur’an menggunakan nalar ideologis serta mengandung ideologi puritan. Kriteria-kriteria ideologi yang tampak ialah, cenderung tidak toleran, bergerak secara tekstualis dan fanatik, serta mengandaikan kembalinya Islam pada “masa keemasan” dengan semboyan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah yang telah menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan
pembeda antara yang baik dan yang buruk bagi manusia. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada manusia mulia, pembawa pesan-Nya yakni Nabi Muhammad saw., yang paling pantas dijadikan suri teladan. Semoga kita senantiasa mengikuti sunnah sehingga mendapatkan syafā’at-nya kelak di hari perhitungan amal.
Atas izin dan rahmat Allah swt. penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berupa skripsi S1 ini pada program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Penyusunan skripsi ini tidak akan dapat dituntaskan tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan serta kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih, serta memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir beserta Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, selaku sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, beliau berdualah yang senantiasa menyemangati para mahasiswanya untuk menyelesaikan studi tepat waktu;
4. Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.
iv
5. Seluruh dosen Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir atas semua motivasi, pengetahuan, bimbingan, dan pengalaman selama menempuh studi, terkhusus Bapak Muslih Nur Hasan, M.Ag selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta seluruh staf Fakultas Ushuluddin;
6. Keluarga penulis, Bapak Samin (alm.) dan Ibu Rosita, serta abangda Nurcholis dan adinda M. Basyir yang tak bosan mendoakan dan menyemangati penulis. Semoga mereka dipanjangkan dan diberkahkan umurnya, senantiasa dalam kesehatan, dan semoga segala upayanya dibalas dengan yang setimbang bahkan lebih baik oleh-Nya;
7. Abi Bahrul Ulum dan Bunda Nuraliyah, beserta keluarga besar Ponpes Al-‘Ulumiyah Belendung, Bekasi, yang menjadi pemantik semangat penulis agar terus belajar.
8. Abi-abi beserta Mahasantri UICCI Sulaimaniyah Cab. Ciputat yang telah memberikan energi positif dalam menaklukan gunung dan lembah rintangan menuntut ilmu, terkhusus Ardi, Faizi, Abidin, Gus Dur dan Robith “Ada Istanbul yang perlu kita sambangi”.
Allah RazI Olsun.
9. Rekan-rekan penulis, baik dalam komunitas kampus maupun dalam pelbagai aktivitas keorganisasian, terutama Buperda Masjid Fathullah, Keluarga Besar IRMAFA, Yayasan Wakaf al-Hakim, Keluarga Besar Beswan Djarum Beasiswa Plus 33, FLPC Ciputat, KKN Akspansi 015 Salembaran Jaya 2018,
10. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir 2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya kawan-kawan TH E Family 2015 yang menyemangati hingga akhir.
v 11. Teman-teman se-per”Ahmad Hassan”an mbak Diana yang telah memberikan banyak referensinya, Diah, serta teman-teman inspiratif lainnya, Zainal, Rifa, Agung, Bang Salman, Ka Dewi, Fitria Damayanti, Sundari dan Siti Rahayu Nurfitriyah yang telah rela membagi waktunya untuk berbagi ilmu dan pengalaman. 12. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian studi
penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Peribahasa berkata “Tak ada gading yang tak retak” begitu pula karya skripsi ini yang masih banyak kurangnya. Oleh karena itu, penulis memohon ampunan serta petunjuk kepada Allah swt. atas segala khilaf dan kesalahan, penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat, bagi pribadi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Ciputat, 17 Desember 2020
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. 1. Konsonan No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf
Arab Huruf Latin
1 ا Tidak dilambangkan 16 ط ṭ 2 ب B 17 ظ ẓ 3 ت t 18 ع ‘ 4 ث ṡ 19 غ g 5 ج j 20 ف f 6 ح ḥ 21 ق q 7 خ kh 22 ك k 8 د d 23 ل l 9 ذ Ż 24 م m 10 ر R 25 ن n 11 ز Z 26 و w 12 س S 27 ھـ h 13 ش Sy 28 ء ` 14 ص ṣ 29 ي Y 15 ض ḍ
viii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـَــ A Fatḥah
ـِــ I Kasrah
ـُــ U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـَــ ي Ai a dan i
ـَــ و Au a dan u
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َء ا Ā a dengan garis di atas يِء Ī i dengan garis di atas وـُـ Ū u dengan garis di atas 3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan
ad- dīwān.
4. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـّــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
ix tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ةرورضلا) tidak ditulis ad-ḍarûrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbūtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘at) (lihat contoh 2). Namun,
jika huruf ta marbūtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ةقیرط Tarīqah
2 ةیملاسلإا ةعماجلا jāmi’ah
al-islāmiyyah
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 8
1. Identifikasi Masalah ... 8
2. Pembatasan Masalah ... 9
3. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 11
E. Metodologi Penelitian ... 16 1. Jenis Penelitian ... 16 2. Sumber Data ... 17 3. Pengumpulan Data ... 17 4. Analisis Data ... 17 5. Teknik Penulisan ... 18 F. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II NALAR, IDEOLOGI DAN TAFSIR A. Pengertian: Nalar, Ideologi dan Tafsir ... 21
1. Pengertian Nalar ... 21 2. Pengertian Ideologi ... 23 3. Pengertian Tafsir ... 26 B. Nalar Tafsir ... 29 1. Nalar Quasi-Kritis ... 29 2. Nalar Ideologis ... 30
xii
3. Nalar Kritis ... 32
C. Ideologi Tafsir ... 34
1. Ideologi Moderat ... 35
2. Ideologi Puritan ... 37
BAB III AHMAD HASSAN: BIOGRAFI DAN TAFSIR AL-FURQAN A. Latar Belakang dan Kepribadian Ahmad Hassan ... 41
B. Buah Pemikiran dan Karya Ahmad Hassan ... 51
C. Sejarah dan Keadaan Sosial Penulisan Tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an ... 57
D. Sistematika Penulisan Kitab Al-Furqan Tafsir Qur’an 60 E. Kelebihan dan Kekurangan Al-Furqan Tafsir Qur’an . 64 BAB IV IDEOLOGI KEAGAMAAN AHMAD HASSAN DALAM AL-FURQAN TAFSIR QUR’AN A. Nalar Tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an ... 67
B. Ideologi Tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an ... 83
C. Posisi Ideologi Tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an dalam Konteks Indonesia ... 97
1. Dalam Khazanah Tafsir Indonesia ... 97
2. Dalam Intelektual Masyarakat Umat Islam ... 101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 109
1
BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Al-Qur’an memiliki kebenaran penuh dan mengikat bagi umat Islam, sejalan dengan fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudān li al-nās) sekaligus sebagai sumber hukum (maṣādir al-ahkām). Hal ini memaksa umat Islam senantiasa berdialog dengan al-Qur’an dan realitas sosial yang melingkupinya, sehingga perlu adanya proses penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an, baik secara hukum syariat maupun untuk petunjuk dalam
kehidupan.1 Oleh karena itu, hendaknya pesan al-Qur’an tersampaikan
dengan apa adanya tanpa terbelenggu kepentingan dan ideologi mufasirnya. Menurut Abu Zayd, mengutip Nur Ichwan, makna al-Qur’an akan dengan mudah disusupi kepentingan mufasir ketika makna tersebut membeku dan baku, yang diakibatkan oleh pengabaian aspek
tekstualitasnya.2 Mengenai tekstualitas al-Qur’an terdapat tiga ide yang
didasarkan atas al-Qur’an sendiri. Pertama, al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-waḥy, misalnya Q.S. al-Nisā’: 163; Yūsuf: 3; al-An‘ām: 19, yang secara semantik setara dengan kalām Allāh (perkataan Allah swt.) dan
risalāh ilahi (sebuah pesan ketuhanan). Sebagai perkataan dan pesan,
al-Qur’an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, struktur dan urutan al-Qur’an yang dijumpai sekarang merefleksikan aspek tektualitasnya. Karena urutan surat dan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologis pewahyuannya, sehingga aspek historisitasnya tidak tergambarkan. Ketiga, al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang jelas (muḥkamat) dan ayat-ayat yang bermakna lebih dari satu (mutasyabiḥat),
1 Komaruddin Hidayat, Bahasa Agama (Jakarta: Mizan, 2007), 54.
2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika
2
yang terakhir ini harus dipahami berdasarkan atas kelompok ayat yang pertama. Artinya, tekstualitas al-Qur’an sendiri dapat saling menafsirkan
tanpa mempertimbangkan historisitas ketika suatu ayat diturunkan.3
Pentingnya memposisikan al-Qur’an sebagai sebuah teks yang berdiri sendiri juga diaminkan oleh Abou El Fadl. Menurutnya, teks al-Qur’an itu bersifat bebas, terbuka dan otonom. Sehingga segala bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa teks adalah karya yang terus berubah, dalam artian terbuka untuk berbagai penafsiran. Jadi, jika pembaca menentukan makna yang dikandung oleh teks secara tetap, stabil, dan tidak berubah, teks akan menjadi sumber yang tertutup dan tidak lagi bebas maknanya. Menjadikan teks tertutup tidak dibenarkan secara moral karena merupakan bentuk kesombongan. Pembaca seakan-akan mengklaim memiliki suatu pengetahuan yang identik dengan Tuhan dan seolah-olah berbicara dengan makna teks yang sebenarnya. Bagi Abou El Fadl, secara teologis ini
bermasalah karena berseberangan dengan kemutlakan pengetahuan Tuhan.4
Selain dua tokoh di atas, Ahmad Hassan juga nampaknya membenarkan akan pentingnya otonomi teks dalam upaya pembacaannya, yakni ketika menulis Al-Furqan Tafsir Qur’an. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan-pernyataan Hassan dalam mukadimah tafsirnya. “...yang saya pentingkan dalam tulisan ini ialah menerangkan arti tiap-tiap ayat supaya pembaca bisa faham dengan mudah”. Masih dalam mukadimahnya, ia mengutamakan cara menterjemahkan suatu ayat dengan kata demi kata,
kalau tidak dapat dilakukan barulah ia menerjemahkan secara maknanya.5
Dengan demikian, dalam pandangan Hassan al-Qur’an adalah sebuah teks
3 Nasr Hamid Abu Zayd, “The Textuality of The Koran”, dalam Islam and Europe in
Past and Present. NIAS, 1997, 47-48.
4 Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women
(London: Oneworld, 2014), 301-302.
3 yang perlu dipahami berdasarkan teks apa adanya. Al-Qur’an haruslah memiliki sifat bebas, terbuka dan otonom agar ia dapat berbicara dengan sendirinya tanpa terpengaruhi oleh berbagai macam kepentingan.
Menurut Hassan, sisi historisitas suatu ayat tidak memengaruhi makna lafal suatu ayat, karena pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an tidak terikat
oleh aṣbab al-nuzūl-nya tetapi terikat dengan makna lafal ayat itu sendiri.6
Oleh karena itu terdapat kaidah al-‘ibratu bi ‘ummūmi al-lafẓi lā bi khuṣūṣi
al-sabab,7 yang maksudnya ialah dalam memahami makna ayat berpatokan
pada lafal yang bersifat umum, bukan pada sebab yang khusus. Dengan demikian, semakin jelas sikap Hassan ketika membaca teks al-Qur’an yang menempatkan otonomi teks lebih penting daripada sisi historisnya.
Berdasarkan pemikiran ketiga tokoh di atas, otonomi teks dalam upaya penafsiran amatlah penting demi terlahirnya makna objektif atas sebuah teks. Sehingga pesan al-Qur’an tersampaikan tanpa adanya reduksi makna oleh kepentingan dan ideologi dari mufasir. Di sisi lain, bagi Hassan Hanafi setiap teks berawal dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan mufasir dalam sebuah teks. Mufasir berperan memproduksi makna dan bukan mereproduksi makna. Di samping sulit untuk mendapatkan makna awalnya, tetapi juga makna awal tersebut akan
tidak relevan lagi dengan kehilangan konteks eksistensialnya.8 Dalam
ungkapan lain, tendensi seorang mufasir adalah suatu keniscayaan, karena menafsirkan al-Qur’an itu memahami dan menyadari konteks mufasirnya, serta masalah dan maslahah yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan
6 Ahmad Hassan, Al-Furqan, xvi.
7 Muḥammad Fāḍil b. ‘Asyūr, Al-Tafsīr wa Rijāluhu (Kairo, Majma‘ Buḥūṡ
al-Islāmiyah, 1970), 12.
8 Hassan Hanafi, Dirāsāt Falsafiyyah (Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1988),
4
mufasir.9 Buah dari usaha menafsirkan tersebut melahirkan solusi al-Qur’an
yang mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan, sekaligus melahirkan penafsiran ideologis yang mengandung unsur kepentingan, baik keagamaan maupun politik.
Dengan demikian, teks al-Qur’an dalam perspektif Hanafi dipandang sebagaimana teks-teks lainnya, dalam artian bahwa secara metodologis al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama. Menurutnya, al-Qur’an ialah hanya penjelmaan pesan Tuhan kedalam bahasa manusia, sama halnya dengan
hadis Nabi saw.10 Bahkan dalam pandangan Abu Zayd, Hanafi cenderung
mengabaikan otonomi teks dan memberikan porsi yang berlebih bagi
mufasir.11
Posisi seorang mufasir sangat berpengaruh dan menentukan produk tafsirnya, karena tidak dapat terlepas dari ideologi dirinya maupun kelompok, sekalipun mufasir berusaha untuk menghindari adanya keterpengaruhan tersebut. Menurut Ignaz Goldziher, kepentingan-kepentingan arus pemikiran seraya menjadikan al-Qur’an sebagai dasar kesesuaiaan pemikiran seseorang atau sekelompok orang dengan Islam. Sehingga seseorang dapat mengklaim dirinya memiliki sebuah posisi dan
mempertahankan dirinya di tengah ajaran Islam.12
Barangkali inilah sebab tumbuh suburnya penafsiran al-Qur’an yang berjalan secara alami seiring zaman, karena umat Islam di setiap masa
9 Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), 146.
10 Hassan Hanafi, Humūm al-Fikr al-Waṭan: al-Turāṣ wa al-‘Aṣr wa al-Ḥadāṣah,
Vol. 2, (Kairo: Dār Qubā, 1997), 23-30. Dalam Devi Muharrom Sholahuddin, “Studi Metodologi Tafsir Hasan Hanafi”, Studi Quranika, Vol. 1, No. 1 (Juli 2016), 67.
11 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dīni (Kairo: Sinā lī al-Nasyr, 1992),
182.
12 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, Terj. M. Alaika
5 memiliki berbagai permasalahan yang menuntut jawabannya dari al-Qur’an. Oleh karena itu, sebuah karya tafsir bukanlah lahir dari ruang hampa, tetapi lahir di tengah-tengah kehidupan manusia yang dinamis.
Adapun ruang Indonesia telah mendorong para mufasir untuk menggali pesan-pesan Allah swt. dalam al-Qur’an, yang tentu saja diliputi oleh kondisi sosial-politik yang melingkupinya. Sejak ‘Abdul Rauf al-Sinkili sampai bergeliatnya tradisi penulisan tafsir abad 20 M, bahkan di masa yang akan datang, mufasir tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial-politiknya. Salah satu kondisi sosio-politik Indonesia yang amat berpengaruh ialah di masa mempersiapkan kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, yang mana menjadi masa-masa penting bagi bangsa Indonesia. Di tengah-tengah kondisi tersebut lahir Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan.
Hassan tidak menyebutkan secara gamblang latar belakang penulisan karya tafsirnya, namun dalam banyak kesempatan ia menekankan pentingnya posisi al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama ajaran Islam. Seakan mengisyaratkan bahwa penafsirannya tersebut merupakan upaya untuk memberikan kemudahan kepada setiap muslim dalam memahami pesan Tuhan yang terdapat pada al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagaimana telah disinggung di atas, sudah sepantasnya Hassan menafsirkan al-Qur’an secara obyektif serta menjunjung tinggi makna yang didapat dari teksnya, tanpa disertai dengan tendensi kepentingan atau ideologi kelompok maupun pribadi.
Namun, penulis menemukan dalam penafsiran Hassan suatu makna yang ditentukan olehnya atas teks al-Qur’an, yang dalam bahasa Abou El Fadl menjadikan teks tertutup dan tidak lagi bebas maknanya. Misalnya, ketika Hassan menafsirkan frasa ahla al-żikri pada Q.S. al-Naḥl: 43 dengan “ahla al-żikri itu orang-orang yang mendapat peringatan; maksudnya
6
Ahlulkitab, yaitu Yahudi dan Nasrani”.13 Menurut Hassan, secara bahasa
“ahli” artinya orang-orang, dan “al-żikri” artinya peringatan bukan zikir tarekat. Jadi, untuk mengetahui kebenaran tentang nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. adalah laki-laki haruslah ditanyakan kepada pemimpin agama Yahudi dan Nasrani, karena yang mengetahui sejarah nabi-nabi terdahulu adalah mereka. Perintah bertanya pada ayat ini bukanlah perintah untuk bertaklid kepada pemilik informasi, karena
bertanya itu tidak sama dengan taklid.14
Pemahaman Hassan atas ayat tersebut bertolak belakang dengan Hasyim Asy‘ari yang menyatakan bahwa ayat tersebut adalah dalil untuk wajibnya seseorang bertaklid. Hasyim Asy‘ari memahami perintah bertanya pada Q.S. al- Naḥl: 43 sebagai kewajiban bertanya bagi orang yang tidak mengetahui kepada ulama, serta menyamakan hal tersebut dengan taklid kepada ulama. Perihal bertanya kepada para ulama, menurut Hasyim Asy‘ari, sudah dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. juga para tabiin. Kondisi yang demikian sudah menjadi ijmak, bahwa orang-orang awam wajib mengikuti para ulama. Dengan alasan, pemahaman orang awam atas
al-Qur’an dan hadis haruslah sesuai dengan pemahaman ulama.15
Selain perihal taklid, Hassan juga bersilang pendapat dengan pihak Nahdlatul Ulama (NU) mengenai ijtihad dan ittiba’. Dalam perdebatan mengenai berbagai persoalan Hassan membangun argumentasinya di atas ayat-ayat al-Qur’an dan hadis. Di antaranya Q.S. al-Nisā’: 59 yang menurut pemahamannya memerintahkan untuk berijtihad dalam permasalahan yang belum diketahui hukumnya. Q.S. al-’Isrā’: 36 yang menurut Hassan secara
13 Ahmad Hassan, Al-Furqan Tafsir al-Qur’an: Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir
(Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia, 2010), 431.
14 Ahmad Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan (Bangil: Pustaka Elbina, 2005),
495-496.
15 Muhammad Hasyim Asy‘ari, Risalah Ahlussunah wal Jama‘ah, terj.
7
tegas melarang seseorang bertaklid bahkan kepada para Imam Mazhab,16
dan dijadikan alasan seseorang harus berittiba’ jika tidak mampu berijtihad.17
Hassan seringkali memiliki pemahaman yang berbeda dengan berbagai golongan dan tokoh. Perbedaannya tersebut tidak sungkan-sungkan ia utarakan dalam perdebatan yang kadang terbuka di atas podium maupun media tertulis. Sebagai seorang debator, perdebatan Hassan tidak hanya terbatas persoalan ijtihad, taklid dan ittiba’. Hassan tercatat telah berdebat dengan berbagai persoalan dari kalangan berbeda yang tidak sejalan dengan dirinya. Tercatat Hassan pernah berdebat dengan kelompok Ahmadiyah, PKI (Partai Komunis Indonesia), intelektual Kristen Belanda, Husain al-Habsyi Surabaya juga tentang masalah mazhab, Hasbi ash-Shiddieqy, kelompok Aliran Baroe. Kebanyakan dari hasil perdebatannya dibukukan dan diterbitkan, sehingga memperkaya perbendaharaan karya-karya tulisnya.18
Terlepas dari berbagai perdebatan Hassan yang kontroversial, karya-karyanya selalu laku terjual dan mendapat tempat di sisi pembacanya. Terbukti karya tafsirnya disambut dengan antusias umat Islam Indonesia, terbukti dengan 10 kali naik cetak dalam jangka waktu 6 tahun dari tahun
pertama kali terbit.19 Selain itu, Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Hassan ini
mampu menembus dunia Islam internasional. Terbukti tidak hanya dicetak di Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara dan dunia Muslim. Pernah dicetak
16 Ahmad Hassan, Al-Furqan Tafsir al-Qur’an, 452.
17 Ahmad Hassan dkk, Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung:
Diponegoro, 2007), Jil. 1, 390.
18 Wahyu Indra wijaya, “Tentang Polemik dan Debat-debat A. Hassan”,
Kompasiana,www.kompasiana.com/wahyu_indra_wijaya/5965fob4a53b3b03ed7efd72/te
ntang-polemik-dan-debatdebat-a-hassan dilihat pada 26 Juli 2019, pukul 15.45 WIB.
19 Alamul Huda Ahfad, “Pemikiran Islam Puritan Dalam Tafsir Al-Furqan Karya
Ahmad Hassan” (Skripsi S1, IAIN Surakarta, Surakarta, 2017), 44. Lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 115.
8
beberapa kali di Bandung (Persis, 1928), Surabaya (Salim Nabhan, 1956), Jakarta (Tintamas, 1962), Kuwait (Dār al-Kuwaitiyah, 1968), Kota Bharu, Kelantan (Pustaka Aman, 1971), sampai di Beirut (Dār al-Fatḥ, 1972). Pasalnya Hassan berhasil memberikan terjemah bahasa Indonesia terhadap
al-Qur’an secara akurat dan penafsiran yang memuaskan.20 Hingga pada
2010 telah terbit dalam edisi Bahasa Indonesia mutakhir yang diinisiasi oleh Zuhal Abdul Qadir, cucu Hassan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan beberapa kesenjangan terkait pemikiran tafsir dan juga hasil penafsiran. Perihal objektivitas-subjektivitas penafsir ketika menafsirkan al-Qur’an, khususnya ketika Hassan berupaya menafsirkan al-Qur’an dengan menelusuri perihal penalarannya. Oleh karena itu, penulis berusaha menguraikan dan memecahkan permasalahan perihal penafsiran Ahmad Hassan dalam konteks Indonesia.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas, kemudian penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah, di antaranya:
a. Terdapat perbedaan tentang wilayah kuasa mufasir terhadap teks, yang berdampak pada hasil penafsiran.
b. Keberpihakan penafsiran adalah suatu keniscayaan, yang berbuah pada tafsir ideologis melekat kepentingan dan tujuan mufasir. c. Penafsiran al-Qur’an di Indonesia telah melewati lintasan waktu
yang panjang, dan setiap karya tafsir memiliki kondisi sosial-politik kepentingan penulisnya masing-masing.
20 Siti Fahimah, “Al-Furqan Tafsir Al-Qur’an Karya Ahmad Hassan”, 96; Izza
Rohman Nahrawi, “Profil Kajian Al-Qur’an di Nusantara sebelum Abad XX”, Jurnal al-Huda, Vol. 2, No. 6, 2002, 23.
9 d. Ayat al-Qur’an yang ditafsirkannya sama, namun Hassan seringkali
bersebrangan pendapat mengenai penafsirannya.
e. Hassan tercatat berdebat dengan berbagai tokoh dalam bermacam persoalan. Ia berdebat dengan berbagai kalangan yang tidak sejalan dengan keyakinan dirinya.
f. Perdebatan Hassan selalu dilandasi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang ia tafsirkan dengan akalnya secara harfiah.
g. Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Hassan memiliki sejarah yang panjang dalam penulisannya, sekaligus melewati kondisi sosial-politik Indonesia yang kompleks.
h. Al-Furqan Tafsir Qur’an menjadi media Hassan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingannya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis tidak akan membahas semua masalah yang telah disebutkan. Penelitian ini hanya difokuskan pada
Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan perihal ideologi tafsir yang
terkandung didalamnya. Ideologi tafsir yang dimaksud ialah terbatas pada pengertian adanya bias, kepentingan, orientasi dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta keagamaan dalam sebuah karya tafsir.
Dipilihnya Al-Furqan Tafsir Qur’an sebagai objek penelitian terkait karena dua hal. Perihal masa penulisannya yang cukup panjang, yakni melewati kondisi sosial-politik Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pascakemerdekaan. Alasan lainnya ialah sosok Hassan sebagai penulis seringkali berdebat dengan banyak tokoh di Indonesia karena berbeda pendapat, ia membangun argumentasinya dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang sering dipahaminya berbeda dengan kelompok atau individu yang lain.
10
Penelitian ini memotret gagasan yang sering disuarakan oleh Hassan “kembali kepada al-Qur’an dan hadis” yang jika diuraikan akan menjadi beberapa persoalan; seruan ijtihad, ittiba’ dan anti taklid. Berdasarkan
Risalah Taqlid dan Risalah Mazhab karya Hassan terdapat dua puluh
delapan ayat yang berbicara tentang tiga tema tersebut, yakni al-Baqarah: 111, 170; Ali ‘Imrān: 31, 103; al-Nisā’: 59, 65, 105; al-Mā’idah: 44, 45, 47, 49, 104; al-An‘ām: 57, 153; al-A‘rāf: 3; al-Tawbah: 31; Yūnus: 59, 78; al-Naḥl: 36, 116; al-’Isrā’: 36; al-Nūr: 51; al-Syu‘ara’: 74; al-Aḥzab: 21, 36,
66-67; al-Zukhruf: 22-24 dan al-Ḥasyr: 7.21
3. Perumusan Masalah
Dari sekian banyak masalah yang teridentifikasi dan dibatasi oleh pembatasan masalah di atas, maka penulis memfokuskan penelitian ini pada masalah “Ideologi tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an dalam konteks Indonesia”. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana ideologi tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan dalam konteks Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Agar penelitian ini mencapai sasaran yang sesuai dengan hasil penelitian yang diharapkan penulis, maka perlu adanya tujuan. Secara akademik, penelitian ini ditulis dengan tujuan untuk meraih gelar akademik strata satu, Sarjana Agama (S.Ag). Secara keilmuan, tujuan penelitian ini antara lain: Pertama, untuk mengungkap muatan ideologi dalam tafsir
Al-Furqan Tafsir Qur’an. Kedua, untuk mengungkap relasi eksistensi mufasir
dan ruang sosial yang melingkupinya ketika tafsir ditulis.
21 Ahmad Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan (Bangil: Pustaka Elbina, 2005),
11 Adapun penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Dalam konteks keilmuan Islam, hasil penelitian ini akan memberikan informasi penting terkait dengan dinamika keilmuan Islam di Indonesia, khususnya di bidang penulisan tafsir al-Qur’an. 2. Secara akademis, penelitian ini akan memberikan informasi sejarah sosial tafsir di Indonesia, khususnya penafsiran Ahmad Hassan serta mengungkap perspektif dan ekspresi mufasir atas masalah-masalah sosial dan politik yang terjadi ketika tafsir ditulis.
3. Secara praktis, penelitian ini bisa digunakan sebagai salah satu acuan untuk melihat hubungan antara penafsiran al-Qur’an dan praktek ideologisasi kepentingan dalam konteks sosial, politik dan agama.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penulis telah melakukan penelusuran kajian terdahulu mengenai tiga tema dalam penelitian ini, ialah ideologi, Ahmad Hassan dan Al-Furqan
Tafsir Qur’an. Tentang ideologi ditemukan beberapa penelitian terdahulu,
di antanya ialah buku Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermenutik hingga
ideologi karya Islah Gusmian. Islah memberikan banyak informasi penting
mengenai karya-karya tafsir yang ditulis oleh sederet intelektual Muslim Indonesia. Ia meneliti karya-karya tafsir di Indonesia secara metodologis-kritis yang mempertimbangkan aspek sosio historis. Berbicara terkait
Al-Furqan Tafsir Qur’an, ia hanya sedikit menyinggung tentang sejarah
munculnya dan periodisasi penulisan tafsir Indonesia, dan tidak mengkaji
tentang ideologi mufasirnya.22
Penulis juga menemukan karya lainnya terkait dengan penelitian ini di antaranya tulisan Jajang A Rohmana yang berupaya menggambarkan
22 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika Hingga Ideologi
12
bagaimana ideologi Islam modernis berlangsung dan berpengaruh terhadap
teks keagamaan lokal seperti tafsir Sunda.23 Artikel ini memaparkan
pemikiran Islam modern yang ditransimiskan melalui kitab tafsir. Tulisan lainnya ialah skripsi karya Mahfud Barnawi. Mahfud melakukan penelitian ini dengan membongkar ideologi sebuah wacana dari aspek pembaca, interpelasi dan hegemoni. Penelitian ini menemukan bahwa di balik banyak tema penafsiran al-Qur’an dalam Suara Islam kental dengan ideologi Islam politik.24
“Tafsir Ideologis Dalam Khazanah Intelektual Islam” karya
Muhammad Subhan Zamzami25 adalah tulisan lain yang penulis temukan.
Menurutnya, tafsir ideologis lahir karena dua faktor, yakni faktor pergulatan politik umat Islam dan perdebatan teologis di antara mereka. Tulisan
lainnya yaitu oleh Rohimin26 yang meneliti tafsir Kementrian Agama.
Dalam artikelnya, ia berkesimpulan bahwa subjektifitas penafsir memang tidak dapat dihindari, baik karya tafsir individual maupun kolektif. Misalnya dalam tafsir Kementrian Agama, para mufasirnya cenderung mengarah kepada tafsir aliran Sunni moderat.
Penulis juga menemukan artikel yang ditulis oleh Farah Farida dengan mengkaji Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie yang ditulis oleh seorang aktivis
Hizbut Tahrir.27 Menurutnya, Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie merupakan
literatur tafsir Indonesia yang sangat kuat dipengaruhi oleh ideologi Hizbut
23 Jajang A. Rohmana, “Ideologisasi Tafsir Lokal Berbahasa Sunda: Kepentingan
Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul Bajan dan Ayat Suci Lenyeupaneun”, Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1 (2013).
24 Mahfud Barnawi, “Ideologi Islam Politik Dalam Tafsir Al-Qur’an Tabloid Suara
Islam” (Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013).
25 Muhammad Subhan Zamzami, “Tafsir Ideologis Dalam Khazanah Intelektual
Islam”, Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 4, No. 1 (Juni 2014).
26 Rohimin, “Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia: Studi Pendahuluan Tafsir Aliran
Ideologi Sunni Dalam Tafsir Kementerian Agama”, MADANIA, Vol. 20, No. 2 (Desember 2016).
27 Farah Farida, “Potret Tafsir Ideologis di Indonesia; Kajian atas Tafsir Ayat Pilihan
13 Tahrir. Sehingga tergolong tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis. Dalam tulisan lainnya, yakni tesis berjudul “Ideologi Dalam Tafsir
Nusantara” karya Abd. Rahman.28 Dengan menggunakan teori kritis
Habermas, Rahman menemukan bahwa Tafsir an-Nur hadir dalam ruang privat sebagai pembentuk dan penyuplai gagasan Islam modernis, sekaligus meneguhkan kepentingan politik Masyumi. Selain itu, Tafsir an-Nur dikonstruk untuk merepresentasikan perlawanannya terhadap ide-ide netral agama yang ditawarkan oleh PNI dan PKI.
Karya lainnya yang penulis temukan membahas Ahmad Hassan dan
Al-Furqan Tafsir Qur’an ialah sebuah buku karya Mafri Amir berjudul
“Literatur Tafsir Indonesia”. Dalam buku tersebut Mafri mengkaji beberapa tafsir para ulama Indonesia. Pembahasan Al-Furqan Tafsir Qur’an dimulai dengan biografi penulis, latar belakang penulisan dan bentuk kitabnya, metode penafsiran, corak tafsir, rujukan serta kritik terhadap kitab tersebut.29
Selanjutnya skripsi Sheiha Sajieda30, yang menyoroti bentuk pemikiran
Ahmad Hassan tentang konsep pendidikan Islam yang diterapkan dalam lembaga Pesantren Persis. Tulisan lainnya yang berformat artikel dalam Jurnal Al-Turas karya Nur Hizbullah. Artikel ini mengemukakan gaya dakwah Hassan yang khas dan istimewa. Pesantren Persis dan podium debat menjadi sarana Hassan untuk menyebarkan gagasan dan paham Islam
modernis.31 Selain itu, Hassan juga terkenal dalam panggung perpolitikan
28 Abd. Rahman, “Ideologi Dalam Tafsir Nusantara” (Tesis S2, Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
29 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat,
2013).
30 Sheiha Sajieda, “Analisis Pemikiran Ahmad Hassan tentang Pendidikan Islam dan
Implementasinya di Lembaga Persatuan Islam (Persis)”, (Skripsi S1 Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2013).
31 Nur Hizbullah, “Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama dan Pejuang Pemikiran Islam
14
Indonesia, sebagaimana dalam artikel yang ditulis oleh Muh. Rifa’i.32 Rifa’i
berupaya mempresentasikan tentang pemikiran politik Islam menurut Ahmad Hassan, sehingga berkesimpulan bahwa Ahmad Hassan dalam peta politik Islam dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam fundamental.
Sementara dari sisi teologi Islam, telah dibahas secara detail oleh Siti Aisyah dalam Tesisnya yang bertajuk “Pemikiran Ahmad Hassan Bandung
tentang Teologi Islam”.33 Dalam penelitian kepustakaan tersebut, Aisyah
berkesimpulan bahwa Ahmad Hassan dalam teologi Islam bersifat
tradisional dan tergolong kepada paham Salafi. Selanjutnya, artikel karya
Syafiq A. Mughni yang berjudul “Posisi Hassan dalam Reform Islam di
Indonesia”. 34 Penelitiannya ini mengungkapkan bahwa seorang Ahmad
Hassan adalah kritikus yang tidak pandang bulu dengan gaya bahasa yang tajam, logis, lugas dan terbuka. Hassan juga seorang reformis yang memiliki perbedaan dengan reformis lainnya seperti kelompok salafi yang tekstualis, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Surkati. Kajian tokoh yang dilakukan Syafiq sangat kuat dan kaya akan data tentang Ahmad Hassan, namun tidak menyentuh penafsiran Ahmad Hassan dalam Al-Furqan Tafsir
Qur’an.
Tulisan yang membahas penafsiran Ahmad Hassan dalam Al-Furqan
Tafsir Qur’an ialah sebuah artikel bertajuk karya Siti Fahimah.35 Menurut
Fahimah, Ahmad Hassan memberikan terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia dengan akurat, di samping itu juga menyajikan definisi,
32 Muh. Rifa’i, “Pemikiran Politik Islam Ahmad Hassan Perspektif Politik Islam
Indonesia”, Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 5, No. 2 (Oktober 2015).
33 Siti Aisyah, “Pemikiran Ahmad Hassan Bandung Tentang Teologi Islam” (Tesis
S2., UIN Sumatera Utara Medan, 2017).
34 Syafiq A. Mughni, “Posisi Hassan dalam Reform Islam di Indonesia”, Qurthuba:
The Journal of History And Islamic Civilization, Vol. 1. No. 1 (September 2017).
35 Siti Fahimah, “Al-Furqan Tafsir al-Qur’an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya
15 daftar istilah, dan indeks yang membantu pembaca dalam memahami al-Qur’an. Namun, Fahimah lebih banyak menyajikan data dan hanya sedikit analisis mendalam terhadap Al-Furqan Tafsir Qur’an, juga tidak menyentuh pada konsep tertentu.
Selain itu, penulis juga menemukan skripsi oleh Alamul Huda Ahfad. Penelitiannya tersebut mempertanyakan seputar topik apa gagasan Islam puritan Hassan dan bagaimana pengaruh puritan dalam Al-Furqan Tafsir
Qur’an. Jawaban dari dua pertanyaan penelitian tersebut adalah ideologi
puritan Hassan dan pengaruhnya dalam Al-Furqan Tafsir Qur’an mengarah kepada ijtihad, taklid, bid’ah, shalawat, kias dan kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah dan juga wasilah.36 Penelitian serupa penulis temukan dalam
skripsi Iqlima Btari Leony yang bertajuk “Faham Fundamentalisme Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqan”. Menurut Leony, Kondisi sosial keluarga,
pendidikan, serta pergaulan mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan
sehingga memiliki cara pandang seorang fundamentalis.37
Penulis juga menemukan dua penelitian lainnya, yakni karya Rohmatul Maulidiana Aulia yang berjudul “Ahmad Hassan’s Interpretation on The
Verses of Unity”38 dan Siti Aminah Siregar yang berjudul “Metodologi
Penafsiran Ahmad Hassan Terhadap Tafsir Al-Furqan”.39 Kedua karya
tersebut memiliki objek yang sama, yakni Al-Furqan. Namun, memiliki ranah yang berbeda Rohmatul berbicara tentang makna persatuan menurut Ahmad Hassan, sedangkan Aminah fokus pada metodologi penafsirannya.
36 Alamul Huda Ahfad, “Pemikiran Islam Puritan Dalam Tafsir Al-Furqan Karya
Ahmad Hassan” (Skripsi S1, IAIN Surakarta, Surakarta, 2017).
37 Iqlima Btari Leony, “Faham Fundamentalisme Ahmad Hassan dalam Tafsir
Al-Furqan” (Skripsi S1, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2019).
38 Rohmatul Maulidiana Aulia, “Ahmad Hassan’s Interpretation on The Verses of
Unity” (Skripsi S1, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019).
39 Siti Aminah Siregar, “Metodologi Penafsiran Ahmad Hassan Terhadap Tafsir
16
Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang ada, penulis belum menjumpai pembahasan seperti yang penulis lakukan. Yakni fokus kajian terhadap tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan, terkait dengan ideologi dan kepentingan yang ditransmisikan dalam tafsir al-Qur’an. Oleh karena itu, antara penelitian yang penulis lakukan dan penelitian sebelumnya berbeda dan terbilang baru, baik dari objek formal maupun obyek material, sehingga hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan kajian lebih lanjut.
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, telah diketahui bahwa masalah yang dihadapi ialah sebuah fenomena berupa ideologi tafsir yang mentransmisikan pemikiran Ahmad Hassan. Oleh karenanya, untuk menjawab rumusan masalah tersebut penulis menerapkan penelitian
kualitatif40 berupa library research/studi kepustakaan.41 Berdasarkan
penelitian ini, data yang dikumpulkan harus lengkap agar penelitiannya benar-benar berkualitas. Data tersebut terdiri dari data primer dan data
sekunder.42
40 Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada satu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), Cet. 35, 6.
41 Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan referensi kepustakaan
(buku) sebagai sumber datanya. Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 40.
42 Menurut Suharismi Arikunto, data primer adalah data dalam bentuk verbal atau
kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya (subjek penelitian/informan) yang berkenaan dengan variable yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (table, catatan notulen rapat, SMS, dll.,) foto-foto, film, rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer. Mengutip Moleong, sumber data kualitatif adalah tampilan berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang dicermati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang
17
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini berupa data-data tertulis, sumber primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah kitab tafsir Al-Furqan
Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan. Selanjutnya sumber sekunder ialah
tulisan-tulisan yang membahas tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an baik dari buku-buku ataupun artikel jurnal ilmiah, dan terutama tulisan-tulisan Ahmad Hassan atau orang lain yang menulis tentang Ahmad Hassan yang berkaitan dengan pemikiran tafsirnya yang setema dan terkait, baik yang secara langsung atau tidak, baik media cetak maupun media elektronik.
3. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui pembacaan dan pencatatan (dokumentasi) bahan-bahan pustaka sejauh mempunyai relevansi dengan pokok masalah penelitian. Kemudian diklasifikasikan, dikategorisasikan, pengkodean serta dicari hubungannya dan disimpulkan berdasarkan dalil-dalil logika dan konstruksi teoritisnya. Setelah itu, data-data tersebut diharapkan mampu menjadi pijakan dalam rangka memberikan jawaban atas masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif-analitik.43 Adapun langkah-langkahnya ialah pertama, penulis
menjelaskan data yang terkumpul sebagaimana adanya; kedua, penulis menganalisa data tersebut berdasarkan konteks yang berhubungan dengannya agar menghasilkan pemahaman yang komprehensif. Pada bagian ini, penulis menghubungkan penafsiran Ahmad Hassan dengan masa
tersirat dalam dokumen dan bendanya. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), Cet. 15, 22.
43 Deskripsi analitik merupakan rancangan organisasional yang dikembangkan dari
kategori-kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau muncul dari data. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, 257.
18
penulisannya. Berdasarkan analisis tersebut, penulis menguraikan jawaban dari rumusan masalah penelitian ini, tentang apa ideologi tafsir Ahmad Hassan.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini penulis merujuk pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 keputusan Rektor Nomor 507 tahun
2017.44 Serta penulis menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan ini tersusun secara sistematis dan tidak keluar dari koridor yang telah ditentukan, maka penulis menetapkan sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisi uraian terkait latar belakang masalah dari judul yang diangkat dalam kajian ini. Kemudian, dipaparkan identifikasi, perumusan dan pembatasan masalahnya. Untuk menguatkan pembahasan penulis menampilkan tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II: Nalar, Ideologi dan Tafsir. Pada bab ini, penulis menampilkan kajian teoritis mengenai Nalar, Ideologi dan Tafsir. Kemudian, penulis menghubungkan antara Nalar dan Tafsir serta Ideologi dan Tafsir. Pembahasan ini bertujuan untuk merumuskan wacana Ideologi Tafsir secara teoritis. Dengan begitu, pembahasan ini menjadi pijakan penulis untuk
44 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
19 menghubungkan antara latar belakang sosok Ahmad Hassan dan tafsirnya pada Bab III dengan konteks pemikirannya yang akan penulis jelaskan di Bab IV.
Bab III: Ahmad Hassan: Biografi dan Tafsir Al-Furqan. Bab ini berisi penjelasan mengenai biografi Ahmad Hassan yang berkaitan dengan latar belakang, karir, karya-karya, dan pemikirannya. Dijelaskan pula secara lebih luas sejarah dan keadaan saat Al-Furqan Tafsir Qur’an ditulis dan karakteristiknya. Pembahasan ini merupakan kelanjutan dari pada Bab I untuk menggambarkan sosok Ahmad Hassan dan tafsirnya secara komprehensif. Bab ini juga menjadi bahan analisis hubungan latar belakang dengan pemikiran Ahmad Hassan menggunakan teori yang terdapat dalam Bab II.
Bab IV: Nalar Ideologi dalam Tafsir Al-Furqan. Pada Bab ini, penulis menampilkan pemikiran-pemikiran Ahmad Hassan dengan membaca pemikiran tafsirnya berdasarkan perspektif teori dalam bab II. Penulis menyajikan pembacaan atas pemikiran tafsir Ahmad Hassan dengan melihat nalar tafsir dan ideologi tafsirnya. Setelah itu, penulis mendiskusikan posisi ideologi tafsir Al-Furqan dengan menempatkannya dalam wacana tafsir di Indonesia.
Bab V: Penutup. Bab ini berisi jawaban atas permasalahan yang diangkat. Pada bagian ini pula penulis merekomendasikan untuk penelitian lebih lanjut, dan menyarankan pemanfaatan praktis hasil penelitian ini. Pemaparan hasil dan rekomendasi penelitian lanjutan terangkum dalam sub bab kesimpulan, dan saran.
21
BAB II NALAR, IDEOLOG I DAN TAF SIR
NALAR, IDEOLOGI DAN TAFSIR
Pada bab ini, penulis menampilkan kajian teoritis mengenai Nalar, Ideologi dan Tafsir. Kemudian, penulis memposisikan nalar dan ideologi dalam ranah tafsir, dan menghubungkan keduanya. Sehingga nalar dan ideologi yang dimaksud dalam penelitian ini tampak jelas, baik secara terpisah maupun ketika direlasikan keduanya.
A. Pengertian: Nalar, Ideologi dan Tafsir 1. Pengertian Nalar
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia nalar adalah akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis sesuai jangkauan
pikir dan kekuatan dalam berpikir.1 Dalam bahasa Inggris disebut reason
atau rationality, yang dipahami dengan kepingan perilaku, keyakinan,
argumen, kebijakan, dan penggunaan lain pikiran manusia.2 Melalui
pengertian bahasa ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nalar adalah kemampuan mental untuk berpikir secara logis.
Dalam bahasa Arab nalar disebut dengan ‘aql yang dapat diartikan
‘memahami, mengerti akan sesuatu’.3 Kata ‘aql dalam al-Qur’an terdapat
pada 49 ayat, semuanya dalam bentuk kata kerja, baik māḍī maupun
muḍāri‘.4 Benang merah dari 49 ayat tersebut ialah pentingnya
menggunakan potensi nalar yang telah diberikan oleh Allah swt. Manusia telah diberikan potensi untuk mengerti dan memahami sesuatu yang terlintas dalam nalarnya, namun terkadang manusia tidak maksimal
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. 4
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 772.
2 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), 733.
3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), 275. 4 Muhammad Fu’ād ‘Abdu Bāqī, Al-Mu‘jam Mufahras li Alfāẕi Qur’ān
22
menggunakannya. Jadi, nalar dalam pandangan al-Qur’an adalah potensi yang dimiliki manusia untuk memahami atau mengerti tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Sedangkan menurut Muhammad Abed al-Jabiri, nalar adalah perangkat yang memproduksi pemikiran. Mengutip Lalande, al-Jabiri membedakan nalar menjadi dua. Nalar pembentuk atau aktif yaitu naluri yang dengannya manusia mampu menarik dasar-dasar umum dan niscaya, berasas pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Nalar ini pada seluruh manusia adalah sama. Kedua, nalar terbentuk atau dominan adalah asas dan kaidah yang dijadikan pegangan dalam berargumentasi. Nalar ini memiliki kekhasan pada setiap orang yang terkait dengan kebudayaan yang
merepresentasikan konsepsi yang mendasari kebudayaan.5
Menurut Muhammad Arkoun, yang dikutip oleh Meuleman, mengungkapkan secara sederhana nalar adalah cara berpikir seseorang atau sekelompok orang. Dalam pemikiran Arkoun, nalar dipahami sama dengan epistemologi ala Foucault, yaitu cara manusia menangkap, memandang,
menguraikan, dan memahami sebuah kenyataan.6
Menurut Donald B. Calne, nalar memiliki banyak arti, tergantung siapa yang menggunakannya. Bagi guru, nalar adalah latihan intelektual anak didik untuk mengembangkan akal budinya. Bagi advokat, cara membela dan menyanggah kesaksian. Bagi ilmuwan, metode merancang percobaan
untuk memeriksa hipotesis.7 Oleh karena itu, mendefinisikan nalar dalam
penelitian ini amatlah penting. Berdasarkan pengertian nalar di atas dapat
5 Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta:
IRCISoD, 2014), 23-29.
6 Johan Hendrik Meuleman, “Islam dan Pasca Modernisme dalam Pemikiran
Mohammed Arkoun”, dalam Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, peny. Johan Hendrik Meuleman (Yogyakarta: LKiS, 1996), 199.
7 Donald B. Calne, Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, terj. Parakitri
23 disimpulkan nalar adalah perangkat berpikir yang dimiliki manusia untuk memahami, mengerti, menguraikan sebuah kenyataan secara logis.
2. Pengertian Ideologi
Sebagaimana nalar, yang artinya sangat tergantung pada penggunanya, begitu juga dengan ideologi. Eagleton menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat merumuskan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri ideologi yang
dianggap memadai,8 karena ideologi adalah suatu konsep yang memiliki
banyak arti,9 hal ini berdampak pada tidak adanya definisi ideologi yang
baku.10 Sehingga memposisikan ideologi sebagai sebuah konsep yang
paling meragukan dan sukar ditangkap.11
Secara historis, istilah ideologi telah mengalami evolusi penggunaan, yang pertama kali dimaknai sebagai ilmu tentang ide-ide oleh Antoine Destutt de Tracy pada abad ke-18. Namun karena penggunaannya disandingkan dengan politik, ideologi cenderung berkonotasi negatif
hingga sekarang.12
Dalam penggunaan modern, ideologi tampil sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik, bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas sesungguhnya. Di samping itu, secara bahasa ideologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata ‘idea’ yang berarti ide atau gagasan dan ‘logos’ yang berarti studi atau ilmu. Secara leksikal, ideologi ialah ilmu
8 Terry Eagleton, Ideology: an Introduction (New York: Verso, 1991), 1.
9 Zeus Leonardo, Ideology, Discourse, and School Reform (London: Praegare, 2003),
48.
10 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 2.
11 Jorge Larrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996), 1.
12 Lilia I, Bartolome, “Beyond the Fog of Ideology”, dalam Ideologies in Education
Unmasking the Trap of Teacher Neutrality, Lilia I, Bartolome (ed.) (New York: Peter Lang, 2008), xiii.
24
pengetahuan tentang ide-ide atau studi tentang asal-usul ide-ide, arti ini juga
digunakan dalam metafisika klasik.13
Lebih luas lagi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi ialah 1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, 2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan, dan 3) paham, teori, dan tujuan
yang merupakan satu program sosial politik.14 Dengan kata lain, ideologi
adalah sistem berpikir yang dijadikan dasar berpendapat seseorang atau suatu kelompok, biasanya terkait politik.
Sementara itu, Bagus Takwin berusaha menghimpun sejumlah definisi mengenai ideologi dari para ahli, kemudian ia membaginya menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok Condilac dan de Tracy, mengartikan ideologi sebagai ilmu tentang ide-ide yang berambisi memisahkan pengetahuan dari metafisika dan agama serta kepercayaan-kepercayaan lainnya. Kedua, kelompok Marx dan beberapa penerusnya, mengartikan ideologi sebagai kesadaran palsu yang menyebabkan manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami realitas. Ketiga, kelompok Althusser dan Bourdieu, yang mengartikan ideologi sebagai suatu ketidaksadaran yang tertanam sangat dalam pada diri setiap manusia sebagai akibat dari adanya berbagai struktur. Keempat, kelompok Voloshinov dan Barthes, yang menunjukkan ideologi sebagai konstruksi linguistik.15
Menurut Andrew Heywood, definisi seringkas apa pun tentang ideologi cenderung memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Meskipun demikian, ia mendifinisikan ideologi sebagai seperangkat ide koheren yang menyediakan basis bagi tindakan politik terorganisasikan
13 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 306. 14 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 417.
25 entah untuk mempertahankan, memodifikasi atau mengganti sistem kuasa yang sudah ada. Dengan demikian, ciri ideologi ialah menawarkan pemahaman tentang tatanan yang ada, mengembangkan model tentang masa depan yang diinginkan, dan menjelaskan bagaimana perubahan politik
sebaiknya dilakukan.16
Sementara itu, menurut Nasr Hamid Abu Zayd ideologi adalah bias kepentingan, orientasi, kecenderungan ideologis, tujuan-tujuan politis,
pragmatis, dan keyakinan keagamaan.17 Dari sejumlah definisi yang telah
penulis uraikan di atas dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi ideologi sebagaimana yang diajukan oleh Abu Zayd. Menurut penulis, definisi ideologi yang Abu Zayd rumuskan sudah mencakup beberapa definisi lainnya, serta lebih mudah dipahami dan dioperasikan dalam penelitian ini.
3. Pengertian Tafsir
Setelah mendefinisikan nalar dan ideologi, penulis selanjutnya akan memaparkan berkaitan dengan tafsir. Dari segi bahasa, yang dibantu dengan kamus dan pendapat para ulama ahli bahasa, juga dari segi istilah dengan mengutip pendapat-pendapat ulama ahli tafsir dan ilmu al-Qur’an. Selanjutnya, menarik kesimpulan utuh mengenai tafsir yang penulis gunakan dalam penelitian ini.
Secara etimologis, tafsir bermakna ‘keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami’.18 Kata tafsīr
berasal dari bahasa Arab, bentuk isim masdar dari bab
fassara-yufassiru-tafsiran yang fungsinya untuk menunjukkan taksir (membanyakkan).
16 Andrew Heywood, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar Ed. Ke-5, terj. Yudi
Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 19.
17 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nashr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), 82-83.
26
Artinya membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafaz (teks) yang sukar
dipahami, penjelasan dan keterangan.19 Keterangan yang lebih lengkap
dapat ditemukan dalam Lisān al-‘Arab, kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsīr menyingkap sesuatu lafaz yang
susah dan pelik.20 Demikian secara bahasa tafsir dimaknai sebagai al-‘Iḍāḫ
(penjelasan), al-Tabyīn (menerangkan), al-Iẓhār (menampakkan), al-Kasyf
(penyingkap) dan al-Tafsīl (merinci).
Dalam al-Qur’an kata tafsīr hanya disebut sebanyak satu kali, yakni dalam surah al-Furqān [25]: 33.
ۗ اًرْي ِس ْفَت َن َس ْح
َاَو ِ قَحْلاِب َكٰنْئ ِج الَِا ٍلَثَمِب َكَنْوُتْأَي َلََو
٣٣
33. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Ahmad Hassan menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa makna aḫsana
tafsīran dalam ayat ini bermakna penjelasan yang lebih bagus.21
Sedangkan secara terminologi para ulama tafsir memiliki beragam pendapat mengenai definisi tafsīr. Menurut Zarkasyī dalam
al-Burhān, tafsir dimaknai sebagai upaya manusia untuk memahami al-Qur’an
menggunakan perangkat, metode atau pendekatan dengan tujuan memperjelas suatu makna yang terkandung dalam al-Qur’an, sesuai
keinginan mufasir.22
Menurut Zarqānī dalam karyanya Manāhil ‘Irfan fī ‘Ulūm
al-Qur’ān.
19 Muhammad bin Abū Bakar bin ‘Abd al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār al-Ṣiḥḥāh (Beirut:
Dār al-Jail, t.th), 503.
20 Abū al-Faḏl al-Dīn Muḥammad bin Makram Ibn Manzhūr, Lisan al-‘Arab, Jil. 5
(Beirut: Dār al-Ṣadir, 1990), 55.
21 Ahmad Hassan, Al-Furqān Tafsir Qur’an (Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia,
2010), 598.
22 Badr al-Dīn Muḫammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyī, Al-Burhān fī ‘Ulum al-Qur’ān
27
ح نم ميركلا نارقلا نع ثحبي ملع
ي
لَد ث
هتل
ىلع
ةقطلا ردقب ىلعت الله دارم
ةيرشبلا
“Ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi dilalahnya berdasarkan
maksud yang dikehendaki oleh Allah swt. sesuai kapasitas manusia”.23
Menurut al-Jurjanī, yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, pada hakikatnya tafsir ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, dari segi berbagai aspek perhatiannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan lafaz yang menunjukkan maksudnya secara jelas.24
Menurut M. Quraish Shihab, kata tafsir terambil dari kata fassara yang mengandung makna ‘kesungguhan membuka atau berulang-ulang melakukan upaya membuka’. Jika dikaitkan dengan al-Qur’an maka tafsir ialah penjelasan yang lahir dari upaya sungguh-sungguh dan berulang-ulang seorang mufasir untuk menarik dan menentukan makna-makna pada teks ayat-ayat al-Qur’an yang samar sesuai kemampuan dan kecenderungan
sang mufasir.25
Dari beragam definisi yang telah penulis cantumkan dari para ahli tafsir di atas, dapat diketahui benang merah pemahaman tentang definisi al-tafsīr, yakni: “upaya berulang-ulang menjelaskan suatu makna firman Allah swt. dalam al-Qur’an untuk memahaminya dengan perantara lafaz yang jelas”. Tafsir dalam pengertian ini bertumpu pada dasar bahwa al-Qur’an bersifat
Sālih li kulli zamān wa makān dan berlaku secara universal, maka dalam
rangka menjawab segala permasalahan sosial-keagamaan al-Qur’an harus
23 Muḫammad ‘Abd al-‘Aẕīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulum al-Qur’ān, Cet.
1, Jil. 2 (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1995), 6.
24 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 154.
28
senantiasa dijadikan sebagai landasan moral-teologis. Implikasinya ialah penafsiran tidak mengenal kata usai dan harus dilakukan secara kontinu, sehingga al-Qur’an tidak kehilangan relevansinya dengan zaman yang terus
berkembang.26 Dengan demikian, tafsir dipahami sebagai proses menggali
kedalaman makna al-Qur’an.
Selain itu, tafsir juga dapat dipahami sebagai sebuah produk pemikiran seorang mufasir. Hal ini bertumpu pada asumsi bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan li al-nās). Sebuah kerangka berpikir yang memandang al-Qur’an sebagai respon Tuhan atas kondisi umat manusia. Pada sisi ini tafsir dipahami sebagai hasil dialektika seorang mufasir dengan ayat-ayat al-Qur’an dan konteks yang meliputinya, yang kemudian dituangkan dalam kitab-kitab tafsir, baik secara menyeluruh 30
juz, maupun yang hanya sebagian-sebagian saja.27 Dengan demikian,
hakikat tafsir sebagai produk adalah sebuah ijtihad seorang mufasir atas teks al-Qur’an yang terpengaruhi konteks sosio-kultural, baik internal maupun eksternal.
Berdasarkan pemaparan di atas pada hakikatnya tafsir secara ontologis bermuara pada dua kategori, yaitu tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Ruang lingkup mufasir dapat dipetakan menjadi dua bidang, yakni nalar dan kepercayaan yang dianutnya (ideologi). Keduanya turut berperan dalam proses tafsir hingga melahirkan produk tafsir yang orisinil dari seorang mufasir. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui nalar tafsir dan ideologi tafsir seorang mufasir. Berikut penjelasan tentang dua istilah tersebut.
26 MK. Ridwan, “Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam
Wacana Qur’anic Studies”, Theologia, Vol. 28, No. 1, Juni 2017, 65.