BAB III AHMAD HASSAN: BIOGRAFI DAN TAFSIR AL-
B. Buah Pemikiran dan Karya Ahmad Hassan
Perjalanan hidup Hassan yang cukup panjang, membenturkan dirinya dengan berbagai persoalan, sehingga terbentuklah alam pikiran dan pribadi
44 Kholid O. Santoso, Manusia Di Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam (Bandung: Sega Arsy, 2009), 99.
45 Mughni, Hassan Bandung, 21.
46 Hassan, Soal-Jawab, jilid III (Bandung: CV Diponegoro, 1977), 1269; Hassan, Terjemah Bulughul Maram, cet. 28 (Bandung: CV Diponegoro, 2011), 712; Minhaji, A. Hassan Sang Ideologi, 95.
52
Hassan yang masih dapat ditelusuri sampai saat ini. Pemikiran Hassan dapat dijumpai melalui karya-karyanya dan perdebatan-perdebatannya yang membawanya tampil ke muka. Pada bagian ini akan diungkap pemikiran-pemikiran Hassan yang tampak kemuka serta karya-karya yang telah dilahirkannya.
Menurut Federspiel, penafsiran Hassan tentang ajaran-ajaran dasar Islam sangat erat kaitannya dengan ajaran-ajaran Suni yang diungkapkan oleh teolog klasik Abu Hasan al-Asy‘ari, pemikir modernis Muhammad Abduh, dan aktifis neo-fundamentalis Abul A‘la al-Mawdudi. Kesamaan Hassan dengan tiga tokoh sebelumnya ialah penekanan pada pentingnya Tuhan sebagai pencipta awal dan sebagai wujud dengan kesempurnaan total.48
Wujud kesempurnaan total Tuhan ialah sebagai pengatur dan pemelihara alam semesta dengan menetapkan aturan-aturan dan pola-pola standar yang dikenal manusia sebagai “hukum” atau “hukum agama”. Menurut Hassan, pada dasarnya untuk mengamalkan dan memahami
hukum agama setiap orang haruslah berijtihad,49 bukan malah bermazhab
ataupun bertaklid kepada siapa pun, termasuk bertaklid kepada Imam
Mazhab.50 Hal ini serupa dengan para ulama modernis lainnya, yang
meletakkan posisi ijtihad vis a vis taklid.51 Gagasan Hassan tersebut
48 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), terj. Ruslani dan Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2004), 177.
49 Menurut Hassan, ijtihad ialah bersungguh-sungguh memeriksa keterangan tentang suatu perkara yang sulit, dengan memahami secara halus atau dengan mengkiaskan. Lihat Mughni, Hassan Bandung, 27. Sementara itu menurut Abu Zahra, ijtihad adalah Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fikih dalam menetapkan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalil-nya secara terperinci (satu persatu). Lihat Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr, t.t), 379.
50 Ahmad Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan (Bangil: Pustaka Elbina, 2005), 468.
51 Taklid ialah meniru mengerjakan atau menerima sesuatu hukum dari seseorang dengan tidak mengetahui dasar hukumnya. Mughni, Hassan Bandung, 28. Sedangkan menurut Hasbi al-Shiddieqy, Taklid ialah mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya
53 bertujuan untuk menumbuhkan semangat berijtihad dan mengembalikan umat kepada ajaran yang murni, yakni dengan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah”. Namun, hal tersebut bertentangan dengan keadaan umat Islam Indonesia yang beragama dengan berpegang pada pendapat para Imam Mazhab. Oleh sebab itu, semangat berijtihad Hassan adalah koreksi
terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran agama umat Islam saat itu,52
khususnya kelompok tradisionalis.
Selain taklid, Hassan juga mengkritik amalan umat Islam tradisionalis yang lain, seperti talkin, pembacaan niat sebelum salat (uṣallī), dan
tawassul dengan menyebutnya sebagai bidah. Akan tetapi nampaknya
bermazhab dan taklid ialah persoalan yang amat mendasar dalam praktik keagamaan umat Islam Indonesia, yang hingga dewasa ini masih ramai diperbincangkan.
Untuk membela gagasannya, Hassan mengutip ayat-ayat al-Qur’an hingga perkataan Imam-imam Mazhab yang kesemuanya menunjukkan larangan umat Islam bermazhab dan taklid. Di antara ayat al-Qur’an yang secara tegas melarang taklid yang dikutip Hassan ialah surah al-Isra: 36.
َت لََوَ
ًلَْوـ ْس َم ُهْنَع َناَك َكِٕىُٔ لوُا ُّلُك َدا َؤ ُفٰٰۤ لا َو َر َصَبْ ْ
لا َو َع ْم اسلا ان ِاۗ ٌمْلِع ٖهِب َكَل َسْيَل اَم ُفْق
٣٦
/ءٰۤارسلَا (
17
:
36
)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Menurut Hassan, ayat ini menjadi dasar untuk haramnya bermazhab dan taklid. Karena pada ayat tersebut, Allah swt. mengejek para ahli kitab karena mengikuti dan bertaklid kepada perkataan guru-guru mereka yang
itu bukan suatu hujjah syar‘iyyah tanpa ada hujjah. Lihat Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 207.
54
seolah-olah guru-guru mereka itu Tuhan.53 Selain itu, Hassan mengutip ayat
al-Qur’an lainnya, yakni al-Taubah: 31, Ali ‘Imran: 31, 103, al-An‘ām: 57, 153, A‘raf: 3, Maidah: 44-45, 47, 49, 104, Nisa: 65, 59, 105, al-Nahl: 116, Yunus: 59, 78, al-Hasyr: 7, al-Ahzab: 21, 36, 66-67, al-Baqarah:
111, 170, al-Zukhruf: 22-24, al-Syu‘ara: 74, al-Nur: 51.54
Gagasan anti mazhab dan anti taklid ini mendapatkan tanggapan dari Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul ‘Ulama (NU). Menurut Hasbullah, orang yang tidak bisa berijtihad wajib taklid kepada salah satu dari imam-imam mazhab. Hal ini berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an antara lain surah al-Nahl: 43, al-Nisa: 59, al-Taubah: 100. Dikuatkan pula oleh sebuah hadis yang memerintahkan untuk bertanya apabila tidak memiliki pengetahuan atas suatu persoalan. Demikian
pendapat Abdul Wahab Hasbullah.55
Husain al-Habsyi adalah tokoh lain yang turut menanggapi pemikiran Hassan mengenai mazhab dan taklid. Menurutnya, polemik mazhab fikih yang digaungkan Hassan akan melemahkan kesatuan umat Islam yang ketika itu sedang mengkampanyekan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Lagi pula, penguasaan Hassan dalam bahasa Arab dinilai tidak memadai dan menjadi kendala dalam memahami nash agama. Kritik Habsyi yang lebih tertuju pada persoalan mazhab ialah sebagaimana para tokoh tradisionalis lainnya. Yakni berkeyakinan bahwa mengikuti mazhab memiliki dasar yang kuat dalam al-qur’an dan Sunnah, dan pendapat para
ulama mazhab itu sesuai dengan dua sumber utama ajaran Islam.56
Tujuan utama dari apa yang dilakukan Hassan adalah menekankan posisi penting dan perlunya umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia,
53 Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan, 476.
54 Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan, 514-525.
55 Mughni, Hassan Bandung, 37-40.
55
kembali kepada al-Qur’an dan hadis.57 Artinya mengembalikan segala
perbuatan hanya berpedoman pada keduanya sesuai dengan pemahaman pribadi (ijtihad) atas makna-makna yang ditangkap oleh pembaca.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, Hassan adalah seorang penulis produktif. Sebagian besar karya-karyanya menjadi buku pedoman di Pesantren Persis sekaligus menjadi pegangan untuk para anggota Persis. Mughni mencatat tidak kurang dari 80 karya Hassan yang
telah dipublikasikan,58 belum termasuk artikel-artikel yang bertebaran pada
beberapa surat kabar yang pernah memuat tulisannya.
Endang Saifuddin Ansari mengelompokkan karya-karya Hassan menjadi tujuh kelompok. Pertama, mengenai Nabi Muhammad saw., seperti Benarkah Muhammad itu Rasul (1931). Kedua, mengenai sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis, seperti: Al-Hidayah (1949), Tafsir
Surah Yasin (1951), Tafsir Al-Furqan (1956) yang disebut-sebut sebagai masterpiece dari Hassan, Hafalan (1940), Al-Jawahir (1949). Ketiga,
berkaitan dengan akidah, seperti: Adakah Tuhan? (1962), Al-Tauhid (1937),
An-Nubuwwah (1941). Keempat, mengenai hukum syariah yakni yang
berkaitan dengan ibadah dan muamalah, seperti: Pengajaran Shalat (1930),
Risalah Kudung (1941), Al-Burhan (1941), Al-Faraidh (1949), Kitab Zakat
(1949).
Kelima, berkaitan akhlak, seperti, Hai Cucuku (1948), Al-Hikam
(1939), Kesopanan Tinggi (1939), Kesopanan Islam (1939). Keenam, mengenai studi Islam yakni yang berkaitan dengan teologi, ilmu fikih, dan
57 Minhaji, A. Hassan Sang Ideologi, 113.
58 Mughni, Hassan Bandung, 127-129; Dalam kodifikasi Tamar Djaja, buah karya Hassan yang telah diterbitkan, sebelum ia wafat, terdapat 63 judul buku dan 9 judul yang belum terbit. Judul buku yang belum diterbitkan beberapa sama dengan yang dicatat oleh Mughni. Dalam Tamar Djaja tidak terdapat judul Hikmat dan Kilat dan Kamus Al-Bayan, tetapi terdapat Bulughul Maram II dan Ringkasan Islam. Lihat Tamar Djaja, Riwayat Hidup, 168.
56
ushul fikih, ilmu akhlak, ilmu tasawuf, dan lain sebagainya, seperti:
Soal-Jawab (1931), Al-Mukhtar (1931), Talqin (1931), Apa Dia Islam (1952). Ketujuh, mengenai pelbagai persoalan hidup yakni berkaitan dengan politik,
ekonomi, sosial, kesenian, ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan
agama,59 seperti: Merebut Kekuasaan (1946), Tertawa (1947), Kamus
Rampaian (1947), Pemerintahan Cara Islam (1947), A.B.C Politik (1947), Debat Riba (1931), dan banyak lagi karyanya.
Selain menulis buku, Hassan juga sangat rajin menulis artikel-artikel yang termuat dalam berbagai media. Sewaktu di Singapura Hassan menjadi kontributor tetap pada surat kabar Utusan Melayu diterbitkan Singapore Press. Pada majalah-majalah yang ia dan Persis terbitkan. Di antaranya yakni, Pembela Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan, Majalah Aliran Islam, Laskar
Islam, Daulah Islamiyyah, Suara Ahlu Sunnah Wal Jamaah, Hikam,
Al-Muslimun, Risalah dan Panji Islam.60 Melalui media-media tersebut
masyarakat luas di luar keanggotaan Persis dapat menikmati karya-karya
pemimpin Persis, khususnya Hassan.61 Dengan kata lain, karya-karya
Hassan dapat melampaui keanggotan Persis itu sendiri, yang jumlahnya tidak sebanyak organisasi Islam lain seperti NU dan Muhammadiyah.
Menurut Minhaji, Hassan dalam setiap karyanya jarang sekali menyebutkan nama-nama kitab sumber yang dirujuknya. Rujukan yang selalu ia cantumkan ialah al-Qur’an dan hadis. Walaupun demikian, ia tampak terpengaruhi pelbagai karya yang mayoritas berbahasa Arab dan
Inggris.62 Selanjutnya, Hassan dalam banyak karyanya menggunakan
penyajian materi dengan metode tanya-jawab, yang terlihat sangat
59 Endang Saifuddin Ansari, “A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid”, dalam Abdul Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran (Kuala Lumpur: Penerbitan Pena, 1989), 131.
60 Minhaji, A. Hassan Sang Ideologi, 105.
61 Minhaji, A. Hassan Sang Ideologi, 106.
57 menonjol dalam menggunakan metode ini dibanding dengan tokoh dan
organisasi lainnya.63 Lebih lanjut, Hassan secara konsisten menggunakan
bahasa Melayu dalam aksara Roman, berbeda dengan karya-karya terdahulu yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi menggunakan aksara
Arab, atau aksara Pegon atau Jawi.64
Karya lain yang tak terkatakan dari Hassan yakni sistem transliterasi dari Arab ke Melayu. Pada masa itu belum dikenal transliterasi seperti yang dikenalkan oleh Hassan. Hassan juga turut mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia. Pengaruhnya yakni dalam memberikan definisi dan
istilah-istilah keagamaan dalam bahasa Indonesia.65