BAB III AHMAD HASSAN: BIOGRAFI DAN TAFSIR AL-
B. Ideologi Tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an
Tafsir pada hakikatnya bermuara pada dua kategori, yakni tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Tafsir sebagai proses artinya sebuah upaya penggalian kedalaman makna al-Qur’an, disebut nalar tafsir. Sebagaimana telah penulis simpulkan di atas, Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan dalam upayanya menggali makna al-Qur’an menggunakan nalar tafsir ideologis. Sementara tafsir sebagai produk, dipahami sebagai hasil dialektika seorang mufasir dan al-Qur’an yang dikelilingi oleh konteks sosio-kultural, dapat dijumpai dalam berbagai kitab tafsir, disebut ideologi tafsir. Pada sub-bab inilah penulis akan memaparkan ideologi tafsir yang terdapat dalam Al-Furqan Tafsir Qur’an karya Ahmad Hassan.
Berbeda dengan ketika menganalisis nalar tafsir. Dalam mengungkap ideologi tafsir Al-Furqan Tafsir Qur’an penulis memotret gagasan yang sering disuarakan oleh Hassan, yakni “kembali kepada al-Qur’an dan hadis”. Berdasarkan Risalah Taqlid dan Risalah Mazhab karya Hassan terdapat dua puluh delapan ayat yang berbicara tentang gagasan tersebut, yakni Baqarah: 111, 170; Ali ‘Imrān: 31, 103; Nisā’: 59, 65, 105; al-Mā’idah: 44, 45, 47, 49, 104; al-An‘ām: 57, 153; al-A‘rāf: 3; al-Tawbah:
84
31; Yūnus: 59, 78; al-Naḥl: 36, 116; al-’Isrā’: 36; al-Nūr: 51; al-Syu‘ara’:
74; al-Aḥzab: 21, 36, 66-67; al-Zukhruf: 22-24 dan al-Ḥasyr: 7.42
Berdasarkan analisis penulis, sejumlah ayat di atas dapat dikelompokkan kedalam beberapa tema yang turut menguraikan gagasan Hassan tersebut. Pertama, larangan bertaklid, sebagaimana tergambar dalam penafsiran Hassan pada surah al-’Isrā’ ayat 36. “Padahal pendengaran, penglihatan, dan hati, akan diperiksa tentang perilaku
bertaklid tanpa pengetahuan itu”.43Menurut Hassan, mengikuti fatwa kiai
tanpa mengetahui dalil-dalil syar‘i-nya serta para Imam mazhab termasuk ke dalam taklid, yakni meniru, menerima, mengerjakan sesuatu hukum dari
seseorang dengan tidak mengetahui alasannya dari al-Qur’an atau hadis.44
Apabila membaca surah al-’Isrā’ ayat 36 secara utuh, maka bertaklid adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Termasuk pula mengikut kepada para Imam Mazhab dan lebih-lebih kepada kiai atau tokoh agama karena setiap
potensi yang dianugerahkan kepada manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya. Hal ini juga diaminkan pula oleh Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, ketika menafsirkan ayat yang sama dengan mengatakan: “Janganlah kita main ikut-ikutan saja atau bertaklid buta,
melainkan bertindaklah dengan pengetahuan yang jelas”.45
Sementara itu, Menurut Hasyim Asy‘ari, seseorang wajib bertaklid kepada para Imam Mazhab atau ulama yang mendalam ilmu agamanya. Hal ini berdasarkan pada al-Naḥl ayat 43, Hasyim Asy‘ari memahami perintah bertanya pada ayat tersebut sebagai kewajiban bertanya bagi orang yang tidak mengetahui kepada ulama, serta menyamakan hal tersebut dengan taklid kepada ulama. Kebiasaan bertanya kepada para ulama, menurut
42 Ahmad Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan (Bangil: Pustaka Elbina, 2005).
43 Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur’an, h. 452.
44 Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan, 493.
45 Zainuddin Hamidy dan Fachruddin H.s, Tafsir Quran (Jakarta: Penerbit Widjaya Djakarta, 1967), Cet, 4, 399.
85 Hasyim Asy‘ari, sudah dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. juga para
tabiin. 46 Dengan demikian, mengikuti pendapat para ulama adalah wajib
bagi orang-orang awam agar sesuai pemahamannya dengan para ulama. Menurut Hassan, Allah swt. mencela perilaku taklid, seperti yang telah terekam dalam al-Qur’an. Misalnya dapat dilihat pada surah al-Baqarah: 111 dan 170, al-Mā’idah: 104, Yūnus: 78, al-Syu‘arā’: 74, al-Zukhruf: 22 dan 23-24. Penafsiran Hassan memberikan gambaran ayat-ayat perilaku taklid dengan memberikan penafsiran atas ayat tersebut. Sebagaimana tergambarkan dalam surah al-Zukhruf: 22.
َن ْو ُدَتْه ُّم ْم ِهِرٰثٰا ىٰٓلَع اانِااو ٍةامُا ىٰٓلَع اَنَءٰۤاَبٰا ٓاَنْدَجَو اانِا آْوُلاَق ْلَب
٢٢
Bahkan, mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan kami hanya mengikuti jejak
mereka.”47
Pada ayat tersebut Hassan memberikan catatan kaki dengan nomor 16, yang menjelaskan bahwa “Yakni orang-orang tua kami mempunyai agama
dan cara-caranya yang tertentu, maka kami mengikuti jejak mereka.”48 Ayat
tersebut menggambarkan perilaku taklid dalam al-Qur’an. Gambaran perilaku taklid dapat pula dijumpai pada al-Mā’idah: 104.
ٰا ِهْيَلَع اَن ْدَجَو اَم اَنُب ْسَح اْوُلاَق ِلْو ُسارلا ىَلِاَو ُهّٰللا َلَزْنَا ٓاَم ىٰلِا اْوَلاَعَت ْمُهَل َلْيِق اَذِاَو
َب
ۗ اَن َءاٰۤ
َن ْو ُدَتْه َي لَاو اَ ً
ـْي َش َن ْو ُمَلْعَي لَ ْم ُه ُؤَ اَبٰا َناَك ْوٰۤ ل َوَاَ
١٠٤
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti sesuatu yang Allah turunkan dan (mengikuti) Rasul,” mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan
46 Muhammad Hasyim Asy‘ari, Risalah Ahlussunah wal Jama‘ah, terj. Ngabdurrohman al-Jawi (Jakarta: LTM-PBNU, 2011), 28-30.
47 Terjemah Kemenag 2019.
86
mengikuti nenek moyang mereka) walaupun mereka itu tidak mengetahui
sesuatu pun dan tidak (pula) mendapat petunjuk?49
Hassan memberikan catatan kaki pada terjemahan frasa
اَن ْد َج َو ا َم اَنُب ْس َح
ۗ اَن َءاَبٰا ِهْيٰۤ َلَع
dengan penafsiran “Maksudnya, cukuplah bagi kami agama yang dianut dan dikerjakan oleh nenek moyang kami”. Inilah salah satu ayat yang menggambarkan perilaku taklid yang terekam dalam al-Qur’an. Masih padaayat yang sama, Hassan menafsirkan kalimat “
اً
ـْي َش َن ْو ُمَلْعَي لَ ْم ُه ُؤَ اَبٰا َناَك ْوٰۤ ل َوَاَ
َن ْو ُدَتْه َي لَاوَ
”. Menurut Hassan, kalimat tersebut adalah pertanyaan dari Tuhan kepada sekelompok orang kaum yang bertaklid kepada nenek moyang mereka yang beribadah tanpa dasar keterangan firman Allah swt dalamal-Qur’an atau pun dari hadis Rasulullah saw.50
Pada surah al-Mā’idah ayat 104 berisi tentang kebiasaan orang-orang Mekah pada masa sebelum Islam. Orang-orang Mekah pada masa sebelum Islam hingga diutusnya Nabi Muhammad saw. belum keseluruhannya beriman, sebagian masih ada yang mengikuti kepercayaan para orang tua mereka seperti yang tercantum dalam al-Mā’idah: 104. Jadi, kaum tersebut diajak untuk mengikuti Allah swt. dan Rasulullah saw. karena mereka bertaklid kepada orang tua dan nenek moyang mereka yang tidak mengenal Islam.
Berbeda halnya dengan taklid yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia yang mengikuti para kiai dengan sanad keilmuan sampai kepada para Imam Mazhab, bukan nenek moyang yang tidak mengenal Islam. Dari sini tampak pemahaman Hassan yang kaku terhadap pengertian taklid,
49 Terjemah Kemenag 2019.
87 hanya fokus pada mengerjakan sesuatu tanpa mengetahui petunjuk al-Qur’an dan hadisnya.
Kedua, larangan berhukum tanpa keterangan dari Allah swt, baik dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Misalnya telihat pada surah Yūnus: 59, al-Naḥl: 116. Keduanya menentang mengatakan suatu hukum yang datangnya bukan dari Allah swt. Hassan menegaskan maksud ayat-ayat tersebut dengan menafsirkannya secara singkat, sebagaimana terlihat pada catatan kaki nomor 27 pada surah Yūnus: 59.
Apakah Allah mengizinkan kalian untuk menghalalkan itu dan mengharamkan ini? Ataukah kalian mendustakan nama Allah? Karena kalau kalian katakan itu haram atau ini halal, tentunya orang awam akan menyangka kalau pernyataan halal dan haram itu datangnya dari Allah. Jadi, dengan perbuatan kalian itu, berarti kalian telah
mendustakan nama Allah.51
Dalam penafsiran Hassan di atas, ia menegaskan bahwa perkara-perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh manusia tidak diperkenankan disandarkan bahwa keputusan itu berasal dari Allah swt. Hal ini bertalian kuat dengan penafsiran Hassan pada surah al-Naḥl: 116, ia menyatakan bahwa manusia dilarang mengatakan hukum suatu benda tanpa ada
keterangan dari Allah swt.52 Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan sikap
gegabah seorang Hassan yang bertujuan mengkritik fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kiai atau ulama mazhab atas suatu perkara hukum. Hassan mengira, mereka tidak mendasarkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan hadis.
Sementara itu, apabila ditinjau kedalam kitab-kitab fikih ulama mazhab pasti mendasari pendapat mereka kepada sumber-sumber hukum Islam, yang diantaranya adalah Qur’an dan hadis. Misalnya pada kitab Fatḥ
51 Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur’an, 342.
88
Mu‘īn bi syarḥ Qurrati al-‘Ayni bi Muhimmāti al-Dīn karya Aḥmad Zayn
al-Dīn al-Malībāriy menuliskan sebagai berikut:
ِساَيِقلا َو ِعاَم ْجِْ لْا َو ِةان ُّسْ لا َو ِباْ َتِكْلا َنِم ُهُداَدْمِت ْسِاَو
53
“Adapun pengambilan bahannya adalah dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak dan Kias”.
Selanjutnya, dua kelompok ayat di atas berisi larangan bagi umat Islam untuk bertaklid dan mengambil hukum selain keterangan dari Allah swt. Pada kelompok ketiga, berbicara tentang perintah mengambil dan menetapkan hukum dari dua sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadis. Dapat terlihat pada Ali ‘Imrān: 31, 103, Nisā’: 65, 105, Mā’idah: 44, An‘ām: 57, 153, A‘rāf: 3, Tawbah: 31, Nūr: 51, al-Aḥzab: 21, 36, 66-67, dan al-Ḥasyr: 7. Menurut penulis, ayat utama dari gagasan ini ialah al-Aḥzab: 36.
ْؤ ُم لَاو ٍنِمَ ْؤُ ِلَ َناَك اَمَو
ْن ِم ُةَرَي ِخ ْلا ُمُهَل َنْوُكاي ْنَا اًرْمَا ٓٗهُلْو ُسَرَو ُهّٰللا ى َ ضَق اَذِا ٍةَنِم
ۗ
اًنْيِب ُّم ًلاٰلَض الَض ْدَقَف ٗهَلْو ُس َرَو َهّٰللا ِصْعاي ْنَمَوۗ ْمِهِرْمَا
٣٦
Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,
sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.54
Ayat di atas ditafsirkan oleh Hassan pada catatan kaki nomor 33, “Apabila Allah atau Rasul-Nya telah memutuskan suatu hukum terhadap seorang mukmin, lelaki atau perempuan, maka dia wajib menerimanya dan
tidak boleh memilih, mau menerima atau tidak.”55 Melalui penafsirannya
Hassan menegaskan bahwa dalam hukum Islam tidak ada tawar-menawar
53 Aḥmad Zayn al-Dīn b. ‘Abd al-‘Azīz al-Malībāriy, Fatḥ al-Mu‘īn bi syarḥ Qurrati al-‘Ayni bi Muhimmāti al-Dīn (Beirut; Dār Ibn Ḥazm, 2004), 34.
54 Terjemah Kemenag 2019.
89 untuk menerima ketentuan yang telah ditetapkan hukumnya. Seorang Muslim hendaknya menerima hukum dari Allah swt. tanpa menimbang atau memperhatikan penerapannya. Padahal teks al-Qur’an dan hadis itu adalah multitafsir dalam memahaminya dan perlu pertimbangan-pertimbangan akal dalam penerapannya. Seharusnya ayat tersebut perlu ditafsirkan lebih jelas dan panjang lebar, mengenai berbagai hal yang melingkupi ayat tersebut. Agar dapat dipahami lebih komprehensif.
Pada ayat yang lainnya, Hassan juga menegaskan bahwa menurunkan azab ialah keputusan Allah swt. Sebagaimana dapat dijumpai ketika Hassan frasa
ِهّٰلِل الَِا ُمْكُح ْلا ِنِا
pada catatan kaki nomor 49, surah al-An‘ām: 57.“Hukum atau keputusan menurunkan azab itu ada di tangan Allah”.56 Jadi,
segala hukum serta keputusan bagi kehidupan seorang Muslim ialah bergantung pada kekuasaan Allah swt. Menurut Hassan, mengutip Siti Aisyah, Allah swt. merupakan Maha Adil dan Allah memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak. Menurut Aisyah, hal demikian menjadikan Hassan dalam pemikiran teologi bercorak tradisional dan fundamental, dapat
digolongkan kepada Salafiyah dan Asy‘ariyah.57
Oleh karena tidak ada tawar-menawar dalam menerima hukum dan keputusan azab itu ada pada kehendak Allah swt. maka sesiapa tidak berhukum dengan keputusan yang telah ditetapkan Allah swt. termasuk kedalam golongan orang-orang kafir. Sebagaimana tampak pada penafsiran Hassan atas surah al-Mā’idah: 44.
ْوُّيِبانلا اَهِب ُمُكْحَي ٌۡۚرْوُناو ى ًدُه اَهْيِف َةىٰرْواتلا اَنْلَزْنَا ٓاانِا
ا ْو ُدا َه َنْي ِذالِل اْوُمَل ْسَا َنْيِذالا َن
ا ُو َش ْخَت لا َف َۡۚءٰۤا َد َه ُش ِهْيَ َلَع اْوُناَكَو ِهّٰللا ِبٰتِك ْنِم اْوُظِفْحُت ْسا اَمِب ُراَبْحَ ْلَاَو َنْوُّيِنّٰبارلاَو
56 Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur’an, 219.
57 Siti Aisyah, “Pemikiran Ahmad Hassan Bandung Tentang Teologi Islam” (Tesis S2, Pascasarjana UIN Sumatera Utara, Medan, 2017), 170.
90
ْحَي ْمال ْن َم َوۗ ًلاْيِلَق اًنَمَث ْي ِتٰيٰاِب ا ْوُرَت ْشَت َلََو ِنْو َشْخاَو َساانلا
َكِٕىلوُا َف ُهّٰللا َلَزْنَا ٰٰۤ ٓ
ا َمِب ْمُك
ُم ُه
َن ْوُر ِفٰكْلا
٤٤
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengannya para nabi, yang berserah diri (kepada Allah), memberi putusan atas perkara orang Yahudi. Demikian pula para rabi dan ulama-ulama mereka (juga memberi putusan) sebab mereka diperintahkan (oleh Allah untuk) menjaga kitab Allah dan mereka merupakan saksi-saksi terhadapnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut
ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.58
Kemudian ditafsirkan oleh Hassan dengan catatan kaki nomor 24, sebagai berikut.
“Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan penerangan yang dijadikan dasar oleh para nabi, orang alim, dan pendeta Bani Israil untuk menghukum kaum Yahudi dengan amanat dari Kitab Allah yang diembankan kepada mereka, sementara kaum Yahudi menyaksikan kebenaran Kitab itu. Oleh karena itu, hendaklah kalian takut kepada-Ku dan janganlah kalian takut kepada manusia. Janganlah kalian melupakan ayat-ayat-Ku karena hendak mendapat sedikit harta dunia. Barang siapa tidak berhukum dengan apa
yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”59
Selain menjadi kafir, orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah swt. termasuk orang-orang zalim dan orang-orang fasik seperti tertuang dalam al-Mā’idah: 45 dan 47. Namun, pada kedua ayat tersebut Hassan tidak memberikan ulasan mengenai dua hal tersebut yang sebenarnya perlu dijelaskan lebih jauh. Karena bagi Hassan dua ayat tersebut juga termasuk dalam perintah mengambil dan menetapkan hukum dari al-Qur’an.
58 Terjemah Kemenag 2019.
91 Selain itu, pengambilan hukum dalam Islam juga berasal dari perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam. Hal demikian termaktub dalam al-Qur’an surah Ali ‘Imrān: 31, al-Nisā’: 65, al-Nūr: 51, al-Aḥzab: 21, 66-67, dan al-Ḥasyr: 7. Nabi Muhammad saw. disebut sebagai uswatun Ḥasanatun, yakni teladan bagi umat Islam, maka segala geraknya menjadi pedoman dalam hukum Islam. Menurut Hassan, diri Nabi Muhammad saw. adalah teladan yang patut untuk diikuti. Sebagaimana penafsiran Hassan pada surah al-Aḥzab: 21, dengan catata kaki nomor 22. “Yakni diri Rasulullah itu bagi kalian
adalah satu teladan yang patut diikuti.”60 Oleh karena ayat ini, Hassan
mengharamkan taklid kepada manusia manapun kecuali Nabi Muhammad saw. yang dapat ditelusuri perkataan, perbuatan dan persetujuannya melalui hadis-hadis yang telah terbukukan. Meminjam istilah Yusuf Qardhawi,
taklid kepada Allah swt. dan rasul-Nya disebut sebagai taklid syakhsi.61
Sementara itu, Mahmud Yunus memahami ayat ini lebih luas dan toleran. Menurutnya, suri teladan pada diri rasulullah saw. patut dijadikan contoh oleh para pemimpin Islam dan ulama-ulama, tidak hanya dalam mengajarkan agama Islam kepada umat, akan tetapi juga menerapkan budi
pekerti seperti rasulullah saw. agar menjadi contoh bagi umat.62 Artinya,
umat Islam perlu melihat para pemimpin dan ulama untuk dijadikan contoh dan pedoman dalam beragama seraya mengikutinya, tidak semata-mata meniru rasulullah saw. yang masa hidupnya berbeda zaman.
Pada ayat lainnya, yakni al-Ḥasyr: 7, Hassan memberikan penafsirannya atas keseluruhan ayat tersebut, sebagai berikut.
Harta-harta rampasan dari Kaum Yahudi penduduk desa-desa yang diusir keluar yang lalu Allah serahkan kepada Rasul-Nya itu adalah hak
60 Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur’an, 702.
61 Yusuf Qardhawi, Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid >< Ijtihad (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), 16.
92
Allah, Rasul-Nya, keluarganya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Allah memerintahkan demikian supaya harta itu tidak beredar di tangan orang-orang yang mampu saja. Namun, terimalah apa yang dikasih atau diperintahkan Rasul, jauhilah apa yang dia larang, serta berbaktilah kepada Allah karena Allah itu pedih siksa-Nya terhadap orang yang tidak taat.63
Dalam kerangka pemikiran gagasan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” yang menjadi titik tekan pada penafsiran ayat di atas ialah kalimat “
ۡۚا ْو ُهَتْنا َف ُهْنَع ْم ُكىٰه َن ا َم َو ُه ْو ُذ ُخَف ُل ْو ُسارلا ُم ُكىٰتٰا ا َم َوٓ
ditafsirkan oleh Hassan menjadi “...terimalah apa yang dikasih atau diperintahkan Rasul, jauhilah apa yang dia larang...”. Perintah tersebut, menurut Hassan juga berlaku perihal pengambilan hukum Islam yang lainnya. Padahal jika ditinjau pada sebab turunnya, ayat tersebut memiliki signifikansi pada pembagian harta yang disebut al-Fai’. Namun pada ayat tersebut Hassan memaknainya secara umum tentang dalil menjadikan keputusan Rasulullah saw. sebagai dasar hukum Islam. Penafsiran yang menurut penulis terlalu memaksakan kehendak mufasirnya, tanpa menjelaskan ayat tersebut lebih jauh lagi sebelumnya.Dengan demikian, menurut Hassan, perintah mengambil dan menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan hadis itu terdapat dalil-dalilnya dalam al-Qur’an. Terkadang perintah tersebut berjalan beriringan antara firman Allah swt. dan sabda Nabi Muhammad saw., namun terdapat juga yang hanya kepada Allah swt. saja atau pun kepada Nabi Muhammad saw. saja. Penafsirannya Hassan seringkali menafsirkan secara parsial, sepotong-sepotong, tidak memahami suatu ayat secara keseluruhannya secara utuh. Sehingga pemahaman yang pembaca dapatpun berdasarkan penafsiran yang sepotong-sepotong tersebut.
93 Sementara itu, kelompok ayat yang keempat, yakni perintah berijtihad yang didasarkan pada surat al-Nisā’: 59.
ُت ْعَزاَنَت ْنِاَف ْۡۚمُكْنِم ِرْمَ ْلَا ىِلوُاَو َلْو ُسارلا اوُعْيِطَاَو َهّٰللا اوُعْيِطَا آْوُنَمٰا َنْيِذالا اَهُّيَآٰي
ْم
َ َ ْي ِف
ٍء ْي
ُن َس ْحَا او ٌرْي َخ َك ِلٰذ ِۗر ِخٰ ْلَا ِمْوَيْلاَو ِهّٰللاِب َنْوُنِمْؤُت ْمُتْنُك ْنِا ِلْو ُسارلاَو ِهّٰللا ىَلِا ُهْوُّدُرَف
َت
ًلاْيِوأْ
٥٩
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di
dunia dan di akhirat).64
Kemudian ayat di atas ditafsirkan oleh dengan membaginya menjadi dua bagian. Bagian yang pertama, Hassan membedakan jenis-jenis ketaatan kepada Allah swt., kepada Rasulullah saw., dan kepada para pemimpin kaum muslimin. Menurut Hassan, ketaatan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya berlaku dalam berbagai perkara keduniaan, ibadah, dan perkara lainnya. Sedangkan ketaatan kepada para pemimpin kaum muslim hanya berlaku dalam perkara keduniaan saja, selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Penafsiran bagian kedua, yakni pada kalimat
ْي ِف ْمُتْعَزاَنَت ْنِاَف
ِلْو ُسارلاَو ِهّٰللا ىَلِا ُهْوُّدُرَف ٍءْي َ َ
yang ditafsirkan oleh Hassan menjadi “Yakni carilah keputusan dengan merujuk kepada al-Qur’an dan hadis dengan jalanpemahaman atau kias”.65 Berdasarkan penafsiran tersebut, maka
perkara-perkara yang hukumnya masih belum diketahui harusnya dikembalikan kepada al-Quran dan hadis.
64 Terjemah Kemenag 2019
65 Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur’an, 147. Catatan kaki nomor 48, sementara penafsiran sebelumnya ialah nomor 47.
94
Pernyataan di atas tidak hanya menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan hadis, maksudnya ialah memerintahkan untuk menghasilkan produk hukum dengan perantara pemahaman mendalam dan kias: ijtihad. Sekaligus mengkritik kebiasaan umat Islam Indonesia yang selalu mengandalkan produk hukum dari ulama pada suatu perkara, tanpa mau berusaha menghasilkan ijtihadnya sendiri dalam perkara yang sebelumnya tidak diketahui dengan kembali kepada al-Qur’an dan hadis.
Di sinilah terlihat kekurangan penafsiran Hassan yang tidak mengaitkan kondisi sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia. Karena tidak semua umat Islam dapat mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan hadis, sebagaimana seorang mujtahid berijtihad. Adapun syarat menjadi seorang mujtahid pun tidaklah mudah, yakni sedikitnya menguasai delapan bidang pengetahuan. Meliputi ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, hadis-hadis hukum, ijma‘ mujtahid terdahulu, qiyas, mantik, bahasa Arab,
nāsikh-mansūkh, dan kepribadian para rawi. 66
Dengan demikian, slogan kembali kepada al-Qur’an dan hadis dapat dibagi menjadi dua persoalan, yakni larangan dan perintah. Larangan untuk bertaklid tanpa pengetahuan didalamnya, sekalipun hal tersebut dilakukan kepada orang-orang tua terdahulu dan nenek moyang, bahkan kepada ahli agama. Larangan mengambil dan menetapkan hukm tanpa keterangan dari Allah swt. dan Rasulullah saw., al-Qur’an dan hadis. Selain itu, mengandung dua perintah yang hendaknya dilakukan oleh umat Islam. Yakni perintah berhukum dengan berlandaskan pada dua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan hadis. Perintah untuk melakukan ijtihad pada perkara-perkara yang tidak diketahui hukumnya, dengan merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
66 Badr al-Dīn Muḥammad Bahādir b. ‘Abdullāh al-Zarkasyī, Al-Baḥr al-Muḥiṭ fī Uṣūl al-Fiqh, Jil. II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 486.
95 Dengan demikian, perilaku taklid yang dijalankan oleh mayoritas (untuk tidak menyebut semua) umat Islam Indonesia adalah perbuatan yang dilarang dalam agama (Islam). Hal ini disebabkan pemahaman Hassan yang menempatkan taklid vis a vis ijtihad, yakni menempatkan ijtihad pada satu posisi dan taklid pada sisi yang lain. Sehingga pemahamannya terhadap taklid menjadi kaku dan tidak toleran.
Apabila taklid dipahami secara historis, maka kekakuan yang ditimbulkan oleh definisi taklid akan terlihat berbeda, yakni taklid akan diposisikan sebagai puncak kemapanan dari ijtihad. Sebuah upaya menghargai dan melanjutkan apa yang telah dicapai oleh ulama-ulama sebelumnya, bukanlah suatu ketidak mampuan ulama belakangan dalam menentukan suatu hukum. Selain itu, dengan adanya taklid maka muncullah budaya kodifikasi hukum yang disepakati sebagai rujukan hukum, dan umat
Islam mendapatkan kepastian hukum dalam banyak perkara.67 Dari sudut
pandang ini dapat disimpulkan bahwa Hassan tidak menghargai upaya yang telah dicapai oleh para ulama sebelum dirinya.
Sejumlah ayat al-Qur’an yang diajukan Hassan di atas, diyakininya sebagai dalil haramnya taklid dan seruan berijtihad tanpa kompromi dengan ditafsirkan secara tekstual demi mendukung pemahamannya. Disadari atau tidak, dengan begitu suatu ayat mengalami reduksi makna, inilah yang menurut Abdurrahman al-Akk sebagai salah satu faktor terjebaknya mufasir
pada penafsiran ideologis.68
Pada beberapa tempat Hassan menyebutkan historisitas ayat-ayat pelarangan taklid, tetapi hanya sebagian kecil saja serta tidak memberikan dampak yang begitu berarti dalam produk penafsirannya. Karena makna
67 Ahmad Imam Mawardi, “Sisi Positif Taqlid Dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Islamica, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, 253.
68 Khalid Abdurrahman al-Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduh (Beirut: Dār al-Nafāis, 1968), 227.
96
yang diperoleh Hassan berasal dari lafal yang umum, bukan dari sebab yang