MODEL OTOMATISASI ALAT PENGERINGAN BERBASIS LIMBAH TEMPURUNG KELAPA UNTUK PENGERINGAN BAHAN BAKU KERUPUK KULIT LEMBU
REPOSITORY
OLEH
HILDAYATI
NIM : 1603111084
PROGRAM STUDI S-1 FISIKA JURUSAN FISIKA
FALKUTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS RIAU
1 MODEL OTOMATISASI ALAT PENGERINGAN BERBASIS LIMBAH TEMPURUNG
KELAPA UNTUK PENGERINGAN BAHAN BAKU KERUPUK KULIT LEMBU
Hildayati*
Program S1 Fisika Fmipa-Universitas Riau
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau, Pekanbaru, Riau, 28293, Indonesia.
*Hildayati20@gmail.com ABSTRACT
The processing of raw material for cow skin crackers by home industry businesses is still very traditional, namely using the heat of the sun so it has many weaknesses, namely depending on weather conditions, inefficient and unhygienic. This study aims to design the drying technology of the automation system and to analyze the rate of reduction in water content of the raw material for the cow skin crackers. The parameters measured were moisture content and temperature in the drying device. Sampling of raw material for cow skin crackers was carried out at Kubang Raya Jalan Brotoseno, Widya Permana Lestari Housing. The results showed that the temperature changes in the dryer tended to be constant, namely 55.76 C and the moisture content of 20%, while in drying using the sun the temperature fluctuated with the weather and the moisture content was relatively small at 22%. The efficiency (η) of drying using biomass for 120 minutes and solar energy on sunny days for 300 minutes is 92.86%, while on cloudy days for 1680 minutes the efficiency is 60%.
Keywords: Technology, Drying, Soft Skin Crackers
ABSTRAK
Pengolahan bahan baku kerupuk kulit lembu oleh usaha home industry masih sangat tradisional yaitu menggunakan panas matahari sehingga memiliki banyak kelemahan, yaitu tergantung keadaan cuaca, tidak efisien dan tidak higienis. Penelitian ini bertujuan merancang teknologi pengering sistem otomatisasi dan menganalisa laju penurunan kadar air bahan baku kerupuk kulit lembu. Parameter yang diukur adalah kadar air serta temperatur pada alat pengeringan. Pengambilan sampel bahan baku kerupuk kulit lembu dilakukan di Kubang Raya Jalan Brotoseno Perumahan Widya Permana Lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan temperatur pada alat pengering cenderung konstan yaitu 55,76˚C dan kadar air yaitu sebesar 20% sedangkan pada pengeringan menggunakan panas matahari temperatur berfluktuasi terhadap cuaca dan kadar air relatif kecil sebesar 22%. Efisiensi (𝜂) pengeringan dengan menggunakan biomassa selama 120 menit dan energi matahari pada hari cerah selama 300 menit didapat 92,86% sedangkan pada hari mendung selama 1680 menit didapat efisiensi sebesar 60%.
2
1. PENDAHULUAN
Potensi peternakan di Provinsi Riau sangat menjanjikan hal ini dapat diukur berdasarkan jumlah ternak yang ada di Provinsi Riau. Direktorat Jendral Peternakan (2012) mencatat populasi sapi di Provinsi Riau pada tahun 2011 sekitar 159.855 ekor dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 179.472 ekor, artinya terjadi peningkatan populasi sapi sampai dengan 10,93%.
Home Industry adalah salah satu unit
usaha/perusahaan dalam skala kecil yang bergerak dalam bidang industri tertentu. Biasanya usaha ini hanya menggunakan satu atau dua rumah sebagai pusat produksi, administrasi, dan pemasaran sekaligus secara bersamaan. Bila dilihat dari modal usaha dan jumlah tenaga yang diserap tentu lebih
sedikit daripada perusahaan-perusahaan
besar pada umumnya.
Kerupuk kulit lembu merupakan makanan yang digemari oleh masyarakat dari semua kalangan baik tua maupun anak-anak. Untuk membuat kerupuk kulit sangat mudah dan relatif terjangkau modalnya. Misalnya kulit lembu yang telah di potong dadu di jemur dengan panas matahari selama beberapa hari sampai keadaan kulit lembu kering dan tidak ada kadar air lagi.
Pengolahan bahan baku kerupuk kulit lembu oleh usaha home industry masih
sangat tradisional yaitu menggunakan
penjemuran di bawah panas matahari. Teknik tradisional ini mengalami banyak kelemahan, yaitu tergantung keadaan cuaca, seperti hujan, dan tidak efesien karena harus dijaga dari gangguan hewan atau anak-anak yang bermain, dan tidak higienis.
Kelemahan teknik tradisional itu dapat diatasi dengan menerapkan teknologi berbasis biomassa dan menggunakan sistem otomatisasi, sehingga proses kerja dapat terkontrol melalui alat pengering yang sudah dilengkapi dengan pengukuran suhu secara digital.
Teknologi pengering sistem
otomatisasi ini bekerja dengan pengaturan sensor yang memberikan perintah kepada fan untuk berputar jika suhu dalam ruangan diatas 46 derajat celsius, dan pintu terbuka jika suhunya di atas 50 derajat celsius. Alat yang mengatur perintah ini berada dalam sistem
thermostat yang telah diatur proses kontrolnya
melalui sistem elektronik secara otomatis. Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Model Otomatisasi Pengeringan Berbasis Limbah Tempurung Kelapa untuk Pengeringan Bahan Baku Kerupuk Kulit Lembu”.
2. KAJIAN LITERATUR
Kerupuk kulit lembu merupakan salah satu makanan ringan yang bersumber dari kulit lembu atau kulit sapi pilihan. Kerupuk ini dibuat melalui tahapan pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, pengeringan, dan perendaman dengan bumbu untuk
kerupuk mentah dan dilanjutkan
penggorengan untuk kerupuk siap konsumsi
(Standar Nasional Indonesia, 1996). Protein
yang terkandung didalam kulit sangat banyak
sehingga banyak masyarakat yang
memproduksi dan mengkonsumsi produk pangan yang berasal dari olahan kulit hewan.
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses perpindahan panas dan perpindahan massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus ditransfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida dimana cairan harus ditransfer struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus disediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai macam tahapan supaya dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas. Lama proses
3 pengeringan bergantung pada bahan yang
dikeringkan dan cara pemanasan yang digunakan (Rahmawan, 2001).
Laju pengeringan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
𝒅𝑴
𝒅𝒕 = −𝒌 (𝑴 − 𝑴𝒆) (1)
Efisiensi pengeringan adalah hasil perbandingan antara panas yang secara teoritis dibutuhkan dengan penggunaan panas yang sebenarnya dalam pengeringan. Jumlah
kalor (panas) yang digunakan untuk
pengeringan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan 2
𝜼 = 𝟏𝟎𝟎% − [𝒕𝒌𝒃
𝒕𝒕𝒌× 𝟏𝟎𝟎%] (2)
Exhaust Fan akan berfungsi pada mode fan seperti kipas angin biasa. Saat Exhaust Fan diaktifkan maka Exhaust Fan akan menghisap udara dari dalam ruangan dan membuangnya keluar ruangan. Udara yang dihisap dan terbuang adalah udara kotor yang sebelumnya berada di dalam ruangan. Dengan terhisap dan terbuang tentu jumlah volume atau jumlah udara kotor di dalam ruangan akan berkurang. Setiap kali udara (kotor) terhisap keluar maka udara bersih dari luar ruangan akan masuk ke ruangan melalui lubang ventilasi, begitu seterusnya hal tersebut dimungkinkan karena saat udara terhisap ke luar maka tekanan udara total di dalam ruangan menjadi lebih kecil dari tekanan udara di luar ruangan, dengan demikian maka ruangan akan mendapatkan supply udara dari luar ruangan. Hal ini akan berulang selama Exhaust Fan dalam keadaan ON. Dengan demikian maka udara di dalam ruangan akan terasa lebih segar dan tentu juga sejuk, karena volume udara kotor selalu terhisap keluar dan digantikan dengan udara yang bersih setiap saat.
3. METODE PENELITIAN
Cara kerja buka tutup pintu otomatis 1. Jika suhu pada ruangan > 45 maka
exhaust-fan terbuka, karena
dikontrol oleh thermostat secara otomatis
2. Jika suhu pada ruangan > 50 maka pintu terbuka, karena dikontrol oleh thermostat secara otomatis.
Gambar 1. Prototype alat
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2. Grafik hubungan suhu termostat terhadap waktu
Pada Gambar 2 menjelaskan bahwa perilaku suhu thermostat pada menit ke 10, 60 dan 110 cenderung naik karena terjadi
penambahan biomassa sehingga energi
biomassa mulai bekerja mentransfer panas ke ruang pengeringan
4 sedangkan perilaku suhu thermostat pada
menit ke 40, 90, dan 120 nilai suhu cenderung menurun, ini dikarenakan energi biomassa mulai berkurang.
Gambar 3. Grafik hubungan suhu lingkungan terhadap waktu
Cuaca pada saat pengamatan
cenderung mendung sehingga suhu pada saat itu berkisar 26˚C - 30˚C namun setelah jam 12.45 cuaca mulai cerah sehingga suhu meningkat. Suhu lingkungan cenderung tidak stabil sehingga membuat pengeringan
kerupuk kulit lembu tidak efektif. Sedangkan pada alat pengering otomatis suhu rata - rata 55,76 cenderung stabil dan bisa dikatakan konstan.
Perubahan warna yang terjadi pada kerupuk kulit lembu dengan energi biomassa setiap bertambahnya waktu dapat dilihat pada hasil menunjukkan bahwa untuk sampel 10 gr pada menit 10 sampai menit ke 30 kerupuk kulit lembu masih berwarna putih dan masih lengket, pada menit ke 40 sampel mulai mengalami perubahan warna putih kecoklatan, hal ini disebabkan karena faktor aliran udara sehingga panas sudah mulai terkonsentrasi. Pada menit ke 50 sampai 60 warna berangsur berubah kecoklatan dan tekstur mengeras sehingga lendir yang menyebabkan lengket telah hilang.
Pada menit ke 70 sampai 120 tidak terlalu merubah warna secara signifikan tetapi sampel mengeluarkan minyak sebagai hasil dari pemanasan.
Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa
untuk sampel dengan pengamatan
menggunakan panas matahari, pada menit ke 10 sampai 30 kulit lembu berwarna putih dan lengket, hal ini disebabkan karna awal pengeringan dengan panas matahari. Pada menit ke 40 sampai 60 sampel mulai berangsur berubah warna kecoklatan dan masih lengket. Perubahan warna ini disebabkan mulai meratanya disribusi dari panas matahari ke sampel. Pada menit ke 70 sampai 90 tidak terjadi perubahan warna secara signifikan tetapi tekstur sampel yang lengket sudah tidak ada lagi. Pada menit ke 100 sampai 120 kulit lembu berubah kecoklatan tekstur yang sudah mulai mengeras karena faktor panas dari panas matahari.
Gambar 4. Grafik hubungan kadar air yang hilang terhadap waktu dengan energi biomassa
Gambar 5. Grafik hubungan antara kadar air yang hilang terhadap waktu dengan panas
5
Gambar 6. Grafik hubungan efisiensi
terhadap waktu pengeringan
Nilai efisiensi (
) dari alat pengeringenergi biomassa untuk pengeringan kerupuk kulit lembu dinilai lebih efektif dibandingkan dengan pengeringan menggunakan matahari hal ini dapat dilihat pada gambar 6 yaitu efisiensi pengeringan pada hari cerah dengan menggunakan energi biomassa untuk lama pengeringan 120 menit dan energi matahari selama 300 menit didapat efisiensinya 60%, sedangkan untuk pengeringan alami pada hari mendung, dengan lama pengeringan 1680
menit dan untuk pengeringan dengan
menggunakan biomassa selama 120 menit maka didapat efisiensinya sebesar 92,86%. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan dengan menggunakan energi biomassa tidak bergantung pada kondisi cuaca, sehingga pada hari hujan kerupuk kulit lembu masih bisa dikeringkan, dan pengeringannya juga tidak memakan waktu yang lama, yaitu hanya 120 menit baik pada kondisi cuaca cerah maupun mendung atau hujan.
5. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat
diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini berhasil merancang alat
teknologi pengering sistem otomatisasi buka tutup untuk pengaturan suhu sekitar 45 derajat celsius dan sistem otomatisasi untuk menggerakkan kipas.
2. Analisa perubahan temperatur pada alat
pengering cenderung konstan yaitu 55,76 derajat celsius, sedangkan pada
pengering menggunakan panas
matahari berfluktuasi terhadap cuaca.
3. Analisa perubahan kadar air dengan
menggunakan sistem tradisional
ternyata penurunan kadar air relatif kecil yaitu sebesar 22 % sedangkan dengan menggunakan alat pengeringan otomatis sebesar 20 %.
4. Analisa perubahan warna dengan
menggunakan sistem tradisional
ternyata perubahan warna cenderung lambat dan tekstur masih lengket sedangkan dengan menggunakan alat pengeringan warna berubah secara signifikan.
5. Efisiensi (
) pengeringan pada hari cerah dengan menggunakan energi biomassa untuk lama pengeringan 120 menit dan energi matahari selama 300menit didapat efisiensinya 60%,
sedangkan untuk pengeringan alami pada hari mendung dengan lama pengeringan 1680 menit dan untuk
pengeringan dengan menggunakan
biomassa selama 120 menit maka didapat efisiensinya sebesar 92,86%.
6 6. REFERENSI
Assidu JJ. Processing Tropical Crops. A Tecnological Approach,. 1987.
Brooker, D.B.,F.W. Bakker-arkema, and C.W.Han. 1981. Drying cereal.
Diswadi, Nurba. 2010. Analisis Distribusi Suhu Aliran Udara, RH dan Kadar Air Dalam In-Store Dryer (ISD) untuk Biji Jagung. Institut Pertanian Bogor.
Indraswari,1992. Teknologi Pengolahan
Pangan. Penerbit: Kanisius –
Yogyakarta.
Juandi, M., & Haekal, M. R. (2016).
Karakterisasi Pengaruh Suhu
Terhadap Parameter Fisis Biji Pinang Hasil Pengeringan Menggunakan Alat
Tipe Kabinet Dengan Limbah
Tempurung Kelapa Sebagai Sumber Panas. JURNAL ILMU FISIKA|
UNIVERSITAS ANDALAS, 8(1), 38-44
Obin, Rahmawan. 2001. Pengeringan,
Pendinginan dan pengemasan Komoditas Pertanian. Direktorat Pendidikan
kejuaraan. Jakarta.
Refill, Safrizal. 2010. Kadar Air Bahan Teknik Pasca Panen. Jurusan TeknikPertanian. Universitas Syiah Kuala.
Taaib, Gunarif. Said, Gumbira dan Wiratmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT Melton Putra. Jakarta.
Tobing L, David.2010.Studi Ekperimental Pengaruh Intensitas Cahaya dan Laju Aliran Terhadap Unjuk Kerja dengan Menggunakan Solar Energy
Demonstration Type LS-17055-2 Single Widyotomo, S. dan Sri Mulato. 2005. Penentuan
KarakteristikPengeringan Kopi Rebusta Lapis Tebal. studyOf Drying
Characteristic Rebusta Coffe Whit Thick Layer Drying Method. Buletin Ilmiah INSTIPER Vol. 12, No. 1, page 15-37.