• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POSISI DAN DURASI DUDUK DENGAN SKOLIOSIS PADA REMAJA USIA TAHUN. Penulis : drg. Susi Indriaswati, Sp.KGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POSISI DAN DURASI DUDUK DENGAN SKOLIOSIS PADA REMAJA USIA TAHUN. Penulis : drg. Susi Indriaswati, Sp.KGA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA POSISI DAN DURASI DUDUK DENGAN SKOLIOSIS PADA REMAJA USIA 10-19 TAHUN

Penulis : drg. Susi Indriaswati, Sp.KGA

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

BALI 2018

(2)

i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis bisa selesaikan tulisan ini. Tulisan ini jauh dari sempiurna dan ats

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi semua pihak

Denpasar, 22 Oktober 2018

(3)

ii

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penulisan ... 3

1.4 Manfaat Penulisan ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Struktur Anatomi Vertebrae ... 5

2.2 Biomekanika.. ... 7

2.3 Fungsi Vertebra ... 7

2.4 Definisi Skoliosis ... 9

2.5 Klasifikasi Skoliosis... 9

2.6 Faktor Penyebab Skoliosis ... 10

2.7 Posisi Duduk yang Salah ...11

2.8 Posisi Duduk yang Benar ... 11

2.9 Gejala Skoliosis ... 12

2.10 Diagnosis ... 12

2.11 Pencegahan Skoliosis……….... 13

2.12 Penatalaksanaan……….... 14

2.13 Hubungan Posisi dan Durasi Duduk dengan Skoliosis pada Remaja Usia 10-19 Tahun………. 15

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN... 17

3.1 Kesimpulan ... 17

3.2 Saran ... 17

(4)

iii DAFTAR PUSTAKA

(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masa remaja dapat disebut juga dengan masa peralihan yaitu peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Santrock (2009) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mencari identitas atau jati dirinya dan menurut WHO remaja memiliki rentang usia dari 10 sampai dengan 19 tahun.

Identitas diri mencakup identitas agama, karir, hubungan sosiasl, seksual, budaya, minat dan bakat, kepribadian serta identitas fisik, yaitu body image individu (Santrock, 2009). Setiap remaja, baik perempuan maupun laki-laki akan mulai memperhatikan penampilan fisiknya. Saat seseorang memasuki masa remaja, mereka akan mulai memperhatikan karakteristik spesifik tubuhnya, misalnya pada wajah, kulit, otot, berat dan tinggi badan serta bentuk tubuhnya.

Penampilan fisik merupakan salah satu penilaian pertama yang tampak dari luar dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja biasanya akan berusaha membetuk identitas fisik yang ideal agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011).

Saat masa pubertas, remaja akan mengalami berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat pada wajah, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan lain sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011).

Selain masalah-masalah tersebut remaja usia 10-19 tahun juga mengalami perubahan pada postur tubuhnya. Postur tubuh identik dengan susunan yang ada pada bagian tubuh. Postur pada seseorang bisa berubah seiring dengan bertambahnya usia. Mukaromah (2011) menyatakan bahwa remaja sedang mengalami maturasi tulang yang beresiko terjadinya kelainan tulang belakang, seperti lordosis, kifosis maupun skoliosis (Mukaromah, 2011).

Skoliosis merupakan kelainan postur dimana sekilas mata penderita tidak mengeluh sakit atau yang lain, tetapi suatu saat dalam posisi yang dibutuhkan suatu kesiapan tubuh membawa beban tubuh misalnya berdiri, duduk dengan durasi yang cukup panjang, maka kerja otot tidak akan seimbang. Hal ini yang akan mengakibatkan suatu mekanisme proteksi dari otot-otot tulang belakang

1

(6)

2

untuk menjaga keseimbangan, manifestasi yang terjadi justru overuse pada salah satu sisi otot yang dalam waktu terus menerus akan mengakibatkan ketidakseimbangan postur tubuh.

Menurut Shah (2009), skoliosis merupakan salah satu kelainan yang sering kita jumpai pada masa pertumbuhan remaja (Shah, 2009). Situs RS Bina Sehat (2012) dalam artikelnya yang berjudul “Solusi Atas Skoliosis” menjelaskan bahwa minimnya pengetahuan mengenai skoliosis, baik jenis kelamin, penyebab, gejala, maupun penanganannya. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh National Skoliosis Foundation di situsnya, terdapat 12 juta orang di dunia mengalami skoliosis.

Remaja yang memiliki rentang usia 10-19 tahun dapat mengalami skoliosis dikarenakan oleh pertumbuhan struktural dari tulang serta dipengaruhi oleh gaya hidup dan aktivitas sehari-hari orang tersebut terutama pada sikap duduk terutama sikap duduk remaja yang tidak tepat saat belajar dan duduk dengan durasi yang cukup panjang akan mempengaruhi pengaruhi postur tulang belakangnya. (Kurniawati, 2017)

Menurut hasil penelitian Mega Puspita Kurniawati pada tahun 2017 dengan mengambil sampel 300 orang siswa yang berasal dari SD Negeri Sumber 2 Surakarta, SMP Negeri 1 Colomadu, dan SMK Harapan Kartasura yang masing masing berjumlah 100 orang yang memiliki rentang usia 11-18 tahun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2017. Dari 300 sampel tersebut didapatkan hasil 36 orang anak mengalami skoliosis yang disebabkan oleh sikap duduk yang salah. Dengan persentase sebagai berikut 38,89% terjadi pada anak sekolah dasar, 25% terjadi pada anak Sekolah Menengah Pertama, dan 36,11%

pada anak Sekolah Menengah Atas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mega Puspita Kurniawati pada tahun 2017 tersebut menunjukkan bahwa sikap duduk merupakan salah satu penyebab terjadinya skoliosis.

Kelainan tulang skoliosis terlahir dengan kondisi tulang belakang yang normal. Namun, perubahan fisik pada penderita skoliosis biasanya mulai muncul saat usia remaja. Tulang belakang semakin hari mengalami pembengkokan yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain yaitu peralatan kerja, lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kurangnya pengetahuan seseorang mengenai sikap tubuh yang

(7)

3

optimal baik dalam pengertian statis maupun dinamis. Tidak banyak penelitian yang menyediakan data dengan relevansi tinggi mengenai prevalensi skoliosis, data dari studi di beberapa negara menunjukkan prevalensi 0,47-5,2% untuk skoliosis idiopatik pada remaja (Konieczny, et al. 2013).

Berdasarkan data hasil penelitian The American Academy of Orthopaedic Surgeons tahun 2004, terdapat sekitar 1,26 juta pasien dengan kasus gangguan tulang belakang di pelayanan kesehatan dan 93% diantaranya di diagnosis skoliosis (National Scoliosis Foundation and DePuy Spine, Inc. 2009). Menurut hasil screening yang dilakukan Budi (2011) pada siswa yang berumur 9-16 tahun di Surabaya, didapatkan data prevalensi skoliosis dengan kurva lebih dari 10 derajat sebesar 2,93% dan juga lebih banyak diderita oleh perempuan (Budi, 2011).

Selain data-data tersebut menurut ahli orthopedic dan rematologi RSU Dr.

Soetomo Surabaya yaitu dr.Ketut Martiana Sp. Ort.(K), 4,1% dari 2000 anak SD hingga SMP di Surabaya, setelah dilakukannya penelitian ternyata mengalami tulang yang bengkok. Bahkan dari hasil rontgen sebagai bentuk pemeriksaan lanjutan diketahui yang kebengkokanya mencapai 10 derajat sebanyak 1,8 %, sedangkan yang lebih dari 10 derajat sebanyak 1% (Rahayu, 2008).

Memiliki pengetahuan mengenai skoliosis seperti faktor penyebab dari skoliosis sangat diperlukan dan melakukan diagnosa sedini mungkin untuk memberikan informasi kepada penderita bahwa ada pembengkokan tulang belakang ke arah lateral atau diseut dengan skoliosis serta dilakukan penanganan dengan segera guna menghindari skoliosis dengan derajat kurva yang lebih besar.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimana hubungan antara posisi dan durasi duduk dengan skoliosis pada remaja usia 10-19 tahun?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara posisi dan durasi duduk dengan skoliosis pada remaja usia 10-19 tahun.

(8)

4

1.4 Manfaat

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Memberikan pengetahuan mengenai hubungan antara posisi dan durasi duduk dengan skoliosis pada remaja usia 10-19 tahun.

1.4.2 Menjadi sumber pengetahuan bagi masyakat agar memperhatikan posisi dan durasi duduk

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Anatomi Vertebrae

Struktur anatomi vertebrae dapat kita bagi menjadi dua bagian, bagian yang pertama kita sebut dengan bagian depan (anterior) dan bagian kedua kita sebut dengan bagian belakang (posterior). Pada bagian depan terdapat suatu bagian yang disebut corpus vertebrae (badan tulang), sedangkan pada bagian belakang vertebra terdapat suatu bagian yang disebut arcus vertebrae.

Arcus vertebrae ini terbentuk dari dua pedicle dan dua lamina. Vertebra juga didukung oleh tiga macam penonjolan yang terdapat di vertebra tersebut.

Penonjolan tersebut antara lain processus articularis, processus transversus, dan processus spinous. Seluruh penonjolan itu membentuk celah/lubang yang menghubungkan bagian pangkal dari processus, ini disebut dengan foramen vertebrale. Seluruh foramen ini terhubung satu sama lain dan membentuk suatu saluran panjang yang tidak lain merupakan tempat dari sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua bagian vertebra yang tersusun, dapat kita temui celah yang disebut dengan foramen intervertebralis. Celah inilah yang dilalui oleh serabut saraf yang keluar dari medulla spinalis.

Vertebra itu sendiri terdiri dari 33 ruas tulang yang tersusun dari berbagai macam ukuran tulang dan variasi bentuk tulang yang terbagi menjadi lima bagian, yakni:

2.1.2 Tulang Belakang Cervical (7 ruas)

Tulang belakang cervical merupakan tulang belakang yang posisinya berada di leher dan berjumlah 7 ruas. Secara umum, tulang belakang bagian ini memiliki bentuk tulang yang kecil dengan procesus spinosus (bagian belakang tulang yang seperti sayap) yang berukuran pendek, kecuali pada tulang ke-2 dan 7. Tulang-tulang tersebut memiliki sebutan khusus seperti atlas untuk tulang cervical kesatu (C1) dan aksis untuk tulang cervical kedua (C2) dan diberi nomor yang sesuai dengan urutannya mulai dari C1 hingga C7 (C = cervical) (Paulsen dan Waschke, 2011).

5

(10)

2.1.3 Tulang Belakang Thoracal (12 buah)

Tulang belakang thoracal adalah tulang punggung bagian superior yang berjumlah 12 ruas. Bagian ini memiliki processus spinosus yang berhubungan dengan os. costae. Bagian ini juga dikenal dengan sebutan dorsal. Keduabelas ruas tersebut diberi penomoran sesuai dengan urutannya dari thoracal kesatu(T1) hingga thoracal keduabelas (T12) (T

= thorax) (Paulsen dan Waschke, 2011).

2.1.4 Tulang Belakang Lumbal (5 ruas)

Tulang belakang lumbal merupakan tulang punggung bagian inferior yang berjumlah 5 ruas. Tulang belakang lumbal memiliki ukuran yang paling besar dan paling lurus konstruksinya serta menopang beban paling berat daripada tulang belakang lainnya. Jika kalian merasa nyeri pada punggung, maka bisa disebabkan karena adanya gangguan pada daerah ini. Ruas-ruas tulang pada bagian ini juga diberikan penomoran sesuai dengan urutannya dari lumbal kesatu (L1) hingga lumbal kelima (L5) (L = lumbal) (Paulsen dan Waschke, 2011).

2.1.5 Tulang Belakang Sacral (5 buah)

Tulang belakang sacral merupakan tulang belakang yang membentuk sacrum dan tidak memiliki celah atau discus intervertebrale antara yang satu dengan yang lainnya. Bagian ini terdiri dari 4 sampai 5 buah tulang dan setelah usia 26 tahun akan membentuk segitiga. Sakrum menyerupai seperti irisan diantara tulang pinggul. Kelima tulang tersebut diberi penomoran sesuai dengan urutannya dari sacral kesatu (S1) hingga sacral kelima (S5) (S = sacral) (Paulsen dan Waschke, 2011).

2.1.6 Tulang Belakang Coccygeal (3-5 buah)

Tulang belakang coccygeal adalah tulang belakang yang terletak di bagian paling bawah tulang belakang atau disebut juga sebagai tulang ekor. Pada bagian ini terdiri dari 3 sampai 5 buah tulang yang saling bergabung dan tanpa celah. Tulang-tulang pada bagian ini juga diberi penomoran sesuai dengan urutannya dari Coccygeal 1- Coccygeal 5 (Paulsen dan Waschke, 2011).

6

(11)

2.2 Biomekanika

Skoliosis disebabkan oleh beberapa faktor terutama posisi dan durasi duduk. Duduk dengan posisi menyandar hanya pada salah satu bagian tubuh saja dapat menyebabkan tekanan yang relatif tinggi pada saraf tulang belakang atau vertebra pada duduk dengan durasi yang cukup lama.

Keseimbangan tonus otot akan hilang apabila duduk dengan posisi tersebut (Kurniawati, 2017).

Berat beban maksimum yang dibebankan tulang vertebra hanya 15% dari berat tubuh manusia, jika melebihi batas maksimum maka akan berdampak pada perubahan bentuk tulang belakang salah satunya adalah skoliosis(Kurniawati, 2017).

2.3 Fungsi Vertebra

2.3.1 Sebagai Penopang Tubuh

Bagian cervical bertanggung jawab untuk menopang bagian tengkorak, sedangkan bagian thoracal bertanggung jawab untuk memberikan kekuatan dan stabilitas pada tubuh. Bagian lumbar berperan dalam menopang sebagian besar berat badan dan memungkinkan gerakan lebih fleksibel tapi tidak berputar. Tulang belakang memiliki struktur yang sangat baik untuk menopang tubuh yang membuatnya mampu menyesuaikan bentuk dengan tubuh kita yang berubah-ubah, seperti pada saat kehamilan atau bertambahnya berat badan. Agar tubuh menjadi seimbang dan kuat untuk menopang tubuh saat membawa beban yang berat maka lengkungan pada tulang belakang akan menjadi lebih besar (Kurniawati, 2017).

2.3.2 Membuat Tubuh Lentur dan Fleksibel Dalam Bergerak

Struktur tulang belakang yang tidak beraturan dengan susunan otot, tendon, ligamen, dan sebagainya yang menjadi pendukung untuk membantu tubuh bergerak lebih lentur dan fleksibel seperti saat membungkuk, meregang, berputar dan bersandar. Bagian tulang belakang cervical bertanggung jawab untuk membantu pergerakan kepala dan leher karena adanya kombinasi unik antara kedua tulang pada bagian cervical, yaitu atlas dan axis (Kurniawati, 2017).

7

(12)

2.3.3 Melindungi Saraf

Fungsi tulang belakang yang selanjutnya adalah memberikan perlindungan terhadap saraf halus dan sumsum tulang belakang.

Sumsum tulang belakang merupakan bagian penting yang berperan dalam mengendalikan fungsi organ utama manusia. Selain itu, bentuk dan posisi tertentu dari tulang belakang termasuk ligamen juga dapat membentuk jaringan perlindungan yang dapat menjaga sumsum tulang belakang agar tidak terluka (Kurniawati, 2017).

2.3.4 Menghasilkan Sel Darah Merah

Tulang belakang manusia memiliki sumsum tulang. Sumsum tulang akan banyak memproduksi sel darah merah dan mineral. Sumsum tulang terdapat pada rongga interior tulang dan terdiri atas dua jenis, yaitu sumsum merah dan sumsum kuning. Sumsum merah bertanggung jawab dalam memproduksi sel darah merah, trombosit, dan sel darah putih. Sedangkan, pada sumsum tulang kuning banyak mengandung sel-sel lemak tingkat tinggi serta menghasilkan sel darah putih (Kurniawati, 2017).

2.3.5 Pelindung Organ Utama

Fungsi tulang belakang lainnya adalah sebagai pelindung organ utama. Kerangka ini mengelilingi dan melindungi organ utama tubuh kita seperti jantung dan paru-paru. Semua tulang rusuk manusia menempel pada tulang belakang, namun 7 pasang teratas menempel pada sternum. Tulang rusuk berperan dalam pembentukan kerangka di sekitar jantung dan paru-paru (Kurniawati, 2017).

2.3.6 Peredam Getaran

Tulang belakang memiliki efek peredam getaran bagi tubuh ketika tubuh kita bergerak seperti berdiri, jongkok dan duduk. Hal tersebut dikarenakan adanya bantalan berupa cakram intervertebralis diantara tulang belakang dan juga bisa mencegah terjadinya gesekan antara tulang yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, cakram intervertebralis juga mengandung zat yang mampu meredam getaran (Kurniawati, 2017).

8

(13)

2.4 Definisi Skoliosis

Skoliosis adalah sebuah fenomena kelainan tulang belakang di mana tulang belakang akan melengkung membentuk sudut yang tidak seharusnya.

Tingkat kelengkungan tulang belakang atau derajat skoliosis ditentukan oleh sudut kelengkungan skoliosis. Untuk mengetahui derajat skoliosis dapat dilakukan dengan menggunakan skoliometer atau yang lebih akurat dapat dilakukan dengan melakukan observasi terhadap gambar sinar-x tulang belakang. Sudut kelengkungan skoliosis dapat diukur dengan dua metode, yaitu metode risser-ferguson angle dan cobbangle. Seseorang akan dinyatakan memiliki skoliosis bila cobbangle-nya lebih dari 10°. Kata skoliosis berasal dari bahasa Yunani skolios yang berarti bengkok. Skoliosis adalah kelainan tulang belakang yang berupa lengkungan ke samping/lateral. Jika dilihat dari belakang, tulang belakang pada skoliosis akan berbentuk seperti huruf “C”

atau “S” (Moore, 2011). Skoliosis juga adalah kelengkungan lateral tulang belakang disertai dengan rotasi trunk. Kurva harus setidaknya 10 derajat ketika diukur menggunakan radiografi tulang atau X ray tulang belakang melalui metode cobb untuk memenuhi diagnosa skoliosis ketika trunk mengalami asimetris pada pemeriksaan fisik (Gutknecht, 2009).

2.5 Klasifikasi Skoliosis

Menurut penyebabnya, skoliosis dibedakan menjadi skoliosis bawaan dan skoliosis idiopatik. Skoliosis bawaan merupakan anomali anatomi karena kegagalan pembentukan atau segmentasi column vertebra, dengan pertumbuhan dapat menyebabkan deformitas vertebra progresif (Hresko, 2013). Skoliosis idiopatik merupakan jenis skoliosis yang paling sering dijumpai, tehitung 85% dari semua kasus skoliosis, 2-3% anak usia antara 10- 15 tahun memiliki skoliosis. Perempuan jauh lebih mungkin terkena skoliosis untuk memiliki kurva yang lebih besar atau kurva yang akan berkembang (Gutknecht, 2009). Sedangkan pada usia 16 tahun skoliosis berkembang disekitar 3%, hanya 0,3-0,5 %, kurva progresif memerlukan terapi kurva (Weinstein, 2013). Gejala yang ditimbulkan pada penderita skoliosis biasanya tidak ada, tetapi pada beberapa kasus penderita skoliosis mengalami nyeri pinggang, perasaan lelah jika duduk atau berdiri lama,tidak seimbang antara 9

(14)

shoulder dan hips (shoulder tinggi sebelah, dan kurva tulang belakang lebih bengkok ke satu sisi.

2.5.1 Klasifikasi derajat kelengkungan kurva skoliosis menurut Mujianto (2016):

1. Skoliosis ringan: <200 tidak memerlukan penanganan, hanya perlu dimonitoring secara periodic.

2. Skoliosis sedang: 25-700 masih belum jelas meskipun tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan gangguan pada jantung.

3. Skoliosis berat: >700 jika kurva melebihi 70 derajat terjadi perputaran/rotasi dari vertebra. Menyebabkan tulang costa menekan paru, menghambat proses pernapasan, dan menurunkan kadar oksigen yang diperlukan, hal ini juga dapat membahayakan organ jantung.

4. Skoliosis sangat berat: >1000 jika kurva skoliotik melebihi 100 derajat, hal ini dapat melukai paru dan jantung. Penderita skoliosis sangat berat ini dapat menimbulkan infeksi pada paru/pnemonia.

Skrining skoliosis pada anak sekolah juga dibutuhkan untuk mendeteksi dini sebelum terjadi kurva skoliosis lebih lanjut.

Menurut Bannel dalam Parera (2016) mendefinisikan kriteria skrining sebagai berikut:

4.1 Dalam batas normal: 0-3 4.2 Intermediate: 4-6

4.3 Relevan dengan tingkat probabilitas tinggi yaitu dengan skoliosis: 7-100.

2.6 Faktor Penyebab Skoliosis

Skoliosis dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu faktor genetik, faktor hormonal, abnormalitas pertumbuhan, gangguan biomekanik dan neuromuscular otot dan jaringan fibrosa (Soultanis K, 2008).

2.6.1 Faktor Hormonal

Salah satu yang menjadi penyebab skoliosis disini yaitu defisiensi melatonin. Pada malam hari terjadi sekresi melatonin yang menyebabkan penurunan progresivitas skoliosis dibandingkan dengan 10

(15)

pasien tanpa progresivitas. Selain defisiensi melatonin, hormon pertumbuhan juga menjadi penyebab terjadinya skoliosis.

2.6.2 Perkembangan Spinal dan Teori Biomekanik

Abnormalitas dari mekanisme pertumbuhan spinal juga menunjukkan penyebab dari perkembangan dan progresivitas skoliosis.

Dihubungkan dengan kecepatan pertumbuhan.

2.6.3 Abnormalitas Jaringan

Kelainan komponen struktural pada vertebrae dapat menyebabkan terjadinya skoliosis, yang dimaksud dengan komponen struktural vertebrae disini yaitu otot, tulang, ligamentum atau discus.

2.6.4 Sikap Tubuh

Sikap tubuh yang tidak tepat seperti duduk dengan posisi membungkuk atau menyandarkan tubuh pada salah satu sisi tubuh dapat menyebabkan terjadinya skoliosis. Kebiasaan duduk seperti itu dapat menyebabkan ketegangan pada otot punggung dan dapat merusak jaringan jaringan yang ada disekitarnya (Kurniawati, 2017).

2.7 Posisi Duduk yang Salah

2.7.1. Tempat duduk yang tidak ergonomis.

2.7.2. Posisi duduk yang sama dalam jangka waktu yang terlalu lama.

2.7.3 Duduk dengan posisi membungkuk dan menyandarkan tubuh pada satu sisi tubuh lainnya.

2.7.4 Posisi duduk dengan kaki menyilang.

2.8 Posisi Duduk yang Benar

Untuk menjaga postur tubuh agar tetap sehat kita harus memperhatikan posisi duduk. Adapun posisi duduk yang benar adalah sebagai berikut :

2.8.1 Duduk dalam posisi tegak dengan punggung lurus dan bahu ke belakang. Paha menempel pada dudukan kursi dan bokong harus menyentuh bagian belakang kursi.

2.8.2 Pusat beban tubuh pada satu titik agar seimbang. Usahakan jangan sampai membungkuk. Jika diperlukan, kursi dapat ditarik mendekati meja belajar agar posisi duduk tidak membungkuk.

11

(16)

2.8.3 Posisi lutut mempunyai peranan penting juga. Untuk itu tekuklah lutut hingga sejajar dengan pinggul. Usahakan untuk tidak menyilangkan kaki.

Selama duduk, siku dan lengan dalam posisi istirahat di atas kursi, jaga bahu tetap rileks.

2.8.4 Usahakan istirahat setiap 30-45 menit dengan cara berdiri, peregangan sesaat, atau berjalan-jalan di sekitar tempat duduk, untuk mengembalikan kebugaran tubuh agar dapat lebih berkonsentrasi dalam belajar.

2.8.5 Jangan memuntar punggung anda. Jika ingin mengambil sesuatu di samping atau di belakang, putar seluruh tubuh sebagai satu kesatuan (Nurmianto, 2008).

2.9 Gejala Skoliosis

Gejala skoliosis dapat kita lihat dari perubahan penampilan dada, bahu atau pinggul (Nurmianto, 2008). Berikut ini gejala-gejala skoliosis yang dapat kita lihat dari penampilan fisik :

2.9.1 Salah satu bahu lebih tinggi.

2.9.2 Salah satu pinggul tampak lebih menonjol.

2.9.3 Tubuh penderita skoliosis mungkin condong ke satu sisi.

2.9.4 Panjang kaki tidak seimbang

2.9.5 Salah satu tulang belikat tampak lebih menonjol. (Nurmianto, 2008) 2.10 Diagnosis

Diagnosis skoliosis bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi. Pada pemeriksaan fisik hal yang perlu diperhatikan adalah deviasi prosesus spinosus dari garis tengah, punggung yang tampak miring, rib hump, asimetri skapula, kesimetrisan pinggul serta bagian atas dan bawah trunkus (bahu dan pelvis),dan perbedaan panjang tungkai. Hal yang harus dicatat saat melakukan pemeriksaan skoliosis adalah bentuk dan derajat kurva tura yang terbentuk pada berbagai posisi. Deskripsi kurva tura harus meliputi panjang segmen dimana kurva tura dimulai dan berakhir, bentuk (C atau S), dan arah puncak kurva tura. Alat yang bisa digunakan untuk mengukur sudut kurva tura tanpa fotoradiografi yaitu skoliometer.

Tujuan dari pemeriksaan adalah untuk melihat apakah ada lengkungan abnormal atau adanya tonjolan. (Pelealu et al,2014)

12

(17)

Selanjutnya tahap pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologi. Dengan menggunakan pemeriksaan radiografi dapat mengukur derajat kurvatura skoliosis secara kuantitatif. Sudut Cobb merupakan teknik standar untuk mengukur sudut kurvaturaskoliosis. Pemeriksaan radiografi biasanya dilakukan dengan posisi berdiri, namun jika pasien tidak mampu maka dapat melakukan pemeriksaan dengan tubuh posisi terlentang.

Panggul, pelvis dan femur, bagian proksimal harus terlihat. Jika sudut Cobb yang terbentuk <250 maka kurva skoliosis dikatakan ringan; untuk kurva skoliosis sedang apabila sudut Cobbnya berada pada 25-450; dan untuk kurva skoliosis berat sudut Cobbnya >450. Pada anak-anak dan remaja, dengan menggunakan garis Risser pada crista iliaca, memudahkan melihat manuritas tulang untuk memperkirakan pertumbuhan tulang yang pesat, progresifitas skoliosis, dan berhentinya pertumbuhan. Penyertaan rotasi pada kurva skoliosis mungkin akan lebih sulit untuk ditangani dan kemungkin akan menyebabkan gangguan pada rongga dada sehingga dapat mengganggu pernapasan. Secara radiografi, posisi pedikel menyatakan derajat rotasi yang terbaik. Pemeriksaan Magnetic Resonan-ce Imaging (MRI) dilakukan atas indikasi nyeri, gangguan neurologik, kurva tura torakal kiri, skoliosis juvenil idiopatik, progresi yang cepat, dan defek kulit (Pelealu et al, 2014).

2.11 Pencegahan Skoliosis

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit skoliosis yaitu dengan cara sebagai berikut:

2.11.1 Jangan membiasakan membawa beban berat dipunggung atau sebelah badan, jika membawa beban berat sebaiknya dijinjing.

2.11.2 Memperbaiki posisi duduk yang benar, kebiasaan duduk nyaman namun tidak benar lebih baik dihindari.

2.11.3 Membiasakan posisi tidur yang benar yaitu lurus mulai dari leher hingga kaki, jangan tidur dengan posisi meringkuk.

13

(18)

2.11.4 Tidak melakukan olahraga yang berlebihan seperti angkat besi, lebih baik melakukan olahraga seperti renang karena olahraga ini paling baik dalam proses pertumbuhan tulang.

2.11.5 Mengonsumsi makanan yang mengandung kalsium, magnesium, vitamin D dan fosfor. Nutrisi yang cukup membuat pertumbuhan tulang menjadi baik, namun jangan mengkonsumsi secara berlebihan.

2.12 Penatalaksanaan 2.12.1 Fisioterapis

Penatalaksanaan fisioterapi dapat menghilangkan nyeri pada penderita skoliosis dan meningkatkan kekuatan otot serta meningkatkan gerak lingkup sendi. Cara fisioterapis ada 2, yaitu:

1. Infra Red

Sinar infra red merupakan sinar yang berasal dari gelombang elektromagnetik yang dapat memberikan efek fisiologis dan juga efek teraupetik pada bagian yang sakit. Sinar infra red ini dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri, rileksasi otot, meningkatkan suplai darah dan menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme. Hal ini dikarenakan disaat sinar infra red diarahkan pada rasa nyeri akan menghasilkan panas yang akan merelaksasi otot dan menghilangkan sisa-sisa metabolisme yang menyebabkan sakit (Faturrahman, 2013).

2. Terapi Latihan

Terapi latihan yang dilakukan yaitu terapi yang lebih memfokuskan pergerakan pada otot dan sendi pada pinggang yang bengkok yaitu dengan metode Mc. Kenzie, core stability dan manual traksi. Terapi ini dapat berguna untuk memperbaiki atau mengembalikan ke arah sikap tubuh yang normal (corect posture), mengulur atau meregangkan otot-otot yang tegang dan untuk relaksasi otot. Selain itu, dengan latihan terapi manual traksi dan core stability dapat mengembalikan lingkup gerak sendi (LGS).

Penurunan LGS dapat disebabkan oleh kurangnya aktivitas sendi 14

(19)

dan otot sehingga terapi latihan ini lebih banyak melakukan pergerakan sendi dan otot (Faturrahman, 2013).

2.12.2 Pemasangan Brace/Gips

Pemasangan brace/gips dapat dilakukan untuk penderita skoliosis dengan lengkungan fleksibel yaitu vertebranya melengkung yang kurang dari 40 derajat. Selain dengan pemberian brace/gips terapi latihan juga sangat dibutuhkan untuk mengimbangi penatalaksanaan dengan cara bracing ini.

2.12.3 Pembedahan

1. Penanaman tulang dan penanaman alat

Untuk penderita skoliosis yang lengkungan verterbranya melebihi 40 derajat sudah tidak bisa diatasi dengan cara bracing lagi tetapi dengan cara pembedahan. Pembedahan ini dilakukan untuk meluruskan kembali atau menyatukan vertebrata.

Pembedahan ini dapat dilakukan dengan penanaman tulang dan penanaman alat berington, dwyer dan luque (Suratun et al., 2008).

2. Rod Harington

Pembedahan ini merupakan pembedahan spinal, rod Horington dilakukan dengan cara mengimplantasikan satu rod maupun beberapa rod sepanjang vertebra spinal posterior, biasanya tulang yang diambil dari crista iliaca lalu ditanam untuk memperbaiki kecekungan atau kecembungan. Setelah pembedahan biasanya pasien dimobilisasi dengan gips sepanjang leher sampai pelvis selama 6 bulan (Suratun et al., 2008).

2.13 Hubungan Posisi dan Durasi Duduk dengan Skoliosis pada Remaja Usia 10-19 Tahun

Posisi duduk yang salah dengan waktu yang lama akan menyebabkan nyeri pada vertebra dan lambat laun mengakibatkan kelainan tulang belakang seperti skoliosis. Duduk lebih dari 4 jam dan tanpa peregangan dengan posisi duduk membungkuk maupun menyilangkan kaki merupakan salah satu penyebab skoliosis yang membuat tulang terbiasa bengkok lalu tumbuh seperti kebiasaan duduk kita. Seharusnya posisi duduk yang baik

15

(20)

yaitu dengan duduk tegap dengan menggunakan sandaran dan alas yang keras dengan membentuk sudut 100-110 derajat dengan tinggi yang disesuaikan. Bagian kaki tegap dan tidak menyilang. Lalu, jika duduk harus dalam jangka waktu lama sediakan pendukung lumbal atau bisa dibuat dengan menggulung handuk kecil dan bokong dan bahu menyentuh sandaran yang ada dibelakang. Jika tidak ada pendukung lumbal, dapat dilakukan peregangan setiap 20 menit sekali dengan cara duduk diujung kursi lalu membungkuk selama 10 detik, hal ini penting untuk mengembalikan otot-otot yang tegang setelah sekian lama duduk dengan posisi yang sama. Untuk remaja usia 10-19 tahun yang rata-rata adalah seorang pelajar yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk, maka dari itu posisi duduk yang baik sangat penting disini untuk mengurangi resiko terjadinya skoliosis. Adapun posisi duduk yang dapat dilakukan yaitu duduk tegak dengan punggung lurus dan bahu ke belakang, pusat beban tubuh pada satu titik agar seimbang, jangan duduk dengan posisi sama lebih 30 menit setidaknya lakukan peregangan selama beberapa detik lalu kembali ke pekerjaan dan jangan memutar punggung (Nurmianto, 2008). Setelah bekerja selama 4 jam lalu melakukan peregangan beberapa detik selama beberapa kali, luangkanlah waktu selama 20 menit untuk sekedar mengistirahatkan otot seperti contohnya berjalan-jalan. Dengan melakukan hal-hal diatas serta memperhatikan waktu durasi duduk kita, dapat menghindarkan kita dari resiko skoliosis (Semara, 2004)

16

(21)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Skoliosis merupakan kelainan struktur tulang belakang, dimana tulang belakang mengalami pembengkokan, ke arah kiri atau kanan. Menurut WHO, gangguan ini sering ditemukan pada remaja dalam rentang usia 10-19 tahun.

Tingkat kelengkungan tulang belakang atau derajat skoliosis ditentukan oleh sudut kelengkugan skoliosis yang diukur dengan menggunakan skoliometer.

Skoliosis yang terjadi pada usia remaja biasanya disebabkan karena posisi duduk yang salah. Dampak terburuk dari gangguan skoliosis ini adalah dapat memicu penyakit lainnya seperti saraf tulang belakang terjepit karena tulang belakang yang melengkung. Hal tersebut juga dapat menyebabkan penderita menjadi lumpuh dan bahkan meninggal. Selain itu, organ-organ vital dalam tubuh manusia seperti paru-paru, hati, dan ginjal dapat terhimpit karena posisi tulang belakang yang tidak benar. Penatalaksanaan pada kasus skoliosis dapat dilakukan dengan observasi, pemberian modalitas, penggunaan orthosis, latihan, dan operasi. Dengan deteksi yang dini pada pasien dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis pasien skoliosis dapat ditingkatkan.

3.2 Saran

3.2.1 Saran Untuk Remaja

Sebagai generasi muda khususnya remaja, diharapkan lebih sadar akan sesuatu yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan tulang belakang, hal kecil yang sering diremehkan seperti sikap tubuh yang tidak tepat seperti duduk dengan posisi membungkuk atau menyandarkan tubuh pada salah satu sisi, sehingga menimbulkan kebengkokan pada tulang belakang, hal itu tentu akan berpengaruh terhadap persarafan yang berakibat pada kelumpuhan.

3.2.2 Saran Untuk Masyarakat

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan tulang belakang, salah satunya adalah skoliosis. Hal kecil sering tidak disadari sebagai pemicu penyakit ini. Sebagai masyarakat khususnya orang tua,

17

(22)

diharapkan menghimbau anak-anaknya untuk memperhatikan posisi duduk mereka, karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan tulang belakan

18

18

(23)
(24)

DAFTAR PUSTAKA

Afiana, E.N., R. R. Wulan, dan R. M. U. Malau. 2016. Konsep Diri Remaja Penderita Skoliosis (Studi Fenomenologi Masyarakat Skoliosis Indonesia di Kota Bandung). Jurnal e-Proceeding of Management 3(2): 2505-2511.

Faturahman, A. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Skoliosis Vertebra Thoracal 7 – Lumbal 1 di RSAL Dr. Ramelan. Tugas Akhir. Program Studi Diploma III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Gutknecht, S, John Lonstein and Tom Novacheck. 2009. Adolencet Idiopathic Scoliosis: Screening, Treatment, And Reverral vol 18. Minneapolis: Gillette Children’s Speciality Healtcare.

Hresko, M.T. 2013. Idiopathic scoliosis in adolencents. Boston: Harvard Medical School

Kurniawati, M. P. 2017. Hubungan Antara Kebiasaan Sikap Duduk denganTerjadinya Derajat Skoliosis Pada Siswa Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Skripsi.

Program Sarjana Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadyah. Surakarta.

Moore DP, Tilley E, Sugg P. Spinal orthoses. In: Braddom RL, editor. Physical Medicine & Rehabilitation (Fourth Edition). Philadelphia: Saunders; 2011;

p.359-71.Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1, Jakarta: EGC.

Mujianto. 2016. Hands On Therapy:Scientific & Clinical Hands On Therapy.

Bali: Eagle East Publisher.

Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya:

Guna Widya. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. 2008.

Pangastuti, T. D. 2017. Prevalensi Kelengkungan Skoliosis Tipe C dan S Siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas.

Skripsi. Program Studi Sarjana Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universits Muhammadiyah. Surakarta.

(25)

Parera, C.A., L. S. Sengkey, dan J. Gessal. 2016. Deteksi Dini Skoliosis Menggunakan Skoliometer Pada Siswa Kelas VI SD Di Kecamatan Mapanget Manado. Jurnal e-Clinic (eCl) 4(1): 98-103.

Pelealu, J., L. S. Angliadi, dan E. Angliadi. 2014. Rehabilitasi Medik Pada Skoliosis. Jurnal Biomedik (JBM)6(1): 8-13

Rakasiwi, M. A. 2009. Hubungan Sikap Duduk Salah Dengan Terjadinya Skoliosis Pada Anak Usia 10 – 12 Tahun di Sekolah Dasar Negeri Jetis 1 Juwiring. Tugas Akhir. Program Studi D4 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Ratmawati, Y., Setiawan, dan H. P. Kuntono. 2015. Pengaruh Latihan Swiss Ball Terhadap Peningkatan Fleksibilitas Trunk Pada Remaja Putri Usia 17-21 Tahun. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan 4(1): 19-22.

Ryani, L. (2014), Anatomi Fisiologi Tulang Belakang. (Diakses pada 19 Oktober 2018). Tersedia di https://id.scribd.com/doc/217471364/Anatomi-Fisiologi- Tulang-Belakang-PDF

Rosadi, R. 2009. Hubungan Kebiasaan Duduk Terhadap Terjadinya Skoliosis Pada Anak Usia 11-13 Tahun Di Sd Pabelankartasura. Skipsi. Program Sarjana Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

Surakarta.

Samara, D. 2004. Lama dan Sikap Duduk Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Nyeri Pinggang Bawah.

Snell, R.S. 2013, Anatomi Klinis, 9,EGC, Jakarta.

Suratun, Heryati, S. Manurung, dan E. Raenah, 2008, 1, Buku Kedokteran EGC.

Weinstein, S.L, . 2013. Effects Of Bracing In Adolencents With Idiopathic Scoliosis. Lowa: Department Of Orthopedics and Rehabilitation

Referensi

Dokumen terkait

Menanyakan tema tentang teks yang akan dibahas.. Membaca/mendiskusikan teks yang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

1 Alfonsius Ginting (2011) Analisis pengaruh ekuitas merek terhadap kepuasan dan loyalitas konsumen blackberry pada mahasiswa sekolah tinggi ilmu ekonomi PMCI

Tanah dalam peralihan hak terdapat pengecualian, hal ini pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilana Atas Penghasilan Dari Pengalihan

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya yang begitu besar sehingga terlaksana dan terselesainya penelitian ini yang judul

Merujuk dari hasil analisis tanah,biochar kotoran ayam dan biochar sekam padi,maka rancangan model untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah sawah tadah hujan

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat menjadi dokumen yang bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan mengenai pentingnya dimensi- dimensi keadilan

i) Sekiranya baki pembayaran tidak di jelaskan dalam tempoh 30 hari sebelum tarikh penerbangan, pihak syarikat berhak membatalkan pakej yang di tempah dan caj RM400 seorang akan