• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair

Air limbah merupakan kombinasi, cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perkantoran dan industry yang kadang-kadang hadir bersama air tanah, air permukaan dan hujan (Metcalf & Eddy (2003). Sedangkan menurut Tjokrokusumo (1998), air limbah dapat juga diartikan dengan suatu kejadian masuknya atau dimasukkannya benda padat, cair dan gas ke dalam air dengan sifat yang dapat berupa endapan atau padat, padat tersuspensi, terlaurut/koloid, emulsi yang menyebabkan air sehingga harus dipisahkan atau di buang.

Sugiharto (1987) mengklasifikasikan sumber air limbah menjadi dua bagian yaitu, air limbah rumah tangga dan air limbah industry.

a) Limbah Cair Industri

Menurut Spellman (2008) air limbah industri merupakan air limbah dari berbagai kegiatan industri yang mencakup proses produksi hingga proses penunjang kegiatan industri. Air limbah industri digolongkan menjadi dua jenis yaitu :

 Air limbah organik industri merupakan air limbah dengan kandungan bahan-bahan residu berupa senyawa organik yang berasal dari proses produksi industri yang membutuhkan penggunaan bahan kimia organik sebagai pereaksi. Adapun beberapa industri penghasil air limbah organik industri yaitu industri obat, kosmetik, bahan pembersih, tekstil, kertas, dan industri kulit (Hanchang. 2009).

7

(2)

 Air Limbah anorganik industri merupakan air limbah yang mengandung residu berupa senyawa anorganik yang berasal dari proses produksi. Air limbah anorganik tersebut umumnya dihasilkan oleh industri logam dan industri mineral bukan logam. Air limbah yang dihasilkan industri tersebut banyak mengandung padatan terutama padatan tersuspensi. Selain padatan, air limbah tersebut juga mengandung polutan sianida, asam, dan flourida. Polutan sianida dan asam yang berasal dari proses pembakaran logam dan proses pendinginan logam, sedangkan flourida dihasilkan pada proses pemurnian logam khususnya aluminium. Oleh karena itu, air limbah anorganik memerlukan pengolahan sebelum dibuang dikarenakan sifatnya yang berbahaya dan toksik (Hanchang. 2009).

b) Limbah Cair Domestik

Air limbah domestik merupakan air yang telah digunakan dalam berbagai

aktivitas di masyarakat dan tercampur dengan berbagai bahan yang digunakan

dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Contohnya berupa buangan dari tubuh

manusia atau hasil ekskresi berupa urin dan feses serta hasil aktivitas lainnya

seperti mandi, laundry, pencucian bahan makanan, dan pencucian alat-alat

rumah tangga (Mara, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Negara

Lingkunga Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang baku mutu

air limbah, limbah domestic merupakan air limbah yang berasal dari usaha dan

kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan

asrama. Limbah cair domestic yang bersal dari air cucian , seperti sabun,

deterjen, minyak dan pestisida.

(3)

Berdasarkan bahan-bahan residu yang terkandung dalam air limbah, air limbah domestik dibagi menjadi dua yaitu air limbah domestik abu-abu (grey water) dan air limbah domestik hitam (black water) (National Water Commission Australia. 2008 dalam Padmanabha 2015).

2.2 Air Limbah Laundry

Air limbah laundry termasuk ke dalam golongan grey water. Warna abu-abu air limbah berasal dari campuran berbagai residu bahan organik dan anorganik yang menghasilkan perubahan warna pada air. Kandungan bahan-bahan dalam grey water berupa minyak dan lemak, sodium, fosfor, nitrogen, garam, serta senyawa kimia yang terdapat pada deterjen, sabun, dan bahan pembersih rumah tangga lainnya (Padmanabha,2015).

Menurut Ahmad dan El-Dessouky (2008), Air limbah laundry mengandung bahan kimia dengan konsentrasi yang tinggi antara lain fosfat, surfaktan, ammonia dan nitrogen serta kadar padatan terlarut, kekeruhan, BOD dan COD tinggi. Bahan kimia yang menjadi masalah pencemaran pada badan air tersebut disebabkan pemakaian deterjen sebagai bahan pencuci. Deterjen digunakan karena memiliki daya cuci yang baik dan tidak terpengaruh kesadahan air, akan tetapi memiliki kandungan fosfat yang cukup tinggi karena fosfat merupakan bahan pembentuk utama dalam deterjen (Rosariawari, 2010).

Deterjen adalah bahan pembersih seperti halnya sabun, akan tetapi mempunyai

kelebihan dapat bekerja pada air sadah dan dapat bekerja pada kondisi asam

maupun basa. Komposisi kimia deterjen dapat dikelompokkan menjadi 3

kelompok, yaitu zat aktif permukaan (surfaktan) berkisar 20 - 30%, bahan penguat

(4)

(builders) merupakan komponen terbesar dari deterjen berkisar 70- 80% dan bahan- bahan lainnya pemutih, pewangi, bahan penimbul busa, (optical brigtener) sekitar 2 – 8% (Nidia, 20 ).

Surfaktan adalah molekul senyawa organik yang terdiri atas dua bagian yang mempunyai sifat berbeda, yaitu bersifat hidrofobik dan bagian yang bersifat hidrofilik. Fungsi penggunaan surfaktan dalam deterjen untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga dapat meningkatkan daya pembasahan air sehingga kotoran yang ber1emak dapat dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Ditinjau dari rumus strukturnya, surfaktan dibedakan menjadi 2, yaitu rantai lurus yang dikenal dengan Linear alkil benzeneasulfonat (LAS) dan rantai bercabang yang dikenal dengan alkifbenzenasulfonat (ABS). Surfaktan sintetik yang biasa digunakan dalam deterjen dibagi menjadi 3 macam yaitu Surfaktan anionik, Surfaktan sintetis nonionik dan Surfaktan sintetis kationik.

Builder digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral- mineral yang terlarut, selain itu builder juga berfungsi sebagai buffer yang dapat membantu dalam mempertahankan pH larutan. Builder yang sering digunakan adalah senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit. Builder merupakan bahan pendukung efektivitas surfaktan yang berbasis sodium. Jenis builder dalam deterjen umumnya dalam bentuk sodium tripolifosfat (Tjandraatmadja dan Diaper. 2006).

Selain itu, menurut Padmanabha (2015), softener dan pemutih merupakan jenis

produk yang digunakan dalam kegiatan laundry tujuannya untuk melengkapi dan

memaksimalkan pembersihan dan perawatan pada serat pakaian. Softener dan

(5)

pemutih mengandung bahan-bahan berupa senyawa berbasis sodium. Keunggulan dari sodium menurut Patterson (2000) adalah kemampuannya yang mudah melarutkan partikel-partikel dalam air, namun sodium sulit dipisahkan dari air kecuali menggunakan metode pembalikan osmosis. Kandungan sodium tersebut akan mempengaruhi kadar garam dalam air (salinitas) dan akan berdampak pada penurunan kualitas air apabila langsung dibuang ke perairan.

Adapun karakteristik air limbah laundry sebelum dilakukan pengolahan yang berada di industri laundry Kapal, Kabupaten Badung telah diteliti oleh Padmanabha (2015) yaitu disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1. Karakteristik Air Limbah Laundry Sebelum diolah

Parameter Nilai Satuan

pH 8,6 -

COD 346,84 mg/L

BOD 182,78 mg/L

TSS 48,65 mg/L

Total Fosfat 7,30 mg/L

Sumber : data primer hasil uji laboratorium limbah laundry sebelum pengolahan

2.3 Parameter Air Limbah

Menurut Sperling (2007), parameter yang sesuai dengan baku mutu yang di

tentukan dinyatakan aman untuk dibuang ke perairan dibagi menjadi tiga kategori

yaitu : parameter fisik, kimia dan biologi.

(6)

2.3.1 Parameter Fisika

Karakteristik limbah cair yang sangat mudah dilihat dengan mata telanjang yaitu karakteristik fisik limbah cair. Salah satu hal yang mempengaruhi karakteristik fisik ini adalah aktivitas penguraian bahan-bahan organik pada air buangan oleh mikroorganisme. Penguraian ini akan menyebabkan kekeruhan, perubahan warna, dan menimbulkan bau (Siregar, 2005). Karakteristik fisik yang terpenting yang mempengaruhi kualitas air ditentukan oleh bahan padat keseluruhan yang terapung maupun terlarut, kekeruhan, warna, bau dan rasa, dan temperatur (suhu) air (Suripin, 2002). Parameter fisika yang dapat diukur adalah suhu, Total Suspended Solids (TSS) dan Total Dissolved Solids (TDS).

1. Suhu

Menurut Sperling (2007), parameter suhu dalam penentuan kualitas air limbah digunakan untuk menentukan adanya perubahan intensitas panas pada air limbah akibat adanya reaksi biologi atau kimia yang menghasilkan panas pada badan air.

Limbah yang mempunyai temperatur panas yang akan mengganggu pertumbuhan biota tertentu. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu temperatur untuk air limbah yaitu 38°C.

2. Total Dissolved Solids (TDS)

Total padatan terlarut (Total Dissolved Solids (TDS)) merupakan bahan-bahan

terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran

pori 0,45 µm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang

terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS

adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai

contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang

(7)

larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian. Jika konsentrasi terlalu tinggi kejernihan air akan menurun dan menghambat fotosintesis dan memungkinkan terjadi gabungan senyawa beracun dan logam berat akan meningkatkan suhu air (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu TDS untuk air limbah yaitu 2000 mg/L.

3. Total Suspended Solids (TSS)

Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang akan menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu TSS untuk air limbah yaitu 200 mg/L.

2.3.2 Parameter Kimia

Karakteristik kimia limbah cair dipengaruhi oleh kandungan bahan kimia

cair. Bahan kimia yang umumnya terkandung dalam limbah cair antara lain bahan

organic, protein, karbohidrat, lemak dan minyak, fenol, bahan anorganik, pH,

klorida, sulfur, zat beracun, logam berat (Ni, Zn, Cd, Pb, Cu, Fe, Hg), metana,

nitrogen, fosfor dan gas (O

2

) (Siregar, 2005). Beberapa parameter kimia yang dapat

di ukur yaitu Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical oxygen Demand

(COD) dan nilai pH (Environmental Protection Agency. 1997).

(8)

1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organic menjadi karbondioksida dan air (Daviss and Conwell, 1991 dalam Effendi, 2003). Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air limbah dan untuk merancang system pengolahan biologis bagi air tercemar. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang di perlukan oleh mikroorganisme pada waktu melakukan penguraian. Dalam penguraian bahan organic, apabila tersedia oksigen terlarut dalam jumah yang cukup, maka proses penguraian akan berlangsung dalam suasana aerobic sampai semua baha organic terkonsumsi. Sebaliknya apabila tidak tersedia oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup atau tingkat pencemaran relative tinggi, maka proses penguraian akan terjadi dalam suasana yang anaerobic yang menimbulkan bau busuk dan warna abu-abu tua bahkan hitam pada air (Sukardi, 1999). Pengukuran BOD dilakukan dengan inkubasi sampel air dan mengoksidasi air selama 5 hari dengan suhu 20

o

C kemudian setelah 5 hari diamati dibandingkan kandungan oksigen dalam air sebelum dan sesudah inkubasi (Fardiaz. 1992 dalam Padmanbha 2015).

Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu BOD untuk air limbah yaitu 50 mg/L .

2. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD atau kebutuan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar

limbah organic yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Limbah

organik akan dioksidasi oleh kalioum bichromat (K

2

C

r2

O

7

) sebagai sumber oksigen

menjadi gas CO

2

dan H

2

O serta sejumlah ion Chrom. Nilai COD merupakan ukuran

bagi tingkat pencemaran oleh bahan organik (Nurhassanah, 2009). Menurut

(9)

Sperling (2007), pengukuran COD memerlukan waktu yang singkat yaitu sekitar dua hingga tiga jam sehingga COD menjadi parameter dengan respon yang cepat dibandingkan dengan BOD namun tidak melihat respon penguraian bahan organik oleh organisme dalam air. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu COD untuk air limbah yaitu 100 mg/L .

3. Fosfat

Fosfat merupakan senyawa yang tersusun atas unsur P (Fosfor) dan O (Oksigen). Senyawa fosfor terbagi menjadi senyawa organik dan anorganik.

Senyawa fosfor organik biasanya berupa padatan yang telah bereaksi dengan bahan-bahan organik, sedangkan bentuk fosfor anorganik dalam air limbah berupa polifosfat dan ortofosfat yang menjadi bahan utama pada deterjen maupun bahan pembersih lainnya. Ortofosfat merupakan senyawa fosfor sederhana yang mudah untuk dipisahkan dari air sedangkan polifosfat merupakan senyawa fosfor kompleks sehingga memerlukan hidrolisis untuk mengubah senyawa tersebut menjadi ortofosfat (Environmental Protection Agency 1997, dalam Padmanabha, 2015).

Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah, fosfat di dalam air limbah

dijumpai dalam bentuk orthofosfat (seperti H

2

PO

4

- , HPO

42-

, PO

4 3-

), polyfosfat

seperti Na

2

(PO

4

)

6-

yang terdapat dalam deterjen dan fosfat organik (Hammer,

1986). Orthofosfat merupakan sumber fosfat terbesar yang digunakan oleh

fitoplankton dan akan diserap dengan cepat pada konsentrasi kurang dari 1 mg/l

(Reynold, 1993). Pada konsentrasi kurang dari 0.01 mg/l pertumbuhan tanaman dan

algae akan terhambat, keadaan ini dinamakan oligotrop. Bila kadar fosfat serta

(10)

nutrien lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman dan algae tidak terbatas akan menyebabkan eutrofikasi (Alaerts dan Santika, 1987). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu Total fosfat untuk air limbah adalah 5 mg/L.

4. pH

pH limbah cair adalah ukuran keasaman atau kebasaan limbah cair. pH menunjukkan perlu atau tidaknya pengolahan pendahuluan untuk mencegah terjadinya gangguan pada proses pengolahan limbah cair secara konvesional.

Secara umum, pH limbah domestik adalah mendekati netral (Nurhassanah, 2009).

pH menentukan sifat dari suatu cairan, yang terdiri dari asam dengan pH kurang dari 7, netral dengan nilai pH 7, dan basa dengan pH lebih dari 7 dan nilai pH maksimal adalah 14. Air dengan pH kurang dari 4 dapat menyebabkan kematian pada organisme air akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi air yang sangat asam (Padmanabha, 2015). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu pH untuk air limbah yaitu 6 sampai 9.

2.3.3 Parameter Biologi

Penentuan kualitas biologi ditentukan oleh kehadiran mikroorganisme terlarut dalam air seperti kandungan bakteri, algae, cacing, serta plankton.

Penentuan kualitas mikroorganisme dilatarbelakangi dasar pemikiran bahwa air

tersebut tidak akan membahayakan kesehatan. Dalam konteks ini maka penentuan

kualitas biologi air didasarkan pada analisis kehadiran mikroorganisme indikator

pencemaran (Kusnadi, 2003 dalam Fatimah, 2006). Berdasarkan Peraturan

(11)

Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, parameter biologi Standar baku mutu coliform untuk air limbah adalah 10.000 koloni per 100 mL.

2.4 Constructed Wetland

Constructed wetland (Lahan Basah Buatan) merupakan sistem pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah (Risnawati dan Damanhuri, 2009). Secara umum sistem pengolahan limbah dengan lahan basah buatan (Constructed Wetland) ada 2 (dua) tipe, yaitu sistem aliran permukaan (Surface FlowConstructed Wetland) atau FWS (Free Water System) dan sistem aliran bawah permukaan (Sub-Surface Flow Constructed Wetland) atau sering dikenal dengan sistem SSF-Wetlands (Leady, 1997 dalam Mika, 2013). Media yang digunakan pada constructed wetland berupa tanah, pasir, batuan atau bahan lainnya. Constructed wetland memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya untuk filtrasi air. Menurut Tangahu dan Warmadewanthi (2001), pengolahan air limbah dengan sistem wetland lebih dianjurkan karena beberapa alasan sebagai berikut :

 Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk logam berat.

 Efisiensi pengolahan tinggi (80 %).

 Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi.

 Memungkinkan untuk penggunaan kembali air hasil pengolahan.

(12)

Ketika aliran air melewati lahan basah, air akan berjalan perlahan dan sebagian besar bahan pencemar akan terjerab oleh vegetasi untuk kemudian terangkat atau tingkat bahaya pada air dapat berkurang. Tumbuhan yang hidup dalam lahan basah membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Jika yang tertahan adalah air yang mengandung bahan pencemar berbahaya bagi lingkungan namun bermanfaat bagi tumbuhan maka bahan itu akan diserap (Wong, 1997 dalam Kusumastuti, 2009).

Menurut Lim et al (2002) dalam Kamariah (2006), Constructed Wetland memiliki potensi besar untuk mengolah air limbah. Dengan perencanaan yang baik, efisiensi lahan basah buatan dapat menghilangkan berbagai kontaminan. Ada enam reaksi biologis yang penting karena performa contructed wetland mecangkup proses biologis seperti aktivitas metabolism memikroba dan serapan tanaman serta fisik – kimia, proses seperti sedimentasi, adsorpsi dan presipitasi.

2.4.1 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland merupakan jenis

constructed wetland yang memanfaatkan kerikil halus atau pasir sebagai bahan

untuk menyaring air limbah yang masuk. Alur masuk air limbah pada Horizontal

Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland yaitu mengalir secara horizontal,

diawali dengan masuknya air limbah melalui saluran influent kemudian mengalir

pada permukaan air. Selanjutnya air dari zona distribusi mengalir secara horizontal

menuju kerikil halus atau pasir untuk difiltrasi dan diolah oleh tanaman air hingga

air mengalir mencapai saluran effluent. Jenis tanaman yang digunakan untuk

Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland hanya berupa jenis

tanaman air yang muncul ke atas permukaan air dikarenakan terdapat lapisan kerikil

(13)

halus atau pasir pada constructed wetland yang tidak memungkinkan tumbuhnya tanaman air yang mengapung dan yang tidak muncul ke permukaan air (Gauss.

2008; Vymazal dan Kropfelova. 2008, dalam padmanabha 2015).

Gambar 2.1. Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Pada penelitian Hidayah dan Aditya dalam Padmanbha, 2015 menunjukkan bahwa pengolahan air limbah domestik dengan Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland menggunakan tanaman Lembang atau Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia) dalam 15 hari mampu mengurangi COD sebesar 91,8%, BOD 91,6%, dan TSS 83,3%.

2.4.2 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland merupakan jenis constructed wetland yang mengolah air limbah dengan aliran vertical. Vertical

Bahan Penyaring (Kerikil Halus)

Zona pengumpulan (Kerikil Kasar)

Permukaan Air Tanaman

Air

Aliran Masuk Air Limbah

(Influent)

Zona distribusi (Kerikil Kasar)

Saluran Keluaran

(14)

Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland terdiri dari tanaman air dan bahan

filter dengan jenis yang sama yang digunakan pada Horizontal Flow Sub-surface

Flow Constructed Wetland, air, kemudian bahan filter yang terdiri dari berbagai

macam bahan mulai dari pasir, kerikil, maupun bebatuan. Pada instalasi ini,

Tanaman air berfungsi sebagai pendukung proses penyerapan vertical air limbah

menuju lapisan penyaring. Pada susunan lapisan penyaring, terjadi proses

pengolahan serta adanya penambahan hidrolik yang berselang-seling sehingga

lapisan filter terisi dengan air yang meningkatkan proses nitrifikasi air limbah

(Gauss. 2008, dalam Padmanabha 2015). Alur pengolahan limbah dengan Vertical

Sub-surface Flow Constructed Wetland diawali dengan masuknya air limbah

melalui aliran influent mengalir secara vertical kemudian masuk ke dalam lapisan

filter dengan bantuan tanaman air. Selanjutnya air mengalami proses pengolahan

dari lapisan filter pertama hingga lapisan filter terakhir. Setelah proses tersebut, air

hasil pengolahan mengalir secara perlahan keluar melalui saluran keluaran

(effluent) (Padmanabha, 2015).

(15)

Gambar 2.2. Vertikal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Padmanabha, 2015 dalam pengolahan air limbah secara Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland persentase efektivitas pengurangan nilai TDS sebesar 14,94%, TSS sebesar 53,13%, BOD sebesar 76,31%, COD sebesar 67,41%, dan Total Fosfat sebesar 57,53%.

2.4.3 Hybrid Constructed Wetland

Hybrid Constructed Wetland merupakan salah satu system yang dapat digunakan untuk meminimalkan dampak limbah laundry. Hybrid Constructed Wetland merupakan kombinasi antara system Vertical Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland dan Horizontal Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland.

Tanaman

Air Aliran masuk

Air limbah (Influent) Pipa

Aerasi

Lapisan penyaring/filtrasi

Saluran Keluaran (Effluent)

Tempat

Media

(16)

Hybrid Constructed Wetland substrat batu vulkanik yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena batu vulkanik merupakan jenis substrat yang paling baik digunakan dalam Sub-Surface Flow Constructed Wetland baik untuk Vertical Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland maupun Horizontal Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland dibandingkan jenis batuan lainnya (WasteWater Garden. 2012). Jenis tanaman yang digunakan untuk membantu filtrasi dalam system ini yaitu tanaman air. Alur pengolahan limbah dengan Hybrid Constructed Wetland melalui dua tahap diawali dengan masuknya air limbah melalui aliran influent mengalir secara vertical (Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland) kemudian masuk ke dalam lapisan filter dengan bantuan tanaman air. Selanjutnya air mengalami proses pengolahan secara horizontal (Horizontal Sub-surface Flow Constructed Wetland) dan masuk ke saluran filter oleh bantuan tanaman air. Setelah proses tersebut, air hasil pengolahan mengalir secara perlahan keluar melalui saluran keluaran.

Gambar 2.3. Hybrid Constructed Wetland

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abidi et al. (2009) dalam

Sayadi et al. (2012) dalam pengolahan air limbah secara Hybrid Constructed

Wetland persentase efektivitas pengurangan nilai TSS sebesar 81%, BOD sebesar

83%, dan COD sebesar 77%.

(17)

2.5 Batu Vulkanik

Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang berasal dari magma atau lava yang mengalami pendinginan dan pengerasan yang membentuk berbagai jenis kristalisasi batuan. Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang mengandung silika dalam bentuk siliki dioksida (SiO

2

) serta mineral lainnya yang terdiri dari jenis mineral seperti alumina (Al

3

O

2

), senyawa kalsium (CaO), besi (FeO dan Fe

2

O

3

), magnesium (MgO) dan jenis senyawa lainnya. Beberapa jenis batu vulkanik yang berasal dari pembekuan lava antara lain, Batu Rhiolit, Batu Dasit, Batu Andesit, dan Batu Basalt (McBirney. 2007 dalam Padmanabha, 2015).

Gambar 2.4. Batu Vulkanik

2.6 Tanaman Air

Jenis tamanan yang sering digunakan untuk lahan basah buatan adalah jenis

tanaman air atau tanaman yang tahan hidup diair tergenang (Submerged plants atau

amphibiuos plants). Menurut Supradata, 2005 pada umumnya tanaman air tersebut

berdasarkan proses biofilter dapat dibedakan menjadi 3 tipe, berdasarkan area

(18)

pertumbuhannya didalam air ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut:

 Tanaman yang mencuat kepermukaan air, merupakan tanaman air yang memiliki sistem perakaran pada tanah di dasar perairan dan daun berada jauh diatas permukaan air.

 Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman air yang seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada didalam air.

 Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan tanaman air yang akar dan batangnya berada dalam air, sedangkan daun diatas permukaan air

Tujuan penggunaan tanaman air pada constructed wetland adalah untuk menyediakan oksigen di zona akar tanaman serta dapat menambah luas permukaan bagi pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh di zona akar selain itu tanaman juga dapat menyerap logam dari air limbah yang diolah (Hidayah dan Wahyu, 2010). Jenis tanaman yang biasa digunakan dalam constructed wetland yaitu Tanaman yang mencuat kepermukaan air seperti tanaman Cattail (Thypa sp) dan kana (Canna sp.).

Kana (Canna sp.) adalah tanaman yang mampu hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh besar, tegak, dengan tinggi mencapai dua meter. Daunnya besar dan lebar, menyirip jelas.

Warnanya hijau atau merah tengguli. Bunganya besar dengan warna-warna cerah,

seperti merah, merah muda, dan kuning yang tersusun dalam bentuk tandan. Untuk

itu tumbuhan ini dapat dimanfaatkan agar dapat menambah estetika lingkungan.

(19)

Gambar 2.5. Tanaman Kana (Canna sp.)

Cattail (Thypa sp) adalah jenis tumbuhan herbal serta besifat colonial.

Tumbuhan ini juga mempunyai rizom serta berbentuk panjang dan ramping.

Rizomnya akan menjalar di bawah permukaan tanah yang berlumpur untuk memulakan tumbuahan baru secara melintang. Tanaman Cattail (Thypa sp) mempunyai akar serabut yang sangat lebat, daun yang berbentuk tirus panjang.

Cattail (Thypa sp) merupakan sejenis tumbuhan semi-akuatik dimana tidak memerlukan air yang banyak seperti tumbuhan akuatik pada umumnya (Bagwell, 1998 dalam Mika, 2013).

Gambar 2.6. Tanaman Cattail (Thypa sp)

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Air Limbah Laundry Sebelum diolah
Gambar 2.1. Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland
Gambar 2.2. Vertikal  Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland
Gambar 2.3. Hybrid Constructed Wetland
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pokok-pokok permasalahan yang diajukan penulis juga menjelaskan mengenai pasal tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sasaran Pengelolaan Lingkungan

Teknik penilaian 1 3.1 Menjelaskan metode pembuktian Pernyataan matematis berupa barisan, ketidaksamaan, keterbagian dengan induksi matematika Induksi Matematika 3.1.1

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat meyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Analisis Debit Maksimum

Area penyimpanan, persiapan, dan aplikasi harus mempunyai ventilasi yang baik , hal ini untuk mencegah pembentukan uap dengan konsentrasi tinggi yang melebihi batas limit

3 Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan dibidang penelitian serta mengetahui pengaruh kompres hangat pada kala I fase aktif terhadap penurunan nyeri

PariÊ, Js.: MaruliÊ u Madridu; izloæba posveÊena ocu hrvatske knjiæevnosti.. meunarodni skup o Marku

Persepsi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini (PTK-PAUD) terhadap pendidikan anak usia dini (PAUD) di wilayah kota Yogyakarta

mimaan sekä ilmassa että maassa olevia kohteita vastaan, mutta poliittisen tahtotilan johdosta ilmasta maahan kyky poistettiin 1980-luvun