1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan di perkotaan yang sangat cepat seringkali tidak memperhatikan kebutuhan ruang terbuka publik untuk aktivitas bermain bagi anak. Kurangnya ketersediaan ruang publik yang sesuai untuk aktivitas bermain membuat banyak anak yang memilih gang-gang sempit bahkan jalan raya sebagai tempat bermain yang justru membahayakan diri mereka dan pengguna jalan lain, karena jalan memang bukan arena bermain. Kebutuhan ruang bermain untuk anak merupakan sesuatu yang mutlak karena bermain merupakan salah satu hak anak yang harus dipenuhi. Menurut Hurlock (dalam Setiawan, 2006) masa kanak-kanak merupakan masa awal manusia berinteraksi dengan lingkungan, baik secara fisik, psikologi, maupun sosial. Aktivitas bermain yang baik, sehat, aman, dan mengandung elemen alami dapat membantu membangun karakter, sifat, dan potensi anak di masa yang akan datang. Aktivitas bermain di ruang publik dapat melatih kepedulian, toleransi, strategi, dan kerjasama pada anak sehingga kurangnya ruang publik untuk bermain akan memunculkan berbagai permasalahan bagi anak (Woolley, 2008).
Anak-anak adalah bagian penting dari suatu kota yang berada pada
kelompok usia muda yang memiliki potensi untuk dikembangkan agar dapat
berpartisipasi aktif di masa mendatang. Anak-anak seringkali dikesampingkan
dalam berbagai aspek, salah satunya adalah aspek partisipasi maupun
pembangunan fisik. Pengabaian tersebut diindikasikan melalui tidak adanya
kesempatan bagi mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terkait kelangsungan sebuah kota atau negara (Barlett, 2005). Adanya kesenjangan
hak antara anak dengan orang dewasa ini memunculkan tututan kesetaraan
terutama dalam kegiatan pembangunan.
2 Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak dan hak-hak yang dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sesuai dengan isi Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Berdasarkan hasil Konvensi Hak Anak, terdapat 5 klaster hak anak yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta perlindungan khusus. Dalam klaster hak pendidikan pemanfaatan, waktu luang, dan kegiatan budaya, terdapat indikator tersedianya fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak di luar sekolah dan dapat diakses semua anak. Konsep Child- Friendly City (CFC) atau Kota Layak Anak merupakan sistem pembangunan kota berbasis hak-hak anak melalui integerasi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
Dalam rangka mewujudkan Kota Layak Anak, Kota Yogyakarta membentuk Kampung Ramah Anak (KRA). Pada tahun 2012, terdapat 2 lokasi percontohan Kampung Ramah Anak yang dibentuk, yaitu Kampung Badran dan Dagaran (1) . Kini, Kota Yogyakarta sudah memiliki 115 Kampung Ramah Anak dan pada tahun 2015, akan kembali dibentuk Kampung Ramah Anak sejumlah 21 kampung sehingga jumlahnya mencapai 136 kampung pada akhir tahun (2) .
Kampung Badran yang berada di RW 11 Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis adalah satu dari dua kampung di Kota Yogyakarta yang pertama menjadi Kampung Ramah Anak dan dinilai sebagai Kampung Ramah Anak yang baik di
(1)
Pembentukan Kampung Ramah Anak Bagi Perwujudan Kota Yogyakarta Menuju Kota Layak Anak, sumber http://www.kla.or.id diakses Februari, 2015
(2)