• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT ADAT KAMPUNG KUTA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS :Studi Etnografi Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta dan Kajian PTK di SMP Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT ADAT KAMPUNG KUTA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS :Studi Etnografi Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta dan Kajian PTK di SMP Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….. i

KATA PENGANTAR………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH……… iii

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR TABEL………... x

DAFTAR BAGAN………. xi

DAFTAR GAMBAR……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ……… 1

B.Rumusan Masalah ………. 16

C.Tujuan Penelitian……… 16

D.Manfaat Penelitian………. 17

E. Klarifikasi Konsep ………... 17

F. Paradigma Penelitian………. 20

BAB II KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG KUTA A. Konsep Nilai dalam Kebudayaan……… 21

B. Nilai Budaya dalam Masyarakat Adat………. 25

C. Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat….. 33

(2)

E. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan………..

1. Hakikat Pendidikan………

2. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi Budaya…….

46

46

50

F. Nilai Budaya dalam Pendidikan IPS………..

1. Filsafat Pendidikan IPS………..

2. Hakikat Pendidikan IPS……….

3. Pengertian Pendidikan IPS……….

4. Tujuan Pendidikan IPS………..

5. Karakteristik Mata Pelajaran IPS………...

6. Kurikulum………..

7. Silabus………

8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)………

56 56 61 61 64 66 69 72 74

G. Implementasi Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber

Pembelajaran IPS……….

1. Sumber Pembelajaran………

2. Kearifan Lingkungan sebagai Sumber Belajar ………..

76

76

85

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian……… 89

B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian………...

1. Jenis Data Penelitian………

2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian……….

95

95

97

C. Subjek dan LokasiPenelitian………

1. Subjek Penelitian……….

104

(3)

2. Lokasi Penelitian………. 104

D. Prosedur Penelitian………..

1. Tahap Persiapan………..

2. Tahap Pelaksanaan………..

3. Tahap Pelaporan………..

105

105

107

107

E. Analisis dan Validasi Data………

1. Analisis Data Penelitian………..

2. Validasi Data Penelitian………..

108

108

110

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………

A. Analisis Temuan Penelitian Etnografis Tentang Nilai-Nilai

Budaya Kampung Kuta

1. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Kuta……

2. Sejarah Kampung Kuta……….

3. Kondisi Sosial Budaya……….

4. Upacara Adat………

5. Pola Pemukiman dan Rumah Adat………...

6. Nilai Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber

Pembelajaran IPS………. 112 112 122 129 174 177 180

B. Analisis Temuan Penelitian Tindakan……….

1. Deskripsi Lokasi Penelitian………..

a. Keadaan Sekolah……….

b. Tujuan Sekolah………

c. Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun

184

184

184

(4)

Pelajaran 2010/ 2011………

d. Keadaan Peserta Didik……….

e. Hasil Belajar……….

2. Pembahasan Hasil Penelitian………

a. Temuan Awal Penelitian………..

b. Deskripsi Tindakan Kesatu………..

c. Deskripsi Tindakan Kedua………..

d. Deskripsi Tindakan Ketiga………..

e. Deskripsi Tindakan Keempat………..

f. Deskripsi Tindakan Kelima……….

g. Deskripsi Studi Pasca Penelitian……….

3. Analisis Reflektif Implementasi Kearifan Lingkungan

Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber

Pembelajaran IPS………..

a. Kebiasaan Guru dalam Pembelajaran IPS…………

b. Keefektifan Implementasi Kearifan Lingkungan

Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………..

c. Hambatan Implementasi Kearifan Lingkungan

Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………...

186 189 189 192 192 198 206 212 219 223 227 230 230 236 239

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan………..

B. Rekomendasi………

251

252

(5)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(6)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

4.1. Luas Tanah Kampung Kuta Menurut Penggunaannya 117

4.2. Penduduk Kampung Kuta Menurut Umur dan Jenis Kelamin 130

4.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kampung Kuta 133

4.4. Mata Pencaharian Penduduk Kampung Kuta 138

4.5. Alat Penunjang Pendidikan Tahun Pelajaran 2010/ 2011 185

4.6. Daftar Buku Paket Peserta Didik Tahun Pelajaran 2010/ 2011 186

4.7. Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun Pelajaran 2010/ 2011 187

4.8. Hasil Belajar Peserta Didik Tahun Pelajaran 2008/2009 dan

2009/2010

189

4.9. Hasil UN/US SMP Negeri 1 Tambaksari Tahun Pelajaran

2009/2010

190

4.10. Nilai Raport Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A Semester Ganjil

Tahun Pelajaran 2010/ 2011

191

4.11. Nilai Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A

Semester Genap Tahun Pelajaran 2010/ 2011

191

(7)

DAFTAR BAGAN

No. Bagan Halaman

1.1. Paradigma Penelitian 20

2.1. Proses Transformasi dan Transmisi Budaya Pada Peserta

Didik

55

2.2. Elemen-elemen dalam Model 67

3.1. Model Spiral dari Kemmis dan Tagart 93

3.2. Fase Observasi 99

(8)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

4.1. Peta Desa Karangpaningal 113

4.2. Peta Kampung Kuta 116

4.3. Jalan Menuju ke Hutan Keramat 118

4.4. Kuncen ngarekeskeun Maksud Kedatangan Tamu 119

4.5. Duplikat Piala Kalpataru 121

4.6. Kaum Ibu Sedang Mengambil Bibit Padi Sebelum Tandur 134

4.7. Bentuk Leuit Masyarakat Kuta 136

4.8. Slogan Pelestarian Lingkungan 148

4.9. Jamban keluarga Masyarakat Kuta 162

4.10. Pentas Seni Terbang 164

4.11. Pentas Seni Gondang 165

4.12. Pentas Seni Tayub 165

4.13. Rumah Adat Kampung Kuta 178

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Matrik Penelitian

2. Panduan Observasi Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta

3. Panduan Wawancara Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta

4. Panduan Observasi Penelitian Tindakan

5. Panduan Wawancara Penelitian Tindakan

6. Daftar Responden

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam

berbagai hal. Salah satunya adalah budaya yang berkembang dalam masyarakat

adat sebagai kekayaan nasional. Masyarakat adat secara tradisi terus berpegang

pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenaran dan kesakralannya serta menjadi

pegangan hidup anggotanya yang diwariskan secara turun temurun. Nilai-nilai

tersebut saling berkaitan dalam sebuah sistem. Koentjaraningrat (1989: 190),

mengatakan bahwa :

Dalam setiap masyarakat, baik kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.

Kebudayaan itu sendiri mengalami dinamika baik secara internal (internalisasi,

sosialisasi, enkulturasi, inovasi dan discovery) maupun eksternal (akulturasi dan

asimilasi). Menghadapi dinamika sosial, tidak semua warga masyarakat dapat

mengikuti perubahan dengan baik. Koentjaraningrat (1989: 234) mengatakan :

Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, serta enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu tidak dapat menyesuaikan peribadinya dengan lingkungan sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan masyarakatnya.

Hambatan-hambatan individu dalam proses tersebut dapat melahirkan

(11)

Walaupun demikian, Koentjaraningrat (1989: 235) mengatakan bahwa

“penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor yang sangat penting,

karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan

yang positif maupun yang negatif”. Penyimpangan positif dapat menyebabkan

perubahan budaya (culture change), seperti melahirkan perubahan dan

pembaharuan adat istiadat yang kuno. Tidak semua budaya yang berkembang

dalam masyarakat harus dilestarikan apabila bertentangan dengan nilai yang

bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang berfungsi sebagai

agen perubahan. Sedangkan penyimpangan negatif dapat melahirkan konflik dan

disintegrasi sosial, penyakit jiwa dan sebagainya, sehingga penyimpangan ini

harus dicegah secara preventif, persuasif dan hukuman yang melibatkan berbagai

pranata sosial yang ada dalam masyarakat.

Kampung Kuta berdasarkan penelitian Praja (2009) sangat memperhatikan

kelestarian lingkungan, sehingga mampu menjaga sumber daya alam dari

eksploitasi yang berlebihan. Kepedulian masyarakat adat terhadap alam

menyebabkan kebudayaan yang berkembang tidak terpisahkan dari alam yang

mereka huni. Hal ini sejalan dengan teori ekologi budaya yang diperkenalkan oleh

Julian H. Steward (Susilo 2009:47). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan

budaya tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi merupakan campuran (mixed

product) yang berproses lewat dialektika. Menurut Susilo (2009:47), “keduanya

memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa

(12)

pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan

lingkungan”.

Sebagai sebuah kampung adat, Kampung Kuta memiliki sejarah atau lebih

tepatnya disebut asal usul. Asal-usul Kampung Kuta merupakan salah satu mitos

yang berkembang dalam masyarakat Ciamis. Mitos tersebut bersumber pada

tradisi lisan yang dituturkan secara turun temurun. Tradisi lisan merupakan salah

satu sumber penulisan sejarah lokal dengan beragam kelemahannya. Walau

demikian, menurut Widja (1991: 63), “tradisi lisan bagaimana pun juga punya arti

penting dalam usaha merekonstruksi masa lampau suatu masyarakat atau

komunitas tertentu”. Hal itu didukung oleh Wildan dkk. (2005: 65), “adapun

mengenai benar atau tidaknya isi cerita atau mitos tersebut bukan suatu

permasalahan. Setidaknya mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh

masyarakatnya. Bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari

bentuk pemikiran mitis”.

Dalam mitos Kampung Kuta berdasarkan hasil penelitian Praja (2009)

terdapat nilai luhur berupa kejujuran, kesederhanaan dan kecintaan tokoh adat

terhadap alam dan masyarakatnya. Hal ini harus direspon oleh para pengembang

dan pelaksana kurikulum dengan menjadikan sejarah lokal sebagai bagian dari

pembelajaran kurikuler IPS atau paling tidak ditempatkan dalam muatan lokal.

Termasuk dalam hal ini, menjadikan sejarah kampung adat Kuta sebagai salah

satu materi yang diberikan dalam Mata Pelajaran IPS.

Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat memiliki nilai

(13)

adat sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial (solidaritas) dalam

melakukan segala aktivitas hidupnya. Menurut Durkheim (Pasya, 1999: 20),

‘solidaritas ini menunjukkan suatu keadaan hubungan antara individu dengan/

atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut

bersama, diperkuat oleh pengalaman emosional bersama’. Selain memiliki

kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat memiliki budaya luhur lain

yang berupa gotong-royong, musyawarah, dan kerukunan. Perilaku prososial

(prosocial behavior) tersebut masih melekat kuat dibandingkan dengan

masyarakat dengan tingkat heterogenitas, aktivitas dan pertumbuhan ekonomi

yang lebih tinggi.

Masyarakat adat juga kaya dengan beragam budaya dalam bentuk kesenian

tradisional, baik berupa seni tari, seni suara maupun seni gamelan. Kekayaan seni

budaya yang dimiliki masyarakat adat tentu tidak boleh dibiarkan lenyap ditelan

arus globalisasi. Seni tarik suara maupun seni gamelan sangat kaya dengan nilai

yang berhubungan dengan kearifan manusia dalam membangun hubungan yang

harmonis antara manusia dengan alam dan antar manusia sebagai anggota

masyarakat. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi muda dalam

mengarungi hidup di era global dengan beragam pengaruh, baik positif maupun

negatif.

Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dijadikan kajian dari

sebuah masyarakat adat adalah kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan

pengelolaan lingkungannya. Sebuah nilai penting yang dimiliki masyarakat adat

(14)

budaya yang berupa kearifan manusia dalam mengelola alam tersebutlah yang

kemudian diyakini merupakan cara yang paling ampuh dalam mengelola alam.

Dalam mengembangkan hubungan dengan alam, masyarakat adat telah

memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (SPTL) atau indigenous

knowledge. Adimihardja (2008: 1), mengatakan bahwa ”SPTL mudah dipahami

secara awam, dengan sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pengetahuan yang

tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan perkembangan dari bagian

keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu”. Selanjutnya dijelaskan, “dasar-dasar

pengetahuan itu bersumber dari nilai tradisi dan adaptasinya dengan

nilai-nilai dari luar”. Pendapat tersebut paling tidak mengandung dua makna; pertama,

masyarakat sesederhana apapun pasti memiliki kecerdasan dalam menjalani

kehidupannya. Kedua, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak mengalami

dinamika.

Sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang berkembang dalam

masyarakat adat salah satunya pengetahuan tentang cara bercocok tanam sesuai

dengan tanda-tanda alam. Sebagai contoh kapan mereka harus mulai menggarap

sawah yang mengacu pada perhitungan waktu katiga (musim kemarau), kapat

(musim hujan). Permulaan mengolah sawah dengan perhitungan waktu tersebut,

sekarang ini tentu telah mengalami perubahan dengan bergesernya musim yang

sulit diprediksi. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengalami

perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.

Selain diwujudkan dalam sistem pengetahuan dan teknologi di atas,

(15)

tempat yang dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi

sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat

tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan

hutan tetap lestari. Hutan bagi masyarakat adat merupakan simbol

keberlangsungan kehidupannya.

Terlepas dari unsur mistis yang ada di dalamnya, pemahaman tentang

nilai-nilai tersebut sangat penting dimiliki oleh peserta didik, kini dan masa yang akan

datang. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang

dikembangkan dalam konteks kekinian, sangat penting untuk dijadikan kajian

dalam pembelajaran IPS sehingga terinternalisasi pada diri peserta didik. Tentu

setelah dikaji secara ilmiah, mengapa nilai-nilai tersebut harus diwarisi oleh

mereka.

Nilai-nilai budaya lokal yang mulai terabaikan dalam kehidupan masyarakat

dewasa ini adalah sebuah isu penting untuk diangkat dalam pembelajaran IPS. Hal

ini merupakan usaha untuk mencari solusi alternatif guna menyikapi dampak

globalisasi yang makin merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat di mana

pun keberadaannya. Menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya tentu

memerlukan berbagai pendekatan untuk menghadapinya. Dengan demikian

segenap potensi yang dimiliki oleh sebuah bangsa harus dioptimalkan, termasuk

kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat. “Sistem budaya lokal

merupakan modal sosial (social capital) yang besar, telah tumbuh-berkembang

secara turun-temurun yang hingga kini kuat berurat-berakar di masyarakat”

(16)

Berhubungan dengan hal itu, Susilo (2008: 161) mengatakan bahwa

“penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan

lokal tradisional, karena ia membantu penyelamatan lingkungan”. Lingkungan

hidup memang sedang mengalami degradasi sebagai dampak negatif dari

lompatan petumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali serta globalisasi.

Ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang hidup semakin luas,

sehingga berdampak terhadap pengurangan ruang hijau yang berupa hutan dan

lahan pertanian karena dijadikan areal pemukiman. Jumlah populasi yang terus

meningkat mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan dan konsumsi sumber

daya alam (SDA). Dalam beberapa kasus, luas hutan berkurang karena adanya

kejahatan yang berupa illegal logging, tetapi pengurangan luas areal hutan juga

tidak terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk.

Globalisasi merupakan salah satu penyebab menurunya kualitas lingkungan.

Bahkan Capra (2009: 165) menjelaskan bahwa “kerusakan lingkungan tak hanya

efek samping, tetapi juga merupakan bagian integral dari rancangan kapitalisme

global”. Fokus utama globalisasi adalah peningkatan produktivitas ekonomi tetapi

mengabaikan keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan. Susilo (2010: 69)

mengatakan, “…antroposentris yang berinteraksi dengan industrialisme,

konsumerisme, modernisme, dan perkembangan pesat teknologi, menjadi sebab

kerusakan lingkungan” . Globalisasi telah membangun pandangan yang keliru

tentang pentingnya pelestarian alam. Ralph Metzner (Susilo, 2010: 70)

mengatakan, ‘paduan suara yang semakin berkembang menunjukkan bahwa akar

(17)

dunia yang kita pegang’. Dapat disimpulkan, globalisasi telah menyebabkan

kerusakan lingkungan baik di daratan, perairan maupun udara. Salah satu

contohnya, daratan dengan penggundulan hutan, perairan dengan limbah industri,

dan udara dengan polusi udara baik karena industri maupun kendaraan bermotor.

Selain menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan alam (ekologis),

globalisasi telah menimbulkan efek samping lain yang tidak diharapkan berupa

pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan budaya asing yang

seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut oleh peserta didik. Mereka

lebih hafal dan akrab dengan budaya Barat dari pada budaya bangsanya sendiri.

Kekaguman generasi muda terhadap budaya Barat terlihat dari berbagai bentuk

imitasi yang dilakukan mulai dari cara berpakaian hingga pola tingkah laku yang

sudah mendekati tradisi Barat tetapi sering mengabaikan makna yang terkandung

di dalamnya. Hal ini merupakan bentuk ketidakmampuan individu masyarakat

menghadapi dinamika sosial-budaya melalui proses belajar dari budaya asing

baik akulturasi maupun asimilasi. Dalam konteks global, fenomena ini seolah

merupakan tumbal sebuah zaman. Menurut Alma (2010: 143), “bagi Indonesia,

masuknya nilai-nilai Barat yang menumpang arus globalisasi… merupakan

ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di

negeri ini”. Oleh karena itu, kerarifan lokal merupakan hal penting yang harus

diwariskan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

Kearifan lokal menurut Atmodjo (1986: 37) merupakan kemampuan

penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan

(18)

dengan tujuan pembelajaran IPS, sebab dengan kemampuan tersebut akan

menyebabkan peserta didik dapat memilih dan memilah budaya mana yang sesuai

dengan karakteristik budaya sendiri. Kemampuan penyerapan kebudayaan asing

yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman langsung dari

masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan dengan

menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar.

Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah lain

dengan masalah-masalah yang berbeda, tentu tidak begitu saja akan menerima

warisan itu. “Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali

nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta

sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut”

(Saini, 2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui

pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna. Mutakin

(2008: 74) mengatakan bahwa “atas dasar tersebut maka muncul pemaknaan

bahwa kebudayaan merupakan learned behavior, yang berarti bahwa kebudayaan

diperoleh seseorang individu harus dengan proses belajar”. Ini menunjukkan

bahwa hanya dengan pembelajaranlah nilai-nilai budaya dapat diwariskan kepada

peserta didik. Melalui pengalaman belajarnya, peserta didik akan mewarisi nilai

luhur suatu budaya dan melembagakan nilai tersebut dalam dirinya. Melalui

pengalaman belajar dari masyarakat, peserta didik dapat mencari, menemukan dan

membangun pengetahuannya. Suatu proses yang sangat penting dalam

(19)

Berhubungan dengan lingkungan di mana di dalamnya hidup nilai-nilai

budaya, Wahab (2008: 137) mengatakan, “siswa hidup dalam masyarakat dan

karena itu siswa perlu mengenal kehidupan masyarakat”. Menurutnya, “salah satu

hal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adalah isu-isu sosial”. Berbagai

permasalahan sosial tidak terlepas dari fenomena alam atau lingkungan fisik di

mana masyarakat tersebut hidup dan berinteraksi. Oleh karena itu Sumaatmadja

(2004: 18) mengatakan, “pengajaran IPS yang melupakan masyarakat sebagai

sumber dan objeknya, merupakan suatu bidang pengetahuan yang tidak berpijak

kepada kenyataan”. Sebagai contoh aplikatif, isu tentang global warming dapat

dikaji mulai dari dimensi lokal yang berupa nilai budaya suatu masyarakat adat

yang telah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan. Kemudian isu tersebut

dikembangkan dalam dimensi global berupa pencegahan terhadap pemanasan

suhu bumi yang semakin meningkat. Mengadopsi pemikiran Naisbitt (1984: 91),

pembelajaran ini mencoba melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan

“think globally, act locally”.

Disadari atau tidak, seringkali bencana sosial dan kemanusiaan disebabkan

oleh ulah dan perilaku manusia dalam melakukan eksploitasi terhadap alam

sekitarnya. Berbagai bencana tidak terlepas dari kesalahan manusia dalam

mengelola dan memanfaatkan alam baik disengaja maupun sebagai efek

penggunaan teknologi yang tidak tepat sasaran. Beragam bencana alam

sesungguhnya adalah ujian sejauh mana manusia memiliki kecerdasan dalam

mengembangkan mitigasi bencana yang dapat mengeliminir resiko dari peristiwa

(20)

wilayah Indonesia memang rentan terhadap bencana alam. Wilayah Indonesia

berada pada jalur pegunungan muda vulkanik, yaitu sirkum Pasifik dan

Mediterania serta tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia, yaitu

Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Melalui proses pembelajaran, peserta didik belajar terhadap nilai-nilai

budaya lokal dalam konteks kehidupan sehari-hari saat ini. Bila masyarakat adat

memiliki kearifan terhadap lingkungan dengan mempertahankan hutan keramat,

dalam aplikasi yang sederhana, peserta didik dapat belajar menjaga kelestarian

alam sesusai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Sehingga kebiasaan kecil

tetapi penuh makna ini melembaga dalam diri peserta didik dan dapat

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil dan lingkungan

terdekatlah peserta didik belajar. Berdasarkan teori kognitif dari Bruner (1996),

salah satu langkah penting dalam pembelajaran adalah :

Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa serta mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. (Budiningsih, 2004: 50).

Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta,

khususnya kearifan terhadap lingkungan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan

salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-undang No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Pasal 1 (3) yaitu

pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini didukung

(21)

proses pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari proses budaya dan

sosial yang berlangsung terus menerus tanpa akhir”.

Masih berhubungan dengan nilai budaya yang terdapat di lingkungan,

khususnya lingkungan adat, menurut Sudjana dan Rivai (2009: 208-209), banyak

keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses

belajar, yaitu antara lain :

1) Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan dimana siswa duduk di kelas berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi, 2) Hakikat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami, 3) Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga kebenarannya lebih akurat, 4) Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau berwawancara, membuktikan atau mendemontrasikan, menguji fakta dan lain-lain, 5) Sumber belajar menjadi lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari dapat beraneka ragam seperti lingkungan sosial, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lain-lain, dan 6) Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan”

Walaupun keberadaanya sangat esensial, tetapi pembelajaran IPS hingga kini

belum banyak memberdayakan nilai-nilai lingkungan sebagaimana mestinya.

Sumber pembelajaran IPS masih terbatas pada buku teks dan dominasi guru

sebagai sumber belajar. Oleh karenanya, diperlukan usaha untuk mengembangkan

sumber pembelajaran berupa nilai-nilai budaya masyarakat dengan cara

mengintegrasikannya ke dalam bahan pembelajaran IPS.

Alma (2010: 143) mengatakan, “kesalahan dalam merumuskan strategi

mempertahankan eksistensi budaya lokal dapat mengakibatkan budaya lokal

(22)

dibawa arus globalisasi”. Salah satu kesalahan dimaksud adalah mengabaikan

nilai budaya sebagai sumber belajar. Kesalahan ini juga masih terjadi dalam

pembelajaran IPS karena masih belum mendekatkan peserta didik dengan

budayanya. Peserta didik belum secara intensif diperkenalkan dengan nilai-nilai

budaya lokal sebagai sumber pembelajaran.

Dengan implementasi nilai-nilai budaya, khususnya kearifan lingkungan

sebagai sumber belajar diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang

lebih bermakna bagi peserta didik. Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat

dalam pembelajaran akan mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya yang

bersifat konkrit. Sehingga, pembelajaran IPS memiliki tujuan yang lebih tinggi

yaitu menghasilkan peserta didik yang berbudaya. Peserta didik yang berbudaya,

menurut Sagala (2006: 243), adalah “anak yang berpengetahuan, berilmu,

mandiri, sportif, disiplin, terampil, mampu mengatasi masalah serta bersikap

dinamis dan oftimis,…”.

Pentingnya implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS

dapat dikaji dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu Perenialisme.

Perenialisme memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam

pewarisan nilai budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki

oleh masyarakat sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga

diketahui, deterima dan dapat dihayati oleh peserta didik. Perenialisme

memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia

yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan

(23)

yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga

untuk diwariskan kepada generasi muda.

Walau demikian, pada praktiknya, berbagai aliran filsafat pendidikan secara

eklektik digunakan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan,

termasuk dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam KTSP 2006 yang

berdasarkan filsafat rekonstruksionisme, pentingnya penanaman nilai budaya

lokal terlihat dari keharusan pengembang kurikulum memasukan muatan lokal

sebesar 20% dalam kurikulum yang disusunnya. Dengan demikian, filsafat

rekonstruksionisme dijadikan rujukan dalam pengembangan KTSP karena mampu

mengakomodir ketiga aliran filsafat pendidikan lainnya, baik perenialisme,

esensialisme maupun progresivisme.

Dalam pendidikan IPS, transformasi budaya bukan berarti melakukan

indoktrinasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melainkan mengkajinya

secara logis, kritis dan analitis sehingga peserta didik mampu memecahkan

masalah yang dihadapinya secara nyata. Pendidikan IPS tidak dapat menafikan

nilai-nilai yang berkembang pada masa lalu. Pendidikan IPS juga tidak dapat

mengabaikan masa yang akan datang. Dengan demikian, Pendidikan IPS harus

mengakomodir segala kebutuhan peserta didik, baik pewarisan nilai budaya,

pengembangan intelektual, serta mempersiapkan diri peserta didik untuk masa

depan yang lebih baik.

Berkenaan dengan implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat,

khususnya kearifaan lingkungan sebagai salah satu sumber pembelajaran IPS,

(24)

telah dicanangkan pula adanya masukan berupa kurikulum muatan lokal, yaitu

kurikulum bermuatan hal-hal yang secara spesifik merupakan kebutuhan

masyarakat setempat, local content curriculum”. Kebijakan tersebut lahir dari

kesadaran bahwa peserta didik jangan sampai dijauhkan dari akar budaya yang

dimilikinya.

Walau demikian kenyataan di lapangan menunjukkan, pengembang dan

implementor kurikulum masih sering salah menafsirkan muatan lokal. Muatan

lokal masih ditafsirkan terbatas dengan menjadikan bahasa daerah atau kesenian

tradisional sebagai mata pelajaran. Padahal pengertian muatan lokal dalam KTSP

tidak dapat direduksi seperti itu. Mulyasa (2010: 20) mengatakan bahwa “KTSP

harus dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan

karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat dan peserta didik”. Bila hal

ini dilakukan, Wahab (2008: 13) mengatakan, “hal itu akan membantu

melahirkan ‘the real curriculum’, juga mampu menutupi kesenjangan tentang

materi yang seharusnya ada dalam kurikulum”.

Berdasarkan hal uraian di atas kemudian diangkat dalam sebuah penelitian

yang berjudul “Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat

Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS di SMP Negeri 1

Tambaksari”. Dengan demikian, proses penelitian dilakukan dalam dua tahap,

yaitu : Pertama, tahap eksplorasi dan identifikasi nilai-nilai budaya masyarakat

adat Kampung Kuta, khususnya mengenai nilai kearifan lingkungan. Kedua,

penelitian tindakan di SMP Negeri 1 Tambaksari untuk melihat sejauh mana

(25)

serta meningkatkan kinerja guru IPS di sekolah tersebut melalui penelitian yang

bersifat partisipatori.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya

masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini?

2. Bagaimana pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat

adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam?

3. Bagaimana potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat

Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber pembelajaran

IPS di SMP Tambaksari?

4. Bagaimana hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan

lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam

pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya

masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini.

2. Untuk mengkaji pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya

masyarakat adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam.

3. Untuk mengetahui potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya

masyarakat adat Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber

(26)

4. Untuk mengetahui hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan

lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam

pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan

tentang nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta sebagai salah satu

kampung adat yang masih tersisa di Jawa Barat.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan berupa

nilai-nilai budaya Masyarakat Kampung Adat Kuta khususnya kearifan

lingkungan sebagai sumber belajar untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

E. Klarifikasi Konsep

1. Kearifan Lingkungan

Kearifan lingkungan atau environmental wisdom adalah kumpulan

pengetahuan, kepercayaan, dan kelembagaan masyarakat lokal (Amirullah,

2008)

2. Budaya

Kata budaya dalam tulisan ini memiliki arti yang sama dengan kebudayaan.

Koentjaraningrat (1989: 181) mengatakan, “dalam istilah

(27)

suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan arti yang sama”. Kebudayaan

menurut Koentjaraningrat (1989: 180), adalah “keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.

3. Masyarakat Adat

Terminilogi istilah, “masyarakat adat” berdasarkan hasil kongres Masyarakat

Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 15-22 Maret

1999. Hasil kongres tersebut menyatakan :

Masyarakat adat dimaksud sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”(Syafa’at, et.al. 2008: 28).

4. Sumber Pembelajaran

Menurut Rohani (2004: 161), “sumber belajar adalah segala daya yang dapat

dipergunakan untuk kepentingan proses atau aktivitas pengajaran baik secara

langsung maupun tidak langsung, di luar peserta didik (lingkungan) yang

melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Bahkan dalam

pembelajaran IPS, Sumaatmadja (2004: 13) mengatakan bahwa “segala

gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat,

(28)

F. Paradigma Penelitian

Paradigma sebagai konsep pertama kalinya dikemukakan oleh Thomas Kuhn

dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”. Dalam penelitian,

paradigma merupakan dasar untuk menyeleksi masalah dan pola untuk

memecahkan masalah tersebut. Moleong (1989: 9) mengatakan, “paradigma

adalah sekumpulan longggar tentang asumsi yang secara logis dianut

bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara

penelitian”. Wiriaatmadja (2008: 85) mengatakan, “kerangka pemikiran atau

paradigma adalah pandangan dunia atau worldview dari peneliti untuk

memahami asumsi-asumsi metodologis sebuah studi secara ontologis,

epistemologis, dan aksiologis”.

Senada dengan dengan kedua pendapat di atas, Nasution (2003: 2)

mengatakan bahwa “paradigma adalah suatu perangkat kepercayaan,

nilai-nilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma mengarahkan

peneliti”. Dalam paradigma kualitatif menurut Wiriaatmadja (2008: 10),

“asumsi-asumsi ontologi menunjukkan bahwa kenyataan seperti yang dilihat

oleh para peserta penelitian adalah subjektif dan majemuk, sedangkan secara

epistemologi, para peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, secara aksiologi

sangat berbobot nilai, dan bias”.

Mengkaji rumusan-rumusan paradigma di atas, terlihat bahwa paradigma

penelitian sangat sentral untuk mewujudkan hasil penelitian yang kredibel.

Untuk itu dikembangkanlah paradigma penelitian yang dapat digambarkan

(29)

Bagan 1.1 :

Paradigma Penelitian Masyarakat Adat

Kampung Kuta

1. Menghargai Nilai Kearifan Lingkungan 2. Adaptasi Nilai

Kearifan Lingkungan 3. Aplikasi Nilai

Kearifan Lingkungan

1. Filsafat PIPS 2. Hakikat PIPS 3. Tujuan PIPS

Seleksi Pembelajaran 1, 2 Dst

Sumber Belajar

Kearifan Lingkungan Masyarakat Adat Kuta

(30)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan nilai-nilai budaya

masyarakat Kampung Adat Kuta yang melembaga hingga saat ini khususnya

kearifan lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya

yang telah teridentifikasi kemudian dipilih untuk diimplementasikan sebagai

sumber pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari. Untuk itu maka

penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi dan

Penelitian Tindakan. Pembahasan hasil penelitian etnografi disajikan pada Bab IV

dari halaman 112 s.d. 185 dan pembahasan hasil penelitian tindakan disajikan

dari halaman 185 s.d. 251.

Menurut Creswell (1985: 5) :

Qulaitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological tradistions of inquiry that explore a social or human problem, the researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, report detailed views of informants, and conducts, the study in a natural setting.

Senada dengan itu, Lincoln dan Guba (1985: 39) mengatakan bahwa “penelitian

kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara

fundamental bergantung pada pengamatan manusia pada kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam

(31)

Masih mengenai penelitian kualitatif, Nasution (1996: 5) menjelaskan bahwa

”pada hakikatknya penelitian kualitatif merupakan kegiatan mengamati orang

dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami

bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Peneliti mengumpulkan

data dari subjek penelitian dengan prinsip kesetaraan. Kebenaran yang berasal

dari informan bersifat equal dengan kebenaran yang berasal dari peneliti.

Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang memadang

suatu kenyataan sosial sebagai sesuatu yang utuh, dinamis dan penuh makna.

Penelitian ini dilakukan pada setting yang alamiah (natural setting) bukan dalam

setting yang didesain sedemikian rupa seperti yang dilakukan pada penelitian

kuantitatif. Oleh karenanya, pendekatan penelitian ini juga sering disebut sebagai

penelitian naturalistik. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya,

tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi

dinamika pada objek tersebut.

Pada prakteknya, peneliti berbaur dengan masyarakat (subjek penelitian)

untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Untuk memahami sebuah budaya

masyarakat tentu harus dikaji secara utuh dan mendalam dalam suasana yang

alamiah. Berhubungan dengan penelitian ini, peneliti berusaha berbaur langsung

dalam situasi sosial masyarakat adat Kampung Kuta. Sebagai proses penelitian

kebudayaan maka berbaurnya peneliti dengan masyarakat yang diteliti adalah hal

yang tidak bisa dihindarkan, sehingga keakuratan data yang diperoleh bisa relatif

(32)

Tentang jenis tradisi kualitatif, Creswell (1998: 5) mengklasifikasikan lima

tradisi studi kualitatif, yaitu penelitian biografi, fenomenologi, grounded theory,

studi etnografi, dan studi kasus. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini menggunakan

studi etnografi. Spradley (2007: 3) mengatakan bahwa “etnografi merupakan

pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan”. Senada dengan itu, menurut

Creswell (1998: 58) “An ethnography is a description and interpretation of a

culture or social group or system”. Lebih luas Wolcott (Thomas, 2003: 36)

mengatakan :

Ethnography means, literally, a picture of the “way of life” of some identifiable group of people. Conceivable, those people could be any culture bearing group, in any time place…Particular individuals, customs, institutions, or event are anthropological interest as they relate to a generalized description of the life-way of a social interacting group.

Dari definisi di atas, tradisi etnografi menurut Salim (2006: 128), memiliki

ciri-ciri berikut :

1) Menekankan eksplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu, dan bukan menguji hipotesis tentang fenomena tersebut, 2) Kecenderungan bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat kategori analisis yang tertutup, 3) Investigasi terhadap sejumlah kecil kasus, bahkan sangat memungkinkan hanya satu kasus, namun dilakukan secara rinci, dan 4) Analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal. Pada saat yang sama kuantifikasi dan analisis statistik memainkan peran yang sangat kecil.

Setelah nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta dapat

diidentifikasi kemudian peneliti mengadakan penelitian tindakan untuk melihat

sejauhmana implementasikan kearifan lingkungan sebagai sumber pembelajaran

IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari bermaknaan bagi pembelajaran IPS di sekolah

(33)

budaya lokal tetapi seringkali belum diimplemetasikan dalam pembelajaran,

sehingga kebermaknaan sumber pembelajaran tersebut belum bisa terlihat secara

nyata.

Menurut Purwadi (Sukidin et.al. 2008: 10), ‘PTK adalah suatu bentuk

penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang

dihadapi dalam melaksanakan tugas pokonya, yaitu mengelola pelaksanaan

kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas’. Penelitian Tindakan Kelas ini,

menurut Hopkins (Wiriaatmadja, 2008: 25), ‘bersifat emansipatoris dan

membebaskan karena penelitian ini mendorong kebebasan berpikir dan

berargumen pada pihak siswa, dan mendorong guru menggunakan kearifan dalam

mengambil keputusan atau judgement’.

PTK merupakan penelitian aksi yang melibatkan mitra peneliti guna

memperbaiki proses pembelajaran. Mc Niff (Sukidin et.al., 2008: 14),

memandang ‘PTK sebagai suatu bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh

guru sendiri yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kurikulum,

pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan sebagainya’.

Dengan demikian PTK memiliki manfaat yang sangat besar bagi peningkatan

kualitas belajar peserta didik serta kinerja guru itu sendiri.

Model Penelitian Tindakan Kelas yang digunakan dalam penelitian ini

(34)

Bagan 3.1:

Model Spiral dari Kemmis dan Tagart (Wiriaatmadja, 2008: 62)

Rangkaian kegiatan penelitian tindakan yang dilakukan berdasarkan bagan di atas,

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Orientasi (Orientation)

Pada tahap ini dilakukan studi pendahuluan untuk mengkaji tentang

berbagai permasalahan aktual yang terjadi dalam pembelajaran IPS di SMP

Negeri 1 Tambaksari. Dari berbagai temuan yang didapatkan, kemudian

dijadikan indikator untuk menyusun rencana tindakan pada implementasi kearifan

PLAN

REVISED

PLAN

A

C

T

OBSERVE

R

E

F

L

E

C

T

A

C

T

R

E

F

L

E

C

T

(35)

lingkungan dalam pembelajaran IPS. Hasil temuan ini akan disesuaikan dengan

kajian teoritis yang relevan, sehingga dapat menampilkan program pembelajaran

yang bermakna bagi peserta didik.

2. Merencanakan PTK (Plan)

Barangkat dari hasil orientasi, peneliti bersama mitra peneliti merencanakan

langkah-langkah penerapan pembelajaran implementasi kearifan lingkungan

dalam pembelajaran IPS. Rencana pembelajaran disusun dan dipilih dengan

mempertimbangkan kemungkinan yang bisa dilakukan oleh peneliti, mitra

peneliti, dan peserta didik. Peneliti dan mitra peneliti menyepakati tentang hal-hal

yang akan diobservasi, terdiri dari materi pembelajaran yang akan disampaikan,

metode, sumber, tempat dan waktu, kriteria penilaian serta sarana dan sarana

pembelajaran.

3. Melaksanakan PTK (Act)

Tahap ini diisi dengan kegiatan pembelajaran sesuai rencana yang telah

dibuat sebelumnya yaitu implementasi kearifan lingkungan sebagai sumber

pembelajaran IPS. Dalam kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu

menjelaskan indikator yang ingin dicapai, proses pembelajaran yang harus dilalui

oleh peserta didik dan menjelaskan tujuan pembelajaran yang diharapkan hingga

menutup kegiatan pembelajaran dengan menyampaikan kesimpulan dan

(36)

4. Melaksanakan Observasi (Observe)

Kegiatan observasi dilakukan untuk mengamati dan mengenali proses, hasil

serta pengaruh dan masalah yang muncul pada saat implementasi kearifan

lingkungan sebagai sumber pembelajaran IPS. Peneliti mencatat dan merekam

hal-hal tersebut untuk dijadikan bahan analisis dan dasar refleksi terhadap

tindakan yang telah dilakukan. Analisis dan refleksi dilakukan untuk melihat

kelemahan dan kekurangan implementasi kearifan lingkungan dalam

pembelajaran IPS sebagi dasar untuk membuat rencana perbaikan pada

pembelajaran berikutnya.

5. Melakukan Refleksi (Reflect)

Refleksi merupakan tahapan terakhir dari setiap tindakan yang berupa

kegiatan menganalisis tentang rencana dan tindakan yang sudah atau belum

dicapai pada suatu siklus. Pada tahap ini peneliti bersama mitra peneliti

mendiskusikan kekurangan-kekurangan serta kemajuan yang didapat setelah

melakukan tindakan. Berangkat dari refleksi tersebut, secara kolaboratif peneliti

dan mitra menyusun lagi rencana pembelajaran yang akan diterapkan untuk

menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik.

B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian

1. Jenis Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland

(37)

tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Jenis data tersebut dibagi ke dalam

kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan data statistik. Masih

berhubungan dengan hal tersebut, peneliti juga merujuk pada pendapat Satori &

Komariah (2010: 220) yang mengatakan bahwa sumber data penelitian kualitatif

terdiri dari dua jenis yaitu :

a. Unsur manusia sebagai instrumen kunci yaitu peneliti yang terlibat langsung

dalam observasi partisipasi dan unsur informan. Dalam penelitian ini, unsur

informan yang dimaksud terdiri dari atas Ketua Adat, Juru Kunci, tokoh

masyarakat, dan Kepala Dusun Kuta untuk penelitian etnografi. Sedangkan

untuk penelitian tindakan, unsur informan tersebut terdiri dari Kepala

Sekolah, Guru (mitra peneliti) dan empat orang peserta didik, satu

diantaranya berasal dari Kampung Kuta. Penentuan informan atau responden

penelitian itu sendiri dilakukan dengan teknik pengambilan sampel

“purposive” yaitu pemilihan responden atau informan berdasarkan

pertimbangan atau penilaian peneliti. Peneliti menilai bahwa untuk

mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka informan tersebutlah yang

dibutuhkan. Penentuan informan tidak dilakukan secara acak, melainkan

secara berantai dari informan pertama kepada informan selanjutnya.

b. Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian. Manusia tidak berdiri

sendiri melainkan ada bersama lingkungannya baik hidup maupun mati. Dari

beragam unsur non manusia tersebut tentu banyak informasi yang bisa digali

guna melengkapi data penelitian yang didapat dari sumber manusia

(38)

Berkenaan dengan pentingnya mendapatkan data yang tepat, Nasution

(2002: 106) menjelaskan, bahwa “peneliti kualitatif menyadari bahwa untuk

memperoleh data yang valid ia harus mengadakan seleksi atau sampling. Ia harus

memilih siapa yang akan diamati atau diwawancarai, demikian pula halnya

dengan peristiwa dan situasi yang harus dipilih untuk diamati”. Dengan pemilihan

informan atau sumber data yang tepat maka peneliti dapat melihat hubungan antar

data yang terkumpul serta menarik kesimpulan dari data-data tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian

a. Observasi

Menurut Alwasilah (2003: 211), “observasi adalah penelitian atau

pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang

dikontrol validitas dan reliabilitasnya”. Menurut Satori dan Komariah (2010:

105), “observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik

langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus

dikumpulkan dalam penelitian”. Selanjutnya dijelaskan bahwa, “secara

langsung adalah terjun ke lapangan terlibat seluruh panca indra. Sedangkan

secara tidak langsung adalah pengamatan yang dibantu melalui visual/ audio

visual, misalnya teleskop, handycam, dan lain-lain”. Dalam hal ini peneliti

menggunakan alat bantu visual yang berupa camera digital. Alat tersebut

sangat penting bagi peneliti guna mendukung analisis data melalui hasil

(39)

dilaksanakan. Termasuk gambar yang direkam pada saat peneliti melakukan

wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan.

Tentang pentingnya observasi dalam penelitian kualitatif, Alwasilah

(2003: 214) menyebutkan sebagai berikut :

1) Perilaku responden secara alami sesungguhnya adalah manifestasi kode dan aturan dalam suatu budaya, bukan sekedar rutinitas kultural. Ini cenderung dianggap biasa-biasa saja terutama oleh anggota masyarakat sendiri. Mereka baru sadar akan kode dan aturan itu manakala dihadapkan pada peneliti dari luar budayanya sendiri. 2) Tugas peneliti kualitatif adalah mengeksplisitkan aturan dan kode itu

sesuai dengan konteks keterjadian tingkah laku dalam persepsi emik para responden.

3) Budaya adalah pengetahuan dan pengalaman kolektif para anggotanya. Untuk fungsi maksimal dalam suatu budaya, setiap anggota masyarakat harus mempraktikan rutinitas budayanya sesuai dengan aturan-aturan tadi.

“Dalam konteks penelitian kualitatif, teknik observasi tidak untuk

menguji kebenaran tetapi untuk mengetahui kebenaran yang berhubungan

dengan aspek atau kategori sebagai aspek studi yang dikembangkan peneliti”

(Satori dan Komariah, 2010: 106). Teknik observasi terhadap adat istiadat

yang tercermin dari perilaku masyarakat ini diharapkan dapat

mengungkapkan fakta secara lebih mendalam dan luas guna mendapatkan

makna yang terkandung di dalamnya untuk keperluan pengembangan sumber

pembelajaran IPS.

Untuk itu, observasi penelitian ini lebih difokuskan pada budaya

masyarakat yang berhubungan dengan penghormatan masyarakat terhadap

lingkungannya. Pada tahap penelitian tindakan, observasi dilakukan untuk

dapat mengungkapkan fakta secara lebih mendalam dan luas tentang proses

(40)

menangkap fakta yang akurat, peneliti juga menggunakan alat bantu yang

berupa handycam, sehingga bisa merekam kejadian yang relatif lebih

lengkap. Agar mendapatkan data penelitian yang akurat, maka observasi ini

dilakukan secara terus menerus.

Adapun langkah observasi pada penelitian tindakan dilakukan tiga tahap

berikut :

Bagan 3.2 :

Fase Observasi (Wiriaatmadja, 2008: 106)

Pada fase pertemuan, peneliti dan mitra peneliti menyusun rencana tentang

langkah-langkah penyajian pembelajaran serta aspek yang akan diamati

dalam pengumpulan data. Pada fase observasi kelas, peneliti mengumpulkan

data secara objektif dengan cara merekam gambar dan menulis

kejadian-kejadian penting dalam proses pembelajaran tersebut. Selanjutnya, pada fase

diskusi balikan peneliti dan mitra peneliti secara bersama-sama menganalisis

data observasi, menyepakati kekurangan dan kelebihan dalam pembelajaran

yang telah dilakukan. Bertolak dari hasil observasi tersebut, peneliti dan mitra

peneliti membuat rencana pembelajaran berikutnya. Pertemuan

Perencanaan

Observasi Kelas Diskusi

(41)

b. Wawancara

Menurut Sudjana (2000: 234), “wawancara adalah proses pengumpulan data

atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan

pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee)”. Satori dan Komariah

(2010: 130), mendefiniskan wawancara sebagai teknik pengumpulan data

untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui

percakapan atau tanya jawab.

Sifat wawancara dalam penelitian kualitatif dikenal ada dua jenis, yaitu

wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara bertahap. Sesuai

dengan tradisi penelitian yang dilakukan maka penelitian ini menggunakan

wawancara mendalam, baik dalam tahap penelitian etnografi maupun dalam

penelitian tindakan. Wawancara mendalam menurut Mc. Milan dan

Schumacher (Satori dan Komariah, 2010: 130) adalah ‘tanya jawab yang

terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan, bagaimana

menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan atau

menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya’.

Jenis wawancara yang digunakan pada penelitian etnografi adalah

wawancara tidak terstruktur pada awal penelitian dan terstruktur pada

wawancara lanjutan. Sedangkan pada penelitian tindakan di SMP Negeri 1

Tambaksari seluruhnya menggunakan wawancara terstruktur.

Agar wawancara yang dilakukan bisa berlangsung secara efektif maka

peneliti menggunakan alat bantu yang berupa digital voice recorder guna

(42)

dengan adab penelitian kualitatif, penggunaan digital voice recorder untuk

merekam semua pembicaraan informan, terlebih dulu meminta izin pada

informan untuk keperluan tersebut. Selain menggunakan digital voice

recorder, data yang terekam lewat alat tersebut didukung dengan penggunaan

camera guna memotret kejadian selama wawancara berlangsung.

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara ini

berkaitan dengan asal-usul, jenis pantangan (tabu), tempat yang

dikeramatkan, serta makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Sedangkan dalam konteks penelitian tindakan, wawancara dilakukan untuk

mengumpulkan informasi mendalam tentang proses pembelajaran IPS yang

selama ini masih terjadi serta pengaruh dari inovasi pembelajaran yang

dilakukan. Data tersebut kemudian dideskripsikan, ditafsirkan, dan

diklasifikasikan sesuai dengan aspek budaya serta lingkup masalah dan tujuan

penelitian.

c. Studi Dokumentasi

Satori dan Komariah (2010: 149) menyebutkan bahwa “studi dokumentasi

adalah kegiatan mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan

dalam permasalahan penelitian, lalu ditelaah secara intens sehingga dapat

mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian”.

Mengenai jenis dokumen, Nasution (2003: 85), menyebutkan, “dokumen

terdiri atas tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat, dan dokumen

(43)

Berhubungan dengan penelitian tindakan, dokumen sebagai sumber data

penelitian ini berupa silabi, rencana pelaksanaan pembelajaran, laporan

evaluasi hasil belajar peserta didik dan buku teks yang digunakan dalam

pembelajaran IPS. Sedangkan, dokumen yang berhubungan dengan

masyarakat adat Kampung Kuta, berupa peta lokasi, dan monografi Desa

Karangpaningal.

d. Studi Literatur

Studi literatur merupakan alat pengumpulan data yang dilakukan untuk

mengungkap sejumlah teori yang memiliki relevansi dengan permasalahan

penelitian ini. Kemudian, teori-teori yang terungkap, akan digunakan dalam

pembahasan penelitian. Sedangkan teknik yang digunakan adalah dengan cara

mempelajari sejumlah literatur baik cetak maupun elektronik guna

memperoleh informasi yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian

ini.

e. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian naturalistik, peneliti adalah instrumen penelitian utama.

Moleong (1989: 21) menyebutkan bahwa “pencari tahu alamiah dalam

pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai pengumpul

data”. Selanjutnya Moleong (1989: 132) menjelaskan, “kedudukan peneliti

dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana,

(44)

menjadi pelapor hasil penelitian”. “Peneliti kualitatif sebagai human

instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai

sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis

data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuan” (Sugiyono,

2010: 3006). Peneliti sebagai instrumen menurut Nasution (2003:55-56),

cocok untuk tradisi penelitian kualitatif karena :

1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi peneliti.Tidak ada peneliti lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah, 2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dengan macam-macam situasi yang serupa, 3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala seluk beluknya, 4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita, 5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh, 6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan, dan 7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan pemahaman mengenai aspek yang diteliti.

Tentang validasi terhadap peneliti sebagai instrumen, menurut Sugiyono

(2010: 305) “meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian

kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan

peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun

logistik”. Validasi ini sangat penting guna mendapatkan hasil penelitian yang

(45)

evaluasi diri. Ini dilakukan karena penelitilah yang paling tahu kesiapan atau

ketidaksiapan melakukan penelitian dimaksud.

C. Subjek dan Lokasi Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian terdiri dari pihak-pihak yang berdasarkan pertimbangan

peneliti dinilai memiliki kapasitas yang tepat dalam arti subjek penelitian atau

bertindak sebagai informan penelitian memiliki kualitas dan ketepatan sebagai

subjek penelitian yang representatif sesuai dengan tuntutan karakteristik masalah.

Dalam penelitian ini, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sumber data

penelitian bahwa subjek penelitian ini terdiri dari Ketua Adat, Kuncen, tokoh

masyarakat, Kepala Dusun Kuta, Kepala Sekolah, Guru dan peserta didik SMP

Negeri 1 Tambaksari yang bertindak sebagai informan penelitian.

2. Lokasi Penelitian

Mengenai lokasi, penelitian ini akan dilakukan di Kampung Adat Kuta dan

SMP Negeri 1 Tambaksari sesuai dengan tujuan penelitian. Berbagai

pertimbangan telah dikaji dalam menentukan lokasi penelitian ini, yaitu sebagai

berikut :

a. Kampung Kuta memiliki nilai strategis yang dapat dikembangkan sebagai

laboratorium pembelajaran IPS. Kampung Kuta memiliki beragam kekayaan

nilai budaya yang bisa diimplementasikan sebagai sumber pembelajaran

(46)

b. Guru di SMP Negeri 1 Tambaksari belum banyak menggunakan lingkungan

sekitar sebagai sumber pembelajaran IPS termasuk kampung adat Kuta yang

berada di sekitar sekolah. Guru belum berusaha mendekatkan peserta didik

dengan budaya setempat dengan mengembangkan budaya lokal sebagai

salah satu kajian dalam proses pembelajaran.

c. Mulai tercerabutnya peserta didik dari akar budayanya, digantikan dengan

budaya global yang kadang bertentangan dengan budaya yang dimilikinya.

Bukan hanya di perkotaan, kegandrungan pada budaya luar juga telah

merambah ke wilayah ini.

D. Prosedur Penelitian

Agar penelitian ini bisa berjalan dengan baik, maka disusun prosedur

penelitian yang terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap

pelaporan.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Pra Penelitian

Berangkat dari masalah yang masih dihadapi dalam pembelajaran IPS,

peneliti melalukan studi pendahuluan guna mengkaji layak atau tidaknya

masalah tersebut diangkat dalam sebuah penelitian. Pada tahap ini juga

dilengkapi dengan pencarian literatur baik yang berupa buku-buku, maupun

sumber internet yang mengkaji tentang masalah-masalah yang ada

(47)

kelayakan masalah untuk diangkat dalam sebuah penelitian minimal

memenuhi syarat aktual dan bisa menghasilkan nilai tambah atau memiliki

manfaat bagi pengembagan ilmu pengetahuan. Dalam konteks pendidikan,

secara praktis sebuah hasil penelitian dapat diimplementasikan dalam dunia

pendidikan, khususnya Pendidikan IPS. Berhubungan penelitian ini

mengunakan dua lokasi penelitian serta dua kelompok subjek penelitian

(informan berhubungan yang dengan Kampung Kuta dan informan yang

berhubungan dengan pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari), maka

pra penelitian ini pun dilakukan di kedua lokasi tersebut.

Pada kegiatan pra penelitian, peneliti berusaha menghimpun data awal

yang dibutuhkan serta menentukan calon informan sebagai sumber penting

untuk mengungkapan data yang dibutuhkan. Selain itu, mengidentifikasi

sumber data non manusia yang kemungkinan bisa dijadikan sumber

pendukung pengumpulan data penelitian.

b. Penyusunan Proposal

Setelah mengkaji masalah serta melakukan pra penelitian, peneliti

melanjutkan pada tahap penyusunan proposal penelitian hingga mengajukan

serta mengikuti seminar proposal sebagai tahapan penting yang harus diikuti

sebelum menuju tahap penelitian selanjutnya.

c. Penyusunan Surat Perizinan

Tahap persiapan ketiga adalah pengurusan surat izin penelitian.

Tahapan ini didahului dengan pengajuan pembimbing penulisan karya

(48)

terhadap lembaga yang memiliki otoritas atas lokasi yang dijadikan

penelitian tersebut. Dalam hal ini, izin penelitian dilayangkan kepada Ketua

Adat Kampung Kuta, Kepala Dusun Kuta serta Kepala SMP Negeri 1

Tambaksari.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini terpusat pada studi lapangan yang sesungguhnya yaitu kegiatan

mengumpulkan data di lokasi penelitian melalui teknik observasi, wawancara,

mencatat kasus-kasus, serta melakukan perekaman, pemotretan baik untuk data

primer maupun data skunder. Kegiatan di lapangan difokuskan seluruhnya

terhadap sumber data baik unsur manusia maupun non manusia dalam rangka

pencarian dan penggalian data dan informasi dari aspek yang diteliti sesuai

dengan harapan peneliti atau tujuan penelitian. Pelaksanaan penelitian, dilakukan

dalam dua tahap yaitu: pengumpulan data yang berkenaan dengan nilai-nilai

budaya masyarakat adat Kampung Kuta dan pengimplementasian nilai tersebut

dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

3. Tahap Pelaporan

Tahap pelaporan merupakan rangkaian kegiatan setelah data penelitian

berhasil dikumpulkan. Tahap ini dimulai dengan kegiatan menyusun,

mendeskripsikan, mengeksplanasi, dan menganalisis data serta menyusun laporan

(49)

E. Analisis dan Validasi Data Penelitian

1. Analisis Data Penelitian

Dalam tradisi kualitatif, analisis data sudah dimulai ketika penelitian terjun

ke lapangan, bahkan analisis data sudah dilakukan sejak merumuskan dan

menjelaskan masalah, saat mengumpulkan data di lapangan hingga penulisan hasil

penelitian. Data penelitian dianalisis melalui metode induktif. Analisis data model

ini mengacu pada pendapat Moleong (1989: 6) yang didasarkan pada beberapa

alasan berikut :

a. proses induksi lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data;

b. analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel;

c. analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lain;

d. analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dan terakhir,

e. analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit seb

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Tugas Akhir ini, dilakukan simulasi untuk mengamati kerusakan pada thyristor dalam suatu rangkaian penyearah tiga fasa terkontrol penuh, dengan beban yang digunakan yaitu

Sapi di dalam kandang dengan kotorannya yang berserakan di seputar kandang/ pastilah menimbulkan bau yang tak sedap// Bau tak sedap itupun masuk ke rumah pembuatan tahu/ yang

1 Guru melakukan motivasi terhadap siswa agar siswa siap untuk mengikuti pembelajaran IPS. Evaluasi yang dilakukan oleh penulis berupa non-tes, yaitu jawaban yang

bertujuan untuk mengetahui out put daya yang dapat dihasilkan PLTM, analisa. Pekerjaan Sipil & Mekanikal Elektrikal, dan analisa Finansial

Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.. [SKRIPSI] Universitas

Rata-rata dari hasil jumlah bakteri Coliform pada telur ayam lokal yang disimpan pada suhu kamar dan suhu chilling pada hari ke-1, 8, 15 dan 22 menunjukkan

Sehingga didapatkan akurasi terbaik sebesar 82.35% dengan menggunakan metode GLCM ( Grey Level Co-occurrence Matrix) dengan parameter orde dua kontras,