DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….. i
KATA PENGANTAR………. ii
UCAPAN TERIMA KASIH……… iii
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR TABEL………... x
DAFTAR BAGAN………. xi
DAFTAR GAMBAR……….. xii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ……… 1
B.Rumusan Masalah ………. 16
C.Tujuan Penelitian……… 16
D.Manfaat Penelitian………. 17
E. Klarifikasi Konsep ………... 17
F. Paradigma Penelitian………. 20
BAB II KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG KUTA A. Konsep Nilai dalam Kebudayaan……… 21
B. Nilai Budaya dalam Masyarakat Adat………. 25
C. Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat….. 33
E. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan………..
1. Hakikat Pendidikan………
2. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi Budaya…….
46
46
50
F. Nilai Budaya dalam Pendidikan IPS………..
1. Filsafat Pendidikan IPS………..
2. Hakikat Pendidikan IPS……….
3. Pengertian Pendidikan IPS……….
4. Tujuan Pendidikan IPS………..
5. Karakteristik Mata Pelajaran IPS………...
6. Kurikulum………..
7. Silabus………
8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)………
56 56 61 61 64 66 69 72 74
G. Implementasi Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS……….
1. Sumber Pembelajaran………
2. Kearifan Lingkungan sebagai Sumber Belajar ………..
76
76
85
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian……… 89
B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian………...
1. Jenis Data Penelitian………
2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian……….
95
95
97
C. Subjek dan LokasiPenelitian………
1. Subjek Penelitian……….
104
2. Lokasi Penelitian………. 104
D. Prosedur Penelitian………..
1. Tahap Persiapan………..
2. Tahap Pelaksanaan………..
3. Tahap Pelaporan………..
105
105
107
107
E. Analisis dan Validasi Data………
1. Analisis Data Penelitian………..
2. Validasi Data Penelitian………..
108
108
110
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………
A. Analisis Temuan Penelitian Etnografis Tentang Nilai-Nilai
Budaya Kampung Kuta
1. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Kuta……
2. Sejarah Kampung Kuta……….
3. Kondisi Sosial Budaya……….
4. Upacara Adat………
5. Pola Pemukiman dan Rumah Adat………...
6. Nilai Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS………. 112 112 122 129 174 177 180
B. Analisis Temuan Penelitian Tindakan……….
1. Deskripsi Lokasi Penelitian………..
a. Keadaan Sekolah……….
b. Tujuan Sekolah………
c. Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun
184
184
184
Pelajaran 2010/ 2011………
d. Keadaan Peserta Didik……….
e. Hasil Belajar……….
2. Pembahasan Hasil Penelitian………
a. Temuan Awal Penelitian………..
b. Deskripsi Tindakan Kesatu………..
c. Deskripsi Tindakan Kedua………..
d. Deskripsi Tindakan Ketiga………..
e. Deskripsi Tindakan Keempat………..
f. Deskripsi Tindakan Kelima……….
g. Deskripsi Studi Pasca Penelitian……….
3. Analisis Reflektif Implementasi Kearifan Lingkungan
Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS………..
a. Kebiasaan Guru dalam Pembelajaran IPS…………
b. Keefektifan Implementasi Kearifan Lingkungan
Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………..
c. Hambatan Implementasi Kearifan Lingkungan
Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………...
186 189 189 192 192 198 206 212 219 223 227 230 230 236 239
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan………..
B. Rekomendasi………
251
252
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
4.1. Luas Tanah Kampung Kuta Menurut Penggunaannya 117
4.2. Penduduk Kampung Kuta Menurut Umur dan Jenis Kelamin 130
4.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kampung Kuta 133
4.4. Mata Pencaharian Penduduk Kampung Kuta 138
4.5. Alat Penunjang Pendidikan Tahun Pelajaran 2010/ 2011 185
4.6. Daftar Buku Paket Peserta Didik Tahun Pelajaran 2010/ 2011 186
4.7. Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun Pelajaran 2010/ 2011 187
4.8. Hasil Belajar Peserta Didik Tahun Pelajaran 2008/2009 dan
2009/2010
189
4.9. Hasil UN/US SMP Negeri 1 Tambaksari Tahun Pelajaran
2009/2010
190
4.10. Nilai Raport Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A Semester Ganjil
Tahun Pelajaran 2010/ 2011
191
4.11. Nilai Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A
Semester Genap Tahun Pelajaran 2010/ 2011
191
DAFTAR BAGAN
No. Bagan Halaman
1.1. Paradigma Penelitian 20
2.1. Proses Transformasi dan Transmisi Budaya Pada Peserta
Didik
55
2.2. Elemen-elemen dalam Model 67
3.1. Model Spiral dari Kemmis dan Tagart 93
3.2. Fase Observasi 99
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
4.1. Peta Desa Karangpaningal 113
4.2. Peta Kampung Kuta 116
4.3. Jalan Menuju ke Hutan Keramat 118
4.4. Kuncen ngarekeskeun Maksud Kedatangan Tamu 119
4.5. Duplikat Piala Kalpataru 121
4.6. Kaum Ibu Sedang Mengambil Bibit Padi Sebelum Tandur 134
4.7. Bentuk Leuit Masyarakat Kuta 136
4.8. Slogan Pelestarian Lingkungan 148
4.9. Jamban keluarga Masyarakat Kuta 162
4.10. Pentas Seni Terbang 164
4.11. Pentas Seni Gondang 165
4.12. Pentas Seni Tayub 165
4.13. Rumah Adat Kampung Kuta 178
DAFTAR LAMPIRAN
1. Matrik Penelitian
2. Panduan Observasi Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta
3. Panduan Wawancara Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta
4. Panduan Observasi Penelitian Tindakan
5. Panduan Wawancara Penelitian Tindakan
6. Daftar Responden
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam
berbagai hal. Salah satunya adalah budaya yang berkembang dalam masyarakat
adat sebagai kekayaan nasional. Masyarakat adat secara tradisi terus berpegang
pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenaran dan kesakralannya serta menjadi
pegangan hidup anggotanya yang diwariskan secara turun temurun. Nilai-nilai
tersebut saling berkaitan dalam sebuah sistem. Koentjaraningrat (1989: 190),
mengatakan bahwa :
Dalam setiap masyarakat, baik kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Kebudayaan itu sendiri mengalami dinamika baik secara internal (internalisasi,
sosialisasi, enkulturasi, inovasi dan discovery) maupun eksternal (akulturasi dan
asimilasi). Menghadapi dinamika sosial, tidak semua warga masyarakat dapat
mengikuti perubahan dengan baik. Koentjaraningrat (1989: 234) mengatakan :
Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, serta enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu tidak dapat menyesuaikan peribadinya dengan lingkungan sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan masyarakatnya.
Hambatan-hambatan individu dalam proses tersebut dapat melahirkan
Walaupun demikian, Koentjaraningrat (1989: 235) mengatakan bahwa
“penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor yang sangat penting,
karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan
yang positif maupun yang negatif”. Penyimpangan positif dapat menyebabkan
perubahan budaya (culture change), seperti melahirkan perubahan dan
pembaharuan adat istiadat yang kuno. Tidak semua budaya yang berkembang
dalam masyarakat harus dilestarikan apabila bertentangan dengan nilai yang
bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang berfungsi sebagai
agen perubahan. Sedangkan penyimpangan negatif dapat melahirkan konflik dan
disintegrasi sosial, penyakit jiwa dan sebagainya, sehingga penyimpangan ini
harus dicegah secara preventif, persuasif dan hukuman yang melibatkan berbagai
pranata sosial yang ada dalam masyarakat.
Kampung Kuta berdasarkan penelitian Praja (2009) sangat memperhatikan
kelestarian lingkungan, sehingga mampu menjaga sumber daya alam dari
eksploitasi yang berlebihan. Kepedulian masyarakat adat terhadap alam
menyebabkan kebudayaan yang berkembang tidak terpisahkan dari alam yang
mereka huni. Hal ini sejalan dengan teori ekologi budaya yang diperkenalkan oleh
Julian H. Steward (Susilo 2009:47). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan
budaya tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi merupakan campuran (mixed
product) yang berproses lewat dialektika. Menurut Susilo (2009:47), “keduanya
memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa
pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan
lingkungan”.
Sebagai sebuah kampung adat, Kampung Kuta memiliki sejarah atau lebih
tepatnya disebut asal usul. Asal-usul Kampung Kuta merupakan salah satu mitos
yang berkembang dalam masyarakat Ciamis. Mitos tersebut bersumber pada
tradisi lisan yang dituturkan secara turun temurun. Tradisi lisan merupakan salah
satu sumber penulisan sejarah lokal dengan beragam kelemahannya. Walau
demikian, menurut Widja (1991: 63), “tradisi lisan bagaimana pun juga punya arti
penting dalam usaha merekonstruksi masa lampau suatu masyarakat atau
komunitas tertentu”. Hal itu didukung oleh Wildan dkk. (2005: 65), “adapun
mengenai benar atau tidaknya isi cerita atau mitos tersebut bukan suatu
permasalahan. Setidaknya mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh
masyarakatnya. Bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari
bentuk pemikiran mitis”.
Dalam mitos Kampung Kuta berdasarkan hasil penelitian Praja (2009)
terdapat nilai luhur berupa kejujuran, kesederhanaan dan kecintaan tokoh adat
terhadap alam dan masyarakatnya. Hal ini harus direspon oleh para pengembang
dan pelaksana kurikulum dengan menjadikan sejarah lokal sebagai bagian dari
pembelajaran kurikuler IPS atau paling tidak ditempatkan dalam muatan lokal.
Termasuk dalam hal ini, menjadikan sejarah kampung adat Kuta sebagai salah
satu materi yang diberikan dalam Mata Pelajaran IPS.
Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat memiliki nilai
adat sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial (solidaritas) dalam
melakukan segala aktivitas hidupnya. Menurut Durkheim (Pasya, 1999: 20),
‘solidaritas ini menunjukkan suatu keadaan hubungan antara individu dengan/
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama, diperkuat oleh pengalaman emosional bersama’. Selain memiliki
kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat memiliki budaya luhur lain
yang berupa gotong-royong, musyawarah, dan kerukunan. Perilaku prososial
(prosocial behavior) tersebut masih melekat kuat dibandingkan dengan
masyarakat dengan tingkat heterogenitas, aktivitas dan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi.
Masyarakat adat juga kaya dengan beragam budaya dalam bentuk kesenian
tradisional, baik berupa seni tari, seni suara maupun seni gamelan. Kekayaan seni
budaya yang dimiliki masyarakat adat tentu tidak boleh dibiarkan lenyap ditelan
arus globalisasi. Seni tarik suara maupun seni gamelan sangat kaya dengan nilai
yang berhubungan dengan kearifan manusia dalam membangun hubungan yang
harmonis antara manusia dengan alam dan antar manusia sebagai anggota
masyarakat. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi muda dalam
mengarungi hidup di era global dengan beragam pengaruh, baik positif maupun
negatif.
Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dijadikan kajian dari
sebuah masyarakat adat adalah kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan
pengelolaan lingkungannya. Sebuah nilai penting yang dimiliki masyarakat adat
budaya yang berupa kearifan manusia dalam mengelola alam tersebutlah yang
kemudian diyakini merupakan cara yang paling ampuh dalam mengelola alam.
Dalam mengembangkan hubungan dengan alam, masyarakat adat telah
memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (SPTL) atau indigenous
knowledge. Adimihardja (2008: 1), mengatakan bahwa ”SPTL mudah dipahami
secara awam, dengan sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pengetahuan yang
tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan perkembangan dari bagian
keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu”. Selanjutnya dijelaskan, “dasar-dasar
pengetahuan itu bersumber dari nilai tradisi dan adaptasinya dengan
nilai-nilai dari luar”. Pendapat tersebut paling tidak mengandung dua makna; pertama,
masyarakat sesederhana apapun pasti memiliki kecerdasan dalam menjalani
kehidupannya. Kedua, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak mengalami
dinamika.
Sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang berkembang dalam
masyarakat adat salah satunya pengetahuan tentang cara bercocok tanam sesuai
dengan tanda-tanda alam. Sebagai contoh kapan mereka harus mulai menggarap
sawah yang mengacu pada perhitungan waktu katiga (musim kemarau), kapat
(musim hujan). Permulaan mengolah sawah dengan perhitungan waktu tersebut,
sekarang ini tentu telah mengalami perubahan dengan bergesernya musim yang
sulit diprediksi. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.
Selain diwujudkan dalam sistem pengetahuan dan teknologi di atas,
tempat yang dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi
sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat
tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan
hutan tetap lestari. Hutan bagi masyarakat adat merupakan simbol
keberlangsungan kehidupannya.
Terlepas dari unsur mistis yang ada di dalamnya, pemahaman tentang
nilai-nilai tersebut sangat penting dimiliki oleh peserta didik, kini dan masa yang akan
datang. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang
dikembangkan dalam konteks kekinian, sangat penting untuk dijadikan kajian
dalam pembelajaran IPS sehingga terinternalisasi pada diri peserta didik. Tentu
setelah dikaji secara ilmiah, mengapa nilai-nilai tersebut harus diwarisi oleh
mereka.
Nilai-nilai budaya lokal yang mulai terabaikan dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini adalah sebuah isu penting untuk diangkat dalam pembelajaran IPS. Hal
ini merupakan usaha untuk mencari solusi alternatif guna menyikapi dampak
globalisasi yang makin merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat di mana
pun keberadaannya. Menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya tentu
memerlukan berbagai pendekatan untuk menghadapinya. Dengan demikian
segenap potensi yang dimiliki oleh sebuah bangsa harus dioptimalkan, termasuk
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat. “Sistem budaya lokal
merupakan modal sosial (social capital) yang besar, telah tumbuh-berkembang
secara turun-temurun yang hingga kini kuat berurat-berakar di masyarakat”
Berhubungan dengan hal itu, Susilo (2008: 161) mengatakan bahwa
“penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan
lokal tradisional, karena ia membantu penyelamatan lingkungan”. Lingkungan
hidup memang sedang mengalami degradasi sebagai dampak negatif dari
lompatan petumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali serta globalisasi.
Ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang hidup semakin luas,
sehingga berdampak terhadap pengurangan ruang hijau yang berupa hutan dan
lahan pertanian karena dijadikan areal pemukiman. Jumlah populasi yang terus
meningkat mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan dan konsumsi sumber
daya alam (SDA). Dalam beberapa kasus, luas hutan berkurang karena adanya
kejahatan yang berupa illegal logging, tetapi pengurangan luas areal hutan juga
tidak terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk.
Globalisasi merupakan salah satu penyebab menurunya kualitas lingkungan.
Bahkan Capra (2009: 165) menjelaskan bahwa “kerusakan lingkungan tak hanya
efek samping, tetapi juga merupakan bagian integral dari rancangan kapitalisme
global”. Fokus utama globalisasi adalah peningkatan produktivitas ekonomi tetapi
mengabaikan keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan. Susilo (2010: 69)
mengatakan, “…antroposentris yang berinteraksi dengan industrialisme,
konsumerisme, modernisme, dan perkembangan pesat teknologi, menjadi sebab
kerusakan lingkungan” . Globalisasi telah membangun pandangan yang keliru
tentang pentingnya pelestarian alam. Ralph Metzner (Susilo, 2010: 70)
mengatakan, ‘paduan suara yang semakin berkembang menunjukkan bahwa akar
dunia yang kita pegang’. Dapat disimpulkan, globalisasi telah menyebabkan
kerusakan lingkungan baik di daratan, perairan maupun udara. Salah satu
contohnya, daratan dengan penggundulan hutan, perairan dengan limbah industri,
dan udara dengan polusi udara baik karena industri maupun kendaraan bermotor.
Selain menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan alam (ekologis),
globalisasi telah menimbulkan efek samping lain yang tidak diharapkan berupa
pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan budaya asing yang
seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut oleh peserta didik. Mereka
lebih hafal dan akrab dengan budaya Barat dari pada budaya bangsanya sendiri.
Kekaguman generasi muda terhadap budaya Barat terlihat dari berbagai bentuk
imitasi yang dilakukan mulai dari cara berpakaian hingga pola tingkah laku yang
sudah mendekati tradisi Barat tetapi sering mengabaikan makna yang terkandung
di dalamnya. Hal ini merupakan bentuk ketidakmampuan individu masyarakat
menghadapi dinamika sosial-budaya melalui proses belajar dari budaya asing
baik akulturasi maupun asimilasi. Dalam konteks global, fenomena ini seolah
merupakan tumbal sebuah zaman. Menurut Alma (2010: 143), “bagi Indonesia,
masuknya nilai-nilai Barat yang menumpang arus globalisasi… merupakan
ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di
negeri ini”. Oleh karena itu, kerarifan lokal merupakan hal penting yang harus
diwariskan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
Kearifan lokal menurut Atmodjo (1986: 37) merupakan kemampuan
penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran IPS, sebab dengan kemampuan tersebut akan
menyebabkan peserta didik dapat memilih dan memilah budaya mana yang sesuai
dengan karakteristik budaya sendiri. Kemampuan penyerapan kebudayaan asing
yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman langsung dari
masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan dengan
menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar.
Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah lain
dengan masalah-masalah yang berbeda, tentu tidak begitu saja akan menerima
warisan itu. “Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali
nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta
sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut”
(Saini, 2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui
pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna. Mutakin
(2008: 74) mengatakan bahwa “atas dasar tersebut maka muncul pemaknaan
bahwa kebudayaan merupakan learned behavior, yang berarti bahwa kebudayaan
diperoleh seseorang individu harus dengan proses belajar”. Ini menunjukkan
bahwa hanya dengan pembelajaranlah nilai-nilai budaya dapat diwariskan kepada
peserta didik. Melalui pengalaman belajarnya, peserta didik akan mewarisi nilai
luhur suatu budaya dan melembagakan nilai tersebut dalam dirinya. Melalui
pengalaman belajar dari masyarakat, peserta didik dapat mencari, menemukan dan
membangun pengetahuannya. Suatu proses yang sangat penting dalam
Berhubungan dengan lingkungan di mana di dalamnya hidup nilai-nilai
budaya, Wahab (2008: 137) mengatakan, “siswa hidup dalam masyarakat dan
karena itu siswa perlu mengenal kehidupan masyarakat”. Menurutnya, “salah satu
hal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adalah isu-isu sosial”. Berbagai
permasalahan sosial tidak terlepas dari fenomena alam atau lingkungan fisik di
mana masyarakat tersebut hidup dan berinteraksi. Oleh karena itu Sumaatmadja
(2004: 18) mengatakan, “pengajaran IPS yang melupakan masyarakat sebagai
sumber dan objeknya, merupakan suatu bidang pengetahuan yang tidak berpijak
kepada kenyataan”. Sebagai contoh aplikatif, isu tentang global warming dapat
dikaji mulai dari dimensi lokal yang berupa nilai budaya suatu masyarakat adat
yang telah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan. Kemudian isu tersebut
dikembangkan dalam dimensi global berupa pencegahan terhadap pemanasan
suhu bumi yang semakin meningkat. Mengadopsi pemikiran Naisbitt (1984: 91),
pembelajaran ini mencoba melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan
“think globally, act locally”.
Disadari atau tidak, seringkali bencana sosial dan kemanusiaan disebabkan
oleh ulah dan perilaku manusia dalam melakukan eksploitasi terhadap alam
sekitarnya. Berbagai bencana tidak terlepas dari kesalahan manusia dalam
mengelola dan memanfaatkan alam baik disengaja maupun sebagai efek
penggunaan teknologi yang tidak tepat sasaran. Beragam bencana alam
sesungguhnya adalah ujian sejauh mana manusia memiliki kecerdasan dalam
mengembangkan mitigasi bencana yang dapat mengeliminir resiko dari peristiwa
wilayah Indonesia memang rentan terhadap bencana alam. Wilayah Indonesia
berada pada jalur pegunungan muda vulkanik, yaitu sirkum Pasifik dan
Mediterania serta tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia, yaitu
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Melalui proses pembelajaran, peserta didik belajar terhadap nilai-nilai
budaya lokal dalam konteks kehidupan sehari-hari saat ini. Bila masyarakat adat
memiliki kearifan terhadap lingkungan dengan mempertahankan hutan keramat,
dalam aplikasi yang sederhana, peserta didik dapat belajar menjaga kelestarian
alam sesusai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Sehingga kebiasaan kecil
tetapi penuh makna ini melembaga dalam diri peserta didik dan dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil dan lingkungan
terdekatlah peserta didik belajar. Berdasarkan teori kognitif dari Bruner (1996),
salah satu langkah penting dalam pembelajaran adalah :
Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa serta mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. (Budiningsih, 2004: 50).
Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta,
khususnya kearifan terhadap lingkungan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan
salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Pasal 1 (3) yaitu
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini didukung
proses pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari proses budaya dan
sosial yang berlangsung terus menerus tanpa akhir”.
Masih berhubungan dengan nilai budaya yang terdapat di lingkungan,
khususnya lingkungan adat, menurut Sudjana dan Rivai (2009: 208-209), banyak
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses
belajar, yaitu antara lain :
1) Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan dimana siswa duduk di kelas berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi, 2) Hakikat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami, 3) Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga kebenarannya lebih akurat, 4) Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau berwawancara, membuktikan atau mendemontrasikan, menguji fakta dan lain-lain, 5) Sumber belajar menjadi lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari dapat beraneka ragam seperti lingkungan sosial, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lain-lain, dan 6) Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan”
Walaupun keberadaanya sangat esensial, tetapi pembelajaran IPS hingga kini
belum banyak memberdayakan nilai-nilai lingkungan sebagaimana mestinya.
Sumber pembelajaran IPS masih terbatas pada buku teks dan dominasi guru
sebagai sumber belajar. Oleh karenanya, diperlukan usaha untuk mengembangkan
sumber pembelajaran berupa nilai-nilai budaya masyarakat dengan cara
mengintegrasikannya ke dalam bahan pembelajaran IPS.
Alma (2010: 143) mengatakan, “kesalahan dalam merumuskan strategi
mempertahankan eksistensi budaya lokal dapat mengakibatkan budaya lokal
dibawa arus globalisasi”. Salah satu kesalahan dimaksud adalah mengabaikan
nilai budaya sebagai sumber belajar. Kesalahan ini juga masih terjadi dalam
pembelajaran IPS karena masih belum mendekatkan peserta didik dengan
budayanya. Peserta didik belum secara intensif diperkenalkan dengan nilai-nilai
budaya lokal sebagai sumber pembelajaran.
Dengan implementasi nilai-nilai budaya, khususnya kearifan lingkungan
sebagai sumber belajar diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang
lebih bermakna bagi peserta didik. Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat
dalam pembelajaran akan mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya yang
bersifat konkrit. Sehingga, pembelajaran IPS memiliki tujuan yang lebih tinggi
yaitu menghasilkan peserta didik yang berbudaya. Peserta didik yang berbudaya,
menurut Sagala (2006: 243), adalah “anak yang berpengetahuan, berilmu,
mandiri, sportif, disiplin, terampil, mampu mengatasi masalah serta bersikap
dinamis dan oftimis,…”.
Pentingnya implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS
dapat dikaji dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu Perenialisme.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam
pewarisan nilai budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki
oleh masyarakat sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga
diketahui, deterima dan dapat dihayati oleh peserta didik. Perenialisme
memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia
yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan
yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga
untuk diwariskan kepada generasi muda.
Walau demikian, pada praktiknya, berbagai aliran filsafat pendidikan secara
eklektik digunakan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan,
termasuk dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam KTSP 2006 yang
berdasarkan filsafat rekonstruksionisme, pentingnya penanaman nilai budaya
lokal terlihat dari keharusan pengembang kurikulum memasukan muatan lokal
sebesar 20% dalam kurikulum yang disusunnya. Dengan demikian, filsafat
rekonstruksionisme dijadikan rujukan dalam pengembangan KTSP karena mampu
mengakomodir ketiga aliran filsafat pendidikan lainnya, baik perenialisme,
esensialisme maupun progresivisme.
Dalam pendidikan IPS, transformasi budaya bukan berarti melakukan
indoktrinasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melainkan mengkajinya
secara logis, kritis dan analitis sehingga peserta didik mampu memecahkan
masalah yang dihadapinya secara nyata. Pendidikan IPS tidak dapat menafikan
nilai-nilai yang berkembang pada masa lalu. Pendidikan IPS juga tidak dapat
mengabaikan masa yang akan datang. Dengan demikian, Pendidikan IPS harus
mengakomodir segala kebutuhan peserta didik, baik pewarisan nilai budaya,
pengembangan intelektual, serta mempersiapkan diri peserta didik untuk masa
depan yang lebih baik.
Berkenaan dengan implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat,
khususnya kearifaan lingkungan sebagai salah satu sumber pembelajaran IPS,
telah dicanangkan pula adanya masukan berupa kurikulum muatan lokal, yaitu
kurikulum bermuatan hal-hal yang secara spesifik merupakan kebutuhan
masyarakat setempat, local content curriculum”. Kebijakan tersebut lahir dari
kesadaran bahwa peserta didik jangan sampai dijauhkan dari akar budaya yang
dimilikinya.
Walau demikian kenyataan di lapangan menunjukkan, pengembang dan
implementor kurikulum masih sering salah menafsirkan muatan lokal. Muatan
lokal masih ditafsirkan terbatas dengan menjadikan bahasa daerah atau kesenian
tradisional sebagai mata pelajaran. Padahal pengertian muatan lokal dalam KTSP
tidak dapat direduksi seperti itu. Mulyasa (2010: 20) mengatakan bahwa “KTSP
harus dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan
karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat dan peserta didik”. Bila hal
ini dilakukan, Wahab (2008: 13) mengatakan, “hal itu akan membantu
melahirkan ‘the real curriculum’, juga mampu menutupi kesenjangan tentang
materi yang seharusnya ada dalam kurikulum”.
Berdasarkan hal uraian di atas kemudian diangkat dalam sebuah penelitian
yang berjudul “Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat
Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS di SMP Negeri 1
Tambaksari”. Dengan demikian, proses penelitian dilakukan dalam dua tahap,
yaitu : Pertama, tahap eksplorasi dan identifikasi nilai-nilai budaya masyarakat
adat Kampung Kuta, khususnya mengenai nilai kearifan lingkungan. Kedua,
penelitian tindakan di SMP Negeri 1 Tambaksari untuk melihat sejauh mana
serta meningkatkan kinerja guru IPS di sekolah tersebut melalui penelitian yang
bersifat partisipatori.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini?
2. Bagaimana pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat
adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam?
3. Bagaimana potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat
Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber pembelajaran
IPS di SMP Tambaksari?
4. Bagaimana hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan
lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam
pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini.
2. Untuk mengkaji pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam.
3. Untuk mengetahui potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber
4. Untuk mengetahui hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan
lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam
pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan
tentang nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta sebagai salah satu
kampung adat yang masih tersisa di Jawa Barat.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan berupa
nilai-nilai budaya Masyarakat Kampung Adat Kuta khususnya kearifan
lingkungan sebagai sumber belajar untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.
E. Klarifikasi Konsep
1. Kearifan Lingkungan
Kearifan lingkungan atau environmental wisdom adalah kumpulan
pengetahuan, kepercayaan, dan kelembagaan masyarakat lokal (Amirullah,
2008)
2. Budaya
Kata budaya dalam tulisan ini memiliki arti yang sama dengan kebudayaan.
Koentjaraningrat (1989: 181) mengatakan, “dalam istilah
suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan arti yang sama”. Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat (1989: 180), adalah “keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
3. Masyarakat Adat
Terminilogi istilah, “masyarakat adat” berdasarkan hasil kongres Masyarakat
Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 15-22 Maret
1999. Hasil kongres tersebut menyatakan :
Masyarakat adat dimaksud sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”(Syafa’at, et.al. 2008: 28).
4. Sumber Pembelajaran
Menurut Rohani (2004: 161), “sumber belajar adalah segala daya yang dapat
dipergunakan untuk kepentingan proses atau aktivitas pengajaran baik secara
langsung maupun tidak langsung, di luar peserta didik (lingkungan) yang
melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Bahkan dalam
pembelajaran IPS, Sumaatmadja (2004: 13) mengatakan bahwa “segala
gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat,
F. Paradigma Penelitian
Paradigma sebagai konsep pertama kalinya dikemukakan oleh Thomas Kuhn
dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”. Dalam penelitian,
paradigma merupakan dasar untuk menyeleksi masalah dan pola untuk
memecahkan masalah tersebut. Moleong (1989: 9) mengatakan, “paradigma
adalah sekumpulan longggar tentang asumsi yang secara logis dianut
bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara
penelitian”. Wiriaatmadja (2008: 85) mengatakan, “kerangka pemikiran atau
paradigma adalah pandangan dunia atau worldview dari peneliti untuk
memahami asumsi-asumsi metodologis sebuah studi secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis”.
Senada dengan dengan kedua pendapat di atas, Nasution (2003: 2)
mengatakan bahwa “paradigma adalah suatu perangkat kepercayaan,
nilai-nilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma mengarahkan
peneliti”. Dalam paradigma kualitatif menurut Wiriaatmadja (2008: 10),
“asumsi-asumsi ontologi menunjukkan bahwa kenyataan seperti yang dilihat
oleh para peserta penelitian adalah subjektif dan majemuk, sedangkan secara
epistemologi, para peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, secara aksiologi
sangat berbobot nilai, dan bias”.
Mengkaji rumusan-rumusan paradigma di atas, terlihat bahwa paradigma
penelitian sangat sentral untuk mewujudkan hasil penelitian yang kredibel.
Untuk itu dikembangkanlah paradigma penelitian yang dapat digambarkan
Bagan 1.1 :
Paradigma Penelitian Masyarakat Adat
Kampung Kuta
1. Menghargai Nilai Kearifan Lingkungan 2. Adaptasi Nilai
Kearifan Lingkungan 3. Aplikasi Nilai
Kearifan Lingkungan
1. Filsafat PIPS 2. Hakikat PIPS 3. Tujuan PIPS
Seleksi Pembelajaran 1, 2 Dst
Sumber Belajar
Kearifan Lingkungan Masyarakat Adat Kuta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan nilai-nilai budaya
masyarakat Kampung Adat Kuta yang melembaga hingga saat ini khususnya
kearifan lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya
yang telah teridentifikasi kemudian dipilih untuk diimplementasikan sebagai
sumber pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari. Untuk itu maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi dan
Penelitian Tindakan. Pembahasan hasil penelitian etnografi disajikan pada Bab IV
dari halaman 112 s.d. 185 dan pembahasan hasil penelitian tindakan disajikan
dari halaman 185 s.d. 251.
Menurut Creswell (1985: 5) :
Qulaitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological tradistions of inquiry that explore a social or human problem, the researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, report detailed views of informants, and conducts, the study in a natural setting.
Senada dengan itu, Lincoln dan Guba (1985: 39) mengatakan bahwa “penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia pada kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
Masih mengenai penelitian kualitatif, Nasution (1996: 5) menjelaskan bahwa
”pada hakikatknya penelitian kualitatif merupakan kegiatan mengamati orang
dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami
bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Peneliti mengumpulkan
data dari subjek penelitian dengan prinsip kesetaraan. Kebenaran yang berasal
dari informan bersifat equal dengan kebenaran yang berasal dari peneliti.
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang memadang
suatu kenyataan sosial sebagai sesuatu yang utuh, dinamis dan penuh makna.
Penelitian ini dilakukan pada setting yang alamiah (natural setting) bukan dalam
setting yang didesain sedemikian rupa seperti yang dilakukan pada penelitian
kuantitatif. Oleh karenanya, pendekatan penelitian ini juga sering disebut sebagai
penelitian naturalistik. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya,
tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi
dinamika pada objek tersebut.
Pada prakteknya, peneliti berbaur dengan masyarakat (subjek penelitian)
untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Untuk memahami sebuah budaya
masyarakat tentu harus dikaji secara utuh dan mendalam dalam suasana yang
alamiah. Berhubungan dengan penelitian ini, peneliti berusaha berbaur langsung
dalam situasi sosial masyarakat adat Kampung Kuta. Sebagai proses penelitian
kebudayaan maka berbaurnya peneliti dengan masyarakat yang diteliti adalah hal
yang tidak bisa dihindarkan, sehingga keakuratan data yang diperoleh bisa relatif
Tentang jenis tradisi kualitatif, Creswell (1998: 5) mengklasifikasikan lima
tradisi studi kualitatif, yaitu penelitian biografi, fenomenologi, grounded theory,
studi etnografi, dan studi kasus. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini menggunakan
studi etnografi. Spradley (2007: 3) mengatakan bahwa “etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan”. Senada dengan itu, menurut
Creswell (1998: 58) “An ethnography is a description and interpretation of a
culture or social group or system”. Lebih luas Wolcott (Thomas, 2003: 36)
mengatakan :
Ethnography means, literally, a picture of the “way of life” of some identifiable group of people. Conceivable, those people could be any culture bearing group, in any time place…Particular individuals, customs, institutions, or event are anthropological interest as they relate to a generalized description of the life-way of a social interacting group.
Dari definisi di atas, tradisi etnografi menurut Salim (2006: 128), memiliki
ciri-ciri berikut :
1) Menekankan eksplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu, dan bukan menguji hipotesis tentang fenomena tersebut, 2) Kecenderungan bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat kategori analisis yang tertutup, 3) Investigasi terhadap sejumlah kecil kasus, bahkan sangat memungkinkan hanya satu kasus, namun dilakukan secara rinci, dan 4) Analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal. Pada saat yang sama kuantifikasi dan analisis statistik memainkan peran yang sangat kecil.
Setelah nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta dapat
diidentifikasi kemudian peneliti mengadakan penelitian tindakan untuk melihat
sejauhmana implementasikan kearifan lingkungan sebagai sumber pembelajaran
IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari bermaknaan bagi pembelajaran IPS di sekolah
budaya lokal tetapi seringkali belum diimplemetasikan dalam pembelajaran,
sehingga kebermaknaan sumber pembelajaran tersebut belum bisa terlihat secara
nyata.
Menurut Purwadi (Sukidin et.al. 2008: 10), ‘PTK adalah suatu bentuk
penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melaksanakan tugas pokonya, yaitu mengelola pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas’. Penelitian Tindakan Kelas ini,
menurut Hopkins (Wiriaatmadja, 2008: 25), ‘bersifat emansipatoris dan
membebaskan karena penelitian ini mendorong kebebasan berpikir dan
berargumen pada pihak siswa, dan mendorong guru menggunakan kearifan dalam
mengambil keputusan atau judgement’.
PTK merupakan penelitian aksi yang melibatkan mitra peneliti guna
memperbaiki proses pembelajaran. Mc Niff (Sukidin et.al., 2008: 14),
memandang ‘PTK sebagai suatu bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh
guru sendiri yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kurikulum,
pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan sebagainya’.
Dengan demikian PTK memiliki manfaat yang sangat besar bagi peningkatan
kualitas belajar peserta didik serta kinerja guru itu sendiri.
Model Penelitian Tindakan Kelas yang digunakan dalam penelitian ini
Bagan 3.1:
Model Spiral dari Kemmis dan Tagart (Wiriaatmadja, 2008: 62)
Rangkaian kegiatan penelitian tindakan yang dilakukan berdasarkan bagan di atas,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Orientasi (Orientation)
Pada tahap ini dilakukan studi pendahuluan untuk mengkaji tentang
berbagai permasalahan aktual yang terjadi dalam pembelajaran IPS di SMP
Negeri 1 Tambaksari. Dari berbagai temuan yang didapatkan, kemudian
dijadikan indikator untuk menyusun rencana tindakan pada implementasi kearifan
PLAN
REVISED
PLAN
A
C
T
OBSERVE
R
E
F
L
E
C
T
A
C
T
R
E
F
L
E
C
T
lingkungan dalam pembelajaran IPS. Hasil temuan ini akan disesuaikan dengan
kajian teoritis yang relevan, sehingga dapat menampilkan program pembelajaran
yang bermakna bagi peserta didik.
2. Merencanakan PTK (Plan)
Barangkat dari hasil orientasi, peneliti bersama mitra peneliti merencanakan
langkah-langkah penerapan pembelajaran implementasi kearifan lingkungan
dalam pembelajaran IPS. Rencana pembelajaran disusun dan dipilih dengan
mempertimbangkan kemungkinan yang bisa dilakukan oleh peneliti, mitra
peneliti, dan peserta didik. Peneliti dan mitra peneliti menyepakati tentang hal-hal
yang akan diobservasi, terdiri dari materi pembelajaran yang akan disampaikan,
metode, sumber, tempat dan waktu, kriteria penilaian serta sarana dan sarana
pembelajaran.
3. Melaksanakan PTK (Act)
Tahap ini diisi dengan kegiatan pembelajaran sesuai rencana yang telah
dibuat sebelumnya yaitu implementasi kearifan lingkungan sebagai sumber
pembelajaran IPS. Dalam kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu
menjelaskan indikator yang ingin dicapai, proses pembelajaran yang harus dilalui
oleh peserta didik dan menjelaskan tujuan pembelajaran yang diharapkan hingga
menutup kegiatan pembelajaran dengan menyampaikan kesimpulan dan
4. Melaksanakan Observasi (Observe)
Kegiatan observasi dilakukan untuk mengamati dan mengenali proses, hasil
serta pengaruh dan masalah yang muncul pada saat implementasi kearifan
lingkungan sebagai sumber pembelajaran IPS. Peneliti mencatat dan merekam
hal-hal tersebut untuk dijadikan bahan analisis dan dasar refleksi terhadap
tindakan yang telah dilakukan. Analisis dan refleksi dilakukan untuk melihat
kelemahan dan kekurangan implementasi kearifan lingkungan dalam
pembelajaran IPS sebagi dasar untuk membuat rencana perbaikan pada
pembelajaran berikutnya.
5. Melakukan Refleksi (Reflect)
Refleksi merupakan tahapan terakhir dari setiap tindakan yang berupa
kegiatan menganalisis tentang rencana dan tindakan yang sudah atau belum
dicapai pada suatu siklus. Pada tahap ini peneliti bersama mitra peneliti
mendiskusikan kekurangan-kekurangan serta kemajuan yang didapat setelah
melakukan tindakan. Berangkat dari refleksi tersebut, secara kolaboratif peneliti
dan mitra menyusun lagi rencana pembelajaran yang akan diterapkan untuk
menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik.
B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian
1. Jenis Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland
tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Jenis data tersebut dibagi ke dalam
kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan data statistik. Masih
berhubungan dengan hal tersebut, peneliti juga merujuk pada pendapat Satori &
Komariah (2010: 220) yang mengatakan bahwa sumber data penelitian kualitatif
terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Unsur manusia sebagai instrumen kunci yaitu peneliti yang terlibat langsung
dalam observasi partisipasi dan unsur informan. Dalam penelitian ini, unsur
informan yang dimaksud terdiri dari atas Ketua Adat, Juru Kunci, tokoh
masyarakat, dan Kepala Dusun Kuta untuk penelitian etnografi. Sedangkan
untuk penelitian tindakan, unsur informan tersebut terdiri dari Kepala
Sekolah, Guru (mitra peneliti) dan empat orang peserta didik, satu
diantaranya berasal dari Kampung Kuta. Penentuan informan atau responden
penelitian itu sendiri dilakukan dengan teknik pengambilan sampel
“purposive” yaitu pemilihan responden atau informan berdasarkan
pertimbangan atau penilaian peneliti. Peneliti menilai bahwa untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka informan tersebutlah yang
dibutuhkan. Penentuan informan tidak dilakukan secara acak, melainkan
secara berantai dari informan pertama kepada informan selanjutnya.
b. Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian. Manusia tidak berdiri
sendiri melainkan ada bersama lingkungannya baik hidup maupun mati. Dari
beragam unsur non manusia tersebut tentu banyak informasi yang bisa digali
guna melengkapi data penelitian yang didapat dari sumber manusia
Berkenaan dengan pentingnya mendapatkan data yang tepat, Nasution
(2002: 106) menjelaskan, bahwa “peneliti kualitatif menyadari bahwa untuk
memperoleh data yang valid ia harus mengadakan seleksi atau sampling. Ia harus
memilih siapa yang akan diamati atau diwawancarai, demikian pula halnya
dengan peristiwa dan situasi yang harus dipilih untuk diamati”. Dengan pemilihan
informan atau sumber data yang tepat maka peneliti dapat melihat hubungan antar
data yang terkumpul serta menarik kesimpulan dari data-data tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
a. Observasi
Menurut Alwasilah (2003: 211), “observasi adalah penelitian atau
pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang
dikontrol validitas dan reliabilitasnya”. Menurut Satori dan Komariah (2010:
105), “observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik
langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus
dikumpulkan dalam penelitian”. Selanjutnya dijelaskan bahwa, “secara
langsung adalah terjun ke lapangan terlibat seluruh panca indra. Sedangkan
secara tidak langsung adalah pengamatan yang dibantu melalui visual/ audio
visual, misalnya teleskop, handycam, dan lain-lain”. Dalam hal ini peneliti
menggunakan alat bantu visual yang berupa camera digital. Alat tersebut
sangat penting bagi peneliti guna mendukung analisis data melalui hasil
dilaksanakan. Termasuk gambar yang direkam pada saat peneliti melakukan
wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan.
Tentang pentingnya observasi dalam penelitian kualitatif, Alwasilah
(2003: 214) menyebutkan sebagai berikut :
1) Perilaku responden secara alami sesungguhnya adalah manifestasi kode dan aturan dalam suatu budaya, bukan sekedar rutinitas kultural. Ini cenderung dianggap biasa-biasa saja terutama oleh anggota masyarakat sendiri. Mereka baru sadar akan kode dan aturan itu manakala dihadapkan pada peneliti dari luar budayanya sendiri. 2) Tugas peneliti kualitatif adalah mengeksplisitkan aturan dan kode itu
sesuai dengan konteks keterjadian tingkah laku dalam persepsi emik para responden.
3) Budaya adalah pengetahuan dan pengalaman kolektif para anggotanya. Untuk fungsi maksimal dalam suatu budaya, setiap anggota masyarakat harus mempraktikan rutinitas budayanya sesuai dengan aturan-aturan tadi.
“Dalam konteks penelitian kualitatif, teknik observasi tidak untuk
menguji kebenaran tetapi untuk mengetahui kebenaran yang berhubungan
dengan aspek atau kategori sebagai aspek studi yang dikembangkan peneliti”
(Satori dan Komariah, 2010: 106). Teknik observasi terhadap adat istiadat
yang tercermin dari perilaku masyarakat ini diharapkan dapat
mengungkapkan fakta secara lebih mendalam dan luas guna mendapatkan
makna yang terkandung di dalamnya untuk keperluan pengembangan sumber
pembelajaran IPS.
Untuk itu, observasi penelitian ini lebih difokuskan pada budaya
masyarakat yang berhubungan dengan penghormatan masyarakat terhadap
lingkungannya. Pada tahap penelitian tindakan, observasi dilakukan untuk
dapat mengungkapkan fakta secara lebih mendalam dan luas tentang proses
menangkap fakta yang akurat, peneliti juga menggunakan alat bantu yang
berupa handycam, sehingga bisa merekam kejadian yang relatif lebih
lengkap. Agar mendapatkan data penelitian yang akurat, maka observasi ini
dilakukan secara terus menerus.
Adapun langkah observasi pada penelitian tindakan dilakukan tiga tahap
berikut :
Bagan 3.2 :
Fase Observasi (Wiriaatmadja, 2008: 106)
Pada fase pertemuan, peneliti dan mitra peneliti menyusun rencana tentang
langkah-langkah penyajian pembelajaran serta aspek yang akan diamati
dalam pengumpulan data. Pada fase observasi kelas, peneliti mengumpulkan
data secara objektif dengan cara merekam gambar dan menulis
kejadian-kejadian penting dalam proses pembelajaran tersebut. Selanjutnya, pada fase
diskusi balikan peneliti dan mitra peneliti secara bersama-sama menganalisis
data observasi, menyepakati kekurangan dan kelebihan dalam pembelajaran
yang telah dilakukan. Bertolak dari hasil observasi tersebut, peneliti dan mitra
peneliti membuat rencana pembelajaran berikutnya. Pertemuan
Perencanaan
Observasi Kelas Diskusi
b. Wawancara
Menurut Sudjana (2000: 234), “wawancara adalah proses pengumpulan data
atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan
pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee)”. Satori dan Komariah
(2010: 130), mendefiniskan wawancara sebagai teknik pengumpulan data
untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui
percakapan atau tanya jawab.
Sifat wawancara dalam penelitian kualitatif dikenal ada dua jenis, yaitu
wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara bertahap. Sesuai
dengan tradisi penelitian yang dilakukan maka penelitian ini menggunakan
wawancara mendalam, baik dalam tahap penelitian etnografi maupun dalam
penelitian tindakan. Wawancara mendalam menurut Mc. Milan dan
Schumacher (Satori dan Komariah, 2010: 130) adalah ‘tanya jawab yang
terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan, bagaimana
menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan atau
menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya’.
Jenis wawancara yang digunakan pada penelitian etnografi adalah
wawancara tidak terstruktur pada awal penelitian dan terstruktur pada
wawancara lanjutan. Sedangkan pada penelitian tindakan di SMP Negeri 1
Tambaksari seluruhnya menggunakan wawancara terstruktur.
Agar wawancara yang dilakukan bisa berlangsung secara efektif maka
peneliti menggunakan alat bantu yang berupa digital voice recorder guna
dengan adab penelitian kualitatif, penggunaan digital voice recorder untuk
merekam semua pembicaraan informan, terlebih dulu meminta izin pada
informan untuk keperluan tersebut. Selain menggunakan digital voice
recorder, data yang terekam lewat alat tersebut didukung dengan penggunaan
camera guna memotret kejadian selama wawancara berlangsung.
Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara ini
berkaitan dengan asal-usul, jenis pantangan (tabu), tempat yang
dikeramatkan, serta makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan dalam konteks penelitian tindakan, wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan informasi mendalam tentang proses pembelajaran IPS yang
selama ini masih terjadi serta pengaruh dari inovasi pembelajaran yang
dilakukan. Data tersebut kemudian dideskripsikan, ditafsirkan, dan
diklasifikasikan sesuai dengan aspek budaya serta lingkup masalah dan tujuan
penelitian.
c. Studi Dokumentasi
Satori dan Komariah (2010: 149) menyebutkan bahwa “studi dokumentasi
adalah kegiatan mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan
dalam permasalahan penelitian, lalu ditelaah secara intens sehingga dapat
mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian”.
Mengenai jenis dokumen, Nasution (2003: 85), menyebutkan, “dokumen
terdiri atas tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat, dan dokumen
Berhubungan dengan penelitian tindakan, dokumen sebagai sumber data
penelitian ini berupa silabi, rencana pelaksanaan pembelajaran, laporan
evaluasi hasil belajar peserta didik dan buku teks yang digunakan dalam
pembelajaran IPS. Sedangkan, dokumen yang berhubungan dengan
masyarakat adat Kampung Kuta, berupa peta lokasi, dan monografi Desa
Karangpaningal.
d. Studi Literatur
Studi literatur merupakan alat pengumpulan data yang dilakukan untuk
mengungkap sejumlah teori yang memiliki relevansi dengan permasalahan
penelitian ini. Kemudian, teori-teori yang terungkap, akan digunakan dalam
pembahasan penelitian. Sedangkan teknik yang digunakan adalah dengan cara
mempelajari sejumlah literatur baik cetak maupun elektronik guna
memperoleh informasi yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian
ini.
e. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian naturalistik, peneliti adalah instrumen penelitian utama.
Moleong (1989: 21) menyebutkan bahwa “pencari tahu alamiah dalam
pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai pengumpul
data”. Selanjutnya Moleong (1989: 132) menjelaskan, “kedudukan peneliti
dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana,
menjadi pelapor hasil penelitian”. “Peneliti kualitatif sebagai human
instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai
sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis
data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuan” (Sugiyono,
2010: 3006). Peneliti sebagai instrumen menurut Nasution (2003:55-56),
cocok untuk tradisi penelitian kualitatif karena :
1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi peneliti.Tidak ada peneliti lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah, 2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dengan macam-macam situasi yang serupa, 3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala seluk beluknya, 4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita, 5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh, 6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan, dan 7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan pemahaman mengenai aspek yang diteliti.
Tentang validasi terhadap peneliti sebagai instrumen, menurut Sugiyono
(2010: 305) “meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian
kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan
peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistik”. Validasi ini sangat penting guna mendapatkan hasil penelitian yang
evaluasi diri. Ini dilakukan karena penelitilah yang paling tahu kesiapan atau
ketidaksiapan melakukan penelitian dimaksud.
C. Subjek dan Lokasi Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri dari pihak-pihak yang berdasarkan pertimbangan
peneliti dinilai memiliki kapasitas yang tepat dalam arti subjek penelitian atau
bertindak sebagai informan penelitian memiliki kualitas dan ketepatan sebagai
subjek penelitian yang representatif sesuai dengan tuntutan karakteristik masalah.
Dalam penelitian ini, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sumber data
penelitian bahwa subjek penelitian ini terdiri dari Ketua Adat, Kuncen, tokoh
masyarakat, Kepala Dusun Kuta, Kepala Sekolah, Guru dan peserta didik SMP
Negeri 1 Tambaksari yang bertindak sebagai informan penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi, penelitian ini akan dilakukan di Kampung Adat Kuta dan
SMP Negeri 1 Tambaksari sesuai dengan tujuan penelitian. Berbagai
pertimbangan telah dikaji dalam menentukan lokasi penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
a. Kampung Kuta memiliki nilai strategis yang dapat dikembangkan sebagai
laboratorium pembelajaran IPS. Kampung Kuta memiliki beragam kekayaan
nilai budaya yang bisa diimplementasikan sebagai sumber pembelajaran
b. Guru di SMP Negeri 1 Tambaksari belum banyak menggunakan lingkungan
sekitar sebagai sumber pembelajaran IPS termasuk kampung adat Kuta yang
berada di sekitar sekolah. Guru belum berusaha mendekatkan peserta didik
dengan budaya setempat dengan mengembangkan budaya lokal sebagai
salah satu kajian dalam proses pembelajaran.
c. Mulai tercerabutnya peserta didik dari akar budayanya, digantikan dengan
budaya global yang kadang bertentangan dengan budaya yang dimilikinya.
Bukan hanya di perkotaan, kegandrungan pada budaya luar juga telah
merambah ke wilayah ini.
D. Prosedur Penelitian
Agar penelitian ini bisa berjalan dengan baik, maka disusun prosedur
penelitian yang terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap
pelaporan.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pra Penelitian
Berangkat dari masalah yang masih dihadapi dalam pembelajaran IPS,
peneliti melalukan studi pendahuluan guna mengkaji layak atau tidaknya
masalah tersebut diangkat dalam sebuah penelitian. Pada tahap ini juga
dilengkapi dengan pencarian literatur baik yang berupa buku-buku, maupun
sumber internet yang mengkaji tentang masalah-masalah yang ada
kelayakan masalah untuk diangkat dalam sebuah penelitian minimal
memenuhi syarat aktual dan bisa menghasilkan nilai tambah atau memiliki
manfaat bagi pengembagan ilmu pengetahuan. Dalam konteks pendidikan,
secara praktis sebuah hasil penelitian dapat diimplementasikan dalam dunia
pendidikan, khususnya Pendidikan IPS. Berhubungan penelitian ini
mengunakan dua lokasi penelitian serta dua kelompok subjek penelitian
(informan berhubungan yang dengan Kampung Kuta dan informan yang
berhubungan dengan pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari), maka
pra penelitian ini pun dilakukan di kedua lokasi tersebut.
Pada kegiatan pra penelitian, peneliti berusaha menghimpun data awal
yang dibutuhkan serta menentukan calon informan sebagai sumber penting
untuk mengungkapan data yang dibutuhkan. Selain itu, mengidentifikasi
sumber data non manusia yang kemungkinan bisa dijadikan sumber
pendukung pengumpulan data penelitian.
b. Penyusunan Proposal
Setelah mengkaji masalah serta melakukan pra penelitian, peneliti
melanjutkan pada tahap penyusunan proposal penelitian hingga mengajukan
serta mengikuti seminar proposal sebagai tahapan penting yang harus diikuti
sebelum menuju tahap penelitian selanjutnya.
c. Penyusunan Surat Perizinan
Tahap persiapan ketiga adalah pengurusan surat izin penelitian.
Tahapan ini didahului dengan pengajuan pembimbing penulisan karya
terhadap lembaga yang memiliki otoritas atas lokasi yang dijadikan
penelitian tersebut. Dalam hal ini, izin penelitian dilayangkan kepada Ketua
Adat Kampung Kuta, Kepala Dusun Kuta serta Kepala SMP Negeri 1
Tambaksari.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap ini terpusat pada studi lapangan yang sesungguhnya yaitu kegiatan
mengumpulkan data di lokasi penelitian melalui teknik observasi, wawancara,
mencatat kasus-kasus, serta melakukan perekaman, pemotretan baik untuk data
primer maupun data skunder. Kegiatan di lapangan difokuskan seluruhnya
terhadap sumber data baik unsur manusia maupun non manusia dalam rangka
pencarian dan penggalian data dan informasi dari aspek yang diteliti sesuai
dengan harapan peneliti atau tujuan penelitian. Pelaksanaan penelitian, dilakukan
dalam dua tahap yaitu: pengumpulan data yang berkenaan dengan nilai-nilai
budaya masyarakat adat Kampung Kuta dan pengimplementasian nilai tersebut
dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.
3. Tahap Pelaporan
Tahap pelaporan merupakan rangkaian kegiatan setelah data penelitian
berhasil dikumpulkan. Tahap ini dimulai dengan kegiatan menyusun,
mendeskripsikan, mengeksplanasi, dan menganalisis data serta menyusun laporan
E. Analisis dan Validasi Data Penelitian
1. Analisis Data Penelitian
Dalam tradisi kualitatif, analisis data sudah dimulai ketika penelitian terjun
ke lapangan, bahkan analisis data sudah dilakukan sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, saat mengumpulkan data di lapangan hingga penulisan hasil
penelitian. Data penelitian dianalisis melalui metode induktif. Analisis data model
ini mengacu pada pendapat Moleong (1989: 6) yang didasarkan pada beberapa
alasan berikut :
a. proses induksi lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data;
b. analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel;
c. analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lain;
d. analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dan terakhir,
e. analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit seb