• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN INTERVENSI ASING DALAM

PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh:

Endah Sulistyawati 0800970

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

Halaman Hak Cipta

PERANAN INTERVENSI ASING

DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO

1945-1966

Oleh

Endah Sulistyawati

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Endah Sulistyawati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

Oleh:

Endah Sulistyawati 0800970

Disetujui Dan Disahkan Oleh:

Pembimbing I

Drs. Andi Suwirta, M.Hum NIP. 196210091990011001

Pembimbing II

Farida Sarimaya, S.Pd M.Si NIP.197106042005012001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Pendidikan Indonesia

(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan

Soekarno 1945-1966”. Intervensi asing merupakan suatu upaya atau usaha

yang dilakukan oleh pihak asing seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan RRC dalam menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno merupakan lahan subur bagi berbagai kepentingan bangsa asing. Banyak terjadi pemberontakan diberbagai wilayah Indonesia yang diberi bantuan oleh pihak asing. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai bagaimana keterlibatan Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris dan RRC terhadap jatuhnya pemerintahan Soekarno 1945-1966. Untuk lebih jelasnya penulis membuat petanyaan-pertanyaan penelitian yaitu (1) Apa yang melatar belakangi terjadinya intervensi asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya pada peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (2) Bagaimana peranan dan bentuk kronologis terjdainya intervensi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya dalam peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (3) Apakah dampak yang ditimbulkan dari adanya keterlibatan pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno serta masyarakat Indonesia tahun 1945-1966?

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode historis dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut: (1) Memilih topik yang sesuai dengan keinginan, (2) Mengusut semua bukti yang relevan dengan topik. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang sesuai dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno dengan menggunakan studi literatur, (3) Membuat catatan mengenai apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang sedang diteliti oleh penulis, (4) Mengevaluasi secara kritis (kritik sumber) semua sumber data-data yang diperoleh selama penelitian yang relevan dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno, (5) Menyiapkan hasil-hasil penelitian ke dalam sebuah rancangan sistematika tertulis yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI 2012, dan (6) Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dari pembaca sehingga dapat dimengerti. Sedangkan untuk teknik penelitiannya yaitu penulis melakukan studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis.

(5)

ABSTRACT

This research discuss about the foreign power that must be faced by the Republic of Indonesia at the beginning of independence. The main problem in

this research is about how the foreign partial to involve in the Soekarno’s

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Metode Penelitian ... 7

1.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. LANDASAN TEORITIS 2.1 Teori Konspirasi ... 11

2.2 Konsep Intervensi ... 13

2.3 Konsep Kepentingan Nasional Dengan Asing ... 15

2.5 Teori Konflik ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian ... 25

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian ... 25

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 27

3.1.3 Konsultasi ... 27

3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 28

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 28

3.2.2 Kritik Sumber ... 30

3.2.2.1 Kritik Eksternal ... 30

3.2.2.2 Kritik Internal ... 31

3.2.3 Interpretasi ... 31

3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner ... 32

(7)

3.3 Laporan Penelitian ... 34

BAB IV.KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA PEMERINTAHAN SOEKARNO 4.1 Peristiwa Madiun 1948 ... 37

4.1.1 Peran Uni Soviet ... 39

4.1.2 Dampak Yang Terjadi ... 54

4.2 Peristiwa PRRI/Permesta 1958 ... 56

4.2.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 59

4.2.2 Dampak Yang Terjadi ... 73

4.3 Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI ... 74

4.3.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 77

4.3.2 Peran Republik Rakyat Cina (RRC) ... 83

4.3.3 Dampak Yang Terjadi ... 86

4.4 Akhir Dari Pemerintahan Soekarno ... 87

4.4.1 Keadaan Sosial Politik Pasca Intervensi Asing ... 89

4.4.2 Peristiwa Penting Pasca Intervensi Asing ... 92

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 103

5.2 Rekomendasi ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode adalah suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam

melakukan penyidikan suatu displin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang

diteliti (Sjamsuddin, 2007 : 13). Metode penelitian yang penulis gunakan dalam

mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi yang diangkat, yaitu

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 adalah metode

historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau (Gosttchlak, 2008 : 39). Di dalamnya

termasuk metode menggali sumber, memberikan penilaian, mengartikan, serta

menafsirkan fakta-fakta masa lampau untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik

sebuah kesimpulan mengenai peristiwa tersebut. Kemudian disajikan dalam bentuk

tertulis, maksudnya yaitu dalam penelitian ini adalah dalam bentuk skripsi.

Sedangkan teknik penelitian yang penulis gunakan adalah teknik studi literatur.

Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku serta

sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Hal

tersebut dilakukan untuk mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan penulis kaji yang sebelumnya telah dirumuskan kedalam

beberapa rumusan masalah.

Menurut Sjamsuddin (2007 : 85-239), langkah-langkah dalam metode historis

terdiri atas:

1. Heuristik, atau dalam bahasa Jerman Quellenkunde sedangkan dalam bahasa

Yunani disebut Heurishein yang berarti memperoleh. Heuristik merupakan suatu

kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi

sejarah atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang akan

dikaji oleh peneliti (Sjamsuddin, 2007 : 86). Oleh karena itu, heuristik tidak

(9)

suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan merinci bibliografi atau

mengklarifikasi dan merawat catatan-catatan. Sumber yang dicari dan

dikumpulkan adalah sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti

mengenai Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966.

Secara sederhana, sumber-sumber sejarah itu dapat berupa sumber benda, sumber

tertulis dan sumber lisan. Secara lebih luas lagi, sumber sejarah juga dapat

dibeda-bedakan ke dalam sumber resmi formal dan informal. Selain itu, dapat

diklasifikasikan dalam sumber primer dan sekunder. Pada tahap ini, penulis

mengumpulkan fakta dan data tentang Peranan Intervensi Asing Dalam

Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sumber penulis peroleh melalui studi

literature yang dilakukan oleh penulis.

2. Kritik, yaitu tugas untuk menemukan keontentikan sumber-sumber yang telah

didapatkan oleh peneliti. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 131) seorang

sejarawan tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada

sumber-sumber yang diperoleh. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal

dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang sesuai dengan permasalahan

penelitian. Sehingga dari penejelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak

semua sumber yang ditemukan dalam tahap heuristik dapat menjadi sumber yang

digunakan oleh peneliti, melainkan harus disaring dan dikritisi terlebih dahulu

keotentikan sumber tersebut. Menurut Ismaun (2005 : 48) bahwa dalam tahap

inilah timbul kesulitan yang sangat besar dalam penelitian sejarah, karena

kebenaran sejarah itu sendiri tidak dapat didekati secara langsung dan karena sifat

sumber sejarah juga tidak lengkap serta kesulitan menemukan sumber-sumber

yang diperlukan dan dapat dipercaya. Sehingga peneliti mendapatkan

sumber-sumber yang dapat dipercaya, relevan dan otentik. Untuk itu peneliti harus

melakukan kritik eksternal dan kritik internal terhadap sumber-sumber tersebut.

Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang

(10)

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Dalam

tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas sumber sejarah.

Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya, baik menurut

isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber otentik bias juga

salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik isinya tidak boleh

dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi jaminan untuk dapat

dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber,

umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau

atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan masih utuh seluruhnya atau

sudah berubah.

b. Kritik intern atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber

dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab dan

moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam

sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji

kredibilitas sumber diadakan penilain instrinsik terhadap sumber dengan

mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti fakta-fakta sejarah

melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap

evidensi-evidensi dalam sumber.

3. Interpretasi, yaitu sebagai usaha memahami dan mencari hubungan antar fakta

sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Satu peristiwa

dihubungkan dengan peristiwa lain. Sehingga dapat menciptakan keselarasan

penafsiran yang berhubungan dengan pembahasan yang dikaji tentang Peranan

Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966.

4. Historiografi, yaitu proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh

sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk skripsi, sehingga

dihasilkan suatu tulisan yang logis dan sistematis, dengan demikian akan

(11)

Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 156) historiografi adalah usaha

mensintesiskan seluruh hasil penelitian atau penemuan yang berupa data-data dan

fakta-fakta sejarah menjadi suatu penulisan yang utuh, baik itu berupa karya

besar ataupun hanya berupa makalah kecil. Dalam hal ini penulis berusaha

mengajukan sebuah bentuk laporan penelitian penulisan sejarah yang berjudul

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 sehingga

menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh.

Selanjutnya, langkah-langkah penelitian tersebut penulis bagi ke dalam tiga

bagian pembahasan, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan

penelitian.

3.1 Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian merupakan titik awal dalam suatu tahapan

penelitian yang harus dipersiapkan dengan matang dan sebaik mungkin. Dalam

tahap ini dilakukan dengan beberapa langkah yaitu tahap penentuan dan

pengajuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian serta bimbingan.

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian

Penentuan dan pengajuan topik penelitian merupakan kegiatan yang

penting dan harus pertama kali dalam penulisan karya ilmiah. Awal

ketertarikan penulis untuk mengkaji masalah Intervensi Asing Dalam

Pemerintahan Indonesia bermula dari sebuah diskusi antar sahabat, setelah

mengikuti mata kuliah Sejarah Revolusi dan Sejarah Indonesia pada masa

Demokrasi Liberal dan Terpimpin. Dalam diskusi tersebut kami membahas

mengenai keruntuhan Soekarno yang disebabkan oleh kebobrokan yang berasal

dari dalam pemerintahannya serta banyaknya pemberontakan yang terjadi di

Indonesia yang pada akhirnya meruntuhkan pemerintahan Soekarno. Ketika

peneliti sedang mencari-cari judul untuk menulis sebuah skripsi, ada seorang

(12)

dalam keruntuhan pemerintahan Soekarno. Lalu saya berpikir keruntuhan

yang terjadi itu apa murni dari pihak Indonesia sendiri atau ada intervensi

asing dari pihak luar negeri? Berangkat dari rasa penasaran itulah penulis

mulai tertarik untuk mencari tahu mengenai Intervensi asing dalam

meruntuhkan pemerintahan Soekarno.

Dari hasil diskusi itulah penulis kemudian merasa tertarik untuk mengkaji

lebih dalam lagi masalah peranan intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno

pada tahun 1945-1966. Pertanyaan awal penulis adalah konspirasi apa saja yang

telah dilakukan oleh pihak asing untuk melemahkan pemerintahan Soekarno?

Bahkan sampai mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Dari ide tersebut kemudian penulis mulai mencari dan membaca berbagai

literatur mengenai sejarah Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan

intervensi asing di Indonesia. Dari hasil pencarian akhirnya penulis

menemukan beberapa literatur yang membahas secara khusus mengenai

intervensi asing di Indonesia.

Setelah penulis merasa yakin untuk menulis permasalahan peranan

intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sebelum diajukan ke

Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS), penulis terlebih dahulu

mengkonsultasikan judul dengan Ketua TPPS yaitu Bapak Drs. H. Ayi Budi

Santosa, M.SI untuk menanyakan apakah judul tersebut sudah ada yang

meneliti atau belum. Setelah mengetahui judul tersebut belum ada yang

menelitinya, maka saya segera mengajukan judul tersebut kepada TPPS.

Pengajuan judul skripsi ke TPPS dilakukan pada awal Februari 2012, yang

kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan proposal penelitian. Adapun isi

dari proposal tersebut antara lain:

a. Judul

b. Latar Belakang Masalah

c. Rumusan Masalah

(13)

e. Manfaat Penelitian

f. Tinjauan Pustaka

g. Metode Penelitian

h. Sistematika Penulisan

i. Daftar Pustaka

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan rancangan awal dalam suatu penelitian

yang disusun sejak peneliti melakukan penelitian. Seperti yang telah

dijelaskan, pengajuan judul ke TPPS dilakukan, kemudian penulis menyusun

proposal penelitian yang kemudian dikonsultasikan dengan TPPS. Hal ini

dilakukan agar proposal yang diajukan oleh penulis dapat dikritisi dan dilihat

kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah. Setelah proposal

disetujui oleh TPPS, penulis akhirnya diizinkan untuk melakukan seminar

proposal skripsi yang dilakukan pada tanggal 22 Juni 2012 di Labolatorium

Jurusan Pendidikan Sejarah, lantai 4 Gedung FPIPS Baru, Universitas

Pendidikan Indonesia.

Hasil dari seminar proposal skripsi tersebut di antaranya adalah perubahan

terhadap judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan

penelitian yang menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan judul baru yang

penulis teliti, yaitu Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno

1945-1966. Perubahan tersebut harus dilakukan agar memudahkan penulis

dalam penulisan skripsi ke depannya.

3.1.3 Konsultasi

Konsultasi merupakan proses bimbingan dalam penulisan skripsi yang

dilaksanakan dengan dua orang dosen pembimbing yang memiliki kompetensi

sesuai dengan tema permasalahan yang penulis kaji. Dalam hal ini, kompetensi

yang dimiliki oleh kedua dosen pembimbing itu adalah kajian dalam sejarah

Indonesia. Berdasarkan surat penunjukkan pembimbing skripsi yang telah

(14)

penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum

sebagai pembimbing I dan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si sebagai pembimbing

II. Konsultasi merupakan proses yang harus dilakukan oleh penulis guna

mendapatkan masukan-masukan yang sangat membantu dalam rangka

penyelesaian skripsi ini.

Konsultasi dilakukan oleh penulis dengan dosen pembimbing setelah

sebelumnya menghubungi masing-masing dosen pembimbing dan kemudian

membuat jadwal pertemuan. Pertama kali penulis melakukan bimbingan dengan

Dosen Pembimbing I yaitu Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum pada tanggal 3

Agustus 2012 dan dengan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si selaku Dosen

Pembimbing II pada tanggal 31 Juli 2012. Proses bimbingan ini memfasilitasi

penulis untuk berdiskusi dengan Pembimbing I dan Pembimbing II mengenai

permasalahan yang dihadapi selama penelitian ini dilakukan. Manfaat yang

dirasakan bagi penulis selama proses bimbingan adalah mengetahui kelemahan

dan kekurangan dalam penelitian skripsi ini sehingga dapat diarahkan untuk

konsisten terhadap fokus kajian.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

Tahap ini pelaksanaan penelitian merupakan tahapan selanjutnya setelah

peneliti merancang dan mempersiapkan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini,

peneliti melakukan empat tahap penelitian yaitu sebagai berikut:

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka

mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan penelitian.

Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 64) heuristik adalah suatu kegiatan

mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah, atau

evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh

peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan berbagai

(15)

sekunder. Sumber-sumber yang penulis kumpulkan merupakan sumber tulisan

yang berkaitan dengan pemerintahan Soekarno serta intervensi asing di

dalamnya.

Sejalan dengan teknik penelitian yang penulis gunakan yaitu dengan

menggunakan teknik studi literatur, maka sumber yang penulis gunakan adalah

sumber tulisan. Sumber-sumber tersebut kebanyakan berupa buku. Dalam proses

pencarian dan pengumpulan sumber, penulis juga melakukan kunjungan ke

beberapa perpustakaan, antara lain:

a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada bulan April 2012.

Di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang ditulis oleh Drs. Asvi

Warman Adam (2009), Antonie C.A. Dake (2005), Victor Miroslav Fic

(2005), Marwidjojo (1999), Peter Dale Scott (2007) dan Hastra Mitra (2008).

b. Perpustakaan Asia-Afrika (KAA) pada bulan Juli 2012. Di perpustakaan ini,

peneliti menemukan literatur yang relevan dengan bahan kajian penulisan

skripsi. Beberapa buku di antaranya yang dibuat oleh Tim Weiner (2008),

Sudarso (2010) dan Audrey dan George Kahin (1997).

c. Perpustakaan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,

Bandung pada bulan Agustus 2012. Di perpustakaan ini, peneliti menemukan

berbagai sumber buku yang relevan dengan bahan kajian peneliti. Buku ditulis

oleh Drs. Makmum Salim (1971), Tim Lembaga Analisis Informasi (2007),

Baskara T. Wardaya SJ (2008) dan karya Drs. Nugroho Notosusanto (1998).

d. Perpustakaan Cisral UNPAD pada bulan September 2012. Di perpustakaan

ini, peneliti menemukan beberapa sumber buku yang relevan dengan bahan

kajian peneliti. Di antaranya kedua buku ini karya R.Z. Leirissa tahun 1985

dan 1991.

Selain dari perpustakaan penulis juga menggunakan buku-buku koleksi

penulis sumber rujukan dalam penulisan skripsi ini, antara lain buku pertama

berjudul Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai

(16)

Orang-orang Di Balik Tragedi karya Asvi Warman Adam (2009). Buku ketiga yang

berjudul Komunisme Dan Kegiatannya Di Indonesia yang ditulis oleh Dinas

Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1985). Dan buku yang

keempat berjudul Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Reformasi karya

Dra. Markonina Hartisekar dan Drs Akrin Isjani Abadi (1999).

3.2.2 Kritik Sumber

Setelah upaya pencarian dan pengumpulan sumber dilakukan, penulis

selanjutnya melakukan langkah berikutnya yaitu kritik terhadap sumber-sumber

sejarah yang digunakan sebagai bahan penulisan skripsi ini. Kritik sumber

sangat penting dilakukan karena sangat erat hubungannya dengan dengan

tujuan sejarawan mencari kebenaran. Tugas untuk menemukan keontentikan

sumber-sumber yang telah didapatkan oleh peneliti. Semua sumber dipilih

melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang susuai

dengan permasalahan penelitian. Fungsi kritik sumber berdasarkan Helius

Sjamsuddin (2007 : 105) menyatakan bahwa fungsi kritik sumber bagi sejarawan

erat kaitannya untuk mencari kebenaran. Pada tahap ini sejarawan dihadapkan

pada benar dan salah, kemungkinan dan keraguan. Fungsi dari proses ini adalah

untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu relevan atau tidak

dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Kritik terhadap sumber ini

dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.

3.2.2.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal merupakan upaya melakukan verifikasi atau pengujian

terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Kritik eksternal dilakukan untuk

menilai kelayakan sumber-sumber sejarah dijadikan bahan penunjang dalam

penulisan skripsi ini dari aspek luarnya sebelum melihat isi dari sumber tersebut.

Kritik eksternal juga dilakukan untuk meminimalisasi subjektivitas dari berbagai

sumber yang penulis dapatkan.

Dalam kritik eksternal penulis melakukan perlakuan yang berbeda terhadap

(17)

terbit buku tersebut, kritik juga dilakukan terhadap jenis kertas yang digunakan

apakah buram atau putih bersih, serta melihat cover dari dari buku tersebut

apakah asli atau fotocopian.

3.2.2.2 Kritik Internal

Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal

merupakan penilaian terhadap aspek dalam, yaitu isi dari sumber sejarah setelah

sebelumnya disaring melalui kritik eksternal. Dalam melakukan kritik internal

penulis melakukan perbandingan isi buku yang penulis jadikan sebagai sumber.

Hasil dari kritik eksternal dan internal menurut penulis merupakan data

yang valid. Kemudian data-data inilah yang akan penulis jadikan sebagai bahan

untuk penulisan skripsi.

3.2.3 Interpretasi

Interpretasi merupakan penafsiran terhadap fakta-fakta yang penulis

dapatkan dari sumber-sumber sehingga nantinya tercipta suatu penafsiran yang

relevan dengan permasalahan yang penulis kaji. Interpretasi perlu dilakukan

agar data-data atau fakta-fakta yang telah penulis kumpulkan sebelumnya dapat

digunakan sebagai bahan dari penulisan skripsi. Sjamsuddin (2007: 158-159)

menjelaskan disadari atau tidak para sejarawan berpegang pada pada salah satu

atau kombinasi beberapa filsafat sejarah tertentu yang menjadi dasar

penafsirannya.

Dalam melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis

temukan, penulis menggunakan pemikiran deterministik. Filsafat sejarah

determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia

dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia

semacam robot yang kekuatannya ditentukan oleh kekuatan yang berasal dari

luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia

fisik seperti faktor geografis, faktor etnologi, faktor dalam lingkungan budaya

manusia seperti sistem ekonomi dan sosial (Romein dan Lucey dalam

(18)

semua peristiwa yang dibahas dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh faktor dari

luar individu manusia, yaitu kondisi sosial dan politik yang menyebabkan

manusia mengambil kebijakan dan keputusan sejarah.

Diantara bentuk-bentuk penafsiran deterministik, penulis memilih untuk

menggunakan penafsiran sintesis. Sjamsuddin (2007: 170) menjelaskan bahwa

dalam penafsiran sintesis tidak ada sebab tunggal dalam suatu peristiwa dalam

sejarah. Perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh beberapa faktor dan

tenaga secara bersamaan dan menjadikan manusia sebagai pemeran utamanya.

Pemilihan penafsiran sintesis dilakukan karena peristiwa melemahnya

pemerintahan Soekarno akibat intervensi asing tahun 1945-1966 tidak terlepas

dari faktor-faktor pendorong seperti terjadinya provokasi yang dilancarkan oleh

pihak asing seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat serta adanya usaha kudeta

yang dilakukan oleh pihak kiri yaitu PKI pada tahun 1965.

3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner

Dalam melakukan interpretasi, penulis menggunakan pendekatan

interdisipliner. Pendekatan ini merupakan pendekatan dalam ilmu sejarah dengan

menggunakan bantuan dari berbagai disiplin ilmu yang serumpun (ilmu-ilmu

sosial). Oleh karena itu, dalam hal ini penggunaan ilmu sejarah tetap menjadi

prioritas, namun untuk mempertajam hasil analisis penulis menggunakan ilmu

bantu dari disiplin ilmu yang serumpun. Dalam pendekatan interdisipliner ini,

penulis menggunakan ilmu bantu berupa ilmu politik dan sosiologi. Ilmu politik

yang penulis gunakan antara lain konsep konspirasi dan konsep poltik luar

negeri. Sedangkan dalam ilmu sosiologi penulis menggunakan teori konflik dari

Ralph Dahrendorf.

Konsep konspirasi merupakan konsep yang ada di seputaran gerak dunia

gobal dan merambah hampir kesemua ranah kehidupan manusia. Baik itu dari

urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer sekalipun. Banyak konsep

konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa dalam sejarah telah

(19)

kejadian-kejadian sebenarnya terjadi. Golongan elit pun tidak jarang ikut campur dalam

hal konspirasi, seperti memanipulasi data hanya untuk kepentingan golongan

tertentu saja.

Menurut ensiklopedia Wikipedia konspirasi diartikan dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/konsepkonspirasi (7/10/12) bahwa konspirasi

merupakan suatu usaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi suatu serangkaian

peristiwa yang pada umumnya meliputi peristiwa politik, sosial dan sejarah

adalah suatu rahasia dan seringkali memperdaya. Direncanakan diam-diam oleh

sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan

berpengaruh. Konsep konspirasi ini bagi orang yang tidak percaya selalu

menganggap semua hanya lah mengada-ada saja. Namun bagi para penganutnya

konsep ini tidak serta-merta muncul mendunia tanpa ada yang menciptakan

polanya sendiri.

3.2.4 Historiografi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian yang memaparkan serta

melaporkan seluruh hasil panelitian dalam bentuk tertulis setelah melalui tahap

intrepetasi fakta. Historiografi merupakan kisah masa lampau yang direkontruksi

oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Dengan kata lain historiografi adalah

penulisan hasil penelitian yang dilakukan setelah selesai melakukan analisis dan

penafsiran terhadap data dan fakta sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 :

56) dalam tahap ini seluruh daya pikiran dikerahkan bukan saja keterampilan

teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan. Namun yang paling

utama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analitis sehingga

menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuan dalam

suatu penelitian utuh yang disebut dengan historiografi. Dalam historiografi

penulis menceritakan hal-hal yang didapat disertai dengan

penafsiran-penafsirannya sehingga hasil dari historiografi berupa rekonstruksi dari peristiwa

(20)

Seorang sejarawan ketika memasuki tahap historiografi diharapkan

memiliki kemampuan analitis dan kritis sehingga hasil tulisannya tidak hanya

berupa karya tulis biasa, tetapi menjadi karya tulis ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Sebuah karya tulis dapat dikatakan ilmiah apabila

memenuhi syarat-syarat keilmuan. Selain itu, tata bahasa yang digunakan oleh

sejarawan harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta sesuai dengan

pedoman penulisan karya ilmiah.

Hubungannya dengan penelitian ini yaitu tahap historiografi yang

dilakukan oleh peneliti merupakan tahap akhir dari setiap penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti. Selanjutnya historiografi ini akan dilaporkan oleh

peneliti dalam bentuk laporan tertulis yang disebut dengan skripsi.

3.3. Laporan Penelitian

Langkah ini merupakan tahap akhir dari prosedur penelitian yang penulis

lakukan. Hal ini dilakukan setelah penulis menemukan sumber-sumber,

menganalisisnya, menafsirkannya, lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan

yang sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang berlaku di

lingkungan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2012. Hal ini

dilakukan oleh peneliti agar kegiatan penelitian yang dilakukan dapat diketahui

kekurangannya dan pembimbing memberikan arahan serta masukan sehingga

memberikan jalan peneliti untuk memperbaiki kegiatan penelitiannya.

Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab terdiri atas pendahuluan,

tinjauan pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan terakhir kesimpulan.

Selain itu, ada pula beberapa tambahan, seperti kata pengantar, abstrak, daftar

pustaka serta lampiran-lampiran. Semua hal tersebut disajikan dalam satu laporan

utuh yang kemudian disebut sebagai skripsi dengan judul Peranan Intervensi

Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Adapun tujuan dari pelaporan

hasil tertulis dari penelitian ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan studi akademis

(21)

BAB IV

KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA

PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

Pada bab IV ini, penulis akan mengkaji mengenai beberapa aspek penting yang

berkaitan dengan skripsi yang berjudul Peranan Intervensi Asing Dalam

Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Aspek-aspek tersebut penulis bagi menjadi

empat sub bab yang dimulai dengan adanya Peristiwa Madiun 1948, dilanjutkan

dengan adanya Peristiwa PRRI/Permesta 1958 hingga meletusnya Peristiwa G 30

S/PKI 1965 dan yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soekarno

tahun 1967. Di mana dalam keempat sub bab itu akan dijelaskan pula mengenai latar

belakang peristiwa, peran dan bentuk kronologis terjadinya intervensi oleh pihak

asing serta dampak yang ditimbulkan.

Untuk mengkaji keempat sub bab tersebut, penulis menggunakan pendekatan

interdisipliner. Di mana penulis menggunakan disiplin ilmu lainnya yang serumpun

untuk membantu menganalisis permasalahan agar tingkat analisis penulis lebih fokus

pada kajian bab IV ini. Sehingga hasil dari pembahasan pada bab ini tidak cenderung

deskriptif-naratif, namun lebih deskriptif-analitis. Ada pun sumber-sumber untuk

mengkaji permasalahan di atas diperoleh melalui studi literatur berupa buku-buku dan

sumber internet yang dianggap relevan dengan pembahasan.

Selain itu, penulis menggunakan beberapa konsep yang berasal dari ilmu

sosiologi dan ilmu politik. Konsep-konsep tersebut antara lain, konspirasi, intervensi,

kepentingan nasional dengan asing dan konflik. Konsep dari ilmu sosiologi

digunakan untuk menganalisis bagaimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia

pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1966, khususnya pada Peristiwa Madiun 1948,

Peristiwa PRRI/Permesta 1958 dan Peristiwa G 30 S/PKI 1965. Sedangkan konsep

ilmu politik digunakan untuk menganalisis jalannya pemerintahan Soekarno serta

(22)

4.1 Peristiwa Madiun 1948

Kemerdekaan Indonesia yang baru saja berjalan selama tiga tahun, sudah

dikacaukan oleh pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Partai Komunis

Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948. Kemerdekaan yang

seharusnya diisi oleh pembangunan bangsa, justru dikacaukan oleh sekelompok

orang yang tidak memahami arti kemerdekaan itu sendiri. Kepentingan pribadi

dan kelompok lebih diutamakan dari pada kepentingan nasional. Dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya setiap warga negara lebih

mengedepankan kepentingan bersama, dari pada kepentingan pribadi atau

kelompok. Akibat dari pemberontakan PKI ini, potensi bangsa dan negara

seharusnya dapat dicurahkan bagi kemajuan justru terkuras habis untuk

meredakan aksi pemberontakan PKI tersebut.

Pemberontakan PKI ini terjadi akibat keruhnya suasana politik pada

tanggal 21 Juli 1947. Di mana Belanda melancarkan agresi militernya yang

pertama dan diakhiri dengan adanya perjanjian Renville pada tanggal 6

Desember 1947. Menurut Nasution (1971: 3-4) dari sepuluh isi perjanjian

tersebut, dua di antaranya berisikan:

1. Pasukan RI yang mengadakan perjuangan di belakang garis pendudukan Belanda, harus ditarik mundur dan dilakukan sebaik-baiknya dalam waktu 21 hari.

2. Semua tentara yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak, harus segera mengosongkan daerah masing-masing dan pindah masuk ke daerahnya sendiri-sendiri dengan membawa semua senjata dan perlengkapan militer, dibawah pengawasan pembantu-pembantu militer komisi tiga negara.

Karena isi perjanjian Renville tersebut dianggap oleh partai Masyumi tidak

memuaskan dan cenderung merugikan masyarakat Indonesia, maka Masyumi

menolak usul-usul dari Belanda dan putusan perwakilan dari kabinet RI tersebut.

Penolakan ini kemudian disusul dengan pengunduran diri menteri-menteri

(23)

oleh Dewan Pimpinan Partai Masyumi pada tanggal 16 Januari 1948, sedangkan

penolakan PNI diputuskan dalam rapat plenonya tanggal 18 Januari 1948, bahwa

Dewan Partai menyetujui Dewan Pimpinan PNI dan para menteri anggota PNI

yang menolak persetujuan Renville. Karena banyaknya golongan yang

menentang kabinet Amir, maka pada tanggal 24 Januari 1948 Kabinet Amir jatuh

(Nasution, 1971: 15).

Sesudah Kabinet Amir jatuh, maka pada tanggal 26 Januari 1948

Mohammad Hatta ditunjuk untuk menyusun kabinet Presidentil, di mana Hatta

selaku Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan juga sebagai Wakil

Presiden. Amir tidak ikut dalam kabinet Hatta tersebut, melainkan jadi golongan

oposisi dalam kabinet Hatta. Ia mengatakan bahwa Kabinet Hatta adalah

Kabinet Masyumi, karena banyak orang Masyuminya dan tidak ada wakil

buruh, tani dan pemuda (Dimjati, 1951: 161).

Golongan oposisi mengadakan demonstrasi, menuntut kembalinya Amir

dalam kabinet dan sebagai Menteri Pertahanan. Demonstrasi ini membawa pula

poster-poster dan slogan-slogan yang isinya membela politik Amir dan

mengecam kabinet Hatta. Amir mengusulkan agar kabinet Hatta dibubarkan

dan dibentuk kabinet yang meliputi buruh, tani dan pemuda. Golongan oposisi mengadakan “adu domba”, sehingga dalam masyarakat timbul pertentangan yang menumbuhkan adanya dua aliran politik yang saling bertentangan.

Partai-partai dan organisasi politik oposisi tergabung dalam Front Demokrasi

Rakyat (FDR), sedangkan sebagian partai-partai dan organisasi pendukung

pemerintah bergabung dalam sebuah organisasi Gerakan Revolusi Rakyat (GRR)

(DISJAH, 1985: 79).

Ternyata tuntutan-tuntutan FDR tidak menunjukkan hasil yang

diharapkan, maka segera FDR mengadakan tuntutan berupa pendemokrasian

kabinet. Adanya tuntutan dari golongan oposisi yang menghendaki

pendemokrasian kabinet, dijawab oleh pemerintahan Hatta bahwa semua itu

(24)

resuffle kabinet. Tuntutan pendemokrasian kabinet semacam itu merupakan pola

gerakan komunis di mana-mana termasuk pula di Indonesia yang telah masuk

pengaruh Moskow. Karena pertentangan politik antara pemerintah dan golongan

komunis pada saat itu ternyata tidak hanya bertemakan anti Imperialis dan

Kolonialis dalam arti yang sempit, melainkan mempunyai latar belakang yang

cukup luas. Hal sama nampak dari nada oposisi FDR yang selalu menuntut

terbentuknya Kabinet Parlementer dan dihentikannya perundingan dengan

Belanda. Karena menurut perhitungan Moskow perundingan dengan Belanda

berarti semakin mendekatkan Indonesia pada lawan politik Moskow yaitu

Amerika Serikat (Rachmat Susatyo, 2008: 71).

4.1.1 Peran Uni Soviet

Pada peristiwa Madiun 1948, terlihat ada campur tangan pihak asing dalam

peristiwa tersebut. Pihak asing ini disinyalir berasal dari Uni Soviet, karena

Musso merupakan tokoh komunis yang cukup lama tinggal di Moskow dan telah

kembali ke Indonesia. Dapat di lihat pada saat suasana politik yang meruncing,

datang pula Suripno dari Praha pada tanggal 11 Agustus 1948 di Yogyakarta

beserta sekretarisnya bernama Suparto. Ternyata Suparto adalah Musso yang

selama hampir 23 tahun berada di luar negeri dan berdiam di Rusia. Kedatangan

Suripno tersebut karena dipanggil oleh pemerintah sehubungan dengan adanya

berita-berita yang mengatakan bahwa Suripto sebagai Duta Besar RI di Praha

telah mengadakan persetujuan dengan Duta Besar Rusia di Praha untuk

tukar-menukar Konsul antara RI dan Rusia (DISJAH, 1985: 81).

Sebelum datang ke Indonesia, pada bulan Maret 1948 Musso dan Suripno

telah mengadakan diskusi dengan Sekretaris Jendral Partai Komunis Belanda

yang bernama Paul De Groot di Praha Cekoslovakia. Dalam diskusi tersebut

ketiganya membahas mengenai strategi baru gerakan Indonesia. De Groot

menyarankan agar pergerakan Indonesia tetap kooperatif. Namun, kedua orang

Indonesia yaitu Musso dan Suripno tidak setuju dengan pendapat De Groot

(25)

jalan yang radikal. Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar kaum

komunis Indonesia dan ditandatangani oleh wakil Indonesia, Belanda dan

Cekoslavokia. Hasil diskusi yang berupa dokumen itu akhirnya dikirim ke

Moskow untuk mendapatkan persetujuan. Haluan baru inilah yang akhirnya

Musso dan Suripno bawa ke Indonesia, dengan haluan baru yang dipengaruhi “Garis Zhdanov” mereka berdua berharap dapat merubah perjuangan bangsa Indonesia (Rachmat Susatyo, 2008: 32).

Dengan haluan baru yaitu “Garis Zhdanov” dunia saat itu sedang terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan di antaranya kubu imperialisme dan

kubu anti-imperialisme. Mereka yang tidak sepaham dengan haluan baru yang

dibawa oleh Musso, maka akan dijadikan lawan dan harus disingkirkan dengan

cara apapun. Saat itu, Madiun dijadikan sebuah arena adu kekuatan dan

perebutan kekuasaan. Akibat dari adanya ketegangan ini banyak menimbulkan

korban jiwa dari masyarakat, aparat pemerintah dan ulama.

Pada bulan Mei 1948, Suripno berhasil membuka hubungan diplomatik

dengan Uni Soviet. Dengan keberhasilan Suripno membuka hubungan

diplomatik dengan Uni Soviet, menimbulkan adanya dorongan untuk Republik

Indonesia jauh ke kiri yaitu ke arah komunis. Musso menyempurnakan

rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia yang saat itu memakan waktu seminggu. Rumusan itu Ia sebut “Jalan Baru Republik Indonesia”. Jalan baru inilah yang akan merubah politik komunis Indonesia, disebut demikian

karena gagasan itu berbeda dengan gagasan yang pernah ada. Haluan ini

menegaskan, dunia telah terbagi menjadi dua blok yaitu blok kapitalis imperialis

yang digerakkan oleh Amerika Serikat dan blok anti-imperialis yang digerakan

oleh Uni Soviet. Sebenarnya inti dari doktrin Zhdanoz adalah kerja sama

dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras. Maksudnya yaitu Musso dalam rumusan “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” menyatakan “karena perjuangan Indonesia

(26)

Setelah sampai di Indonesia, Musso menemui dua sahabatnya yaitu

Maroeto Daroesman dan Setidjid untuk bertukar pikiran. Dalam pertemuan itu,

Musso menggunakan nama samarannya yaitu Suparto untuk mengelabui pihak

Belanda. Kebetulan kedua sahabatnya itu baru kembali dari Belanda bersama

rombongan Menteri Kehakiman Mr. Soewandi yang baru melakukan

perundingan dengan Belanda. Kedatangan Musso ke tanah air disambut baik oleh

Presiden Soekarno dan diharapkan dapat ikut serta dalam perjuangan

kemerdekaan bangsa Indonesia. Musso sendiri menjelaskan, bahwa

kedatangannya kembali ke Indonesia adalah untuk ikut bersama berjuang dan

menempatkan perjuangan bangsa Indonesia pada perjuangan yang tepat. Musso

pun mengadakan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan politik FDR dan

kemudian mengadakan pembaharuan politiknya. Dengan cepat Musso dapat

menarik simpati kaum komunis Indonesia, Musso kemudian memegang peranan

penting dalam menjadi penggerak yang melakukan politik baru pada gerakan

komunis Indonesia yang sesuai dengan pola-pola yang telah digariskan oleh

pimpinan komunis Moskow (DISJAH, 1985: 90).

Musso untuk pertama kali tampil di muka umum pada tanggal 20 Agustus

1948 dalam rapat yang diselenggarakan oleh FDR. Pada tanggal 22 Agustus

1948, Musso mengadakan rapat raksasa di Yogyakarta. Dalam rapat raksasa

tersebut dihadiri 50.000 orang, Musso menegaskan betapa pentingnya mengganti

kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional. Selain itu, Musso juga

menegaskan perlunya menjalin hubungan internasional untuk meratifikasikan

hubungan diplomatik secepat mungkin terutama dalam menjalin hubungan

dengan Uni Soviet. Dalam rapat tersebut Musso telah menyampaikan pidatonya

seperti yang dikutip Harian Revolusioner tanggal 23 Agustus 1948 dalam

Notosusanto, ia antara lain mengatakan :

(27)

segera diratifikasikan untuk mengimbangi tekanan Belanda dan Amerika terhadap Republik. Revolusi harus dipegang oleh golongan proletar dan bukan oleh golongan borjuis, karena kaum proletarlah yang paling revolusioner dan paling anti imperalis. Kesalahan ini harus segera diperbaiki. Tidak adanya Front Nasional merupakan sebab-sebab kelemahan perjuangan kita, karena itu harus segera dibentuk Front Nasional di mana rakyat dapat ikut serta tanpa terikat oleh keanggotaan suatu partai yang didukung dari bawah dan berakar dalam masyarakat. Kabinet yang sekarang sudah tidak sesuai, karena itu harus segera dibentuk kabinet baru “(Notosusanto, 1998: 21).

Pidato Musso tersebut, memperlihatkan bahwa pengaruh-pengaruh yang

telah disebarkan oleh pihak Uni Soviet berhasil mempengaruhi pola pikir politik

Musso saat itu. Musso yang anti imperialis sangat menginginkan Soekarno untuk

memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Belanda. Oleh

karena itu Musso berusaha membangkitkan rasa cinta tanah air dengan mengajak

kaum proletar yang tergabung dalam Front Nasional untuk membuat kabinet baru

yang berhubungan dengan Uni Soviet. Dalam pandangan Musso, Uni Soviet

lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat, karena Uni Soviet belum

pernah menjadi negara kolonial di luar negeri. Sebaliknya Inggris dan Perancis

adalah mantan negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat.

Kedatangan Musso di Indonesia mengakibatkan berubahnya jalur politik

partai-partai kiri, di mana pada ranggal 24 Agustus 1948 Politik Biro Central

Comite PKI mengeluarkan pula pernyataan sebagai koreksi kesalahan dalam

lapangan organisasi di waktu lampau. Musso mengusulkan supaya tiga partai

anggota FDR yaitu: PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia diadakan

fusi sehingga hanya ada satu partai saja, yaitu Partai Kelas Buruh dengan

memakai nama yang familiar, yaitu PKI. Pada rapat tanggal 25 Agustus 1948

kepada Musso diserahkan tugas untuk mengadakan analisa situasi politik di

(28)

30 Agustus Musso diangkat sebagai Ketua PKI untuk melaksanakan garis

barunya itu, di mana ia menekankan bahwa tentara harus di bawah pengaruh

Partai Komunis. Sehingga pada tangal 7 September 1948 FDR berfusi ke dalam

PKI.

Menurut Notosusanto (1998: 20), dengan datangnya Musso yang dinilai

cakap dalam memimpin PKI, maka Ia memberikan rancangan baru terhadap PKI yaitu “jalan baru” untuk Republik Indonesia. Maksud dari rangcangannya yaitu menegaskan bahwa dunia telah terpecah dua menjadi blok kapitalis-imperialis di

bawah pimpinan Amerika Serikat dan blok anti-imperialis di bawah pimpinan

Uni Soviet. Musso merumuskan karena perjuangan Indonesia anti-imperialis,

maka Indonesia harus berada dipihak Rusia. Pejuang-pejuang Indonesia yang

bersimpati pada PKI tetapi segan untuk memasuki partai tersebut, ditampung

dalam lembaga Indonesia di bawah naungan Uni Soviet. Oleh karena itu, Musso

menyatakan revolusi nasional Indonesia sudah menjadi bagian dari revolusi

proletar dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet.

PKI di bawah kendali Musso, tokoh-tokoh PKI mengadakan perjalanan

keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menggelorakan semangat

rakyat supaya berdiri di belakang PKI yang sedang menggalang Front

Nasional. Rombongan ini mulai berangkat dari Yogyakarta dengan diikuti

oleh beberapa tokoh-tokoh PKI diantara adalah Amir Sjariffudin, Alimin,

Wikana, Harjono, dan lain-lain. Menurut DISJAH (1985: 15-17) dalam

perjalanan kelilingnya terlihat adanya konspirasi Musso dalam pidato

mempropaganda masyarakat antara lain dengan mengatakan:

(29)

dengan Belanda atas desakan Amerika yang berarti bahwa pemerintah kita adalah pemerintahan neo kolonialisme. Sekarang tibalah saatnya bagi kita untuk berjuang seperti rakyat Athena dan Tiongkok. Andaikata umat Islam di Indonesia berjuang dengan keimanannya, mengapa mereka tidak menyatakan Perang Sabil saja? Kita berjuang terutama untuk menghancurkan kolonialis”.

Dari keterangan di atas, dapat diberitahukan bahwa Musso memiliki

ambisi yang cukup kuat untuk menjadikan Indonesia menjadi negara

komunis seperti Rusia, Uni Soviet yang dapat memimpin dunia di bawah

kendalinya. Walaupun tidak secara terangan-terangan, melainkan melalui

doktrin-doktrin yang dapat merubah pola pikir mereka dalam memahami

komunis. Karena Musso pernah tinggal di Moskow. Uni Soviet yang terkenal

basis komunisnya kuat maka dengan sendirinya paham tersebut akan menyebar

ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi

karena sebelum Stalin berkuasa, Lenin telah membentuk comintren

(communist international) sebagai lembaga komunis internasional untuk

menyebarkan paham komunisme ke seluruh penjuru dunia.

Ternyata Musso telah menganut ideologi Lenin, di mana lebih percaya

pada keunggulan politik di atas ekonomi. Musso berpikir bahwa tugas pemimpin

komunis serta kaum revolusioner profesional adalah menyerang dan

menghancurkan sistem sosial politik yang dalam keadaan lemah. Musso

yakin dengan kekuatan perlawanan yang relatif kecil tapi berdisiplin tinggi serta

terorganisasi secara baik, maka kekuasaan dapat direbut (Hartisekar, 1999: 43). Oleh karena itu, Musso percaya bahwa gagasan revolusi “Jalan Barunya” akan berhasil. Musso pun berani melancarkan aksi propagandanya karena telah

termakan doktri-doktrin yang diberikan oleh pihak Moskow, Uni Soviet.

Secara tidak langsung ideologi Musso pun telah terpengaruhi oleh adanya

doktrin tersebut. Tetapi kalkulasi politik mereka tidak didasari oleh

pemahaman yang baik tentang falsafah hidup bangsa Indonesia, yang sangat

(30)

Pihak Uni Soviet berhasil melakukan intervensi terhadap pemerintahan

Soekarno secara tidak langsung melalui peran Musso. Ideologi Uni Soviet

yang lebih percaya dengan keunggulan politik di atas ekonomi telah berhasil

mendoktrin Musso. Indonesia yang saat itu beranggapan ingin bebas dari

Belanda dan Amerika Serikat langsung dimanfaatkan oleh Uni Soviet. Sehingga

Uni Soviet secara tidak langsung telah berhasil mengintervensi Indonesia melalui

peranan Musso. Di mana ideologi Musso dengan mudah dipengaruhi oleh pihak

Uni Soviet yang ati Blok Barat.

Untuk menyebarkan gagasan revolusi “Jalan Barunya”, Musso bersama

-sama para pemimpin PKI pada bulan September 1948 melakukan perjalanan

keliling ke Solo, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo

untuk menjalankan aksi propagandanya. Pada tanggal 7 sampai dengan 8

September 1948 Musso, Amir, Alimin, Wikana, Harjono dan anggota PKI

lainnya yang sedang mengadakan perjalanan propagandanya keliling

daerah-daerah Surakarta turut datang dalam rapat umum di Madiun. Lalu pada

tanggal 10 dan 11 September 1948 tokoh-tokoh PKI tersebut meneruskan

perjalanan keliling propagandanya ke Kediri, tanggal 13 September ke Jombang,

tanggal 14 September ke Bojonegoro, tanggal 16 September ke Cepu dan pada

tanggal 17 September 1948 merencanakan berpidato di depan rapat umum di

Purwodadi. Tetapi rencana tersebut terpaksa dibatalkan. Karena berhubungan

dengan tiba-tiba Musso Cs mendengar berita perkembangan baru bahwa

Sumarono Cs akan mengadakan perebutan kekuasaan tanggal 18 September

1948. Oleh karena itu, Musso Cs bergegas menuju ke Madiun (DISJAH, 1985:

98).

Pada tanggal 18 September 1948 telah tersiar berita bahwa kaum komunis

di Madiun telah melakukan perebutan kekuasaan. Berita tentang terjadinya coup d’etat tersebut mula-mula disiarkan oleh Harian Murba di Surakarta, malahan jauh sebelumnya harian ini telah mensinyalir bahwa PKI akan segera

(31)

tidak mengadakan reaksi atas berita tersebut, rakyat masih ragu-ragu menerima

kebenaran berita itu. Barulah keragu-raguan rakyat lenyap ketika ada

pengumuman resmi dari pemerintah, yang mengumumkan bahwa di kota Madiun

oleh dan di bawah pimpinan PKI dengan memakai tenaga salah satu kesatuan

brigade TNI di Jawa Timur telah melakukan penyerangan atas alat-alat

kekuasaan negara dan penggantian pemerintah daerah secara tidak sah.

Sebenarnya bagian intelijen dari Divisi Siliwangi sebelum peristiwa

Madiun terjadi telah mendapat keterangan tentang adanya gerakan yang

bersifat melawan pemerintah. Bahkan Amir Sjarifuddin pernah pula

membujuk seorang Kapten dari Divisi Siliwangi yang secara pribadi dekat

dengannya agar menarik Panglima Divisi Siliwangi yaitu Nasution untuk

bekerjasama dengan PKI guna menyelamatkan perjuangan. Adapun

kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan tersebut

antara lain seperti kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo). Pasukan

Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan Letkol

Dahlan yang waktu itu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono. Juga dari

sebagian Divisi Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan

Letkol Sujoto (DISJAH, 1985: 101).

Selama tanggal 18-25 September 1948 pasukan PKI Musso dapat

menduduki Kabupaten Sukoharjo, yang dipimpin oleh Mayor Digdo, Letkol

Iskandar dan Letkol Jadau sebagai bezeting komandannya ialah Suwitojo. Pada

tanggal 23 September 1948 PKI Musso telah mengadakan pemecatan

kepala-kepala desa dan mengadakan pemeriksaan uang kas, berpuluh-puluh ton minyak

dan bahan makanan telah diangkat ke jurusan Timur, juga uang sebanyak Rp

336.304,01 dari suatu jawatan dapat dirampas dan dibawa lari (Nasution, 1971:

135). Pasukan komunis tidak lama menduduki daerah-daeah tersebut , karena tak

lama kemudian pasukan TNI telah dapat merebut kembali daerah-daerah yang

diduduki. Selama PKI berkuasa di daerah-daerah tersebut. PKI telah melakukan

(32)

Di daerah-daerah Madiun, Ngawi, Ponorogo, Purwodadi dan lain-lain, PKI

juga melakukan penangkapan dan pembunuhan kejam, dari kalangan agama

maupun pengikut TNI banyak yang dibunuh. Kepada rakyat di daerah-daerah

PKI menyiarkan berita bohong, dikatakan bahwa yang ditahan adalah Belanda.

Sehingga pemuda yang tidak tahu-menahu duduk persoalannya, telah ikut

terseret dan membantu kaum pemberontak. Oleh karena itu pemuda-pemuda

yang tergabung dengan PKI Musso kalau berhadapan dengan pasukan-pasukan

TNI tidak langsung menyerang, tetapi mengajukan pertanyaan terlebih dahulu: “Pundi Landane Mas?” (“Mana Belandanya Bung?”) (Nasution, 1966: 136). Jelaslah banyak pemuda-pemuda dan rakyat setempat yang sebenarnya tidak

mengetahui untuk apa dan untuk siapa mereka mempertaruhkan jiwanya. PKI

Musso telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya.

Tindakan yang penuh tipu muslihat dan pembunuhan keji telah menimbulkan

kebencian dan amarah rakyat, sehingga hilanglah simpati rakyat terhadap PKI.

Ketika terdengar berita di Madiun terjadi perebutan kekuasaan yang

dilakukan oleh PKI Musso, maka dengan segera pemerintah mengadakan Sidang

Kabinet Lengkap pada tanggal 19 September 1948 yang diketuai oleh Presiden

Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain, bahwa

Peristiwa Madiun yang digerakkan oleh FDR adalah suatu pemberontakan

terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-alat Negara dan

Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara. Memberikan kuasa

penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan

keamanan dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah

lainnya.

Dalam keadaan yang rumit tersebut, pihak Belanda mencoba

mengambil kesempatan untuk menjajah Indonesia lagi yaitu dengan cara

berpura-pura memberikan bantuan untuk melumpuhkan pemberontakan PKI

Musso. Dengan adanya berita tentang terjadinya pemberontakan PKI di

(33)

kepada pers bahwa Pemerintah Belanda bersedia dan sanggup membantu

Republik untuk menindas pemberontakan PKI (Hartisekar, 1999: 84). Tetapi oleh

Hatta dikatakan, bahwa pemerintah RI tidak mengijinkan campur tangan dari

pihak asing dalam urusan yang terjadi dalam daerah Republik. Tentang

pemberontakan Madiun dikatakannya, bahwa itu adalah urusan dalam negeri

dan akan diselesaikan oleh Angkatan Perang RI sendiri. Sudah jelas bahwa

Hatta benar-benar telah mengetahui siasat busuk Belanda dengan cara

mencari simpatik pemerintah Indonesia. Dengan sikap tegas Hatta langsung

menolak bantuan yang mengharapkan imbalan tersebut.

Setelah presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk

segera mengembalikan keamanan dengan segera diadakan penangkapan

terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan diadakan

penggerebegan tempat-tempat yang dianggap perlu. Supaya dapat

melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan Perang segera

menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI Jawa Timur

sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas menggerakkan

pasukan dari arah timur. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel Sungkono

segera memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju Madiun untuk

mengamankan dari segala bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.

Dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) terhadap PKI Musso, ikut serta

Mobil Brigade Jawa Timur dan Mobil Brigade Jawa Tengah. Pada tanggal 19

September 1948 malam, satu Batalyon Mobil Brigade yang terdiri dari dua

Kompi Gabungan Basuki – Malang yang dipimpin oleh Pembantu Inspektur

Polisi II Imam Bachri telah diperintahkan ikut menumpas pemberontakan

tersebut (Hartisekar, 1999: 81).

Gerakan Operasi Militer (GOM) yang dilancarkan oleh pasukan yang

taat kepada pemerintah RI berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun

dapat dikuasai kembali, tepatnya tanggal 30 September 1948 pada pukul

(34)

memerintahkan Angkatan Perang supaya terus melakukan pengejaran

terhadap pasukan pemberontak yang bersarang di Purwodadi, Pacitan dan

Ponorogo. Juru Bicara Menteri Pertahanan dalam pengumumannya

menyatakan, bahwa Musso melarikan diri ke Dungus, sebelah selatan Madiun.

Komandan Pasukan Pemberontak mengirim surat kepada Letkol Kretarto untuk

mengadakan perundingan, akan tetapi pemerintah tidak mau mengadakan

hubungan dengan kaum pemberontak (DISJAH, 1985: 137).

Jatuhnya Madiun bukan berarti berakhirnya petualangan pasukan

pemberontak, karena mereka masih dapat meloloskan diri. Mereka melarikan

diri dengan merencanakan perang gerilya. Selama mereka melarikan diri

masih pula melakukan pembunuhan atau perampasan dan pembakaran harta

benda di tempat-tempat yang mereka lalui. Sementara itu pasukan

pemberontak yang melarikan diri dari Madiun terus dikejar oleh pasukan TNI,

mereka melarikan diri ke Kandangan. Dalam pengunduran diri dari Madiun

pimpinan pasukan dipegang oleh Amir, bukan oleh Musso. Kandangan

merupakan daerah basis gerilya mereka. Tetapi sebelum pasukan pemberontak

sampai di tempat tujuan, daerah tersebut telah dapat dikuasai oleh Batalyon

yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin dari Divisi Sungkono. Pasukan Amir

diserang dan mengundurkan diri di daerah Gunung Wilis.

Sementara itu, Musso dengan beberapa orang pengawalnya menuju ke

pegunungan Selatan Ponorogo. Induk pasukan Amir adalah yang paling kuat

persenjataannya, juga pengiringnya paling lengkap, seperti Djoko Sujono,

Abdulmutallib, Batalyon Abdul Rachman, Marotu Darusman, Suripno,

Sumarsono dan lain-lain pemimpin besar PKI. Alimin tidak ikut, karena

sewaktu timbul pemberontakan Ia berada di Surakarta bersama pasukan PKI

di Wonogiri. Pengejaran terhadap kaum pemberontakan terus dijalankan.

Pasukan Amir yang terpukul di Purwantoro lalu meneruskan perjalanan ke

Utara mendaki lereng Gunung Lawu melalui desa Jeruk, Ngrete, Watasono

(35)

2000 orang yang bersenjata lengkap, di antaranya ikut berpuluh-puluh

perempuan, anak-anak dan ibu-ibu dari keluarga pemimpin pemberontak yang

ikut lari meninggalkan Madiun dengan membawa harta benda yang tidak

sedikit. Mereka berjalan kaki dan sebagian naik kuda (Dimjati, 1951: 197).

Para pemuda dan tentara merah ikut mengawal dari lambung kanan,

lambung kiri, dari muka dan belakang. Berangsur-angsur perbekalan mereka

makin habis dan banyak yang menderita sakit karena tidak sanggup lagi

mengikuti perjalanan yang beratus-ratus kilometer. Di Kebang mereka

mendapat serbuan dari pasukan TNI, sehingga rombongan sipil yang

dipimpin oleh Abdulmutallib terpisah dari induk pasukannya. Mereka

terpaksa mengambil jalan sendiri. Ketika Abdulmutallib bersama sekretarisnya,

Nona Sriatin (dari Pesindo) masuk ke Girimarto, mereka dikenali oleh penduduk

setempat, kemudian ditangkap. Pada tanggal 15 Oktober 1948 Abdulmutallib

menjalani hukuman mati. Sebelum ditembak terlebih dahulu berwasiat

mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya yang ditinggal di Madiun

(Dimjati, 1951: 198).

Ketika pasukan Amir terus bergerak ke Purwodadi melalui

Tawangmangu untuk bertemu dengan pasukan Sujoto yang kabarnya masih

kuat dan menduduki daerah Purwodadi. Sesampainya di Tawangmangu

mereka mendapat serangan, sebagian lagi kembali ke Selatan. Dari

Tawangmangu induk pasukan Amir meneruskan perjalanan ke Sarangan.

Tidak ada penjagaan pasukan TNI, sehingga mereka sempat beristirahat selama

dua hari. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Utara sampai di Ngrambe

dan Walikukun, di sana sempat pula beristirahat. Ketika pasukan yang

dipimpin Amir melintasi jalan raya Solo-Madiun, kebetulan ada rombongan

mobil dari Yogyakarta menuju Madiun. Kemudian rombongan mobil dari

Yogyakarta itu disergap dan penumpangnya dibunuh oleh pasukan Amir.

Sedangkan Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak

(36)

Kapten Sunandar sewaktu melakukan patroli. Musso yang menyamar

sebagai kusir dan dikawal oleh dua orang kepercayaannya, lalu bertemu

dengan pasukan Brigade S terjadi tembak menembak. Musso lari ke sebuah

rumah penduduk desa, dengan menggunakan dua buah pistol vikers ia bertahan

di rumah tersebut dan membalas tembakan dari balik pintu dan jendela.

Walaupun ketika itu Ia terkepung, Ia tidak mau menyerah. Seruan dari pihak

TNI supaya menyerah tidak diindahkan oleh pasukan Musso. Waktu itu

patroli TNI yang mengepung belum tahu bahwa orang tersebut sebenarnya

adalah Musso, disangka tentara komunis biasa saja (Dimjati, 1951: 192).

Akhirnya setelah diadakan tembakan gencar dari luar rumah, Musso tertembak

dan tak lama kemudian meninggal. Mayat Musso kemudian dipotret,

diperlihatkan kepada pegawai-pegawai pemerintah yang dipanggil dari

Madiun. Sesudah dipastikan mayat tersebut adalah mayat Musso, kemudian

dikubur di salah satu tempat yang dirahasiakan. Sedangkan induk pasukan

Amir telah sampai di Ngawi terus mengadakan perjalanan ke Utara

menjelajahi hutan jati dan akhirnya melintasi Bengawan Solo menuju ke Cepu.

Pada tanggal 20 November 1948 pasukan Amir menuju Tambakromo,

sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati. Pasukan Amir terdiri dari kurang

lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka. Keadaan pasukan Amir

sangat menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin melarikan diri, tetapi

rakyat selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat pemberontak

diketemukan karena sakit atau kelaparan. Pasukan Amir dan Djokosujono

yang dikejar TNI dari Getas terus ke Utara menuju Ngasinan yang berada

diantara jalan Wirosari Blora. Kemudian mereka diserang oleh pasukan TNI

dari Wirosari dan Blora, mereka melarikan diri masuk hutan-hutan menuju

Gratil. Pasukan mereka yang terdepan sudah sampai di Tanduan, tetapi di

tempat tersebut mendapat serangan pasukan TNI dari arah Timur, terpaksa

Referensi

Dokumen terkait

Fanani (2009) juga menemukan hal yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Copeland dan Galai, yaitu kualitas pelaporan keuangan berpengaruh negatif dan

Di sisi lain, ada beberapa kelemahan dalam penerapan pertanian organik di antaranya adalah pengelolaan yang cukup rumit, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

Hal serupa juga didapati pada penelitian ini dimana ikan M.praecox pada kisaran pH 4-5 memiliki jumlah skor warna yang relatif lebih besar dibandingkan perlakuan lain.. Hal

Pada bulan Juli 2013 kelompok komoditi yang memberikan andil/sumbangan inflasi adalah kelompok bahan makanan sebesar 1,57 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan

Hasil penelitian ini dimana variabel pertumbuhan penjualan tidak berpengaruh terhadap struktur modal menunjukkan bahwa perusahaan makanan dan minuman di Indonesia dalam

pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,

Tabel 4.8 : Koefisien korelasi, Signifikan, dan Kontribusi Tipe Kepribadian terhadap Tipe Gaya

orang yang bertemu dengan seseorang kaunselor itru dengan