PERANAN INTERVENSI ASING DALAM
PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Sejarah
Oleh:
Endah Sulistyawati 0800970
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Halaman Hak Cipta
PERANAN INTERVENSI ASING
DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO
1945-1966
Oleh
Endah Sulistyawati
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
© Endah Sulistyawati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
LEMBAR PENGESAHAN
PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966
Oleh:
Endah Sulistyawati 0800970
Disetujui Dan Disahkan Oleh:
Pembimbing I
Drs. Andi Suwirta, M.Hum NIP. 196210091990011001
Pembimbing II
Farida Sarimaya, S.Pd M.Si NIP.197106042005012001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan
Soekarno 1945-1966”. Intervensi asing merupakan suatu upaya atau usaha
yang dilakukan oleh pihak asing seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan RRC dalam menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno merupakan lahan subur bagi berbagai kepentingan bangsa asing. Banyak terjadi pemberontakan diberbagai wilayah Indonesia yang diberi bantuan oleh pihak asing. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai bagaimana keterlibatan Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris dan RRC terhadap jatuhnya pemerintahan Soekarno 1945-1966. Untuk lebih jelasnya penulis membuat petanyaan-pertanyaan penelitian yaitu (1) Apa yang melatar belakangi terjadinya intervensi asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya pada peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (2) Bagaimana peranan dan bentuk kronologis terjdainya intervensi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya dalam peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (3) Apakah dampak yang ditimbulkan dari adanya keterlibatan pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno serta masyarakat Indonesia tahun 1945-1966?
Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode historis dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut: (1) Memilih topik yang sesuai dengan keinginan, (2) Mengusut semua bukti yang relevan dengan topik. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang sesuai dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno dengan menggunakan studi literatur, (3) Membuat catatan mengenai apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang sedang diteliti oleh penulis, (4) Mengevaluasi secara kritis (kritik sumber) semua sumber data-data yang diperoleh selama penelitian yang relevan dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno, (5) Menyiapkan hasil-hasil penelitian ke dalam sebuah rancangan sistematika tertulis yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI 2012, dan (6) Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dari pembaca sehingga dapat dimengerti. Sedangkan untuk teknik penelitiannya yaitu penulis melakukan studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis.
ABSTRACT
This research discuss about the foreign power that must be faced by the Republic of Indonesia at the beginning of independence. The main problem in
this research is about how the foreign partial to involve in the Soekarno’s
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMAKASIH ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Metode Penelitian ... 7
1.6 Sistematika Penulisan ... 8
BAB II. LANDASAN TEORITIS 2.1 Teori Konspirasi ... 11
2.2 Konsep Intervensi ... 13
2.3 Konsep Kepentingan Nasional Dengan Asing ... 15
2.5 Teori Konflik ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian ... 25
3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian ... 25
3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 27
3.1.3 Konsultasi ... 27
3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 28
3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 28
3.2.2 Kritik Sumber ... 30
3.2.2.1 Kritik Eksternal ... 30
3.2.2.2 Kritik Internal ... 31
3.2.3 Interpretasi ... 31
3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner ... 32
3.3 Laporan Penelitian ... 34
BAB IV.KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA PEMERINTAHAN SOEKARNO 4.1 Peristiwa Madiun 1948 ... 37
4.1.1 Peran Uni Soviet ... 39
4.1.2 Dampak Yang Terjadi ... 54
4.2 Peristiwa PRRI/Permesta 1958 ... 56
4.2.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 59
4.2.2 Dampak Yang Terjadi ... 73
4.3 Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI ... 74
4.3.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 77
4.3.2 Peran Republik Rakyat Cina (RRC) ... 83
4.3.3 Dampak Yang Terjadi ... 86
4.4 Akhir Dari Pemerintahan Soekarno ... 87
4.4.1 Keadaan Sosial Politik Pasca Intervensi Asing ... 89
4.4.2 Peristiwa Penting Pasca Intervensi Asing ... 92
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 103
5.2 Rekomendasi ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam
melakukan penyidikan suatu displin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang
diteliti (Sjamsuddin, 2007 : 13). Metode penelitian yang penulis gunakan dalam
mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi yang diangkat, yaitu
Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 adalah metode
historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau (Gosttchlak, 2008 : 39). Di dalamnya
termasuk metode menggali sumber, memberikan penilaian, mengartikan, serta
menafsirkan fakta-fakta masa lampau untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik
sebuah kesimpulan mengenai peristiwa tersebut. Kemudian disajikan dalam bentuk
tertulis, maksudnya yaitu dalam penelitian ini adalah dalam bentuk skripsi.
Sedangkan teknik penelitian yang penulis gunakan adalah teknik studi literatur.
Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku serta
sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Hal
tersebut dilakukan untuk mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan penulis kaji yang sebelumnya telah dirumuskan kedalam
beberapa rumusan masalah.
Menurut Sjamsuddin (2007 : 85-239), langkah-langkah dalam metode historis
terdiri atas:
1. Heuristik, atau dalam bahasa Jerman Quellenkunde sedangkan dalam bahasa
Yunani disebut Heurishein yang berarti memperoleh. Heuristik merupakan suatu
kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi
sejarah atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dikaji oleh peneliti (Sjamsuddin, 2007 : 86). Oleh karena itu, heuristik tidak
suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan merinci bibliografi atau
mengklarifikasi dan merawat catatan-catatan. Sumber yang dicari dan
dikumpulkan adalah sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti
mengenai Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966.
Secara sederhana, sumber-sumber sejarah itu dapat berupa sumber benda, sumber
tertulis dan sumber lisan. Secara lebih luas lagi, sumber sejarah juga dapat
dibeda-bedakan ke dalam sumber resmi formal dan informal. Selain itu, dapat
diklasifikasikan dalam sumber primer dan sekunder. Pada tahap ini, penulis
mengumpulkan fakta dan data tentang Peranan Intervensi Asing Dalam
Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sumber penulis peroleh melalui studi
literature yang dilakukan oleh penulis.
2. Kritik, yaitu tugas untuk menemukan keontentikan sumber-sumber yang telah
didapatkan oleh peneliti. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 131) seorang
sejarawan tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada
sumber-sumber yang diperoleh. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal
dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang sesuai dengan permasalahan
penelitian. Sehingga dari penejelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak
semua sumber yang ditemukan dalam tahap heuristik dapat menjadi sumber yang
digunakan oleh peneliti, melainkan harus disaring dan dikritisi terlebih dahulu
keotentikan sumber tersebut. Menurut Ismaun (2005 : 48) bahwa dalam tahap
inilah timbul kesulitan yang sangat besar dalam penelitian sejarah, karena
kebenaran sejarah itu sendiri tidak dapat didekati secara langsung dan karena sifat
sumber sejarah juga tidak lengkap serta kesulitan menemukan sumber-sumber
yang diperlukan dan dapat dipercaya. Sehingga peneliti mendapatkan
sumber-sumber yang dapat dipercaya, relevan dan otentik. Untuk itu peneliti harus
melakukan kritik eksternal dan kritik internal terhadap sumber-sumber tersebut.
Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang
Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Dalam
tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:
a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas sumber sejarah.
Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya, baik menurut
isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber otentik bias juga
salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik isinya tidak boleh
dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi jaminan untuk dapat
dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber,
umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau
atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan masih utuh seluruhnya atau
sudah berubah.
b. Kritik intern atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber
dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab dan
moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam
sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji
kredibilitas sumber diadakan penilain instrinsik terhadap sumber dengan
mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti fakta-fakta sejarah
melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap
evidensi-evidensi dalam sumber.
3. Interpretasi, yaitu sebagai usaha memahami dan mencari hubungan antar fakta
sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Satu peristiwa
dihubungkan dengan peristiwa lain. Sehingga dapat menciptakan keselarasan
penafsiran yang berhubungan dengan pembahasan yang dikaji tentang Peranan
Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966.
4. Historiografi, yaitu proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk skripsi, sehingga
dihasilkan suatu tulisan yang logis dan sistematis, dengan demikian akan
Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 156) historiografi adalah usaha
mensintesiskan seluruh hasil penelitian atau penemuan yang berupa data-data dan
fakta-fakta sejarah menjadi suatu penulisan yang utuh, baik itu berupa karya
besar ataupun hanya berupa makalah kecil. Dalam hal ini penulis berusaha
mengajukan sebuah bentuk laporan penelitian penulisan sejarah yang berjudul
Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 sehingga
menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh.
Selanjutnya, langkah-langkah penelitian tersebut penulis bagi ke dalam tiga
bagian pembahasan, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan
penelitian.
3.1 Persiapan Penelitian
Tahap persiapan penelitian merupakan titik awal dalam suatu tahapan
penelitian yang harus dipersiapkan dengan matang dan sebaik mungkin. Dalam
tahap ini dilakukan dengan beberapa langkah yaitu tahap penentuan dan
pengajuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian serta bimbingan.
3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian
Penentuan dan pengajuan topik penelitian merupakan kegiatan yang
penting dan harus pertama kali dalam penulisan karya ilmiah. Awal
ketertarikan penulis untuk mengkaji masalah Intervensi Asing Dalam
Pemerintahan Indonesia bermula dari sebuah diskusi antar sahabat, setelah
mengikuti mata kuliah Sejarah Revolusi dan Sejarah Indonesia pada masa
Demokrasi Liberal dan Terpimpin. Dalam diskusi tersebut kami membahas
mengenai keruntuhan Soekarno yang disebabkan oleh kebobrokan yang berasal
dari dalam pemerintahannya serta banyaknya pemberontakan yang terjadi di
Indonesia yang pada akhirnya meruntuhkan pemerintahan Soekarno. Ketika
peneliti sedang mencari-cari judul untuk menulis sebuah skripsi, ada seorang
dalam keruntuhan pemerintahan Soekarno. Lalu saya berpikir keruntuhan
yang terjadi itu apa murni dari pihak Indonesia sendiri atau ada intervensi
asing dari pihak luar negeri? Berangkat dari rasa penasaran itulah penulis
mulai tertarik untuk mencari tahu mengenai Intervensi asing dalam
meruntuhkan pemerintahan Soekarno.
Dari hasil diskusi itulah penulis kemudian merasa tertarik untuk mengkaji
lebih dalam lagi masalah peranan intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno
pada tahun 1945-1966. Pertanyaan awal penulis adalah konspirasi apa saja yang
telah dilakukan oleh pihak asing untuk melemahkan pemerintahan Soekarno?
Bahkan sampai mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Dari ide tersebut kemudian penulis mulai mencari dan membaca berbagai
literatur mengenai sejarah Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan
intervensi asing di Indonesia. Dari hasil pencarian akhirnya penulis
menemukan beberapa literatur yang membahas secara khusus mengenai
intervensi asing di Indonesia.
Setelah penulis merasa yakin untuk menulis permasalahan peranan
intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sebelum diajukan ke
Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS), penulis terlebih dahulu
mengkonsultasikan judul dengan Ketua TPPS yaitu Bapak Drs. H. Ayi Budi
Santosa, M.SI untuk menanyakan apakah judul tersebut sudah ada yang
meneliti atau belum. Setelah mengetahui judul tersebut belum ada yang
menelitinya, maka saya segera mengajukan judul tersebut kepada TPPS.
Pengajuan judul skripsi ke TPPS dilakukan pada awal Februari 2012, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan proposal penelitian. Adapun isi
dari proposal tersebut antara lain:
a. Judul
b. Latar Belakang Masalah
c. Rumusan Masalah
e. Manfaat Penelitian
f. Tinjauan Pustaka
g. Metode Penelitian
h. Sistematika Penulisan
i. Daftar Pustaka
3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan rancangan awal dalam suatu penelitian
yang disusun sejak peneliti melakukan penelitian. Seperti yang telah
dijelaskan, pengajuan judul ke TPPS dilakukan, kemudian penulis menyusun
proposal penelitian yang kemudian dikonsultasikan dengan TPPS. Hal ini
dilakukan agar proposal yang diajukan oleh penulis dapat dikritisi dan dilihat
kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah. Setelah proposal
disetujui oleh TPPS, penulis akhirnya diizinkan untuk melakukan seminar
proposal skripsi yang dilakukan pada tanggal 22 Juni 2012 di Labolatorium
Jurusan Pendidikan Sejarah, lantai 4 Gedung FPIPS Baru, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hasil dari seminar proposal skripsi tersebut di antaranya adalah perubahan
terhadap judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan
penelitian yang menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan judul baru yang
penulis teliti, yaitu Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno
1945-1966. Perubahan tersebut harus dilakukan agar memudahkan penulis
dalam penulisan skripsi ke depannya.
3.1.3 Konsultasi
Konsultasi merupakan proses bimbingan dalam penulisan skripsi yang
dilaksanakan dengan dua orang dosen pembimbing yang memiliki kompetensi
sesuai dengan tema permasalahan yang penulis kaji. Dalam hal ini, kompetensi
yang dimiliki oleh kedua dosen pembimbing itu adalah kajian dalam sejarah
Indonesia. Berdasarkan surat penunjukkan pembimbing skripsi yang telah
penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum
sebagai pembimbing I dan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si sebagai pembimbing
II. Konsultasi merupakan proses yang harus dilakukan oleh penulis guna
mendapatkan masukan-masukan yang sangat membantu dalam rangka
penyelesaian skripsi ini.
Konsultasi dilakukan oleh penulis dengan dosen pembimbing setelah
sebelumnya menghubungi masing-masing dosen pembimbing dan kemudian
membuat jadwal pertemuan. Pertama kali penulis melakukan bimbingan dengan
Dosen Pembimbing I yaitu Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum pada tanggal 3
Agustus 2012 dan dengan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si selaku Dosen
Pembimbing II pada tanggal 31 Juli 2012. Proses bimbingan ini memfasilitasi
penulis untuk berdiskusi dengan Pembimbing I dan Pembimbing II mengenai
permasalahan yang dihadapi selama penelitian ini dilakukan. Manfaat yang
dirasakan bagi penulis selama proses bimbingan adalah mengetahui kelemahan
dan kekurangan dalam penelitian skripsi ini sehingga dapat diarahkan untuk
konsisten terhadap fokus kajian.
3.2 Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini pelaksanaan penelitian merupakan tahapan selanjutnya setelah
peneliti merancang dan mempersiapkan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini,
peneliti melakukan empat tahap penelitian yaitu sebagai berikut:
3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka
mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 64) heuristik adalah suatu kegiatan
mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah, atau
evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh
peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan berbagai
sekunder. Sumber-sumber yang penulis kumpulkan merupakan sumber tulisan
yang berkaitan dengan pemerintahan Soekarno serta intervensi asing di
dalamnya.
Sejalan dengan teknik penelitian yang penulis gunakan yaitu dengan
menggunakan teknik studi literatur, maka sumber yang penulis gunakan adalah
sumber tulisan. Sumber-sumber tersebut kebanyakan berupa buku. Dalam proses
pencarian dan pengumpulan sumber, penulis juga melakukan kunjungan ke
beberapa perpustakaan, antara lain:
a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada bulan April 2012.
Di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang ditulis oleh Drs. Asvi
Warman Adam (2009), Antonie C.A. Dake (2005), Victor Miroslav Fic
(2005), Marwidjojo (1999), Peter Dale Scott (2007) dan Hastra Mitra (2008).
b. Perpustakaan Asia-Afrika (KAA) pada bulan Juli 2012. Di perpustakaan ini,
peneliti menemukan literatur yang relevan dengan bahan kajian penulisan
skripsi. Beberapa buku di antaranya yang dibuat oleh Tim Weiner (2008),
Sudarso (2010) dan Audrey dan George Kahin (1997).
c. Perpustakaan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,
Bandung pada bulan Agustus 2012. Di perpustakaan ini, peneliti menemukan
berbagai sumber buku yang relevan dengan bahan kajian peneliti. Buku ditulis
oleh Drs. Makmum Salim (1971), Tim Lembaga Analisis Informasi (2007),
Baskara T. Wardaya SJ (2008) dan karya Drs. Nugroho Notosusanto (1998).
d. Perpustakaan Cisral UNPAD pada bulan September 2012. Di perpustakaan
ini, peneliti menemukan beberapa sumber buku yang relevan dengan bahan
kajian peneliti. Di antaranya kedua buku ini karya R.Z. Leirissa tahun 1985
dan 1991.
Selain dari perpustakaan penulis juga menggunakan buku-buku koleksi
penulis sumber rujukan dalam penulisan skripsi ini, antara lain buku pertama
berjudul Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai
Orang-orang Di Balik Tragedi karya Asvi Warman Adam (2009). Buku ketiga yang
berjudul Komunisme Dan Kegiatannya Di Indonesia yang ditulis oleh Dinas
Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1985). Dan buku yang
keempat berjudul Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Reformasi karya
Dra. Markonina Hartisekar dan Drs Akrin Isjani Abadi (1999).
3.2.2 Kritik Sumber
Setelah upaya pencarian dan pengumpulan sumber dilakukan, penulis
selanjutnya melakukan langkah berikutnya yaitu kritik terhadap sumber-sumber
sejarah yang digunakan sebagai bahan penulisan skripsi ini. Kritik sumber
sangat penting dilakukan karena sangat erat hubungannya dengan dengan
tujuan sejarawan mencari kebenaran. Tugas untuk menemukan keontentikan
sumber-sumber yang telah didapatkan oleh peneliti. Semua sumber dipilih
melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang susuai
dengan permasalahan penelitian. Fungsi kritik sumber berdasarkan Helius
Sjamsuddin (2007 : 105) menyatakan bahwa fungsi kritik sumber bagi sejarawan
erat kaitannya untuk mencari kebenaran. Pada tahap ini sejarawan dihadapkan
pada benar dan salah, kemungkinan dan keraguan. Fungsi dari proses ini adalah
untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu relevan atau tidak
dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Kritik terhadap sumber ini
dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
3.2.2.1 Kritik Eksternal
Kritik eksternal merupakan upaya melakukan verifikasi atau pengujian
terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Kritik eksternal dilakukan untuk
menilai kelayakan sumber-sumber sejarah dijadikan bahan penunjang dalam
penulisan skripsi ini dari aspek luarnya sebelum melihat isi dari sumber tersebut.
Kritik eksternal juga dilakukan untuk meminimalisasi subjektivitas dari berbagai
sumber yang penulis dapatkan.
Dalam kritik eksternal penulis melakukan perlakuan yang berbeda terhadap
terbit buku tersebut, kritik juga dilakukan terhadap jenis kertas yang digunakan
apakah buram atau putih bersih, serta melihat cover dari dari buku tersebut
apakah asli atau fotocopian.
3.2.2.2 Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal
merupakan penilaian terhadap aspek dalam, yaitu isi dari sumber sejarah setelah
sebelumnya disaring melalui kritik eksternal. Dalam melakukan kritik internal
penulis melakukan perbandingan isi buku yang penulis jadikan sebagai sumber.
Hasil dari kritik eksternal dan internal menurut penulis merupakan data
yang valid. Kemudian data-data inilah yang akan penulis jadikan sebagai bahan
untuk penulisan skripsi.
3.2.3 Interpretasi
Interpretasi merupakan penafsiran terhadap fakta-fakta yang penulis
dapatkan dari sumber-sumber sehingga nantinya tercipta suatu penafsiran yang
relevan dengan permasalahan yang penulis kaji. Interpretasi perlu dilakukan
agar data-data atau fakta-fakta yang telah penulis kumpulkan sebelumnya dapat
digunakan sebagai bahan dari penulisan skripsi. Sjamsuddin (2007: 158-159)
menjelaskan disadari atau tidak para sejarawan berpegang pada pada salah satu
atau kombinasi beberapa filsafat sejarah tertentu yang menjadi dasar
penafsirannya.
Dalam melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis
temukan, penulis menggunakan pemikiran deterministik. Filsafat sejarah
determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia
dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia
semacam robot yang kekuatannya ditentukan oleh kekuatan yang berasal dari
luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia
fisik seperti faktor geografis, faktor etnologi, faktor dalam lingkungan budaya
manusia seperti sistem ekonomi dan sosial (Romein dan Lucey dalam
semua peristiwa yang dibahas dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh faktor dari
luar individu manusia, yaitu kondisi sosial dan politik yang menyebabkan
manusia mengambil kebijakan dan keputusan sejarah.
Diantara bentuk-bentuk penafsiran deterministik, penulis memilih untuk
menggunakan penafsiran sintesis. Sjamsuddin (2007: 170) menjelaskan bahwa
dalam penafsiran sintesis tidak ada sebab tunggal dalam suatu peristiwa dalam
sejarah. Perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh beberapa faktor dan
tenaga secara bersamaan dan menjadikan manusia sebagai pemeran utamanya.
Pemilihan penafsiran sintesis dilakukan karena peristiwa melemahnya
pemerintahan Soekarno akibat intervensi asing tahun 1945-1966 tidak terlepas
dari faktor-faktor pendorong seperti terjadinya provokasi yang dilancarkan oleh
pihak asing seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat serta adanya usaha kudeta
yang dilakukan oleh pihak kiri yaitu PKI pada tahun 1965.
3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner
Dalam melakukan interpretasi, penulis menggunakan pendekatan
interdisipliner. Pendekatan ini merupakan pendekatan dalam ilmu sejarah dengan
menggunakan bantuan dari berbagai disiplin ilmu yang serumpun (ilmu-ilmu
sosial). Oleh karena itu, dalam hal ini penggunaan ilmu sejarah tetap menjadi
prioritas, namun untuk mempertajam hasil analisis penulis menggunakan ilmu
bantu dari disiplin ilmu yang serumpun. Dalam pendekatan interdisipliner ini,
penulis menggunakan ilmu bantu berupa ilmu politik dan sosiologi. Ilmu politik
yang penulis gunakan antara lain konsep konspirasi dan konsep poltik luar
negeri. Sedangkan dalam ilmu sosiologi penulis menggunakan teori konflik dari
Ralph Dahrendorf.
Konsep konspirasi merupakan konsep yang ada di seputaran gerak dunia
gobal dan merambah hampir kesemua ranah kehidupan manusia. Baik itu dari
urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer sekalipun. Banyak konsep
konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa dalam sejarah telah
kejadian-kejadian sebenarnya terjadi. Golongan elit pun tidak jarang ikut campur dalam
hal konspirasi, seperti memanipulasi data hanya untuk kepentingan golongan
tertentu saja.
Menurut ensiklopedia Wikipedia konspirasi diartikan dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/konsepkonspirasi (7/10/12) bahwa konspirasi
merupakan suatu usaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi suatu serangkaian
peristiwa yang pada umumnya meliputi peristiwa politik, sosial dan sejarah
adalah suatu rahasia dan seringkali memperdaya. Direncanakan diam-diam oleh
sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan
berpengaruh. Konsep konspirasi ini bagi orang yang tidak percaya selalu
menganggap semua hanya lah mengada-ada saja. Namun bagi para penganutnya
konsep ini tidak serta-merta muncul mendunia tanpa ada yang menciptakan
polanya sendiri.
3.2.4 Historiografi
Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian yang memaparkan serta
melaporkan seluruh hasil panelitian dalam bentuk tertulis setelah melalui tahap
intrepetasi fakta. Historiografi merupakan kisah masa lampau yang direkontruksi
oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Dengan kata lain historiografi adalah
penulisan hasil penelitian yang dilakukan setelah selesai melakukan analisis dan
penafsiran terhadap data dan fakta sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 :
56) dalam tahap ini seluruh daya pikiran dikerahkan bukan saja keterampilan
teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan. Namun yang paling
utama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analitis sehingga
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuan dalam
suatu penelitian utuh yang disebut dengan historiografi. Dalam historiografi
penulis menceritakan hal-hal yang didapat disertai dengan
penafsiran-penafsirannya sehingga hasil dari historiografi berupa rekonstruksi dari peristiwa
Seorang sejarawan ketika memasuki tahap historiografi diharapkan
memiliki kemampuan analitis dan kritis sehingga hasil tulisannya tidak hanya
berupa karya tulis biasa, tetapi menjadi karya tulis ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sebuah karya tulis dapat dikatakan ilmiah apabila
memenuhi syarat-syarat keilmuan. Selain itu, tata bahasa yang digunakan oleh
sejarawan harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta sesuai dengan
pedoman penulisan karya ilmiah.
Hubungannya dengan penelitian ini yaitu tahap historiografi yang
dilakukan oleh peneliti merupakan tahap akhir dari setiap penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti. Selanjutnya historiografi ini akan dilaporkan oleh
peneliti dalam bentuk laporan tertulis yang disebut dengan skripsi.
3.3. Laporan Penelitian
Langkah ini merupakan tahap akhir dari prosedur penelitian yang penulis
lakukan. Hal ini dilakukan setelah penulis menemukan sumber-sumber,
menganalisisnya, menafsirkannya, lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan
yang sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang berlaku di
lingkungan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2012. Hal ini
dilakukan oleh peneliti agar kegiatan penelitian yang dilakukan dapat diketahui
kekurangannya dan pembimbing memberikan arahan serta masukan sehingga
memberikan jalan peneliti untuk memperbaiki kegiatan penelitiannya.
Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab terdiri atas pendahuluan,
tinjauan pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan terakhir kesimpulan.
Selain itu, ada pula beberapa tambahan, seperti kata pengantar, abstrak, daftar
pustaka serta lampiran-lampiran. Semua hal tersebut disajikan dalam satu laporan
utuh yang kemudian disebut sebagai skripsi dengan judul Peranan Intervensi
Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Adapun tujuan dari pelaporan
hasil tertulis dari penelitian ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan studi akademis
BAB IV
KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA
PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966
Pada bab IV ini, penulis akan mengkaji mengenai beberapa aspek penting yang
berkaitan dengan skripsi yang berjudul Peranan Intervensi Asing Dalam
Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Aspek-aspek tersebut penulis bagi menjadi
empat sub bab yang dimulai dengan adanya Peristiwa Madiun 1948, dilanjutkan
dengan adanya Peristiwa PRRI/Permesta 1958 hingga meletusnya Peristiwa G 30
S/PKI 1965 dan yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soekarno
tahun 1967. Di mana dalam keempat sub bab itu akan dijelaskan pula mengenai latar
belakang peristiwa, peran dan bentuk kronologis terjadinya intervensi oleh pihak
asing serta dampak yang ditimbulkan.
Untuk mengkaji keempat sub bab tersebut, penulis menggunakan pendekatan
interdisipliner. Di mana penulis menggunakan disiplin ilmu lainnya yang serumpun
untuk membantu menganalisis permasalahan agar tingkat analisis penulis lebih fokus
pada kajian bab IV ini. Sehingga hasil dari pembahasan pada bab ini tidak cenderung
deskriptif-naratif, namun lebih deskriptif-analitis. Ada pun sumber-sumber untuk
mengkaji permasalahan di atas diperoleh melalui studi literatur berupa buku-buku dan
sumber internet yang dianggap relevan dengan pembahasan.
Selain itu, penulis menggunakan beberapa konsep yang berasal dari ilmu
sosiologi dan ilmu politik. Konsep-konsep tersebut antara lain, konspirasi, intervensi,
kepentingan nasional dengan asing dan konflik. Konsep dari ilmu sosiologi
digunakan untuk menganalisis bagaimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia
pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1966, khususnya pada Peristiwa Madiun 1948,
Peristiwa PRRI/Permesta 1958 dan Peristiwa G 30 S/PKI 1965. Sedangkan konsep
ilmu politik digunakan untuk menganalisis jalannya pemerintahan Soekarno serta
4.1 Peristiwa Madiun 1948
Kemerdekaan Indonesia yang baru saja berjalan selama tiga tahun, sudah
dikacaukan oleh pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Partai Komunis
Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948. Kemerdekaan yang
seharusnya diisi oleh pembangunan bangsa, justru dikacaukan oleh sekelompok
orang yang tidak memahami arti kemerdekaan itu sendiri. Kepentingan pribadi
dan kelompok lebih diutamakan dari pada kepentingan nasional. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya setiap warga negara lebih
mengedepankan kepentingan bersama, dari pada kepentingan pribadi atau
kelompok. Akibat dari pemberontakan PKI ini, potensi bangsa dan negara
seharusnya dapat dicurahkan bagi kemajuan justru terkuras habis untuk
meredakan aksi pemberontakan PKI tersebut.
Pemberontakan PKI ini terjadi akibat keruhnya suasana politik pada
tanggal 21 Juli 1947. Di mana Belanda melancarkan agresi militernya yang
pertama dan diakhiri dengan adanya perjanjian Renville pada tanggal 6
Desember 1947. Menurut Nasution (1971: 3-4) dari sepuluh isi perjanjian
tersebut, dua di antaranya berisikan:
1. Pasukan RI yang mengadakan perjuangan di belakang garis pendudukan Belanda, harus ditarik mundur dan dilakukan sebaik-baiknya dalam waktu 21 hari.
2. Semua tentara yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak, harus segera mengosongkan daerah masing-masing dan pindah masuk ke daerahnya sendiri-sendiri dengan membawa semua senjata dan perlengkapan militer, dibawah pengawasan pembantu-pembantu militer komisi tiga negara.
Karena isi perjanjian Renville tersebut dianggap oleh partai Masyumi tidak
memuaskan dan cenderung merugikan masyarakat Indonesia, maka Masyumi
menolak usul-usul dari Belanda dan putusan perwakilan dari kabinet RI tersebut.
Penolakan ini kemudian disusul dengan pengunduran diri menteri-menteri
oleh Dewan Pimpinan Partai Masyumi pada tanggal 16 Januari 1948, sedangkan
penolakan PNI diputuskan dalam rapat plenonya tanggal 18 Januari 1948, bahwa
Dewan Partai menyetujui Dewan Pimpinan PNI dan para menteri anggota PNI
yang menolak persetujuan Renville. Karena banyaknya golongan yang
menentang kabinet Amir, maka pada tanggal 24 Januari 1948 Kabinet Amir jatuh
(Nasution, 1971: 15).
Sesudah Kabinet Amir jatuh, maka pada tanggal 26 Januari 1948
Mohammad Hatta ditunjuk untuk menyusun kabinet Presidentil, di mana Hatta
selaku Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan juga sebagai Wakil
Presiden. Amir tidak ikut dalam kabinet Hatta tersebut, melainkan jadi golongan
oposisi dalam kabinet Hatta. Ia mengatakan bahwa Kabinet Hatta adalah
Kabinet Masyumi, karena banyak orang Masyuminya dan tidak ada wakil
buruh, tani dan pemuda (Dimjati, 1951: 161).
Golongan oposisi mengadakan demonstrasi, menuntut kembalinya Amir
dalam kabinet dan sebagai Menteri Pertahanan. Demonstrasi ini membawa pula
poster-poster dan slogan-slogan yang isinya membela politik Amir dan
mengecam kabinet Hatta. Amir mengusulkan agar kabinet Hatta dibubarkan
dan dibentuk kabinet yang meliputi buruh, tani dan pemuda. Golongan oposisi mengadakan “adu domba”, sehingga dalam masyarakat timbul pertentangan yang menumbuhkan adanya dua aliran politik yang saling bertentangan.
Partai-partai dan organisasi politik oposisi tergabung dalam Front Demokrasi
Rakyat (FDR), sedangkan sebagian partai-partai dan organisasi pendukung
pemerintah bergabung dalam sebuah organisasi Gerakan Revolusi Rakyat (GRR)
(DISJAH, 1985: 79).
Ternyata tuntutan-tuntutan FDR tidak menunjukkan hasil yang
diharapkan, maka segera FDR mengadakan tuntutan berupa pendemokrasian
kabinet. Adanya tuntutan dari golongan oposisi yang menghendaki
pendemokrasian kabinet, dijawab oleh pemerintahan Hatta bahwa semua itu
resuffle kabinet. Tuntutan pendemokrasian kabinet semacam itu merupakan pola
gerakan komunis di mana-mana termasuk pula di Indonesia yang telah masuk
pengaruh Moskow. Karena pertentangan politik antara pemerintah dan golongan
komunis pada saat itu ternyata tidak hanya bertemakan anti Imperialis dan
Kolonialis dalam arti yang sempit, melainkan mempunyai latar belakang yang
cukup luas. Hal sama nampak dari nada oposisi FDR yang selalu menuntut
terbentuknya Kabinet Parlementer dan dihentikannya perundingan dengan
Belanda. Karena menurut perhitungan Moskow perundingan dengan Belanda
berarti semakin mendekatkan Indonesia pada lawan politik Moskow yaitu
Amerika Serikat (Rachmat Susatyo, 2008: 71).
4.1.1 Peran Uni Soviet
Pada peristiwa Madiun 1948, terlihat ada campur tangan pihak asing dalam
peristiwa tersebut. Pihak asing ini disinyalir berasal dari Uni Soviet, karena
Musso merupakan tokoh komunis yang cukup lama tinggal di Moskow dan telah
kembali ke Indonesia. Dapat di lihat pada saat suasana politik yang meruncing,
datang pula Suripno dari Praha pada tanggal 11 Agustus 1948 di Yogyakarta
beserta sekretarisnya bernama Suparto. Ternyata Suparto adalah Musso yang
selama hampir 23 tahun berada di luar negeri dan berdiam di Rusia. Kedatangan
Suripno tersebut karena dipanggil oleh pemerintah sehubungan dengan adanya
berita-berita yang mengatakan bahwa Suripto sebagai Duta Besar RI di Praha
telah mengadakan persetujuan dengan Duta Besar Rusia di Praha untuk
tukar-menukar Konsul antara RI dan Rusia (DISJAH, 1985: 81).
Sebelum datang ke Indonesia, pada bulan Maret 1948 Musso dan Suripno
telah mengadakan diskusi dengan Sekretaris Jendral Partai Komunis Belanda
yang bernama Paul De Groot di Praha Cekoslovakia. Dalam diskusi tersebut
ketiganya membahas mengenai strategi baru gerakan Indonesia. De Groot
menyarankan agar pergerakan Indonesia tetap kooperatif. Namun, kedua orang
Indonesia yaitu Musso dan Suripno tidak setuju dengan pendapat De Groot
jalan yang radikal. Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar kaum
komunis Indonesia dan ditandatangani oleh wakil Indonesia, Belanda dan
Cekoslavokia. Hasil diskusi yang berupa dokumen itu akhirnya dikirim ke
Moskow untuk mendapatkan persetujuan. Haluan baru inilah yang akhirnya
Musso dan Suripno bawa ke Indonesia, dengan haluan baru yang dipengaruhi “Garis Zhdanov” mereka berdua berharap dapat merubah perjuangan bangsa Indonesia (Rachmat Susatyo, 2008: 32).
Dengan haluan baru yaitu “Garis Zhdanov” dunia saat itu sedang terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan di antaranya kubu imperialisme dan
kubu anti-imperialisme. Mereka yang tidak sepaham dengan haluan baru yang
dibawa oleh Musso, maka akan dijadikan lawan dan harus disingkirkan dengan
cara apapun. Saat itu, Madiun dijadikan sebuah arena adu kekuatan dan
perebutan kekuasaan. Akibat dari adanya ketegangan ini banyak menimbulkan
korban jiwa dari masyarakat, aparat pemerintah dan ulama.
Pada bulan Mei 1948, Suripno berhasil membuka hubungan diplomatik
dengan Uni Soviet. Dengan keberhasilan Suripno membuka hubungan
diplomatik dengan Uni Soviet, menimbulkan adanya dorongan untuk Republik
Indonesia jauh ke kiri yaitu ke arah komunis. Musso menyempurnakan
rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia yang saat itu memakan waktu seminggu. Rumusan itu Ia sebut “Jalan Baru Republik Indonesia”. Jalan baru inilah yang akan merubah politik komunis Indonesia, disebut demikian
karena gagasan itu berbeda dengan gagasan yang pernah ada. Haluan ini
menegaskan, dunia telah terbagi menjadi dua blok yaitu blok kapitalis imperialis
yang digerakkan oleh Amerika Serikat dan blok anti-imperialis yang digerakan
oleh Uni Soviet. Sebenarnya inti dari doktrin Zhdanoz adalah kerja sama
dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras. Maksudnya yaitu Musso dalam rumusan “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” menyatakan “karena perjuangan Indonesia
Setelah sampai di Indonesia, Musso menemui dua sahabatnya yaitu
Maroeto Daroesman dan Setidjid untuk bertukar pikiran. Dalam pertemuan itu,
Musso menggunakan nama samarannya yaitu Suparto untuk mengelabui pihak
Belanda. Kebetulan kedua sahabatnya itu baru kembali dari Belanda bersama
rombongan Menteri Kehakiman Mr. Soewandi yang baru melakukan
perundingan dengan Belanda. Kedatangan Musso ke tanah air disambut baik oleh
Presiden Soekarno dan diharapkan dapat ikut serta dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Musso sendiri menjelaskan, bahwa
kedatangannya kembali ke Indonesia adalah untuk ikut bersama berjuang dan
menempatkan perjuangan bangsa Indonesia pada perjuangan yang tepat. Musso
pun mengadakan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan politik FDR dan
kemudian mengadakan pembaharuan politiknya. Dengan cepat Musso dapat
menarik simpati kaum komunis Indonesia, Musso kemudian memegang peranan
penting dalam menjadi penggerak yang melakukan politik baru pada gerakan
komunis Indonesia yang sesuai dengan pola-pola yang telah digariskan oleh
pimpinan komunis Moskow (DISJAH, 1985: 90).
Musso untuk pertama kali tampil di muka umum pada tanggal 20 Agustus
1948 dalam rapat yang diselenggarakan oleh FDR. Pada tanggal 22 Agustus
1948, Musso mengadakan rapat raksasa di Yogyakarta. Dalam rapat raksasa
tersebut dihadiri 50.000 orang, Musso menegaskan betapa pentingnya mengganti
kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional. Selain itu, Musso juga
menegaskan perlunya menjalin hubungan internasional untuk meratifikasikan
hubungan diplomatik secepat mungkin terutama dalam menjalin hubungan
dengan Uni Soviet. Dalam rapat tersebut Musso telah menyampaikan pidatonya
seperti yang dikutip Harian Revolusioner tanggal 23 Agustus 1948 dalam
Notosusanto, ia antara lain mengatakan :
segera diratifikasikan untuk mengimbangi tekanan Belanda dan Amerika terhadap Republik. Revolusi harus dipegang oleh golongan proletar dan bukan oleh golongan borjuis, karena kaum proletarlah yang paling revolusioner dan paling anti imperalis. Kesalahan ini harus segera diperbaiki. Tidak adanya Front Nasional merupakan sebab-sebab kelemahan perjuangan kita, karena itu harus segera dibentuk Front Nasional di mana rakyat dapat ikut serta tanpa terikat oleh keanggotaan suatu partai yang didukung dari bawah dan berakar dalam masyarakat. Kabinet yang sekarang sudah tidak sesuai, karena itu harus segera dibentuk kabinet baru “(Notosusanto, 1998: 21).
Pidato Musso tersebut, memperlihatkan bahwa pengaruh-pengaruh yang
telah disebarkan oleh pihak Uni Soviet berhasil mempengaruhi pola pikir politik
Musso saat itu. Musso yang anti imperialis sangat menginginkan Soekarno untuk
memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Belanda. Oleh
karena itu Musso berusaha membangkitkan rasa cinta tanah air dengan mengajak
kaum proletar yang tergabung dalam Front Nasional untuk membuat kabinet baru
yang berhubungan dengan Uni Soviet. Dalam pandangan Musso, Uni Soviet
lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat, karena Uni Soviet belum
pernah menjadi negara kolonial di luar negeri. Sebaliknya Inggris dan Perancis
adalah mantan negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat.
Kedatangan Musso di Indonesia mengakibatkan berubahnya jalur politik
partai-partai kiri, di mana pada ranggal 24 Agustus 1948 Politik Biro Central
Comite PKI mengeluarkan pula pernyataan sebagai koreksi kesalahan dalam
lapangan organisasi di waktu lampau. Musso mengusulkan supaya tiga partai
anggota FDR yaitu: PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia diadakan
fusi sehingga hanya ada satu partai saja, yaitu Partai Kelas Buruh dengan
memakai nama yang familiar, yaitu PKI. Pada rapat tanggal 25 Agustus 1948
kepada Musso diserahkan tugas untuk mengadakan analisa situasi politik di
30 Agustus Musso diangkat sebagai Ketua PKI untuk melaksanakan garis
barunya itu, di mana ia menekankan bahwa tentara harus di bawah pengaruh
Partai Komunis. Sehingga pada tangal 7 September 1948 FDR berfusi ke dalam
PKI.
Menurut Notosusanto (1998: 20), dengan datangnya Musso yang dinilai
cakap dalam memimpin PKI, maka Ia memberikan rancangan baru terhadap PKI yaitu “jalan baru” untuk Republik Indonesia. Maksud dari rangcangannya yaitu menegaskan bahwa dunia telah terpecah dua menjadi blok kapitalis-imperialis di
bawah pimpinan Amerika Serikat dan blok anti-imperialis di bawah pimpinan
Uni Soviet. Musso merumuskan karena perjuangan Indonesia anti-imperialis,
maka Indonesia harus berada dipihak Rusia. Pejuang-pejuang Indonesia yang
bersimpati pada PKI tetapi segan untuk memasuki partai tersebut, ditampung
dalam lembaga Indonesia di bawah naungan Uni Soviet. Oleh karena itu, Musso
menyatakan revolusi nasional Indonesia sudah menjadi bagian dari revolusi
proletar dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet.
PKI di bawah kendali Musso, tokoh-tokoh PKI mengadakan perjalanan
keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menggelorakan semangat
rakyat supaya berdiri di belakang PKI yang sedang menggalang Front
Nasional. Rombongan ini mulai berangkat dari Yogyakarta dengan diikuti
oleh beberapa tokoh-tokoh PKI diantara adalah Amir Sjariffudin, Alimin,
Wikana, Harjono, dan lain-lain. Menurut DISJAH (1985: 15-17) dalam
perjalanan kelilingnya terlihat adanya konspirasi Musso dalam pidato
mempropaganda masyarakat antara lain dengan mengatakan:
dengan Belanda atas desakan Amerika yang berarti bahwa pemerintah kita adalah pemerintahan neo kolonialisme. Sekarang tibalah saatnya bagi kita untuk berjuang seperti rakyat Athena dan Tiongkok. Andaikata umat Islam di Indonesia berjuang dengan keimanannya, mengapa mereka tidak menyatakan Perang Sabil saja? Kita berjuang terutama untuk menghancurkan kolonialis”.
Dari keterangan di atas, dapat diberitahukan bahwa Musso memiliki
ambisi yang cukup kuat untuk menjadikan Indonesia menjadi negara
komunis seperti Rusia, Uni Soviet yang dapat memimpin dunia di bawah
kendalinya. Walaupun tidak secara terangan-terangan, melainkan melalui
doktrin-doktrin yang dapat merubah pola pikir mereka dalam memahami
komunis. Karena Musso pernah tinggal di Moskow. Uni Soviet yang terkenal
basis komunisnya kuat maka dengan sendirinya paham tersebut akan menyebar
ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi
karena sebelum Stalin berkuasa, Lenin telah membentuk comintren
(communist international) sebagai lembaga komunis internasional untuk
menyebarkan paham komunisme ke seluruh penjuru dunia.
Ternyata Musso telah menganut ideologi Lenin, di mana lebih percaya
pada keunggulan politik di atas ekonomi. Musso berpikir bahwa tugas pemimpin
komunis serta kaum revolusioner profesional adalah menyerang dan
menghancurkan sistem sosial politik yang dalam keadaan lemah. Musso
yakin dengan kekuatan perlawanan yang relatif kecil tapi berdisiplin tinggi serta
terorganisasi secara baik, maka kekuasaan dapat direbut (Hartisekar, 1999: 43). Oleh karena itu, Musso percaya bahwa gagasan revolusi “Jalan Barunya” akan berhasil. Musso pun berani melancarkan aksi propagandanya karena telah
termakan doktri-doktrin yang diberikan oleh pihak Moskow, Uni Soviet.
Secara tidak langsung ideologi Musso pun telah terpengaruhi oleh adanya
doktrin tersebut. Tetapi kalkulasi politik mereka tidak didasari oleh
pemahaman yang baik tentang falsafah hidup bangsa Indonesia, yang sangat
Pihak Uni Soviet berhasil melakukan intervensi terhadap pemerintahan
Soekarno secara tidak langsung melalui peran Musso. Ideologi Uni Soviet
yang lebih percaya dengan keunggulan politik di atas ekonomi telah berhasil
mendoktrin Musso. Indonesia yang saat itu beranggapan ingin bebas dari
Belanda dan Amerika Serikat langsung dimanfaatkan oleh Uni Soviet. Sehingga
Uni Soviet secara tidak langsung telah berhasil mengintervensi Indonesia melalui
peranan Musso. Di mana ideologi Musso dengan mudah dipengaruhi oleh pihak
Uni Soviet yang ati Blok Barat.
Untuk menyebarkan gagasan revolusi “Jalan Barunya”, Musso bersama
-sama para pemimpin PKI pada bulan September 1948 melakukan perjalanan
keliling ke Solo, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo
untuk menjalankan aksi propagandanya. Pada tanggal 7 sampai dengan 8
September 1948 Musso, Amir, Alimin, Wikana, Harjono dan anggota PKI
lainnya yang sedang mengadakan perjalanan propagandanya keliling
daerah-daerah Surakarta turut datang dalam rapat umum di Madiun. Lalu pada
tanggal 10 dan 11 September 1948 tokoh-tokoh PKI tersebut meneruskan
perjalanan keliling propagandanya ke Kediri, tanggal 13 September ke Jombang,
tanggal 14 September ke Bojonegoro, tanggal 16 September ke Cepu dan pada
tanggal 17 September 1948 merencanakan berpidato di depan rapat umum di
Purwodadi. Tetapi rencana tersebut terpaksa dibatalkan. Karena berhubungan
dengan tiba-tiba Musso Cs mendengar berita perkembangan baru bahwa
Sumarono Cs akan mengadakan perebutan kekuasaan tanggal 18 September
1948. Oleh karena itu, Musso Cs bergegas menuju ke Madiun (DISJAH, 1985:
98).
Pada tanggal 18 September 1948 telah tersiar berita bahwa kaum komunis
di Madiun telah melakukan perebutan kekuasaan. Berita tentang terjadinya coup d’etat tersebut mula-mula disiarkan oleh Harian Murba di Surakarta, malahan jauh sebelumnya harian ini telah mensinyalir bahwa PKI akan segera
tidak mengadakan reaksi atas berita tersebut, rakyat masih ragu-ragu menerima
kebenaran berita itu. Barulah keragu-raguan rakyat lenyap ketika ada
pengumuman resmi dari pemerintah, yang mengumumkan bahwa di kota Madiun
oleh dan di bawah pimpinan PKI dengan memakai tenaga salah satu kesatuan
brigade TNI di Jawa Timur telah melakukan penyerangan atas alat-alat
kekuasaan negara dan penggantian pemerintah daerah secara tidak sah.
Sebenarnya bagian intelijen dari Divisi Siliwangi sebelum peristiwa
Madiun terjadi telah mendapat keterangan tentang adanya gerakan yang
bersifat melawan pemerintah. Bahkan Amir Sjarifuddin pernah pula
membujuk seorang Kapten dari Divisi Siliwangi yang secara pribadi dekat
dengannya agar menarik Panglima Divisi Siliwangi yaitu Nasution untuk
bekerjasama dengan PKI guna menyelamatkan perjuangan. Adapun
kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan tersebut
antara lain seperti kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo). Pasukan
Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan Letkol
Dahlan yang waktu itu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono. Juga dari
sebagian Divisi Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan
Letkol Sujoto (DISJAH, 1985: 101).
Selama tanggal 18-25 September 1948 pasukan PKI Musso dapat
menduduki Kabupaten Sukoharjo, yang dipimpin oleh Mayor Digdo, Letkol
Iskandar dan Letkol Jadau sebagai bezeting komandannya ialah Suwitojo. Pada
tanggal 23 September 1948 PKI Musso telah mengadakan pemecatan
kepala-kepala desa dan mengadakan pemeriksaan uang kas, berpuluh-puluh ton minyak
dan bahan makanan telah diangkat ke jurusan Timur, juga uang sebanyak Rp
336.304,01 dari suatu jawatan dapat dirampas dan dibawa lari (Nasution, 1971:
135). Pasukan komunis tidak lama menduduki daerah-daeah tersebut , karena tak
lama kemudian pasukan TNI telah dapat merebut kembali daerah-daerah yang
diduduki. Selama PKI berkuasa di daerah-daerah tersebut. PKI telah melakukan
Di daerah-daerah Madiun, Ngawi, Ponorogo, Purwodadi dan lain-lain, PKI
juga melakukan penangkapan dan pembunuhan kejam, dari kalangan agama
maupun pengikut TNI banyak yang dibunuh. Kepada rakyat di daerah-daerah
PKI menyiarkan berita bohong, dikatakan bahwa yang ditahan adalah Belanda.
Sehingga pemuda yang tidak tahu-menahu duduk persoalannya, telah ikut
terseret dan membantu kaum pemberontak. Oleh karena itu pemuda-pemuda
yang tergabung dengan PKI Musso kalau berhadapan dengan pasukan-pasukan
TNI tidak langsung menyerang, tetapi mengajukan pertanyaan terlebih dahulu: “Pundi Landane Mas?” (“Mana Belandanya Bung?”) (Nasution, 1966: 136). Jelaslah banyak pemuda-pemuda dan rakyat setempat yang sebenarnya tidak
mengetahui untuk apa dan untuk siapa mereka mempertaruhkan jiwanya. PKI
Musso telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya.
Tindakan yang penuh tipu muslihat dan pembunuhan keji telah menimbulkan
kebencian dan amarah rakyat, sehingga hilanglah simpati rakyat terhadap PKI.
Ketika terdengar berita di Madiun terjadi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh PKI Musso, maka dengan segera pemerintah mengadakan Sidang
Kabinet Lengkap pada tanggal 19 September 1948 yang diketuai oleh Presiden
Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain, bahwa
Peristiwa Madiun yang digerakkan oleh FDR adalah suatu pemberontakan
terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-alat Negara dan
Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara. Memberikan kuasa
penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan
keamanan dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah
lainnya.
Dalam keadaan yang rumit tersebut, pihak Belanda mencoba
mengambil kesempatan untuk menjajah Indonesia lagi yaitu dengan cara
berpura-pura memberikan bantuan untuk melumpuhkan pemberontakan PKI
Musso. Dengan adanya berita tentang terjadinya pemberontakan PKI di
kepada pers bahwa Pemerintah Belanda bersedia dan sanggup membantu
Republik untuk menindas pemberontakan PKI (Hartisekar, 1999: 84). Tetapi oleh
Hatta dikatakan, bahwa pemerintah RI tidak mengijinkan campur tangan dari
pihak asing dalam urusan yang terjadi dalam daerah Republik. Tentang
pemberontakan Madiun dikatakannya, bahwa itu adalah urusan dalam negeri
dan akan diselesaikan oleh Angkatan Perang RI sendiri. Sudah jelas bahwa
Hatta benar-benar telah mengetahui siasat busuk Belanda dengan cara
mencari simpatik pemerintah Indonesia. Dengan sikap tegas Hatta langsung
menolak bantuan yang mengharapkan imbalan tersebut.
Setelah presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk
segera mengembalikan keamanan dengan segera diadakan penangkapan
terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan diadakan
penggerebegan tempat-tempat yang dianggap perlu. Supaya dapat
melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan Perang segera
menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI Jawa Timur
sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas menggerakkan
pasukan dari arah timur. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel Sungkono
segera memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju Madiun untuk
mengamankan dari segala bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.
Dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) terhadap PKI Musso, ikut serta
Mobil Brigade Jawa Timur dan Mobil Brigade Jawa Tengah. Pada tanggal 19
September 1948 malam, satu Batalyon Mobil Brigade yang terdiri dari dua
Kompi Gabungan Basuki – Malang yang dipimpin oleh Pembantu Inspektur
Polisi II Imam Bachri telah diperintahkan ikut menumpas pemberontakan
tersebut (Hartisekar, 1999: 81).
Gerakan Operasi Militer (GOM) yang dilancarkan oleh pasukan yang
taat kepada pemerintah RI berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun
dapat dikuasai kembali, tepatnya tanggal 30 September 1948 pada pukul
memerintahkan Angkatan Perang supaya terus melakukan pengejaran
terhadap pasukan pemberontak yang bersarang di Purwodadi, Pacitan dan
Ponorogo. Juru Bicara Menteri Pertahanan dalam pengumumannya
menyatakan, bahwa Musso melarikan diri ke Dungus, sebelah selatan Madiun.
Komandan Pasukan Pemberontak mengirim surat kepada Letkol Kretarto untuk
mengadakan perundingan, akan tetapi pemerintah tidak mau mengadakan
hubungan dengan kaum pemberontak (DISJAH, 1985: 137).
Jatuhnya Madiun bukan berarti berakhirnya petualangan pasukan
pemberontak, karena mereka masih dapat meloloskan diri. Mereka melarikan
diri dengan merencanakan perang gerilya. Selama mereka melarikan diri
masih pula melakukan pembunuhan atau perampasan dan pembakaran harta
benda di tempat-tempat yang mereka lalui. Sementara itu pasukan
pemberontak yang melarikan diri dari Madiun terus dikejar oleh pasukan TNI,
mereka melarikan diri ke Kandangan. Dalam pengunduran diri dari Madiun
pimpinan pasukan dipegang oleh Amir, bukan oleh Musso. Kandangan
merupakan daerah basis gerilya mereka. Tetapi sebelum pasukan pemberontak
sampai di tempat tujuan, daerah tersebut telah dapat dikuasai oleh Batalyon
yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin dari Divisi Sungkono. Pasukan Amir
diserang dan mengundurkan diri di daerah Gunung Wilis.
Sementara itu, Musso dengan beberapa orang pengawalnya menuju ke
pegunungan Selatan Ponorogo. Induk pasukan Amir adalah yang paling kuat
persenjataannya, juga pengiringnya paling lengkap, seperti Djoko Sujono,
Abdulmutallib, Batalyon Abdul Rachman, Marotu Darusman, Suripno,
Sumarsono dan lain-lain pemimpin besar PKI. Alimin tidak ikut, karena
sewaktu timbul pemberontakan Ia berada di Surakarta bersama pasukan PKI
di Wonogiri. Pengejaran terhadap kaum pemberontakan terus dijalankan.
Pasukan Amir yang terpukul di Purwantoro lalu meneruskan perjalanan ke
Utara mendaki lereng Gunung Lawu melalui desa Jeruk, Ngrete, Watasono
2000 orang yang bersenjata lengkap, di antaranya ikut berpuluh-puluh
perempuan, anak-anak dan ibu-ibu dari keluarga pemimpin pemberontak yang
ikut lari meninggalkan Madiun dengan membawa harta benda yang tidak
sedikit. Mereka berjalan kaki dan sebagian naik kuda (Dimjati, 1951: 197).
Para pemuda dan tentara merah ikut mengawal dari lambung kanan,
lambung kiri, dari muka dan belakang. Berangsur-angsur perbekalan mereka
makin habis dan banyak yang menderita sakit karena tidak sanggup lagi
mengikuti perjalanan yang beratus-ratus kilometer. Di Kebang mereka
mendapat serbuan dari pasukan TNI, sehingga rombongan sipil yang
dipimpin oleh Abdulmutallib terpisah dari induk pasukannya. Mereka
terpaksa mengambil jalan sendiri. Ketika Abdulmutallib bersama sekretarisnya,
Nona Sriatin (dari Pesindo) masuk ke Girimarto, mereka dikenali oleh penduduk
setempat, kemudian ditangkap. Pada tanggal 15 Oktober 1948 Abdulmutallib
menjalani hukuman mati. Sebelum ditembak terlebih dahulu berwasiat
mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya yang ditinggal di Madiun
(Dimjati, 1951: 198).
Ketika pasukan Amir terus bergerak ke Purwodadi melalui
Tawangmangu untuk bertemu dengan pasukan Sujoto yang kabarnya masih
kuat dan menduduki daerah Purwodadi. Sesampainya di Tawangmangu
mereka mendapat serangan, sebagian lagi kembali ke Selatan. Dari
Tawangmangu induk pasukan Amir meneruskan perjalanan ke Sarangan.
Tidak ada penjagaan pasukan TNI, sehingga mereka sempat beristirahat selama
dua hari. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Utara sampai di Ngrambe
dan Walikukun, di sana sempat pula beristirahat. Ketika pasukan yang
dipimpin Amir melintasi jalan raya Solo-Madiun, kebetulan ada rombongan
mobil dari Yogyakarta menuju Madiun. Kemudian rombongan mobil dari
Yogyakarta itu disergap dan penumpangnya dibunuh oleh pasukan Amir.
Sedangkan Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak
Kapten Sunandar sewaktu melakukan patroli. Musso yang menyamar
sebagai kusir dan dikawal oleh dua orang kepercayaannya, lalu bertemu
dengan pasukan Brigade S terjadi tembak menembak. Musso lari ke sebuah
rumah penduduk desa, dengan menggunakan dua buah pistol vikers ia bertahan
di rumah tersebut dan membalas tembakan dari balik pintu dan jendela.
Walaupun ketika itu Ia terkepung, Ia tidak mau menyerah. Seruan dari pihak
TNI supaya menyerah tidak diindahkan oleh pasukan Musso. Waktu itu
patroli TNI yang mengepung belum tahu bahwa orang tersebut sebenarnya
adalah Musso, disangka tentara komunis biasa saja (Dimjati, 1951: 192).
Akhirnya setelah diadakan tembakan gencar dari luar rumah, Musso tertembak
dan tak lama kemudian meninggal. Mayat Musso kemudian dipotret,
diperlihatkan kepada pegawai-pegawai pemerintah yang dipanggil dari
Madiun. Sesudah dipastikan mayat tersebut adalah mayat Musso, kemudian
dikubur di salah satu tempat yang dirahasiakan. Sedangkan induk pasukan
Amir telah sampai di Ngawi terus mengadakan perjalanan ke Utara
menjelajahi hutan jati dan akhirnya melintasi Bengawan Solo menuju ke Cepu.
Pada tanggal 20 November 1948 pasukan Amir menuju Tambakromo,
sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati. Pasukan Amir terdiri dari kurang
lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka. Keadaan pasukan Amir
sangat menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin melarikan diri, tetapi
rakyat selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat pemberontak
diketemukan karena sakit atau kelaparan. Pasukan Amir dan Djokosujono
yang dikejar TNI dari Getas terus ke Utara menuju Ngasinan yang berada
diantara jalan Wirosari Blora. Kemudian mereka diserang oleh pasukan TNI
dari Wirosari dan Blora, mereka melarikan diri masuk hutan-hutan menuju
Gratil. Pasukan mereka yang terdepan sudah sampai di Tanduan, tetapi di
tempat tersebut mendapat serangan pasukan TNI dari arah Timur, terpaksa