• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur an dalam Konteks Masyarakat Jogjakarta Oleh: Ainurrofiq Dawam* Kata kunci: al-qur an, perspektif, masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Al-Qur an dalam Konteks Masyarakat Jogjakarta Oleh: Ainurrofiq Dawam* Kata kunci: al-qur an, perspektif, masyarakat"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Ainurrofiq Dawam* Abstrak

Al-Qur’an dalam konteks masyarakat Jogjakarta mendapatkan posisi yang sangat unik. Posisi al-Qur’an dalam berbagai perspektif ketika dikaitkan dengan realitas masyarakat Jogjakarta memiliki fungsi atau kedudukan yang cukup dominan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an sebagai kitab suci tentu menduduki urutan pertama dalam referensi kehidupan masyarakat Jogjakarta, baik yang terpelajar, akademisi, bahkan masyarakat awam lainnya. Sementara al-Qur’an sebagai sumber hukum menduduki posisi yang sangat penting bagi masyarakat muslim Jogjakarta yang taat sekaligus sebagai masyarakat akademis. Ada yang lebih spesifik bagi masyarakat Jogjakarta adalah bahwa al-Qur’an juga dianggap sebagai sumber kesaktian manusia. Al-Qur’an sebagai sumber kesaktian manusia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang bisa saja dia sangat taat, tetapi bisa juga mereka yang kurang/tidak taat terhadap ajaran agamanya.

Kata kunci: al-Qur’an, perspektif, masyarakat

A.Pendahuluan

Umat Islam dan al-Qur’an bagaikan dua sisi mata uang. Salah satu sisinya tidak mungkin dipisahkan dari yang lainnya. Sekali saja umat Islam terlepas dari al-Qur’an, maka pada saat itulah keislamannya menjadi sebuah pertanyaan besar. Dengan kata lain, hubungan di antara keduanya tidak mungkin dipisahkan. Orang yang mengaku dirinya sebagai salah satu dari umat Islam, berarti secara inheren dia harus memegang al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang selalu dipegang teguh dan menjadikannya sebagai inspirasi dalam olah pikir, olah kata, dan olah perilaku sehari-harinya, baik dalam hubungannya dengan Allah, Rasulullah, masyarakat,1 alam, bahkan dengan dirinya sendiri.

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dalam segala segi kehidupan.2 Hubungan al-Qur’an dengan dinamika masyarakat sebagaimana dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami pasang surut yang luar biasa. Ada masa keunggulan dan ada masa kemunduran. Untuk

* Alumnus Program Doktor PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga alumni Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.

1 Muhammad Imaduddin Ismail, Al-Syakhshiyyah wa al-‘Ilaj al-Nafsiy, (Kairo:

Maktabah al-Syakhshiyyah al-Mishriyah, 1959), p. 279.

2 M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an; Metodologi Tafsir & Kritik Sosial,

(2)

saat ini bagaimana peneropongan umat Islam terhadap al-Qur’an. Barangkali dapat dikemukakan di sini refleksi tentang al-Qur’an itu sendiri. Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya adalah aspek sosial-ideologis, sosial-epistemologis, sosial-paradigmatis, sosial-budaya, sosial-ekonomis, dan tentunya sosial-keagamaan.

Sebagian dari manusia itu adalah masyarakat Jogjakarta. Jumlah penduduk Jogjakarta pada tahun 2007 adalah 4.364.000 jiwa. Dari sejumlah penduduk tersebut yang memeluk agama Islam sebesar 92,1%, agama Katolik 4,9%, agama Protestan 2,7% dan yang lainnya 0,2%. Sedangkan luasnya adalah 3.185,28 km2.3 Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta) dan seringkali disingkat DIY adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara geografis, Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu, ditambahkan pula bekas-bekas wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan

enklave di Jogjakarta. Jogjakarta masih sangat kental dengan budaya

Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Jogjakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Jogjakarta akan sangat sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Jogjakarta, di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Jogjakarta sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah upacara adat. Dengan demikian, bagi masyarakat Jogjakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di Jogjakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang kulit.4

B.Al-Qur’an dalam Berbagai Perspektif

Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat Islam merupakan warisan Rasulullah s.a.w. yang tiada tara nilainya. Sebagai sebuah pedoman hidup

3 Tim Editor, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, (Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), p. 203.

4 Soedarisman Poerwokoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah

(3)

umat Islam dan sekaligus warisan utama Rasulullah, dalam perjalanannya telah mengalami berbagai dinamika. Hubungan antara al-Qur’an dengan umat Islam dengan berbagai aspek kehidupannya bisa digambarkan sebagai sebuah perspektif. Dengan kata lain, al-Qur’an dapat dilihat oleh umat Islam dari beberapa perspektif di antaranya adalah perspektif sosial-ideologis, perspektif sosial-epistemologis, perspektif sosial-paradigmatik, perspektif sosial-budaya, perspektif sosial-ekonomis, bahkan perspektif sosial-keagamaan

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-ideologis dapat dikemukakan beberapa hal berikut. Pertama, di era informasi, ideologi masyarakat yang banyak dianut oleh sebagian besar tokoh di berbagai bidang adalah ideologi kapitalisme. Ideologi ini bermuara pada siapa yang memiliki modal dialah yang berkesempatan untuk memimpin dunia. Di pihak lain, siapa yang tidak memiliki modal dia akan dikuasai oleh pihak lain. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an dengan ideologinya sendiri yaitu ideologi normatif, dengan sendirinya muncul kondisi dilematis bagi umat Islam. Di satu sisi, umat Islam telah digempur dengan ideologi kapitalis yang ini ternyata sudah melanda sebagian besar umat Islam khususnya para agen kapitalis baik di bidang akademik, sosial, politik, bahkan agama. Di sisi lain, al-Qur’an sebagai sumber ajaran, umat Islam harus menerima ideologi normatif yang hanya berbicara salah benar dan halal haram. Implikasinya adalah munculnya keraguan dan kegamangan yang luar biasa dalam diri umat. Inilah yang sering diungkapkan dengan kata-kata “umat Islam berada di persimpangan jalan”. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, ideologi yang dominan adalah ideologi kapitalis, maka peminggiran ideologi normatif yang cenderung kaku tidak bisa terelakkan. Peminggiran ideologi normatif ini berlangsung bukan hanya bersifat eksternal yang datangnya dari luar umat Islam, akan tetapi juga bersifat internal yang justru datangnya dari umat Islam sendiri. Dengan demikian, peminggiran ideologi normatif telah berlangsung dalam skala global dan bersifat massif bahkan didukung dengan adanya sinergisitas antara pihak luar dan pihak dalam umat Islam sendiri. Ketiga, kegamangan dan keraguan umat Islam dalam menerima idelogi normatif merupakan hasil yang luar biasa dari infiltrasi pengaruh ideologi kapitalis. Saat ini jarang sekali umat Islam sendiri yang lebih mengedepankan nilai-nilai spiritual, nilai-nilai transendental, dan nilai-nilai humanisme dalam realitas kehidupannya.

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-epistemologis dapat dikatakan sebagai korban ambisi proyek epistemologi dunia. Sebagaimana diketahui bahwa epistemologi yang paling dominan saat ini dan banyak diikuti oleh para tokoh umat Islam sendiri adalah epistemologi positivistik yang mengedepankan pada obyektivikasi, netralisasi, empirisasi, dan

(4)

pragmatisasi. Epistemologi yang demikian ini tentu dengan sendirinya akan menggempur epistemologi al-Qur’an yang selama ini telah mapan.5 Epistemologi al-Qur’an yang mapan selama ini dalam bahasa al-Jabiri dikenal dengan sebutan epistemologi bayani.6 Artinya epistemologi yang

mengedepankan kajian-kajian rasional-literalistik. Al-Qur’an lebih dipahami sebagai sebuah teks yang harus diterjemahkan dalam kehidupan saat ini tanpa pandang bulu. Hal ini akan menghadapi berbagai kendala. Di antara kendala yang muncul adalah adanya kesenjangan pemahaman antara satu generasi dengan generasi yang lain. Selain itu juga muncul kendala adanya perbedaan penafsiran karena perbedaan situasi dan kondisi sosial-kemasyarakatan yang ada. Masih ada satu lagi kendala yang tidak kalah penting, yakni kendala kepentingan umat Islam saat ini yang jauh berbeda dengan kepentingan pada saat al-Qur’an itu dibukukan atau bahkan al-Qur’an itu diwahyukan.

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-paradigmatik dapat dikemukakan di sini bahwa paradigma yang berkembang dalam umat Islam sampai saat ini adalah paradigma parsialistik. Ada kelompok umat Islam yang berparadigma konservatif dengan pandangan bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Allah sesuai dengan pemahaman literalistik pada al-Qur’an. Al-Qur’an dipahami sebagai sebuah kitab yang final baik arti leksikal maupun kandungan artinya. Di lain pihak, ada kelompok yang berparadigma liberal dengan pandangan bahwa dalam berpikir dan bertindak tidak perlu memperhatikan rambu-rambu yang ada dalam tradisi lama termasuk di dalamnya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an oleh kelompok kedua ini dihadapi sebagai sebuah warisan dan tradisi belaka (cenderung magis) yang sudah kehilangan kredibilitasnya terhadap umat Islam, sehingga kondisinya sangat jauh berbeda dengan kondisi umat saat al-Qur’an itu diwahyukan. Kelompok terakhir yang berparadigma kritis menghendaki adanya analisis dan kajian secara kritis terhadap seluruh wacana dengan konteks masyarakat saat ini.7 Al-Qur’an dalam pandangan kelompok terakhir tidak

5 S.M.N. al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of Human Soul, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1990), pp. 9-15. Baca, DJamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso,

Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 115. Bandingkan dengan Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, alih bahasa AE Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), pp. 35-37.

6 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabiy, cet. 4, (Casablanca:

al-Markaz al-Saqafi al-‘Arab, 1991), pp. 70-85.

7 Lihat Mansour Fakih “Ideologi dalam Pendidikan: Sebuah Pengatar” dalam

William F. O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), pp. xv-xvii. Arief Budiman, “Dari Patriotisme Ayam dan Itik sampai ke Sosiologi pengetahuan Sebuah Pengantar,” dalam Karl Mannheim, Ideologi dan

(5)

dipahami sebagai tradisi belaka yang tidak memiliki arti apapun atau doktrin final, akan tetapi dipahami sebagai salah satu unsur penting dalam proses kehidupan umat Islam. Umat Islam, demikian kelompok terakhir ini, seharusnya menjadikan al-Qur’an sebagai salah satu turas atau tradisi yang harus diperhatikan dalam kancah kehidupan umat. Dengan demikian, dari ketiga paradigma masyarakat yang muncul ini al-Qur’an semestinya dipahami sebagai sebuah sumber ajaran yang tidak kaku, rigid, dan statis. Akan tetapi sebagai sebuah entitas sumber ajaran umat Islam selain sumber-sumber ajaran yang lain.

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-budaya dapat dikatakan bahwa budaya yang ada pada saat ini lebih mengedepankan pada budaya kompetisi, serba instan, serba cepat dan serba kulit. Budaya masyarakat yang demikian ini dapat dilihat bagaimana seorang ulama, kyai, akademisi, dan tokoh masyarakat yang ikhlas menyumbangkan pikirannya baik dalam bentuk tulisan, orasi, maupun pidato tidak lebih berharga dari sebuah pementasan goyang pinggul seorang penyanyi dangdut. Artinya masyarakat saat ini lebih suka kepada segala sesuatu yang bersifat kulit, serba instan, dan serba cepat. Popularitas melalui karya apapun tanpa memperhatikan tradisi, norma, dan aturan-aturan lama sudah menjadi fenomena jamak. Sebaliknya, yang berupaya mempertahankan tradisi masyarakat yang adiluhung justru dianggap sebagai pihak yang menghalang-halangi segala kemajuan dan modernisasi. Dalam konteks al-Qur’an, barangkali dapat dikatakan bahwa nilai kandungan al-Qur’an yang kelihatnnya sangat rigid dan kaku dianggap bukanlah budaya ngepop yang sedang menjadi trend saat ini. Oleh karena itu, al-Qur’an dalam perspektif sosial-budaya umat Islam saat ini dianggap sebagai barang langka dan tidak layak dimunculkan ke area publik, melainkan hanya untuk konsumsi privat saja. Ini adalah realitas yang tidak perlu dijadikan sebagai legitimasi umat Islam untuk membuat bom kemudian meledakkannya di sebuah gedung atau lokasi pariwisata tertentu. Yang perlu dilakukan adalah upaya menseimbangkan antara nilai-nilai yang ada dalam kandungan al-Qur’an dengan budaya yang muncul, tanpa menjadikannya sebagai korban.8

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-ekonomis dapat dikemukakan bahwa dominasi sistem ekonomi liberal telah meluluhlantakkan bangunan sosial-ekonomi yang telah dirintis umat Islam sejak awal Islam. Sistem ekonomi yang dianut masyarakat saat ini, juga sebagian besar umat Islam

Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, alih bahasaF. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. xv. Bandingkan dengan M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an…, p. 152.

8 Baca Rumadi, Post Tradisionalisme Islam; Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007), pp. 259-265.

(6)

adalah sistem ekonomi yang bersumber pada sistem spekulatif, riba, dan pemerasan terhadap seluruh sumber daya yang ada, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya intelektual, bahkan sumber daya budaya. Sistem ekonomi yang demikian ini tidak mengindahkan lagi aturan-aturan agama, norma-norma susila, dan nilai spiritualitas yang menurut sistem ekonomi ini memang harus dibunuh. Dalam konteks al-Qur’an sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa al-Qur’an lebih cenderung dipahami secara literalistik dengan kandungan makna yang sarat dengan pesan moral dan agama, maka dengan sendirinya menjadi sebuah kesulitan tersendiri ketika harus dikontraskan dengan kondisi sosial-ekonomi umat Islam saat ini. Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa pemahaman al-Qur’an dalam perspektif sosial-ekonomis menjadi tulang punggung bagi pengembangan ekonomi umat. Oleh karena itu, menjadi tugas bagi umat Islam khususnya para ahli al-Qur’an untuk senantiasa mengaktualisasikan nilai-nilai al-al-Qur’an dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini.9

Al-Qur’an dalam perspektif sosial-keagamaan dapat diungkap di sini bahwa telah terjadi fragmentasi yang cukup memprihatinkan di antara kelompok keagamaan yang ada saat ini, khususnya di Indonesia. Fragmentasi tersebut salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang berbeda dari sumber ajaran Islam, dalam hal ini, tentunya al-Qur’an dan al-sunnah. Al-Qur’an dalam perspektif sosial-keagamaan saat ini telah mengalami reduksi dan degradasi status. Tidak perlu terlalu jauh dalam mengambil contoh, misalnya adalah sikap terhadap al-Qur’an yang tidak termasuk mutawatir. Dalam hal ini, dari masing-masing friksi organisasi keagamaan telah muncul perbedaan yang bukan hanya bersifat artifisial, akan tetapi sudah mengarah pada hal-hal yang bersifat prinsip. Misalnya tentang kepemimpinan di kalangan umat, masalah riba, masalah nilai seni, terorisme atau isu lainnya. Isu tentang kepemimpinan dikupas lebih jauh dalam buku ini. Satu pihak menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran yang harus dipahami secara literal di pihak yang lain al-Qur’an dipahami sebagai salah satu instrumen sumber ajaran dengan mengakomodasi pendapat para ulama yang telah diakui kredibilitasnya secara internasional.10

Dari beberapa ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dalam perspektif kehidupan saat ini baik ditinjau dari aspek ideologis, epistemologis, sosial paradigmatis, budaya,

9 M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an…, p. 153.

10 Lihat, Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006), pp. 44-50. Bandingkan dengan M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an…, pp. 200-206.

(7)

ekonomi, dan sosial-keagamaan mendapatkan tantangan yang luar biasa. Tantangan yang luar biasa berat ini barangkali yang menjadikan umat Islam menjadi gamang atau ragu dalam bersikap terhadap al-Qur’an itu sendiri. Namun demikian, sebagai umat Islam yang berkarakter semua itu bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan sebagai sesuatu yang menjadi pendorong untuk lebih berkualitas dan sekali lagi lebih berkarakter. Karakter di sini tentunya dipahami sebagai kepribadian Islam yang tidak mau dengan mudahnya menjual keyakinan dengan nilai rupiah atau nilai dolar berapapun. Padahal nilai jualnya bukan terletak di situ, akan tetapi terletak pada motivasi umat Islam dalam merespon situasi dan kondisi yang ada pada saat ini. Dengan kata lain, al-Qur’an harus dipahami dengan ideologi baru, paradigma baru, epistemologi baru, dan strategi baru.

Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran umat Islam, yang bahkan menempati posisi yang pertama dan utama untuk saat ini, telah menghadapi tantangan luar biasa beratnya. Umat Islam sebagai generasi penerus dan bertanggungjawab atas eksistensi dan kontinuitasnya dituntut untuk senantiasa melakukan reformasi internal (self-reformation) dalam memahami, menggunakan, dan mengaplikasikan al-Qur’an dalam kehidupan saat ini. Kondisi umat Islam saat ini tidak bisa melepaskan diri dari arus globalisasi yang terus menggilas seluruh sendi kehidupan manusia. Globalisasi dan al-Qur’an adalah dua entitas yang berbeda baik geneologis, fungsi, maupun karakternya. Namun, keduanya bertemu dalam diri umat Islam, karena umat Islam harus mempertahankan al-Qur’an dan harus menghadapi globalisasi. Sekali lagi semua berada di tangan umat Islam sendiri.

C.Tradisi Akademik Masyarakat Jogjakarta

Sebuah tradisi akademik bisa muncul di mana saja. Asalkan di wilayah, daerah, atau kawasan tersebut telah tersedia subyek, predikat, obyek, dan keterangan yang asyik berkecimpung dalam tradisi tersebut. Subyek artinya adalah pihak, baik perseorangan atau kelompok yang menjadi penentu dan penangungjawab bagi tradisi akademik. Predikat artinya di wilayah tersebut telah terbukti adanya proses dan upaya ejawantah dari tradisi akademik yang dimaksud. Obyek artinya sesuatu atau tradisi akademik yang menjadi sasaran, tujuan, dan korban dari proses dan upaya ejawantah di atas. Dalam hal ini tentunya adalah sebuah entitas yang tidak terlepas dari bingkai intelektualitas. Sedangkan keterangan artinya adalah berbagai hal yang berkaitan dengan entitas tradisi akademik yang mencakup dimensi ruang, waktu situasi, dan kondisi yang ada.

(8)

Tradisi akademik dapat dilihat dari keempat hal di atas, termasuk tradisi al-Qur’an di Jogjakarta. Dengan kata lain, tradisi al-Qur’an telah muncul dan tergagas di wilayah ini. Sebagai subyek adalah para pakar dan ahli al-Qur’an yang telah memiliki legitimasi akademik dalam disiplin ilmu al-Qur’an. Pihak-pihak ini menjadi penentu dan penanggungjawab bagi eksistensi tradisi al-Qur’an. Di wilayah Jogjakarta ini barangkali cukup representatif bila dilihat dari buah ekspresi intelektual para “begawan” al-Qur’an yang ada di berbagai perguruan tinggi Islam seperti UIN Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an An-Nur, dan beberapa peguruan tinggi atau fakultas agama Islam lainnya. Meskipun hal ini masih klaim yang bersifat sepihak, namun paling tidak bisa dijadikan sebagai

pemacu atau bahkan pemicu awal atas munculnya tradisi akademik al-Qur’an

di Jogjakarta.

Wilayah Jogjakarta, sebagaimana telah disinggung sedikit di atas memang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya. Apalagi setelah muncul wacana tentang undang-undang keistimewaan Jogjakarta. Keunikan kawasan ini dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi, sosial agama, sosial politik, bahkan sosial keamanannya bisa dijadikan sebagai tolok ukur bagi kekhasan daerah ini. Hal ini didukung oleh semangat para warga daerah Jogjakarta dalam upaya pengembangan dan perwujudan obsesinya sebagai pusat tradisi intelektual di kawasan Asia Tenggara, bahkan untuk benua Asia.

Dari aspek sosial budaya, paling tidak dapat ditilik dari tradisi dan budaya adiluhung yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Meskipun kadang-kadang tidak rasional, egaliter, atau demokratis. Karena di Jogjakarta kehidupan sosial budayanya masih sangat kental dengan tradisi Kerajaan Mataram. Misalnya, secara tidak tertulis dikatakan bahwa gubernur Jogjakarta memiliki kekuasaan bukan hanya dalam masalah administrasi, politik, dan keamanan akan tetapi juga dalam hal tradisi kehidupan masyarakat. Tradisi, unggah-ungguh, dan tata sopan santun masih terjaga dengan sangat kuat. Budaya ewuh-pakewuh dan feodalisme masih sangat kuat menancap di dada masyarakat, termasuk mereka yang telah mengenyam pendidikan formal tertinggi sekalipun.

Budaya senioritas, yunioritas, penghormatan kepada yang lebih tinggi derajat atau pangkatnya, serta budaya-budaya feodalistik lainnya masih cukup kuat di wilayah ini. Budaya yang demikian ini menjadi ciri khas, dan pada saat tertentu (tapi pasti) berpengaruh terhadap tradisi akademik, termasuk tradisi Qur’an. Hal ini dapat dilihat dalam kajian al-Qur’an yang muncul di wilayah ini senantiasa melihat bagaimana

(9)

pandangan dan ide-ide dari para senior yang kemudian baru dielaborasi atau disosialisasikan kepada semua pihak.11

Dari aspek sosial ekonomi, bisa dilihat dari berbagai aktivitas ekonomi di wilayah ini. Pada dasarnya Jogjakarta tidak begitu besar sumber daya alamnya, hanya saja mobilitas intelektual dan budayanya yang khas (baca: tinggi) mampu memberi kontribusi signifikan bagi kehidupan soial ekonomi masyarakatnya. Dalam hal kehidupan ekonomi banyak penduduk yang memiliki ketabahan luar biasa meskipun taraf kehidupannya minimal atau bahkan sangat minimal. Kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang cukup dan “nrimo” akan tetapi memperoleh kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan di sini harus didiferensiasi dengan kesenangan yang lebih mengacu pada ranah hawa nafsu. Banyak penduduk yang secara ekonomi berada pada taraf prasejahtera atau bahkan lebih rendah akan tetapi ternyata kehidupan mereka bisa berjalan dengan bahagia dan sejahtera. Barangkali, tradisi inilah yang menjadi faktor penentu bagi munculnya banyak intelektual murni di Jogjakarta. Karena dengan imbalan yang sangat tidak memadai, akan tetapi karya dan kreativitas cukup menonjol di Jogjakarta ini, termasuk tradisi al-Qur’an.

Barangkali sistem ekonomi kapitalisme di Jogjakarta kurang begitu diterima masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya wacana kekiri-kirian yang menjadi wacana dominan kaum intelektual, khususnya generasi muda dan mahasiswa. Apalagi ideologi para ahli ekonomi yang ada di Universitas Gadjah Mada sebagian besar adalah penganut ekonomi kerakyatan. Demikian juga yang ada di UIN Sunan Kalijaga lebih mengacu pada ekonomi kerakyatan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kajian ekonomi Islam di dalamnya. Sistem ekonomi model ini memang sangat tepat untuk budaya masyarakat agraris bukan masyarakat industri. Meskipun demikian, industrialisasi di Jogjakarta juga telah berkembang dengan pesat, hanya saja nilai-nilai ekonomi kerakyatan masih sangat kental dalam berbagai aktivitas ekonomi.12

Dari aspek sosial agama, Jogjakarta masih cukup kental dengan berbagai tradisi kejawen yang berpengaruh pada berbagai ritual keagamaan. Islam merupakan agama yang paling banyak dianut di wilayah ini (92%). Islam yang berkembang dan dijadikan panutan kehidupan sebagian besar masyarakat adalah Islam yang telah dipengaruhi oleh tradisi kejawen. Syari’ah yang bersifat formal dan eksoteris banyak mengalami

11 Hasil diskusi dengan seorang peserta Program S3 UIN Sunan Kalijaga dan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2 Januri 2009. Lihat, Harian, Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008, pp. 10-11.

12 Hasil wawancara dengan 4 orang di Kecamatan Gondokusuman Kota

(10)

kesulitan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Islam haruslah dimodifikasi sedemikian rupa agar sekali-kali jangan bertentangan tradisi dan budaya yang telah mapan di wilayah ini. Khususnya adalah di pelosok-pelosok desa yang masih kuat kepercayaannya terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib.

Kehidupan keagamaan yang bersifat esoteris, sufistik, serta aktivitas tarekat menjadi sangat kuat di sini. Hal ini disebabkan oleh masih kentalnya tradisi kejawen. Pada dasarnya tradisi keagamaan yang demikian ini juga muncul di wilayah lainnya. Akan tetapi, kekuatan dan kekentalannya berbeda. Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan, dan daerah-daerah tertentu yang setiap tahunnya meminta tumbal (misalnya: Pantai Parangtritis) sangat berpengaruh dan masih kuat di kalangan masyarakat. Dari aspek sosial keagamaan, ini juga dihasilkan berbagai karya ilmiah keagamaan, khususnya keislaman yang berbicara tentang hal-hal yang bersifat gaib dan spiritual. Tradisi sosial keagamaan yang demikian sedikit banyak mempengaruhi produk intelektual, termasuk dalam disiplin ilmu al-Qur’an.

Dalam aspek sosial politik masih sangat kental dengan budaya kerajaan atau keraton. Gubernur Jogjakarta sampai saat ini masih dipegang oleh Trah Ngarso Dalem Sri Sultan. Secara politis gejolak dan konflik yang diakibatkan perebutan kekuasaan sangat minimal, karena tradisi feodalisme yang sudah dimodifikasi sedemkian rupa, cukup efektif untuk meredam munculnya riak-riak kecil. Sikap ngemong, handarbeni, dan cinta rakyat kecil adalah sikap positif yang selama ini dikembangkan dan diimplementasikan dalam berbagai kebijaksanaan dan kebijakan pemerintah daerah.13

Kondisi sosial politik yang demikian inilah yang menjadi salah satu faktor produktivitas intelektual para cendekiawan di Jogjakarta. Pada dasarnya mereka tidak memiliki ambisi politis yang tinggi. Ketekunan dan kerajinan menuangkan pemikiran dan ide orisinil adalah menjadi wilayah yang sangat luas dan kuat bagi kelompok ini. Kreativitas banyak muncul di sini, termasuk para seniman. Bahkan untuk yang terakhir ini sudah diakui secara internasional. Banyak warga asing yang belajar seni dan tradisi di Jogjakarta. Dari sini, dapat dimengerti mengapa gejolak politik sangat minimal di wilayah ini. Hal ini tentunya menjadi harapan semua pihak.

Dari aspek sosial politik yang tidak banyak bergejolak berimplikasi positif dalam kehidupan sosial keamanannya. Tawuran antarkampung atau warga desa jarang sekali atau bahkan tidak pernah terjadi sama sekali. Hal ini dapat dibuktikan dengan realitas dan fakta, di mana ketika banyak

(11)

daerah di wilayah lain terjadi gejolak keamanaan Jogjakarta seakan terbebas dari berbagai kerusuhan. Khususnya kerusuhan “kamis kelabu” Mei 1998. Di sini, dapat dikemukakan bahwa tingkat keamanan di wilayah cukup terjamin. Dalam bahasa militer, kondisi di Jogjakarta adalah aman dan terkendali.

Setelah melihat dari berbagai aspek kehidupan di Jogjakarta, maka dibandingkan dengan Jakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan atau kota-kota lainnya di wilayah masing-masing, Jogjakarta memiliki karakteristik tersendiri. Perbedaan kultur, struktur sosial, tradisi kegamaan, adat istiadat sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan mobilitas intelektual wilayah ini.

D.Al-Qur’an: Kitab Suci, Sumber Hukum, Sekaligus Sumber Kesaktian

Sejarah telah mencatat bahwa sumber hukum ummat Islam pada masa awal Islam sesungguhnya dapatlah dikatakan hanya terdiri dari wahyu semata.14 Karena meskipun Nabi s.a.w. mempunyai otoritas yuridis,

semua ketetapan yang beliau berikan pada dasarnya telah memperoleh legitimasi dari al-Qur’an. Begitu pula ijtihad Nabi s.a.w. dalam beberapa hal selalu direspon oleh al-Qur’an, baik untuk mendukung atau mengoreksinya. Ini sekali lagi menandaskan bahwa wahyu itulah yang merupakan sumber bagi penetapan hukum Islam pada masa Rasulullah s.a.w.

Di samping itu, menurut Islam memang sumber wewenang tertinggi hanyalah Allah s.w.t. semata. Dalam cita hukum semua orang tanpa kecuali tunduk pada hukum Allah s.w.t. yang berasal dari wahyu samawi. Beberapa ayat al-Qur’an juga menunjukkan bahwa ia adalah sumber pokok legislasi. Fazlur Rahman menyatakan bahwa karena esensi hukum adalah relijius, maka ia haruslah berdasarkan wahyu Ilahi.15

Masih dalam kaitan al-Qur’an sebagai referensi utama hukum, pada zaman Rasulullah s.a.w. ini, jika diperhatikan ayat-ayat yang turun menunjuk pada proses pentasyri’an yang sebagian besar merupakan jawaban terhadap persoalan yang timbul dalam masyarakat.16 Dengan kata

lain, hukum syari’at Islam merupakan fungsi solutif bagi permasalahan manusia. Tentu saja hal ini selaras dengan totalitas al-Qur’an, bahwa ia diturunkan bukan dalam paparan sejarah yang hampa. Sunah Nabi s.a.w.

14 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 6, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1970), p. 183.

15 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Muhammad Ahsin, cet. 1, (Bandung: Pustaka,

1984), p. 84.

(12)

di pihak lain, dalam kaitan ini tentu saja bukan merupakan sumber otoritatif setingkat al-Qur’an. Ia berfungsi menerangkan al-Qur’an, karena itu kehadirannya juga mengikuti perkembangan masyarakat.

Pada masa pasca Rasulullah s.a.w. sampai saat ini, sumber hukum berkembang dan terus mengalami dinamika bersamaam dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang ada. Dalam wilayah yang lebih kecil, yakni masyarakat Jogjakarta terkait dengan al-Qur’an masih tetap menjadikannya sebagai sumber hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslimnya.

Di samping sebagai sumber hukum bagi masyarakat Jogjakarta, al-Qur’an juga dijadikan sebagai kitab suci, yang setiap harinya senantiasa dibaca dari satu huruf ke huruf yang lain, bahkan merupakan sebuah kebanggan masyarakat Jogjakarta apabila selama satu bulan Ramadlan mampu menyelesaikan bacaan al-Qur’an sampai selesai (khatam), meskipun tidak memahami makna dan isi kandungan ajaran di dalamnya. Pada posisi ini masyarakat Jogjakarta, hanya berkeinginan untuk ngalap

berkah di bulan yang suci (Ramadlan) dengan mengkhatamkan bacaan

terhadap kitab yang suci juga (al-Qur’an). Dengan berkumpulnya dua hal yang suci, masyarakat Jogjakarta mengharapkan jiwa dan raganya benar-benar menjadi suci. Inilah yang menjadi motivasi utama dalam membaca al-Qur’an sebagai kitab suci yang diyakini akan memberikan berkah bagi kehidupannya. Memang dalam konteks ini, pemahaman terhadap arti dan maksud semua ayat al-Qur’an yang dibacanya tidak menjadi tuntutan utama.17

Kehebatan al-Qur’an dijadikan sebagai kitab suci bagi masyarakat Jogjakarta, meskipun tidak seperti sebelum era metropolis sekarang ini akan tetapi sebagian besar masyarakat muslim Jogjakarta masih menjadikan tradisi membaca al-Qur’an secara bersama dari awal sampai akhir masih dipertahankan sampai saat ini. Berbagai hambatan dan gangguan bagi masyarakat muda Jogjakarta memang sangat dahsyat terkait dengan tradisi khataman al-Qur’an ini. Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat yang sudah berkeluarga atau sudah berumur, tradisi ini menjadi sebuah kebanggan tersendiri. Inilah barangkali yang menjadikan masyarakat masih memegang teguh al-Qur’an sebagai kitab suci, tidak seperti kitab atau buku-buku yang lainnya.

Terdapat satu lagi pandangan masyarakat Jogjakarta terhadap al-Qur’an yakni sebagai sumber kesaktian manusia. Meskipun pandangan ini hanya dimiliki sebagian kecil dari masyarakat Jogjakarta, akan tetapi

17 Hasil wawancara dengan beberapa anggota majlis taklim di Kecamatan

(13)

merupakan sebuah fenomena yang menarik. Salah satu bukti dari pandangan bahwa al-Qur’an sebagai sumber kesaktian manusia adalah masih dipercayanya ayat-ayat al-Qur’an sebagai bahan bacaan atau doa seorang atau beberapa orang tabib yang berupaya untuk menyembuhkan pasien atau orang lain yang membutuhkannya. Selain itu, juga sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an dibaca oleh seseorang sebagai doa untuk meningkatkan rasa percaya diri. Padahal sebelum dia membaca sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut nyali atau keberaniannya sangat kecil. Akan tetapi setelah membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an kemudian di dalam jiwanya mengalami peningkatan keberanian yang cukup signifikan. Efek kejiwaan inilah yang kemudian secara nyata menimbulkan keberanian secara fisik. Misalnya seseorang yang sebelumnya tidak berani memasuki kuburan (makam). Akan tetapi, setelah membaca beberapa atau sebagian ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dia merasa dalam dirinya muncul keberanian yang sebelumnya tidak ada.18

Inilah barangkali karakteristik masyarakat Jogjakarta dalam kaitannya dengan al-Qur’an. Masyarakat Jogjakarta yang sebagian besart adalah pemeluk agama Islam, maka secara tidak langsung sebaran dan bacaan al-Qur’an di wilayah Jogjakarta juga menjadi yang terbesar dibanding dengan kitab suci agama lainnya. Keberagaman tingkat keberagamaan masyarakat Jogjakarta berkorelasi secara lurus dengan tingkat keyakinan serta pemosisian al-Qur’an di dalam dirinya.

Masyarakat muslim Jogjakarta yang taat, tentu al-Qur’an bukan hanya dijadikan sebagai kitab suci, akan tetapi lebih dari itu yakni sebagai sumber hukum yang memberi warna terhadap perilaku sehari-harinya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum akan mendapat tempat yang sangat dominan bagi masyarakat Muslim yang taat dan sekaligus seorang akademisi. Lain lagi dengan masyarakat muslim Jogjakarta yang kurang taat, al-Qur’an akan dijadikan sebagai kitab suci dan bahkan mungkin sebagai sumber kesaktian. Masyarakat muslim yang terakhir ini, yakni yang menjadikan al-Qur’an sebagai sumber kesaktian bisa jadi juga dimiliki oleh para ulama, yang notabene sangat taat beragama. Fenomena inilah yang menjadi karakteristik masyarakat Jogjakarta yang secara jelas memiliki perbedaan dengan masyarakat daerah lainnya.

E.Penutup

Dari berbagai ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dalam konteks masyarakat Jogjakarta mendapatkan posisi yang sangat

18 Hasil diskusi dengan seorang alumni Program Doktor UIN Sunan Kalijaga

(14)

unik. Meskipun demikian, masih tetap rasional. Posisi al-Qur’an yang dilihat dari berbagai perspektif ternyata ketika dikaitkan dengan realitas masyarakat Jogjakarta memiliki fungsi atau kedudukan yang sukup dominan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an sebagai kitab suci tentu menduduki urutan pertama dalam referensi kehidupan masyarakat Jogjakarta, baik yang terpelajar, akademisi, bahkan masyarakat awam lainnya. Sementara al-Qur’an sebagai sumber hukum menduduki posisi yang sangat penting bagi masyarakat muslim Jogjakarta yang taat sekaligus sebagai masyarakat akademis. Terakhir, al-Qur’an sebagai sumber kesaktian manusia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang bisa saja dia sangat taat bisa juga yang kurang/tidak taat terhadap ajaran agamanya.

(15)

Daftar Pustaka

al-Attas, S.M.N., The Nature of Man and the Psychology of Human Soul, Kuala Lumpur: ISTAC, 1990.

al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwin al-‘Aql al-‘Arabiy, cet. 4, Casablanca: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arab, 1991

Ancok, DJamaluddin dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi

Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Budiman, Arief, “Dari Patriotisme Ayam dan Itik sampai ke Sosiologi pengetahuan Sebuah Pengantar,” dalam Karl Mannheim, Ideologi dan

Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, alih bahasa F. Budi

Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Coulson, Norman J., A History of Islamic Law, Edinburgh: tnp., 1964, hlm. 82.

Fakih, Mansour, “Ideologi dalam Pendidikan: Sebuah Pengatar” dalam William F. O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Harian, Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2008. Harian, Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008.

Ismail, Muhammad Imaduddin, Al-Syakhshiyyah wa al-‘Ilaj al-Nafsiy, Kairo: Maktabah al-Syakhshiyyah al-Mishriyah, 1959.

Poerwokoesoemo, Soedarisman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada Press University, 1984.

Rahardjo, M. Dawam, Paradigma Al-Qur’an; Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005.

Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Muhammad Ahsin, cet. 1, Bandung: Pustaka, 1984.

Rumadi, Post Tradisionalisme Islam; Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007.

Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains

(16)

Tim Editor, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political

Landscape, Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika; Membaca Islam dari

Referensi

Dokumen terkait

Al-Qur‟an sebagai kitab suci (kitâbun muthahharah) maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur‟an

Saat ini hijab selain menjadikan jati diri seorang muslimah dan memenuhi perintah Ilahi, hijab juga mempunyai nilai tren positif dalam perubahan penampilan pada perempuan

pembelajaran menulis, salah satunya dalam penelitian sebelumnya metode STAD digunakan dalam jurnal berjudul “Penerapan Metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada

Usaha Konfeksi dan Sablon sebagai pemasok Factory Outlet, distro dan clothing untuk daerah Jakarta, terutama daerah Dago (Jl.Ir.H.Juanda) di Kota Bandung. Salah

Iklan Baris Iklan Baris BODETABEK Serba Serbi RUPA-RUPA Rumah Dijual Rumah Dikontrakan JAKARTA PUSAT JAKARTA PUSAT JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR JAKARTA UTARA

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

Persepsi masyarakat pengelola lahan terhadap lingkungan dan manfaat hutan Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi tentang manfaat keberadaan hutan di wilayah DAS