• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

Dermatitis atopik (atopic dermatitis) adalah penyakit peradangan kulit yang sifatnya menahun residif disertai rasa gatal hebat, eksaserbasi kronik dan remisi, dengan etiologi yang sifatnya multifaktorial. Dermatitis atopik biasanya berhubungan dengan penyakit alergi lainnya seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis alergi. Sinonim dermatitis atopik adalah neurodermatitis, eksema atopik, eksema dermatitis atau prurigo Besnier (Leung dkk. 2008; Lipozen dkk., 2007; Bieber dkk., 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi dermatitis atopik (DA) berbeda-beda antar negara. Di negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa sekitar 1%-3% dan pada anak sekitar 10%-20%. Prevalensi dermatitis atopik di negara agraris seperti Cina, Eropa Timur, dan Asia Tengah jauh lebih rendah. Secara umum prevalensi DA sekitar 10%-20% pada anak dan sekitar 1%-3% pada dewasa (Hammer-Helmich dkk., 2014; Afshari dkk., 2016; Leung dkk., 2012). Dermatitis atopik biasanya muncul pada bayi dan anak-anak, akan tetapi dapat menetap ataupun DA dapat dimulai pada usia dewasa. Sekitar 45% kasus dermatitis

(2)

atopik berawal pada 6 bulan pertama kehidupan, 60% pada tahun pertama kehidupan dan 85% sebelum usia 5 tahun (Pyun BY, 2015). Remisi spontan dialami sebelum remaja yaitu Lebih dari 70% dan setelah pubertas mengalami gejala ulangan sebesar 25 % (Karagiannidou dkk., 2014). Terjadi kecenderungan prevalensi menurut jenis kelamin dimana wanita lebih banyak menderita daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Onset DA yang lebih awal berkorelasi dengan sensitivitas terhadap allergen yang lebih tinggi. Anak-anak yang mengalami DA pada awal masa kehidupannya sangat sensitif terhadap beberapa allergen (sekitar 60% dari seluruh kasus), sedangkan pada anak-anak dengan onset DA yang lebih lambat didapatkan lebih kurang sensitif terhadap alergen (Afshari dkk., 2016; Evina, 2015).

DA cenderung diturunkan. Lebih dari 25% anak dari seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami DA pada tiga bulan pertama masa kehidupan. Bila salah satu orang tua menderita atopik maka lebih dari 50% anak akan menderita gejala alergi sampai usia dua tahun. Bila kedua orang tua menderita atopik maka angka akan meningkat hingga 79% (Karagiannidou dkk., 2014).

2.1.3 Patogenesis

Belum ditemukan penyebab pasti DA. Berbagai faktor yang kemungkinan berperan dalam patogenesis dermatitis atopik antara lain faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, dan sistem kekebalan (Leung dkk., 2012).

(3)

2.1.3.1 Gangguan fungsi sawar kulit

Pada DA terjadi rasa gatal yang hebat, garukan, disertai hipereaktivitas kulit dan berkurangnya ambang batas rasa gatal sebagai dasar terjadinya stimulasi mekanis yang kontinyu dan pengeluaran sitokin yang tidak teratur oleh keratinosit. Pada DA terjadi perubahan komposisi lemak stratum korneum sehingga kulit menjadi kering. Perubahan pH kulit ke arah alkali mengakibatkan permeabilitas terhadap alergen dan iritan meningkat (Bieber, 2008).Gangguan fungsi sawar kulit pada DA meningkatkan absorpsi antigen sehingga terjadi hipereaktivitas kulit sebagai gambaran khas DA (Karagiannidou dkk., 2014). Penelitian lain menyebutkan bahwa sekresi seramidase (berfungsi memecah seramid menjadi sphingosine dan asam lemak) oleh flora bakteri jumlahnya lebih banyak pada penderita DA baik pada kulit dengan lesi ataupun tanpa lesi (Benedetto dkk., 2012).

2.1.3.2 Faktor Imunologi

Konsep dasar patogenesis terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik. Parameter imunologi seperti kadar IgE dalam serum ditemukan meningkat pada 60-80% penderita. Selain itu juga ditemukan IgE yang spesifik terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia darah serta adanya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal. Suatu penelitian mendapatkan bahwa 80% anak dengan dermatitis atopik mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara DA dengan kejadian alergi pada saluran napas (Thomsen, 2014).

(4)

Respon imun dapat berlangsung dalam lapisan dermo-epidermal dengan melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Apabila suatu antigen (baik berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen atau super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopik, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi IgE yang ada pada permukaan sel mast atau membran SL epidermis (Bieber, 2012).

Antigen Presenting Cell (APC) pada DA (berupa sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis) dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik (terikat pada reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein). SL dengan ikatan IgE dan antigen pindah dari dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio parakortikal). Di sana antigen diproses menggunakan Major Histocompatibility Complex (MHC) II dan dipresentasikan untuk mengaktifkan sel T naïve. Diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi menentukan perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Melalui glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T, apakah menjadi sel T helper/regulatory CD4+ atau sel T cytotoxic/ supressor CD8+. Infiltrat mononuklear pada lesi DA terutama berupa sel T CD4+ dan sedikit sel T CD8+ (Rerknimitr dkk., 2017)

Lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang disekresi oleh makrofag dan sel dendritik. Sel Th2 dipicu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, TNF-α, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel Th2

(5)

memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. IL-4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit (Leung dkk., 2000).

Pola ekspresi lokal sitokin mempengaruhi inflamasi di jaringan lokal, dimana pada DA pola ini bergantung pada usia lesi kulit. Pada kulit dengan lesi akut atau tanpa lesi DA, sel T meningkatkan ekspresi IL-4, IL-5, dan IL-1 dengan sedikit INF-γ. IL-4 menghambat produksi INF-γ dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga lingkungan tersebut memicu perkembangan ke arah sel Th2. Sitokin Th2 akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga terjadi peningkatan pengeluaran molekul adesi. Pada lesi kronik terdapat pola sitokin yang berbeda, dimana terjadi peningkatan kadar INF-γ, IL-12, IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). IFN-γ sebagai sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak namun kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. IFN-γ dan IL-12 memicu terjadinya infiltrasi limfosit dan makrofag. IFN-γ dan GM-CSF merangsang sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis sehingga terjadi hiperplasia epidermis pada lesi kronik. (Leung dkk., 2012; Leung dkk., 2000).

Kelainan imunologi utama pada DA adalah sekresi IgE yang berlebihan. Ikatan antigen dengan IgE pada permukaan sel mast memicu pelepasan mediator kimia seperti histamin sehingga berakibat keluhan rasa gatal dan kemerahan pada kulit. Pelepasan mediator ini terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Reaksi fase lambat (late phase reaction) menyusul

(6)

3-4 jam setelah reaksi fase cepat. Pada reaksi fase lambat terjadi ekspresi adesi molekul pada dinding pembuluh darah dan diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada daerah radang. Hal ini terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, namun tidak terjadi peningkatan pada Th1 (Honda dkk., 2017; Rerknimtr dkk., 2017, Leung dkk., 2012).

(7)

2.1.4 Faktor Risiko 2.1.4.1 Faktor Genetik

DA merupakan penyakit genetik yang kompleks dan berkembang berdasarkan latar belakang genetik dan interaksi genetik dengan lingkungan. Hal ini dicirikan dari onset DA yang lebih banyak pada usia dini, prevalensi penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi pada saudara kembar (pada monozigot sebesar 77%, pada dizigot sebesar 15%). Gen yang terlibat dalam DA antara lain:

a. Gen pada kromosom 5q31-33 yang mengandung famili gen sitokin Th2 yaitu IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.

b. Gen lainnya yaitu pada kromosom 16p11.2-12 merupakan lokasi IL-4 reseptor gen alfa (IL-4Rα). Polimorfisme pada minimal empat asam amino yang berbeda pada lokasi sitoplasmik IL-4Rα mempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan meningkatkan sekresi IgE.

c. Gen pada 12q21-1q24.1, yaitu gen IFN-γ dan faktor sel punca (KIT ligand/mast-cell growth factor) berlokasi berhubungan dengan kadar IgE total yang tinggi.

d. Lokus gen 11q13 sebagai daerah untuk rantai β reseptor IgE terkait dengan fenotip dermatitis atopik.

e. Dan varian dari area pengkode IL-13, mutasi pada promotor proksimal gen RANTES dan keterkaitan dermatitis atopik dengan kromosom 3q21, area yang mengkode molekul kostimulator Cluster of Differentiation 80 (CD80)

(8)

dan CD86 telah diidentifikasi sebagai lokus yang rentan padda DA (Thomsen dkk., 2007; McPherson, 2016).

Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara DA dengan mutasi gen filagrin pada kromosom 1. Gen filagrin merupakan risiko genetik terkuat dimana sebanyak 50% penderita dengan DA mengalami mutasi pada gen ini. Mutasi gen filagrin menyebabkan gangguan fungsional pada protein filagrin dan menganggu fungsi sawar kulit. Manifestasi klinis gangguan ini adalah kulit kering dengan fisura dan berisiko tinggi menjadi eksema (Rerknimitr dkk., 2017; McPherson, 2016; Gutowska-Owsiak, 2012).

2.1.4.2 Faktor lingkungan

Hanya sedikit faktor risiko dari aspek lingkungan yang diterima sebagai penyebab potensial DA. Salah satu contoh faktor ini adalah gaya hidup barat yang mengarahkan pada peningkatan kejadian eksema namun tidak mampu menunjukkan faktor risiko lingkungan yang spesifik sehingga tindakan preventif tidak dapat ditentukan (Benedetto dkk., 2012; Thomsen, 2014).

Terdapat suatu hipotesis yang menjelaskan peningkatan prevalensi eksema. Hipotesis tersebut, dikenal sebagai hygiene hypothesis, menyatakan bahwa rendahnya paparan terhadap infeksi protipikal seperti hepatitis A dan tuberkulosis pada masa awal pada anak-anak meningkatkan kerentanan atau kecenderungan seseorang untuk menderita dermatitis atopik. Hipotesis ini didukung oleh data bahwa saudara termuda memiliki risiko dermatitis atopik terendah serta anak-anak yang tumbuh di

(9)

lingkungan pertanian (terpapar oleh berbagai jenis mikroflora, susu sapi yang belum terpasteurisasi, dan hewan ternak) pada umumnya memiliki efek proteksi dari penyakit alergi. Perkembangan penyakit DA juga dipengaruhi oleh lamanya menyusui. Faktor-faktor gaya hidup modern (seperti penggunaan antibiotic yang meningkat, jumlah anggota keluarga yang menurun, dan higienitas yang meningkat) meningkatkan kemungkinan menderita DA (Bloomfield dkk., 2016; Hong dkk., 2014).

2.1.5 Gejala Klinis

Gejala klinis dan perjalanan klinis DA bersifat sangat bervariasi. Gejala utama DA adalah pruritus atau rasa gatal yang hilang timbul sepanjang hari, tetapi biasanya lebih hebat pada malam hari. Akibat gejala ini penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit lain seperti papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit penderita DA biasanya kering, pucat atau redup, kadar lipid dalam epidermis berkurang, dan terjadi peningkatan kehilangan air lewat epidermis (Eichenfield dkk., 2014).

Lesi akut pada DA dapat berupa eritema dengan papul, vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk. Sedangkan lesi pada stadium kronik berupa penebalan kulit atau likenifikasi. Selain itu dapat terjadi fisura yang nyeri terutama pada fleksor, telapak tangan, jari dan telapak kaki. Pada individu yang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular (Leung dkk., 2012)

(10)

2.1.6 Klasifikasi

DA secara klinis terbagi menjadi 3 fase yaitu (Leung dkk., 2012; Karagiannidou dkk., 2014):

1. Fase infantil (usia 0-2 tahun)

DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, umumnya setelah usia 2 bulan. Lesi diawali di kulit muka (dahi, pipi) dalam bentuk eritema, papulovesikel halus, karena keluhan gatal kemudian digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya membentuk krusta dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada usia sekitar 18 bulan mulai timbul likenifikasi. Sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke bentuk atau fase anak.

2. Fase anak (usia 2 - 12 tahun)

Fase anak dapat sebagai kelanjutan dari bentuk infantil atau dapat timbul sendiri (de novo). Lesi DA anak berjalan menahun akan berlanjut hingga usia sekolah. Predileksi biasanya pada lipatan siku, lipatan lutut, leher dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena berupa lesi eksudatif dan terkadang disertai kelainan kuku. Umumnya kelainan kulit pada DA anak tampak lebih kering bila dibandingkan pada bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit dapat terjadi sejalan dengan berlanjutnya lesi, dapat menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi. 3. Fase Dewasa (usia > 12 tahun)

DA pada fase dewasa gambarannya mirip dengan lesi pada anak usia lanjut (8-12 tahun) dimana didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatan tangan. Lesi sifatnya kering, agak timbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak

(11)

likenifikasi dengan sedikit skuama, sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan yang lambat laun dapat menjadi hiperpigmentasi. Pada fase dewasa, distribusi lesi bersifat tidak terlalu khas, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat juga bersifat lokal, misalnya bibir, vulva, puting susu, atau kulit kepala. Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis DA didasarkan pada keluhan dan gambaran klinis. Pada awalnya diagnosis DA didasarkan atas berbagai gambaran klinis yang tampak terutama gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak dapat dibuat tanpa disertai adanya riwayat gatal (McPherson, 2016).

Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 telah membuat kriteria diagnosis DA berdasarkan pada kriteria mayor dan minor. Hingga saat ini kriteria ini masih sering digunakan. Diagnosis DA harus mempunyai mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

Kriteria mayor meliputi : 1. Pruritus

2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa

4. Dermatitis kronis atau residif

5. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rinokonjungtivitis alergi, DA, urtikaria kontak).

(12)

Kriteria minor meliputi : 1. Xerosis (kulit kering)

2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks) 3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki,

4. Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris, 5. Pitiriasis alba,

6. Dermatitis di papilla mama,

7. White dermographism dan delayed branch response, 8. Keilitis,

9. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan, 10.Konjungtivitis berulang,

11.Keratokonus,

12.Katarak subkapsular anterior, 13.Orbita menjadi gelap,

14.Muka pucat atau eritem, 15.Gatal bila berkeringat,

16.Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak, 17.Aksentuasi perfolikular,

18.Hipersensitif terhadap makanan,

19.Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi, 20.Tes kulit alergi tipe dadakan positif,

(13)

22.Awitan pada usia dini.

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi karena kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol, disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (Thomsen, 2014; Leung dkk., 2012).

The European Task Force on Atopic Dermatitis pada tahun 1993 membuat suatu indeks untuk menilai derajat dermatitis atopik, dikenal dengan istilah Score of Atopic Dermatitis (SCORAD). SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis atopik dengan menilai (A) luas lesi, (B) tanda- tanda inflamasi, dan (C) keluhan gatal dan gangguan tidur. Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi, papul, dan likenifikasi (Oranje dkk., 2007; Leung dkk., 2012)

(14)

Gambar 2.2. Indeks SCORAD (The European Task Force on Atopic Dermatitis,1993)

Luas lesi (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala penilaian 0-100. Tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria: eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3, dimana 0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat, jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18. Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang dinilai dengan visual analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20. Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 +C. Pada formula ini A adalah luas lesi (0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah

(15)

gejala subjektif (0-20). Skor maksimal SCORAD adalah 103. Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi dermatitis atopik ringan, sedang dan berat. Dermatitis atopik ringan dengan skor SCORAD <25, DA sedang dengan skor SCORAD antara 25-50, dan DA berat dengan skor SCORAD >50 (Oranje dkk., 2007; Lipozen dkk.., 2007).

2.2 Leptin dan resptor leptin

Leptin berasal dari bahasa Yunani “leptos” yang berarti kurus. Leptin pertama kali diidentifikasi pada tahun 1994, sebagai suatu protein disandi dari gen obesitas (ob), yang berfungsi dalam regulasi berat badan. Leptin bersifat pleotropik dan memiliki berat molekul16 kDa. Leptin utamanya disintesis oleh sel-sel adiposa, namun berbagai penelitian telah menemukan adanya sintesis leptin serta reseptornya pada sel-sel fibroblast dan keratinosit pada lapisan epidermis, yang keberadaannya dapat dideteksi melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (Piz-Filho dkk., 2012;). Antibodi poliklonal Ob (A-20) sc-842 dengan metode immunostaining dapat digunakan untuk menentukan leptin-like immunoreactivity yang bereaksi kuat pada sel-sel keratinosit pada lapisan basal dan suprabasal epidermis. (Liu dkk., 2018). Struktur leptin memiliki kesamaan dengan sitokin, yaitu memiliki rantai panjang berbentuk helik seperti pada interleukin-6 (IL-6) dan IL-11 (Wauman dkk., 2017). Leptin selain diproduksi oleh adiposa juga diproduksi di sejumlah jaringan seperti plasenta, ovarium, otot skeletal, lambung, kelenjar hipofisis, dan hati (Bjorbaek dkk., 2004)

(16)

Leptin memiliki peran sebagai regulator energi, berfungsi dalam sistem endokrin serta berperan dalam sistem imunitas. Kadar leptin yang terdapat dalam sirkulasi berhubungan dengan massa jaringan adiposa dan kadar yang tinggi akan memberikan signal umpan balik pada hipotalamus, sehingga dapat mengontrol cadangan lemak, mengatur nafsu makan serta meningkatkan penggunaan energi (Bjarbaek, 2009). Kadar leptin manusia di sirkulasi adalah naik turun (pulsatile), seperti ritme jantung, serta dipengaruhi oleh pola tidur. Kadar leptin mencapai puncak antara malam hari dan pagi hari, serta paling rendah pada siang hingga sore hari. Pada individu dengan obesitas, pola sekresi leptin adalah sama, namun pada saat mencapai puncak, kadarnya jauh lebih tinggi dari kadar pada individu normal, dikarenakan individu dengan obesitas memiliki jumlah sel adipose yang lebih banyak. Konsentrasi leptin pada wanita lebih tinggi pada fase luteal dibandingkan fase menstruasi dan sangat rendah pada wanita menopause. Apabila dibandingkan dengan pria, kadar leptin pada wanita didapatkan lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh hormonal pada sekresi leptin (Mantzoros dkk., 2011). Kadar serum leptin pada individu sehat adalah berkisar 1-3 ng/mL atau dapat mencapai rata-rata 4mg/mL, sedangkan pada individu dengan obesitas didapatkan kadar serum leptin rata-rata 40 ng/mL hingga mencapai 100 ng/mL (Hoda dkk., 2012).

Leptin memiliki reseptor (ObR) yang memiliki 6 isoform yang berbeda, yaitu Ob-Ra, Ob-Rb, Ob-Rc, Ob-Rd, Ob-Re, and Ob-R. Reseptor Ob-Rb memiliki bentuk yang paling panjang, yang berperan dalam transduksi sinyal untuk mengaktifkan JAK-STAT pathway. Leptin memiliki empat reseptor bentuk pendek, yaitu Ob-Ra,

(17)

Ob-Rc, Ob-Rd, dan Ob-Rf, dimana Ob-Ra berperan dalam transport leptin melewati sawar otak serta degradasi leptin. Bentuk sekresi yaitu Ob-Re, berperan sebagai protein pengikat leptin plasma. Kesemua isoform tersebut, terlibat dalam memediasi keja leptin di otak dan organ perifer, namun hanya Ob-Rb yang memiliki bentuk sitoplasma panjang yang diperlukan untuk trasduksi sinyal. Reseptor Ob-Rb secara normal terdapat dalam jumlah yang sangat banyak pada hipotalamus dan pada tipe sel lainnya termasuk sel T serta sel endotel vaskular (La Cava dkk., 2004; Paz-Filho dkk., 2012; Wauman dkk., 2017).

(18)

2.2.1 Leptin-dependent signaling

Reseptor leptin tidak memiliki aktifitas enzimatik intrinsik sehingga diperlukan proses signaling yang diinduksi ligan Janus-family tyrosine kinase 2 (JAK2) (Wauman dkk., 2017).

Leptin bekerja melalui ikatan leptin dengan reseptornya akan menginduksi proses signaling selanjutnya melalui the janus kinase (JAK) kemudian menginduksi phosphorylation of tyrosine (Y) pada reseptor yang terletak pada sitoplasma membentuk ikatan phosphotyrosine pada protein STAT. Setelah terjadi proses phosphorylation dan terbentuk residu tyrosine pada protein STAT, ikatan ini akan memisahkan diri dari reseptor dan akan berfungsi sebagai regulator aktif pada proses transkripsi gen. Setelah ditransportasikan ke dalam nukleus akan mengalami ikatan dengan element STAT dan DNA untuk menstimulasi proses transkripsi gen target (Limanan dkk., 2013).

Jalur STAT3 tidak diaktivasi pada jaringan lainnya. Signaling STAT3 leptin-dependent dan adenosisne monophosphate kinase (AMPK) dapat menginduksi dan mengorganisasikan peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) serta gamma coactivator (PGC) dan mampu mensupport integritas serta fungsi mitokondria (Guo, et al., 2008). Leptin meningkatkan ekspresi fos yang merupakan target dari STAT3 serta meningkatkan ekspresi beberapa gen lainnya secara spesifik pada hipotalamus (Myers dkk., 2008; Paz-Filho dkk., 2012).

(19)

Gambar 2.4 Leptin dan JAK-STAT pathway (Myers dkk., 2008)

2.2.2 Leptin dan Respon Imun

Efek leptin terhadap sistem imun adalah karena aktivitasnya sebagai sitokin proinflamasi.

Pada netrofil, leptin mengaktifkan kemotaksis melalui jalur p38MAPK. Selanjutnya, pada PBMC jalur MAPK tampaknya memediasi efek antiapoptotik. Jalur fosfatidilinositol 3 - kinase adalah regulator untuk sejumlah efektor, meliputi faktor transkripsi antiapoptotik NF-kB. NF-kB berperan penting dalam memediasi berbagai sistem sinyal untuk meregulasi respon imun (Myers dkk., 2008).

Peran leptin yang telah dijelaskan dalam fungsi sistem imun dapat bersifat relevan baik dalam imunitas seluler maupun humoral. Efek utama leptin dalam imunitas bawaan melibatkan aktivasi proliferasi dan fagositosis monosit/makrofag, kemotaksis netrofil, pelepasan radikal oksigen oleh sel, serta aktivasi sel NK. Pada

(20)

makrofag, leptin juga meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6 dan IL-12 (Kelesidis T. dkk., 2010).

Gambar 2.5 Peranan Leptin pada Innate dan Adaptive Immunity (La Cava dkk., 2004).

Efek leptin terhadap imunitas adaptif juga telah banyak diteliti. Leptin menstimulasi proliferasi sel T naïf dan sekresi IL-2 oleh sel tersebut. Studi pada manusia telah menunjukkan peran leptin dalam aktivasi limfosit. Leptin saja tidak mampu menginduksi proliferasi dan aktivasi limfosit matur didarah perifer manusia kecuali jika diberikan bersama dengan imunostimulan nonspesifik lain, dimana leptin menyebabkan induksi penanda aktivasi dini (CD69) dan lambat (CD25 dan CD71) baik pada limfosit CD4 maupun CD8 (La Cava dkk., 2004).

(21)

2.2.3 Hiperleptinemia dan Resistensi leptin

Pada obesitas terjadi hiperleptinemia berkaitan dengan respon pro inflamasi. Pada keadaan obesitas, terdapat jaringan adipose berlebih yang dapat mensekresi leptin dalam jumlah yang lebih besar. Selain mensekresi leptin, terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi seperti C-reactive protein, TNF­α, IL­6, IL­18, macrophage migration inhibitory factor (MIF), haptoglobin, serum amyloid A (SAA), and plasminogen activator inhibitor-1. Disisi lain, sitokin TNF­α dan IL­6 juga berfungsi dalam sekresi leptin, dengan memicu sel adipose untuk memproduksi leptin (Paz-Filho dkk., 2012).

Resistensi leptin dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti produksi leptin secara berlebih yang terjadi pada keadaan obesitas, ataupun adanya mutasi pada reseptor leptin, polimorfisme reseptor, gangguan transpor leptin dari blood brain barier, maupun gangguan signaling pada leptin (Mantzoros dkk., 2011).

2.3 Peran Leptin Pada Patogenesis Dermatitis Atopik

Mekanisme timbulnya manifestasi penyakit atopik pada obesitas berhubungan dengan adanya keadaan hiperleptinemia, yaitu produksi leptin yang berlebih dalam darah yang terjadi karena adanya gangguan pensinyalan leptin pada reseptor leptin. Keadaan resistensi leptin akan menyebabkan leptin tidak dapat bekerja pada reseptornya. Resistensi leptin akan menyebabkan supresi dari produksi sitokin Th1 dan sebaliknya akan terjadi peningkatan sekresi Th2 sehingga menyebabkan produksi sitokin Th1 menurun dan produksi sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, dan IL-3 akan meningkat. Sekresi IL-4 akan menyebabkan proses switching pada limfosit B

(22)

sehingga limfosit B menghasilkan imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin spesifik adalah suatu penanda atopi (Lasendra dkk., 2015; Luo dkk., 2013).

Pada kondisi inflamasi akut, leptin meregulasi pelepasan sitokin-sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6. Sebaliknya, sitokin-sitokin tersebut juga meregulasi ekspresi dari leptin, dimana keadaan tersebut secara terus-menerus akan dapat mengakibatkan munculnya inflamasi yang bersifat kronik. Pada berbagai penyakit inflamasi kronik, terdapat peningkatan serum leptin. Pada penelitian eksperimental yang dilakukan pada tikus, telah ditemukan bahwa kadar leptin yang tinggi dapat menginduksi autoreaktivitas. Sebaliknya, pada tikus dengan defisiensi leptin tidak ditemukan adanya penyakit autoimun yang terjadi akibat eksperimental (Paz-Filho dkk., 2012).

Peningkatan kadar leptin yang terjadi selama proses infeksi dan inflamasi menunjukkan bahwa leptin merupakan bagian dari sitokin yang mengatur repsons imun. Leptin berperan penting dalam proses inflamasi yang melibatkan sel T dan telah dilaporkan dapat mempengaruhi aktivitas sel Th pada respons imun (Takashi., 2012).

Leptin menginduksi perubahan fungsional dan morfologi pada dendritic cell (DCs), secara langsung akan mengarah ke Th1 dan meningkatkan ketahanan DC. Leptin akan memproduksi sitokin Th ke arah sitokin proinflamasi (Th1, IFN-γ, IL-2) dibandingkan anti-inflamasi (Th2, IL-4). Efek ini mungkin dimediasi oleh limfosit T melalui peningkatan regulasi ekspresi protein anti-apoptosis dan sinergi dengan sitokin lain dalam proliferasi limfosit serta aktivasi melalui STAT3. Efek leptin

(23)

dalam mempolarisasi sel T menuju ke arah respon Th1 diduga diperantarai oleh stimulasi sintesis IL-2, IL-12 dan IFN-γ, serta hambatan produksi IL-10 dan IL-4 (Wauman dkk., 2017).

Gambar 2.6 Leptin dan sistem imunitas ( Paz-Filho dkk., 2012)

Lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang disekresi oleh makrofag dan sel dendritik. Sel Th2 dipicu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 memproduksi sitokin TNF-α sedangkan sel Th2 memproduksi IL-6 (Leung dkk., 2000).

Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronik residif, dimediasi oleh sistem imun terutama sel T. Pada DA terjadi peubahan pola sitokin, dimana pada keadaan akut, sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF-γ, sehingga menekan diferensiasi sel Th1

(24)

sehingga lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2. Pada keadaan kronik, terjadi peningkatan kadar sitokin-sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF), sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Peranan leptin pada DA berhubungan erat dengan polarisasi sel T kearah sel Th1 sehingga menghasilkan pelepasan sitokin-sitokin pro inflamasi. Adanya ikatan leptin dan reseptornya di kulit dapat memicu proliferasi serta diferensiasi sel-sel keratinosit dan fibroblast, serta supresi produksi sitokin Th2 dan peningkatan sekresi sitokin Th1, seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit, sehingga timbul DA. Leptin juga meningkatkan sekresi IL-2 dan IFN-γ sehinngga menstimulasi limfosit T dan meningkatkan respon sel T sehingga mengarah pada fenotip Th1, yang mengakibatkan peningkatan sekresi sitokin pro inflamasi sehingga menyebabkan persistensi DA. Pada keadaan resistensi leptin, akan mengakibatkan penurunan Th1 dan peningkatan Th2 dimana sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. IL-4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit sehingga epidermis mengalami kerusakan maka timbul manifestasi DA. (Leung dkk., 2000).

Gambar

Gambar 2.1. Patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2000)
Gambar 2.2. Indeks SCORAD (The European Task Force on Atopic  Dermatitis, 1993)
Gambar 2.3 Leptin dan reseptor kompleks ObR (Wauman dkk., 2017)
Gambar 2.4 Leptin dan JAK-STAT pathway (Myers dkk., 2008)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Bupati Gabriel Asem senantiasa melakukan koordinasi dengan bawahannya, senantiasa menjelaskan visi misi yang hendak dicapai, serta dalam memimpin Kabupaten Tambrauw

Rata-rata petugas kesehatan gigi dalam bekerja menggunakan sarung tangan dan masker serta selalu cuci tangan sebelum dan sesudah melayani pasien, agar tidak mudah tertular

Berdasarkan data diperoleh bahwa cakupan pelaksanaan MTBS tahun 2013 dan 2014 masih belum mencapai indikator 60%, serta ketaatan puskesmas dalam memberikan laporan bulanan

Untuk menguji pengaruh antara variabel komunikasi terhadap hubungan pemasaran dengan komitmen sebagai variabel mediasi digunakan analisis jalur (path analysis). Path

Apabila para pegawai yang bekerja dalam suatu institusi mampu me- nerapkan budaya kerja berkualitas tentu dapat pula meningkatkan kualitas pelayanan publik dari

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan segala Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Pengaruh

Hasil penelitian diperoleh bahwa terjadi penurunan nilai kekerasan pada spesimen yang di normalizing yaitu : 272,8 BHN, bila dibandingkan dengan spesimen awal

[r]